BENJOLAN DI LEHER
Jawaban
1. Karna metabolism yang meningkat dan sel makin ganas sehingga menyerap nutrisi
lebih banyak
2. Karna limfosit meningkat akibat infeksi karna berproliferasi pada kelenjar getah
bening
3. Malam metabolism meningkat bersamaan dengan infeksi dapat menyebabkan demam,
berkeringat merupakan salah satu cara tubuh melakukan kompensasi untuk
menurunkan suhu tubuh
4. Kemungkinan pembesaaran belum menekan nervus atau saraf
5. Virus menyerang limfonodus sehingga terjadi peningkatan jumlah sel limfosit secara
besar-besaran
6. Benjolan tidak hanya pada leher bisa juga terdapat pada kelenjar getah bening lain,
dan virus menyerang kelenjar getah bening pada leher sehingga terdapat benjolan
7. Limfoma
8. Faktor resiko : jenis kelamin, genetic, konsumsi immunosupresan jangka panjang.
Etiologi : infeksi virus, pajanan terus menerus bahan kimia dan radiasi, inflamasi
kronis contoh pada autoimun
9. Kemoterapi dan radioterapi
10. Diagnosis pasti sitologi, patologi. Penunjang pakai USG
Hipotesis
Limfoma terjadi karna limfosit meningkat akibat infeksi pada kelenjar getah bening.
Etiologi penyakit ini berupa infeksi virus, pajanan terus menerus bahan kimia dan radiasi,
inflamasi kronis. Jenis kelamin, genetic, konsumsi immunosupresan jangka Panjang
merupaka beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit ini. Penegakkan
diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan sitologi dan patologi, untuk penunjang dapat
dilakukan USG.Tatalaksana yang dapat diberikan adalah kemoterapi dan radioterapi.
Sasaran Belajar
1. Memahami dan Menjelaskan Limfoma
1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3 Epidemiologi
1.4 Klasifikasi
1.5 Patofisiologi
1.6 Manifestasi klinis
1.7 Diagnosi dan diagnosis banding
1.8 Tatalaksana
1.9 Komplikasi
1.10 Prognosis
1. Memahami dan Menjelaskan Limfoma
1.1 Definisi
Limfoma adalah jenis kanker darah yang berkembang ketika sel darah putih yang
disebut limfosit tumbuh di luar kendali. Limfosit adalah bagian dari sistem kekebalan
Anda.
Limfoma merupakan tipe kelompok keganasan limfoid yang sangat bervariasi.
Limfoma adalah kanker yang dimulai dalam sel-sel system kelenjar getah bening.
Limfoma dikelompokkan berdasarkan sel asalnya, gambaran morfologinya,
karakteristik histologi, imunohistokimia, dan lesi genetik spesifik. (National Cancer
Institute)
1.2 Etiologi
Penyebab pasti limfoma Hodgkin maupun non-Hodgkin masih belum diketahui.
Namun diperkirakan aktivasi abnormal gen tertentu mempunyai peran dalam
timbulnya semua jenis kanker, termasuk limfoma.
a. HODGKIN :
Etiologi : belum diketahui secara pasti namun pada penyakit ini, ditemukan
adanya perkembangan sel B abnormal atau dinamakan sel Reed-Sternberg
akibat pengaruh paparan virus epstein barr (EBV). Terkait Proses Transkripsi
sel B yang terganggu.
Faktor resiko : limfoma Hodgkin adalah infeksi virus onkogenik yang diduga
berperan dalam menimbulkan lesi genetic, virus memperkenalkan gen asing ke
dalam sel target. Virus-virus ini adalah virus Epstain-barr, Sitomegalovirus,
HIV dan Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktor lain berupa defisiensi imun,
misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat
imunosupresif atau pada pasien cangkok sumsum tulang. Keluarga dari pasien
pasien Hodgkin (adik-kakak) juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit
hodgkin
b. NON HODGKIN :
Etiologi : belum diketahui secara pasti
Faktor resiko : pada limfoma jenis ini penyakit berkembang dari limfosit yang
abnormal yang akan terus membelah dan bertambah banyak dengan tidak
terkontrol akibat faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus
atau bakteria (HIV, HCV, EBV, Helicobacter Sp), toksin lingkungan
(herbisida, pengawet dan pewarna kimia), mengonsumsi makanan tinggi
lemak hewani, merokok dan terkena paparan ultraviolet. Pembelahan yang tak
terkendali dari limfosit B dan T akibat mutasi sel menjadi sel ganas. 25%
kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara
lain severe combined immunodeficiency, hypogamma globulinemia, common
variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-
telangiectasia.
