Anda di halaman 1dari 10

Artikel Hukum Administrasi Negara

STERILISASI JALUR TRANSJAKARTA (NARASI MORALITAS BISNIS DAN HUKUM SEBAGAI


AGEN PERUBAHAN)

---“Die philosophen haben die Welt nur verschieden interpretiert,

eskommt darauf an, sie zu verandern”---[1]

Karl Marx

Narsisisme Laba: Pengantar Moralitas Bisnis

Saya ingin memulai tulisan ini dengan sedikit membincangkan etika kemasyarakatan. Dengan sedikit
penyederhanaan, etika kemasyarakatan menemukan maknanya bahwa setiap kekuasaan yang kinerjanya
berimpilikasi pada hidup orang banyak terikat akuntabilitas publik. Artinya, karena kinerja kekuasaan
menjelaskan terjadinya berbagai masalah dalam masyarakat, kepada para pemegang kekuasaan itu juga
dikenakan tanggung jawab kemasyarakatan. Itu berlaku baik untuk kinerja segenap pemilik kekuasaan, entah itu
pemerintah, bisnis, militer, maupun sosok kekuasaan lainnya, seperti ilmu, teknologi, agama, dan sebagainya.

Menurut B. Herry Priyono, dengan atau tanpa prinsip etis, oleh salah satu penganjur neo-liberalisme, Theodore
Levitt (1958), kinerja bisnis dinyatakan sebagai berikut: "...bisnis harus bertarung seperti dalam perang; sebagai
perang yang efektif, bisnis harus dijalankan dengan berani dan yang terpenting, bukan secara moral (not
morally)". Lalu apa moralitas bisnis? Ekonom neo-liberal lain, Milton Friedman (1962), bilang: "...satu dan hanya
satu tanggung jawab bisnis, yaitu mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk akumulasi laba...".[2]

Kelebihan rasio ini adalah penegasan narsisisme laba. Kekurangannya pada siasat picik yang membedah
kekuasaan dari tanggung jawabnya. Implikasinya jelas, dimana etika kemasyarakatan berdiri di atas kaitan tak
terpisah antara kekuasaan dan tanggung jawab, maka pemisahan keduanya juga berarti menghapus tanggung
jawab publik dari daftar kewajiban kekuasaan bisnis.

Kenyataan ini tentu saja menginterupsi moralitas dalam bisnis, seolah mati disungai waktu. Moralitas dianggap
tidak relevan dalam bisnis. Dalam bukunya terbaru, On Globalization (2002), George Soros, pelaku yang fasih
dengan kinerja bisnis itu, punya kritik berikut: "...tidak masuknya moralitas dalam kalkulasi bisnis menjelaskan
mengapa praktik dan gagasan fundamentalisme pasar begitu sukses".[3]

Dari sini, saya hendak menampilkan sisi yang mungkin saja kita telah abaikan. Kehadiran Transjakarta sebagai
bagian dari pembenahan transportasi publik di ibukota, tidak hanya menarikan maksud mengurai wajah
kemacetan. Tetapi ia juga melukiskan harapan layanan publik yang semakin baik. Kehadirannya disambut gegap
gempita, ditengah deru knalpot yang semakin bising. Polusi kendaraan yang semakin meninggi, tentu saja bukan
alasan pembenar terhadap sesat pikir moralitas bisnis; narsisme laba. Karena itu, moralitas bisnis Transjakarta,
harus ditempatkan di garda yang teraduk. Sebab di satu sisi, ia berimplikasi pada layanan hidup orang banyak,
dan di sisi lain, kita tidak boleh menutup mata, kehadirannya ‘merampas’ fasilitas publik, satu ruas jalan raya
yang dibangun dari keringat rakyat atas rente yang teriyakan.

Merujuk pada Sindhunata, ini jelas sebuah pergesaran akal budi obyektif ke akal budi instrumental.[4] Moralitas
bisnis Transjakarta, tidak menempatkan masyarakat dalam rasio subyektif, tetapi lebih menempatkannya dalam
dekap instrumental; masyarakat adalah obyek. Karena itu, akuntabilitas sebagai hal yang melekat pada
Transjakarta menjadi kabur, seolah tertutupi oleh koridor yang mencatatkannya terpanjang di dunia.

