Gabungan tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau samenloop yang berarti
perbarengan melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Dalam KUHP, gabungan
melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan Samenloop van Strafbare Feiten, yaitu satu
orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana. Sehingga, pelaku gabungan tindak pidana telah
berturut-turut melakukan beberapa perbuatan pidana tanpa memberi kesempatan pada pengadilan
untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman atas salah satu perbuatan tersebut.
Gabungan tindak pidana juga sering dipersamakan dengan perbarengan melakukan tindak
pidana, dimana seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan
hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-masing perbuatan itu berdiri
sendiri yang akan diadili sekaligus yang salah satu dari perbuatan itu belum mendapatkan keputusan
tetap. Adapun aturan terkait dengan gabungan tindak pidana telah diatur dalam Bab VI Buku I
KUHP mulai dari Pasal 63 s.d. Pasal 71.
Pengertian Penyertaan
Dalam ilmu hukum pidana Indonesia, pembahasan tentang penyertaan diawali dengan
banyaknya terminologi yang digunakan untuk menerjemahkan kata deelneming ke dalam bahasa
Indonesia. Beberapa orang sarjana hukum pidana Indonesia mempunyai terminologi tersendiri,
misalnya Tresna menggunakan istilah turut campur, Lamintang menggunakan istilah keturutsertaan,
Utrecht menggunakan istilah turut serta, kemudian sarjana lainnya seperti Andi Zainal Abidin dan
Andi Hamzah, Loebby Loqman, dan Moeljatno menggunakan padanan kata penyertaaan untuk
menerjemahkan “deelneming”. Jika diterjemahkan secara harfiah, seperti yang bisa kita lihat dalam
kamus Belanda – Indonesia, kata kerja “deelnemen” berarti ikut mengambil bagian, sementara kata
bendanya adalah “deelneming” yang bermakna pengambil bagian. Jika ditarik kesimpulan dari
pengertian deelneming secara harfiah, maka maksud dengan deelnemer adalah orang (orang) lain
yang ikut ambil bagian dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau merupakan
orang-orang diluar pelaku. Maka dengan pengertian tersebut dapat membedakan apa yang dimaksud
dengan “peserta untuk pembuat selain pelaku” dan pelaku sendiri (physical dader) sebagai pembuat
(dader).
Bentuk Penyertaan
Masalah Deelneming atau Penyertaan itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur di
dalam Pasal-Pasal 55 dan 56 KUHP. Untuk memperoleh kejelasan mengenai hal ini, akan lebih baik
kita melihat rumusan-rumusan ketentuan-ketentuan pidana di dalam Pasal-Pasal 55 dan 56 KUHP
sebagaimana yang dimaksudkan diatas. Sehingga, oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan
peserta tindak pidana yaitu yang:
1. melakukan perbuatan (plegen, dader),
2. menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader),
3. turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader),
4. membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker),
5. membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige)
Beberapa kalangan sarjana Belanda menafsirkan pengertian dari daders dengan kata pelaku
(plegers),misalnya Simons, Van Hamel, Pompe, dan Tavarne yang mengartikan “als daders”
(sebagai pembuat) sebagai als of zij daders waren (seolah-olah pembuat). Maksudnya, mereka
bukanlah daders, melainkan hanya dianggap sebagai pelaku yang seolah-olah dikualifikasikan
sebagai pembuat. Van Hamel telah mengartikan dader dari suatu tindak pidana itu dengan membuat
suatu definisi yang mengatakan antara lain, bahwa : “(Pembuat-pelaku suatu tindak pidana itu
hanyalah dia, yang tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang
terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas
maupun yang tidak dinyatakan secara tegas. Jadi pembuat- pelaku adalah orang yang dengan
seorang diri telah melakukan sendiri tindak pidana yang bersangkutan).”
Kemudian Van Hattum juga menjelaskan dader adalah: “(Pembuat-pelaku adalah orang
yang memenuhi suatu rumusan delik, atau orang yang memenuhi semua unsur dari rumusan suatu
delik, ataupun yang seperti telah dikatakan oleh Zevenbergen: orang yang telah memenuhi semua
unsur dari suatu delik secara lengkap).”Dari perumusan mengenai pengertian dader di atas, baik
yang yang tafsirkan oleh Van Hattum maupun Van Hamel, dapat diketahui bahwa kedua sarjana
tersebut mempunyai pendapat yang serupa mengenai maksud dan pengertian dari seorang dader.
