Anda di halaman 1dari 22

DESAIN DAN PENGEMBANGAN OPEN LEARNING ENVIRONMENT

(OLEs) DALAM PEMBELAJARAN.

Imam Nur Aziz


Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik
imamnuraziz@gmail.com

Abstrak

Artikel ini membahas tentang desain dan pengembangan


lingkungan belajar. Dalam menghadapi transformasi ilmu
pengetahuan, pendidikan yang berbasis lingkungan belajar
membutuhkan pengembangan yang berkelanjutan. Sekolah yang
mempromosikan dalam pengembangan lingkungan belajar
harus membangun sistem pendidikan melalui kerjasama yang
baik antar kepala sekolah, guru, siswa, masyarkat sekitar,
ilmuan serta masyarakat sekitar. Selain hal tersebut, sekolah
juga harus melengkapi kualitas sarana dan prasarana.
Sehingga untuk membentuk lingkungan belajar yang baik, pihak
sekolah juga harus memahami minat dan bakat pebelajar agar
mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.

Kata Kunci: OLEs, Pembelajaran

A. Pendahuluan
Belajar adalah proses manusia untuk mendapat ilmu pengetahuan,
skill dan pengalaman diri agar ada perubahan dalam sikap dan prilaku
manusia (Falk, Heimlich, & Foutz, n.d., Isaacs, 1996, Berns & Erickson,
2001). Seperti yang di terangkan oleh Joyse, Bruce and Weil (2003),
mereka menjelaskan bahwa belajar adalah membantu siswa untuk
mendapatkan informasi, ide, skill, cara berfikir untuk merubah mereka
dalam bertingkah laku. Untuk mendapatkan proses terbaik dalam
pembelajaran, kedudukan kelas dan peran guru yang profesional sangatlah
penting untuk menyeimbangkan dimensi kognitif, afektif dan
psikomotorik (Harjali, Degeng, Setyosari, & Dwiyogo, 2015). Senada
dengan hal tersebut (Degeng, 2013) juga mendefinisikan, tujuan dari
belajar dan pembelajaran adalah mempengaruhi siswa agar belajar.
Sehingga tujuan dari pembelajaran adalah sebagai perubahan tingkah laku
pembelajar kearah yang lebih baik.
Dalam proses belajar dan pembelajaran, seorang guru pastilah
berusaha keras untuk mencapai target yang sudah ditentukan (Aziz, 2017).
Akantetapi, hal tersebut tidaklah semulus sesuai dengan apa yang
direncanakan, karena sesuai dengan perkembangan zaman, banyak peserta
didik tidak puas dengan pembelajaran yang ada di kelas, kebanyakan dari
mereka lebih merasa nyaman dengan pembelajaran online. Peserta didik
yang lahir dan besar di era teknologi ini disebut dengan generasi “Digital
Native” (Chandra & Nugroho, 2016). Sehingga, peserta didik sekarang
sedang berhadapan dengan dunia maya dan lebih mudah untuk
mendapatkan informasi ataupun materi pembelajaran.
Dalam menghadapi transformasi ilmu pengetahuan, pendidikan
yang berbasis lingkungan belajar membutuhkan pengembangan yang
berkelanjutan. Sekolah yang mempromosikan dalam pengembangan
lingkungan belajar harus membangun sistem pendidikan melalui
kerjasama yang baik antar kepala sekolah, guru, siswa, masyarkat sekitar,
ilmuan serta masyarakat sekitar, kemudian menyediakan pembelajar media
online.
Dalam pembentukan lingkungan belajar yang kondusif, pelaku
sekolah tidak hanya butuh pada perbaikan bangunan fisik saja, melainkan
yang lebih utama adalah perkembangan lingkungan intelectual siswa
(Pieters, Breuer K, & Simons J. R. P, 1990). Heimstra dalam (Harjali,
2015) juga menjelaskan bahwa lingkungan belajar meliputi semua yang
ada disekitar, kondisi emosional dan pengaruh kultur sekitar. Karena
ketika beberapa hal tersebut bisa terlaksana maka bukan tidak mungkin,
lingkungan belajar akan kondusif. Jadi, lingkungan belajar yang kondusif
itu bisa membuat nyaman pelajar dalam menerima ilmu, beriteraksi sosial
serta mengembangkan kepribadiannya.
Pembelajaran terbuka merepresentasikan pembelajaran online,
dimana siswa diberi kebebasan dalam mendapatkan referensi
pembelajaran. Di era inovasi industri 4.0 ini, dinamika belajar dan
pembelajaran di beberapa pendidikan tinggi telah bergeser dari kelas
tradisional ke pembelajaran online, pembelajaran bergeser dari Teacher