1.3 Epidemiologi
Di negara maju Eropa dan Amerika, insiden HL memiliki dua puncak usia.
Puncak pertama pada segmen usia 20 – 30 tahun, di antaranya yang dominan adalah
jenis nodular sklerotik, puncak kedua pada usia di atas 50 tahun. Di negara
berkembang termasuk China, kurva insiden-usia untuk HL tidak menunjukkan puncak
pertama, tapi terdapat peningkatan mencolok insiden anak pria yang menderita HL
jenis sel campur dan HL jenis deplesi limfosit. HL pediatrik 85% terjadi pada anak
pria; di antara HL jenis nodular sclerosis pada dewasa, penderita wanita agak lebih
banyak dari pria; sedangkan pada HL jenis lain pada dewasa, proporsi penderita pria
jauh lebih tinggi dari penderita wanita, insiden NHL kurang lebih 8 kali lipat HL.
Limfoma sel limfosit kecil terutama terjadi pada lansia; limfoma limfoblastik
terutama pada remaja pria dan dewasa muda; limfoma sel folikular terutama pada
setengah bawa; limfoma burkitt terutama pada anak dan dewasa muda.
Pada RIKESDAS tahun 2013 didapatkan prevalensi penderita limfoma
berdasarlam hasil wawancara mengenai diagnosis limfoma oleh dokter. Diketahui
bahwa prevalensi limfoma di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 0.06
perseribu, atau diperkirakan sebanyak 14.905 orang. Provinsi DI Yogyakarta memiliki
presentase prevalensi limfoma tertinggi yaitu sebesar 0.25 perseribu atau diperkirakan
sebanyak 890 orang. Sedangkan provinsi jawa barat memiliki estimasi jumlah
penderita terbanyak yaitu sebanyak 2.728 orang. Jumlah penderita limfoa ini dirasa
cukup fantastis sehingga patut diwaspadai. Hendaknya masyarakat lebih peduli
terhadap deteksi dini kanker, khususnya limfoma, serta menambah pengetahuan
mengenai penyakit limfoma agar jumlah penderita limfoma tidak semakin bertambah.
Pada tahun 2010-2012, proporsi limfoma pada pasien laki-laki di RSK Dharmais
lebih besar dibandingkan dengan pasien perempuan. Proporsi pasien limfoma pada
laki-laki sedikit meningkat pada tahun 2012, yaitu menjadi 59% pasien laki-laki dan
proporsi pasien sedikit menurun menjadi 41% umur pasien limfoma di RSK Dharmais
pada tahun 2010-2012 cukup bervariasi. Kelompok umur 50-54 tahun merupakan
kelompok umur pasien limfoma terbanyak tahun 2010 dan 2011. Namun presentase
tersebut menurun drastis pada tahun 2012. Sedangkan pasien limfoma terbanyak
tahun 2012 adalah kelompok umur 45-49.
Pasien pada kelompok umur 35-39 tahun, 40-44 tahun, dan 60-64 tahun cukup
tinggi. Sementara itu, presentasi pasien limfoma pada anak-anak umur 5-9 tahun juga
cukup tinggi, dengan demikian perlu diperhatikan bahwa limfoma tidak hanya
menyerang orang yang berusia paruh baya dan lanjut usia, namun dapat juga
menyerang anak-anak. Sehingga para orang tua harus lebih mendetail dalam
mendeteksi munculnya gejala limfoma pada anaknya.
