Anda di halaman 1dari 16

Gabungan Tindak Pidana

Gabungan tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau samenloop yang berarti
perbarengan melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Dalam KUHP, gabungan
melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan Samenloop van Strafbare Feiten, yaitu satu
orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana. Sehingga, pelaku gabungan tindak pidana telah
berturut-turut melakukan beberapa perbuatan pidana tanpa memberi kesempatan pada pengadilan
untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman atas salah satu perbuatan tersebut.
Gabungan tindak pidana juga sering dipersamakan dengan perbarengan melakukan tindak
pidana, dimana seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan
hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-masing perbuatan itu berdiri
sendiri yang akan diadili sekaligus yang salah satu dari perbuatan itu belum mendapatkan keputusan
tetap. Adapun aturan terkait dengan gabungan tindak pidana telah diatur dalam Bab VI Buku I
KUHP mulai dari Pasal 63 s.d. Pasal 71.

Bentuk-Bentuk Gabungan Tindak Pidana dalam KUHP


Dalam KUHP Indonesia, dikenal tiga macam gabungan tindak pidana:
1. seseorang dengan satu perbuatan melakukan beberapa tindak pidana yang disebut gabungan
berupa satu perbuatan (concursus idealis/eendadse samenloop),
2. seseorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungannya antara satu dengan yang
lain serta masing-masing dari perbuatan tersebut diatur dalam satu aturan yang disebut gabungan
beberapa perbuatan (meerdaadse samenloop), dan
3. seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana, tetapi
dengan adanya hubungan antara satu sama lain dianggap sebagai suatu kesatuan yang disebut
perbuatan berlanjut (voorgezette handeling).
Berikut ini akan dijelaskan lagi secara lebih terperinci mengenai macam-macam gabungan tindak
pidana tersebut.

Gabungan Tindak Pidana Berupa Satu Perbuatan


Mengenai gabungan tindak pidana berupa satu perbuatan diatur dalam Pasal 63 KUHP.
Gabungan tindak pidana berupa satu perbuatan ini terjadi apabila seseorang melakukan satu
perbuatan dan ternyata dengan melakukan satu perbuatan tersebut terjadi beberapa tindak pidana.
Dengan kata lain, satu perbuatan itu telah melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Oleh
karena itu, ada beberapa sarjana yang menggunakan istilah “perbarengan peraturan” atau
“perbarengan ketentuan pidana” seperti Van Bemmelen, E.Y. Kanter, S. R. Sianturi, dan Adami
Chazawi. Sedangkan beberapa sarjana lain seperti Wirjono Prodjodikoro, R. Soesilo, Loebby
Loqman, Utrecht, A.Z. Abidin, dan Ignatius Sriyanto menggunakan istilah (yang pada intinya)
gabungan tindak pidana berupa satu perbuatan. Adapun Leden Marpaung dan Remmelink ternyata
bertahan menggunakan istilah aslinya yaitu concursus idealis atau eendaadse samenloop.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyimpulkan apa yang dimaksud gabungan tindak pidana
berupa satu perbuatan adalah satu tindakan yang dilakukan (aktif/pasif) oleh seseorang yang dengan
tindakan terebut terjadi dua/lebih tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam perundangan.
Dalam bentuk gabungan tindak seperti ini kemudian dapat diambil unsur-unsurnya yaitu:
1. Ada satu perbuatan (aktif/pasif);
2. Masuk dalam lebih dari satu aturan pidana (terdapat beberapa tindak pidana);
3. Dikenakan aturan pidana yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat;
4. Jika dari aturan aturan tersebut ada yang lebih khusus maka hanya yang khusus itulah yang
diterapkan.
Adapun Pasal 63 Ayat (1) KUHP hanya mengatur seseorang yang melakukan satu perbuatan
dan dengan satu perbuatan itu melanggar beberapa aturan pidana (ada beberapa tindak pidana).
Namun, bagaimana bila seseorang dengan satu perbuatan melanggar satu peraturan pidana berkali
kali yang artinya melakukan satu tindak pidana beberapa kali. Maka menurut doktrin, terdapat suatu
concursus idealis homogenius. Concursus idealis homogenius adalah bagian dari eendaadse
samenloop. Sedangkan yang tercantum dalam Pasal 63 (1) KUHP adalah concursus idealis
heterogenius.
Sedangkan Pasal 63 ayat (2) KUHP menjelaskan apabila ada sesuatu perbuatan yang dapat
dipidana menurut ketentuan pidana yang khusus di samping pidana yang umum, maka ketentuan
pidana yang khusus itulah yang dipakai (lex specialis derogat lex generalis). Suatu peraturan pidana
khusus adalah peraturan yang memuat semua bagian dari peraturan pidana umum ditambah dengan
satu atau lebih dari satu bagian.