Kemacetan yang hadir tentu saja tidak semata-mata disebabkan oleh padatnya jumlah kendaraan yang
menggunakan fasilitas jalan tersebut, banyak faktor yang secara simultan mendorong kesemrawutan ini terjadi.
Kebijakan yang bersifat sesaat, dan lebih banyak mendiskreditkan masyarakat, sementara disisi lain kita dapat
melihat ada yang diuntungkan dan bukan masyarakat yang merupakan subjek utama dari pengguna jalan itu
sendiri.

Arogansi penguasa akan kebijakan yang dibuat hanya karena mereka memiliki kewenangan untuk itu, tapi
menghasilkan aturan-aturan yang terkesan sekadar alat untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu yang tidak
memposisikan masyarakat umum sebagaimana mestinya.

Dilihat dari siapa pelaku, pemicu ataupun perancangnya, suatu perubahan hukum dapat dikalisifikasi sebagai
berikut :

1. Perubahan hukum yang dilakukan secara sadar oleh pelakunya yang memang memiliki kewenangan
untuk itu. Misalnya perubahan hukum melalui pembuatan atau perubahan terhadap konstitusi atau undang-
undang.
2. Perubahan hukum yang diprakarsai secara sadar oleh seseorang yang karismatik. Misalnya pembuatan
Code Napoleon di Perancis oleh Napoleon Bonaparte, atau raja Romawi, yaitu Justianian ketika membuat
Corpus Juris Civilis. Dapat dipastikan bahwa seandainya di dunia ini tidak pernah lahir orang yang namanya
Napoleon Bonaparte, atau Raja Justianian, wajah hukum dunia akan sama sekali berbeda dengan yang ada
saat ini.
3. Perubahan hukum yang dipicu oleh seorang biasa yang tanpa kesadarannya telah memicu perubahan
hukum ini. Misalnya, dengan tindakan oleh seorang remaja kulit hitam di Amerika Serikat yang bernama
Rasa Park (dari negara bagian Alabama) yang menolak duduk dibangku yang terpisah dengan tempat
duduk bagi orang-orang kulit putih dalam sebuah bus sekolah, setelah disidangkan di pengadilan USA,
kemudian Mahkamah Agung USA telah melahirkan teori hukum baru yang sangat besar dan fundamental
yaitu teori “persamaan hak” (equal protection) di antara warga negara, tanpa memandang warna kulit, jenis
kelamin, perbedaan agama, suku bangsa, dan sebagainya.[5]

Sterilisasi Jalur Transjakarta

Transjakarta atau umum disebut sebagai Busway adalah sebuah sistem transportasi Bus Rapid Transit (BRT)
pertama di Asia Tenggara dan Selatan, yang beroperasi sejak tahun 2004 di Jakarta, Indonesia. Sistem ini
didesain berdasarkan sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia. Transjakarta dioperasikan oleh Unit
Pengelola Transjakarta Busway (UPTB) di bawah Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, yang
bertanggungjawab penuh kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam
operasional Transjakarta (Pramudi, Onboard/petugas bus, Barrier/petugas halte, dan petugas kebersihan)
sekitar 6.000 orang. Jumlah rata-rata harian pengguna Transjakarta pada tahun 2012, mencapai 109.983.609
orang.[6]

Kehadiran Transjakarta yang hingga Februari 2013 memiliki 12 koridor dengan panjang 208 km, tentu saja tidak
hanya dilihat sebagai upaya perbaikan sistem transportasi publik di ibukota, tetapi disisi lainnya ‘merampas’ satu
ruas jalan yang selama ini dinikmati masyarakat. Singkatnya, Transjakarta hadir berdialektika dengan kebiasaan
lama, ngantor dengan kendaraan pribadi sembari tetap menikmati ruas jalan yang telah ditasbihkan sebagai jalur
Transjakarta. Dialektika ini pun melahirkan persoalan. Kemacetan semakin menjadi dan angka kecelakaan
meningkat. Tercatat hingga September 2013, kecelakaan lalu lintas di jalur Transjakarta mencapai 50 kasus,
menewaskan 7 orang, dan 137 lainnya luka-luka. Mayoritas kecelakaan disebabkan akibat menyerobot jalur
Transjakarta.[7]

