DEMAM TIFOID
Pembimbing :
Disusun oleh :
2016730056
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Tak lupa salawat serta
salam kepada junjungan besar Rasulullah SAW beserta para sahabatnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus ”Demam Tifoid” dalam rangka
mengikuti kepanitraan Klinik di bagian/SMF Pediatri RSUD Sekarwangi Cibadak
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................1
DAFTAR ISI.....................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB 1................................................................................................................................3
STATUS PASIEN..............................................................................................................3
A. ANAMNESIS........................................................................................................3
B. PEMERIKSAAN FISIK......................................................................................6
C. FOLLOW UP.....................................................................................................11
BAB II.............................................................................................................................13
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................13
A. Definisi................................................................................................................13
B. Epidemiologi Demam Tifoid..............................................................................13
C. Etiologi Demam Tifoid.......................................................................................14
D. Patofisiologi Demam Tifoid...............................................................................14
E. Klasifikasi Demam Tifoid..................................................................................16
F. Manifestasi Klinis Demam Tifoid......................................................................16
G. Langkah Diagnostik Demam Tifoid..............................................................18
H. Penatalaksanaan Demam Tifoid....................................................................20
I. Pemantauan Demam Tifoid...............................................................................21
J. Indikasi Rawat pada Demam Tifoid.................................................................22
K. Prognosis.........................................................................................................22
BAB III............................................................................................................................23
ANALISIS KASUS.........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................25
2
BAB 1
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : An. I
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 21 Oktober 2003
No Rekam Medis : 56****
Usia : 17 tahun 4 bulan 2 hari
Alamat : Sekarwangi, Cibadak
Agama : Islam
Suku : Sunda
Tanggal Masuk RS : 23 Februari 2021
Tanggal Pemeriksaan : 26 Februari 2021
Caregiver : Ibu Kandung
2. Identitas Orang Tua
Ayah Ibu
Nama : Tn. A Nama : Ny. Y
Usia : 42 tahun Usia : 36 tahun
Alamat : Sekarwangi, Cibadak Alamat : Sekarwangi, Cibadak
Pekerjaan : Wirausaha Pekerjaan : IRT
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Sunda Suku : Sunda
Pendidikan : SMP Pendidikan : SMP
Hubungan : Ayah Kandung Hubungan : Ibu kandung
3. Cara Anamnesis
Auto-alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 24 Februari 2021, dan
data sekunder rekam medis.
3
4. Keluhan Utama
Nyeri perut
4
8. Riwayat Pengobatan
Pasien meminum paracetamol 500 mg 3 kali sehari selama 2 hari dan
meminum promag untuk nyeri perutnya.
9. Riwayat Psikososial
Pasien tinggal bersama Ayah, Ibu dan 1 kakak kandung pasien.
Lingkungan rumah di daerah perkampungan, sirkulasi baik dan ventilasi baik.
Pasien sering telat makan dan pasien senang makan makanan pedas dan jajan
di pinggir jalan seperti seblak dan cilok.
