Anda di halaman 1dari 53

Bunga Rampai Inovasi

Penyediaan Feedstock
Energi Terbarukan
dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional
Bunga Rampai Inovasi
Penyediaan Feedstock
Energi Terbarukan
dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Editor:
Gadang Pamungkas | Enny Widyati | Lutfi Abdullah
Mira Yulianti | Budi H. Narendra | Dhany Yuniati
Wida Darwiati | Deden Djaenudin | Saptadi Darmawan

Penerbit IPB Press


Jalan Taman Kencana No. 3,
Kota Bogor - Indonesia

C.01/12.2019
Judul Buku:
Bunga Rampai Inovasi
Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional
Editor:
Gadang Pamungkas
Enny Widyati
Lutfi Abdullah
Mira Yulianti
Budi H. Narendra
Dhany Yuniati
Wida Darwiati
Deden Djaenudin
Saptadi Darmawan
Pengarah:
Prof. Gustan Pari
Prof. Budi Leksono
Prof. Sri Suharti
Rahman Efendi
Agus Tampubolon
Sofwan Bustomi
Hernita Wahyuni
Desain Sampul & Penata Isi:
Army Trihandi Putra
Jumlah Halaman:
230 + 16 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Desember 2019
PT Penerbit IPB Press
Anggota IKAPI
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: penerbit.ipbpress@gmail.com
www.ipbpress.com
ISBN: 978-602-440-982-1
Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia
Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan
© 2019, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR

Energi merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang harus


disediakan oleh negara dalam jumlah cukup, merata ke seluruh wilayah
Indonesia, dengan harga terjangkau. Negara berkewajiban menyediakan,
mengatur dan mendistribusikan energi agar dapat diakses oleh seluruh
masyarakat pada berbagai lapisan. Energi fosil yang selama ini menjadi
andalan seluruh masyarakat karena tersedia melimpah dan mudah diperoleh
ternyata disinyalir mengakibatkan fenomena perubahan iklim karena emisi
yang dikeluarkan jenis bahan bakar ini ternyata menyebabkan akumulasi gas
rumah kaca di atmosfer. Disamping itu, bahan bakar fosil juga merupakan
sumber energi yang tidak dapat diperbarui sehingga jumlahnya makin lama
akan makin habis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian, pengkajian
dan pengembangan dalam memanfaatkan berbagai energi alternatif yang
dapat mensuubstitusi energi fosil tersebut.
Hutan Indonesia menyimpan dan menyediakan berbagai sumber energi
baik yang berada di atas permukaan tanah maupun yang berada di dalam
bumi. Di bawah hutan Indonesia yang di dalam kawasannya meliputi daerah
gunung berapi menyimpan energi panas bumi yang belum dimanfaatkan
secara optimal. Demikian juga di bawah tegakan hutan yang pada awal
perkembangan bumi berupa lahan berrawa umumnya menyimpan cadangan
batubara. Di atas permukaan lantai hutan terdapat aliran air yang dapat
dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik tenaga mikro dan mini hidro
yang sudah mulai banyak dilakukan. Selain yang bersifat abiotik, sumber
energi yang berupa makhluk hidup juga melimpah di dalam kawasan hutan
Indonesia. Berbagai jenis tanaman dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi
yang dapat diperbarui. Beberapa jenis tanaman hutan dapat menghasilkan
bioetanol dan biodiesel dan hampir semua jenis tumbuhan dapat digunakan
Bunga Rampai Inovasi
vi Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

sebagai bahan bakar. Dengan pengelolaan yang efisien dan lestari sumber
energi yang berupa tumbuhan penghasil bahan bakar nabati dan biomassa
akan menjadi andalan sumber energi masa depan.
Bunga rampai ini berisi berbagai hasil penelitian yang dibatasi hanya
fokus di bagian hulu yang berkaitan dengan upaya membangun hutan
untuk mendapatkan bahan baku (feed stock) energi terbarukan yang telah
dilakukan di beberapa satker Badan Litbang dan Inovasi Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, dari tahun 2015-2019. Fokus bahasan dibatasi pada jenis-
jenis yang telah diunggulkan dari hasil penelitian periode sebelumnya
(2010-2014), terutama upaya peningkatan produktivitas, upaya pendekatan
pada masyarakat serta standar biaya pembangunan hutan tanaman energi di
Indonesia.
Buku Bunga Rampai ini dibagi menjadi dua bagian utama, yang pertama
mengenai jenis tanaman hutan yang menghasilkan bahan bakar nabati cair.
Jenis lontar yang belum dimanfaatkan secara optimal dibahas dari aspek
potensi, teknik optimasi pemrosesan menjadi bahan bakar berstandar dan
pembangunan model desa mandiri bioetanol. Selain itu juga dibahas jenis
tanaman yang menghasilkan biodiesel. Penelitian biodiesel di BLI telah
dimulai pada tahun 2010 dan sudah banyak dipublikasikan sehingga pada
buku ini hanya dibatasi pada upaya pencarian bibit unggul melalui kegiatan
pemuliaan dan bioteknologi serta bagaimana upaya optimasi pengelolaan
bersama masyarakat. Karena jenis ini memiliki tajuk yang sangat lebar maka
memerlukan jarak tanam yang jarang-jarang. Untuk menunggu masa panen
yang mencapai 8 tahun maka masyarakat dapat memanfaatkan lahan bawah
tegakan melalui kegiatan agroforesti.
Bagian kedua membahas mengenai pembangunan hutan energi biomasa
untuk menyediakan kayu energi bagi berbagai industri. Masih banyak
industri skala menengah yang memerlukan kayu bakar sebagai sumber energi,
misalnya industri kerupuk, tahu tempe, pembakaran kapur, pabrik genteng
dan batu bata. Untuk menjamin pasokan perlu dibangun HTE yang akan
menyediakan pasokan kayu bakar secara cukup dan berkesinambungan. Pada
buku ini disajikan hasil analisis biaya pembangunan HTE, analisis tata niaga
Kata Pengantar vii

kayu bakar, upaya meningkatkan produktivitas kayu energi baik melalui


beberapa simulasi dengan tools maupun hasil analisis yang berdasarkan data
real di lapangan. Buku ini juga mengupas peningkatan kedaulatan energi
rumah tangga dan industri rumah tangga pedesaan melalui budidaya jenis
lokal potensial yang dapat diandalkan sebagai energi alternatif masyarakat.
Harapan seluruh penulis semoga informasi yang disajikan pada buku ini
dapat menjadi sembangan pemikiran untuk menyusun strategi menciptakan
kedaulatan energi nasional. Melalui buku ini kami ingin berpartisipasi dalam
mewujudkan mimpi bangsa yang dicanangkan dalam nawa cita terutama
cita “membangun dari pinggiran” kami bermimpi masyarakat di desa-desa
mandiri dan berdaulat dalam memenuhi kebutuhan energinya.

Bogor, Desember 2019


Koordinator RPPI 5
PROLOG

Energi merupakan salah satu kebutuhan yang sangat vital bagi seluruh
lapisan masyarakat, di manapun tinggalnya. Energi diperlukan di level lapisan
paling dasar, yaitu rumah tangga, untuk mengolah bahan makanan, sebagai
penerangan, dan untuk menyelesaikan berbagai urusan rumah tangga.
Kebutuhan energi terbesar diperlukan di sektor transportasi dan sektor
industri. Di sektor transportasi energi diperlukan untuk menggerakkan
kendaraan yang berfungsi untuk mengangkut manusia dari suatu tempat
ke tempat lain, juga untuk mengangkut barang dari produsen ke konsumen
atau dari tempat penyimpanan bahan baku ke industri pemroses. Menurut
data BPH Migas (Satrianegara, 2018) konsumsi BBM sepanjang tahun
2018 mencapai 75 Juta kilo liter (KL), dengan komposisi 16,2 juta KL
solar dan minyak tanah, BBM umum (premium, pertalite dan pertamax)
sebesar 51,3 juta KL, sisanya adalah BBM khusus penugasan (yang disubsidi
pemerintah). Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan merupakan
negara kepulauan maka kebutuhan bahan bakar untuk transportasi
menduduki posisi paling tinggi mencapai 80% dari total kebutuhan BBM
nasional (Gambar 1). Dari total kebutuhan untuk transportasi, angkutan
darat mengkonsumsi BBM paling besar.

Gambar 1. Komposisi kebutuhan BBM (kiri) dan Distribusi BBM untuk


transportasi (kanan)
Bunga Rampai Inovasi
x Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Selain untuk transportasi, BBM juga diperlukan sebagai bahan bakar


untuk membangkitkan listrik. Karena sampai saat ini pembangkit listrik
Indonesia menggunakan batubara dan diesel untuk memproduksi uap yang
akan menggerakkan turbin.
Sampai saat ini Indonesia masih merupakan salah satu negara produsen
minyak di dunia. Namun demikian, menurut Wamen ESDM, produksi
minyak Indonesia saat ini hanya cukup untuk memenuhi 59% dari
kebutuhan nasional dan 41% selebihnya harus diimpor (Detik Finance,
9 September 2019). Oleh karena itu perlu dioptimalkan pemanfaatan
energi alternatif yang dimiliki oleh Indonesia agar di masa depam tidak
menghadapi krisis energi. Mengingat pentingnya energi bagi kehidupan
umat manusia bahkan merupakan salah satu pilar kedaulatan sebuah bangsa,
maka negara berkewajiban menyediakan energi secara merata bagi seluruh
masyarakat Indonesia dengan harga yang terjangkau. Oleh karena itu,
untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kekurangan energi di masa depan
maka strategi yang dilakukan oleh pemerintah diawali dengan membentuk
Dewan Energi Nasional (DEN) pada tahun 2006 yang diketuai langsung
oleh Presiden, dengan anggota wakil presiden dan Menteri ESDM untuk
menuyusun kebijakan energi nasional (KEN). Dalam KEN telah ditetapkan
suatu rencana umum energi nasional (RUEN) yang menetapkan adanya
bauran energi nasional dengan bioenergi sebesar 23% sampai dengan tahun
2025. Namun capaian sampai saat ini baru sekitar 7,16% dari 23% tersebut
(EBTKE, 2019 komunikasi pribadi). Untuk mempercepat capaian tersebut
DEN telah menggerakkan semua sektor untk aktif dalam mensukseskan
program bauran energi tersebut.
Kementrian LHK aktif berpartisipasi untuk mensukseskan program
bauran energi nasional tersebut. Karena di dalam kawasan hutan kita yang
masih tersisa saat ini kurang lebih seluas 125,9 juta ha (www.infopublik.
id., 2018) tersimpan berbagai macam sumber energi baru dan terbarukan.
Di bawah tegakan hutan yang memiliki kawasan berupa gunung berapi
menyimpan cadangan panas bumi yang dapat dijadikan sebagai salah satu
sumber energi alternatif. Kawasan hutan yang baik juga menghasilkan air
yang dengan ketinggian dan debit tertentu dapat dimanfaatkan sebagai
Prolog xi

pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Selain itu, berbagai jenis tanaman


di dalam hutan juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif.
Beberapa jenis tanaman menghasilkan biji yang dapat diperah menjadi
minyak, menghasilkan nira atau pati yang dapat difermentasikan menjadi
bioethanol, dan tentu saja berbagai jenis kayu dapat dibakar menjadi
sumber energi baik untuk memasak maupun untuk membangkitkan tenaga
listrik. Oleh karena itu salah satu upaya Kementrian LHK adalah melalui
pencadangan lahan seluas 2 juta ha untuk hutan tanaman energi serta
menyediakan informasi kesesuaian lahan dan teknologi budidaya berbagai
jenis tanaman hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi.
Badan Litbang dan Inovasi LHK (sebelumnya Badan Litbang Kehutanan)
melaksanakan program tersebut melalui suatu penugasan dalam bentuk
Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) yang dilaksanakan
selama lima tahunan. Pada kurun waktu 2010-2014 telah dihasilkan berbagai
informasi terutama yang berkaitan dengan potensi, sebaran, produktivitas
dan kualitas beberapa jenis yang diambil dari hutan alam. Pada periode
2010-2014 berhasil menapis enam jenis kayu energi yang diunggulkan,
yaitu akor (Acacia auriculiformes), pilang (Acacia leucophloea), weru (Albizia
procera), turi (Sesbania grandiflora), kaliandra (Callyandra callothrysus) dan
lamtoro (Leucaena leucocephala).
Untuk mensukseskan program pemerintah dalam meningkatkan tingkat
elektrifikasi nasional berbahan bakar energi terbarukan, yang salah satunya
melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) sebesar
4,9 GW. Dalam lingkup RPPI 5 Sumber Energi Alternatif Dari Hutan
(2015-2019) telah dilaksanakan berbagai penelitian yang berkaitan dengan
penyediaan feedstock biomassa untuk memasok kebutuhan pembangkit
tersebut. Penelitian ditekankan pada jenis-jenis yang telah diunggulkan,
peningkatan produktivitas melalui pemuliaan, pengelolaan lahan untuk
meningkatkan antusiasme masyarakat melalui kegiatan agroforestri serta
perhitungan keekonomian dalam membangun hutan. RPPI 5 juga telah
menghasilkan berbagai informasi dasar yang berkaitan dengan potensi
lontar di beberapa wilayah sebagai sumber bahan baku bioethanol, upaya
pemanfaatan saat ini serta teknologi sederhana tepat guna untuk memproses
Bunga Rampai Inovasi
xii Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

