Anda di halaman 1dari 30

SKENARIO

BENJOLAN DI LEHER

Seorang laki-laki 30 tahun datang ke Poliklinik RS Yarsi dengan keluhan timbul


benjolan di leher kanan. Teraba atau diketahui oleh pasien sejak 3 minggu sebelumnya.
Awalnya benjolan sebesar kacang tanah dan semakin membesar 1 minggu terakhir dengan
ukuran sebesar telur puyuh. Demam, sering keringat malam hari dan penurunan berat badan
(dari 65 kg menjadi 50 kg) dialami oleh pasien. Tidak terdapat nyeri atau kesulitan menelan.
Berdasar pemeriksaan dokter, disebut kemungkinan pembengkakan kelenjar getah bening dan
perlu dilakukan tindakan biopsi. Setelah dibiopsi didapat hasil pemeriksaan Patologi dengan
suatu keganasan dengan sel dominan limfosit.
Pertanyaan
1. Mengapa terjadi penurunan pada berat badan pasien ?
2. Mengapa benjolan semakin membesar ?
3. Mengapa pasien demam sering berkeringat dimalam hari ?
4. Mengapa tidak ada nyeri saat menelan ?
5. Mengapa pada pemeriksaan patologi ditemukan sel limfosit ?
6. Mengapa terdapat benjolan pada leher ?
7. Apa diagnosis sementara untuk kasus tersebut ?
8. Apa saja kemungkinan etiologi dan faktor resiko pada penyakit yang diderita ?
9. Apa tatalaksana untuk kasus tersebut ?
10. Pemeriksaan apa saja yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis selain biopsi ?

Jawaban
1. Karna metabolism yang meningkat dan sel makin ganas sehingga menyerap nutrisi
lebih banyak
2. Karna limfosit meningkat akibat infeksi karna berproliferasi pada kelenjar getah
bening
3. Malam metabolism meningkat bersamaan dengan infeksi dapat menyebabkan demam,
berkeringat merupakan salah satu cara tubuh melakukan kompensasi untuk
menurunkan suhu tubuh
4. Kemungkinan pembesaaran belum menekan nervus atau saraf
5. Virus menyerang limfonodus sehingga terjadi peningkatan jumlah sel limfosit secara
besar-besaran
6. Benjolan tidak hanya pada leher bisa juga terdapat pada kelenjar getah bening lain,
dan virus menyerang kelenjar getah bening pada leher sehingga terdapat benjolan
7. Limfoma
8. Faktor resiko : jenis kelamin, genetic, konsumsi immunosupresan jangka panjang.
Etiologi : infeksi virus, pajanan terus menerus bahan kimia dan radiasi, inflamasi
kronis contoh pada autoimun
9. Kemoterapi dan radioterapi
10. Diagnosis pasti sitologi, patologi. Penunjang pakai USG
Hipotesis

Limfoma terjadi karna limfosit meningkat akibat infeksi pada kelenjar getah bening.
Etiologi penyakit ini berupa infeksi virus, pajanan terus menerus bahan kimia dan radiasi,
inflamasi kronis. Jenis kelamin, genetic, konsumsi immunosupresan jangka Panjang
merupaka beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit ini. Penegakkan
diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan sitologi dan patologi, untuk penunjang dapat
dilakukan USG.Tatalaksana yang dapat diberikan adalah kemoterapi dan radioterapi.
Sasaran Belajar
1. Memahami dan Menjelaskan Limfoma
1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3 Epidemiologi
1.4 Klasifikasi
1.5 Patofisiologi
1.6 Manifestasi klinis
1.7 Diagnosi dan diagnosis banding
1.8 Tatalaksana
1.9 Komplikasi
1.10 Prognosis
1. Memahami dan Menjelaskan Limfoma
1.1 Definisi
Limfoma adalah jenis kanker darah yang berkembang ketika sel darah putih yang
disebut limfosit tumbuh di luar kendali. Limfosit adalah bagian dari sistem kekebalan
Anda.
Limfoma merupakan tipe kelompok keganasan limfoid yang sangat bervariasi.
Limfoma adalah kanker yang dimulai dalam sel-sel system kelenjar getah bening.
Limfoma dikelompokkan berdasarkan sel asalnya, gambaran morfologinya,
karakteristik histologi, imunohistokimia, dan lesi genetik spesifik. (National Cancer
Institute)

1.2 Etiologi
Penyebab pasti limfoma Hodgkin maupun non-Hodgkin masih belum diketahui.
Namun diperkirakan aktivasi abnormal gen tertentu mempunyai peran dalam
timbulnya semua jenis kanker, termasuk limfoma.
a. HODGKIN :
 Etiologi : belum diketahui secara pasti namun pada penyakit ini, ditemukan
adanya perkembangan sel B abnormal atau dinamakan sel Reed-Sternberg
akibat pengaruh paparan virus epstein barr (EBV). Terkait Proses Transkripsi
sel B yang terganggu.
 Faktor resiko : limfoma Hodgkin adalah infeksi virus onkogenik yang diduga
berperan dalam menimbulkan lesi genetic, virus memperkenalkan gen asing ke
dalam sel target. Virus-virus ini adalah virus Epstain-barr, Sitomegalovirus,
HIV dan Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktor lain berupa defisiensi imun,
misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat
imunosupresif atau pada pasien cangkok sumsum tulang. Keluarga dari pasien
pasien Hodgkin (adik-kakak) juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit
hodgkin
b. NON HODGKIN :
 Etiologi : belum diketahui secara pasti
 Faktor resiko : pada limfoma jenis ini penyakit berkembang dari limfosit yang
abnormal yang akan terus membelah dan bertambah banyak dengan tidak
terkontrol akibat faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus
atau bakteria (HIV, HCV, EBV, Helicobacter Sp), toksin lingkungan
(herbisida, pengawet dan pewarna kimia), mengonsumsi makanan tinggi
lemak hewani, merokok dan terkena paparan ultraviolet. Pembelahan yang tak
terkendali dari limfosit B dan T akibat mutasi sel menjadi sel ganas. 25%
kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara
lain severe combined immunodeficiency, hypogamma globulinemia, common
variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-
telangiectasia.