Centered Learning (TCL) ke Learner Centered Learning (LCL) (Chandra
& Nugroho, 2016). Pembelajaran online saat ini semakin diminati dalam
menyampaikan materi pelajaran. Hal tersebut dikarenakan, dalam
pembelajaran online pembelajar dibebaskan untuk mencari materi
pelajaran yang ada di internet sesuai dengan keinginan mereka.
Ozgul et al menerangkan bahwa lingkungan belajar yang kondusif
itu tergantung pada kondisi lingkungan yang benar-benar disiapkan untuk
masa depan peserta didik dalam jangka yang panjang (Ozgul, Kangalgi,
Diker, & Yamen, 2018). Selain hal tersebut, peran guru dan murid adalah
hal vital dalam pengembangan lingkungan belajar yang kondusif
(Erdogan, 2016).
B. Pembahasan
1. Model dan Metode Lingkungan Belajar Terbuka (Open Learning
Environment (OLEs))
Pergeseran model pembelajaran dari Teacher centered
Learning (TCL) ke Learner Centered Learning (LCL) telah
berkembang secara dramatis (Lasry, Charles, & Whittaker, 2014).
Perkembangan kerangka model pembelajaran tersebut berhubungan
dengan berkembangnya teknologi (Hannafin, Land, & Oliver, 1997).
Sesuai dengan definisi pembelajaran itu sendiri, pembelajaran adalah
kombinasi dari pembelajaran tatap muka dan aktivitas pengajaran serta
pengajaran online, dan metode untuk mengembangkan peserta didik
untuk di jadikan sumberdaya manusia yang cerdas (Gillespie, Boulton,
Hramiak, & Williamson, 2007).
Dibeberapa tahun terahir ini, teknologi/internet berkembang
pesat di pendidikan, bahkan perkembangannya tersebut dimanfaatkan
oleh pihak sekolah untuk megembangan lingkungan belajar yang
terbuka (Suman, Amini, Elson, & Reynolds, 2010). Oleh karena itu
beberapa sekolah telah mengembangkan strategi pembelajarannya
dengan sistem kuliah online (online campus), sekolah cyber, dan juga
sebagai sarana pembelajaran dalam kelas (Atici & Polat, 2010).
(Dringus & Terrell, 1999) juga menerangkan bahwa di era
perkembangan teknologi ini banyak sekolah yang membuka kelas
online. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa pendekatan model
pembelajaran tersebut sangatlah mungkin dan akan terus berkembang
seiring dengan perkembangan teknologi yang sudah pada inovasi
industri 4.0.
Lingkungan belajar terbuka telah menjadi daya tarik tersendiri
bagi dunia pendidikan (Suman et al., 2010), karena proses
pengembangannya tidak hanya terfokus pada objective of learning saja
(Reigeluth, 1999), akan tetapi meliputi dari maksud dan tujuan
individu yang sejajar dalam pembelajaran (Hannafin et al., 1997).
Tujuan dari lingkungan belajar yg terbuka juga untuk mengupayakan
pemahaman pembelajar (Rogo & Portillo, 2015).
Menurut Regeluth dalam (Hannafin et al., 1997) menjelaskan
bahwa lingkungan belajar terbuka itu lebih mengutamakan tujuan
pembelajaran itu sendiri dibandingkan dengan proses pembelajaran.
(Dringus & Terrell, 1999) menjelaskan bahwa lingkungan belajar
terbuka (open learning environment (OLEs)) itu berbeda secara
pedagogi. Lingkungan belajar juga membuka ruang bagi guru dan
pembelajar untuk komunikasi (Harry, 2003). Penggunaan media
internet juga mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam
pengembangan lingkungan belajar (open learning environment
(OLEs)) (Karahan & Roehrig, 2015).
Sekarang ini perkembangan internet sudah menjadi komunitas
online bagi manusia, mereka dapat berbagi pengalaman ataupun
informasi (Tu, 2012). Untuk mengembangkan lingkungan belajar yang
efektif, peneliti harus memahami aspek pedagogi dan organisasi sosial
dilapangan (Schlager & Fusco, 2003). Dalam pengembangan
lingkungan belajar, ada beberapa hal yang harus disiapkan, kultur
sekolah, kesepakatan pihak sekolah dengan masyarakat dan pihak yang
terkait serta kesiapan kepala sekolah, guru dan peserta didik (Kroop,
Mikroyannidis, & Wolpers, 2015).
Lingkungan belajar terbuka itu berbeda dengan direct
instruction (Reigeluth, 1999), untuk lebih memahami keduanya
tersebut, bisa dilihat dalam tabel dibawah ini.