1.4 Klasifikasi
Limfoma Non Hodgkins
Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada suatu
tipe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi.
Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta
fasilitas yang tersedia. Dua jenis klasifikasi yang paling umum dipakai adalah
klasifikasi Kiel dan Working formulation. Dibawah ini di uraikan klasifikasi
Rappaport yang merupakan awal klasifikasi LNH modern, Working formulation, serta
klasifikasi terbaru REAL.
Klasifikasi Kiel
Klasifikasi Kiel membagi LNH menjadi 2 golongan besar, yaitu:
a. LNH dengan derajat keganasan rendah
b. LNH dengan derajat keganasan tinggi
Klasifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartemen dari kelenjar getah bening, serta
membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T
Limfoma Hodgkin
Klasifikasi limfoma Hodgkin (LH) yang umum digunakan hingga saat ini yaitu
klasifikasi histologik menurut REAL (Revised American Euro-pean Lymphoma) dan WHO
(World Health Organization) yang menglasifi-kasikan LH ke dalam 5 tipe, yaitu (1) nodular
sclerosing, (2) mixed cellular-ty, (3) lymphocyte depleted, (4) lymphocyte rich dan (5)
nodular lymphocyte predominant. LH tipe nodular sclerosing, mixed cellularity, lymphocyte
de-pleted dan lymphocyte rich seringkali dikelompokkan sebagai LH klasik.
1.5 Patofisiologi
Pada umumnya limfoma berasal dari sel B pada germinal center atau post-
germinal center. Sel B yang normal pada germinal center dapat mengalami
immunoglobulin class switching (jadi misalnya tadinya dia bisanya cuman ngasilin
IgM, kalo di germinal center dia bisa ngasilin IgA juga), karena proses ini dan
kesalahan hipermutasi somatik pada sel B, membuat sel B pada germinal center
mempunyai resiko tinggi mengalami mutasi. Neoplasma pada limfoid dapat
mengganggu fungsi normal imunitas tubuh, dapat terjadi imunodefisiensi ataupun
autoimun.
Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan
limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen (antigent
independent) dan tahap yang tergantung anrigent (antigent dependent).
Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian
menjadi sel B imatur dan sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal sebagai
naive B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan antigen, maka proses perkembangan
akan masuk tahap 2 yang terjadi dalam berbagai kopartemen folikel kelenjar getah
bening, dimana terjadi immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir
menghasilkan sel plasma yang akan pulang kembali ke sumsum tulang.
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh
seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang
disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini berlangsung
secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini disebabkan akibat terjadinya mutasi
pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel
limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar, kromatinnya menjadi lebih halus,
nukleolinya terlihat, dan protein permukaan selnya mengalami perubahan.
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell dapat
langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel
plasma. Sebagian besar naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi menjadi
immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell mengalami
transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast, centrocyte, monocyte
B cell dan sel plasma.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat
terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah
berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya
rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel
limfosit tua berada dlluar "centrum germinativum" sedangkan imunoblast berada di
bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa perubahan yang terjadi
pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar; 2). Kromatin inti menjadi
lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein permukaan sel mengalami perubahan
reseptor.
Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme mutasi yang
penting terhadap LNH sel B. Memahami mekanisme dasar yang berkontribusi
terhadap proses ini relevan dengan pembahasan epidemiologi saat ini. Sedikit yang
diketahui tentang agen yang mempengaruhi penyusunan ulang kromosom abnormal,
namun pada pertemuan ini Kirschhas telah memberikan bukti bahwa paparan kerja
pestisida dapat meningkatkan laju pembentukan rekombinasi yang salah [misalnya,
inv (7) PL3, Q35)] antara gen reseptor sel T. Sementara inversi ini tidak terkait
dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor eksogen dapat
mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. telah dijelaskan penyusunan ulang
kromosom, termasuk translokasi stabil dalam aplikator fumigan (pengasapan) terpajan
fosfin. Gen Ig di B-sel (dan T-sel reaktivitas gen dalam sel-T) mengalami perubahan
struktural yang luas selama perkembangan normal. Ada dua proses penataan ulang
terpisah: V-(D)-J penyusunan ulang yang terjadi selama tahap pro-B/pre-B awal dan
berat rantai isotipe beralih yang terjadi di matang perifer B-sel. Dalam setiap proses
DNA rusak dan bergabung kembali, enzim yang berbeda mungkin terlibat dalam
kedua proses. V-(D)-J gen menata ulang langkah melibatkan gen Ig dalam tiga lokus
kromosom yang berbeda: DHJH, VH DHJH pada kromosome (chr) 14; VKJK
pada kromosom 2, dan V λJλ pada kromosom 22.