Berkaca pada angka tersebut, gagasan sterilisasi jalur Transjakarta menyeruak. Sterilisasi ini bersandar pada
dua aturan. Pertama, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan Kedua, Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No 8 th 2007 tentang Ketertiban Umum Pasal 2
ayat 7: Kendaraan bermotor roda dua atau lebih dilarang memasuki jalur busway. Sangsi bagi pelanggar adalah
ancaman denda maksimum. Satu juta rupiah untuk kendaraan roda empat dan lima ratus ribu untuk kendaraan
roda dua.

Motifasi sterilisasi jalur Transjakarta setidaknya ada tiga hal. Pertama sebagai proses pendidikan dan
pembelajaran kepada masyarakat untuk senantiasa tertib dan patuh terhadap hukum. Kedua, mengurangi angka
kecelakaan lalu lintas. Ketiga, sebagai upaya untuk mendorong masyarakat berpindah dari mode transportasi
pribadi ke transportasi umum. Khusus untuk poin ketiga, secara sosiologis jika jalur Transjakarta steril, ini akan
menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk beralih ke transportasi publik. Mengingat waktu tempuh semakin
singkat dengan biaya yang sangat terjangkau. Data yang dihimpun Dinas Perhubungan DKI Jakarta periode
Januari-Oktober 2013, total jumlah kendaraan di DKI mencapai 1,2 juta dengan pembagian 273 ribu kendaraan
roda empat dan 944 ribu kendaraan roda dua.[8]

Angka tersebut hendak menjelaskan secara tidak langsung bagaimana budaya berkendara warga Jakarta.
Pertumbuhan angka kendaraan yang tidak disertai dengan penambahan ruas jalan akan menjadi sumbu
kemacetan. Entah sebagai cara hidup atau gengsi, budaya berkendara di Jakarta merupakan tantangan nyata
terhadap Transjakarta. Penegakan aturan dengan ancaman denda maksimum yang disertai pembenahan
layanan Transjakarta akan menjadi pertaruhan apakah budaya berkendara masyarakat Jakarta bisa berubah
dari mode kendaraan pribadi ke transportasi publik atau tidak.

Di sinilah salah satu urgensi hukum, sebagai instrumen perubahan sosial. Menurut William M. Evan, hukum
memerlukan dua proses yang saling terkait, yaitu pelembagaan dan internalisasi pola perilaku. Pelembagaan
pola perilaku mengacu pada pembentukan norma dengan ketentuan untuk penegakannya. Internalisasi pola
perilaku berarti penggabungan nilai atau nilai-nilai yang tersirat dalam undang-undang. Keuntungan utama dari
hukum sebagai instrumen perubahan sosial adalah perasaan umum dalam masyarakat bahwa perintah atau
larangan hukum harus diamati bahkan oleh mereka yang kritis terhadap hukum yang bersangkutan.Untuk
sebagian besar perasaan kewajiban tergantung pada penghormatan terhadap otoritas yang sah dan persepsi
kekuasaan.[9]

Karena itulah, Munir Fuady menjelaskan untuk mempercepat praktik perubahan masyarakat, maka hukum harus
di ubah. Hal inilah kemudian yang disebutnya sebagai law as a tool of social engenering yang awalnya
diperkenalkan oleh Roscoe Pound.[10] Sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo sistem hukum di
tengah masyarakat modern saat ini mempunyai ciri yang menonjol, penggunaannya telah dilakukan secara
sadar oleh masyarakat. Hukum tidak lagi dipahami dan dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan
tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan untuk mengarahkannya kepada tujuan yang dikendaki,
menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan
sebagainya. Hal tersebut senada dengan pandangan Robert King Merton tentang fungsi sistem hukum
sebagai control social manifest dan control social latent. Secara sederhana control social manifest yaitu sesuatu
yang dikehendaki, dinyatakan secara tegas, membangun perilaku konfrontasi masyarakat untuk mewujudkan
kepentingan-kepentingan yang dinyatakan sebagai tujuan. Sedangkan control social latent adalah sesuatu yang
tidak dikehendaki, tidak dinyatakan secara jelas namun dapat membangun perilaku tertentu dan mewujudkan
tujuan tertentu.[11]