Kedua sarjana tersebut menyamakan seorang pelaku (pleger) dengan pembuat (dader) dalam suatu
tindak pidana. Lebih jelasnya, peserta-peserta selain pelaku mempunyai suatu kualifikasi yang sama
dengan seorang pelaku. Akan tetapi sebenarnya hal ini menimbulkan suatu perdebatan mengenai
seorang pelaku haruslah memenuhi semua rumusan delik. Oleh karena itu, bagaimana dengan peran
dari peserta tindak pidana yang tidak memenuhi keseluruhan rumusan delik, misalnya seorang
uitlokker ataupun medepleger? Bukankah tujuan dari adanya penyertaan untuk menghukum para
pembuat yang perbuatan mereka itu sendiri tidak memenuhi keseluruhan rumusan delik.
1. Pleger atau Orang yang melakukan
Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana di rumuskan oleh undang- undang,
baik unsur subjektif maupun objektif. Umumnya pelaku dapat diketahui dari jenis delik, yakni
delik formil dan delik materil.
2. Doen plegen atau menyuruh melakukan
Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak
pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang mettelbare tater, yang
artinya seorang pelaku tidak langsung. Dia disebut pelaku tidak langsung karena dia memang
secara tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana, melainkan dengan perantara orang lain.
Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader atau seorang
pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang
dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu hukuman yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri.
Oleh karena dalam bentuk deelneming doen plegen ini selalu terdapat seorang middelijke
dader, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu middelijke daderschap.
Untuk adanya suatu doen plegen seperti yang dimaksudkan di dalam pasal 55 ayat 1 angka 1
KUHP itu, orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu
apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu:
a. adalah seseorang yang ontoerekeningvatbaar seperti yang dimaksudkan didalam pasal 44
KUHP;
b. mempunyai suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak
pidana yang bersangkutan;
c. sama sekali tidak mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang
tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi
tindak pidana tersebut;
d. memenuhi unsur oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan di dalam rumusan
undang-undang mengenai tindak pidana tersebut diatas;
e. telah melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu
keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan
suatu perlawanan;
f. dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan
tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam
itu;
g. tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan
oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah tidak perlu, bahwa orang yang telah menyuruh
melakukan itu harus secara tegas memberikan perintahnya kepada orang yang telah disuruhnya
melakukan sesuatu. Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan
untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus diberikan secara langsung untuk middelijke dader
kepada orang materieele dader. Melainkan dia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang
lain.
3. Medeplegen atau turut melakukan
Medeplegen di samping merupakan suatu bentuk deelneming, maka dia juga merupakan
suatu bentuk daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak pidana, maka biasanya
dia disebut sebagai seorang dader atau seorang pelaku. Apabila beberapa orang yang secara
bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap peserta di dalam tindak pidana itu
dipandang sebagai seorang mededader dari peserta atau peserta lainnya.
Misalnya tiga orang secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dengan bersepeda
secara berjejer di atas jalan umum, yang oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan
sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman. Menurut Prof.
Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk-bentuk keturutsertaan yang telah
dilakukan oleh seorang tertuduh, oleh karena pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah
terjadi itu sendiri sebenarnya telah menunjukkan bentuk keturutsertaan yang dilakukan oleh
masing-masing peserta didalam suatu tindak pidana yang telah mereka lakukan.
Menurut van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila
tindakan tiap-tiap peserta didalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah
menghasilkan suatu daderschap secara sempurna. Menurut Prof. Van Hattum, perbuatan
medepelegen didalam pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk
medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan
oleh orang lain.
Ini berarti bahwa suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu culpoos delict itu dapat
dihukum dan sebaliknya suatu ketidaksengajaan turut melakukan sesuatu opzetettelijk atau suatu
culpos delict itu menjadi tidak dapat dihukum. Ini berarti bahwa menurut Prof. Van Hattum
opzet seorang medeplegen itu harus ditujukan kepada:
a. Maksud untuk bekerjasama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak pidana; dan
b. Dipenuhinya semua unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur opzet yang
harus dipenuhi oleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang disyaratkan dalam rumusan
tindak pidana yang bersangkutan.
Menurut Prof. Legemeijer, baik orang yang mempunyai opzet untuk membunuh korban,
maupun orang yang turut melakukan dengan maksud semata-mata menganiaya korban itu kedua-
duanya harus dipersalahkan telah turut melakukan suatu penganiayaan berat yang menyebabkan
matinya orang lain. Sebagai alasan telah dikemukakannya bahwa bentuk-bentuk daderschap
yang disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga bentuk-
bentuk daderschap tersebut harus disamakan dengan plegen. Menurut Prof. Van Hattum, untuk
adanya suatu medeplegen itu tidak diperlukan adanya suatu kesamaan opzet pada masing-masing
peserta kejahatan.
Perbedaan medeplegen dengan medeplichtigheid disebutkan dalam Memorie van
toechlichting: “Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu
melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut
mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu
hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau
turut melakukan perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang
yang disebutkan terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan”.