5
13. Riwayat Imunisasi
Imunisasi lengkap sesuai usia menurut jadwal imunisasi anak menurut Depkes
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS : 15)
Tanda-tanda vital
Laju deyut jantung : 80 kali/menit
Laju pernapasan : 20 kali/menit
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Suhu : 37,5oC
6
Antropometri : BB : 60 kg TB : 155 cm
Pemeriksaan Generalisata
Kepala : Normocephal, massa (-), rambut hitam distribusi merata tidak
mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), cekung (-/-), pupil
bulat isokhor
Hidung : deviasi septum (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Telinga : Normotia, sekret (-/-)
Mulut : Mukosa bibir kering, perdarahan gusi (-), lidah kotor (+), lidah
Tremor (+)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thorax
Inspeksi : gerak napas tampak simetris, iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : pengembangan dada teraba simetris, vokal fremitus teraba
sama antara kanan dan kiri, ictus cordis palpable
7
Perkusi : sonor (+)
Auskultasi : vesikular normal (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-) bunyi
jantung I-II reguler (+) murmur (-) gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung
Auskultasi : Bising usus (+) 16 kali/ menit
Palpasi : Ascites (-) nyeri tekan epigastrium (+), tidak ada
pembesaran, hepar dan lien, turgor kembali cepat, mc
burney sign (-), murphy sign (-)
Perkusi : timpani (+)
Ekstremitas
Atas : Akral hangat (+/+), CRT ≤ 2 detik, edema (-)
Bawah : Akral hangat (+/+), CRT ≤ 2 detik, edema (-)
Kulit
Turgor kulit baik (kembali cepat), petekie (-), jaundice (-)
Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan Rangsal Meningeal
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I, II : (-)
Lasegue sign : (-)
Kernig sign : (-)
8
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Darah rutin (23 Februari 2021 pukul 18.32)
Hemoglobin 13,1 g/dl 12-14
Leukosit 13.600 /mm3 4.000-11.000
Trombosit 376.000 /mm3 150.000 – 400.000
Hematokrit 39 % 36-46
Diff count
Eosinofil 0 %
Basofil 0 %
Batang 0 %
Segmen 88 % 40 - 70
Limfosit 12 % 25-35
Monosit 0 %
Resume
Pasien dating ke IGD RSUD Sekarwangi dengan keluhan nyeri perut disertai
demam, mual dan muntah sejak seminggu yang lalu. Nyeri perut dirasakan
memberat setelah makan, disertai mual dan muntah yang berisikan makanan.
Demam dirasakan pasien memberat saat sore menjelang malam dan membaik saat
pagi hari namun, pasien merasakan badan nya tetap hangat.
Tatalaksana
IVFD Ringer lactat 25 cc tpm
Ceftriaxone 2 x 1 gr
Paracetamol 3 x 500 mg
Ranitidin 2 x 50 mg
Ondancentron 3 x 3,5 mg
Sucralfat syr 3 x 1 cth
9
PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad dunctionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
C. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
24/02/21 Pasien TD : 110/70 mmHg Demam IVFD Ringer
mengeluhkan HR : 88x/min tifoid lactat 25 cc tpm
nyeri perut RR : 20x/min Ceftriaxone 2 x 1
disertai dengan SpO2 : 98% free air gr
mual dan muntah. To : 37,5o C Paracetamol 3 x
Demam naik Mata : SI (-/-), CA 500 mg
turun, naik ketika (-/-) Ranitidin 2 x 50
sore menjelang Mulut : mukosa bibir mg
malam, turun kering (+), lidah Ondancentron 3 x
ketika pagi hari. tremor (+), tifoid 3,5 mg
tongue (+) Sucralfat syr 3 x 1
Thorax: simetris, cth
VBS ka=ki, BJ S1S2
10
reguler
Abdomen : NTE (+),
supel (+), timpani
Ekstremitas : akral
hangat, CRT < 2s
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
gram negatif Salmonella enterik serotype typhi atau paratyphi.
Perbandingan antara Salmonella typhi dengan Salmonella paratyphi
adalah 10:1. Selama terjadinya infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke
aliran darah
B. Epidemiologi Demam Tifoid
Demam tifoid masih menjadi permasalahan kesehatan secara
global. Hingga sampai saat ini masih sulit untuk memperkirakan kejadian
terjadinya demam tifoid dikarenakan gambaran klinis yang hampir mirip
dengan penyakit infeksi lainnya dan kurangnya beberapa sumber
laboratorium di negera berkembang. Sebagai hasilnya, banyak kasus
demam tifoid yang masih tidak terdiagnosis dengan benar
12
Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai
pihak, karena penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan
masyarakat. Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya
kasus-kasus karier (carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat
yang dipakai, sehingga menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan.
Pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar
81,7 per 100.000 penduduk, dengan sebaran menurut kelompok umur
0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun), 148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun),
180,3/100.000 (5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini
menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah pada kelompok usia 2-15
tahun.