Dalam interaksi hukum sebagai agen perubahan sosial, Steven Vago menyatakan telah mengidentifikasi
sejumlah hal dalam masyarakat yang bisa membatasi hukum sebagai instrumen perubahan. Keterbatasan
hukum dalam menciptakan perubahan sosial adalah kemungkinan konflik kepentingan yang berlaku.
Keterbatasan lainnya adalah interpretasi yang berbeda tentang hukum dan moralitas serta nilai-nilai yang
berlaku. Terkait dengan hal tersebut, Steven Vago mengutip pernyataan Karl Marx tentang kelangkaan sumber
daya sebagai rahim konflik kepentingan.  Menurut Karl Marx banyak undang-undang yang dibuat untuk
melindungi kepentingan ekonomi khusus. Hal ini karena kepentingan ekonomi merupakan faktor kuat yang
mempengaruhi penciptaan hukum.[12]

Dilihat dari segi perkembangan hukum dibandingkan dengan perkembangan masyarakat, dan bagaimana hukum
tersebut berfungsi dan berkembang secara berbeda-beda, dengan konsekuensi yang tentunya beda pula, secara
sederhana dapat digambarkan dalam table berikut:[13]

Jenis Hukum Perkembangan Perkembangan Hukum Konsekuensi

Masyarakat

Hukum Sosial Maju Lebih maju Rekayasa Masyarakat


Engineering

Hukum Progresif Maju Maju Pembangunan

Hukum Slow Motion Maju Tidak Maju Mempertahankan Pola/stabilitas

Hukum Stagnan Maju Tidak Maju Anarki/gejolak/reformasi

Hukum Stagnan Sangat Maju Sangat Tidak Maju Revolusi Sosial

Hukum Stagnan Tidak Maju Tidak Maju Masyarakat


Terasing/ Uncivilized
 

Hambatan

Kebijakan sterilisasi jalur Transjakarta tidaklah berjalan mulus. Petugas gabungan dari Polda Metro Jaya dan
Pemprof DKI, tetap saja menemui kendala sebagai hambatan. Terkait dengan hambatan, ada tiga jenis
hambatan menurut Anthony Giddens.  Pertama, hambatan meteril, yaitu hambatan yang mengacu pada
kapasitas material dan fisik manusia serta lingkungan terhadap pilihan-pilihan logis yang terbuka bagi manusia
dalam menjalani kehidupan sosialnya. Kedua, Hambatan sangsi. Menurutnya, hambatan ini berasal dari respon-
respon hukuman pada pihak pelaku-pelaku tertentu terhadap pelaku lain. Ketiga, Hambatan struktural.
Hambatan ini lahir dari kontekstualitas aksi, yaitu dari watak alami sifat-sifat struktural vis a vis actor yang
menempati situasi.[14]

Sampai disini, menarik menggunakan tiga jenis hambatan menurut Giddens tersebut diatas, untuk melihat
sejauh apa efektifitas sterilisasi jalur Transjakarta dengan ancaman denda maksimum untuk mengurai
kemacetan di ibukota, sekaligus sebagai upaya merubah budaya berkendara masyarakat Jakarta dari mode
kendaraan pribadi ke transportasi publik.

Kepemilikan adalah unsur pendefinisi. Hambatan materil setidaknya disandarkan pada asumsi tersebut. Disadari
atau tidak, kepemilikan kendaraan pribadi oleh warga Jakarta merupakan hambatan yang nyata untuk
mendorong masyarakat beralih ke transportasi publik. Dengan harga ratusan juta rupiah bahkan menembus
angka milyaran rupiah, tentu saja menjadi mubasir jika hanya menjadi penghias garasi. Hal ini tentu diperparah
dengan tafsir sesat atas gagasan need for achievement McClelland.[15] Gengsi dan kehendak untuk meng-
empiris-kan kesuksesan, menjadi rumput kering yang menyulut bara kemacetan yang kian menyala.