1.3 Epidemiologi
Di negara maju Eropa dan Amerika, insiden HL memiliki dua puncak usia.
Puncak pertama pada segmen usia 20 – 30 tahun, di antaranya yang dominan adalah
jenis nodular sklerotik, puncak kedua pada usia di atas 50 tahun. Di negara
berkembang termasuk China, kurva insiden-usia untuk HL tidak menunjukkan puncak
pertama, tapi terdapat peningkatan mencolok insiden anak pria yang menderita HL
jenis sel campur dan HL jenis deplesi limfosit. HL pediatrik 85% terjadi pada anak
pria; di antara HL jenis nodular sclerosis pada dewasa, penderita wanita agak lebih
banyak dari pria; sedangkan pada HL jenis lain pada dewasa, proporsi penderita pria
jauh lebih tinggi dari penderita wanita, insiden NHL kurang lebih 8 kali lipat HL.
Limfoma sel limfosit kecil terutama terjadi pada lansia; limfoma limfoblastik
terutama pada remaja pria dan dewasa muda; limfoma sel folikular terutama pada
setengah bawa; limfoma burkitt terutama pada anak dan dewasa muda.
Pada RIKESDAS tahun 2013 didapatkan prevalensi penderita limfoma
berdasarlam hasil wawancara mengenai diagnosis limfoma oleh dokter. Diketahui
bahwa prevalensi limfoma di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 0.06
perseribu, atau diperkirakan sebanyak 14.905 orang. Provinsi DI Yogyakarta memiliki
presentase prevalensi limfoma tertinggi yaitu sebesar 0.25 perseribu atau diperkirakan
sebanyak 890 orang. Sedangkan provinsi jawa barat memiliki estimasi jumlah
penderita terbanyak yaitu sebanyak 2.728 orang. Jumlah penderita limfoa ini dirasa
cukup fantastis sehingga patut diwaspadai. Hendaknya masyarakat lebih peduli
terhadap deteksi dini kanker, khususnya limfoma, serta menambah pengetahuan
mengenai penyakit limfoma agar jumlah penderita limfoma tidak semakin bertambah.
Pada tahun 2010-2012, proporsi limfoma pada pasien laki-laki di RSK Dharmais
lebih besar dibandingkan dengan pasien perempuan. Proporsi pasien limfoma pada
laki-laki sedikit meningkat pada tahun 2012, yaitu menjadi 59% pasien laki-laki dan
proporsi pasien sedikit menurun menjadi 41% umur pasien limfoma di RSK Dharmais
pada tahun 2010-2012 cukup bervariasi. Kelompok umur 50-54 tahun merupakan
kelompok umur pasien limfoma terbanyak tahun 2010 dan 2011. Namun presentase
tersebut menurun drastis pada tahun 2012. Sedangkan pasien limfoma terbanyak
tahun 2012 adalah kelompok umur 45-49.
Pasien pada kelompok umur 35-39 tahun, 40-44 tahun, dan 60-64 tahun cukup
tinggi. Sementara itu, presentasi pasien limfoma pada anak-anak umur 5-9 tahun juga
cukup tinggi, dengan demikian perlu diperhatikan bahwa limfoma tidak hanya
menyerang orang yang berusia paruh baya dan lanjut usia, namun dapat juga
menyerang anak-anak. Sehingga para orang tua harus lebih mendetail dalam
mendeteksi munculnya gejala limfoma pada anaknya.

1.4 Klasifikasi
 Limfoma Non Hodgkins
Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada suatu
tipe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi.
Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta
fasilitas yang tersedia. Dua jenis klasifikasi yang paling umum dipakai adalah
klasifikasi Kiel dan Working formulation. Dibawah ini di uraikan klasifikasi
Rappaport yang merupakan awal klasifikasi LNH modern, Working formulation, serta
klasifikasi terbaru REAL.

Tabel 2. Klasifikasi Rappaport


1. Lymphocytic, poorly differentiated
a. Nodular (NLPD)
b. Diffuse (DLPD)
2. Lymphocytic, well differentiated
a. Diffuse (DLWD)
3. Mixed lymphocytic histiocytic
a. Nodular (NMLH)
b. Diffuse (DMLH)
4. Undifferentiated
a. Diffuse (DU)
 Burkitt type
 Non-Burkitt (lymphoblastic) type

Klasifikasi Rappaport memakai dasar bentuk morfologik, makin mendekati bentuk


limfosit kecil dianggap sel yang berdiferensiasi baik, sedangkan sel yang lebih besar
dianggap berdiferensiasi tidak baik. Sehubungan dengan itu, dilihat susunan sel, apakah
noduler, atau difus.

Klasifikasi Kiel
Klasifikasi Kiel membagi LNH menjadi 2 golongan besar, yaitu:
a. LNH dengan derajat keganasan rendah
b. LNH dengan derajat keganasan tinggi
Klasifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartemen dari kelenjar getah bening, serta
membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T

Tabel 3. Klasifikasi Kiel


SEL B SEL T
Low grade malignancy High grade malignancy
Lymphocytic Lymphocytic
Lymphoplasmacytic Small cerebriform cell
Plasmacytic Mycosis funguides
Centroblastic/centrocytic Sezary’s syndrome
Follicular Lymphoepitheloid (Lenner’s lymphomas)
Diffuse Angioimmunoblastic T zone
Centrocytic Pleomorphic small cell

High grade malignancy High grade malignancy


Centroblastic Pleomorphic medium and large cell
Immunoblastic Immunoblastic
Large cell anaplastic (Ki-1+) Large cell anaplastic (Ki-1+)
Burkitt’s lymphoma Lymphoblastic
Lymphoblastic Rare types
Rare types