Disamping itu, BCL-6 represor transkripsi yang sering mengalami translokasi
dalam limfoma, mengatur deferensiasi germinal center sel B dan peradangan.
Skrining mikroangiopati DNA mengidentifikasi gen-gen yang ditekan oleh BCL-6,
termasuk banyak gen aktivasi limfosit, menunjukkan bahwa BCL-6 memodulasi
sinyal reseptor sel B. BCL-6 represi dari dua gen kemokin, MIP-1alpha dan IP-10,
juga mungkin meminimalkan respon inflamasi. Blimp-1, BCL-6 target lain, sangant
penting untuk diferensiasi plasmacytic. Sejak ekspresi BCL-6 tidak ada dalam sel
plasma, represi balon-1 oleh BCL-6 dapat mengontrol diferensiasi plasmacytic.
Memang, penghambatan BCL-6 fungsi melakukan perubahan indikasi diferensiasi
plasmacytic, termasuk penurunan ekspresi c-Myc dan peningkatan ekspresi siklus
inhibitor p27KIP1 sel. Data ini menunjukkan bahwa transformasi maligna oleh BCL-
6 melibatkan penghambatan diferensiasi dan penigkatan proliferasi10,11.
Selain mutasi gen, penuaan mungkin merupakan faktor penting dalam
patogenesis Kelompok I LNH sel B, karena tumor ini terjadi terutama di kelompok
usia yang lebih tua, dan peningkatan angka kejadian dalam setiap kelompok usia lebih
dari 55 tahun. Penjelasan biologis bagaimana penuaan berpengaruh terhadap limfoma
genesis belum dipahami dengan baik. Efek penuaan pada sistem kekebalan tubuh
telah dipelajari selama beberapa tahun. Konsep bahwa penuaan adalah keadaan
imunodefisiensi mungkin peryataan yang terlalu umum. Pada pemeriksaan sumsum
tulang ditemukan Clonotypes baru. Hasil yang didapatkan oleh peneliti sebelumnya
yaitu adanya disregulasi dari sistem kekebalan tubuh. Pertama, diketahui bahwa timus
berinvolusi sehingga sel T bergantung lebih banyak pada kolam perifer. Selain itu,
proliferasi sel T dan produksi IL-2 mengalami penurunan. Sel T autoreaktif muncul
dengan bertambahnya usia. Dalam garis keturunan sel B respon humoral terhadap
antigen asing menurun sementara produksi antibodi autoreaktif meningkat. Perubahan
dalam repertoar B-sel pada tikus terjadi dengan penuaan yang mungkin berubah yaitu
gen V, D,dan J. sel B manusia dari individu yang berusia tua mengalami proliferasi
50% kurang efisien dibandingkan dari usia muda, perbedaan ini mungkin karena
gangguan dalam komponen jalur transduksi sinyal tertentu dalam sel-B. Penuaan juga
berhubungan dengan ketidakseimbangan dalam T-dan B-repertoar. Pengaturan ukuran
dan aktifitas proliferasi clonotypes B-sel tertentu pada orang tua mungkin kurang
dikontrol dengan baik karena perubahan dalam kompartemen sel-T. Ini ditambah
dengan peningkatan frekuensi autoreaktif clonotypes, dapat menghasilkan populasi B-
sel yang kurang patuh pada peraturan oleh sel T, sehingga meningkatan risiko untuk
mengalami pertumbuhan otonom.