Dalam bingkai yang lain, penting untuk memilah, konsumerisme dari konsumsi. Dalam banyak hal bisa
dikatakan, sejarah manusia adalah sejarah konsumsi (dan produksi). Konsumsi berkait pemakaian barang/jasa
untuk hidup layak dalam konteks sosio-ekonomis-kultural tertentu. Ia menyangkut kelayakan survival.
Sedangkan konsumerisme adalah soal lain lagi. Bagi banyak orang, konsumerisme seperti pemburuan prestasi.
Bagi para kapten iklan, konsumerisme seperti tambang emas yang tidak habis digali. Konsumerisme bukan soal
ada-tidaknya uang untuk shopping. Pun bukan soal laba besar yang dikeruk melalui permainan insting
konsumen. Kunci untuk memahami konsumerisme adalah psikologi, bagaimana "konsumsi yang mengada-ada"
dilembagakan sebagai nirvana.[16] Singkatnya, keinginan yang disamarkan menjadi kebutuhan hidup. Karena
itu, dalam perspektif pasar, orang rela menetapkan harganya tanpa perlu menawar, sekalipun sekedar niat
menyampaikan kepada keluarga, tetangga dan teman bahwa ia sukses.

Sementara dari sisi lingkungan, insfrastruktur jalan yang tersedia dengan volume kendaraan tidak sebanding.
Pertumbuhan kendaraan seperti mobil dan sepeda motor lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan jalan
yang tersedia. Belum lagi munculnya program mobil murah, yang ditengarai memperkeruh keadaan. Saya tidak
bermaksud menyalahkan kebijakan mobil murah, sebab hak pelaku pasar juga harus dijamin. Tetapi yang saya
ingin tegaskan adalah negara tidak boleh kehilangan kendalinya. Tentu saja dalam hal ini pemerintah Prov. DKI
Jakarta.
Pemerintah dalam suatu negara harus memiliki authority yang tertinggi dan tak terbatas. Dalam arti
kenegaraan, authority  dan tak terbatas dari negara tersebut adalah kedaulatan. Kedaulatan ialah kekuasaan
penuh dan tertinggi dalam suatu negara untuk mengatur seluruh wilayahnya tanpa campur tangan dari
pemerintah negara lain.[17]

Jika mengacu pada hambatan materil ini, maka sterilisasi jalur Transjakarta dengan ancaman denda maksimum
untuk mengurai kemacetan di ibukota, sekaligus sebagai upaya merubah budaya berkendara masyarakat
Jakarta dari mode kendaraan pribadi ke transportasi publik tentulah jauh panggang dari api.

Pertanyaan yang menggelitik adalah apakah yang bikin macet itu mobil? Ataukah pengaturan terhadap
kepemilikan serta penggunaan mobil dan jalan yang tidak benar? Akal sehat kita, tentu saja akan mengatakan
mobil adalah variabel maka atas kuasa jika, dalam satu relasi kausal. Pengaturan kepemilikan serta penggunaan
mobil dan jalan yang masih menyisahkan resah. Seolah hendak pasrah dan mengatakan kesempurnaan hanya
milik Tuhan. Sterilisasi ini mesti dikuatkan dengan kebijakan-kebijakan lain tanpa menghilangkan hak pelaku
pasar dan kehendak masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor dan memanfaatkan fasilitas jalan raya.

Syarat kepemilikan mobil memang sangat mudah. Ada uang ada barang. Pragmatisme picik ala pasar ini se iya
se kata dengan keengganan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tidak populis. Takut kehilangan
sponsor dan dukungan masyarakat dalam kontestasi politik bisa jadi alasan yang tidak disebutkannya. Jangan
lupa, lembaga pembiayaan tidak hanya sukses meraup untung tetapi juga sukses menjadi pupuk atas laju
pertumbuhan kendaraan.