Gabungan Tindak Pidana dalam Beberapa Perbuatan


Gabungan tindak pidana dalam beberapa perbuatan atau meerdaadse samenloop atau
concursus realis dalam KUHP diatur dalam Pasal 65 s.d. 71 KUHP. Pengertian gabungan tindak
pidana ini dapat dilihat pada Pasal 65, 66, 70, dan 70 bis.
Berdasarkan empat Pasal diatas maka pengertian gabungan tindak pidana dalam beberapa
perbuatan (meerdaadse samenloop/concursus realis) adalah seseorang melakukan beberapa
perbuatan, dan masing-masing perbuatan merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri dan
perbuatan-perbuatan tersebut diadili sekaligus. Tindak pidana tindak pidana yang berdiri sendiri
tersebut dapat berupa tindak pidana yang sama maupun berbeda. Yang harus diperhatikan jika
tindak pidana tindak pidana tersebut sama adalah tbeberapa tindak pidana trsebut harus berdiri
sendiri. Adapun yang dimaksud berdiri sendiri adalah bukan sebagai perwujudan dari satu
kehendak. Oleh KUHP, gabungan tindak pidana yang semuanya berupa kejahatan dibagi-bagi lagi
berdasarkan pidana pokok yang diancamkan, apakah sejenis atau tidak. Jenis-jenis tindak pidana ini
diatur dalam Pasal 10 KUHP yaitu pidana pokok yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda, serta pidana tutupan.
Jenis-jenis pidana berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan
pidana tutupan ini akan menentukan sistem pemidanaan mana yang digunakan dalam gabungan
tindak pidana. Jika ancaman pidana sejenis maka diterapkan Pasal 65 KUHP yang menggunakan
stelsel pemidanaan absorbsi diperberat (verscrepte absorptive stelsel). Sedangkan akan diterapkan
stelsel kumulasi terbatas (gemagtide cumulatie stelsel) menurut Pasal 66 KUHP bila ancaman
pidananya tidak sejenis. Apabila salah satu tindak pidana yang menyusun gabungan tindak pidana
berupa pelanggaran maka akan dikenakan stelsel pemidanaan kumulasi murni seperti yang diatur
dalam Pasal 70 KUHP. Begitupun bila terdapat keadaan seperti yang diatur Pasal 70 bis KUHP
maka karena dianggap ada pelanggaran akan dikenakan pula stelsel pemidanaan kumulasi murni
sesuai Pasal 70 KUHP.
Dari pembahasan gabungan tindak pidana dalam beberapa perbuatan maka perlu diperhatikan
juga ketentuan mengenai delik tertinggal. Delik tertinggal adalah tindak pidana yang seharusnya
juga ikut menyusun gabungan tindak pidana dalam beberapa perbuatan oleh karena itu seharusnya
diadili bersamaan. Namun, ternyata tindak pidana ini luput karena belum diketahui saat penyidikan
atau dapat karena belum lengkap alat-alat pembuktiannya sehingga tidak ikut diperiksa dalam
persidangan. Mengenai delik tertinggal KUHP khusus merumuskannya dalam Pasal 71. Dalam
Pasal 71 KUHP diatur bila terjadi delik tertinggal maka pemidanaannya harus diperhitungkan
dengan seolah-olah diadili bersamaan. Sehingga, harus diterapkan stelsel pemidanaan seperti yang
ada pada Pasal 65, 66, atau 70 KUHP.
Ketentuan ini juga ditujukan kepada hakim agar tidak menjatuhkan pidana baru apabila
menghadapi pemisahan gabungan tindak pidana apabila sebelumnya sudah dijatuhkan pidana
terberat. Oleh karenanya, hakim harus mencari tahu terlebih dahulu apakah terdakwa telah diadili
sebelumnya yang dapat menyebabkan perkara yang sedang ditanganinya merupakan delik tertinggal
atau bukan. Ketentuan delik tertinggal dalam Pasal 71 ini tidak hanya diterapkan jika pengadilannya
sama, namun juga apabila berbeda pengadilan. Dalam artian, apabila terdakwa pernah diadili
dengan pengadilan A, maka oleh pengadilan B yang kemudian menangani delik tertinggal harus
berlaku pula Pasal ini.
Perbuatan Berlanjut
Perbuatan berlanjut (voorgezette handeling) memiliki makna yg sama dengan perbuatan terus
menerus (Utrecht), perbuatan yang dilanjutkan (Wirjono Prodjodikoro dan Schravendijk), perbuatan
yang diteruskan (Soesilo), ataupun tindakan yang berlanjut (Lamintang, Kanter, dan Sianturi).
Perbuatan berlanjut dirumuskan dalam KUHP Pasal 64.
Dari uraian pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian perbuatan berlanjut adalah
seseorang melakukan beberapa perbuatan dan perbuatan-perbuatan tersebut merupakan tindak
pidana yang seolah-olah berdiri sendiri, namun karena ada suatu hubungan yang sedemikian rupa
maka harus dianggap sebagai suatu perbuatan berlanjut. Berdasarkan ketentuan pasal ini pula maka
pemidanaan dalam gabungan tindak pidana berupa perbuatan berlanjut menggunakan stelsel
absorpsi murni. Beberapa sarjana berpendapat bahwa perbuatan berlanjut adalah seolah-olah
beberapa tindak pidana telah dijadikan satu (een kunstamatige eenheid van delicten) jadi kini hanya
ada satu tindak pidana saja. Sedangkan, para sarjana lain mengartikan Pasal 64 secara denotatif dan
undang-undang tidak mengenal istilah perbuatan berlanjut. Perbuatan berlanjut sejatinya adalah
pengecualian dari gabungan tindak pidana dalam beberapa perbuatan karena ancaman pidananya
sejenis dengan bentuk gabungan berupa satu perbuatan.
Agar suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai perbuatan berlanjut, maka menurut M.v.T
harus dipenuhi 3 syarat yaitu:
1. Beberapa perbuatan yang dilakukan seseorang itu harus timbul dari satu kehendak yang terlarang
(de handelingen moeten voortvlooien uit eenzelfde ongeoorlofd wilsbesluit).
2. Antara perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu tidak boleh melampaui jangka waktu yang lama
(dat tusschen de handelingen mag geen lang tjidsverloop verstrijken).
3. Beberapa perbuatan yang dilakukan itu harus sama jenisnya (de handelingen moeten
gelijkskoortig zigjn).
Syarat pertama disimpulkan dari perkataan voortgezette (dilanjutkan), syarat kedua agak kabur,
sedangkan syarat ketiga disimpulkan secara a contrario dari bunyi rumusan ayat (2) Pasal 64
KUHP. Adapun Pasal 64 ayat (2) KUHP mengatur perbuatan memalsukan surat atau mata uang dan
dengan maksud mempergunakan surat atau mata uang yang dipalsukan itu sebagai surat atau mata
uang yang sejati yang tidak dipalsukan.