Perumusan Praktis untuk Penggunaan Klinis


Perumusan praktis untuk penggunaan klinik (working formulation for clinical usage)
merupakan klasifikasi yang banyak dipakai. Sebetulnya klasifikasi ini merupakan jembatan
antar berbagai klasifikasi yang ada.
Klasifikasi yang baru dibuat berdasarkan perkembangan limfosit yang dengan demikian
dapat dihubungkan dengan letak sel pada kompartemen kelenjar getah bening normal. Maka
secara umum klasifikasi limfoma berasal dari sel B adalah:
1. Precursor B-cell lymphoma
Limfoma dianggap berasal dari limfoblast. Dapat terjadi dalam bentuk leukemia ataupun
limfoma, yang keduanya identik atau disebut lymphoblastic leukemia/lymphoma.
2. LNH yang berasal dari naive B-cell
LNH ini disebut sebagai small lymphocytic lymphoma (SLL) yang identik dengan bentuk
chronic lymphocytic leukemia (CLL).
3. LNH berasal dari germinal center
Dari suatu folikel limfoid. LNH dari germinal center dibagi menjadi 2 golongan besar,
yaitu:
a. Follicular lymphoma: terdiri dari sel yang sangat mirip dengan sel dari germinal
center normal. LNH jenis ini biasanya bersifat indolen, tetapi incurable. Follicular
lympoma sering disertai translokasi kromosom 14 dan 18 {t(14;18)} yang
menyebabkan juxtaposisi bcl-2 gene yang mengatur apoptosis dengan Ig heavy chain
gene.
b. Large cell lymphoma: terdiri dari sel-sel besar yang terdapat dalam folikel normal
(centroblast). Jenis ini sering bersifat difus karena itu disebut sebagai diffuse large
cell lymphoma. LNH jenis ini bersifat agresif, tetapi sangat responsif terhadap
kemoterapi.
4. LNH yang berasal dari mantle zone
LNH jenis ini disebut sebagai mantle zone lymphoma. Secara imunofenotipe mirip
dengan SLL, tetapi menunjukkan CD5 positif. Perjalanan klinis slowly progressive dan
incurable dengan standard chemotherapy.
5. LNH yang berasal dari marginal zone atau parafollicular
Termasuk dalam golongan ini adalah: B-cell monocytoid lymphoma, low-grade mucosa-
associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma dan splenic marginal zone lymphoma.
Terdiri dari sel-sel limfosit kecil yang menempati zone marginal atau prafolikuler dari
folikel limfoid normal

 Limfoma Hodgkin
Klasifikasi limfoma Hodgkin (LH) yang umum digunakan hingga saat ini yaitu
klasifikasi histologik menurut REAL (Revised American Euro-pean Lymphoma) dan WHO
(World Health Organization) yang menglasifi-kasikan LH ke dalam 5 tipe, yaitu (1) nodular
sclerosing, (2) mixed cellular-ty, (3) lymphocyte depleted, (4) lymphocyte rich dan (5)
nodular lymphocyte predominant. LH tipe nodular sclerosing, mixed cellularity, lymphocyte
de-pleted dan lymphocyte rich seringkali dikelompokkan sebagai LH klasik.

LH tipe nodular sclerosing adalah tipe LH yang paling se-ring


dijumpai, baik pada penderita pria ataupun wanita, terutama pa-da
para remaja dan dewasa muda. LH tipe ini memiliki kecenderung-an
predileksi pada kelenjar getah bening yang terletak di supraklavi-
LH tipe nodular kula, servikal dan mediastinum. Karakteristik histologik dari LH tipe
sclerosing nodular sclerosing adalah
(1) adanya variasi dari sel Reed Stenberg yaitu sel lakuna yang
merupakan sebuah sel besar yang memiliki se-buah inti multilobus,
anak inti yang kecil dan multipel serta sitoplas-ma yang melimpah
dan pucat dan
(2) adanya fibrosis dan sklerosis yang luas dengan pita kolagen yang
membagi jaringan limfoid ke dalam nodul-nodul berbatas dengan
infiltrat seluler yang mengandung limfosit, eosinofil, histiosit dan sel
lakuna
LH tipe mixed cellularity adalah tipe LH yang paling sering terjadi
pada anak-anak dan penderita yang berusia lebih dari atau sa-ma
LH tipe mixed dengan 50 tahun serta mencangkup 25% dari keseluruhan kasus LH
cellularity. yang dilaporkan. Pria lebih dominan untuk menjadi penderita di-
bandingkan dengan wanita dan LH tipe ini memiliki kecenderungan
predileksi pada kelenjar getah bening yang terletak di abdomen dan
limpa. Karakteristik histologik dari LH tipe mixed cellularity adalah
sel Reed Sternberg yang berlimpah di dalam infiltrat inflamasi hete-
rogen yang mengandung limfosit berukuran kecil, eosinofil, sel plas-
ma dan makrofag. LH tipe ini juga yang paling sering menunjukkan
manifestasi sistemik dibandingkan dengan tipe-tipe lainnya.
LH tipe lymphocyte depleted merupakan tipe LH yang pa-ling jarang
LH tipe dijumpai dan hanya mencangkup kurang dari 1% dari ke-seluruhan
lymphocyte kasus LH namun merupakan tipe LH yang paling agresif
depleted. dibandingkan dengan tipe LH lainnya. LH tipe ini paling sering ter-
jadi pada penderita dengan usia yang sudah lanjut dan seringkali di-
hubungkan dengan infeksi virus HIV/AIDS. Infiltrat pada LH tipe
ini lebih sering tampak difus dan hiposeluler sedangkan sel Reed
Stern-berg hadir dalam jumlah yang besar dan bentuk yang
bervariasi. LH tipe lymphocyte depleted dapat dibagi menjadi subtipe
retikuler de-ngan sel Reed Sternberg yang dominan dan sedikit
limfosit serta sub-tipe fibrosis difus di mana kelenjar getah bening
digantikan oleh jari-ngan ikat yang tidak teratur dan dijumpai sedikit
sel limfosit dan sel Reed Sternberg
LH tipe lymphocyte rich mencangkup kurang dari 5% dari
LH tipe keseluruhan kasus LH. Karakteristik histologic dari LH tipe ini ada-
lymphocyte rich. lah adanya sel Reed Sternberg dengan latar belakang infiltrat sel lim-
fosit serta sedikit eosinofil dan sel plasma yang dapat berpola difus
atau noduler.4,10
LH tipe nodular lymphocyte predominant mencangkup se-kitar 5%
dari keseluruhan kasus LH. Karakteristik histologik dari LH tipe ini
yaitu adanya variasi sel Reed Sternberg limfohistiositik (L & H)
LH tipe nodular yang memiliki inti besar multilobus yang halus dan menyerupai
lymphocyte gambaran berondong jagung (pop-corn). Sel Reed Sternberg L & H
predominant. biasanya ditemukan di dalam nodul besar yang sebagian besar dipe-
nuhi oleh sel-B limfosit kecil yang bercampur dengan makrofag se-
dangkan sel-sel reaktif lainnya seperti eosinofil, neutrophil dan sel
plasma jarang ditemukan. Varian sel ini juga biasanya tidak mengha-
silkan CD30 dan CD15 seperti sel Reed Sternberg pada umumnya
melainkan menghasilkan CD20