Hasil telaahan kasus di rumah sakit besar di Indonesia
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid dari
tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan
kematian diperkirakan sekitar 0,6–5%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi demam tifoid di Indonesia
mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5–14
tahun (1,9%), usia 1–4 tahun (1,6%), usia 15–24 tahun (1,5%) dan usia <1
tahun (0,8%).
C. Etiologi Demam Tifoid
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella
typhi. Penyakit yang menyebabkan gejala lebih ringan disebabkan oleh
Salmonella serotype paratyphi A. Di berbagai negara, perbandingan
demam tifoid yang disebabkan oleh S. typhi dengan S. paratyphi adalah
10:1
Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae.
Salmonella berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul
dan hampir selalu motil dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang
menimbulkan dua atau lebih bentuk antigen H. S. typhi secara taksonomi
dikenal sebagai Salmonella enterica, subspesies enterica. Selain antigen H,
ada 2 polisakarida antigen permukaan yang membantu
mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O
13
somatik dan antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan dengan
resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi
terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain atau melindungi O
antigen terhadap fagositosis. Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak
bersifat piogenik, namun bersifat menekan pembentukan sel
polimorfonuklear dan eosinofil. Etiologi lainnya yaitu Salmonella
paratyphi A, B, C. Jika penyebabnya adalah S. paratyphi, gejalanya lebih
ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S. typhi.
Manusia merupakan satu-satunya sumber infeksi. Infeksi
ditularkan melalui saluran pernapasan secara fekal-oral oleh makanan atau
minuman yang terkontaminasi. Masa inkubasi biasanya 8 – 14 hari, tetapi
rata-rata 3 hari sampai dengan 2 bulan. Dua sampai lima persen dari
manusia yang terinfeksi menjadi karier kronik yaitu manusia tersebut
memiliki S. typhi berada di kandung empedu.
D. Patofisiologi Demam Tifoid
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella
paratyphi (S. Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung,
sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.
Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka
kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak
Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
14
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian
masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka
saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
gangguan vaskular, mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan
dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor
sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
E. Klasifikasi Demam Tifoid
Klasifikasi demam tifoid berdasarkan WHO (2011), yaitu :
1. Confirmed Case
Seorang pasien dengan demam terus-menerus (38°C atau lebih) yang
bertahan 3 hari atau lebih, dengan organisme S. typhi yang
dikonfirmasi laboratorium (darah, sumsum tulang, cairan usus)
Kasus klinis yang sesuai yang dikonfirmasi laboratorium
2. Probable Case
Seorang pasien dengan demam persisten (38°C atau lebih) yang
berlangsung selama 3 hari atau lebih, dengan tes deteksi sero-diagnosis
atau antigen yang positif namun tidak ada isolasi S. typhi
15
Kasus klinis yang kompatibel secara epidemiologis dengan kasus yang
dikonfirmasi dalam wabah
3. Chronic Carrier
Seorang individu mengeluarkan S. typhi di tinja atau air kencing
selama lebih dari satu tahun setelah onset demam tifoid akut
Karier jangka pendek juga ada, namun peran epidemiologisnya tidak
sepenting karier kronis
Beberapa pasien yang mengekskresikan S. typhi tidak memiliki
riwayat demam tifoid
F. Manifestasi Klinis Demam Tifoid
Menurut WHO (2011) berikut beberapa manifestasi dari tifoid,
yaitu:
Demam, sakit kepala, penurunan nafsu makan, dan batuk kering
Denyut nadi menurun dan terdapat pembesaran limpa
Beberapa pasien memiliki bercak kemerahan pada batang tubuh
Konstipasi atau diare
Gejala dapat muncul 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
Beberapa pasien mungkin tidak memiliki gejala
Pada minggu pertama terdapat demam yang berangsur makin
tinggi dan hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Demam meningkat
perlahan-lahan terutama saat sore hingga malam hari, pusing, batuk, nyeri
otot, anoreksia, mual, dan muntah. Biasanya terdapat batuk kering dan
tidak jarang ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada rasa tidak enak atau
nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun diare juga ditemukan.
Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas, demam
umumnya tetap tinggi dan penderita tampak sakit berat. Perut tampak
distensi dan terdapat gangguan pencernaan. Diare dapat mulai, kadang
disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan berat ini berlangsung sampai
dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita mengalami delirium
bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Gejala fisik lain berupa
bradikardia relatif dengan limpa membesar dapat pula ditemukan.
16
Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu
badan menurun dan keadaan umum tampak membaik.
Demam pada tifoid khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari
seperti naik tangga (step ladder) sampai dengan 40 atau 410C, yang
dikaitkan dengan nyeri kepala, malaise dan menggigil. Demam menetap
yang persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak diobati). Pada
awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu
tubuh sering naik turun. Pagi rendah atau normal (demam intermitten),
sore dan malam lebih tinggi (demam remitten). Dari hari ke hari intensitas
demam makin tinggi, kadang-kadang terus-menerus (demam kontinyu).
Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu badan berangsur turun
dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3.
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang
lama, bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor
dan ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor
(coated tongue) yang pada penderita anak jarang ditemukan. Pada
umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik
(nyeri ulu hati). Disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering
meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang
timbul diare.
Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem
retikuloendotelial, misalnya kelainan hematologi, gangguan faal hati dan
nyeri perut. Kelompok gejala lainnya disebabkan oleh komplikasi seperti
ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas biasanya lima sampai
empat belas hari, tetapi dapat dapat sampai lima minggu. Pada kasus
ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu.
Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri
kepala, nyeri seluruh badan, letargi dan demam.
G. Langkah Diagnostik Demam Tifoid
1. Anamnesis
Demam meningkat perlahan-lahan terutama saat sore hingga
malam hari, demam naik secara bertahap setiap hari disertai dengan
17
nyeri kepala, batuk, mual dan muntah, konstipasi atau diare, nyeri
perut, anoreksia, perut kembung. Pada tifoid yang berat dapat
dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan ikterus.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan
komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar mempunyai
lidah tifoid yaitu bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis,
hepatomegali atau splenomegali sering ditemukan.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pemeriksaan darah perifer lengkap
sering ditemukan leukopenia namun dapat pula terjadi kadar leukosit
normal atau leukositosis. Selain itu pula dapat ditemukan anemia
ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan serologi dapat
dilakukan pemeriksaan uji Widal atau uji Tubex.
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin)
dan antigen yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu
aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella
18
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal
adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu aglutinin O (dari tubuh kuman),
aglutinin H (flagela kuman), dan aglutinin Vi (simpai kuman). Dari
ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar
kemungkinan pasien menderita demam tifoid. Diagnosis demam tifoid
dapat ditegakkan apabila ditemukan titer antibodi O mencapai ≥
1/200, titer antibodi H 1/640, atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer
sepasang. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian
diikuti dengan aglutinin H. Pada infeksi yang aktif, titer Uji Widal
akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling
sedikit 5 hari. Pembentukan aglutinin terjadi pada akhir mingu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa
minggu. Pada orang yang sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-
12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menetukan
kesembuhan penyakit.
Uji Tubex adalah tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Tes ini
sangat akurat untuk diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih
baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan
hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.
19
Pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan menggunakan
kultur spesimen darah, feses, urin, dan sum-sum tulang. Untuk
menegakkan diagnosis definitif pada demam tifoid bergantung pada
isolasi dari kuman tersebut di darah atau sum-sum tulang atau feses.