Pengertian Penyertaan
Dalam ilmu hukum pidana Indonesia, pembahasan tentang penyertaan diawali dengan
banyaknya terminologi yang digunakan untuk menerjemahkan kata deelneming ke dalam bahasa
Indonesia. Beberapa orang sarjana hukum pidana Indonesia mempunyai terminologi tersendiri,
misalnya Tresna menggunakan istilah turut campur, Lamintang menggunakan istilah keturutsertaan,
Utrecht menggunakan istilah turut serta, kemudian sarjana lainnya seperti Andi Zainal Abidin dan
Andi Hamzah, Loebby Loqman, dan Moeljatno menggunakan padanan kata penyertaaan untuk
menerjemahkan “deelneming”. Jika diterjemahkan secara harfiah, seperti yang bisa kita lihat dalam
kamus Belanda – Indonesia, kata kerja “deelnemen” berarti ikut mengambil bagian, sementara kata
bendanya adalah “deelneming” yang bermakna pengambil bagian. Jika ditarik kesimpulan dari
pengertian deelneming secara harfiah, maka maksud dengan deelnemer adalah orang (orang) lain
yang ikut ambil bagian dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau merupakan
orang-orang diluar pelaku. Maka dengan pengertian tersebut dapat membedakan apa yang dimaksud
dengan “peserta untuk pembuat selain pelaku” dan pelaku sendiri (physical dader) sebagai pembuat
(dader).

Penyertaan dan Tindak Pidana


Ajaran penyertaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Adapun
mengenai penggolongan peserta tindak pidana berdasarkan Pasal 55 dan 56 KUHP terbagi atas lima
golongan. Pasal 55 KUHP membaginya menjadi empat macam golongan, yaitu yang pelaku
(Pleger), penyuruh (Doenpleger, middelijke dader), orang yang turut serta melakukan
(medepleger), dan orang menggerakan untuk melakukan (uitlokker). Kemudian Pasal 56 KUHP
mengatur mengenai golongan orang yang membantu melakukan (medeplichtiger). Sebenarnya jika
dilihat dari bentuk penyertaannya yang ditafsirkan dari bunyi Pasal 55 KUHP dan 56 KUHP hanya
terdapat empat bentuk penyertaan, yaitu menyuruh melakukan (doenpleger, middelijke dader), turut
serta melakukan (medeplegen), menggerakan untuk melakukan (uitlokken), dan membantu
melakukan (medeplichtigheid). Sedangkan mengenai golongan orang “yang melakukan” tidak dapat
ditafsirkan sebagai bentuk penyertaan. Hal ini dikarenakan tanpa perlu adanya bentuk penyertaan
“orang yang telah melakukan suatu tindak pidana secara langsung (physical dader)” dapat
dimintakan langsung pertanggungjawaban pidananya, tanpa harus melalui ajaran penyertaan
sebagai perluasan pertanggungjawaban pidana. Maka dapat ditegaskan ketentuan tentang siapa-
siapa yang terlibat penyertaan, tidak secara otomatis merujuk kepada bentuk penyertaan yang
dikenal dalam KUHP.
Sehingga penyertaan dalam kaitannya dengan tindak pidana terdapat adanya dua pandangan,
yakni pendapat yang menganggap penyertaan adalah perluasan dari pertanggungjawaban pidana
(Strafausdehnungsgrund); sedangkan pendapat yang lain menyatakan bahwa penyertaan adalah
perluasan dari tindak pidana (Tatbestandausdehnungsgrund). Dalam pandangan konsep
Strafausdehnungsgrund, prinsip sebuah penyertaan merupakan bagian dari delik pokok pelaku,
bukan suatu delik yang berdiri sendiri. Penganut pandangan penyertaan merupakan perluasan
pertanggungjawaban pidana adalah Simons, Van Hattum serta Hazewinkel Suringa. Konsep
penyertaan Strafausdehnungsgrund dianut oleh kaum monisitis. Dalam pandangan monistis,
kemampuan bertanggungjawab tidak pernah disebut secara tegas di dalam undang-undang sehingga
penyertaan bukanlah bestanddel (bagian inti) delik, tetapi hanya merupakan unsur yang diterima
secara diam-diam (stilzwijgend element). Oleh karena itu, dapat ditegaskan dalam paham monistis
perbuatan pidana maupun pertanggungjawaban pidana merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dalam suatu pengertian tindak pidana.
Lain halnya dengan konsep Tatbestandausdehnungsgrund yang mana menurut Moeljatno,
setiap orang baru dapat dimintai pertanggungjawaban pidana kalau dia telah melakukan perbuatan
pidana dan ketentuan-ketentuan tentang penyertaan memberi perluasan kepada norma-norma yang
tersimpul dalam perumusan undang-undang. Pemahaman mengenai konsep ini berangkat dari
prinsip untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, maka seseorang harus melakukan
suatu tindak pidana terlebih dahulu. Pandangan ini juga diikuti oleh A.Z Abidin yang mengatakan
bahwa sebelum orang itu dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, dia harus melakukan
perbuatan pidana terlebih dahulu. Oleh karenanya, dapat disimpulkan selain delik-delik biasa juga
terdapat delik-delik penyertaan dan percobaan yang berdiri sendiri. Pandangan penyertaan yang
merupakan suatu Tatbestandausdehnungsgrund sesuai dengan pandangan dualistis terhadap suatu
tindak pidana. Pandangan dualistis sendiri membedakan bagian inti perbuatan kriminal (actus reus)
yang dinyatakan secara expressis verbis di dalam undang-undang pidana dengan unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana. Pemisahan antara suatu tindak pidana dengan suatu
pertanggungjawaban pidana merupakan suatu konsep baru yang beraliran dualistis. Salah satunya
yang terpenting adalah tidak adanya ketergantungan pada tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
(utama) dalam menentukan pertanggungjawaban peserta. Adapun penganut konsep penyertaan ini
antara lain Pompe, Moeljatno, dan Roeslan Saleh. Menurut Moeljatno pandangan dualistis sesuai
dengan alam Indonesia karena yang diutamakan adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, jadi
lebih ditekankan pada “strafbaarheid van het feit” (hal dapat dipidananya perbuatan).

