PENDAHULUAN
Birokrasi adalah fenomena kehidupan yang telah lama dikenal oleh umat
manusia sejak zaman dahulu. Sejak manusia sebelum lahir sampai meninggalnya,
seorang manusia yang hidup di dunia akan senantiasa berurusan dengan institusi
pemerintah yang kita kenal dengan nama birokrasi itu. Tetapi, Kondisi birokrasi
Indonesia di era reformasi saat ini bisa dikatakan belum menunjukan arah
perkembangan yang baik, karena masih banyak ditemukan birokrat yang arogan dan
menganggap rakyatlah yang membutuhkannya, praktik KKN yang masih banyak
terjadi, dan mentalitas birokrat yang masih jauh dari harapan
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengatasi persoalan ini, namun yang
sering kali terjadi adalah adanya dampak sampingan sebagai akibat dari buruknya
alokasi personil, sehingga ada daerah yang kekurangan pegawai dan sementara
ada daerah yang kelebihan pegawai. Seandainya ditotal secara umum dan
1
dibandingkan dengan kebutuhan, mungkin tampak terlihat relatif ramping, tetapi
karena buruknya alokasi personil menyebabkan sosok birokrasi itu menjadi gembrot
dan lamban kinerjanya. Meskipun upaya perampingan birokrasi itu diperlukan, akan
tetapi jauh lebih penting lagi adalah menata struktur kelembagaan (organisasi) agar
lebih ramping, efektif dan efisien dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
2
1.3. Tujuan
3
BAB II
KAJIAN TEORITIK
Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas
pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur
dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara
lain adalah tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien. Reformasi
bertujuan mengoreksi dan membaharui terus-menerus arah pembangunan bangsa
yang selama ini jauh menyimpang, kembali ke cita-cita proklamasi. Reformasi
birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus
globalisasi. Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden
dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan
kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama.
4
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efesien tapi juga
reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Reformasi birokrasi memang akan diterapkan dijajaran kementerian dan
lembaga pemerintah. Mereformasi birokrasi kementerian dan lembaga memang
sudah saatnya dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi saat ini. Dimana
birokrasi dituntut untuk dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat dan
profesional. Birokrasi merupakan faktor penentu dalam mencapai tujuan
pembangunan nasional.
5
2.2. Pengertian dan Konsep Good Governance
6
B. KONSEP GOOD GOVERNANCE
Konsep good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan
struktur hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik. Human interest adalah
faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya
sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang
tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan
individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan
internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi
benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance”
benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat
antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”.
1. Partisipasi Masyarakat
3. Transparansi
6. Kesetaraan
8. Akuntabilitas
9. Visi Strategis
7
Tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan), Wujud nyata prinsip
tersebut antara lain dapat dilihat apabila masyarakat mempunyai kemudahan
untuk mengetahui serta memperoleh data dan informasi tentang kebijakan,
program, dan kegiatan aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di tingkat
pusat maupun daerah.
Tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat, Masyarakat yang
berkepentingan ikut serta dalam proses perumusan dan/atau pengambilan
keputusan atas kebijakan publik yang diperuntukkan bagi masyarakat,
sehingga keterlibatan masyarakat sangat diperlukan pada setiap pengambilan
kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.
Tata pemerintahan yang bertanggung jawab/ bertanggung gugat (akuntabel),
Instansi pemerintah dan para aparaturnya harus dapat
mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya. Demikian halnya dengan kebijakan,
program, dan kegiatan yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan.
Tata pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum, Wujud nyata prinsip
ini mencakup upaya penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM,
peningkatan kesadaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, serta
pengembangan budaya hukum. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan
menggunakan aturan dan prosedur yang terbuka dan jelas, serta tidak tunduk
pada manipulasi politik.
Tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus,
Perumusan kebijakan pembangunan baik di pusat maupun daerah dilakukan
melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif.
Keputusan-keputusan yang diambil antara lembaga eksekutif dan legislatif
harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil
benar-benar merupakan keputusan bersama.
Tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi, Wujud
nyata dari prinsip profesionalisme dan kompetensi dapat dilihat dari upaya
penilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat
kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari
upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Tata pemerintahan yang cepat tanggap (responsif), Aparat pemerintahan
harus cepat tanggap terhadap perubahan situasi/kondisi mengakomodasi
aspirasi masyarakat, serta mengambil prakarsa untuk mengatasi berbagai
masalah yang dihadapi masyarakat.