No Direct Instruction Open Learning Environemnt


1 Menjelaskan isi pembelajaran Menjelaskan proses
secara hirarki kemudian pembelajaran sesuai dengan
bertahap dalam mengajarkan masalah, konteks dan konten
sesuai dengan tujuan yang pembelajaran agar bisa
dihasilkan secara external. memanipulasi, menafsirkan
dan mengeksperimenkan
materi pembelajarn.
2 Menyederhakan cara Menjadikan masalah sebagai
pengajaran untuk menguasai konsep pembelajaran agar bisa
konsep kemudian menghubungkan antara konsep
mengintruksikan pembelajar dan konten pembelajaran
untuk belajar ilmu dalam aktivitas sehari-hari,
pengetahuan dan skill. sehingga konsep “need to
know” pada pesrta didik bisa
dihasilkan secara alami.
3 Menyampaikan pengetahuan Pendekatan heuristik “whole”
pembelajaran melalui menempati exploritasi konsep
pendekatan belajar- yang lebih tinggi dalam
pembelajaran terstruktur. pemahaman yang fleksibel
serta mempunyai perspektif
ganda
4 Memediasi pembelajaran Mengembangkan pemahaman
melalui kegiatan dan praktik. peserta didik secara individu
pelajar agar bisa mengevaluasi
secara pribadi.
5 Mempebaiki kondisi internal Menghubungkan nilai kognisi
pembelajaran dengan siswa dan konteks
merekayasa kondisi external. pembelajaran.
6 Untuk mencapai penguasaan Menekankan pentingnya
maka guru harus merspon membuat kesalahan untuk
dengan kata “correct” untuk membangun model
menjadi motivasi dan pemahaman yang lebih tinggi.
mengurangi kesalahan
pembelajar
Tabel b.1 diambil dari (Reigeluth, 1999) yang diadopsi dari “student-
centered learning and interactive multimedia: status, issues dan
implication” (Hannafin et al., 1997).

Dalam perbandingannya, Open Learning Environment (OLEs)