Bentuk Penyertaan
Masalah Deelneming atau Penyertaan itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur di
dalam Pasal-Pasal 55 dan 56 KUHP. Untuk memperoleh kejelasan mengenai hal ini, akan lebih baik
kita melihat rumusan-rumusan ketentuan-ketentuan pidana di dalam Pasal-Pasal 55 dan 56 KUHP
sebagaimana yang dimaksudkan diatas. Sehingga, oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan
peserta tindak pidana yaitu yang:
1. melakukan perbuatan (plegen, dader),
2. menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader),
3. turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader),
4. membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker),
5. membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige)
Beberapa kalangan sarjana Belanda menafsirkan pengertian dari daders dengan kata pelaku
(plegers),misalnya Simons, Van Hamel, Pompe, dan Tavarne yang mengartikan “als daders”
(sebagai pembuat) sebagai als of zij daders waren (seolah-olah pembuat). Maksudnya, mereka
bukanlah daders, melainkan hanya dianggap sebagai pelaku yang seolah-olah dikualifikasikan
sebagai pembuat. Van Hamel telah mengartikan dader dari suatu tindak pidana itu dengan membuat
suatu definisi yang mengatakan antara lain, bahwa : “(Pembuat-pelaku suatu tindak pidana itu
hanyalah dia, yang tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang
terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas
maupun yang tidak dinyatakan secara tegas. Jadi pembuat- pelaku adalah orang yang dengan
seorang diri telah melakukan sendiri tindak pidana yang bersangkutan).”
Kemudian Van Hattum juga menjelaskan dader adalah: “(Pembuat-pelaku adalah orang
yang memenuhi suatu rumusan delik, atau orang yang memenuhi semua unsur dari rumusan suatu
delik, ataupun yang seperti telah dikatakan oleh Zevenbergen: orang yang telah memenuhi semua
unsur dari suatu delik secara lengkap).”Dari perumusan mengenai pengertian dader di atas, baik
yang yang tafsirkan oleh Van Hattum maupun Van Hamel, dapat diketahui bahwa kedua sarjana
tersebut mempunyai pendapat yang serupa mengenai maksud dan pengertian dari seorang dader.
Kedua sarjana tersebut menyamakan seorang pelaku (pleger) dengan pembuat (dader) dalam suatu
tindak pidana. Lebih jelasnya, peserta-peserta selain pelaku mempunyai suatu kualifikasi yang sama
dengan seorang pelaku. Akan tetapi sebenarnya hal ini menimbulkan suatu perdebatan mengenai
seorang pelaku haruslah memenuhi semua rumusan delik. Oleh karena itu, bagaimana dengan peran
dari peserta tindak pidana yang tidak memenuhi keseluruhan rumusan delik, misalnya seorang
uitlokker ataupun medepleger? Bukankah tujuan dari adanya penyertaan untuk menghukum para
pembuat yang perbuatan mereka itu sendiri tidak memenuhi keseluruhan rumusan delik.
1. Pleger atau Orang yang melakukan
Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana di rumuskan oleh undang- undang,
baik unsur subjektif maupun objektif. Umumnya pelaku dapat diketahui dari jenis delik, yakni
delik formil dan delik materil.
2. Doen plegen atau menyuruh melakukan
Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak
pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang mettelbare tater, yang
artinya seorang pelaku tidak langsung. Dia disebut pelaku tidak langsung karena dia memang
secara tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana, melainkan dengan perantara orang lain.
Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader atau seorang
pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang
dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu hukuman yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri.
Oleh karena dalam bentuk deelneming doen plegen ini selalu terdapat seorang middelijke
dader, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu middelijke daderschap.
Untuk adanya suatu doen plegen seperti yang dimaksudkan di dalam pasal 55 ayat 1 angka 1
KUHP itu, orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu
apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu:
a. adalah seseorang yang ontoerekeningvatbaar seperti yang dimaksudkan didalam pasal 44
KUHP;
b. mempunyai suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak
pidana yang bersangkutan;
c. sama sekali tidak mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang
tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi
tindak pidana tersebut;
d. memenuhi unsur oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan di dalam rumusan
undang-undang mengenai tindak pidana tersebut diatas;
e. telah melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu
keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan
suatu perlawanan;
f. dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan
tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam
itu;
g. tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan
oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah tidak perlu, bahwa orang yang telah menyuruh
melakukan itu harus secara tegas memberikan perintahnya kepada orang yang telah disuruhnya
melakukan sesuatu. Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan
untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus diberikan secara langsung untuk middelijke dader
kepada orang materieele dader. Melainkan dia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang
lain.
3. Medeplegen atau turut melakukan
Medeplegen di samping merupakan suatu bentuk deelneming, maka dia juga merupakan
suatu bentuk daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak pidana, maka biasanya
dia disebut sebagai seorang dader atau seorang pelaku. Apabila beberapa orang yang secara
bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap peserta di dalam tindak pidana itu