H. Penatalaksanaan Demam Tifoid
1. Non farmakologi
Terapi suportif: tirah baring, isolasi memadai serta kebutuhan
cairan dan kalori yang adekuat. Berikan diet makanan lunak
(mudah dicerna) dan tidak berserat. Setelah demam menurun,
dapat diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori
terpenuhi sesuai kebutuhan
Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur
saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan
akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut
disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian
bubur saring bertujuan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus
Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,
pakaian dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu
diawasi untuk mencegah decubitus dan hygiene perorangan
tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Farmakologi
Lebih dari 90% pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan
antimikroba oral. Tidak diperlukan adanya uji kultur dan tes
sensitifitas untuk memberikan pilihan antibiotik. Beberapa bukti
menganjurkan bahwa flurokuinolon (Ciprofloxacin) merupakan
pilihan obat yang optimal untuk demam tifoid di semua kelompok
usia. Bagaimanapun, di beberapa daerah yang bakterinya masih
sensitive dengan pengobatan pilihan pertama seperti Kloramfenikol,
Ampisilin, Amoksisilin, atau Trimethoprim-Sulfamethoxazole) dan
flurokuinolon tidak tersedia atau terlalu mahal, pilihan antibiotik ini
masih digunakan untuk pengobatan demam tifoid.
20
I. Pemantauan Demam Tifoid
Pemantauan demam tifoid, yaitu:
a. Terapi
Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5
setelah pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali
dievaluasi adalah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.
typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan
diagnosis
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam
tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan, dan
tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat dilanjut di rumah.
b. Penyulit
Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna.
Ekstraintestinal: tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, dan syok
septik
21
o Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi
4/5 kebutuhan dengan kadar natrium rendah
o Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan
o Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
o Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2
o Pelihara keadaan nutrisi
o Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
- Antipiretik, diberikan apabila demam > 39ºC, kecuali pada pasien
dengan riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal
- Diet
o Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
o Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang
lebih padat dengan kalori cukup
o Transfusi darah : kadang-kadang diperlukan pada perdarahan
saluran cerna dan perforasi usus.
K. Prognosis
Gejala demam tifoid biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4
minggu pengobatan dan hasilnya akan baik dengan pengobatan lebih awal
tetapi akan menjadi lebih buruk apabila timbul komplikasi. Gejala dapat
kembali jika pengobatan ini tidak sepenuhnya sembuh dari infeksi.
BAB III
ANALISIS KASUS
22
Pasien seorang anak perempuan Distribusi prevalensi tertinggi adalah
berusia 17 tahun pada usia 5–14 tahun (1,9%), usia 1–4
tahun (1,6%), usia 15–24 tahun
(1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%).
Pasien mengeluhkan nyeri perut Sebanyak 21% pasien dengan demam
disertai dengan mual dan muntah yang tifoid mengeluhkan nyeri perut dan
berisikan makanan dan cair. Menurut sebanyak 39% pasien mengeluhkan
ibu pasien, nafsu makan pasien muntah
menurun
Pasien juga mengeluhkan demam Demam pada tifoid khas karena gejala
sejak 1 minggu SMRS, demam timbul peningkatan suhu setiap hari seperti
naik turun, naik terutama saat sore naik tangga (step ladder) sampai
menjelang malam hari dan turun saat dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan
pagi hari. Demam disertai dengan dengan nyeri kepala, malaise dan
pusing seperti melayang, nyeri kepala menggigil. Demam pada pagi rendah
dan menggigil atau normal (demam intermitten), sore
dan malam lebih tinggi (demam
remitten)
Pada pemeriksaan fisik ditemukan Pada pemeriksaan fisik dapat
mukosa bibir kering, lidah kotor tepi ditemukan bibir kering dan kadang-
hiperemis disertai dengan tremor kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan
kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung
dan tepi lidah kemerahan dan tremor
(coated tongue)
Pada pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan penunjang pada
ditemukan peningkatan leukosit pemeriksaan darah perifer lengkap
sering ditemukan leukopenia namun
dapat pula terjadi kadar leukosit
normal atau leukositosis
23
DAFTAR PUSTAKA
24
E. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Vol. 25,
Archives of Disease in Childhood. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI); 2010.
4. https://www.who.int/csr/don/27-december-2018-typhoid-pakistan/en/
5. Anak DIK, Padjadjaran/ FKU, Sadikin RDH, 2014. Pedoman Diagnosis
Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 2014
25