Selain itu LNH sel B memiliki hubungan dengan keadaan immunodeficiency,
yang paling sering adalah oligoclonal atau poliklonal, dan ini telah mengangkat isu
bahwa beberapa limfoma ini lebih kepada lymphoproliferative daripada gangguan
neoplastik. Banyak limfoma timbul dalam berbagai bentuk immunodeficiency seperti
EBV+, menunjukkan peran partisipatif gen EBV dalam proses lymphomagenic.
Mekanisme dasar untuk limfomagenesis pada immunodeficiency diduga melibatkan
gangguan pengawasan imunologi dan kemampuan sel-T untuk menghilangkan sel-sel
mengekspresikan antigen permukaan sel atipikal. Dalam sel B virus dipertahankan
sebagai plasmid dalam sitoplasma sel yang beristirahat, sehingga sejumlah besar sel B
terinfeksi. Kondisi ini akan mempengaruhi pertumbuhan sel B menjadi sel ganas. Sel
B yang baru terinfeksi (nonneoplastic) dan baris sel lymphoblastoid yang dibiakkan
dari darah orang yang terinfeksi terus-menerus mengekspresikan beberapa protein
virus EBNAs 1, 2a, 3a, 3b, 3c dan EBNA-LP, LMP1, 2A, 2B tapi menghasilkan
sangat sedikit virus. Protein membran merupaka target antigen untuk sitotoksik T-sel.
Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap rnempertahankan sifat
"dasar"nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah
masuk aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker
dari imunobias amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat
mitosis yang tinggi.
Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga dapat
ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi Costwell.
Tabel 2. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh Costwell
KETERLIBATAN/PENAMPAKAN
STADIUM
I Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ
ekstralimfatik (IE)
II Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2
regio yang letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi
diafragma yang sama (IIE)
III Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi
diafragma ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau
limpa (IIIES)
IV Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ
ekstralimfatik
SUFFI
X
A Tanpa gejala B
B Terdapat salah satu gejala di bawah ini:
Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan
sebelum diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui
penyebabnya
Demam intermitten > 38° C
Berkeringat di malam hari
X Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan
diameter > 10 cm, atau , massa mediastinum dengan ukuran
> 1/3 dari diameter transthoracal maximum pada foto polos
dada PA
2. Pemeriksaan Fisik
Pembesaran KGB
Kelainan/pembesaran organ (hati/limpa)
Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky
Limfoma Hodgkin
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah: anemi, eosinofilia, peningkatan laju endap darah, pada flow
cytometry dapat terdeteksi limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi.
b. Pemeriksaan faal hati:
i. Terdapat gangguan faal hati yang tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma pada
hati.
ii. Peningkatan alkali fosfatase dan adanya ikterus kolestatik dapat merupakan gejala
paraneoplastik tanpa keterlibatan hati.
c. Pemeriksaan kolestasis, mendeteksi obstruksi biliaris ekstrahepatik karena
pembesaran kelenjar getah bening porta hepatis.
d. Pemeriksaan faal ginjal:
i. peningkatan kreatinin dan ureum dapat diakibatkan obstruksi ureter.
ii. Adanya nefropati urat dan hiperkalsemi dapat memperberat fungsi ginjal.
iii. Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik dapat terjadi.
iv. Hiperurisemi merupakan manifestasi peningkatan turn-over akibat limfoma.
v. Hiperkalsemi dapat disebabkan sekunder karena produksi limfotoksin (osteoclast
activating factor) oleh jaringan limfoma.
vi. Kadar lactase dehydrogenase (LDH) darah yang meningkat dapat
menggambarkan massa tumor dan tum-over.
vii. Poliklonal hipergamaglobulinemi sering didapatkan pada limfoma Hodgkin dan
Non Hodgkin.
2. Biopsi Sumsum Tulang
Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging, keterlibatan sumsum tulang
pada limfoma Hodgkin sulit didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang.