nira menjadi bioethanol yeng telah memenuhi standar untuk bahan bakar.
Di samping itu juga telah diformulasikan beberapa informasi yang berkaitan
dengan pemuliaan jenis penghasil minyak diesel terutama nyamplung dan
malapari.
Penelitian yang berada pada lingkup RPPI 5 ditekankan/difokuskan pada
penyediaan feedstock, yaitu upaya membangun hutan untuk meningkatkan
ketersediaan bahan baku untuk membangkitkan energi. Membangun
hutan merupakan kegiatan yang multi disiplin karena melibatkan berbagai
sektor serta multi effect yang meliputi pro growth, pro job, pro poor dan pro
environment. Kegiatan membangun hutan akan membuka lapangan kerja,
meningkatkan pendapatan masyarakat melalui peluang usaha penangkaran
bibit, keikutsertaan pada kegiatan agroforestri. Kegiatan penanaman
tentu saja merupakan salah satu upaya penyelamatan lingkungan melalui
aktivitas serapan karbon sehingga dapat menjadi salah satu upaya mitigasi
perubahan iklim. Hal ini juga merupakan salah satu tanggapan terhadap
adanya pergeseran paradigma green energy, yaitu menekan sebesar
mungkin penggunaan energi fosil yang tidak ramah lingkungan dengan
mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan. Penggunaan energi hijau ini
akan meningkatkan sikap masyarakat peduli lingkungan (green community)
sehingga dapat mewujudkan tujuan pembangunan (SDGs) terutama goal
ke-7 yaitu affordable and clean energy.
Pasokan feedstock dari Sektor Kehutanan sesungguhnya disambut
antusias oleh para pelaku industri perkayuan. Terbukti pada tahun 2017
terdapat 35 HTI yang habis ijinnya telah mengajukan perpanjangan ijin
untuk menjadi HTE. Namun dengan terbitnya Permen ESDM no 50 tahun
2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan. Pada Pasal 6 bagian
ketiga disebutkan bahwa pembelian tenaga listrik yang berasal dari PLTBm
tarifnya maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) setempat. Hal ini
berimplikasi kepada harga pembelian kayu sebagai feedstock harus serendah
mungkin, maka sudah 21 yang mengajukan ijin tersebut berubah menjadi
ijin untuk perkebunan karet atau kelapa sawit. Adapun nasib pengajuan
ijin dari 14 perusahaan yang lainnya masih belum jelas. Kebijakan tersebut
menciutkan minat para pengembang HTE karena kecil sekali kesempatan
Prolog xiii

mereka untuk dapat memperoleh keuntungan. Usaha apapun orientasinya


adalah untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu tugas pemerintah
sesungguhnya untuk memberikan atmosfir usaha yang bisa memberikan
keuntungan bagi semua fihak, dalam hal ini bagi pengusaha feedstock (HTE)
maupun pengusaha listrik.
Belajar dari pengalaman beberapa perusahaan baik dalam mengusahakan
feedstock maupun listrik PLTBm mandiri sesungguhnya usaha listrik
dengan bahan bakar kayu dapat memberikan keuntungan setidaknya dapat
memandirikan perusahaan dalam menyediakan pasokan energi untuk
keperluan industri dan perumahan karyawan bahkan dapat dinikmati oleh
masyarakat sekitarnya. Inovasi PT. Korindo di Kalimantan Tengah telah
berhasil memanfaatkan limbah industri wood pellet untuk membangun
PLTBm dengan kapasitas 1,35 MW (1350 KVA). Sedangkan di Papua
mampu digunakan untuk membangun 10 MW. Kapasitas di Papua tersebut
ternyata tidak hanya mampu mencukupi seluruh kebutuhan perusahaan.
PT. Korindo bahkan menjual kelebihan beban listrik yang dihasilkan
kepada PLN. Hal ini memberikan optimise akan kesuksesan PLTBm untuk
meningkatkan elektrifikasi nasional.
Penggunaan energi baru terbarukan di masa yang akan datang merupakan
sebuah keniscayaan. Siap atau tidak siap, mau atau atau tidak mau, energi
fosil akan habis dan harus diganti dengan energi terbarukan. Negara yang
dianggap super power di masa depan adalah negara yang mampu mencukupi
kebutuhan pangan dan energi nasional, sekaligus merupakan negara yang
mampu menjual kedua komoditas tersebut kepada dunia internasional.
Pilihan ada di tangan kita, mau menjadi negara yang mandiri energi atau
menjadi negara pembeli energi.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR . ..........................................................................v


PROLOG.............................................................................................ix
DAFTAR ISI........................................................................................ xv

BAGIAN 1.
PENGELOLAAN TANAMAN HUTAN PENGHASIL
BAHAN BAKAR NABATI CAIR
(BIOETHANOL DAN BIODIESEL)....................................................1
POTENSI LONTAR (Borassus flabelifer) SEBAGAI
SUMBER ENERGI ALTERNATIF DI NUSA TENGGARA TIMUR................3
OPTIMASI PEMANFAATAN BIOETHANOL NIRA LONTAR.....................21
UJI IMPLEMENTASI PEMANFAATAN ENERGI ALTERNATIF
BIOETANOL LONTAR SKALA DESA.............................................................37
INOVASI PEMULIAANDAN BIOTEKNOLOGI UNTUK BIBIT UNGGUL
JENIS TANAMANBIODIESEL NYAMPLUNG ..............................................51
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN HUTAN
PENGHASIL SUMBER BIOFUEL UNTUK
MENINGKATKAN INSENTIF BAGI PETANI ...............................................89
EPILOG BAGIAN 1..........................................................................................105

BAGIAN 2.
PENGELOLAAN JENIS TANAMAN HUTAN
PENGHASIL ENERGI BIOMASSA..................................................107
SELEKSI JENIS TANAMAN SEBAGAI SUMBER
KAYU ENERGI..................................................................................... 109
Bunga Rampai Inovasi
xvi Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

PEMETAAN SEBARAN KALIANDRA SEBAGAI PENGHASIL


KAYU ENERGI DI MAJALENGKA DAN KUNINGAN
JAWA BARAT........................................................................................ 133
MODEL PENDUGA PERTUMBUHAN Calliandra calothyrsus
SEBAGAI PENGHASIL ENERGI BIOMASSA.................................... 139
ANALISIS BIAYA PEMBANGUNAN HUTAN
TANAMAN ENERGI........................................................................... 157
BUDIDAYA DAN PEMANFAATAN KAYU ENERGI
JENIS LOKAL POTENSIAL DI SUMATERA SELATAN................... 175
PEMANFAATAN KAYU BAKAR SEBAGAI SUMBER ENERGI
BAGI MASYARAKAT, STUDI KASUS
DI KABUPATEN SUMBAWA
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT............................................. 195
PENGELOLAAN LAHAN AGROFORESTRI BERBASIS KAYU
ENERGI SEBAGAI MODEL PENGALOKASIAN LAHAN KPH
UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN ENERGI MASYARAKAT.... 217
EPILOG BAGIAN 2.............................................................................. 229
BAGIAN 1.
PENGELOLAAN TANAMAN HUTAN
PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI CAIR
(BIOETHANOL DAN BIODIESEL)
INOVASI PEMULIAAN
DAN BIOTEKNOLOGI UNTUK BIBIT
UNGGUL JENIS TANAMAN
BIODIESEL NYAMPLUNG

Budi Leksono, Eritrina Windyarini, Tri Maria Hasnah,


Hamdan Adma Adinugraha, Asri Insiana Putri
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta

Pendahuluan
Krisis energi dunia yang ditandai dengan kelangkaan dan melonjaknya
harga minyak bumi, telah mendorong penduduk dunia untuk mengalihkan
sumber energinya ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan
dan dapat diperbaharui (renewable). Salah satu bentuk energi alternatif
yang banyak dikaji dan dikembangkan adalah bahan bakar nabati (BBN)
atau biofuel (Hayes et al. 2007). Sebagai bahan bakar, biodiesel mampu
mengurangi emisi hidrokarbon tak terbakar, karbon monoksida, sulfat,
hidrokarbon polisiklik aromatik, nitrat hidrokarbon polisiklik aromatik dan
partikel padatan sehingga biodisel merupakan bahan bakar yang disukai
disebabkan oleh sifatnya yang ramah lingkungan (Utami, 2007). Untuk itu
diperlukan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi, melalui
pemanfaatan aneka EBT untuk berbagai keperluan. Salah satu bentuk
energi terbarukan yang dimaksud adalah sumber energi yang dihasilkan dari
sumber daya energi yang berkelanjutan, diantaranya dari sumber daya hutan
seperti bioenergi dari biji tanaman hutan. Komoditas dari sumber daya hutan
yang telah diidentifikasi memiliki potensi tinggi untuk bioenergi khususnya
Bunga Rampai Inovasi
52 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

untuk biofuel (biodisel) adalah nyamplung (Calophyllum inophyllum). Biji


dari jenis tersebut dapat diolah menjadi bahan bakar nabati dalam bentuk
biodisel yang dapat digunakan sebagai bahan bakar genset pembangkit
listrik ataupun bahan bakar kendaraan untuk transportasi. Nyamplung
bukan tanaman pangan (non-edible seeds) dan lahan untuk pertumbuhannya
tidak bersaing dengan lahan tanaman pangan dan sebaran alaminya hampir
di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sesuai dengan Rencana Induk Riset
Nasional (RIRN) pada bidang fokus riset “Energi baru dan terbarukan” untuk
menghasilkan “Bahan bakar bersih berbasis energi baru dan terbarukan serta
rendah/zero carbon”, dengan fokus pada “Bahan Bakar Nabati (BBN) dari
sumber baru di luar jenis tanaman pangan.”
Permasalahan yang dihadapi untuk pengembangan hutan tanaman
energi sebagai bahan baku biofuel adalah belum tersedianya sumber benih
berkualitas sehingga hanya dapat menggunakan benih yang berasal dari
hutan alam dan hutan tanaman yang belum terseleksi dengan produktivitas
yang masih rendah. Selain itu, informasi keragaman genetik terhadap
produktivitas biji, rendemen dan kualitas biofuel yang dihasilkan dari
tanaman energi terhadap faktor-faktor yang mendukung dan menghambat,
juga belum tersedia. Informasi awal yang dapat dijadikan indikator untuk
menjawab permasalahan tersebut di atas adalah potensi yang besar dilihat
dari sebaran tegakan nyamplung yang hampir di seluruh wilayah Indonesia
pada ketinggian 0-200 m (dpl.) dan adanya variasi yang cukup tinggi
diantara tegakan nyamplung, seperti produktivitas biji berkisar antara 40-
150 kg/pohon/th dan rendemen biofuel antara 30-74% (Bustomi dkk.,
2008; Leksono et al. 2014a). Untuk itu diperluan penelitian integratif dari
disiplin ilmu terkait agar dapat memecahkan permasalahan tersebut dengan
menggunakan strategi yang tepat dan berkesinambungan. Keunggulan
nyamplung selain berpotensi untuk bioenergi juga toleran pada temperatur
udara yang tinggi dan pada kondisi lahan yang basah, meskipun tidak
toleran pada dataran tinggi, daerah dingin dan areal yang sangat kering
(Prabakaran & Britto, 2012). Secara alami, nyamplung tumbuh pada lahan
marginal sepanjang pantai sehingga toleran terhadap salinitas, tanah liat
dengan drainasi yang baik. Oleh karena mempunyai toleransi yang tinggi
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 53

pada kondisi lingkungan yang sangat keras tersebut, nyamplung telah


ditanam lebih dari 50 tahun yang lalu untuk tujuan konservasi sepadan
pantai, tanaman pemecah angin dan juga untuk rehabilitasi lahan pada
tanah berbatu, tanah kapur dan pada lahan yang tergenang secara periodik di
daerah pantai selatan pulau Jawa (Leksono et al. 2018a). Dengan demikian
pemuliaan nyamplung juga akan menghasilkan varietas nyamplung yang
tahan pada kondisi lingkungan ekstrim sebagai antisipasi perubahan iklim
dimasa mendatang, sekaligus untuk pembangunan hutan tanaman energi
dengan tujuan biofuel.