dipandang sebagai seorang mededader dari peserta atau peserta lainnya.
Misalnya tiga orang secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dengan bersepeda
secara berjejer di atas jalan umum, yang oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan
sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman. Menurut Prof.
Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk-bentuk keturutsertaan yang telah
dilakukan oleh seorang tertuduh, oleh karena pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah
terjadi itu sendiri sebenarnya telah menunjukkan bentuk keturutsertaan yang dilakukan oleh
masing-masing peserta didalam suatu tindak pidana yang telah mereka lakukan.
Menurut van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila
tindakan tiap-tiap peserta didalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah
menghasilkan suatu daderschap secara sempurna. Menurut Prof. Van Hattum, perbuatan
medepelegen didalam pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk
medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan
oleh orang lain.
Ini berarti bahwa suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu culpoos delict itu dapat
dihukum dan sebaliknya suatu ketidaksengajaan turut melakukan sesuatu opzetettelijk atau suatu
culpos delict itu menjadi tidak dapat dihukum. Ini berarti bahwa menurut Prof. Van Hattum
opzet seorang medeplegen itu harus ditujukan kepada:
a. Maksud untuk bekerjasama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak pidana; dan
b. Dipenuhinya semua unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur opzet yang
harus dipenuhi oleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang disyaratkan dalam rumusan
tindak pidana yang bersangkutan.
Menurut Prof. Legemeijer, baik orang yang mempunyai opzet untuk membunuh korban,
maupun orang yang turut melakukan dengan maksud semata-mata menganiaya korban itu kedua-
duanya harus dipersalahkan telah turut melakukan suatu penganiayaan berat yang menyebabkan
matinya orang lain. Sebagai alasan telah dikemukakannya bahwa bentuk-bentuk daderschap
yang disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga bentuk-
bentuk daderschap tersebut harus disamakan dengan plegen. Menurut Prof. Van Hattum, untuk
adanya suatu medeplegen itu tidak diperlukan adanya suatu kesamaan opzet pada masing-masing
peserta kejahatan.
Perbedaan medeplegen dengan medeplichtigheid disebutkan dalam Memorie van
toechlichting: “Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu
melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut
mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu
hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau
turut melakukan perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang
yang disebutkan terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan”.
Kedua bentuk ini mempunyai akibat yang berbeda-beda, yaitu dihubungkan dengan jenis
delik yang dapat menjadi objek dari kedua bentuk deelneming tersebut. Pada medeplegen yang
dapat dihukum adalah turut melakukan baik kejahatan maupun pelanggaran, sedang pada
medeplichtigheid itu yang dapat dihukum hanyalah membantu melakukan kejahatan saja. Oleh
karena menurut pasal 60 KUHP itu, perbuatan membantu melakukan pelanggaran dinyatakan
sebagai suatu perbuatan yang tidak dapat dihukum.
Dewasa ini sudah tidak lagi menjadi persoalan, apakah orang yang tidak mempunyai suatu
“persoonlijke hoedanigheid” atau suatu “sifat pribadi” itu dapat turut melakukan suatu
kwaliteitsdelict atau tidak, oleh karena menurut paham yang terbaru, seseorang yang tidak
mempunyai kualitas tertentu yang oleh undang-undang telah disyaratkan harus dimiliki oleh
pelakunya itu, dapat saja turut melakukan apa yang disebut kwaliteits delicten, hanya saja dengan
satu syarat, yaitu bahwa mereka itu mengetahui bahwa rekan pesertanya didalam melakukan
suatu kwaliteits delict itu memiliki kualitas seperti itu. Bagi suatu medeplegen, seperti halnya
dengan suatu poging, diperlukan adanya suatu begin van uitvoering atau suatu permulaan
pelaksanaan, walaupun undang-undang sendiri telah mensyaratkan hal tersebut secara tegas.
4. Uitlokking atau menggerakkan orang lain
Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya-
upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang inisiatif berada pada penggerak.
Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif tidak ada pada
penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan harus dipidana sepadan
dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah pelaku yang
digerakkan itu sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan
tindak pidana.
5. Medeplichtigeid atau pembantu
Medeplichtigeid adalah orang yang sengaja member bantuan berupa saran, informasi atau
kesempatan kepada orang lain yang melakukan tindak pidana. Sebagaimana disebutkan dalam
pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua jenis, yaitu:
a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantunya melakukan tidak
disebutkan dalam KUHP, mirip dengan medeplegen (turut serta), tetapi perbedaannya terletak
pada:
1) Pembantu perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedangkan pada turut serta
merupakan perbuatan pelaksanaan;
2) Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerjasama
dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta,orang yang turut
serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerjasama dan mempunyai tujuan
sendiri;
3) Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan dalam turut
serta dalam pelanggaran tetap dipidana;
4) Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi
sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.

Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan,
sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).  Perbedaan pada niat/kehendak,
pada pembantu kehendak jahat materiil sudah ada sejak semula/ tidak ditimbulkan oleh pembantu,
sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat meteriil ditimbulkan
oleh si penganjur.

Dasar Peniadaan Pidana


Dasar-dasar peniadaan pidana (strafuitsluitingsgronden) merupakan keadaan-keadaan yang
membuat hakim tidak dapat mengadili seorang pelaku tindak pidana hingga hakim pun tidak dapat
menjatuhkan suatu pidana terhadap pelaku tersebut. Menurut Memorie van Toelicjting, pembedaan
mengenai peniadaan pidana didasarkan pada sifatnya dengan membandingkan pertanggungjawaban
penyebab-penyebab dalam (diatur dalam Pasal 44 KUHP) dan penyebab-penyebab luar (diatur
dalam Pasal 48 s.d. Pasal 51 KUHP) dari peniadaan pertanggungjawaban tersebut. Selain itu,
doktrin atau ilmu hukum pidana mengenal pembedaan peniadaan pidana secara umum (diatur dalam
Bab III Buku I KUHP) dan peniadaan secara khusus (diatur dalam Pasal 166, Pasal 221 Ayat (2),
dan Pasal 367 Ayat (1) KUHP).
Adapun terhadap perbuatannya tersebut, seseorang tidak dapat dipidana dikarenakan:
1. Meskipun perbuatannya memenuhi rumusan tindak pidana, bukan merupakan suatu tindak
pidana apabila perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, dan
2. Meskipun perbuatannya itu dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, pelaku tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya oleh karena tidak adanya kesalahan.
Sehubungan dengan dua hal di atas, maka doktrin atau ilmu hukum pidana juga membedakan
alasan-alasan peniadaan pidana menjadi alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond – faits
justificatifs) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond – faits d’exuce). Menurut Sianturi, alasan
pembenar merupakan alasan dimana pelaku tindak pidana melakukan perbuatan yang dilarang,
tetapi karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang berlaku yang menjadikan
perbuatan yang dilakukan tidak memilki sifat melawan hukum atau tindakan tersebut dibenarkan.
Sedangkan alasan pemaaf, merupakan alasan dimana pelaku tindak pidana melakukan perbuatan
yang dilarang, tetapi tidak adanya unsur kesalahan pada pelaku karena adanya suatu keadaan
tertentu. Alasan pembenar dan alasan pemaaf dapat dirinci sebagai berikut:
1. Alasan pembenar yang:
a. Umum
1) Keadaan keadaan darurat (noodtoestand) yang merupakan perluasan dari ketentuan Pasal
48 KUHP tentang daya paksa (overmacht);
2) Bela paksa (noodweer) yang diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) KUHP;
3) Melaksanakan ketentuan undang-undang (wettelijk voorschrift) dalam Pasal 50 KUHP;
4) Perintah jabatan yang sah (bevoged gegeven ambtelijk bevel) dalam Pasal 51 Ayat (1)
KUHP.
b. Khusus
1) Para saksi dan dokter yang menghadiri perkelahian tanding yang diatur dalam Pasal 186
ayat (1) KUHP;
2) Pencemaran demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri
sebagaimana diatur dalam Pasal 310 Ayat (3) KUHP;
3) Yang dihina dengan putusan hakim yang menjadi tetap dinyatakan bersalah atas hal yang
dituduhkan yang diatur dalam Pasal 314 Ayat (1) KUHP.
c. Di luar KUHP
1) Hukum disiplin (tuchtrecht) dari orang tua atau wali dan guru;
2) Kewenangan jabatan (beroepsrecht) dari dokter, apoteker, dan penyelidik ilmiah;
3) Fungsi negatif dari sifat melawan hukum yang materil (ontreken/negative van materiele
wederrechtelijkheid).
2. Alasan pemaaf yang:
a. Umum
1) Ketidakmampuan bertanggung jawab (ontoerekeningsvatbaar) yang diatur dalam Pasal 44
KUHP;
2) Daya paksa dalam arti sempit yang diatur pada Pasal 48 KUHP;
3) Bela paksa yang melampaui batas (noodweer exces) yang terdapat pada Pasal 49 Ayat (2)
KUHP;
4) Perintah jabatan yang tidak sah (onbevoged gegeven ambtelijk bevel) yang diatur dalam
Pasal 51 Ayat (2) KUHP.
b. Khusus
1) Mempersiapkan/memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam arti umum sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 110 Ayat (2) KUHP;
2) Penarikan kembali pembujukan untuk melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 163
bis Ayat (2) KUHP;
3) Insubordinasi tidak jadi yang diatur dalam Pasal 464 Ayat (3) KUHP.
c. Di luar KUHP
1) Tidak adanya kesalahan sama sekali (afwezigheid van alle schuld);
2) Alasan peniadaan pidana putatif (putatieve strafuitsluitngsgronden).

Ketidakmampuan Bertanggung Jawab


Dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan bahwa tidak dipidananya seseorang yang melakukan suatu
tindak pidana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya dikarenakan (1) jiwanya cacat
dalam pertumbuhannya: dungu atau pandir dan (2) jiwanya terganggu karena penyakit: keadaan
penyakit yang bersifat patologis. Mengenai ada atau tidaknya dua hal tersebut pada diri seseorang
pelaku tindak pidana, maka hal itu merupakan permasalahan medis yang berarti menjadi
kewenangan dokter untuk menentukannya, sedangkan permasalahan dapat atau tidaknya seseorang
itu dipandang dapat mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya itu, maka hal ini merupakan
suatu pengertian yuridis yang mana menjadi tugas hakim untuk menentukannya.
Menurut van Hamel, suatu kemampuan bertanggung jawab merupakan suatu keadaan yang
normal dan suatu keadaan psikis yang membuat seseorang itu memiliki kemampuan untuk: (1)
mengerti akan maksud yang sebenarnya dari apa yang dilakukannya; (2) menyadari bahwa
tindakannya itu dapat atau tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat; dan (3) menentukan kehendak
terhadap apa yang ingin dilakukannya. Menurut Simon, bahwa pertanggunggjawaban menurut
hukum pidana itu memiliki arti bahwa pertanggungjawban itu muncul karena adanya schuld pada
diri seseorang (yang dipersamakan dengan keadaan psikis dari seorang pelaku yang memungkinkan
pelaku tersebut dapat menilai akan arti dari tindakannya, hingga karena keadaan seperti itu
tindakannya tersebut dapat dipersalahkan terhadap dirinya).

