Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker payudara merupakan masalah kesehatan utama perempuan

di seluruh dunia. International Agency for Research on Cancer (IARC,

2012) melaporkan bahwa kanker payudara menempati urutan pertama kanker

pada wanita di dunia, dengan 1,7 juta perempuan terdiagnosis kanker

payudara pada tahun 2012, dan 6,3 juta perempuan dengan kanker payudara

dapat bertahan sampai 5 tahun.

Di Amerika Serikat, kanker payudara menduduki peringkat kanker

tertinggi pada perempuan dan merupakan penyebab kematian nomor dua

setelah kanker serviks uteri. Diperkirakan terdapat 212. 000 kasus baru

kanker payudara per tahun dengan 41.000 kasus (19,33%) meninggal/tahun

(Lemone & Burke, 2008). Pada tahun 2007, di USA diperkirakan 26% kasus

kanker adalah kanker payudara, dan merupakan 15% penyebab kematian

karena kanker. Selama tahun 2007, terjadi penurunan angka kematian akibat

penyakit kanker payudara hingga 40.910 orang. Hal ini diakibatkan karena

program pengobatan, perawatan dan deteksi dini yang semakin baik

(American Cancer Society, 2008). Saat ini, diperkirakan probabilitas

pertumbuhan kanker payudara di negara maju sekitar 1,8% (American Cancer

Society, 2008).

Kekerapan kanker payudara di Hongkong dilaporkan mencapai 53,2

per 100.000 perempuan (Sutandyo, 2006), dan di Jepang hanya 8,6 per

100.000 perempuan (Health Statistic WHO, 2009). Meskipun insidens


2

kanker payudara di Asia jauh lebih rendah dibandingkan dengan insidens di

negara Amerika dan Eropa, akan tetapi satu hal yang harus menjadi perhatian

serius adalah insidens pasien kanker payudara di negara-negara Asia relatif

berada pada usia yang lebih muda (Globocan, 2002).

Di Indonesia, menurut data GLOBOCAN (IARC) tahun 2012,

kanker payudara merupakan penyakit kanker dengan persentase kasus baru

tertinggi yaitu, sebesar 43,3%, dengan persentase kematian akibat kanker

payudara sebesar 12,9%, dari keseluruhan jenis kanker yang ada. Bila

dicermati, ternyata insiden kanker payudara di Indonesia jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan insiden kanker payudara di Jepang.

Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2004-2008, kanker payudara dan

kanker leher rahim merupakan kanker tertinggi pada pasien kanker rawat

inap di semua RS di Indonesia, dengan proporsi sebesar 18,3%, diikuti

kanker leher rahim 10,3%, kanker hati 8,2%, leukemia 7,3%, dan Lymphoma

6,5% (SIRS, 2009). Data dari registrasi kanker berbasis populasi di DKI

Jakarta tahun 2005-2007 menunjukkan bahwa kanker tertinggi di Jakarta pada

perempuan adalah kanker payudara 31 per 100.000 perempuan, dan diurutan

kedua kanker leher rahim 17,6, per 100.000 perempuan (Riskesdas, 2007).

Selama empat tahun terakhir (2010-2013), kanker payudara,

merupakan penyakit terbanyak di RS Kanker Dharmais, dan jumlah kasus

baru serta jumlah kematian akibat kanker tersebut terus meningkat (Rekam

Medis RSKD, 2008).


3

Kanker payudara merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh

kaum perempuan, namun tinggi rendahnya risiko perempuan terkena kanker

payudara tergantung pada beberapa faktor, antara lain; riwayat keluarga,

genetika, usia, mentruasi dini, menopause lebih lama, minum alkohol, tidak

memiliki keturunan, terapi hormonal, obesitas dan faktor lain yang belum

teridentifikasi. Meskipun 77% perempuan yang terkena kanker payudara di

atas usia 50 tahun, namun pada usia lebih muda kemungkinan perempuan

terkena kanker payudara dapat saja terjadi, walaupun persentasenya sangat

kecil (American Cancer Society Breast Cancer, 2006).

Satu hal yang menarik untuk disimak adalah kemungkinan

perempuan terkena kanker payudara berbeda di antara berbagai ras. Ras kulit

putih mempunyai risiko lebih tinggi jika dibandingkan dengan ras Asia

Pasifik dan kepulauan. Sementara, perempuan Indian dan Alaska merupakan

yang terendah probabilitasnya (National Cancer Institute, 2007).