Khusus untuk DKI Jakarta yang memang membutuhkan penanganan khusus dalam mengurai kemacetan, mesti
ada terobosan-terobasan lain selain optimalisasi Transjakarta dengan sterilisasi dan penambahan armada dalam
menajemen yang semakin baik. Gagasan lain yang bisa dicoba dan sangat aplikatif adalah, pembatasan masa
operasional kendaraan. Kendaran sebelas tahun ke atas tidak boleh beroperasi di Jakarta. Pembatasan masa
operasi kendaraan ini, tentu berdampak pada berkurangnya volume kendaraan yang beroperasi di Jakarta. Hal
lain adalah pajak kendaraan. Tentu sebuah kesewenangan jika produsen mobil dilarang menjual mobilnya
dengan penolakan terhadap kebijakan mobil murah misalnya, tetapi disatu sisi negara tidak boleh kehilangan
kendalinya. Menaikkan pajak kendaraan secara signifikan adalah opsi yang masih terbenam. Begitupula dengan
jalan berbayar. Gagasan ini sempat mengemuka, tetapi sampai saat ini tetap saja menjadi isu, seolah ketika ia
telah menjadi isu, kemacetan dengan sendirinya terurai.

Adigium; aturan dibuat untuk dilanggar adalah hal yang populis di masyarakat kita. Betapa tidak, merujuk pada
dasar hukum sterilisasi jalur Transjakarta, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan serta Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No 8 Tahun 2007, dapat
kita lihat, Tahun 2007 merupakan tahun pengesahan untuk Peraturan Daerah yang melarang menerobos jalur
Transjakarta, begitu pula dengan undang-undang lalu lintas yang sudah disahkan tahun 2009 yang memuat
sanksi satu juta dan lima ratus ribu rupiah, nanti di akhir tahun 2013 baru coba ditegakkan. Dari mana saja
tuanku yang berwenang ?

Berkaitan dengan paradigma Hukum Antisipasi Masa Depan, peraturan perundang-undangan yang digunakan
untuk mengantisipasi perubahan sosial tetapi menghadapi polemik yang kontroversial dalam masyarakat oleh
karena sanksi dan denda yang sangat tinggi seperti halnya UU Lalu Lintas tersebut. Akibatnya terjadi penundaan
pemberlakuan.[18]
Dari perspektif yang lain, sanksi ini juga soal, angka satu juta dan lima ratus ribu dapat dilihat dalam posisi relatif.
Rasio kaya dan miskin akan menentukan kualitasnya, ini kemahalan atau justru dipahami sebagai receh
murahan. Dalam bahasa lain, apakah angka tersebut sebagai sanksi merupakan akibat hukum yang diinginkan
atau tidak.[19] Belum lagi isu tebang pilih dalam pelaksanaannya. Tetapi hal lain yang tidak boleh kita lupakan
adalah, mesti ada cara lain yang disiapkan untuk melahirkan efek jera. Misalnya sanksi pencabutan Surat Tanda
Nomor Kendaraan (STNK), pencabutan Surat Ijin Mengemudi (SIM) seumur hidup, hukuman sosial seperti kerja
bakti ditempat umum yang diumumkan dengan status sebagai pelanggar jalur Transjakarta, dan sebagainya.

Sementara hambatan dari sisi struktural adalah relasi kekuasan politik (pemerintah) dengan kekuasaan bisnis
(swasta). Beberapa opsi atas pengaturan kepemilikan kendaraan serta sanksinya, tentu saja mendapatkan
tantangan dari mereka yang sudah diuntungkan oleh pola struktur dan praktek kekuasaan, mengingat liberalisasi
politik sebagai konsekuensi kita berdemokrasi, tidaklah memikul beban yang ringan.

Menurut B. Hery Priyono, dalam gagasan spiritualistik dan amaterial tentang politik bersarang paham aneh
mengenai kuasa (power) dan harta (property). Melalui pelintiran konseptual, harta dan kekuasaan diperlakukan
sebagai dua hal yang berbeda dan terpisah. Tentu saja pemisahan itu sebentuk sim-salabim yang tak pernah
ada dalam realitas faktual, karena power dan property laksana kembar siam yang hampir tidak bisa dipisahkan
dengan operasi bedah apa pun. Dan fakta bahwa tiap orang/kelompok yang ingin meraih kursi administratif-
kenegaraan biasanya menggunakan kekuatan uang menunjukkan bahwa uang merupakan pilar kekuasaan.[20]