Daya Paksa
Dalam Memorie van Toelichting, daya paksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 48 KUHP
disebut sebagai suatu penyebab yang datang dari luar yang membuat sesuatu perbuatan itu menjadi
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya dan daya paksa juga telah dirumuskan
sebagai setiap kekuatan, setiap paksaan, setiap tekanan, di mana terhadap kekuatan, paksaan atau
tekanan tersebut orang tidak dapat memberikan perlawanan. Adapun yang dimaksud dengan
kekuatan, paksaan, tekanan itu bukanlah yang mutlak, yang memberikan kesempatan kepada
pembuatnya untuk menentukan kehendaknya, melainkan dalam hal ini pembuatnya masih dapat
memilih untuk menentukan kehendaknya itu. Daya paksa itu sendiri terdiri atas:
1. Paksaan mutlak (absolute dwang, physieke dwang, vis absoluta), yang mana petindak (yang
terpaksa melakukan) tidak dapat bertindak lain dari apa yang dipaksakan kepadanya. Semua
daya paksa yang dapat memaksakan seseorang untuk bertindak secara terpaksa dapat berupa
paksanaan badaniah (fisik) atau paksaan rohaniah (psikis). Dalam hal ini, petindak tidak lebih
dari suatu alat yang tidak memiliki kehendak. Petindak yang sebenarnya adalah pemaksa (manus
domina) yang harus dianggap sebagai yang melakukan perbuatan yang dilakukan petindak
(manus ministra).
2. Paksaan relatif (relative dwang, vis compulsiva), yang mana petindak memiliki pilihan walaupun
pilihan itu cenderung dipilihkan oleh pemaksa. Dapat dikatakan pula bahwa pilihan yang ada
tersebut membuat petindak menjadi tidak dapat diharapkan bahkan tidak diharuskan daripadanya
untuk memilih selain dari apa yang dikehendaki pemaksa karena jika petindak berbuat lain maka
dia akan mendapatkan perlakuan dari pemaksa yang tidak dapat dihindarinya yang
mengakibatkan pula kerugian bagi dirinya sendiri. Namun, tidak berarti bahwa setiap paksaan
yang datangnya dari luar petindak selalu menimbulkan daya paksa. Hal ini didasarkan hal yang
layak menurut perhitungan, maupun berdasarkan ketentuan dalam undang-undang bahwa
petindak wajib tidak melakukan (menghindari/mengelak) sesuatu yang dipaksakan padanya.
3. Keadaan darurat (noodtoestand), sebelum petindak melakukan suatu tindakan, petindak itu dapat
memilih sendiri diantara dua atau lebih tindakan yang akan dilakukannya. Sehingga keadaan
darurat merupakan bentuk daya paksa yang bukan disebabkan oleh orang lain (pemaksa),
melainkan timbul dari keadaan-keadaan tertentu yang mana inisiatif untuk menentukan pilihan
dan melaksanakan perbuatan yang dipilihnya ada pada petindak itu sendiri. Adapun keadaan
darurat ini dianggap ada dalam kejadian-kejadian sebagai berikut:
a. Adanya dua kepentingan hukum yang saling bertentangan satu sama lain,
b. Adanya suatu kepentingan hukum yang bertentangan dengan kewajiban hukum di lain pihak,
dan
c. Adanya dua kewajiban hukum yang saling bertentangan satu sama lain.