Masalah penanganan kanker payudara menjadi semakin kompleks

karena kanker payudara stadium lanjut lokal menduduki tempat teratas di

Indonesia (Azamris, 2005). Hal ini sangat jauh berbeda dengan kenyataan di

negara maju seperti di Jepang, yaitu kanker payudara ditemukan pada stadium

yang masih sangat dini dengan angka kesembuhan yang cukup tinggi

(Health Statistic WHO, 2009).

Salah satu permasalahan kanker payudara yang memerlukan

penanganan multi disiplin secara terpadu pada fase paliatif adalah terjadinya

komplikasi berupa metastase, yaitu penjalaran sel kanker ke organ tubuh lain.

Metastase bisa terjadi pada kelenjar getah bening, ketiak atau di atas tulang
4

belikat (Piggin & Jones, 2009). Selain itu, sel-sel kanker juga bisa

bermetastase ke tulang, paru-paru, hati, kulit dan otak (Piggin & Jones, 2009;

Barton, 2001).

Penjalaran kanker payudara ke bawah kulit akan membentuk lesi

berupa malignant fungating wound. Lesi luka kanker terbentuk karena

infiltrasi sel kanker ke daerah epitelium, kelenjer limfa dan pembuluh darah,

terutama pembuluh darah kapiler (Moore, 2002; Naylor, 2002; Lund-

Nielsen et al., 2005). Penjalaran sel kanker selanjutnya akan merusak daerah

kulit sekitar payudara dan menimbulkan ulserasi massa jamur (ulcerating

fungating mass). Menurut Chaplin (2004), luka kanker biasanya terjadi

pada daerah sekitar kulit payudara, kepala dan leher. Diperkirakan, 62%

luka kanker terjadi pada daerah payudara, 24% pada daerah kepala dan leher

(Haisefield-Wolfe & Rund, 1997; Naylor, 2002) dan 14% pada area lain

daerah wajah, daerah genetalia / anal, kelenjer limfa sekitar lipat paha dan

daerah aksila (Williams, 1997).

Insiden luka kanker payudara secara pasti belum diketahui

(Growcott, 2000). Namun, Haisefield-Wolfe & Rund, (1997); Naylor, (2001);

Dowsett, (2002); Hamptom (2004) dan Queen et al. (2003) melaporkan

bahwa 5-10% pasien kanker yang sudah mengalami metastase disertai dengan

luka kanker (malignant fungating wound). Dari hasil survei perawat Hospice

di Inggris, yang dilakukan Thomas pada tahun 1992 (dalam Naylor, 2002)

dilaporkan 295 dari 2417 kasus (12,2%) subjek penelitian menderita luka

kanker.
5

Di Indonesia, secara keseluruhan belum didapatkan angka insidensi

luka kanker yang pasti. Namun, dari hasil survei perawat paliatif Rumah

Sakit Kanker Dharmais pada tahun 2005 ditemukan 21% pasien dengan luka

kanker dari keseluruhan jumlah pasien yang mendapatkan perawatan paliatif

(Unit Paliatif RS. Kanker Dharmais, 2005). Di Poliklinik Perawatan Luka

dan Stoma RS. Kanker Dharmais, pada periode 2008-2012, lebih dari 70%

pasien yang menjalani perawatan luka adalah pasien luka kanker payudara

(Poliklinik Perawatan Luka dan Stoma Rumah Sakit Kanker Dharmais,

2013).

Penemuan kanker payudara yang disertai luka kronis, memiliki

masalah yang kompleks dalam penanganannya, karena kondisi pasien

kanker payudara dengan luka, bukan saja terkait dengan masalah fisik /

fisiologis, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah masalah respon

psikologis yang juga memerlukan penanganan khusus. Payudara merupakan

salah satu ciri-ciri seks sekunder yang mempunyai arti penting bagi wanita,

tidak saja sebagai salah satu identitas bahwa ia seorang wanita, melainkan

mempunyai nilai tersendiri, baik dari segi biologik, psikologik, psikoseksual

maupun masalah sosiospiritual lainnya (Hawari, 2004). Dengan demikian,

perawatan luka kanker merupakan tantangan tersendiri bagi perawat

(William, 2001) karena luka kanker sulit untuk sembuh, akibat sel-sel

kanker yang terus bertambah (Manus, 2007) serta menimbulkan gejala yang

sulit untuk ditangani, terkait dengan malodor, eksudat dan infeksi (Laverty,

2000 dalam Laverty, 2003).