Istilah demokrasi tentu kita pinjam dari orang-orang Yunani klasik. Mereka juga punya banyak istilah untuk
menunjuk 'uang'. Salah satunya adalah chrema, uang suap. Dengan luasnya daya penentuan kuasa uang dalam
pemilu kita, yang akan kita hasilkan bukan demokrasi (pemerintahan rakyat),
melainkan chremocracy  (pemerintahan para penyuap). Tentu saja pada gilirannya chremocracy akan
mengembangbiakkan kleptokrasi atau pemerintahan maling.[21]

Narasi ini bermakna, bagaimana relasi kekuasaan politik dan kekuasaan bisnis sangat intim. Sampai hari ini kita
hanya bisa meraba dalam samar, berapa digit kompensasi sehingga pajak mobil tidak dinaikkan, ataukah ia lebih
besar dari alas penandatanagan lahirnya Transjakarta sebagai bisnis transportasi di Jakarta? Tanpa bermaksud
mengaduk samudra, kita juga patut bertanya, berapa banyak transaksi gelap ditempat kejadian perkara yang
tidak dibenarkan oleh negara dalam menghukumi pelanggar lalu lintas? Mengutip penggalan lirik lagu Iwan
Fals, tawar menawar harga tancap gas.

Hambatan materil, sanksi dan struktural dalam sterilisasi jalur Transjakarta untuk mengurai kemacetan dan
merubah budaya berkendara jelas pekerjaan rumah yang tidak ringan.Inilah yang dimaksud Gunnar Myrdal
sebagai softdevelopment, dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif.
Gejala ini ditandai dengan adanya hambatan.[22]

Catatan Penting

Apa yang ingin saya catat dari kebijakan sterilisasi jalur Transjakarta adalah; Pertama, moralitas bisnis
Transjakarta yang juga tidak jauh dari narsisisme laba adalah hal yang tertutupi. Kekuasaan bisnis dalam hal ini
Transjakarta, menjadikan macet sebagai medan promosi gratis tanpa pernah membuka secara detail
eksistensinya sebagai bisnis transportasi terhadap warga Jakarta. Akibatnya pelibatan aparat dalam melakukan
sterilisasi dipahami sebagai upaya penegakan hukum dan misi mulia, mengurai kemacetan dengan mengubah
budaya berkendara warga Jakarta dari mode kendaraan pribadi ke transportasi publik hanyalah topeng disatu
sisi, disisi yang laten itu adalah bagian untuk memuluskan maksimalitas narsisisme laba Transjakarta. Hal ini
diperkuat dengan melihat pola pertanggungjawaban Transjakarta yang sepenuhnya kepada Gubernur. Rasa
memiliki terhadap Transjakarta jauh maksud dari tujuan. Eksistensi Dewan Transportasi Jakarta sejatinya
merepresentasi masyarakat pada aspek transportasi, dimana semestinya memiliki kontrol atas harga
kewenangan representasi warga untuk transportasi. Sederhananya, ini mendesakkan partisipasi, monitoring dan
evaluasi terhadap Transjakarta, tanpa melepaskannya dari moralitas bisnis yang menyetuh hidup orang banyak
dalam narasi akuntabilitas.

Poin kedua yang ingin saya tegaskan adalah, misi mulia mengurai kemacetan dan upaya mengubah budaya
berkendara warga Jakarta dari mode kendaraan pribadi ke transportasi publik tidak cukup dengan sterilisasi jalur
Transjakarta. Saya sepakat bahwa seribu mil dimulai dengan selangkah. Tetapi yang tidak boleh kita lupakan
adalah, rencana strategis kebijakan transportasi publik yang terintegrasi. Karena yang mesti diubah oleh
kebijakan ini adalah budaya.