Keragaman Genetik Nyamplung


Perbedaan yang dapat diamati atau diukur di antara organisme hidup
disebabkan oleh adanya keragaman/variasi alami. Bila di dalam satu grup
organisme terdapat kemiripan dan diantara grup ini terlihat nyata, maka kita
cenderung untuk melakukan klasifikasi. Dengan demikian kita memiliki
kategori yang disebut genera, species dan ras. Di bidang genetika kita
mengenal adanya famili, galur murni, klon dan sebagainya yang didasarkan
pada hubungan pada hereditas (Zobel & Talbert, 1984). Perbedaan antar
famili, galur murni, klon tersebut karena adanya keragaman genetik diantara
individu penyusunnya. Semakin luas keragaman genetik dari suatu populasi,
maka akan semakin tinggi peningkatan genetik yang akan dihasilkan melalui
seleksi dan persilangan yang dikenal dengan program pemuliaan. Program
pemuliaan pohon pada umumnya dilakukan dengan pengujian berbagai
macam jenis tanaman hutan yang belum teruji diawali dari populasi alam
yang masih mempunyai keragaman genetik tinggi. Hal ini dilakukan
untuk menentukan populasi atau pohon yang terbaik pertumbuhan dan
produktivitasnya pada kondisi tapak yang spesifik. Pada program pemuliaan
tingkat lanjut dilakukan dengan persilangan untuk meningkatkan
pertumbuhan, ketahanan terhadap hama dan penyakit, serta kondisi
lingkungan yang ekstrim (Wright, 1976). Untuk mencapai tujuan yang
diharapkan, maka program pemuliaan tanaman hutan yang dikembangkan
agar efektif dan efisien sejauh mungkin memanfaatkan tiga level keragaman
yang terdapat pada jenis-jenis tanaman hutan, yaitu:
Bunga Rampai Inovasi
54 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

1. Keragaman interspesifik (variasi antar spesies)


2. Keragaman intraspesifik (variasi antar provenan di dalam spesies)
3. Keragaman individu (variasi antar individu pohon)
Dalam strategi pemuliaan pohon, pemanfaatan keragaman tersebut
dapat dilakukan melalui uji introduksi (uji spesies dan uji provenan), uji
keturunan dan kombinasi keduanya serta pengembangannya (Zobel &
Talbert, 1984; Davidson, 1992; Burley & Wood. 1996).
Keberhasilan program pemuliaan akan ditentukan oleh besar kecilnya
keragaman genetik dari sifat yang akan dikembangkan, efektifitas pemilihan
pohon induk yang akan diseleksi, tindakan silvikultur yang dilakukan dan
produk akhir yang ingin dicapai serta pertimbangan ekonomi (Namkoong et
al. 1988; Zobel & Talbert, 1984). Program pemuliaan dibuat untuk membuat
strategi yang tepat bagi suatu spesies, sesuai dengan potensi dan tujuan
pengusahaan untuk menghasilkan benih unggul. Benih unggul tersebut
dihasilkan dari seleksi satu sifat atau lebih dari satu sifat pertumbuhan atau
sifat biologi lainnya pada kondisi lingkungan tertentu (Namkoong et al. 1980;
Eldridge et al. 1994). Program pemuliaan selain untuk meningkatkan kinerja
pertumbuhan dan produk yang dihasilkan dari suatu spesies, juga untuk
menghasilkan benih unggul yang dapat memperpendek rotasi/daur tanaman
dan menghasilkan tanaman yang unggul terhadap kondisi lingkungan
tertentu, ketahanan terhadap hama dan penyakit, toleran terhadap serangan
angin dan kondisi lain yang dikehendaki (Wright, 1976; Zobel & Talbert,
1984). Kombinasi dari sifat-sifat pertumbuhan dan ketahanan terhadap
kondisi lingkungan yang spesifik di atas merupakan strategi pemuliaan yang
banyak dikembangkan saat ini (Leksono, 2016).

Strategi Pemuliaan Nyamplung


Pada saat ini, belum tersedia informasi terkait dengan pemuliaan
pohon nyamplung karena masih terbatasnya penelitian tentang nyamplung
untuk bahan baku biofuel. Untuk memaksimalkan peningkatan genetik
yang diperoleh, maka diperlukan penelitian secara komprehensif dengan
menerapkan strategi pemuliaan yang tepat (Leksono & widyatmo, 2010).
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 55

Strategi pemuliaan dikembangkan untuk menghasilkan benih unggul


nyamplung dalam meningkatkan produktivitas buah, rendemen dan kualitas
biofuel yang dihasilkan dengan tetap menjaga peran sebagai tanaman
konservasi sepadan air, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Strategi
pemuliaan nyamplung dilakukan dengan mengikuti hierarkhi genetika
populasi, meliputi: populasi dasar (base population), populasi pemuliaan
(breeding population), populasi perbanyakan (propagation population) dan
populasi produksi (production population) (Eldridge et al. 1994; Leksono,
2016).
Strategi pemuliaan dilaksanakan dengan memanfaatkan semua
populasi yang tersedia (tegakan alam/provenan dan tanaman/ras lahan serta
sumber benih yang ada). Dengan strategi ini, material genetik mengalami
peningkatan kualitas genetiknya dari generasi ke generasi melalui proses
seleksi dan persilangan sehingga dapat memenuhi kebutuhan benih unggul
(Leksono & Widyatmoko, 2010). Diagram strategi pemuliaan nyamplung
sebagai bahan baku biofuel disajikan pada Gambar 1.
Strategi pemuliaan nyamplung mempunyai tujuan utama untuk
menghasilkan tanaman dengan produksi buah/biji yang melimpah dan
kualitas biofuel yang tinggi dalam waktu yang relatif cepat (Leksono
& Widyatmoko, 2010). Strategi pemuliaan untuk produksi buah/biji,
berbeda dengan strategi pemuliaan untuk tujuan lain, seperti untuk
produksi kayu, getah, daun atau bagian vegetatif lainnya. Hal ini karena
pemuliaan nyamplung ditujukan untuk memanfaatkan buah/bijinya
sebagai hasil persilangan (generatif ) sesuai dengan tujuan pengusahaannya.
Strategi pemuliaan yang dikembangkan untuk nyamplung didasarkan pada
kondisi dan status pemuliaan jenis tersebut pada saat ini, seperti: informasi
sebaran tegakan nyamplung, materi genetik yang dapat diperoleh, fasilitas
laboratorium, target pengguna dan personalia yang menangani program
penelitian nyamplung. Dari informasi yang diperoleh terhadap status
penelitian nyamplung serta kemampuan dari masyarakat pengguna hasil
penelitian nyamplung, maka strategi yang diterapkan dimulai dengan
pembangunan sumber benih dengan menggunakan penyerbukan terbuka
(Leksono & Widyatmoko, 2010).
Bunga Rampai Inovasi
56 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Gambar 1. Strategi pemuliaan nyamplung untuk biofuel (Leksono &


Widyatmoko, 2010)

Populasi dasar yang digunakan dalam pemuliaan nyamplung


dimulai dengan mengeksplorasi benih dari populasi alam (provenan) dan
tanaman (ras lahan) di pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Populasi dasar
yang digunakan pada tahap berikutnya akan berasal dari provenan/ras
lahan terbaik berdasarkan rendemen dan kualitas biofuel yang dihasilkan
serta respon pertumbuhan, pembungaan dan pembuahan pada daerah
pengembangan. Pada tingkat lanjut akan dikembangkan populasi dasar dari
individu terbaik yang mempunyai potensi produksi buah dan rendemen
minyak serta kemampuan daya gabung umum (general combining ability)
yang tinggi dari hasil analisis dengan penanda DNA (Gambar 1). Populasi
pemuliaan yang menjadi pusat kegiatan dari strategi pemuliaan nyamplung
berdasarkan pada informasi parameter genetik dari sifat-sifat yang diukur
dan metode seleksi yang diterapkan pada setiap tahapan seleksi. Populasi
pemuliaan pada nyamplung dimulai dengan mengetahui potensi provenan/
ras lahan dari rendemen minyak yang dihasilkan maupun pembangunan
uji provenan dengan menggunakan materi genetik dari populasi alam dan
ras lahan pada beberapa lokasi pengembangan. Pada tahap berikutnya akan
dibangun uji keturunan dan uji klon untuk mendapatkan pohon plus dan
klon unggul dengan pertumbuhan yang cepat, menghasilkan kelimpahan
buah dan rendemen minyak yang tinggi.
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 57

Populasi perbanyakan dibangun berdasarkan hasil seleksi pada populasi


pemuliaan. Populasi perbanyakan terdiri dari pohon-pohon terpilih dari
populasi atau individu terseleksi dalam sumber benih atau area perbanyakan
dimana kombinasi gen yang terpilih dalam populasi pemuliaan diproduksi
secara masal sebagai benih unggul (Eldridge et al. 2001). Populasi ini dapat
dibangun dengan bentuk yang lebih besar berdasarkan informasi dari
populasi pemuliaan untuk memenuhi kebutuhan benih yang cukup besar.
Bentuk populasi perbanyakan dari hasil informasi pada populasi pemuliaan
dapat berupa tegakan benih provenan (TBP), kebun benih semai (KBS),
kebun benih klon (KBK) atau kebun pangkas (KP) (Barner et al. 1992;
Permenhut, 2009). Bentuk populasi perbanyakan yang akan dibangun pada
strategi pemuliaan nyamplung adalah TBP pada fase pertama dari hasil
analisis potensi rendemen minyak pada populasi alam dan ras lahan yang
dihasilkan; dan kebun klon unggul pada fase kedua dari hasil uji keturunan
dan uji klon. Populasi perbanyakan tersebut dibangun dengan menggunakan
kriteria seleksi pada populasi pemuliaan.
Populasi produksi merupakan hutan tanaman untuk produksi buah
yang berasal dari populasi perbanyakan. Populasi produksi pada strategi
pemuliaan nyamplung akan menggunakan material biji (generatif ) dari
TBP maupun menggunakan materi vegetatif yang berasal dari kebun klon
unggul.