3. Radiologis
a. Pemeriksaan foto toraks untuk melihat limfodenopati hilar dan mediastinal, efusi
pleura atau lesi parenkim paru.
b. Obstruksi aliran limfotik mediastinal dapat menyebabkan efusi chylous (seperti susu).
c. USG abdomen kurang sensitif dalam mendiagnosis adanya limfodenopati.
d. Pemeriksaan CT Scan toraks untuk mendeteksi abnormalitas parenkim paru dan
mediastinal sedangkan
e. CT Scan abdomen memberi jawaban limfodenopati retro peritoneal, mesenterik,
portal, hepatosplenomegali atau lesi di ginjal.
Pentahapan (Staging)
Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai prognosis.
1. Stadium I, keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau struktur jaringan limfoid
(limpa, timus, cincin Waldeyer) atau keterlibatan 1 organ ekstralimfatik.
2. Stadium II, Keterlibatan ≥2 regio kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama
(kelenjar hiIus bila terkena pada kedua sisi termasuk stadium II); keterlibatan lokal 1
organ ekstranodal atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama
(IIE). Jumlah regio anatomik yang terlibat ditulis dengan angka (contoh :II3).
3. Stadium III, Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma (Ill),
dapat disertai lien (Ills), atau keterlibatan 1 organ ekstranodal (lllE) atau keduanya (lllSE).
a. Stadium III1 Dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening splenik, hilar,seliak
atau portal.
b. Stadium III2 Dengan keterlibatan kelenjar getah bening paraaorta, iliaka dan
mesenterika.
4. Stadium IV Keterlibatan difus/diseminata pada 1 atau lebih organ ekstranodal atau
jaringan dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening.
A Tanpa gejala
B Demam (suhu >38oC), keringat
malam, penurunan berat badan >
10 % dalam waktu 6 buIan
sebelumnya)
X Bulky disease (pembesaran
mediastium > 1/3, adanya massa
kelenjar dengan diameter
maksimal 10 cm)
E Keterlibatan 1 organ ekstranodal
yang contiguous atau proksimal
terhadap regio kelenjar getak
bening PS
Limfoma Non CS Clinical stage Hodgkin
1. Pemeriksaan PS Pathologic stage (misalnya Diagnostik
a. Biopsi ditentukan pada laparotomi) eksisional atau core
biopsy
i. Biopsi KGB
Dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan
perifer. Jika terdapat kelenjar superfisial/ perifer yang paling representatif, maka
tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal. Kelenjar getah bening yang
disarankan adalah dari leher dan supraclavicular, pilihan kedua adalah aksila dan
pilihan terakhir adalah inguinal.
Spesimen kelenjar diperiksa:
a) Rutin Histopatologi: sesuai klasifikasi WHO terbaru
b) Khusus Immunohistokimia Molekuler (hibridisasi insitu) EBV
ii. Diagnosis awal harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya
dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka
kombinasi core biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain (IHK,
Flowcytometri dan lain-lain) mungkin dapat mencukupi untuk diagnosis.
b. Laboratorium
1) Rutin
i. Hematologi:
Darah Perifer Lengkap (DPL): Hb, Ht, leukosit,trombosit, LED, hitung
jenis
Gambaran Darah Tepi (GDT): morfologi sel darah
Analisis urin : urin lengkap
ii. Kimia klinik:
SGOT, SGPT, Bilirubin (total/ direk/ indirek), LDH, protein total,
albumin-globulin
Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kreatinin
Gula darah sewaktu Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P
HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg)
iii. Khusus:
Gamma GT
Serum Protein Elektroforesis (SPE)
Imunoelektroforesa (IEP)
Tes Coomb
B2 mikroglobulin
c. Aspirasi Sumsum Tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina illiaca
dengan hasil spesimen minimal panjang 1.5 cm, dan disarankan 2 cm.
d. Radiologi
Untuk pemeriksaan rutin/ standard dilakukan pemeriksaan CT Scan thorak/ abdomen.