Kedua bentuk ini mempunyai akibat yang berbeda-beda, yaitu dihubungkan dengan jenis
delik yang dapat menjadi objek dari kedua bentuk deelneming tersebut. Pada medeplegen yang
dapat dihukum adalah turut melakukan baik kejahatan maupun pelanggaran, sedang pada
medeplichtigheid itu yang dapat dihukum hanyalah membantu melakukan kejahatan saja. Oleh
karena menurut pasal 60 KUHP itu, perbuatan membantu melakukan pelanggaran dinyatakan
sebagai suatu perbuatan yang tidak dapat dihukum.
Dewasa ini sudah tidak lagi menjadi persoalan, apakah orang yang tidak mempunyai suatu
“persoonlijke hoedanigheid” atau suatu “sifat pribadi” itu dapat turut melakukan suatu
kwaliteitsdelict atau tidak, oleh karena menurut paham yang terbaru, seseorang yang tidak
mempunyai kualitas tertentu yang oleh undang-undang telah disyaratkan harus dimiliki oleh
pelakunya itu, dapat saja turut melakukan apa yang disebut kwaliteits delicten, hanya saja dengan
satu syarat, yaitu bahwa mereka itu mengetahui bahwa rekan pesertanya didalam melakukan
suatu kwaliteits delict itu memiliki kualitas seperti itu. Bagi suatu medeplegen, seperti halnya
dengan suatu poging, diperlukan adanya suatu begin van uitvoering atau suatu permulaan
pelaksanaan, walaupun undang-undang sendiri telah mensyaratkan hal tersebut secara tegas.
4. Uitlokking atau menggerakkan orang lain
Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya-
upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang inisiatif berada pada penggerak.
Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif tidak ada pada
penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan harus dipidana sepadan
dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah pelaku yang
digerakkan itu sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan
tindak pidana.
5. Medeplichtigeid atau pembantu
Medeplichtigeid adalah orang yang sengaja member bantuan berupa saran, informasi atau
kesempatan kepada orang lain yang melakukan tindak pidana. Sebagaimana disebutkan dalam
pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua jenis, yaitu:
a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantunya melakukan tidak
disebutkan dalam KUHP, mirip dengan medeplegen (turut serta), tetapi perbedaannya terletak
pada:
1) Pembantu perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedangkan pada turut serta
merupakan perbuatan pelaksanaan;
2) Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerjasama
dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta,orang yang turut
serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerjasama dan mempunyai tujuan
sendiri;
3) Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan dalam turut
serta dalam pelanggaran tetap dipidana;
4) Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi
sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.
Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan,
sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaan pada niat/kehendak,
pada pembantu kehendak jahat materiil sudah ada sejak semula/ tidak ditimbulkan oleh pembantu,
sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat meteriil ditimbulkan
oleh si penganjur.
Daya Paksa
Dalam Memorie van Toelichting, daya paksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 48 KUHP
disebut sebagai suatu penyebab yang datang dari luar yang membuat sesuatu perbuatan itu menjadi
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya dan daya paksa juga telah dirumuskan
sebagai setiap kekuatan, setiap paksaan, setiap tekanan, di mana terhadap kekuatan, paksaan atau
tekanan tersebut orang tidak dapat memberikan perlawanan. Adapun yang dimaksud dengan
kekuatan, paksaan, tekanan itu bukanlah yang mutlak, yang memberikan kesempatan kepada
pembuatnya untuk menentukan kehendaknya, melainkan dalam hal ini pembuatnya masih dapat
memilih untuk menentukan kehendaknya itu. Daya paksa itu sendiri terdiri atas:
1. Paksaan mutlak (absolute dwang, physieke dwang, vis absoluta), yang mana petindak (yang
terpaksa melakukan) tidak dapat bertindak lain dari apa yang dipaksakan kepadanya. Semua
daya paksa yang dapat memaksakan seseorang untuk bertindak secara terpaksa dapat berupa
paksanaan badaniah (fisik) atau paksaan rohaniah (psikis). Dalam hal ini, petindak tidak lebih
dari suatu alat yang tidak memiliki kehendak. Petindak yang sebenarnya adalah pemaksa (manus
domina) yang harus dianggap sebagai yang melakukan perbuatan yang dilakukan petindak
(manus ministra).
2. Paksaan relatif (relative dwang, vis compulsiva), yang mana petindak memiliki pilihan walaupun
pilihan itu cenderung dipilihkan oleh pemaksa. Dapat dikatakan pula bahwa pilihan yang ada
tersebut membuat petindak menjadi tidak dapat diharapkan bahkan tidak diharuskan daripadanya
untuk memilih selain dari apa yang dikehendaki pemaksa karena jika petindak berbuat lain maka
dia akan mendapatkan perlakuan dari pemaksa yang tidak dapat dihindarinya yang
mengakibatkan pula kerugian bagi dirinya sendiri. Namun, tidak berarti bahwa setiap paksaan
yang datangnya dari luar petindak selalu menimbulkan daya paksa. Hal ini didasarkan hal yang
layak menurut perhitungan, maupun berdasarkan ketentuan dalam undang-undang bahwa
petindak wajib tidak melakukan (menghindari/mengelak) sesuatu yang dipaksakan padanya.
3. Keadaan darurat (noodtoestand), sebelum petindak melakukan suatu tindakan, petindak itu dapat
memilih sendiri diantara dua atau lebih tindakan yang akan dilakukannya. Sehingga keadaan
darurat merupakan bentuk daya paksa yang bukan disebabkan oleh orang lain (pemaksa),
melainkan timbul dari keadaan-keadaan tertentu yang mana inisiatif untuk menentukan pilihan
dan melaksanakan perbuatan yang dipilihnya ada pada petindak itu sendiri. Adapun keadaan
darurat ini dianggap ada dalam kejadian-kejadian sebagai berikut:
a. Adanya dua kepentingan hukum yang saling bertentangan satu sama lain,
b. Adanya suatu kepentingan hukum yang bertentangan dengan kewajiban hukum di lain pihak,
dan
c. Adanya dua kewajiban hukum yang saling bertentangan satu sama lain.
Bela Paksa
Bela paksa diatur dalam Pasal 49 KUHP, diantaranya mengatur mengenai apa yang disebut
dengan noodweer (bela paksa) yang terdapat pada Pasal 49 Ayat (1) dan noodwerr exces (bela
paksa melampaui batas) yang terdapat pada Pasal 49 Ayat (2). Pasal 49 KUHP ini telah
memberikan kelonggaran kepada seseorang untuk mengadakan pembelaannya sendiri ketika dirinya
secara mendadak diserang atau terancam oleh serangan. Serangan tidak diartikan sebagai kekerasan
saja, melainkan tindakan yang merugikan kepentingan hukum orang lain atas tubuh (termasuk
nyawa), kehormatan, dan atas harta kekayaannya yang berupa benda.
Menurut ketentuan Pasal 49 Ayat (1), syarat untuk menentukan adanya bela paksa itu harus
memenuhi:
1. Perbuatan harus terpaksa dilakukan untuk pembelaan yang sangat perlu;
2. Pembelaan itu hanya dapat dilakukan untuk kepentingan hukum yang ditentukan secara limitatif;
3. Adanya serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat (seketika) pada saat itu yang bersifat
melawan hukum.
Perumusan pasal ini mengutamakan tindakan-tindakan daripada tindakan serangan, tetapi unsur
pokok serangan yang terjadi disesuaikan dengan urutan kejadian yang lebih dahulu terjadi dari
pembelaan. Sehingga antara serangan dan pembelaan yang dilakukan harus ada keseimbangan
antara kepentingan hukum yang dilanggar dengan kepentingan hukum yang dibela (asas
proporsionalitas). Selain itu, digunakan pula asas subsidiaritas yang mengandung arti bahwa
pembelaan yang dilakukan harus terpaksa dilakukan karena tidak ada jalan lain lagi yang mungkin
ditempuh untuk menghindarkan diri dari serangan atau ancaman serangan itu.
Selanjutnya terhadap perbuatan pembelaan yang melampaui batas (noodweer exces), telah
diatur di dalam Pasal 49 Ayat (2) KUHP. Adapun unsur yang membedakannya dengan bela paksa
(noodweer) adalah adanya unsur kegoncangan jiwa yang hebat. Menurut van Hamel, dilampauinya
batas-batas dari suatu pembelaan seperlunya haruslah disebabkan oleh adanya suatu kegoncangan
jiwa yang hebat, tidak hanya disebabkan karena adanya perasaan takut, khawatir, atau bingung,
melainkan juga karena adanya kemarahan, dan perasaan kasihan, sehingga dia tidak lagi normal
untuk menentukan kehendaknya. Perbuatan melampaui batas pembelaan yang diperlukan, dapat
terjadi karena (1) alat yang digunakan dalam pembelaan atau cara pembelaan yang dilakukan terlalu
keras dan (2) yang diserang sebenarnya dapat melarikan diri atau mengelakan ancaman serangan,
tetapi dia masih memilih untuk melakukan pembelaan.
Bagaimana pun juga, kegoncangan jiwa ini harus disebabkan karena adanya serangan atau
ancaman serangan, bukan semata-mata muncul karena adanya sifat mudah tersinggung dari orang
yang diserang. Dalam noodweer exces, ukuran keseimbangan (asas proporsionalitas) perbuatan
pembelaan yang dilakukan dan ancaman atau ancaman serangan yang diterima menjadi berat
sebelah, begitu pula dengan ukuran yang diperkenankan (asas subsidiaritas) yang menjadi longgar
di mana tidak secara ketat lagi terikat kepada tindakan pembelaan yang teringan yang cukup
menghentikan serangan atau ancaman serangan itu sendiri.