Potensi Genetik Nyamplung


Keragaman lingkungan pada habitat alam
Sebaran alam dari suatu spesies merupakan sumber keragaman genetik
sebagai populasi dasar yang akan menentukan peningkatan genetik dari
seleksi yang akan dilakukan pada populasi pemuliaan. Semakian luas sebaran
alami suatu spesies akan semakin tinggi peluang mendapatkan peningkatan
genetik bila dilakukan seleksi dan persilangan (Zobel & Talbert, 1984).
Bunga Rampai Inovasi
58 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Dengan demikian, dalam program pemuliaan pohon perlu diupayakan


untuk menggunakan materi genetik dari banyak sumber benih sebaran
alaminya. Tegakan nyamplung pada enam populasi di lima provinsi Pulau
Jawa (Banyuwangi, Gunung Kidul, Purworejo, Cilacap, Ciamis, Banten,)
pada umumnya tumbuh di daerah pantai berpasir (0 m dpl.) hingga tanah
mineral pada ketinggian 150 m dpl. Tegakan nyamplung pada umumnya
tumbuh pada tipe hutan campuran, di hutan alam dengan jenis ketapang
(Terminalia catappa), malapari (P. pinnata), waru laut (Hibiscus tiliaceus),
keben (Barringtonia asiatica), pandan laut (Pandanus odorifer), dll.
Nyamplung tumbuh paling dekat pada posisi 50 – 1000 m dari bibir pantai
dengan kerapatan pohon sangat bervariasi dari tinggi (188 pohon/ha) sampai
dengan rendah (10 pohon/ha). Potensi tegakan nyamplung terluas berada di
Purworejo (Jateng) dengan luasan 62,8 ha (Leksono dkk., 2010). Selanjutnya
dilaporkan bahwa karakteristik fisik lahan dalam klasifikasi sistem dataran
laut dan pantai (marine), dataran (plain), dataran aluvial (alluvial) sampai
dengan bukit kapur (karst plateau), dengan sub sistem pesisir pantai yang
bergelombang (coastal beach ridges), riverne plains dan kipas aluvial (gently
sloping volcanic alluvial fans), tipe batuan sedimen pasir serta tipe batuan
kapur yang terbentuk dari endapan muara dan endapan vulkanik.
Habitat alam nyamplung dari tujuh populasi pada enam pulau di luar
Pulau Jawa (Sumatera, Kalimantan, Selayar, Papua, Madura, Sumbawa)
berada pada ketinggian 0 – 35 m dpl dengan suhu udara 20 – 34°C dan
curah hujan 500 – 2500 mm/tahun. Tegakan nyamplung dari tujuh populasi
tersebut pada umumnya tumbuh pada tipe hutan campuran dengan jenis
tanaman pantai, seperti: ketapang (T.catappa), waru laut (H. tiliaceus), pandan
laut (P. odorifer), pace (Morinda citrifolia), gayam (Inocarpus fagiver), dll.
Tegakan nyamplung yang tumbuh di pantai, pada umumnya tersebar alami
memanjang di tepi pantai sampai 50 m dari bibir pantai dengan kerapatan
tegakan bervariasi dari tinggi (348 pohon/ha) sampai dengan rendah (16
pohon/ha). Potensi tegakan nyamplung terluas berada di Sumenep (Madura)
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 59

dengan luasan 218 ha (Windyarini & Hasnah, 2016). Karakterstik fisik lahan
merupakan informasi dasar habitat nyamplung yang sangat berguna untuk
pembangunan hutan tanaman nyamplung dan pembangunan sumber benih
unggul agar dapat mengoptimalkan pertumbuhannya. Hal ini dikarenakan
potensi genetik dari suatu populasi akan maksimal apabila dikembangkan
pada kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhannya (Zobel and
Talbert, 1984). Informasi di atas juga akan berguna untuk analisis kesesuaian
lahan dalam pengembangan tanaman nyamplung di luar populasi tersebut.
Kondisi lingkungan habitat alam tegakan nyamplung pada sebelas populasi
nyamplung di Indonesia disajikan pada Tabel 1.

Ciamis (Jawa Barat) Banyuwangi (Jawa Timur)

Gunung Kidul (Yogyakarta) Cilacap (Jawa Tengah)

Gambar 2. Tegakan nyamplung di Pulau Jawa (Leksono dkk., 2010)


Bunga Rampai Inovasi
60 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Ketapang (Kalimantan Barat) Yapen (Papua Barat)

Patriaman (Sumatera Barat) Dompu (Nusa Tenggara Barat)

Gambar 3. Tegakan nyamplung di luar Pulau Jawa (Windyarini & Hasnah,


2016)

Tabel 1. Kondisi lingkungan habitat nyamplung di hutan alam


Tinggi Tekstur Suhu CH
No. Populasi Letak Geografis Tipe Hutan
(m dpl) Tanah (oC) (mm/th)
o
1. Banyuwangi 08 26’45” LS; Hutan alam, 0 Pasir 23-32 1.400
o
(Jatim) 114 20’16” BT sepanjang pantai
o
2. Cilacap 07 41’20” LS; Hutan alam, 5-8 Lempung 23-32 1.000
o
(Jateng) 109 8’35” BT sekitar pantai berdebu
o
3. Ciamis 07 45’0,23” LS; Hutan alam, 2-5 Pasir 23-32 3.000
o
(Jabar) 108 30’8,29” BT sepanjang pantai
o
4. Pandeglang 06 08’0” LS; Hutan alam, 0 Lempung 19-32 3.100
o
(Banten) 105 50’0” BT sepanjang pantai berpasir
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 61

Tabel 1. Kondisi lingkungan habitat nyamplung di hutan alam (lanjutan)


Tinggi Tekstur Suhu CH
No. Populasi Letak Geografis Tipe Hutan
(m dpl) Tanah (oC) (mm/th)
o
5. Way Kambas 05 00’26,8” LS; Hutan alam, 0-50 Pasir 32-33 2.000-
o
(Lampung) 105 51’46,1” BT sepanjang pantai lempung 2.500
o
6. Pariaman 0 35’39” LS; Hutan alam, 0 Pasir 23-32 2.000
o
(Sumbar) 100 06’09” BT sepanjang pantai
o
7. Sumenep 00 00’0” LS; Hutan alam, 2-3 Pasir 26-29 900
o
(Madura) 100 00’0” BT sepanjang pantai
o
8. Ketapang 01 12’52,20” LS; Hutan alam, 0-15 Pasir 25-30 2.000
o
(Kalbar) 109 55’50,52” BT sepanjang pantai
o
9. Selayar 06 09’8,2” LS; Hutan alam, 9-35 Lempung 21-34 1.700
o
(Sulsel) 120 30’51,7” BT perbukitan
o
10. Dompu 08 17,18’0,2” LS; Hutan alam, 0 Pasir 20-32 500
o
(NTB) 117 59’54,2” BT sepanjang pantai
o
11. Yapen 01 56’04,1” LS; Hutan alam, 0 Pasir 24-30 1.500
o
(Papua) 136 21’49,4” BT sepanjang pantai

Sumber: Leksono dkk. (2010); Windyarini & Hasnah (2017)

Keragaman genetik dengan penanda DNA


Analisis DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) dengan menggunakan penanda
RAPD (Random Amplification Polymorphism DNA), dilakukan untuk
mengetahui nilai keragaman genetik nyamplung dan kedekatan genetik
antar populasi nyamplung di Indonesia. Populasi nyamplung di Pulau Jawa
terbagi menjadi 2 klaster dengan tingkat kepercayaan 99% (Gambar 4).
Klaster pertama terdiri dari populasi dari Alas purwo dan Cilacap sedangkan
klaster kedua terdiri dari 2 sub klaster dengan tingkat kepercayaan 81%,
yaitu populasi dari Purworejo dengan Gunung Kidul dan Ciamis (Leksono
et al. 2014b).
Bunga Rampai Inovasi
62 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Gambar 4. Dendrogram populasi nyamplung di pulau Jawa (Leksono et


al. 2014b)

Gambar 5. Dendrogram populasi nyamplung di Indonesia (Leksono et al.


2014b; Nurtjahjaningsih dkk., 2015)

Jumlah klaster yang sama ditunjukkan dari hasil analisa DNA untuk
sebelas populasi yang berasal dari tujuh pulau di Indonesia (Gambar 5).
Klaster pertama terdiri dari populasi dari Pariaman (Sumbar), Lombok
(NTB), Selayar (Sulsel) dan Gunung Kidul (Jawa) dengan tingkat kepercayaan
32-66%. Klaster kedua terdiri dari Waykambas (Lampung), Yapen (Papua),
Ketapang (Kalbar), Dompu (NTB) dan Sumenep (Madura), dengan tingkat
kepercayaan antara 35-73% (Leksono et al. 2014b; Nurtjahjaningsih dkk.,
2015).
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 63

Hasil analisa DNA (Gambar 4 dan Gambar 5) menunjukkan bahwa


populasi pada klaster yang sama mempunyai struktur alel (genetik) hampir
sama/ mirip, sehingga apabila akan digunakan dalam strategi pemuliaan
nyamplung dengan sistim sub galur (sub-line system) maka cukup diwakili
oleh salah satu populasi dalam klaster yang sama (Leksono et al. 2014b).
Misalnya untuk pengembangan tanaman nyamplung di Pulau Jawa, maka
dapat dipilih populasi yang rendemennya tinggi dengan kondisi lingkungan
yang hampir sama dengan daerah pengembangan yang mewakili salah satu
klaster. Apabila pengembangan program pemuliaan nyamplung pada generasi
berikutnya akan dikembangkan dengan sistim populasi tunggal (materi
genetik berasal dari gabungan beberapa populasi), maka individu-individu
dari populasi infusi dapat diambilkan dari populasi lain dalam klaster yang
sama. Hal yang sama apabila akan mengembangkan tanaman nyamplung
di luar pulau Jawa. Pemilihan populasi nyamplung untuk pengembangan
tanaman antar pulau ini perlu pencermatan yang tinggi karena transfer materi
genetik antar pulau pada tanaman kehutanan terkadang akan menurunkan
potensi genetik yang cukup tinggi bahkan bisa menurunkan peningkatan
genetik sampai 60% (Leksono, 2009; Leksono et al. 2011).
Nilai keragaman genetik di dalam populasi (HE) berkisar antara
rendah (HE = 0,071 dari populasi Lombok Tengah) sampai dengan
sedang (HE = 0,243 dari populasi Selayar Gunung). Rata-rata nilai HE
dari 11 populasi nyamplung di Indonesia termasuk dalam kategori
sedang (HE = 0,186) dengan jarak genetik antar populasi bernilai
sangat rendah sampai tinggi, berkisar antara 0,001–0,734 dengan
rata-rata 0,250 (Nurtjahjaningsih dkk., 2015). Hasil dari analisis
keragaman genetik ini, akan sangat berguna di dalam mendukung
kegiatan pemuliaan nyamplung ke depan. Populasi yang mewakili
kedua kelompok tersebut harus digunakan untuk program pemuliaan,
ditambah dengan hasil penanda RAPD dari masing-masing pulau
sebaiknya harus terwakili karena kemungkinan memiliki gen adaptif
terhadap lingkungannya masing-masing.
Bunga Rampai Inovasi
64 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Keragaman Buah dan Biji Nyamplung


Keragaman ukuran buah dan biji banyak ditemukan pada spesies yang
sama. Keragaman tersebut dapat disebabkan karena perbedaan provenan
(ras geografis), sebagaimana dinyatakan oleh Zobel & Talbert (1984) bahwa
fenotipe dari sutau tanaman merupakan hasil interaksi antara faktor genetik
dan lingkungan. Faktor lingkungan seperti letak geografis (garis Lintang dan
garis Bujur) menyebabkan adanya keragaman berat biji (Liu et al. 2013).
Hal yang sama dilaporkan oleh Cochrane et al. (2014) bahwa perbedaan
ukuran/karakteristik biji antar populasi berhubungan dengan garis Lintang,
ketinggian tempat, dan kesuburan tanah. Hasil eksplorasi buah dan biji
nyamplung dari dua belas populasi hutan alam dan tanaman di Indonesia
menunjukkan adanya perbedaan ukuran buah dan biji nyamplung
sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Perbedaan populasi nyamplung memiliki pengaruh yang sangat
nyata terhadap ukuran buah dan biji nyamplung (Tabel 2) (Leksono &
Putri, 2013; Windyarini & Hasnah, 2016). Tabel 2 menggambarkan
bahwa klasifikasi berat dan ukuran buah terbesar tidak menunjukkan
hubungan yang erat dengan klasifikasi berat dan ukuran biji terbesar,
demikian juga untuk hubungan antara klasifikasi berat dan ukuran
buah terkecil dengan klasifikasi berat dan ukuran biji terkecil. Hasil
ini memperkuat dugaan bahwa tidak terdapat korelasi yang tinggi
antara ukuran buah dengan ukuran biji dan keragaman yang tinggi
terletak pada ketebalan daging buah dan tempurung biji (Leksono,
2014). Informasi tersebut berarti bahwa untuk mendapatkan biji
dengan berat dan ukuran yang besar tidak dapat dilihat dari berat dan
ukuran buah, sehingga buah yang besar tidak menjadi indikator akan
menghasilkan biji yang besar. Rendahnya korelasi di atas kemungkinan
karena struktur buah terdiri dari daging buah, tempurung dan biji,
sehingga keragaman antar provenan/ras lahan nyamplung dari ketiga
bagian tersebut akan mempengaruhi berat dan ukuran buah maupun
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 65

biji nyamplung. Dengan demikian apabila menghendaki nyamplung


dengan biji yang berat dan berukuran besar harus dilakukan
skarifikasi biji sehingga diperoleh biji dengan berat dan ukuran yang
diinginkan.