6

Secara umum masalah, fisik yang menjadi keluhan pasien kanker

payudara adalah masalah luka kanker yang identik dengan bau yang kurang

sedap (malodor), luka mudah berdarah, keluaran eksudat yang berlebihan,

timbulnya rasa nyeri sekitar luka serta bentuk luka yang tidak beraturan

(Growcott, 2000; Naylor, 2002; Nazarko, 2006).

Malodor yang timbul dari luka kanker disebabkan oleh koloni

bakteri aerob dan anaerob pada area jaringan nekrotik (Mc. Murray, 2007).

Lesi pada luka kanker pada umumnya mempunyai prognosis buruk, sehingga

mengidentifikasi strategi pengobatan yang optimal merupakan prioritas

utama. Pada kondisi ini, tujuan pengobatan bukan lagi untuk mencari

kesembuhan, tetapi hanyalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien

(quality of life), (Naylor, 2002).

Penyebab masalah psikologis utama yang dihadapi pasien bersumber

dari bau luka kanker (malodor). Timbulnya malodor merupakan masalah

tersendiri bagi pasien (Grocott, 2002; Piggin & Jones, 2007; Hampton, 2004).

Dikatakan bahwa seorang suami tidak dapat tidur bersama istri yang

mengalami malodor.

Hasil penelitian Hack, (2003, dalam Bale, 2004) melaporkan bahwa

dampak negatif luka kronik adalah terjadinya perubahan gambaran diri,

perasaan malu, menarik diri, menurunnya selera makan, gangguan pola tidur,

gangguan interaksi sosial, serta gangguan dalam melaksanakan aktivitas

spiritual. Adanya malodor akan sangat mengganggu kenyamanan pasien,

merasa terisolasi dari lingkungan, malu dan merasa tidak pantas lagi memakai

pakaian yang feminim seperti biasanya, serta menekan keinginan untuk


7

melakukan hubungan seksual (Lund-Nielsen et al., 2004). Keseluruhan

permasalahan di atas biasanya juga melibatkan aspek estetika, hubungan

perkawinan, sosial dan ekonomi.

Penelitian terkait dengan aspek psikososial terhadap pasien luka

kanker dari OHIO University meilaporkan bahwa stres psikologis dapat

memperlambat penyembuhan luka (Glaser, Ohio GRRC 2000). Respon

psikologis lain yang juga bisa dialami pasien adalah reaksi cemas,

penolakan (denial) gangguan gambaran diri (body image), rasa takut, dan

marah (Barton et al, 2001; Lazelle-Ali, 2007). Respon psikologis pasien

kanker payudara yang tidak ditangani dengan adekuat, dapat memperberat

kondisi penyakit primer secara keseluruhan (Sucipto, 2003; Santoso, 2004).

Kompleksnya permasalahan pasien dengan luka kanker payudara,

baik permasalahan fisik maupun masalah psikososiospiritual lainnya, apabila

tidak ditangani secara komprehensif akan menurunkan kualitas hidup pasien

yang mungkin hanya tinggal beberapa minggu sampai beberapa bulan lagi.

Tujuan utama perawatan pasien kanker payudara pada fase paliatif adalah

mengoptimalkan peningkatan kualitas hidup pasien dengan mengontrol

gejala-gejala fisik yang timbul dan memberikan perhatian terhadap

pemenuhan kebutuhan psikososiospiritual pasien dengan upaya menurunkan

skor masalah gangguan psikososiospiritual (Grocott et al., 2005; Piggin, &

Jones., 2007).

Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan yang terlibat

langsung dalam memberikan asuhan, harus dapat memberikan kontribusi

dalam upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan memberikan asuhan


8

keperawatan secara komprehensif dan menyeluruh / asuhan holistik

(Alexander, 2009). Penatalaksanaan perawatan tidak cukup dengan hanya

memberikan perhatian pada perawatan fisik luka semata-mata, tetapi pada

saat ini sudah saatnya di Indonesia dilaksanakan perawatan secara total care,

meliputi aspek fisik dan aspek psikososiospiritual pasien, memandang

pasien sebagai satu kesatuan yang utuh serta menerapkan konsep

kepedulian (caring) dalam memberikan asuhan (Watson, 2004).