Jenis Gambaran Mikroskopik Kejadian Perjalanan


Penyakit
Limfosit Sel Reed-Stenberg sangat 3% dari Lambat
Predominan sedikit tapi ada banyak kasus
limfosit
Sklerosis Sejumlah kecil sel Reed- 67% dari Sedang
Noduler Stenberg & campuran sel kasus
darah putih lainnya; 
daerah jaringan ikat fibrosa
Selularitas Sel Reed-Stenberg dalam 25% dari Agak cepat
Campuran jumlah yang sedang & kasus
campuran sel darah putih
lainnya
Deplesi Banyak sel Reed-Stenberg 5% dari Cepat
Limfosit & sedikit limfosit  kasus
jaringan ikat fibrosa yang
berlebihan
Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg yang
bercampur dengan infiltrat sel radang yang bervariasi. Sel Reed-Sternberg adalah suatu
sel besar berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda (binucleated), berlobus dua
(bilobed), atau berinti banyak (multinucleated) dengan sitoplasma amfofilik yang sangat
banyak. Tampak jelas di dalam inti sel adanya anak inti yang besar seperti inklusi dan
seperti “mata burung hantu” (owl-eyes), yang biasanya dikelilingi suatu halo yang bening.
(a) (b)
Gambar 1. Gambaran histopatologis (a) Limfoma Non Hodgkin dan (b) Limfoma Hodgkin
dengan Sel Reed Sternberg