Tabel 2. Rata-rata ukuran buah dan biji nyamplung dari dua belas
provenan/ras lahan di Indonesia
Ukuran Buah Ukuran Biji
No. Populasi Berat Panjang Diameter Berat Panjang Diameter
(gram) (cm) (cm) (gram) (cm) (cm)
1. Banyuwangi 10,0 3,0 2,8 1,4 1,1 1,1
2. Gunung Kidul 7,7 2,9 2,5 1,9 2,1 1,5
3. Purworejo 7,1 2,7 2,5 1,7 1,9 1,5
4. Cilacap 11,1 3,0 2,8 1,8 2,2 1,5
5. Ciamis 9,0 3,0 2,8 1,9 2,4 1,6
6. Pandeglang 8,7 3,1 2,7 1,9 2,2 1,6
7. Sumenep 3,3 2,2 1,9 1,8 1,7 1,4
8. Selayar 5,9 2,6 2,4 4,0 2,1 1,8
9. Pariaman 6,6 3,3 2,8 2,7 2,0 1,6
10. Ketapang 7,9 2,9 2,6 2,5 2,1 1,6
11. Dompu 6,2 2,9 2,6 2,6 1,9 1,6
12. Yapen 10,5 3,7 3,1 4,9 2,4 1,9
Sumber: Leksono & Putri (2013); Windyarini & Hasnah (2017)

Adanya perbedaan ukuran biji nyamplung antar provenan yang


signifikan juga dilaporkan di Australia Utara dan Sri Lanka (Hathurusingha,
2011). Adanya keragaman ukuran buah dan biji nyamplung antar populasi
dan antar pulau (Tabel 2) membuka peluang untuk dilakukan seleksi
(program pemuliaan) dalam menghasilkan benih unggul dari provenan/ras
lahan terbaik sesuai dengan tujuan penelitian.
Bunga Rampai Inovasi
66 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Gambar 6. Ukuran buah nyamplung dari 7 pulau di Indonesia


(Foto: Leksono, 2011)

Keragaman rendemen biofuel


Potensi keragaman rendemen biofuel nyamplung diketahui dengan
mengumpulkan buah nyamplung dari dua belas populasi nyamplung (Tabel
2) dari tujuh pulau di Indonesia. Analisis minyak dilakukan untuk mengetahui
potensi keragaman minyak mentah nyamplung (crude calophyllum oil-CCO)
melalui pengepresan biji, minyak mentah olahan (refined crude calophyllum
oil-RCCO) melalui proses degumming, dan biodisel (biodiesel) melalui
proses esterifikasi-transesterifikasi. Hasil analisis minyak nyamplung dengan
menggunakan alat pres vertikal (vertical hot press) untuk populasi di Pulau
Jawa (No. 1 - 6) dan alat pres ulir (screw press expeller) untuk populasi di luar
Pulau Jawa (No. 7 - 12) disajikan pada Tabel 3
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 67

Tabel 3. Rendemen CCO, RCCO, dan Biodiesel Nyamplung terhadap


berat biji kering dari tujuh pulau di Indonesia dengan
menggunakan dua alat pres biji
No. Populasi Nyamplung Biji kering (kg) CCO (%) RCCO (%) Biodiesel (%)
1. Banyuwangi (Jatim) 2,1 42,58 41,63 -
2. Purworejo (Jateng) 1,9 45,79 43,65 -
3. Cilacap (Jateng) 2,1 40,48 37,24 -
4. Ciamis (Jabar) 2,0 40,00 39,60 -
5. Pandeglang (Banten) 1,8 37,02 36,49 -
6. Gunung Kidul (DIY) 7,3 50,00 46,85 28,95
7. Sumenep (Madura) 6,0 53,17 44,67 21,00
8. Selayar (Sulsel) 6,0 50,17 40,67 30,00
9. Padang (Sumbar) 6,0 50,17 36,00 17,00
10. Ketapang (Kalbar)* 6,0 27,50 24,50 18,70
11. Dompu (NTB) 6,0 58,33 53,00 33,83
12. Yapen (Papua)* 6,0 37,67 22,83 16,00
Keterangan: *) = Terjadi gangguan pada alat screw press expeller saat pengepresan biji
Sumber: Leksono et al. (2014b); Leksono dkk. (2017a)

Rata-rata rendemen CCO terhadap berat kering biji nyamplung dari


enam populasi di pulau Jawa sebesar 37 – 50% dan antara tujuh pulau di
Indonesia berkisar antara 50 – 58% (Leksono et al. 2014b; Leksono dkk.,
2017a). Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rendemen dari biji
jarak pagar (25 – 50%), kepuh (25 – 40%) dan Kesambi (27%) (Heyne,
1987; Sudradjad & Setiawan, 2005; Sudrajad dkk., 2010a; Sudrajad dkk.,
2010b; Raja dkk., 2011). Hasil ini menunjukkan bahwa biji nyamplung
sangat prospektif sebagai bahan baku alternatif biofuel. Namun demikian
proses pengolahan biofuel nyamplung masih perlu dikembangkan untuk
meningkatkan rendemen biofuel yang dihasilkan dan efisiensi dalam proses
produksinya (Leksono dkk., 2014b).
Rendemen CCO, RCCO dan Biodiesel tertinggi pada tujuh populasi
nyamplung dari tujuh pulau di Indonesia ditunjukkan oleh populasi dari
Dompu (NTB) berturut-turut sebesar 58,33%, 53,0% dan 33,83%, dan
di Pulau Jawa ditunjukkan oleh populasi nyamplung dari Gunung Kidul
(DIY) dengan rendemen berturut-turut sebesar 50%, 46,85% dan 28,95%
Bunga Rampai Inovasi
68 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

(Leksono et al. 2014b; Leksono dkk., 2017a). Tingginya keragaman


rendemen biofuel diantara tujuh populasi nyamplung tersebut menunjukkan
bahwa interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan sangat kuat
mempengaruhi produktivitas biofuel nyamplung. Hal ini menunjukkan
bahwa program pemuliaan melalui seleksi antar tegakan nyamplung sangat
efektif untuk dilakukan (Zobel and Talbert, 1984).
Hasil analisis 18 karakteristik biodisel nyamplung dibandingkan dengan
standar SNI 04-7182-2006 (BSN, 2006) menunjukkan bahwa biodisel
nyamplung memenuhi persyaratan parameter sifat fisiko-kimia biodiesel
sesuai dengan SNI 04-7182-2006 (Leksono et al. 2014b). Hasil tersebut
membuktikan bahwa biodisel nyamplung layak sebagai bahan bakar minyak
(BBM) untuk campuran dan pengganti solar.

Keragaman pertumbuhan antar provenan


dan ras lahan
Provenan atau ras geografik merupakan area geografi alami dari mana
benih atau propagul dikumpulkan (Zobel & Talbert 1984). Adanya provenan
ini disebabkan oleh suatu jenis tanaman yang mempunyai sebaran alami di
beberapa tempat dan mempunyai kondisi lingkungan yang sangat spesifik,
sehingga memberikan penampilan yang berbeda di antara ras geografik
tersebut. Sedangkan ras lahan adalah suatu populasi yang menjadi teradaptasi
pada suatu lingkungan yang spesifik pada tempat dia ditanam. Ras lahan
ini terbentuk sebagai hasil dari penanaman pada lingkungan yang baru,
sehingga seleksi alam akan bekerja dan menghasilkan individu-individu
yang mampu beradaptasi pada lingkungan yang tersedia (Burley et al. 1976;
Zobel & Talbert 1984). Ras lahan dapat terjadi setelah satu generasi, namun
demikian ras lahan yang baik terjadi setelah melewati beberapa generasi pada
lingkungan yang baru.
Uji provenan/ ras lahan pada dasarnya bertujuan untuk mereduksi
jumlah provenansi atau ras lahan menjadi sejumlah provenansi atau ras
lahan yang telah teruji, sesuai dengan produk yang diinginkan pada tempat
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 69

tertentu (Burley et al. 1976). Tindakan ini merupakan langkah awal dalam
program pemuliaan pohon untuk mendapatkan informasi dalam usaha
membangun sumber benih unggul, baik berupa Tegakan Benih Provenan
(provenance seed stand) dalam jangka pendek maupun kebun benih (seed
orchard) dalam jangka panjang. Uji provenan/ras lahan nyamplung dilakukan
untuk mengetahui keragaman genetik diantara provenan/ras lahan yang diuji
terhadap kemampuan adaptasi dan sifat pertumbuhan tanaman nyamplung
pada daerah pengembangan program bioenergi berbasis tanaman nyamplung
(Leksono & Widyatmoko, 2010). Hasil analisis dapat digunakan untuk
bahan rekomendasi pengembangan provenan nyamplung potensial di lokasi
uji atau pada kondisi lingkungan yang hampir sama di masa mendatang.
Hasil analisis uji provenan/ras lahan dari enam populasi di Pulau Jawa
maupun dari delapan populasi di tujuh pulau Indonesia menunjukkan
adanya variasi antar populasi yang diuji sejak pada tingkat bibit di persemaian
terhadap sifat pertumbuhan tinggi, diameter, kandungan N jaringan dan
kandungan klorofil bibit tanaman, maupun pada tingkat lapang terhadap
sifat pertumbuhan tinggi, diameter batang, lebar tajuk dan pembungaan
(Putri dkk., 2013; Hasnah & Leksono, 2013; Leksono et al. 2018a). Pada uji
provenan nyamplung di Gunung Kidul (DIY) dari tujuh pulau di Indonesia
dengan kontrol asal populasi di tempat uji (Gunung Kidul), menunjukkan
bahwa sampai dengan tanaman berumur 5 tahun persen hidup tanaman
relatif tinggi bervariasi dari 69% (Padang, Sumbar) sampai dengan 80%
(Ketapang, Kalbar) (Leksono et al. 2018a). Hal ini menunjukkan bahwa
tujuh provenan dari luar Pulau Jawa yang mempunyai potensi rendemen
minyak nyamplung lebih tinggi dari Pulau Jawa, dapat beradaptasi dengan
baik di Gunung Kidul yang saat ini telah mempunyai unit pengolahan biodisel
dengan kapasitas 500 ltr/batch/day di Baron Techno Park (Leksono et al.
2016a). Harapan ke depan akan menjadi salah satu lokasi pengembangan
biodisel berbasis tanaman nyamplung. Pertumbuhan tanaman dan respon
pembungaan dari ketujuh provenan tersebut bervariasi sebagaimana
keragaman pada ukuran buah, biji dan potensi rendemen minyak serta
pertumbuhan bibit di persemaian.
Bunga Rampai Inovasi
70 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Pemanfaatan Potensi Genetik Nyamplung


Konservasi genetik
Sejak masuknya modal asing dalam bidang pengelolaan hutan tropis
di Indonesia pada tahun 70-an, kondisi hutan alam Indonesia semakin
memprihatinkan. Keprihatinan ini bukan saja karena luasan hutan alam
yang terus cenderung berkurang tetapi juga potensi hutan dan jumlah
jenis yang juga semakin menyusut. Laju kerusakan hutan alam ini akan
terus berlangsung manakala program pembangunan hutan tanaman tidak
berhasil diwujudkan. Untuk megantisipasi hal tersebut diperlukan upaya
atau tindakan konservasi guna mempertahankan kekayaan plasma nutfah
yang ada dan potensi genetik yang terkandung di dalamnya dalam bentuk
Area Sumber Daya Genetik/ASDG (Naiem dkk., 2001).
Program konservasi genetik tergantung dari spesies yang akan
dikonservasi, kepentingan ekologi dan atau ekonomi tertentu. Konservasi
sumber daya genetik selalu berhubungan dengan informasi genetik tertentu,
dan informasi genetik yang lebih disukai untuk dikonservasi, tergantung
pada tujuan konservasi. Neel et al. (2001) menyebutkan sasaran dari suatu
program konservasi sumber daya genetik adalah untuk mempertahankan
diversitas genetik dan meminimalkan proses yang dapat mengurangi
diversitas tersebut. Kehilangan diversitas genetik dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan suatu spesies untuk tetap dapat bertahan hidup
dengan baik pada kondisi lingkungan yang cenderung berubah/dinamis
(Indrioko, 2012).
Konservasi eks-situ sebagai salah satu pendekatan dalam program
konservasi dipertimbangkan untuk spesies-spesies yang tidak mampu untuk
hidup atau rawan kerusakan jika dibiarkan pada sebaran alaminya. Oleh
karena itu diperlukan representasi keragaman genetik yang diambil dari
sebaran alam dengan strategi sampling yang tepat. Teknik genetika molekuler
dengan penanda genetik akan membantu dalam pengelolaan populasi
eks-situ untuk konfirmasi identitas genetik maupun perubahan struktur
genetik yang mungkin terjadi jika dibandingkan dengan populasi alamnya.
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 71