Pada studi ini, peneliti menfokuskan pada penanganan respon fisik

pasien terkait dengan malodor yang timbul dari luka kanker, dengan tidak

lupa memperhatikan respon psikososiospiritual dalam melakukan intervensi

keperawatan. Perawatan luka dengan agen topikal yang tepat merupakan

faktor penting dalam mengurangi malodor dan meminimalkan eksudat.

Beberapa tindakan yang sering dilakukan untuk mengatasi malodor luka

kanker adalah dengan memberikan antibiotika secara topikal maupun

sistemik, menggunakan pembalut penyerap bau, menggunakan bubuk kopi,

larva, madu atau deodoran penghilang bau.

Metronidazol merupakan agen topikal yang cukup efektif untuk

mengontrol bau luka kanker (Mc. Murray, 2007). Hasil penelitian Kuge et al.

(1996) melaporkan bahwa penggunaan Metronidazol gel 0,80% mampu

mengontrol bau setelah penggunaan 2-5 hari. Blinding studi yang dilakukan

Bale et al. (2004) melaporkan pemberian Metronidazol gel 0,75% sampai

dengan hari ke 3 dapat menanggulangi malodor 100% pada kelompok

intervensi, dan 76% pada kelompok kontrol (placebo). Terdapat hubungan

yang signifikan antara penilaian yang diberikan pasien dan perawat dengan
9

menggunakan alat ukur visual analog scale (VAS), dengan p < 0,001. Di

samping itu, Kalinski et al. (2005) juga melaporkan bahwa Metronidazol

yang diberikan selama 1 minggu efektif meminimalkan eksudat dari tingkat

maksimal ke tingkat minimal pada 20% pengidap luka kanker.

Kondisi pasien luka kanker yang datang berobat ke rumah sakit

pada umumnya sudah sangat luas dan progresif, sehingga penggunaan

Metronidazol topikal secara tunggal (formula topikal standar/ FTS) yang

selama ini digunakan, dirasakan masih belum optimal dalam mengurangi bau

luka kanker, sedangkan masalah bau luka kanker (malodor),merupakan

masalah utama yang dapat menganggu kualitas hidup pasien, baik terkait

dengan aspek fisik, mapun aspek psikososiospiritual lainnya.

Sesuai dengan 4 peran dan fungsi utama perawat, yaitu: sebagai

pemberi pelayanan, sebagai pendidik, sebagai manajer dan peneliti, dalam

hal ini Rumah Sakit Kanker Dharmais sebagai pusat rujukan nasional untuk

penyakit kanker, senantiasa mengadakan inovasi dalam penanggulangan

kanker. Pada studi ini, Tim Perawatan Luka (focus interest group / FIG

Perawatan Luka) bekerja sama dengan bagian Farmasi Klinik Rumah Sakit

Kanker Dharmais melakukan inovasi pencampuran formula topikal, yang

selanjutnya dinamakan dengan fomula topikal inovasi (FTI), dengan bahan

dasar utama Metronidazol dan Zink oksid untuk penanggulangan perawatan

luka kanker, terutama mengurangi bau luka kanker. Zink oksid memegang

peranan penting dalam mempercepat proses penyembuhan luka, membantu

merangsang pembentukan kolagen dan sintesis protein, bekerja aktif sebagai

anti mikrobial ringan, anti fungal dan merangsang granulasi jaringan serta
10

juga berfungsi sebagai autolisis debrideman (MacKay & Miller, 2003;

Watters & Tredget, 2002; Cooper & Gray, 2001). Pengalaman klinik

terhadap pasien yang telah mendapatkan perawatan luka menggunakan

formula topikal inovatif, telah menunjukkan respon fisik dan respon

psikososial yang lebih positif. Di samping itu, formula ini menggunakan

bahan dasar yang cukup murah dan terjangkau.

Hasil studi pendahuluan menunjukkan formula topikal inovatif

(FTI) mampu mengurangi respon psikologis pasien sebesar 47%,

mengurangi bau (malodor) 49,4%, mengurangi nyeri saat ganti balutan 70%,

keterjangkauan biaya sebesar 50%, serta meningkatkan kepuasan pasien

33% (Wahidi & Anjarwati, 2008). Dari hasil studi kasus ini terlihat manfaat

FTI cukup besar bagi pasien luka kanker. Sebaliknya, perawatan luka

menggunakan formula topikal standar (FTS) berupa Metronidazol powder

tunggal, yang telah digunakan selama ini, memiliki efek mengurangi bau

minimal, dan periode waktu berkurangnya bau lebih lama, serta cara

penggunaan kurang praktis. FTI sebetulnya sudah digunakan sejak tahun

2001 di Rumah Sakit Kanker Dharmais, tetapi sampai saat ini belum

dilakukan uji klinik secara ilmiah dan belum dipasarkan secara luas serta

belum didaftarkan sebagai hak paten, sehingga baru diproduksi secara

konvensional dan hanya digunakan dalam lingkungan internal Rumah Sakit

Kanker Dharmais. Sampai saat ini di Indonesia khususnya, belum banyak

penelitian tentang perawatan luka kanker payudara yang dilakukan untuk

memperoleh metode yang paling efektif dan tepat dalam mengatasi respon

biopsikososiospiritual yang timbul. Kondisi luka kanker yang sangat


11

kompleks, merupakan tantangan tersendiri bagi dunia perawatan untuk

melakukan berbagai macam inovasi, khususnya dalam penanganan aspek

biopsikososiospiritual pasien luka kanker payudara.

Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk

melakukan suatu penelitian ilmiah, terkait dengan perawatan pasien luka

kanker payudara, untuk membuktikan secara makro dan mikroskopis, di

antara kedua jenis formula (FTI dan FTS) yang lebih efektif terhadap

penanganan masalah biopsikososiospiritual, dalam upaya meningkatkan

kualitas hidup pasien luka kanker payudara.

B. Rumusan Masalah

Luka di sekitar daerah payudara merupakan masalah penting untuk

menjadi perhatian perawat dalam memberikan asuhan, karena payudara

adalah lambang kewanitaan dari seorang perempuan. Di samping adanya

masalah fisik, masalah estetika, masalah psikologis, masalah hubungan

perkawinan, masalah seksual, masalah sosial, serta masalah ekonomi juga

harus menjadi fokus utama dalam penatalaksanaan luka kanker payudara

(Piggin & Jones, 2007). Perawatan luka kanker payudara dengan

menggunakan agen topikal yang tepat merupakan salah satu faktor dalam

upaya peningkatan kualitas hidup pasien dengan luka kanker. Manajemen

perawatan luka kanker payudara dengan prosedur stándar, memberikan efek

yang lama dan kurang optimal. Diperlukan terapi tambahan yang dapat

mendukung penatalaksanaan perawatan luka kanker payudara agar lebih


12

efektif. Namun, sampai saat ini belum ada penelitian yang menfokuskan pada

upaya penanggulangan serta mengurangi timbulnya masalah

biopsikososiospiritual secara menyeluruh pada luka kanker payudara.

Berdasarkan analisis permasalahan di atas, masalah pokok penelitian

yang ingin diungkap adalah:

”Apakah perawatan luka kanker payudara menggunakan formula

topikal inovatif (FTI) lebih efektif mengurangi jumlah TPC (total plate

count), jenis bakteri, dan menurunkan skor persepsi biopsikososiospiritual

pasien luka kanker payudara dibandingkan dengan formula topikal standar

(FTS)?

Permasalahan pokok penelitian ini dibuktikan melalui beberapa

pertanyaan berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan jumlah TPC dan jenis bakteri pada perawatan

luka kanker payudara dengan menggunakan FTI dibandingkan dengan

FTS?

2. Apakah terdapat perbedaan penurunan skor persepsi biopsikososiospiritual

pada perawatan luka kanker payudara dengan menggunakan FTI

dibandingkan dengan FTS?


13

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membuktikan perbedaan

efektivitas perawatan luka kanker payudara menggunakan FTI

dibandingkan dengan FTS.

2. Tujuan khusus

a. Membuktikan perbedaan penurunan jumlah (TPC) dan jenis bakteri

pada perawatan luka kanker payudara dengan menggunakan FTI

dibandingkan dengan FTS.

b. Membuktikan perbedaan penurunan skor persepsi respon fisik pada

perawatan luka kanker payudara dengan menggunakan FTI

dibandingkan dengan FTS.

c. Membuktikan perbedaan penurunan skor persepsi malodor oleh

perawat pada perawatan luka kanker payudara dengan menggunakan

FTI dibandingkan dengan FTS.

d. Membuktikan perbedaan penurunan skor persepsi malodor oleh

keluarga pada perawatan luka kanker payudara dengan menggunakan

FTI dibandingkan dengan FTS.

e. Membuktikan perbedaan penurunan skor persepsi psikososiospiritual

pada perawatan luka kanker payudara dengan menggunakan FTI

dibandingkan dengan FTS.


14

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik bagi institusi pelayanan, institusi

pendidikan, maupun untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

1. Manfaat bagi institusi pelayananan kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan

dalam menyusun standar dan membuat kebijakan dalam penatalaksanaan

perawatan pasien luka kanker payudara. Di samping itu, hasil penelitian

ini juga dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun clinical pathway

sistem pelayanan yang berorientasi pelanggan. Hasil penelitian ini juga

diharapkan dapat bermanfaat dalam membuka wawasan baru para perawat

klinisi untuk memanfaatkan hasil penelitian ini dalam pengambilan

keputusan untuk memilih metode yang tepat dalam perawatan luka kanker

payudara. Bagi Rumah Sakit Kanker Dharmais khususnya, hasil

penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk mendaftarkan hak

paten formula topikal inovatif ke Departemen Kehakiman.

2. Manfaat bagi institusi pendidikan

Studi ini akan menghasilkan konsep baru mengenai perawatan luka

kanker payudara, terkait dengan penanganan aspek biopsikososiospiritual

luka kanker payudara, yang merupakan bagian dalam upaya peningkatan

kualitas hidup pasien kanker. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai dasar evidence base practice dalam pengembangan ilmu

perawatan luka kanker.


15

3. Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan sebagai data dasar

dalam pengembangan riset uji klinis dalam bidang perawatan luka kronik

lainnya.

E. Orisinalitas Penelitian

Beberapa penelitian luka kanker telah dilakukan di berbagai

perguruan tinggi dan pusat penelitian kanker di berbagai negara. Berbeda

dengan penelitian yang telah pernah dilaksanakan, penelitian yang

membandingkan efektivitas perawatan luka kanker payudara dengan

menggunakan malodor dan formula topikal standar belum pernah

dilaksanakan, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Untuk mengonfirmasi

diantara keduanya yang terbaik dari aspek biopsikososiospiritual pasien luka

kanker payudara dan tingkat kenyamanan pasien serta dari sisi manajemen

asuhan keperawatan, penelitian ini perlu dilakukan. Khususnya untuk kasus

kanker payudara di Indonesia yang pada umumnya baru tertangani ketika

pasien datang sudah dalam stadium lanjut, dan disertai dengan luka kanker

(malignant fungating wound). Beberapa penelitian terkait yang sudah pernah

dilaksanakan antara lain;

1. Use of Metronidazol Gel to Control Malodor in Advanced and Recurrent

Breast Cancer Penelitian yang dilakukan oleh Kuge, et al. (Tokai

University School of Medicine, Isehara, Kanagawa – Japan, 1996).

Desain penelitian yang digunakan adalah studi prospektif, terbuka (tanpa

kontrol). Hasil penelitian melaporkan bahwa penggunaan Metronidazol

gel 0,80% pada permukaan luka mampu mengontrol bau setelah


16

penggunaan 2-5 hari pada 80% subjek penelitian, tetapi jumlah sampel

penelitian ini sangat terbatas, hanya dilaksanakan pada 5 pasien.

2. A Topical Metronidazol Gel Used to Treat Malodorous Wounds Bale, et

al., (Nursing Research University, University of Wales College of

Medicine Cardiff, Wales, UK 2004). Penelitian tersebut menggunakan

desain randomize placebo controlled double blind. Blinding studi yang

dilakukan Bale et al. bertujuan untuk menilai efektivitas Metronidazol

gel untuk mengatasi malodor luka kanker. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa pemberian Metronidazol gel 0,75% sampai dengan hari ke 3

dapat menanggulangi malodor100% pada kelompok intervensi, dan 76%

pada kelompok kontrol (placebo). Terdapat hubungan yang signifikan

antara penilaian yang diberikan pasien dan perawat dengan

menggunakan alat ukur visual analog scale (p < 0,001).

3. Effectiveness of Topical Formulation Containing Metronidazol for

Odor and Exudate Control (Kalinski, et al., 2005). Tujuan utama

penelitian tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien luka

kanker dengan mengevaluasi keefektifan penggunaan formula

Metronidazol 0.75% terhadap malodor dan eksudat luka kanker, serta

membandingkan jumlah biaya formula topikal komersial dengan

formula buatan sendiri. Penelitian tersebut dilaksanakan terhadap 16

pasien kanker lanjut dengan luka,di satu pusat penelitian / satu rumah

sakit (single center study). Hasil penelitian menunjukkan bahwa malodor

berkurang setelah 24 jam pertama aplikasi formula pada 10 subjek


17

penelitian (62.5%) dan malodor tidak terkontrol (bau tidak berkurang)

dilaporkan pada 6 subjek penelitian (37.5%).

4. Perbedaan Efektivitas Perawatan Luka Menggunakan Madu dengan

Metronidazol terhadap tingkat Malodor dan Jumlah Eksudat Luka

Maligna di Rumah Sakit Kanker Dharmais (Tanjung, 2007). Desain

penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan

nonequivalent pre dan post test control group design, dengan jumlah

sampel penelitian 12 orang subjek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

perawatan luka menggunakan madu secara topikal mampu mengurangi

malodor berdasarkan penilaian pasien dengan menggunakan numeric

rating scale (NRS) dari 6,0 sebelum intervensi menjadi 2,1 setelah

intervensi pada hari ke 6. Sementara, perawatan luka menggunakan

Metronidazol topikal, hanya mengurangi malodor dari 5,6 menjadi 4,6

setelah intervensi dengan p < 0,05. Sebaliknya, perawatan luka maligna

dengan menggunakan madu menunjukan peningkatan jumlah eksudat

dari 66,6 gr pada hari ke 3 menjadi 80,8 gr pada hari ke 6, sementara

perawatan luka maligna menggunakan Metronidazol menunjukkan

peningkatan jumlah eksudat dari 44,5 gr menjadi 51,1 gr. Hasil uji t

menunjukan nilai p > 0,05. Dengan demikian, madu tidak bermanfaat

untuk mengurangi eksudat luka kanker.

Dari hasil analisis ke empat penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Metronidazol cukup efektif untuk mengurangi malodor pada luka kanker

(malignant fungating wound), yang secara keseluruhan akan berdampak

terhadap penurunan skor pesepsi biopsikososiospiritual pasien.


18

2. Jumlah responden yang digunakan pada penelitian terdahulu sangat

terbatas, hanya berkisar 5 - 16 subjek penelitian.

3. Desain penelitian yang pernah dilakukan dalam bentuk: studi perspektif,

randomize placebo controlled double blind, dan quasi experiment non

equivalent pre and post test control group design. Rancangan penelitian

ini adalah uji klinis acak terkontrol (randomized controlled trial / RCT),

dengan desain paralel group tanpa matching.

4. Penelitian terdahulu dilakukan pada semua pasien luka kanker,

sedangkan pada penelitian ini fokus pada pasien luka kanker payudara

dengan mempertimbangkan berbagai aspek kaum perempuan.

5. Cara pengukuran berkurangnya malodor, pada penelitian terdahulu

belum dilakukan secara objektif, tetapi hanya diukur secara subjektif oleh

pasien dan perawat yang merawat luka, sehingga bias penelitian tidak

bisa dihindari. Pada studi ini, evaluasi pengukuran malodor dilakukan

secara objektif melalui pemeriksaan mikrobiologi serta evaluasi oleh

seorang perawat khusus dan anggota keluarga, yang tidak terlibat dalam

perawatan luka, yang bertugas khusus mencium malodor luka.

6. Kajian penelitian terdahulu hanya fokus pada respon pasien dan aspek

malodor, sedangkan pada penelitian ini, aspek kajian lebih luas yang

meliputi; penurunan TPC, penurunan skor persepsi respon fisik,

penurunan skor persepsi malodor oleh perawat dan oleh keluarga, dan

penilaian persepsi respon psikososiospiritual pasien terhadap luka kanker

payudara.
19

7. Ke empat penelitian terdahulu hanya menggunakan agent topikal terapi

secara tunggal, belum ada penelitian yang menformulasikan

Mmtronidazol dan Zink oksid untuk perawatan luka kanker.

Anda mungkin juga menyukai