1.5 Patofisiologi
Pada umumnya limfoma berasal dari sel B pada germinal center atau post-
germinal center. Sel B yang normal pada germinal center dapat mengalami
immunoglobulin class switching (jadi misalnya tadinya dia bisanya cuman ngasilin
IgM, kalo di germinal center dia bisa ngasilin IgA juga), karena proses ini dan
kesalahan hipermutasi somatik pada sel B, membuat sel B pada germinal center
mempunyai resiko tinggi mengalami mutasi. Neoplasma pada limfoid dapat
mengganggu fungsi normal imunitas tubuh, dapat terjadi imunodefisiensi ataupun
autoimun.
Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan
limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen (antigent
independent) dan tahap yang tergantung anrigent (antigent dependent).
Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian
menjadi sel B imatur dan sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal sebagai
naive B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan antigen, maka proses perkembangan
akan masuk tahap 2 yang terjadi dalam berbagai kopartemen folikel kelenjar getah
bening, dimana terjadi immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir
menghasilkan sel plasma yang akan pulang kembali ke sumsum tulang.
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh
seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang
disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini berlangsung
secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini disebabkan akibat terjadinya mutasi
pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel
limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar, kromatinnya menjadi lebih halus,
nukleolinya terlihat, dan protein permukaan selnya mengalami perubahan.
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell dapat
langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel
plasma. Sebagian besar naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi menjadi
immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell mengalami
transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast, centrocyte, monocyte
B cell dan sel plasma.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat
terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah
berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya
rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel
limfosit tua berada dlluar "centrum germinativum" sedangkan imunoblast berada di
bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa perubahan yang terjadi
pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar; 2). Kromatin inti menjadi
lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein permukaan sel mengalami perubahan
reseptor.
Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme mutasi yang
penting terhadap LNH sel B. Memahami mekanisme dasar yang berkontribusi
terhadap proses ini relevan dengan pembahasan epidemiologi saat ini. Sedikit yang
diketahui tentang agen yang mempengaruhi penyusunan ulang kromosom abnormal,
namun pada pertemuan ini Kirschhas telah memberikan bukti bahwa paparan kerja
pestisida dapat meningkatkan laju pembentukan rekombinasi yang salah [misalnya,
inv (7) PL3, Q35)] antara gen reseptor sel T. Sementara inversi ini tidak terkait
dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor eksogen dapat
mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. telah dijelaskan penyusunan ulang
kromosom, termasuk translokasi stabil dalam aplikator fumigan (pengasapan) terpajan
fosfin. Gen Ig di B-sel (dan T-sel reaktivitas gen dalam sel-T) mengalami perubahan
struktural yang luas selama perkembangan normal. Ada dua proses penataan ulang
terpisah: V-(D)-J penyusunan ulang yang terjadi selama tahap pro-B/pre-B awal dan
berat rantai isotipe beralih yang terjadi di matang perifer B-sel. Dalam setiap proses
DNA rusak dan bergabung kembali, enzim yang berbeda mungkin terlibat dalam
kedua proses. V-(D)-J gen menata ulang langkah melibatkan gen Ig dalam tiga lokus
kromosom yang berbeda: DHJH, VH DHJH pada kromosome (chr) 14; VKJK
pada kromosom 2, dan V λJλ pada kromosom 22.
Disamping itu, BCL-6 represor transkripsi yang sering mengalami translokasi
dalam limfoma, mengatur deferensiasi germinal center sel B dan peradangan.
Skrining mikroangiopati DNA mengidentifikasi gen-gen yang ditekan oleh BCL-6,
termasuk banyak gen aktivasi limfosit, menunjukkan bahwa BCL-6 memodulasi
sinyal reseptor sel B. BCL-6 represi dari dua gen kemokin, MIP-1alpha dan IP-10,
juga mungkin meminimalkan respon inflamasi. Blimp-1, BCL-6 target lain, sangant
penting untuk diferensiasi plasmacytic. Sejak ekspresi BCL-6 tidak ada dalam sel
plasma, represi balon-1 oleh BCL-6 dapat mengontrol diferensiasi plasmacytic.
Memang, penghambatan BCL-6 fungsi melakukan perubahan indikasi diferensiasi
plasmacytic, termasuk penurunan ekspresi c-Myc dan peningkatan ekspresi siklus
inhibitor p27KIP1 sel. Data ini menunjukkan bahwa transformasi maligna oleh BCL-
6 melibatkan penghambatan diferensiasi dan penigkatan proliferasi10,11.
Selain mutasi gen, penuaan mungkin merupakan faktor penting dalam
patogenesis Kelompok I LNH sel B, karena tumor ini terjadi terutama di kelompok
usia yang lebih tua, dan peningkatan angka kejadian dalam setiap kelompok usia lebih
dari 55 tahun. Penjelasan biologis bagaimana penuaan berpengaruh terhadap limfoma
genesis belum dipahami dengan baik. Efek penuaan pada sistem kekebalan tubuh
telah dipelajari selama beberapa tahun. Konsep bahwa penuaan adalah keadaan
imunodefisiensi mungkin peryataan yang terlalu umum. Pada pemeriksaan sumsum
tulang ditemukan Clonotypes baru. Hasil yang didapatkan oleh peneliti sebelumnya
yaitu adanya disregulasi dari sistem kekebalan tubuh. Pertama, diketahui bahwa timus
berinvolusi sehingga sel T bergantung lebih banyak pada kolam perifer. Selain itu,
proliferasi sel T dan produksi IL-2 mengalami penurunan. Sel T autoreaktif muncul
dengan bertambahnya usia. Dalam garis keturunan sel B respon humoral terhadap
antigen asing menurun sementara produksi antibodi autoreaktif meningkat. Perubahan
dalam repertoar B-sel pada tikus terjadi dengan penuaan yang mungkin berubah yaitu
gen V, D,dan J. sel B manusia dari individu yang berusia tua mengalami proliferasi
50% kurang efisien dibandingkan dari usia muda, perbedaan ini mungkin karena
gangguan dalam komponen jalur transduksi sinyal tertentu dalam sel-B. Penuaan juga
berhubungan dengan ketidakseimbangan dalam T-dan B-repertoar. Pengaturan ukuran
dan aktifitas proliferasi clonotypes B-sel tertentu pada orang tua mungkin kurang
dikontrol dengan baik karena perubahan dalam kompartemen sel-T. Ini ditambah
dengan peningkatan frekuensi autoreaktif clonotypes, dapat menghasilkan populasi B-
sel yang kurang patuh pada peraturan oleh sel T, sehingga meningkatan risiko untuk
mengalami pertumbuhan otonom.
Selain itu LNH sel B memiliki hubungan dengan keadaan immunodeficiency,
yang paling sering adalah oligoclonal atau poliklonal, dan ini telah mengangkat isu
bahwa beberapa limfoma ini lebih kepada lymphoproliferative daripada gangguan
neoplastik. Banyak limfoma timbul dalam berbagai bentuk immunodeficiency seperti
EBV+, menunjukkan peran partisipatif gen EBV dalam proses lymphomagenic.
Mekanisme dasar untuk limfomagenesis pada immunodeficiency diduga melibatkan
gangguan pengawasan imunologi dan kemampuan sel-T untuk menghilangkan sel-sel
mengekspresikan antigen permukaan sel atipikal. Dalam sel B virus dipertahankan
sebagai plasmid dalam sitoplasma sel yang beristirahat, sehingga sejumlah besar sel B
terinfeksi. Kondisi ini akan mempengaruhi pertumbuhan sel B menjadi sel ganas. Sel
B yang baru terinfeksi (nonneoplastic) dan baris sel lymphoblastoid yang dibiakkan
dari darah orang yang terinfeksi terus-menerus mengekspresikan beberapa protein
virus EBNAs 1, 2a, 3a, 3b, 3c dan EBNA-LP, LMP1, 2A, 2B tapi menghasilkan
sangat sedikit virus. Protein membran merupaka target antigen untuk sitotoksik T-sel.
Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap rnempertahankan sifat
"dasar"nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah
masuk aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker
dari imunobias amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat
mitosis yang tinggi.

1.6 Manifestasi klinis


Tanda ataupun gejala limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Manifestasi Klinis dari Limfoma
LIMFOMA LIMFOMA NON-
HODGKIN HODGKIN
ANAMNESIS  Asimtomatik  Asimtomatik
limfadenopati limfadenopati
 Gejala sistemik  Gejala sistemik
(demam intermitten, (demam intermitten,
keringat malam, BB keringat malam, BB
turun) turun)
 Nyeri dada, batuk,  Mudah lelah
napas pendek  Gejala obstruksi GI
 Pruritus tract dan Urinary
 Nyeri tulang atau tract.
nyeri punggung
PEMERIKSAAN  Teraba pembesaran  Melibatkan banyak
FISIK limonodi pada satu kelenjar perifer
kelompok kelenjar  Cincin Waldeyer dan
(cervix, axilla, kelenjar mesenterik
inguinal) sering terkena
 Cincin Waldeyer &  Hepatomegali &
kelenjar mesenterik Splenomegali
jarang terkena  Massa di abdomen
 Hepatomegali & dan testis
Splenomegali
 Sindrom Vena Cava
Superior
 Gejala susunan saraf
pusat (degenerasi
serebral dan
neuropati)

Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga dapat
ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi Costwell.
Tabel 2. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh Costwell
KETERLIBATAN/PENAMPAKAN
STADIUM
I Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ
ekstralimfatik (IE)
II Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2
regio yang letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi
diafragma yang sama (IIE)
III Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi
diafragma ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau
limpa (IIIES)
IV Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ
ekstralimfatik
SUFFI
X
A Tanpa gejala B
B Terdapat salah satu gejala di bawah ini:
 Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan
sebelum diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui
penyebabnya
 Demam intermitten > 38° C
 Berkeringat di malam hari
X Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan
diameter > 10 cm, atau , massa mediastinum dengan ukuran
> 1/3 dari diameter transthoracal maximum pada foto polos
dada PA

1.7 Diagnosis dan diagnosis banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorik, dan Patologi Anatomik.
Pemeriksaan:
1. Anamnesis Umum
 Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) atau organ
 Malaise umum
 Berat badan menurun >10% dalam waktu 3 bulan
 Demam tinggi 38˚C selama 1 minggu tanpa sebab
 Keringat malam
 Keluhan anemia (lemas, pusing, jantung berdebar)
 Penggunaan obat-obatan tertentu.
 Khusus:
- Penyakit autoimun (SLE, Sjorgen, Rheuma)4 o Kelainan darah
- Penyakit infeksi (Toxoplasma, Mononukleosis,Tuberkulosis, Lues, dsb)
- Keadaan defisiensi imun

2. Pemeriksaan Fisik
 Pembesaran KGB
 Kelainan/pembesaran organ (hati/limpa)
 Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky

Limfoma Hodgkin
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah: anemi, eosinofilia, peningkatan laju endap darah, pada flow
cytometry dapat terdeteksi limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi.
b. Pemeriksaan faal hati:
i. Terdapat gangguan faal hati yang tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma pada
hati.
ii. Peningkatan alkali fosfatase dan adanya ikterus kolestatik dapat merupakan gejala
paraneoplastik tanpa keterlibatan hati.
c. Pemeriksaan kolestasis, mendeteksi obstruksi biliaris ekstrahepatik karena
pembesaran kelenjar getah bening porta hepatis.
d. Pemeriksaan faal ginjal:
i. peningkatan kreatinin dan ureum dapat diakibatkan obstruksi ureter.
ii. Adanya nefropati urat dan hiperkalsemi dapat memperberat fungsi ginjal.
iii. Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik dapat terjadi.
iv. Hiperurisemi merupakan manifestasi peningkatan turn-over akibat limfoma.
v. Hiperkalsemi dapat disebabkan sekunder karena produksi limfotoksin (osteoclast
activating factor) oleh jaringan limfoma.
vi. Kadar lactase dehydrogenase (LDH) darah yang meningkat dapat
menggambarkan massa tumor dan tum-over.
vii. Poliklonal hipergamaglobulinemi sering didapatkan pada limfoma Hodgkin dan
Non Hodgkin.
2. Biopsi Sumsum Tulang
Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging, keterlibatan sumsum tulang
pada limfoma Hodgkin sulit didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang.
3. Radiologis
a. Pemeriksaan foto toraks untuk melihat limfodenopati hilar dan mediastinal, efusi
pleura atau lesi parenkim paru.
b. Obstruksi aliran limfotik mediastinal dapat menyebabkan efusi chylous (seperti susu).
c. USG abdomen kurang sensitif dalam mendiagnosis adanya limfodenopati.
d. Pemeriksaan CT Scan toraks untuk mendeteksi abnormalitas parenkim paru dan
mediastinal sedangkan
e. CT Scan abdomen memberi jawaban limfodenopati retro peritoneal, mesenterik,
portal, hepatosplenomegali atau lesi di ginjal.

Pentahapan (Staging)
Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai prognosis.
1. Stadium I, keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau struktur jaringan limfoid
(limpa, timus, cincin Waldeyer) atau keterlibatan 1 organ ekstralimfatik.
2. Stadium II, Keterlibatan ≥2 regio kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama
(kelenjar hiIus bila terkena pada kedua sisi termasuk stadium II); keterlibatan lokal 1
organ ekstranodal atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama
(IIE). Jumlah regio anatomik yang terlibat ditulis dengan angka (contoh :II3).
3. Stadium III, Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma (Ill),
dapat disertai lien (Ills), atau keterlibatan 1 organ ekstranodal (lllE) atau keduanya (lllSE).
a. Stadium III1 Dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening splenik, hilar,seliak
atau portal.
b. Stadium III2 Dengan keterlibatan kelenjar getah bening paraaorta, iliaka dan
mesenterika.
4. Stadium IV Keterlibatan difus/diseminata pada 1 atau lebih organ ekstranodal atau
jaringan dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening.

Keterangan yang dicantumkan pada setiap stadium:

A Tanpa gejala
B Demam (suhu >38oC), keringat
malam, penurunan berat badan >
10 % dalam waktu 6 buIan
sebelumnya)
X Bulky disease (pembesaran
mediastium > 1/3, adanya massa
kelenjar dengan diameter
maksimal 10 cm)
E Keterlibatan 1 organ ekstranodal
yang contiguous atau proksimal
terhadap regio kelenjar getak
bening PS
Limfoma Non CS Clinical stage Hodgkin
1. Pemeriksaan PS Pathologic stage (misalnya Diagnostik
a. Biopsi ditentukan pada laparotomi) eksisional atau core
biopsy
i. Biopsi KGB
Dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan
perifer. Jika terdapat kelenjar superfisial/ perifer yang paling representatif, maka
tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal. Kelenjar getah bening yang
disarankan adalah dari leher dan supraclavicular, pilihan kedua adalah aksila dan
pilihan terakhir adalah inguinal.
Spesimen kelenjar diperiksa:
a) Rutin Histopatologi: sesuai klasifikasi WHO terbaru
b) Khusus Immunohistokimia Molekuler (hibridisasi insitu) EBV
ii. Diagnosis awal harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya
dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka
kombinasi core biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain (IHK,
Flowcytometri dan lain-lain) mungkin dapat mencukupi untuk diagnosis.
b. Laboratorium
1) Rutin
i. Hematologi:
 Darah Perifer Lengkap (DPL): Hb, Ht, leukosit,trombosit, LED, hitung
jenis
 Gambaran Darah Tepi (GDT): morfologi sel darah
 Analisis urin : urin lengkap
ii. Kimia klinik:
 SGOT, SGPT, Bilirubin (total/ direk/ indirek), LDH, protein total,
albumin-globulin
 Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kreatinin
 Gula darah sewaktu Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P
 HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg)
iii. Khusus:
 Gamma GT
 Serum Protein Elektroforesis (SPE)
 Imunoelektroforesa (IEP)
 Tes Coomb
 B2 mikroglobulin
c. Aspirasi Sumsum Tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina illiaca
dengan hasil spesimen minimal panjang 1.5 cm, dan disarankan 2 cm.
d. Radiologi
Untuk pemeriksaan rutin/ standard dilakukan pemeriksaan CT Scan thorak/ abdomen.
Bila fasilitas tersedia, dapat dilakukan PET CT Scan.
e. Konsultasi THT
Bila Cincin Waldeyer terkena dilakukan laringoskopi.
f. Cairan tubuh lain (Cairan pleura, cairan asites, cairan liquor serebrospinal)
Jika dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, disamping
pemeriksaan rutin lainnya.
g. Konsultasi jantung
Menggunakan echogardiogram untuk melihat fungsi jantung
Diagnosis Banding
DB Limfoma Hodgkin (Kapita Selekta)
Limfoma non-Hodgkin, kanker paru, toksoplasmosis, tuberkulosis

DB Limfoma Non Hodgkin (PP LNH)


1. Infeksius:
a. Bakteri (sifilis, brucellosis)
b. Virus (mononukleosis infeksius, sitomegalovirus, HIV, cat scratch fever)
c. Mikobakterium (tuberkulosis)
d. Parasit (toxoplasma)
2. Autoimun:
a. Lupus eritrematosus sistemik
b. Sindrom Sjögren
c. Derivatif Hidantoin
3. Granulomatosis: Sarkoidosis
4. Neoplasma:
a. Penyakit Hodgkin
b. Leukemia limfositik kronik
c. Karsinoma sel kecil paru
d. Histiositosis maligna
e. Melanoma
f. Neoplasma sel germinal
5. Kondisi lainnya:
a. Hiperplasia limfoid reaktif
b. Granulomatosis limfomatoid
c. Limfadenopati dermatopati
d. Limfadenopati angioimunoblas
e. Penyakit Castleman

1.8 Tatalaksana
Limfoma Hodgkin
Pengobatan limfoma Hodgkin adalah radioterapi ditambah kemoterapi, tergantung dari
staging (Clinical stage = CS) dan faktor risiko.

Radioterapi meliputi extended field radiotherapy (EFRT), involved field radiotherapy


(IFRT) dan radioterapi (RT) pada Limfoma Residual atau Bulky Disease.

Faktor risiko untuk terapi menurut German Hodgkin 's Lymphoma Study Group (GHSG)
meliputi:
1. Massa mediastinal yang besar
2. Ekstranodal
3. Peningkatan laju endap darah, ≥ 50 untuk tanpa gejala atau ≥ 30 untuk dengan gejala (B)
4. Tiga atau lebih regio yang terkena

Menurut EORTC/GELA (European Organization for Research and Treatment of


Carcinoma/ Groupe d'Etude des Lymphomes de l'Adulte) faktor risiko yaitu:
1. Massa mediastinal yang besar
2. Usia 5O tahun atau lebih
3. Peningkatan laju endap darah
4. Keterlibatan 4 regio atau lebih

Dalam guideline yang dikeluarkan oleh National Comprehensive Cancer Network (2004)
regiman kemoterapi yang direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V sebagai
kemoterapi terpilih.

Terapi lain Penyakit Hodgkin yang masih diteliti adalah: lmunoterapi dengan antibodi
monoklonal anti CD 20, imunotoksin anti CD 2S, bispesifik monoklonal antibodi CD 16/CD
30 bispesifik antibodi dan radio immunoconjugates.
Limfoma Non Hodgkin
Pilihan terapi bergantung pada beberapa hal, antara lain: tipe limfoma (jenis histologi),
stadium, sifat tumor (indolen/agresif), usia, dan keadaan umum pasien.

LNH INDOLEN/ Low grade: (Ki-67 < 30%)


Yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
1. SLL/ small lymphocytic lymphoma/ CLL= chronic lymphocytic lymphoma
2. MZL (marginal zone lymphoma), nodal, ekstranodal dan splenic)
3. Lymphoplasmacytic lymphoma
4. Follicular lymphoma gr 1-2
5. Mycosis Fungoides
6. Primary cutaneous anaplastic large cell lymphoma

A. LNH INDOLEN STADIUM I DAN II


Radioterapi memperpanjang disease free survival pada beberapa pasien. Standar pilihan
terapi :
1. Iradiasi
2. Kemoterapi dilanjutkan dengan radiasi
3. Kemoterapi (terutama pada stadium ≥2 menurut kriteria GELF)
4. Kombinasi kemoterapi dan imunoterapi
5. Observasi
B. LNH INDOLEN / low grade STADIUM II bulky, III, IV. Standar pilihan terapi:
1. Observasi (kategori 1) bila tidak terdapat indikasi untuk terapi.
Termasuk dalam indikasi untuk terapi:
a. Terdapat gejala
b. Mengancam fungsi organ
c. Sitopenia sekunder terhadap limfoma
d. Bulky
e. Progresif
f. Uji Klinik
2. Terapi yang dapat diberikan:
a. Rituximab dapat diberikan sebagai kombinasi terapi lini pertama yaitu R-CVP.
Pada kondisi dimana Rituximab tidak dapat diberikan maka kemoterapi kombinasi
merupakan pilihan pertama misalnya: COPP, CHOP dan FND.
b. Purine nucleoside analogs (Fludarabin) pada LNH primer
c. Alkylating agent oral (dengan/ tanpa steroid), bila kemoterapi kombinasi tidak
dapat diberikan/ ditoleransi. (cyclofosfamid, chlorambucil)
d. Rituximab maintenance dapat dipertimbangkan
e. Kemoterapi intensif ± Total Body irradiation (TBI) diikuti dengan stem cell
resque dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu.
f. Raditerapi paliatif, diberikan pada tumor yang besar (bulky) untuk mengurangi
nyeri/obstruksi.
C. LNH INDOLEN/ low grade RELAPS
Standar pilihan terapi:
1. Radiasi paliatif
2. Kemoterapi
3. Transplantasi sumsum tulang