8
Tata pemerintahan yang menggunakan struktur & sumber daya secara efisien
& efektif, Pemerintah baik pusat maupun daerah dari waktu ke waktu harus
selalu menilai dukungan struktur yang ada, melakukan perbaikan struktural
sesuai dengan tuntutan perubahan seperti menyusun kembali struktur
kelembagaan secara keseluruhan, menyusun jabatan dan fungsi yang lebih
tepat, serta selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan
memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia secara efisien
dan efektif.
Tata pemerintahan yang terdesentralisasi, Pendelegasian tugas dan
kewenangan pusat kepada semua tingkatan aparat sehingga dapat
mempercepat proses pengambilan keputusan, serta memberikan keleluasaan
yang cukup untuk mengelola pelayanan publik dan menyukseskan
pembangunan di pusat maupun di daerah.
Tata pemerintahan yang mendorong kemitraan dengan dunia usaha swasta
dan masyarakat, Pembangunan masyarakat madani melalui peningkatan
peran serta masyarakat dan sektor swasta harus diberdayakan melalui
pembentukan kerjasama atau kemitraan antara pemerintah, swasta, dan
masyarakat. Hambatan birokrasi yang menjadi rintangan terbentuknya
kemitraan yang setara harus segera diatasi dengan perbaikan sistem
pelayanan kepada masyarakat dan sektor swasta serta penyelenggaraan
pelayanan terpadu.
Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan kesenjangan,
Pengurangan kesenjangan dalam berbagai bidang baik antara pusat dan
daerah maupun antardaerah secara adil dan proporsional merupakan wujud
nyata prinsip pengurangan kesenjangan. Hal ini juga mencakup upaya
menciptakan kesetaraan dalam hukum (equity of the law) serta mereduksi
berbagai perlakuan diskriminatif yang menciptakan kesenjangan antara laki-
laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup, Daya
dukung lingkungan semakin menurun akibat pemanfaatan yang tidak
terkendali. Kewajiban penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan
secara konsekuen, penegakan hukum lingkungan secara konsisten,
pengaktifan lembaga-lembaga pengendali dampak lingkungan, serta
pengelolaan sumber daya alam secara lestari merupakan contoh perwujudan
komitmen pada lingkungan hidup.
9
2.3. Penataan Kelembagaan Dalam Reformasi Birokrasi
Adapun visi reformasi birokrasi yang tercantum dalam lembaran Grand design
Reformasi Birokrasi Indonesia adalah terwujudnya pemerintahan kelas dunia. Visi
tersebut menjadi acuan dalam mewujudkan pemerintahan kelas dunia, yaitu
pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu
menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen
pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan pada abad ke
21 melalui tata pemerintahan yang baik pada tahun 2025.
10
Untuk mencapai visi dan misi serta tujuan dari reformasi birokrasi tersebut
maka ditetapkan 8 (delapan) area perubahan dan hasil yang diharapkan meliputi
seluruh aspek manajemen pemerintahan, seperti yang dikemukanan pada table
dibawah ini
Dan dalam rangka mempercepat pencapaian hasil area perubahan refomasi
birokrasi tersebut maka ditetapkanlah 9 (sembilan) Program Percepatan Reformasi
Birokrasi. Program percepatan digunakan oleh seluruh instansi pemerintah untuk
mendukung pelakansaan refomasi birokrasi di instansi masing-masing baik
Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah. 9 Program percepatan reformasi
birokrasi adalah sebagai berikut.
11
BAB III
PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN DARI PENATAAN KELEMBAGAAN
DALAM REFORMASI BIROKRASI
3.1. Permasalahan
3.2. Pembahasan
Oleh karena itu, Sharp dalam Budi Setiyono (2014: 141) mengatakan bahwa
lembaga (organisasi) adalah merupakan sekumpulan orang yang bekerja di
dalamnya untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses mencapai tujuan tersebut,
suatu lembaga (organisasi) seringkali berhadapan dengan berbagai macam
masalah, kendala, dan keterbatasan yang dapat menyebabkan mereka gagal,
kurang berhasil, atau bahkan bubar.
12
hidup sekumpulan nilai, norma dan kultur, yang sudah barang tentu sangat berbeda
dengan nilai, norma dan kultur yang ada di lembaga (organisasi) di tempat lain.