Bila fasilitas tersedia, dapat dilakukan PET CT Scan.
e. Konsultasi THT
Bila Cincin Waldeyer terkena dilakukan laringoskopi.
f. Cairan tubuh lain (Cairan pleura, cairan asites, cairan liquor serebrospinal)
Jika dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, disamping
pemeriksaan rutin lainnya.
g. Konsultasi jantung
Menggunakan echogardiogram untuk melihat fungsi jantung
Diagnosis Banding
DB Limfoma Hodgkin (Kapita Selekta)
Limfoma non-Hodgkin, kanker paru, toksoplasmosis, tuberkulosis
1.8 Tatalaksana
Limfoma Hodgkin
Pengobatan limfoma Hodgkin adalah radioterapi ditambah kemoterapi, tergantung dari
staging (Clinical stage = CS) dan faktor risiko.
Faktor risiko untuk terapi menurut German Hodgkin 's Lymphoma Study Group (GHSG)
meliputi:
1. Massa mediastinal yang besar
2. Ekstranodal
3. Peningkatan laju endap darah, ≥ 50 untuk tanpa gejala atau ≥ 30 untuk dengan gejala (B)
4. Tiga atau lebih regio yang terkena
Dalam guideline yang dikeluarkan oleh National Comprehensive Cancer Network (2004)
regiman kemoterapi yang direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V sebagai
kemoterapi terpilih.
Terapi lain Penyakit Hodgkin yang masih diteliti adalah: lmunoterapi dengan antibodi
monoklonal anti CD 20, imunotoksin anti CD 2S, bispesifik monoklonal antibodi CD 16/CD
30 bispesifik antibodi dan radio immunoconjugates.
Limfoma Non Hodgkin
Pilihan terapi bergantung pada beberapa hal, antara lain: tipe limfoma (jenis histologi),
stadium, sifat tumor (indolen/agresif), usia, dan keadaan umum pasien.
1.9 Komplikasi
Limfoma Hodgkin
1. Komplikasi Akibat penyakitnya langsung: Penekanan pada organ, khususnya jalan napas
dan usus.
2. Akibat efek samping pengobatan
a. Radioterapi dapat meningkatkan risiko keganasan sekunder (khususnya pada tulang,
payudara, melanoma, sarkoma, lambung dan tiroid);
b. Kemoterapi dapat menyebabkan mielosupresi, mudah terserang infeksi;
c. Radioterapi dan kemoterapi dapat menyebabkan infertilitas.
1.10 Prognosis
Limfoma Hodgkin
Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progresi penyakit FFR
(Freedom From Progression), yaitu :
1. Jenis Kelamin,
2. Usia >45 tahun;
3. Stadium IV;
4. Hb < 10 gr%;
5. Leukosit > 15000/ mm3 ;
6. Limfosit <600/mm3 atau <8% leukosit
7. Serum albumin <4 gr%
Perkiraan prognosis:
1. Pasien tanpa faktor risiko FFP = 84%,
2. Satu faktor risiko FFP = 77%,
3. Dua faktor risiko FFP = 67%,
4. Tiga faktor risiko FFP = 60%,
5. Empat faktor risiko FFP = 51%,
6. Lima faktor risiko atau lebih FFP = 42%.
Kanker.kemkes.go.id. Brosur Limfoma, dalam Informasi kanker untuk umum. Diakses pada
30 Maret 2021 dari http://kanker.kemkes.go.id/guidelines_read.php?id=4&cancer=9
Setiati, Seti, dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.
Tanto, Chris, dkk. (2016). Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-4 Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius.
Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma Non-Hodgkin Yang
Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam volume 2; 96-102
Hoffbrand A.V. 2005. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC;
Santoso, M., Krisfu, C. 2004. Diagnostik dan Penatalaksanaan LNH. Dexa media: No. 4(17).
Bruce D. Cheson. 2007. Revised Response Criteria for Malignant Lymphoma. Journal Of
Clinical Oncology. Volume 25(5); 581
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Data dan Kondisi Penyakit
Limfoma di Indonesia. Jakarta.