Ketiga, dalam pendekatan sosiologi hukum, dimana hukum merupakan alat untuk melakukan perubahan sosial,
konsistensi terhadap penegakan hukum untuk melahirkan efek jera dalam kasus sterilisasi jalur Transjakarta,
tentu membawa dampak yang tidak hanya mengurangi angka kecelakaan lalu lintas. Tetapi juga tingkat
kesadaran masyarakat terhadap hukum dengan segala sanksinya meningkat. Maka dari itu, membangun piranti
hukum sebagai dasar dari apa yang saya sebutkan pada poin kedua tentang rencana strategis kebijakan
transportasi publik, tidak cukup hanya dengan besandar pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan serta Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No 8 Tahun
2007. Kita perlu mendesain aturan baru sebagai perangkat hukum pendukung yang belum diatur dalam kedua
aturan tersebut. Terutama ketika opsi jalan berbayar, pembatasan masa operasi kendaraan, pajak kendaraan
dan pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak khususnya  di wilayah Jakarta menjadi pilihan. Tanpa itu semua,
mimpi akan Jakarta yang terbebas dari persoalan kemacetan, hanya akan menjadi komoditas politik yang
dijadikan sebagai gincu penarik disetiap perhelatan pemilihan Gubernur, Legislatif maupun pemilihan Presiden.
Setelah itu, kita tetap saja harus menyiapkan tabungan untuk paru-paru kita yang rusak akibat polusi dari
kemacetan yang menang atas akal budi obyektif kita.

Daftar  Pustaka

Anwar Yesmil dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Grasindo, 2008

Arinanto, Satya, Constitutional Law and Democratization in Indonesia, Jakarta: Publishing House Faculty of Law
University of Indonesia, 2000.

____________, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi Dan Konstitusioonalisme Indonesia,  Jakarta: Konstitusi Press. 2005

_____________, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,  Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer, 2007.
Deflem, Mathieu, Sociology of Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2008

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta : Gramedia 2004

Fuady, Munir, Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum, Jakarta: Kencana. 2011

Giddens, Anthony, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2010.

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2003

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum,  Bandung: Refika Aditama. 2007.

Sholehuddin, Umar, Hukum dan Keadilan Masyarakat:Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, Malang: Setara Press,
2011.

Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: Gramedia, 1983.

Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Press. 2011

Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia Paska Perubahan UUD 1945, Bandung: Fokus Media.2007.

http://www.unisosdem.org

http://gudangilmusosiologi.blogspot.com

https://sites.google.com

http://www.djpp.kemenkumham.go.id

http://www.scribd.com

http://www.wikipedia.org

[1] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta : Gramedia 2004, hlm 236. “Para Filsuf tidak lebih dari pada
sekedar menafsirkan dunia dengan berbagai cara, padahal yang terpenting adalah mengubahnya”.

[2] http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php?aid=305&coid=1&caid=34&auid=3. Diakses 21 Desember 2013

[3] B. Herry Priyono, Antara Gangsterisme dan Etika, Kompas 25 Juli 2002, Artikel

[4] Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: Gramedia 1983, hlm 99-104

[5] Munir Fuady, Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum, Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2011,hlm.80

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta. Diakses 21 Desember 2013

[7] http://www.beritasatu.com/megapolitan/147016-data-kecelakaan-transjakarta-hingga-september-2013.html.
Diakses 21 Desember 2013

[8] http://megapolitan.kompas.com. Diakses 21 Desember 2013


[9] http://tutorialterkini.blogspot.com/2013/05/hukum-merupakan-instrumen-perubahan.html. Diakses 21
Desember 2013

[10] Munir Fuady, Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum, Jakarta: Kencana 2011, hlm 55

[11] http://hasniaabni.blogspot.com/2013/04/hukum-sebagai-instrument-perubahan.html. Diakses 21 Desember


2013

[12] https://sites.google.com/a/g.rit.edu/auknotes/law-and-society. Diakses 21 Desember 2013

[13] Munir Fuady, Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum, Jakarta: Kencana 2011, hlm.52

[14] Anthony Giddens, Teori Strukturasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2010, hlm 269-276

[15] http://www.scribd.com/doc/42251936/Teori-McClelland-Teori-Kebutuhan-Berprestasi. Diakses 21 Desember


2013

[16] . Herry Priyono, Konsumerisme, Kompas 8 Maret 2003, Artikel

[17] Kansil, C.S.T. dan Christine S.T., Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

[18] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2001, hlm.33

[19] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Press. 2011, hlm 144

[20] B. Herry Priyono, Dari 'Money Politics' ke 'Chremocracy', Media Indonesia, 24 Maret 2004, Artikel

[21] Idem

[22] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Press. 2011, hlm 135

Anda mungkin juga menyukai