Soekotjo (2001) mengidentifikasi perkembangan konservasi genetik eks-situ


di Indonesia ke dalam tiga era: Era Introduksi (1817-1959), Era Program
Pemuliaan (mulai 1976), dan Era Konservasi, dan program pemuliaan serta
bioteknologi yang lebih efisien (sejak 1998). Era ketiga ditandai dengan
Konservasi genetik sesuai kondisi lingkungan saat ini dengan pemanfaatan
yang lebih efisien, keintegrasian yang lebih kuat antar ahli pemuliaan
pohon (tree breeders) dan ahli bioteknologi hutan (forest biotechnologists),
pengelolaan yang lebih komprehensif, dan tegakan diarahkan untuk dapat
memproduksi materi yang dapat diaplikasikan pada kondisi lingkungan yang
baru. Kegiatan utama yang dilakukan telah mempertimbangkan sampel dari
target populasi dan pertanaman konservasi eks-situ dengan menjaga dari
persilangan alami antar populasi. Perkembangan konservasi Era ketiga di
Indonesia telah menggunakan informasi genetik dengan genetika molekuler
sebagai bahan pertimbangan dalam membuat strategi konservasi sumber
daya genetik (Herawan & Leksono 2018).
Nyamplung sebagai salah satu spesies potensial sebagai bahan baku
bioenergi juga berpotensi sebagai bahan baku obat-obatan dan kosmetik
serta pemanfaatan limbah industrinya dapat digunakan untuk berbagai
produk tambahan dengan nilai ekonomi tinggi seperti: briket arang, pakan
ternak, asap cair, sabun, kompos, dll. (Leksono, 2014; Leksono et al.
2018a). Sebelum populasi nyamplung di hutan alam mengalami kepunahan
maka perlu dilakukan konservasi genetik sejak dini dengan membangun
Areal Sumber Daya Genetik (ASDG) dari habitat alaminya (provenan)
pada beberapa lokasi pengembangan yang aman. ASDG nyamplung telah
dibangun seluas 5 ha di setiap lokasi, yaitu di Lasem (Jawa), Jembrana (Bali)
dan Samboja (Kaltim). Setiap lokasi terdiri dari lima provenan dengan luas
1 ha/provenan dari lima pulau di Indonesia. Pemilihan provenan didasarkan
pada informasi keragaman genetik dengan penanda DNA sebagaimana
disajikan pada Gambar 4. Pembangunan ASDG nyamplung tersebut
bekerjasama dengan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan melalui Balai
Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) di ketiga region di atas.
Bunga Rampai Inovasi
72 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Peningkatan genetik
Di dalam strategi pemuliaan nyamplung untuk bahan baku biofuel
(Gambar 1), sumber benih dibangun melalui dua tahapan seleksi. Tahap
pertama, seleksi dilakukan pada tingkat populasi/provenan dengan
membangun Tegakan Benih provenen (TBP) dan tahap kedua, seleksi
dilakukan pada tingkat individu dengan seleksi klon unggul. Percepatan
untuk menghasilkan benih unggul dilakukan melalui pendekatan
bioteknologi (Leksono & Widyatmoko, 2010).
Tegakan benih provenan (TBP) adalah tegakan yang dibangun dari
provenan terbaik dengan tujuan untuk produksi benih berdasarkan hasil
uji provenan yang telah dilakukan sebelumnya (Barner et al. 1992). TBP
dibangun sebagai sumber benih unggul untuk tanaman, dan juga untuk
bahan baku biofuel sebelum tanaman tersebut berbuah. TBP dibangun
dengan menggunakan materi genetik dari provenan/ras lahan yang
mempunyai produktivitas buah dan kualitas biofuel terbaik. Pada tahap
awal, TBP dibangun berdasarkan hasil analisis minyak nyamplung terbaik
dari populasi asal untuk memproduksi benih unggul dalam waktu yang lebih
cepat sambil menunggu hasil seleksi pada uji provenan/ras lahan nyamplung
yang dibangun. Areal TBP selain untuk memproduksi benih unggul, juga
akan digunakan untuk study pola perkawinan (mating system) dan seleksi
individu yang mempunyai daya gabung umum (general combining ability/
GCA) tinggi. Seleksi tersebut dilakukan berdasarkan hasil analisis DNA dan
analisis biofuel pada tingkat individu untuk pengembangan sumber benih
unggul yang lebih tinggi kualitasnya, yaitu untuk memproduksi klon-klon
unggul yang mempunyai GCA dan kualitas biofuel yang tinggi.
Di dalam strategi pemuliaan nyamplung untuk bahan baku biofuel,
sumber benih dibangun melalui dua tahapan seleksi, tahap pertama seleksi
dilakukan pada tingkat populasi/provenan dan tahap kedua seleksi pada
tingkat individu. Percepatan untuk menghasilkan benih unggul dilakukan
melalui pendekatan bioteknologi (Leksono & Widyatmoko, 2010). Pada
tahap pertama telah dibangun plot tegakan TBP seluas 5 ha dengan jarak
tanam 5x5 m di Wonogiri (Jateng) dengan menggunakan materi genetik
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 73

benih nyamplung dari populasi Gunung Kidul (DIY) yang mempunyai


potensi rendemen biofuel tertinggi (CCO) di Pulau Jawa (50%). Persen
hidup tanaman mencapai 95% dan pada umur 3 tahun, tinggi pohon pada
TBP nyamplung mencapai 7,2 m dengan rata-rata 5,1 m dan diameter
mencapai 7,6 cm dengan rata-rata 5,5 cm. Penjarangan pertama dengan
intensitas 25% dilakukan pada umur 6 tahun dan rata-rata tinggi pohon
menjadi 10,35 m dan diameter batang (dbh) 14,32 cm (Leksono et al.
2018b).
Pada umur 1,5 tahun, TBP nyamplung mulai berbuah dan umur 3,5
tahun pohon yang berbuah mencapai 54,95%, meningkat 25,71% setiap
tahun hingga umur 6 tahun (Leksono et al. 2016; Leksono et al. 2018b).
Pohon nyamplung berbunga dan berbuah sepanjang tahun, namun
puncak musim buah terjadi dua kali, yaitu pada bulan Mei – Juni dan
bulan September – Oktober (Leksono et al. 2016b; ). Pada umumnya
pohon nyamplung yang ditanam sebagai tanaman pemecah angin, dengan
kerapatan tegakan yang tinggi, mulai berbunga dan berbuah pada umur 7
tahun (Bustomi dkk., 2008). Regenerasi alami nyamplung di bawah TBP di
Wonogiri (Jateng) sangat lebat, mengindikasikan bahwa nyamplung sangat
sesuai dikembangkan di Wonogiri atau pada kondisi lingkungan yang
hampir sama dengan Wonogiri.
TBP di Wonogiri ditanam dengan menggunakan benih dari tegakan
terseleksi dan penanaman secara intensif menggunakan pola tumpang sari
(agroforestry) sehingga pohon tumbuh dan berbunga serta berbuah lebih
cepat dibandingkan tanaman nyamplung pada umumnya (Leksono et al.
2018b). Hal ini menunjukkan bahwa potensi genetik yang tinggi dari benih
yang digunakan dan dengan penerapan teknik silvikultur yang tepat, akan
mengoptimalkan pertumbuhan tanaman (Zobel & Talbert, 1984). Pola
tanam tumpang sari diterapkan dengan jenis tanaman jagung, padi, kacang
tanah hingga umur 2 tahun, dan setelah pohon berbunga (umur 3 tahun)
dapat menghasilkan madu. Pola tumpangsari tersebut dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat sebelum pohon nyamplung berbuah dari tanaman
pertanian semusim dan berganti dengan madu saat pohon mulai berbunga
hingga akhir rotasi (Rahman et al. 2019).
Bunga Rampai Inovasi
74 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Rendemen biofuel (CCO) biji nyamplung dari awal berbuah pada


umur 3 tahun hingga umur 6 tahun relatif stabil, meningkat dengan kisaran
61,92 – 69,07% atau meningkat 11 – 19% dibandingkan populasi asalnya
(Gunung Kidul) sebesar 50 – 50,12% (Leksono et al. 2016b; Leksono et al.
2018b). Populasi nyamplung dari Gunung Kidul (DIY) seluas 2 ha ditanam
pada tahun 1958 oleh Lembaga Penelitian Hutan (LPH) Bogor, atau
sekarang bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (Puslitbang
Hutan) untuk tujuan rehabilitasi lahan kritis sehingga menggunakan jarak
tanam rapat (BBPBPTH, 2103). Regenerasi alami menyebabkan kerapatan
tegakan semakin tinggi dan produksi buah semakin menurun meskipun
masih memproduksi buah sampai umur 55 tahun (Leksono et al. 2018b).
Areal tersebut saat ini merupakan areal KHDTK yang dikelola oleh Balai
Besar Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPPBPTH),
Yogyakarta.

Gambar 7. Tegakan Benih provenan (TBP) nyamplung umur 3 tahun


(Foto: Leksono, 2014)
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 75

Stabilitas genetik
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel) memberikan tugas kepada para
Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota untuk mengambil langkah-langkah
percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai
bahan bakar alternatif. Dalam rangka pengembangan biofuel, Departemen
Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
berperan dalam penyediaan bahan baku (sektor hulu) termasuk pemberian
ijin pemanfaatan lahan hutan yang tidak produktif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Terkait dengan hal tersebut, diperlukan
pengembangan tanaman nyamplung pada lahan-lahan yang tidak produktif,
termasuk di dalamnya lahan terdegradasi seperti: lahan gambut terdegradasi,
lahan eks kebakaran, lahan eks tambang dan lahan-lahan marginal lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 5,8 juta ha lahan di
Indonesia masuk dalam kategori lahan terdegradasi sehingga mempunyai
keterbatasan untuk memproduksi pangan, penyerapan karbon pada
lahan dan menumbuhkan vegetasi serta biodiversitas. Jaung et al. (2018)
melaporkan bahwa dari luasan tersebut 72% diantaranya dalam kategori
lahan terdegradasi parah dan 28% dalam kategori sangat parah. Luas areal
terdegradasi terluas berada di Sumatera (1,8 juta ha) diikuti oleh Kalimantan
(1,5 juta ha), Maluku dan Nusa Tenggara (1 juta ha) serta sisanya (masing-
masing kurang dari 1 juta ha) di Sulawesi, Papua, Jawa dan Bali. Dari total
luasan lahan terdegradasi tersebut 3,5 juta ha diantaranya (58%) berpotensi
dapat ditanami paling tidak salah satu dari spesies penghasil bioenergi, seperti:
nyamplung (Calohyllum inophyllum), kaliandra (Caliandra calothyrsus),
gamal (Gliricidea sepium), kemiri sunan (Reutealis trisperma), dan malapari
(Pongamia pinnata).
Hasil uji adaptasi empat spesies tanaman hutan untuk bioenergi
(nyamplung, kaliandra, gamal dan kemiri sunan) pada lahan gambut
terdegradasi di Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), menunjukkan bahwa
nyamplung mempunyai kemampuan adaptasi dan pertumbuhan terbaik
dibandingkan tiga spesies yang lain (Cifor, 2016; Maimunah dkk., 2017;
Bunga Rampai Inovasi
76 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Leksono dkk., 2017b). Keunggulan tersebut kemungkinan karena nyamplung


telah dikenal sebagai tanaman penghasil biodisel dengan rendemen minyak
tinggi yang toleran pada berbagai kondisi lahan yang beragam, terutama
pada sepanjang pantai dan bersebelahan dengan hutan dataran rendah.
Dilaporkan pula bahwa nyamplung toleran pada temperatur udara yang
tinggi dan pada kondisi lahan yang basah, namun tidak toleran pada dataran
tinggi, daerah dingin dan areal yang sangat kering (Prabakaran & Britto,
2012). Nyamplung juga toleran pada lahan dengan tanah liat, berkapur,
berbatu dan bahkan pada lahan tergenang periodik dan tanah asam hingga
pada lahan marginal (Atabani & César, 2014; Leksono et al. 2018a). Untuk
menguji stabilitas genetik dari potensi tanaman nyamplung dari TBP di
Wonogiri (Jateng), dilakukan penanaman nyamplung pada lahan gambut
terdegradasi yang berlokasi di Kelampangan (Kalteng) seluas 3 ha dan lahan
eks kebakaran terdegradasi di Samboja (Kaltim) seluas 5 ha (Leksono dkk.,
2017b). Pertumbuhan awal tanaman (1,5 tahun) di kedua lokasi tersebut
cukup menggembirakan sebagai salah satu upaya rehabilitasi dan restorasi
lahan terdegradasi. Pertumbuhan tanaman di lahan eks kebakaran (tanah
mineral) menunjukkkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan
pertumbuhan di lahan gambut. Namun demikian pada plot uji spesies
tanaman hutan untuk bioenergi pada lahan gambut terdegradaasi di Pulang
Pisau (Kalteng), nyamplung menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi
karena mulai belajar berbuah pada umur 3 tahun (Maimunah, komunikasi
pribadi).

Propagasi makro dan mikro


Pemuliaan nyamplung telah dilakukan pada tingkat populasi/provenan
dengan membangun TBP menggunakan benih dari populasi/provenan
terbaik berdasarkan hasil uji rendemen minyaknya (Leksono dkk., 2016b).
Dalam strategi pemuliaan nyamplung (Gambar 1), setelah seleksi pada
tingkat populasi/provenan dilakukan, akan dilanjutkan dengan seleksi pada
tingkat individu terhadap sifat pertumbuhan, kelimpahan berbuah dan
rendemen minyak yang dihasilkan, dengan membangun kebun klon unggul
(Leksono & Widyatmoko, 2010). Untuk mempertahankan keunggulan
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 77

sifat yang diseleksi tersebut sangat diperlukan teknik perbanyakan bibit


secara vegetatif, baik secara konvensional (propagasi makro) maupun
dengan teknik kultur jaringan (propagasi mikro). Hal tersebut dilakukan
untuk memperbanyak individu-individu terbaik dari hasil kegiatan seleksi.
Penelitian pembibitan tanaman nyamplung secara vegetatif telah dilakukan
dengan cara mencangkok, menyambung/grafting, stek pucuk dan kultur
jaringan (Adinugraha, et al. 2012; Putri & Leksono, 2018; Hasnah dkk.,
2019).

Cangkok Grafting Stek pucuk

Gambar 8. Perbanyakan bibit nyamplung dengan teknik vegetatif makro


(Adinugraha, et al. 2012; Hasnah dkk., 2019)

Teknik propagasi makro dengan cara sambungan (grafting) dapat


dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik sambungan seperti:
veneer graft, top cleft graft dan bud graft (Gambar 9). Rootstock dan scion
yang digunakan berasal dari sumber benih yang sama, yaitu dari populasi
Alas Purwo, Banyuwangi (Jatim) dengan persen hidup bibit rata-rata
mencapai 85,33%. Penerapan teknik veneer graft menunjukkan persentase
hidup, persentase bertunas dan pertumbuhan panjang tunas terbaik. Bahan
tanaman untuk scion (batang atas) dapat diambil dari bagian termudah pada
Bunga Rampai Inovasi
78 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

tajuk pohon induk, yaitu tajuk bagian bawah dengan tingkat keberhasilan
mencapai 93,33% (Adinugraha dkk., 2012). Tanaman nyamplung yang
berasal dari bibit sambungan pada tingkat lapang menghasilkan persen
hidup sebesar 60,42% (Yudohartono & Adinugraha, 2015).

Gambar 9. Bibit nyamplung hasil sambungan setelah umur 3 bulan A =


top cleft graft, B = veneer graft dan C = bud graft
(Adinugraha dkk., 2012)

Gambar 10. Pertanaman nyamplung dari sambungan umur 3 th (A) dan 7


th (B); dari cangkok umur 7 th (C)
(Foto: Adinugraha, 2014 & 2018; Leksono, 2019)
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 79

Perbanyakan stek pucuk jenis nyamplung dapat dilakukan menggunakan


tunas dari anakan, tanaman muda dan trubusan ortotropik pohon dewasa.
Persentase hidup stek nyamplung memberikan respon yang sangat bagus (>
70%), yaitu dari anakan 89,17%, tanaman muda 75,28% dan pohon dewasa
71,39%. Penggunaan zat pengatur tumbuh tetap diperlukan untuk memacu
perakaran stek pucuk dengan persentase berakar terbaik diperoleh pada
perlakuan ZPT dalam bentuk pasta yaitu sebesar 63,33-70% (Hasnah dkk.,
2019). Perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan atau propagasi
mikro merupakan suatu metode pembiakan tanaman dengan cara mengisolasi
bagian tanaman yang aseptik, pada media dan lingkungan aseptik, sehingga
bagian tanaman tersebut akan tumbuh dan berkembang membentuk
tumbuhan yang lengkap dan identik dengan induknya (Gunawan, 1987).
Di Indonesia, dalam dua puluh tahun terakhir ini, pengembangan kultur
jaringan untuk tanaman hutan dalam skala luas dan komersial baru
dikembangkan untuk beberapa spesies, antara lain: jati (Tectona grandis),
pelita (Eucalyptus pellita), dan spesies bambu (Dendrocalamus spp., Bambusa
spp., Gigantochloa spp.) (Sukamadjaja & Mariska, 2003; Herdyantara, 2009;
Leksono, 2016; BNV, 2019), sedangkan untuk spesies yang lain masih
dalam tahap penelitian.
Pembiakan tanaman dengan teknik kultur jaringan dapat dibagi
menjadi beberapa tahap yang berurutan yaitu: induksi, multiplikasi,
perakaran dan aklimatisasi (George, 1993). Pada tanaman nyamplung telah
dilakukan evaluasi teknik sterilisasi untuk mendapatkan kultur aksenik dan
optimalisasi hormon pertumbuhan nyamplung in vitro. Sterilisasi eksplan
tanaman hutan tropis sebagai sumber materi yang diperoleh langsung
dari alam selama ini masih menjadi hambatan karena keanekaragaman
sumber kontaminan yang tinggi. Penggunaan anti mikrobia biosida yang
mempunyai senyawa aktif 5-chloro-2-methyl-3(2H)-isothiazolone dan
2-methyl-3(2H)-isothiazolone, mempunyai keunggulan terutama dapat
menggantikan penggunaan antibiotik, mempunyai efektivitas spektrum yang
luas untuk mematikan berbagai mikrobia, stabilitas yang tinggi terhadap
pemanasan serta dapat disterilkan menggunakan autoclave (Putri et al. 2019).
Bunga Rampai Inovasi
80 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Selanjutnya dilaporkan bahwa modifikasi aplikasi biosida pada media basal


cair dan padat berhasil menurunkan tingkat kontaminasi hingga 10 ± 5.4%
maupun menurunkan tingkat kematian eksplan hingga 12% selama 30 hari
inkubasi. Selama 10 bulan inkubasi in vitro, penggunaan media Murashige
dan Skoog dengan penambahan NAA yang lebih tinggi dari 0,5 mg/l
tidak berpengaruh nyata pada kemampuan bertunas eksplan nyamplung.
Perlakuan 0,5 mg/1 NAA, 1 mg/l BAP dan 0,15 mg/l Kinetin merupakan
penambahan hormon eksogen terbaik untuk pemanjangan tunas (rata-rata
10,54 ± 1,98 cm) maupun untuk pemanjangan akar (rata-rata 4,65 ± 0,68
cm). Plantlet yang dihasilkan mempunyai 98% keberhasilan aklimatisasi,
dan bibit nyamplung hasil kultur jaringan ini tumbuh dengan baik sampai
umur 6 bulan pengamatan di rumah kaca (Putri & Leksono, 2018).

Induksi Multiplikasi Perakaran Aklimatisasi

Gambar 11. Perbanyakan vegetatif mikro pada tanaman nyamplung


(Putri & Leksono, 2018)
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 81

Daftar Pustaka
Adinugraha, H.A., Mahfudz, E. Muchtiari, S. Huda. 2012. Pertumbuhan
dan perkembangan tunas bibit nyamplung hasil pembiakan dengan
teknik sambungan. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 6(2): 89-100.
Atabani, A.E., S. César. 2014. Calophyllum innophyllum L.- A prospective
non-edible biodiesel feedstock. Study of biodiesel production,
properties, fatty acid, composition, blending and engine performance.
Renewable and Sustainable Energy Reviews 37: 644-655
Barner H, Olesen K, Wellendroff H. 1992. Classification and selection of
seed sources. Lecture Note. Danida Forest Seed Centre.
BBPBPTH (Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman
Hutan). 2013. Sekilas tentang kawasan hutan dengan tujuan khusus:
Gunungkidul Blok Watusipat. Yogyakarta. 20 hal.
BNV. 2018. Bambu Nusa Verde. http://www.bambunusaverde.com/ (diakses
tanggal 1 Oktober 2019).
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2006. Biodiesel. SNI 04-7182-2006.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). Jakarta.
Burley, J., P.J. Wood, R. Lines. 1976. A guide to field practice: Manual
on species and provenance research with particular reference to the
tropics. Trop. For. Pop. 10 Comm. For. Ins. Oxford.
Bustomi, S., R. Rostiwati, Sudrajat, B. Leksono, S. Kosasih, I. Anggraini,
D. Syamsuwida, Y. Lisnawati, Y. Mile, D. Djaenudin, Mahfudz, E.
Rachman. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) sumber
energi biofuel yang potensial. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
Cifor. 2016. A bioenergy trial in Central Kalimantan aims to restore land
and boost livelihoods. Forest News, 27 October 2016, Growing New
Energy.
Bunga Rampai Inovasi
82 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Cochrane, A., C.J. Yates, G.L. Hoyle, A.B. Nicotra. 2014. Will among-
population variation in seed traits improve the chance of species
persistence under climate change?. Global Ecology and Biogeography
24 (1) : 12-24.
Davidson, J. 1992. Tree breeding and propagation-some concepts. Proc. of
The Regional Workshop on Tree Breeding and Propagation. Bangkok,
Thailand.
Eldridge, K.G., J. Davidson, C.E. Harwood, G. Van Wyk. 2001. Eucalypt
domestication and breeding. Oxford science Publications. Reprinted.
288 p.
George, E.F. 1993. Plant propagation by tissue culture: Part 1 – The
Technology. Exegetics, Basingstoke.
Gunawan, L. W. 1987. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Laboratorium
kultur jaringan PAU-Bioteknologi. Bogor : IPB
Hasnah, T.M., B. Leksono. 2013. Variasi genetik pertumbuhan semai,
kandungan nitrogen jaringan dan klorofil antar populasi nyamplung
(Calophyllum Inophyllum) Di Pulau Jawa. Prosiding Seminar Nasional
HHBK “Peranan Hasil Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu dalam
Mendukung Pembangunan Kehutanan”. Balai Penelitian Teknologi
Hasil Hutan Bukan Kayu. hal.128-135.
Hasnah, T.M., E. Windyarini, H.A. Adinugraha. 2019. Kemampuan
tumbuh stek pucuk nyamplung menggunakan trubusan dari anakan
dan pohon induk. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan (editing).
Hathurusingha, S., N. Aswath, D. Midmore. 2011. Provenance variations in
seed-related characters and oil content of Calophyllum inophyllum L.
in northern Australia and Sri Lanka. New Forests 41: 89-94.
Hayes, D.J., R. Ballentine, J. Mazurek. 2007. The promise of biofuels a
home-grown approach to breaking. America’s Oil Addiction (Policy
Report March 2007). Progressive Policy Institute.
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 83

Herawan, T., B. Leksono. 2018. Kultur jaringan untuk konservasi dan


pemuliaan tanaman hutan. Penerbit: Kaliwangi. 122 hal.
Herdyantara, B. 2009. Pengembangan klon Eucalyptus pellita di Arara Abadi.
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian “Status Terkini Penelitian
Pemuliaan Tanaman Hutan”. BBPBPTH Yogyakarta, 1 Oktober
2009.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Diterjemahkan
oleh : Badan Litbang Kehutanan.Yayasan SaranaWanajaya. Jakarta.
Indrioko, S. 2012. Representasi diversitas genetik dalam pembangunan
plot konservasi sumberdaya genetik. Prosiding Lokakarya Nasional:
Plot Konservasi Gnetik untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam
Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka). Puskonser-ITTO Project
PD.539/09 REV.1/F. Bogor. Hal. 102-115.
Jaung, W., E. Wiraguna, B. Okarda, Y. Artati, C.S. Goh, R. Syahru, B.
Leksono, L.B. Prasetyo, S.M. Lee, H. Baral. 2018. Spatial Assessment
of Degraded Lands for Biofuel Production in Indonesia. Sustainability
Journal MDPI Vol.10. No. 4595: 1-17.
Leksono, B. 2009. Breeding zones based on genotype-environment
interaction in seedling seed orchards of Eucalyptus pellita in Indonesia.
Journal of Forestry Research Vol.6 No.1:74-84.
Leksono, B., A.Y.P.B.C. Widyatmoko. 2010. Strategi pemuliaan nyamplung
(Calophyllum inophyllum) untuk bahan baku biofuel. Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi III: Peran Strategis Sains dan
Teknologi dalam Mencapai Kemandirian Bangsa. Bandar Lampung
18-19 Oktober 2010. Universitas Lampung. Hal. 125-137.
Leksono, B., Y. Lisnawati, E. Rahman, K.P. Putri. 2010. Potensi tegakan
dan karakteristik lahan enam populasi nyamplung (Calophyllum
inophyllum) ras Jawa. Prosiding workshop sintesa hasil penelitian
hutan tanaman 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan,
Bogor. P:397-408.
Bunga Rampai Inovasi
84 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Leksono, B., S. Kurinobu, Y. Ide. 2011. A breeding strategy for the tropical
Eucalyptus: Findings and lessons acquired from the multi-generation
tree breeding of Eucalyptus pellita in Indonesia. LAP Lambert Academic
Publishing GmbH & Co.KG, Germany. 2011. pp 120.
Leksono, B., K.P. Putri. 2013. Variasi ukuran buah - biji dan sifat fisiko
- kimia minyak nyamplung (Calophyllum Inophyllum L.) dari enam
populasi di Jawa. Prosiding Seminar Nasional HHBK “Peranan Hasil
Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Mendukung Pembangunan
Kehutanan”. Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.
hal.321-334.
Leksono, B. 2014. Buah nyamplung (Calophyllum inophyllum) untuk
ketahanan energi, pakan dan obat-obatan: peluang dan tantangan.
Prosiding Seminar Nasional “Peranan dan Strategi Kebijakan
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam Meningkatkan
Daya Guna Kawasan (Hutan)”. Fakultas Kehutanan UGM-BPDASPS.
Yogyakarta, 6-7 November 2014. hal.302-314.
Leksono, B., E. Windyarini, T. Hasnah. 2014a. Budidaya nyamplung
(Calophyllum inophyllum L) untuk bioenergi dan prospek pemanfaatan
lainnya. IPB Press. 55 hal.
Leksono, B., R.L. Hendrati, E. Windyarini, T. Hasnah. 2014b. Variation of
biofuel potential of 12 Calopyllum inophyllum populations in Indonesia.
Indonesian Journal of Forestry Research Vol.1 (2):127-138.
Leksono B. 2016. Seleksi berulang pada spesies tanaman hutan tropis untuk
kemandirian benih unggul. Naskah Orasi Profesor Riset. Badan
Penelitian, Pengembangan dan Inovasi. Bogor. 78 hal.
Leksono B, E. Windyarini, T. Hasnah. 2016a. Biodiesel production from
Calophyllum inophyllum and it’s waste utilization. Proceedings Abstract
of The IUFRO Regional Congress for Asia and Oceania 2016: “Forests
for Sustainable Development: The Role of Research” di Beijing,
China. 24 – 27 Oktober 2016 (Unpublished)
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 85

Leksono B, E. Windyarini, T. Hasnah. 2016b. Growth, flowering, fruiting


and biofuel content of Calophyllum inophyllum in provenance seed
stand. Proceedings of International Conference of Indonesia Forestry
Researchers III-2015: Forestry research to support sustainable timber
production and self-sufficiency in food, energy, and water. Forestry
Research, Development and Inovation Agency; 2015. Bogor, 10 – 12
Oktober 2015. pp.171-180.
Leksono, B., E. Windyarini, T. Hasnah. 2017a. Nyamplung, sumber daya
genetik lokal unggulan untuk pengembangan biofuel. Prosiding
Seminar Nasional “Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Lokal dalam
Mendukung Keberhasilan Program Pemuliaan”. Yogyakarta, 2 Juni
2016. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta. hal. 525-535.
Leksono B, S. Maimunah, E. Windyarini, T. Hasnah. 2017b. Pengembangan
tanaman nyamplung untuk bioenergi di lahan gambut terdegradasi.
Prosiding Seminar Nasional ke-3 Komunitas Managemen Hutan
Indonesia (KOMHINDO) Tahun 2017: “Pengelolaan Lahan
Gambut di Indonesia dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan”.
Palangkaraya, 3-4 November 2017. hal. 156-166.
Leksono, B., E. Windyarini, T. Hasnah. 2018a. Conservation and zero
waste concept for biodiesel industry based on Calophyllum inophyllum
plantation. Proceedings of IUFRO-INAFOR Joint International
Conference. Forestry Research, Development and Inovation Agency.
Yogyakarta, 24-27 July 2017 p.163-174.
Leksono B, E. Windyarini, T. Hasnah, S. Rahman, H. Baral. 2018b.
Calophyllum inophyllum for Green Energy and Landscape Restoration:
Plant Growth, Biofuel Content, Associate Waste Utilization and
Agroforestry Prospect. Proceedings of ICUE 2018 on Green Energy
for Sustainable Development. Thavorn Palm Beach Resort Karon,
Phuket, Thailand. 24 – 26 October 2018. p.1-7.
Liu, J., Y. Bai, E.G. Lamb, D. Simpson, G. Liu, Y.Wei, D. Wang, D.W. Mc
Kenney, P. Papadopol. Pattern of cross-continental variation in tree
mass in the canadian boreal forest. Plos One 8 (4) : e61060.
Bunga Rampai Inovasi
86 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Maimunah, Y. Artati, Y. Samsudin. 2017. Uji tanaman sumber bioenergi


di lahan gambut terdegradasi: Studi di Desa Buntoi, Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Silvikultur Indonesia ke V: “Silvikultur untuk Produksi Hutan Lestari
dan Rakyat Sejahtera”. Banjarbaru 23-24 Agustus 2017.
Martawijaya, A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 2005. Atlas kayu
indonesia. Jilid I (Ed.revisi). Badan Litbang Kehutanan. DEPHUT.
Bogor.Indonesia.
Naiem, M., B. Leksono, R.L. Hendrati. 2001. Konservasi dan pemanfaatan
keragaman genetik untuk program pemuliaan pohon hutan. Prosiding
Kongres IV dan simposium nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan
Indonesia (PERIPI), Graha Sabha Pramana UGM Yogyakarta, 23 –
24 Oktober 2001. hal.18-29
Namkoong G, Barnes RD, Burley J. 1980. A Phylosophy of breeding strategy
for tropical forest trees. Unit of Tropical SilvicultureCommonwealth
Forestry Institute. University of Oxford. England.
Neel, M.C., J.R. Ibarra, N.C. Ellstrand. 2001. Implication of mating patterns
for conservation of the endangered plant Erigonum ovalivolium var.
Vineum (Polygonaceae). American Journal of Botany. 88:1214-1222.
Nurtjahjaningsih ILG, T. Haryanti, AYPBC. Widyatmoko, S. Indrioko,
A. Rimbawanto. 2015. Keragaman genetik populasi calophyllum
inophyllum menggunakan penanda RAPD (Random Amplification
Polymorphism DNA). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 9 No.
2, September 2015, 91-102.
Prabakaran, K., S.J. Britto. 2012. Biology, Agroforestry and Medicinal value
of Calophyllum inophyllum l. (clusiacea): A Review. International
Journal of Natural Products Research 1(2): 24-33.
Bagian 1.
Pengelolaan Tanaman Hutan Penghasil Bahan Bakar Nabati Cair
(Bioethanol Dan Biodiesel) 87

Putri, K.P., B. Leksono, E. Rahman. 2013. Interaksi genotipe dan lingkungan


pada pertumbuhan bibit nyamplung (Calophyllum Inophyllum L.)
di tiga lokasi. Prosiding Seminar Nasional HHBK “Peranan Hasil
Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Mendukung Pembangunan
Kehutanan”. Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.
hal.92-100.
Putri, A.I., B. Leksono. 2018. In Vitro Growth of Nyamplung (Callophylum
inophyllum): The Future Generation Biofuel Plants. Proceedings of
ICUE 2018 on Green Energy for Sustainable Development. Thavorn
Palm Beach Resort Karon, Phuket, Thailand. 24 – 26 October 2018.
p.1-6.
Putri, A.I., B. Leksono, E. Windyarini, T.M. Hasnah. 2019. Tissue culture
sterilization of Callophylum inophyllum: Renewable energy resources.
Proceedings of International Conference on Biology and Applied
Science (ICOBAS). AIP Conf. Proc. 2120, 030004-1–030004-8
(2019).
Rahman, S.A., H. Baral, R. Sharma, Y.B. Samsudin, M. Meyer, M. Lo, Y.
Artati, T.I. Simamora, S. Andini, B. Leksono, J.M. Roshetko, S.M.
Lee. T. Sunderland. 2019. Integrating bioenergy and food production
on degraded landscapes in Indonesia for improved socioeconomic and
environmental outcomes. Food Energy Secur. 2019;e00165.Wiley
online library.
Soekotjo. 2001. The status of eks-situ conservation of commercial tree species
in Indonesia. In: Thielges, B.A., S.D. Sastrapradja, A. Rimbawanto
(Eds.). Faculty of Forestry UGM & ITTO. Yogyakarta.
Sudrajat, R., D. Setiawan. 2005. Biodiesel dari tanaman jarak pagar sebagai
energi alternatif untuk pedesaan. Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan.
Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Hal. 207-219.
Sudrajat, R., S. Yogie, D. Hendra, D. Setiawan. 2010a. Pembuatan biodiesel
kepuh dengan proses transesterifikasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Vol.28 No.2 (145-155).
Bunga Rampai Inovasi
88 Penyediaan Feedstock Energi Terbarukan dari Sektor Kehutanan
Menuju Kemandirian Energi Nasional

Sudrajat, R., E. Pawoko, D. Hendra, D. Setiawan. 2010b. Pembuatan


biodiesel dari biji kesambi (Schleichera oleosa L). Jurnal Penelitian
Hasil Hutan Vol.28 No.4 (358-379).
Sukamadjaja, D., I. Mariska. 2003. Perbanyakan bibit jati melalui kultur
jaringan. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian. Bogor.
Utami, T.S., R. Arbianti, D. Nurhasman. 2007. Kinetika reaksi
transesterifikasi CPO terhadap produk metil palmitat dalam reaktor
tumpak. Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia,
Surabaya, 15 November 2007. Hlm. KR2-1-KR2-6.
Windyarini, E., T.M. Hasnah. 2017. Karakteristik Sumberdaya Genetik
Nyamplung dari 7 Pulau di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
“Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Lokal dalam Mendukung
Keberhasilan Program Pemuliaan”. Yogyakarta, 2 Juni 2016. Fakultas
Pertanian UGM, Yogyakarta. hal. 520-530.
Wright, J.W., W.I. Bull. 1963. A one-parent progeny test and seed orchard
for the improvement of red pine. Journal of Forestry 61: 747-750.
Yudohartono , T.P., H.A. Adinugraha. 2015. Pembangunan plot uji
pertanaman nyamplung hasil sambungan di Cilacap, Jawa Tengah.
Informasi Teknis Vol.13 No.1. Juli 2015. Hal 25-33.
Zobel, B.J., J.T. Talbert. 1984. Applied forest tree improvement. John Wiley
& Sons Inc. Canada.

Anda mungkin juga menyukai