Bela Paksa
Bela paksa diatur dalam Pasal 49 KUHP, diantaranya mengatur mengenai apa yang disebut
dengan noodweer (bela paksa) yang terdapat pada Pasal 49 Ayat (1) dan noodwerr exces (bela
paksa melampaui batas) yang terdapat pada Pasal 49 Ayat (2). Pasal 49 KUHP ini telah
memberikan kelonggaran kepada seseorang untuk mengadakan pembelaannya sendiri ketika dirinya
secara mendadak diserang atau terancam oleh serangan. Serangan tidak diartikan sebagai kekerasan
saja, melainkan tindakan yang merugikan kepentingan hukum orang lain atas tubuh (termasuk
nyawa), kehormatan, dan atas harta kekayaannya yang berupa benda.
Menurut ketentuan Pasal 49 Ayat (1), syarat untuk menentukan adanya bela paksa itu harus
memenuhi:
1. Perbuatan harus terpaksa dilakukan untuk pembelaan yang sangat perlu;
2. Pembelaan itu hanya dapat dilakukan untuk kepentingan hukum yang ditentukan secara limitatif;
3. Adanya serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat (seketika) pada saat itu yang bersifat
melawan hukum.
Perumusan pasal ini mengutamakan tindakan-tindakan daripada tindakan serangan, tetapi unsur
pokok serangan yang terjadi disesuaikan dengan urutan kejadian yang lebih dahulu terjadi dari
pembelaan. Sehingga antara serangan dan pembelaan yang dilakukan harus ada keseimbangan
antara kepentingan hukum yang dilanggar dengan kepentingan hukum yang dibela (asas
proporsionalitas). Selain itu, digunakan pula asas subsidiaritas yang mengandung arti bahwa
pembelaan yang dilakukan harus terpaksa dilakukan karena tidak ada jalan lain lagi yang mungkin
ditempuh untuk menghindarkan diri dari serangan atau ancaman serangan itu.
Selanjutnya terhadap perbuatan pembelaan yang melampaui batas (noodweer exces), telah
diatur di dalam Pasal 49 Ayat (2) KUHP. Adapun unsur yang membedakannya dengan bela paksa
(noodweer) adalah adanya unsur kegoncangan jiwa yang hebat. Menurut van Hamel, dilampauinya
batas-batas dari suatu pembelaan seperlunya haruslah disebabkan oleh adanya suatu kegoncangan
jiwa yang hebat, tidak hanya disebabkan karena adanya perasaan takut, khawatir, atau bingung,
melainkan juga karena adanya kemarahan, dan perasaan kasihan, sehingga dia tidak lagi normal
untuk menentukan kehendaknya. Perbuatan melampaui batas pembelaan yang diperlukan, dapat
terjadi karena (1) alat yang digunakan dalam pembelaan atau cara pembelaan yang dilakukan terlalu
keras dan (2) yang diserang sebenarnya dapat melarikan diri atau mengelakan ancaman serangan,
tetapi dia masih memilih untuk melakukan pembelaan.
Bagaimana pun juga, kegoncangan jiwa ini harus disebabkan karena adanya serangan atau
ancaman serangan, bukan semata-mata muncul karena adanya sifat mudah tersinggung dari orang
yang diserang. Dalam noodweer exces, ukuran keseimbangan (asas proporsionalitas) perbuatan
pembelaan yang dilakukan dan ancaman atau ancaman serangan yang diterima menjadi berat
sebelah, begitu pula dengan ukuran yang diperkenankan (asas subsidiaritas) yang menjadi longgar
di mana tidak secara ketat lagi terikat kepada tindakan pembelaan yang teringan yang cukup
menghentikan serangan atau ancaman serangan itu sendiri.

Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang


Adapun aturan yang mengatur tidak dapat dihukumnya seseorang apabila dia menjalankan
ketentuan undang-undang diatur dalam Pasal 50 KUHP. Pengertian ketentuan undang-undang
awalnya dipandang dalam arti formil, yaitu aturan yang dibuat oleh pembuat undang-undang. Akan
tetapi, undang-undang saat ini dipandang dalam arti materil, yakni sebagai tiap-tiap aturan yang
dibuat oleh badan (orgaan) yang oleh undang-undang diberi kekuasaan untuk membuat peraturan
yang mengikat lingkungannya. Melaksanakan perintah undang-undang memiliki arti bahwa
perbuatan itu: (1) harus untuk kepentingan umum, (2) tidak terbatas hanya pada perbuatan yang
diwajibkan oleh undang-undang, tetapi juga meliputi perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas
wewenang yang diberikan oleh undang-undang, dan (3) harus dilakukan secara patut, wajar dan
masuk akal. Adapun ketentuan undang-undang ini berbeda dengan ketentuan hukum, sehingga
seseorang tidak dibenarkan untuk melakukan suatu tindakan yang hanya berdasarkan hukum
semata.

Melaksanakan Perintah Jabatan


Perintah jabatan yang terdapat dalam Pasal 51 KUHP secara harfiah dapat diartikan sebagai
suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk memerintah
semacam itu bersumber pada suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan
perintah maupun dari orang yang menerima perintah. Namun, setiap orang terhadap siapa suatu
perintah jabatan dengan orang yang telah menerima perintah tidaklah perlu terdapat suatu hubungan
yang bersifat tetap sebagai atasan dengan bawahan, asalkan perintah yang diberikan itu bersifat
hukum publik. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan dalam melaksanakan perintah jabatan itu sendiri,
yakni pelaksanaan perintah jabatan yang sah (bevoegd gegeven ambtelijk bevel) dalam Pasal 51
Ayat (1) dan pelaksanaan perintah jabatan yang tidak sah (onbevoegd gegeven ambtelijk bevel)
dalam Pasal 51 Ayat (2). Adapun dalam rumusan Pasal 51 Ayat (1) KUHP diketahui bahwa
perintah jabatan itu harus diberikan oleh kekuasaan yang berwenang untuk mengeluarkan perintah
semacam itu. Suatu perintah jabatan dikatakan sah apabila memenuhi persyaratan:
1. Antara orang yang memberikan perintah dengan orang yang diberi perintah harus memiliki
kesesuaian hubungan jabatan dan hubungan subordinasi;
2. Kewenangan orang yang memberikan perintah itu harus sesuai dengan jabatannya yang bersifat
hukum publik;
3. Perintah jabatan itu harus termasuk dalam lingkungan kewenangan jabatannya.
Kemudian, aturan yang mengatur tentang perintah jabatan yang tidak sah terdapat dalam Pasal 51
Ayat (2). Hal ini berarti bahwa pelaksana perintah harus mengetahui (menurut perhitungan yang
layak/umum) akan perintah yang diterimanya telah diberikan oleh orang yang berwenang dan
perintah itu termasuk kewenangan dari orang tersebut yang sesuai dengan jabatannya. Jadi,
pelaksana perintah tersebut tidak dipidana hanya jika (1) beritikad baik mengira bahwa perintah itu
sah (diberikan dengan wewenang) dan (2) pelaksanaan perintah itu termasuk dalam lingkungan
kerjanya.

Anda mungkin juga menyukai