LNH AGRESIF / High grade: (Ki-67 > 30%)


Yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
1. MCL (Mantle cell lymphoma, pleomorphic variant)
2. Diffuse large B cell lymphoma, Follicular lymphoma gr III, B cell lymphoma
unclassifiable with features between diffuse large B cell and Burkitt,
3. T cell lymphomas

A. LNH STADIUM I DAN II


Pada kondisi tumor non bulky (diameter tumor <7,5 cm) dengan kriteria: pasien muda
risiko rendah atau rendah menengah (aaIPI score ≤1) dan risiko tinggi atau menengah-
tinggi (aaIPI ≥2), bila fasilitas memungkinkan, kemoterapi kombinasi R-CHOP 6 siklus
merupakan protokol standar saat ini serta dapat dipertimbangkan pemberian radioterapi
(untuk konsolidasi), atau kemoterapi 3 siklus dilanjutkan dengan radioterapi.
B. LNH STADIUM I -II (BULKY), III DAN IV
1. Bila memungkinkan, pemberian kemoterpi RCHOP 6 siklus ± radioterapi konsolidasi,
dipertimbangkan pada stadium I dan II
2. Uji klinik pada stadium III dan IV
C. LNH REFRAKTER/ RELAPS
1. Pasien LNH refrakter yang gagal mencapai remisi, dapat diberikan terapi salvage
dengan radioterapi jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila
memungkinakan adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi sumsum
tulang
2. Kemoterapi salvage seperti R-DHAP maupun R-ICE

LNH “LEUKEMIA -LIKE”: Lymphoblastic, Burkitt, “double hit” lymphoma.


1. High dose chemotherapy plus radioterapi diikuti dengan transplantasi sumsum tulang

1.9 Komplikasi
Limfoma Hodgkin
1. Komplikasi Akibat penyakitnya langsung: Penekanan pada organ, khususnya jalan napas
dan usus.
2. Akibat efek samping pengobatan
a. Radioterapi dapat meningkatkan risiko keganasan sekunder (khususnya pada tulang,
payudara, melanoma, sarkoma, lambung dan tiroid);
b. Kemoterapi dapat menyebabkan mielosupresi, mudah terserang infeksi;
c. Radioterapi dan kemoterapi dapat menyebabkan infertilitas.

Limfoma Non Hodgkin


1. Akibat penyakitnya langsung: penekanan pada organ, khususnya jalan napas dan usus
2. Akibat efek samping pengobatan:
a. Radioterapi dapat meningkatkan risiko keganasan sekunder (khususnya tulang,
payudara, melanoma, sarkoma, lambung, dan tiroid);
b. Kemoterapi dapat menyebabkan mielosupresi, mudah terserang infeksi;
c. Radioterapi dan kemoterapi dapat menyebabkan infertilitas.

1.10 Prognosis
Limfoma Hodgkin
Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progresi penyakit FFR
(Freedom From Progression), yaitu :
1. Jenis Kelamin,
2. Usia >45 tahun;
3. Stadium IV;
4. Hb < 10 gr%;
5. Leukosit > 15000/ mm3 ;
6. Limfosit <600/mm3 atau <8% leukosit
7. Serum albumin <4 gr%

Perkiraan prognosis:
1. Pasien tanpa faktor risiko FFP = 84%,
2. Satu faktor risiko FFP = 77%,
3. Dua faktor risiko FFP = 67%,
4. Tiga faktor risiko FFP = 60%,
5. Empat faktor risiko FFP = 51%,
6. Lima faktor risiko atau lebih FFP = 42%.

Limfoma Non Hodgkin


1. Derajat keganasan rendah: tidak dapat sembuh, namun dapat hidup lebih lama (median
survival 10 tahun);
2. Derajat keganasan menengah: sebagian dapat disembuhkan;
3. Derajat keganasan tinggi: lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi
kombinasi intensif, usia harapan hidup lebih singkat apabila tidak diobati.
Angka harapan hidup 5 tahun pada pasien yang menjalani pengobatan berkisar antara
30% (pada derajat keganasan tinggi) hingga >50% (pada derajat keganasan rendah).
DAFTAR PUSTAKA

Kanker.kemkes.go.id. Panduan Penatalaksanaan Limfoma Non-Hodgkin. Diakses pada 30


Maret 2021 dari http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKLimfoma.pdf

Kanker.kemkes.go.id. Brosur Limfoma, dalam Informasi kanker untuk umum. Diakses pada
30 Maret 2021 dari http://kanker.kemkes.go.id/guidelines_read.php?id=4&cancer=9

Setiati, Seti, dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.

Tanto, Chris, dkk. (2016). Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-4 Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius.

Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma Non-Hodgkin Yang
Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam volume 2; 96-102

Hoffbrand A.V. 2005. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC;

Santoso, M., Krisfu, C. 2004. Diagnostik dan Penatalaksanaan LNH. Dexa media: No. 4(17).

Bruce D. Cheson. 2007. Revised Response Criteria for Malignant Lymphoma. Journal Of
Clinical Oncology. Volume 25(5); 581

Kementerian Kesehatan RI. 2015. Panduan Nasional Penanganan Limfoma Non-Hodgkin.


Jakarta.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Data dan Kondisi Penyakit
Limfoma di Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai