Anda di halaman 1dari 6

TUGAS AGAMA ISLAM

SEJARAH PENCATATAN HADITS

DISUSUN OLEH:

NAMA: RHEDO FRANCESCO

NPM: G1A019064

KELAS: A

DOSEN PENGAMPU:

1. LUKMAN, Drs., M.Ag

PROGRAM STUDI INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BENGKULU
2020

1
SEJARAH PENGUMPULAN HADITS
Menurut sejarah, bangsa Arab pra-Islam merupakan bangsa yang buta
huruf, yang tidak mengenal baca-tulis. Berangkat dari realitas ini, Ali as-Sayis
menganggap para sahabat hanya mengandalkan hafalan mereka dalam
menyimpan hadits Nabi. Mereka tidak menulisnya, karena Rasulullah Saw sendiri
tidak pernah memerintahkan mereka menulis apa yang didengar, sebagaimana
beliau memerintahkan menulis Al-Quran. Bahkan justru sebaliknya, Rasulullah
Saw melarang menulis hadis.
Pendapat ini beliau sandarkan pada riwayat yang dibawakan oleh Imam Muslim:
“Jangan kalian tulis apa yang berasal dariku. Barang siapa yang menulis selain Al-
Quran hendaknya menghapusnya.”
Riwayat di atas, menurut As-Sayis, dengan jelas menunjukan larangan penulisan
As-Sunnah semasa hidup Nabi.
Dengan mendasarkan pada riwayat ini, kalangan Ahlussunnah berpendapat
bahwa hadis Nabi baru ditulis pada permulaan abad kedua Hijriah atas perintah
Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada salah seorang pembantunya di Madinah,
Abu Bakar Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, dalam ucapannya yang terkenal:
“Lihatlah hadis-hadis Rasulullah Saw dan sunnahnya, kemudian tulislah, karena
aku khawatir akan hilangnya ilmu dengan perginya ulama.”
Itulah pendapat kalangan Ahlussunnah yang mengatakan bahwa hadis Nabi baru
terkumpul dua abad sepeninggal Rasulullah Saw.
Dengan mencermati riwayat lain, pendapat tersebut bertentangan dengan
sebagian riwayat yang juga dibawakan oleh salah tokoh Ahlussunnah yang lain,
yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, dalam Musnad-nya. Riwayat Ibnu Hanbal justru
menunjukkan izin Rasululullah Saw kepada sebagian sahabatnya untuk menulis
segala apa yang didengarnya.
Seperti yang dapat kita lihat dalam riwayat berikut:
“Abdullah bin Amr bin al-Ash menulis segala yang didengar dari Rasulullah Saw.
Namun perbuatan ini ditentang oleh sebagian sahabat karena Rasulullah Saw
adalah manusia biasa yang terkadang berkata dalam keadaan ridha atau marah.
Maka ia menahan diri untuk menulis dan bertanya kepada Rasulullah Saw:
Apakah aku boleh menulis segala yang aku dengar? Beliau menjawab: Ya.
Abdullah bertanya lagi: Dalam keadaan rela maupun marah? Beliau menjawab:
Ya, karena aku tidak akan berkata melainkan yang haq.”
Dalam bab yang lain Ibnu Hanbal meriwayatkan sebagai berikut: dari Thariq
bin Syihâb, ia berkata, “Aku menyaksikan Imam Ali berkata di atas mimbar: Demi
Allah, kami tidak memiliki apa yang kami bacakan untuk kalian, selain Kitabullah