Selanjutnya, bagaimana sifat kultur, norma dan nilai ini terhadap perilaku
lembaga (organisasi), apakah mendukung atau justru menghambat., terkait dengan
ini, maka terdapat dua pandangan yang berbeda sebagaimana dikemukakan Milne
dan Cohen dalam Soesilo Zauhar (2012: 65), bahwa dalam pandangan Milne
menganggap kalau kultur yang dibawa oleh setiap anggota suatu lembaga
(organisasi) biasanya tidak begitu mendukung terhadap aktivitas lembaga
(organisasi) dan kebanyakan lembaga (organisasi) tidak mampu mengubah kultur
tersebut dalam rangka reformasi administrasi.
(1) terpenuhinya mandat dalam “political marketplace” dan aspirasi pengguna jasa
atau stakeholders.
Sementara di sisi yang lain, lembaga (organisasi) publik juga harus mampu
menjalankan tugas sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh A.M. Williams dalam Khaerul Umam (2012: 24-25) antara lain:
13
(1) Organisasi harus mempunyai tujuan yang jelas.
14
3.2. Penataan Lembaga Dalam Konteks Good Governace
15
Pada konteks penataan kelembagaan, Sedarmayanti (2013: 79) menawarkan
beberapa konsep penataan melalui:
Aliansi, mensinergikan seluruh actor yaitu, pmerintah, dunia usaha dan
masyarakat dalam tim solid.
Menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, ramping, fleksibel
berdasar prinsip good governace.
Menyempurnakan struktur jabatan Negara dan jabatan negeri.
Reposisi jabatan struktural dan fungsional.
Restrukturisasi: tindakan merubah struktur yang dipandang tidak sesuai
dengan tuntan zaman dan tidak efektif lagi dalam memajukan lembaga
(organisasi). Menata ulang kemabli kelembagaan pemerintah, membangun
organisasi sesuai tuntutan kebutuhan.
Reorientasi: mendefinisikan kembali visi, misi, peran, strategi, implementasi
dan evaluasi kelembagaan pemrintah.
Menerapkan strategi organisasi, struktur lembaga (organisasi) yang efektif,
efisien, rasional dan proporsional.
Menerapkan prinsip-prinsip organisasi (lembaga)
Refungsionalisasi: tindakan/upaya memfungsi kembali yang sebelumnya tidak
atau belum berfungsi
Revitalisasi: upaya member tambahan energy/daya kepada lembaga
(organisasi) agar dapat mengoptimalkan kinerja organisasi.
16
Kita ketahui, dalam birokrasi terdapat berlapis-lapis tingkatan dari bawah
keatas mulai dari staf seksi, bagian, biro dan seterusnya. Hal seperti ini juga dapat
mengurangi pesan optimal birokrasi karena :
Mengakibatkan ketidak-efesienan organisasi dalam mencapai tujuan.
Timbul ekonomi biaya tinggi baik pada instansi birokrasi itu sendiri maupun
pada pengguna jasanya.
Terdapat potensi pertentangan antara unit dan induk organisasi
Terjadi proses kerja yang top down dan budaya minta petunjuk dari bawahan
keatasan.
Penataan kelembagaan yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat
struktur organisasi ramping dan flat/tidak banyak hirarki dan struktur organisasi lebih
dominan pemegang jabatan professional/fungsional dari pada jabatan struktural.
Olehnya itu, untuk dapat mereformasi sikap mental dan memperbaiki kondisi sistem
kerja birokrasi pemerintah ada tiga hal yang pokok perlu dilakukan sebagaimana
yang dikatakan oleh Budi setiyono (2012).
17
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
18
DAFTAR PUSTAKA
http://www.herachaqy.com/2016/02/makalah-reformasi-
kelembagaan.html
https://www.kompasiana.com/rudharjs/54f928caa3331178178b4694/urge
nsi-penataan-kelembagaan-di-lingkungan-pemerintah
http://celotehlestarius.blogspot.com/2015/03/pengertian-dan-konsep-
good-governance.html
https://datarental.blogspot.com/2016/04/konsep-good-governance-
dalam.html
http://pemerintah.net/reformasi-birokrasi/
http://www.mediapustaka.com/2014/06/reformasi-birokrasi-di-
indonesia.html
http://pemerintah.net/contoh-rencana-aksi-reformasi-birokrasi/
http://paulinusbendu.blogspot.com/2015/11/makalah-reformasi-
birokrasi.html
19