A. Pengantar
Upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan berbagai upaya yang melibatkan
banyak pihak dalam kerangka pencegahan dan penindakan. Misalkan dalam bentuk
pengorganisasian massa, advokasi isu, sosialisasi kebijakan anti korupsi, dan penegakan
hukum. Lembaga peradilan, sebagai ujung tombak dari penegakan hukum, mempunyai
peranan sangat penting dalam upaya pencegahan dan penindakan, terutama dalam
memberikan efek jera bagi para koruptor.
Proses pemantauan dan pengumpulan data vonis tindak pidana korupsi (tipikor) telah rutin
dilakukan oleh ICW sejak tahun 2005. Melalui proses ini pula dapat diidentifikasi tren pelaku
korupsi, putusan pengadilan, potensi kerugian negara, hingga pasal-pasal yang digunakan
baik oleh jaksa dalam menuntut tersangka, maupun pasal yang digunakan oleh hakim untuk
menghukum para pelaku korupsi. Hasil pemantauan ini juga diharapkan dapat menjadi dasar
dalam memberikan rekomendasi bagi Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) untuk
melakukan perbaikan dalam kinerja fungsi pengawasan.
Dalam hal ini penulis sebagai alumnus dari Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) ICW tahun kemudian
tergerak pikirannya untuk membuat sebuah catatan tentang tren vonis korupsi di Jawa
Tengah, tempat dimana penulis berasal. Catatan ini berawal dari kegusaran penulis akan fakta
kejahatan korupsi yang masif dan terstruktur, serta kultur masyarakat Indonesia yang masih
memandang bahwa perilaku korup dan segala bentuknya merupakan perilaku yang ‘lazim’
dalam proses berbangsa bernegara. Penulis melihat bahwa catatan ini selain sebagai bentuk
tindak lanjut dari kegiatan SAKTI tersebut, catatan ini dapat menjadi awal pengungkapan
fakta dari permukaan gunung es ‘korupsi’, terutama dari proses pemberian hukuman bagi
para koruptor yang kemudian dapat diketahui oleh masyarakat.
Catatan pemantauan vonis perkara korupsi yang terfokus di Jawa Tengah mungkin bisa
dikatakan adalah catatan yang pertama kali dilakukan. Hal ini tentunya berangkat dari
maraknya kasus korupsi yang tersebar di beberapa kabupaten dan kota di provinsi ini. Fakta
ini didukung dengan 36 kasus di provinsi Jawa Tengah selama tahun 2018 yang kemudian
menempatkan provinsi Jawa Tengah dalam urutan kedua wilayah dengan kasus korupsi
terbanyak setelah Jawa Timur dengan 52 kasus. Kerugian yang ditimbulkan dari korupsi dalam
kurun waktu tersebut juga tidak sedikit. Kerugian negara akibat kasus korupsi di Jawa Tengah
pada tahun 2018 mencapai Rp, 152.9 Miliyar. Jika dilihat dari latar belakang pekerjaan, pelaku
korupsi didominai oleh swasta dan aparat desa dengan masing-masing 17 orang.
Metodologi yang penulis gunakan dalam pemantauan putusan pengadilan untuk perkara
korupsi pada tahun 2018 di Jawa Tengah adalah mengumpulkan data yang diperiksa dan
Dari hasil rekapitulasi data yang penulis lakukan, banyak data yang tidak teridentifikasi. Hal
ini disebabkan masih ada putusan yang tidak ditemukan atau kurang infromatifnya Direktori
Putusan MA, SIPP PN Kota Semarang, maupun dari sumber berita dari media massa.
Dalam catatan ini, penulis membagi tingkatan putusan ke dalam 3 (tiga) kategori. Pertama,
vonis rigan dalam rentang kurang dari satu tahun sampai dengan 4 tahun. Kedua, vonis
sedang antara 4 hingga 10 tahun. Dan yang ketiga, vonis berat dengan hukuman lebih dari 10
tahun penjara. Penulis menggunakan 4 tahun sebagai kategori ringan didasarkan pada
hukuman minimal penjara dalam Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Sepanjang tahun 2018, penulis melakukan pemantauan terhadap perkara yang telah
divonis di tingkat pertama yaitu sebanyak 80 perkara dengan 91 terdakwa, dengan total
pidana denda sebesar Rp. 7,100,000,000 dan total pidana tambahan uang pengganti
sebesar Rp. 19,085,348,972. Sedangkan berdasarkan hasil keseluruhan pemantauan, rata-
rata vonis pidana penjara yang dijatuhkan hakim di pengadilan tingkat pertama adalah 2
tahun 7 bulan. Dari keluruhan data yang berhasil penulis dapatkan, ada 13 kasus yang
berlanjut ke tingkat banding, dan ada 3 kasus yang sampai tingkat kasasi. Adapun data
tersebut bisa meningkat, karena ada 14 data vonis penjara dan pidana denda tidak
teridentifikasi.
TABULASI VONIS
No. PUTUSAN KET JUMLAH RATA - RATA
1 RINGAN < 1 tahun - 4 tahun 51
2 SEDANG 4 tahun - 10 tahun 20 2 TAHUN 7 BULAN
3 BERAT >10 Tahun 0
4 BEBAS/LEPAS 6
5 Tidak teridentifikasi 14
JUMLAH 91
Tabel I. Tabulasi Vonis
Dari data di atas, terlihat bahwa pengadilan tingkat pertama dalam hal ini PN Kota Semarang
masih cenderung menjatuhkan vonis dalam ketegori ringan. Hal ini tentunya menjadi
perhatian bagi kita, bahwa hukuman pidana sebagai upaya penjeraan bagi pelaku korupsi
masih jauh dari harapan. Hal ini patut disayangkan, karena kejahatan korupsi merupakan
kejahatan berat yang pelakunya harus mendapatkan hukuman yang setimpal.
BEBAS/LEPAS
7%
BERAT
0%
Dari keseluruhan terdakwa, terdapat 80 orang yang berhasil diidentifikasi terkait dengan
vonis hukuman. Sebanyak 51 orang (56%) diputus dengan kategori ringan; 20 terdakwa (22%)
diputus dengan kategori sedang; tak ada satu pun terdakwa yang diputus dengan kategori
berat; 6 orang terdakwa diputus bebas/lepas; dan 14 orang (15%) tidak dapat penulis
identifikasi kategori vonisnya. Hal ini dikarenakan tidak adanya informasi yang penulis
dapatkan dari acuan sumber resmi, baik Direktori Putusan MA, SIPP PN, maupun media
massa.Sebagai tambahan, dari keseluruhan perkara, terdapat 13 perkara yang berlanjut ke
tingkat banding dan 3 perkara ke tingkat kasasi.
Merujuk pada data diatas dan riset-riset sebelumnya, diketahui bahwa pengadilan belum
memutuskan secara maksimal atas vonis terhadap pekalu korupsi. Padahal sebagaimana kita
tahu bahwa korupsi merupakan extraordinary crime atau kejahatan luarbiaa yang mempunyai
dampak besar dan meluaskan. Hakim dirasa terlalu memberikan kompromi dan tidak adanya
upaya progresif dalam menjatuhkan vonis terhadap para koruptor. Belum ada analisis yang
jelas mengapa hakim masih sering memberikan putusan yang maksimal mengingat fakta ini
justru tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Adanya 15 persen data yang tidak
teridentifikasi menunjukan bahwa kurang informatifnya PN Kota Semarang secara khusus dan
MA secara umum dalam memberikan data kepada masyarakat untuk dapat diakses. Hal ini
kembali menimbulkan pertanyaan penulis terkait transparansi data dan informasi di dalam
instansi penegak hukum di Indonesia.
Berdasar pada data yang berhasil penulis himpun, dari total 91 terdakwa terdapat 83 pelaku
yang berhasil penulis identifikasi latar belakang pekerjaan atau profesinya. Adapun 4 (empat)
profesi yang mendominasi perkara korupsi di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2018
perangkat desa, yatiu sejumlah 26 orang (29 %), kemudian ada Aparatur Sipil Negara (ASN)
baik di lingkungan Pemda/Pemkot/Pemprov dengan 19 orang(21%),selanjutnya ada pelaku
swasta sejumlah 17 orang (17%), dan korupsi yang melibatkan pegawai di lingkungan BUMN/
BUMD.
Kedua adalah korupsi yang menjerat ASN di Jawa Tengah. Berdasarkan pada data di atas,
nampaknya perilaku korup yang dilakukan penyelenggara negara dalam hal ini ASN masih
marak terjadi. Ada 19 orang pejabat negara yang terjerat kasus korupsi di Jawa Tengah pada
tahun 2018. Konsistensi ASN dalam mendominasi tingginya angka korupsi di Jawa Tengah
menunjukkan ada masalah serius dalam tata kelola pemerintahan daerah. Komitmen
pemerintah daerah dalam melakukan reformasi birokrasi yang bersih dan bebas dari KKN
nampaknya masih menjadi angan-angan. Fakta ini juga didukung oleh data ICW bahwa tren
pelaku korupsi di Indonesia yang berkedok ASN masih terus mendominasi dalam kurun
waktu 2015-2017 yang mencapai 883 terdakwa.
Ketiga yaitu korupsi yang dilakukan oleh pihak Swasta. Praktik ini biasanya dilakukan di
sektor pengadaan barang dan jasa, penerbitan izin usaha, yang di dalamnya juga terdapat
modus suap dan gratifikasi yang juga melibatkan pejabat negara. Sektor BUMN/ BUMD atau
perusahan milik pemda juga tidak luput dari praktik korupsi. Data penulis menyebutkan ada
11 orang pegawai BUMN/BUMD yang terbukti terlibat dalam kasus korupsi. Kasus yang
paling mencolok adalah korupsi pengadaan pupuk urea yang melibatkan Perum Perhutani
yang melibatkan banyak unsur di dalamnya.
Masifnya korupsi yang terjadi di daerah merupakan bukti lemahnya pengawasan dari
pemerintah terkait, serta belum adanya komitmen untuk menegakan hukum yang
mempunyai dampak jera bagi pelaku korupsi.
Selain pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian
negara merupakan bentuk lain dari pemidanan yang wajib/ dapat dijatuhkan kepada
terdakwa korupsi. Pidana ini adalah bentuk dari semangat untuk memperberat pidana badan,
sekaligus untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan oleh praktik haram ini.
Akan tetapi dalam praktiknya, tambahan pidana denda dan pidana tambahan berupa uang
pengganti kerugian negara tidak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh negara. Data
ICW menyebutkan pada tahun 2017 total pidana denda yang dijatuhkan pengadilan adalah
sebesar Rp110,668 M dan pidana uang pengganti total sebesar Rp1,446 T. Namun, di sisi lain
negara mengalami kerugian sebesar Rp29,419 T. Sebuah angka yang sangat tidak sebanding.
Berikut penulis sampaikan data terkait tabulasi denda yang telah berhasil diidentifikasi.
TABULASI DENDA
NO. PUTUSAN KETERANGAN JUMLAH
1 Ringan 0- Rp. 100,000,000,- 50
Rp. 100,000,000 - Rp.
2 Sedang 20
500,000,000,-
3 Berat > Rp. 500,000,000,- 0
4 Bebas/Lepas 6
5 Tidak Teridentifikasi 14
6 Tidak Dikenai Denda 1
JUMLAH 91
Tabel II. Tabulasi Denda
60
50
40
30
20
10
0
RINGAN
Rp19.085.348.972
Rp7.100.000.000
KERUGIAN NEGARA
DENDA
UANG PENGGANTI
Rp152.976.475.299
Diagram 4. Sebaran Perbandingan Total kerugian, pidana denda, dan uang pengganti
Diagram sebaran di atas telah menunjukkan bahwa adanya ketimpangan antara jumlah
uang pendapatan negara dari hasil pidana denda dan uang pengganti dengan dengan
kerugian yang negara derita dari korupsi yang dilakukan di Jawa Tengah dalam kurun waktu
2018. Data diatas menunjukkan bahwa negara hanya memperoleh total Rp26,185,348,972
atau Rp26,1 M dari hasil pidana dendan dan uang pengganti. Sedangkan pada saat yang
sama negara mengalami kerugian Rp152,9 M atau 6 kali lipat dari total pendapatan. Sekali
lagi ini bukanlah angka yang sebanding dengan kerugian yang negara alami.
KERUGIAN NEGARA
PER-SEKTOR
160.000.000.000
140.000.000.000
120.000.000.000
100.000.000.000
80.000.000.000
60.000.000.000
40.000.000.000
20.000.000.000
-
Bidang korupsi yang menempati posisi kedua adalah bidang pertanian dan peternakan
dengan 14 perkara. Kasus korupsi yang terjadi di antaranya adalah korupsi bantuan alat berat
pertanian, korupsi dana bantuan pupuk organik, eradikasi pertanian, korupsi bantuan sapi,
pengadaan pupuk urea, dan sebagainya. Faktor yang menyebabkan tingginya angka korupsi
di sektor tersebut adalah sebagai puncak lemahnya pengawasan dari pemerintah dalam
pengadaan dan penyaluran bantuan dan program dalam bidang peternakan dan
pertanian.Hal yang menjadi perhatian penulis adalah korupsi yang terjadi pada bidang
pertanahan yaitu sebanyak 8 kasus. Bentuk korupsi dilakukan sengan pungli sertifikasi tanah
pada Proyek Operasi Nasional Agraris (PRONA). Ini menjadi sesuatu yang miris ketika program
sertifikasi tanah menjadi program unggulan pemerintahan Presiden Jokowi, akan tetapi di sisi
lain masih adanya pengawasan yang lemah dan kemudian dimanfaatkan oleh penyelenggara
negara.
Dalam perkara korupsi, berat-ringannya sebuah putusan tidak dapat terlepas dari berat-
ringannya tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa. Dari total 91 tersangka korupsi, hanya 85 orang
tersangka yang dapat kami identifikasi berdasarkan tuntutan Jaksa. Sebagai gambaran umum,
rata-rata tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa adalah 3 tahun 2 bulan. Sebagaimana putusan
hakim dalam perkara korupsi, mayoritas tuntutan hakim juga termasuk dalam kategori ringan.
0; 0%
25; 27%
60; 66%
Dari gambaran di atas, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa, putusan hakim
merupakan sebuah refleksi dari rendahnya tuntutan jaksa. Tidak merupakan hal yang
mengagetkan jika putusan hakim adalah mayoritas ringan manakala tuntutan jaksa juga
masih dalam kategori ringan. Ada beberapa tersangka yang dituntut jaksa dengan kategori
Penggunaan pasal dalam dakwaan perkara korupsi turut mempengaruhi besaran pidana yang
dijatuhkan kepada terdakwa. Hal ini dikarenakan setiap pasal dalam UU Tipikor memiliki
pidana minimal dan maksimal. Misalnya, pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor disebutkan bahwa
pidana pernjara minimal yang dapat dijatuhkan terhadap perlaku korupsi adalah 4 (empat)
tahun dan maksimal 20 tahun. Akan tetapi dalam praktiknya baik hakim maupun jaksa akan
menggunakan menimbang berdasarkan pada alat-alat bukti yang ditemukan dalam proses
penyidikan.
Dalam hal ini penulis mencantumkan 16 pasal yang sering digunakan dalam proses perkara
korupsi, 13 pasal yang mengatur 30 bentuk tindak pidana korupsi dan 3 pasal yang mengatur
6 tindak pidana lain yang berkaitan dengan tipikor.Pasal-pasal adalah pasal yang terdapat
dalam UU Tipikor. Pasal-pasal tersebut dapat diliat dalam tabel di bawah ini
Dari total 91 tersangka yang dituntut dipengadilan, ada sekitar 65 % (59)tersangka dan 35
terdakwa yang dikenai Pasal 3. Dapat ditarik kesimpulan bahwa rata-rata tuntutan dan vonis
yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi masih menggunakan batas minimal hukuman,
artinya pidana penjara masih berkisar 1 tahun dan pidana denda di angka Rp50,000,000.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah, faktor apa yang kemudian dapat membuat jera
para pelaku korupsi? Apabila APH masih menggunakan batas minimal hukuman?
C. Kesimpulan
Pertama, putusan putusan pengadilan tingkat pertama, dalam hal ini PN Kota Semarang
pada tahun 2018 masih sangat mengecewakan. Rata-rata vonis yang dijatuhkan hanya 2
tahun 7 bulan atau tergolong dalam kategori ringan. Vonis pidana penjara yang rendah
tentunya sangat disayangkan. Hal ini berarti bahwa para koruptor tidak akan mengalami
efek jera. Selain itu pidana denda dan pidana tambahan berupa uang pengganti tidaklah
maksimal. Negara hanya mendapatkan sekitar 17% dari total kerugian yang negara alami.
Hal diperburuk dengan tidak adanya pelaku yang dijerat dengan upaya pemiskinan berupa
pasal pencucian dalam UU TPPU untuk memaksimalisasi pengembalian aset.
Hal sama yang kita ketahui adalah atas nama HAM, para pelaku korupsi bisa mendapatkan
remisi dan pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan HAM. Para koruptor juga
dapat dengan mudah mendapatkan fasilitas ruang tahanan yang mewah, dan sekali lagi,
atas nama Hak Politik, para eks napi koruptor bisa menjadi calon anggota legislatif dalam
pemilu tahun ini.
Kedua,total pidana denda dan uang pengganti tidak sesuai dengan kerugian yang negara
alami. Pada tahun 2018, jumlah kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan korupsi di
Jawa Tengah yang berhasil diidentifikasi berjumlah Rp152,976,475,299 atau Rp152,9 M.
Dari total kerugian negara tersebut, total pidana denda dan pidana tambahan berupa uang
pengganti hanya Rp26,185,348,972 atau Rp26,1 M atau hanya sekitar 17%
Perbedaan yang sangat jauh antara kerugian dan aset yang kembali ke negara patut
disayangkan, karena pada dasarnya pidanan denda dan uang pengganti adalah perkara-
perkara yang berkaitan dengan kerugian negara. Pidana ini pada awalnya akan mampu
Ketiga, tuntutan Jaksa masih masuk dalam kategori ringan. Jika rata-rata vonis hanya sekita
2 tahun 7 bulan, maka besaran rata-rata tuntutan jaksa adalah 3 tahun 2 bulan. Tuntutan
ini masih masuk dalam kategori ringan dibawah 4 tahun. Sudah barang tentu, apabila jaksa
menuntut terdakwa korupsi dengan tuntutan penjara yang rendah, maka hakim akan
bertolak dari angka tersebut untuk mempertimbangkan putusannya.
Keempat, pasal favorit dalam menuntut dan memvonis para koruptor. Selama tahun 2018,
tercatat pasal favorit tersebut adalah pasal 3 UU tipikor. Ada sekitar 65% dari total
tersangka yang dituntut dengan pasal tersebut, dan 35 terdakwa yang divonis dengan pasal
sapu jagad tersebut. Nampaknya pasal sapu jagad tersebut dipandang sebagai pasal yang
lebih umum dan dapat menjangkau tindak pidana yang konstruksi perkaranya relatif serupa.
Selain itu juga APH juga enggan menggunakan pasa lain yang dianggap sulit dalam
pembuktiannya.
Kelima, latar belakang profesi dan bidang yang terjadinya korupsi. Dalam hal ini tentunya
harus menjadi perhatian yang serius bahwa ada yang salah dalam tata kelola pemerintahan,
terutama pemerintah desa. Data di atas menyebutkan bahwa pemerintah desa menjadi
peringkat pertama baik dalam sektor atau bidang terjadi korupsi maupun latar bekalang
profesinya yang melibatkan aparat desa. Tersapat 26 terdakwa korupsi berlatar belakang
pemerintah desa yang terjerat kasus korupsi di Jawa Tengah selama tahun 2018. Modus
yang terjadi adalah penyalahgunaan Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), Pungutan
Liar terkait PRONA, dan sebagainya. Problematika ini harus dipandang secara serius,
mengingat alokasi anggaran untuk desa setiap tahun selalu meningkat. Bukan mustahil pula
hal ini akan menjadikan angka korupsi di Desa semakin meningkat.
Muhammad Afit Khomsani. Afit merupakan alumnus Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) Indonesia
Corruption Watch tahun 2018, sebuah pelatihan yang diperuntukkan bagi aktivis LSM,
pemuda dan mahasiswa Indonesia, yang kemudian diharapkan mampu menyebarkan virus-
virus integritas, anti korupsi serta mampu menjadi penggerak isu dan gerakan anti korupsi
di daerah. Penulis juga beberapa kali pernah mengikuti pelatihan anti korupsi seperti kelas
Politik Cerdas Berintegritas tingkat Pratama dan Madya KPK RI (2016/2017), Sekolah Politik
(2017), serta JENESYS Program, pertukaran budaya bagi mahasiswa Indonesia di Jepang
(2017). Selain isu anti korupsi, penulis merupakan pegiat kajian dan literasi filsafat,
terutama yang fokus dalam kajian filsafat politik dan korupsi.
Pada saat ini penulis sedang aktif membangun Komunitas Semarang anti Korupsi
(ig:@semarangsakti), sebuah komunitas yang konsen dalam isu dan gerakan anti korupsi di
Jawa Tengah. Untuk komunikasi lebih lanjut dapat menghubungi email:
muhammadafit6@gmail.com atau nomor handphone 0821-3594-1773.