2
dan shahifah ini yang digantung dengan pedangnya. Aku mengambilnya dari
Rasulullah Saw, di dalamnya terkandung kewajiban shadaqah.”
Di atas hanyalah sebagian riwayat dari kalangan tokoh Ahlussunah yang
saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Dalam membawakan riwayat
pengumpulan Al-Quran mereka sudah saling bertentangan. Dalam riwayat
penulisan hadis Nabi pun setali tiga uang dengannya. Seperti biasa, kalangan
Ahlussunah mencocok-cocokkan riwayat yang bertentangan dengan keyakinan
mereka. Kalangan ulama Ahlussunnah bersilang pendapat dalam menyikapi
riwayat larangan penulisan hadis Nabi.
Muhammad Abdul Aziz al-Hulli berpendapat bahwa hadis nahy alkitâbah
(larangan penulisan) telah di-nasakh. Larangan tersebut berlaku manakala timbul
kekhawatiran akan terjadinya percampuran antara hadis dengan Al-Quran.
Namun, di saat kekhawatiran seperti itu telah hilang maka penulisan hadis
menjadi dibolehkan. Sedangkan Mana’ al-Qathan, sambil menukil pendapat
sebagian ulama, berpendapat; bahwa larangan berlaku pada penulisan hadis
dengan Al-Quran dalam satu mushaf.
Meski ada pendapat seperti itu dikalangan ulama Ahlussunah sendiri, Ali as-
Sayis beserta mereka yang keukeuh (tetap) menyatakan hadis Nabi baru ditulis
pada abad ke dua hijriah, tetap menolak pendapat kalangan sejawatnya
Ahlussunah yang menyatakan hadis ditulis sejak zaman Rasulullah Saw. Sikap
keras kepalanya didasarkan pada alasan masih meluasnya buta huruf di kalangan
umat Islam dan agar hadis tidak bercampur dengan Al-Quran, juga agar kaum
muslimin saat itu tidak hanya menghafal hadits saja lalu berpaling dari menghafal
Al-Quran.
Dalam menghadapi polemik seperti di atas, pendapat yang menyatakan
bahwa hadis telah ditulis semenjak zaman Rasulullah Saw lebih dapat diterima
akal sehat dan mendekati kebenaran. Adapun alasan penolakan yang diduga
karena masih meluasnya buta huruf (al-ummiyyah) tertolak dengan kenyataan
sejarah yang membuktikan bahwa Rasulullah Saw mengizinkan para tawanan
Perang Badar—yang bisa baca tulis—untuk mengajari sepuluh dari penduduk
Madinah. Hal ini menunjukan bahwa umat Islam pasca-Perang Badar sudah bisa
baca tulis.
Dengan demikian, buta huruf bukan merupakan ciri umum umat Islam pada
waktu itu. Bagaimana mungkin Rasulullah Saw melarang umatnya menulis
susuatu yang akan menjaganya dari kesesatan? Fa’tabirû yâ ulil-abshâr.
Alasan agar hadis tidak tercampur dengan Al-Quran juga bertentangan
dengan karakteristik mukjizat Al-Quran dengan perhatian berlebih yang diberikan

3
oleh umat Islam kepada Al-Quran. Sedemikian rupa sehingga sedikit saja ada
kesalahan baik dalam huruf, bacaan, ataupun susunan bahasannya (i‘rab) segera
dapat diketahui oleh umat Islam. Maka mustahil Al-Quran akan bercampur
dengan ucapan makhluk.
Memang, para ulama sepakat dengan keadilan khalifah Umar bin Abdul
Aziz, yang menurut sebagian pemerhati sejarah adalah yang pertama kali
menghimpun Sunnah Nabi secara resmi. Bukan untuk menolak usaha mulia
khalifah Umar bin Abdul Aziz, kiranya pendapat yang menyatakan hadis sudah
ditulis semenjak zaman Rasulullah Saw lebih dapat diterima akal sehat. Riwayat
Ibnu Hanbal di atas mendukung pendapat ini bahwa Rasulullah Saw mengizinkan
sebagian sahabatnya untuk menulis segala apa yang didengarnya. Tulisan-tulisan
itu kemudian dikumpulkan dengan nama shahâ’if.
Berangkat dari realitas ini, maka, apa saja yang dilakukan oleh para penulis
hadis yang datang setelah masa sahabat hanyalah sekadar menghimpun dan
memasukan apa-apa yang terkandung dalam shahâ’if tersebut ke dalam tulisan
mereka. Maka dari itu, tidaklah aneh bila shahâ’if tersebut tidak sampai pada
generasi sekarang ini, kecuali shahâ’if Ali yang senantiasa dijaga oleh para
penerusnya dan diriwayatkan dari generasi ke generasi.
Menurut Syekh ‘Abdul Ghoffar ar-Rahmani dalam Pengantar Tadwin
(Pengumpulan) Hadits, proses panjang penjagaan dan pemeliharaan hadits
berlangsung melalui tiga cara. Yaitu, umat yang mengamalkan hadis tersebut,
hafalan (hifzun) dan tulisan (kitabah), serta periwayatan dan pengajaran.
Dengan metode-metode tersebut, pengumpulan, pengklasifikasian, tabwib
(penyusunan formasi), dan penulisan hadis dibagi menjadi empat periode, yakni:

Periode Pertama
Periode pertama berlangsung selama rentang hidup Nabi Muhammad SAW
hingga sepanjang abad pertama Hijriah. Pada masa ini, Rasulullah hidup, bergaul
dan berbicara dengan masyarakat dan para sahabat, baik di masjid, rumah, pasar,
maupun saat berjumpa dengan musafir. Apa yang disampaikan oleh Nabi SAW
senantiasaa diperhatikan secara saksama oleh para sahabat yang menjadi
periwayat hadis kendati masih berupa hafalan. Beberapa penghafal hadis terkenal
pada periode ini adalah Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Abbas, Aisyah ash-Shiddiqah,
Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, dan lain-lain.

Periode Kedua
4
Periode ini dimulai sekitar pertengahan abad kedua Hijriah. Selama periode
ini, sejumlah besar tabi’in menghimpun karya mereka dalam bentuk buku.
Beberapa penghimpun hadis pada periode ini adalah Muhammad bin Syihab az-
Zuhri (ia dianggap sebagai ulama hadis terbesar di zamannya), Abdul Malik bin
Juraij, Mu’ammar bin Rasyid, Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Hammad bin
Salamah, Abdullah bin al- Mubarak, dan Malik bin Anas (w. 179 H). Di antara karya
tulis pada periode ini adalah Al- Muwaththa’ karya Imam Malik.

Periode Ketiga
Dimulai pada abad ke-2 H hingga akhir abad ke-4 H, ketika hadis-hadis Nabi,
atsar sahabat, dan aqwal (ucapan) tabi’in dikategorisasikan, dipisahkan, dan
dibedakan. Selain itu, riwayat-riwayat yang maqbulah (diterima) dihimpun secara
terpisah dan buku-buku dari periode kedua diperiksa kembali untuk
diautentifikasi.
Pada periode ini pula, hadis-hadis dipelihara dan dijaga. Hal itu diwujudkan
para ulama dengan memformulasikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis
(lebih dari 100 ilmu) hingga menghasilkan ribuan buku mengenai hadis. Salah satu
penyusun hadis yang berasal dari periode ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal
(164-241 H). Ia menyusun kitab Musnad Ahmad yang berisi 30 ribu hadis dalam
24juz.
Periode Keempat
Periode ini dimulai pada abad kelima hingga hari ini. Karya-karya yang
dihasilkan dalam periode ini, antara lain penjelasan (syarh), catatan kaki (hasyiah),
dan penerjemahan buku-buku hadis ke dalam berbagai bahasa. Pada periode ini
pula, para ulama menyusun kitab hadis dengan mencuplik dari kitab-kitab yang
pernah ditulis dan disusun pada abad ketiga.
Ulama hadis selanjutnya lalu menyusun syarh atau penjelasan dari buku-
buku penjelasan hadis di atas. Misalnya, Muhammad Ismail ash- Shon’ani (wafat
1182 H) menulis kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Maram yang berisi
penjelasan kitab karya Ibnu Hajar al-Asqolani itu, atau Nailul Awthar karya Qadhi
asy-Syaukani yang memuat penjelasan dari kitab Muntaqa al-Akhbar.

DAFTAR PUSTAKA
5
Nasrullah, Nashih. 2018. 4 Periode Pengumpulan Hadits. Dapat diakses di
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
nusantara/18/01/23/p3039u313-4-periode-pengumpulan-hadis. Diakses
pada tanggal 18 Maret 2020.
Ulum, Muhammad Babul. 2008. Merajut Ukhuwah, Memahami Syiah. Jakarta:
Marja.

Anda mungkin juga menyukai