menekankan pada cara peserta didik untuk memahami pelajaran,
menetapkan kebutuhan pembelajaran, menentukan goal, serta
menciptakan pembelajaran yang menyenangkan (Reigeluth, 1999). Hal
ini sesuai dengan tujuan dari Learner Centered Learning (LCL) bahwa
peserta didik harus bisa menafsirkan dan mencari materi yang relevan
supaya bisa memahamkan mereka dalam pembelajaran (Hannafin et
al., 1997). Sehingga dalam hal ini perserta didik bisa menjadi contoh
dalam pembelajaran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
skill mereka. Oleh karena itu, sangat kurang layak ketika strategi
Direct Instruction (DI) dijadikan sebagai priori untuk mempromosikan
pemahaman peserta didik.
Pengembangan OLEs itu membutuhkan sumber belajar serta
aktivitas yang bisa memperluas pemikiran pesarta didik (Reigeluth,
1999). Dalam artian, mereka dibentuk dalam hal yang sama, tetapi
memiliki tingkat kemampuan berbeda, materi kita sediakan tetapi tidak
membatasi mereka dalam pemahaman serta tidak memaksakan urutan
pembelajaran (Weiss, Nolan, Hunsinger, & Trifonas, 2006). Intinya,
model OLEs menanamkan kegiatan untuk menumbuhkembangkan
cara perfikir peserta didik (Tu, 2012). Hal tersebut bukan berasal dari
diskripsi fenomena abstak akan tetapi dari pribadi mereka dan
pengalaman praktik peserta didik. Pemahaman individu peserta didik
didukung melalui imersi masalah, metakognitif scaffolding serta guru
yang sesuai dengan materi yang mereka butuhkan (Weimer, 2002).
Model OLEs kurang cocok dengan pembelajaran konvergen,
karena mereka perlu mengembangkan pengetahuan mereka, skill serta
pemahaman mereka dalam pelajaran (Fasihuddin & Skinner, 2015).
Karena mereka didorong untuk malakukan pemahan sendiri, sehingga
tidaklah mungkin semua peserta didik mempunyai sumber informasi
yang sama apalagi mempunyai tingkat konsistensi pemahaman yang
sama. Selain itu, OLEs cenderung kurang begitu efektif untuk
memahahami sifat mereka dengan tepat (Hannafin et al., 1997).
Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahawa OLEs bisa
membantu perkembangan peserta didik dalam memecahkan masalah
serta meningkatkan kemampuan penalaran peserta didik (D. H
Jonassen, 1999, Jacobson & Spiro, 1995, David H Jonassen & Land,
2000). Pada dasarnya OLEs memberikan solusi peserta didik dalam
pencarian pembelajaran secara online yang sesuai dengan
permasalahan yang mereka hadapi (Clarebout & Elen, 2008). Sehingga
untuk menyelesaikan masalah tersebut, beberapa peneliti memberikan
solusi dengan pengembangan model OLEs dalam pembelajaran (Barab
& Duffy, 2000, Honebein, Duffy, & Fishman, 1993, Jacobson & Spiro,
1995, Fasihuddin & Skinner, 2015). Hal tersebut dilakukan karena
untuk meningkatkan nilai kognitif siswa (Anderson & Elloumi, 2004).
Ada perbedaan istilah dalam penyebutan OLE: Constructivist
Learning Environment (CLE) (D. H Jonassen, 1999), Authentic
Learning Environment (ALE) (Herrington, Oliver, & Reeves, 2003),
Open-ended Learning Enviranment (OLEs) (Hannafin et al., 1997).
Akan tetapi, dari keterangan diatas, penulis menyimpulkan bahwa
OLEs adalah pembelajaran secara online, dimana peserta didik, guru
dan pihak sekolah berpartisipasi dalam proses pembelajaran,
dimanapun berada dan kapanpun juga. OLEs juga memanifestasikan
sebagai teknik pembelajaran secara online, komunikasi antar guru dan
peserta didik dalam format online. Selain itu, struktur pengiriman
materi pembelajaran sangan dinamis sehingga dapat meningkatkan
proses pembelajaran.
2. Kerangka Kerja OLEs
Mengingat pentingnya pengembangan Open Learning
Environment (OLEs) dalam pembelajaran, karena bisa mempengaruhi
iklim pencapaian prestasi peserta didik dalam akademik maupun non-
akademik (Gallay & Suet, 2004) dan dapat meningkatkan motivasi
belajar peserta didik (Silalahi, 2008). Sehingga pengembangan OLEs
di sekolah sangatlah penting untuk mencapai target pembelajaran yang
efektif. Pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang mempunyai
target lulusan maksimal dengan minimum input (Hall, 2005).
Setelah memahami pengertian dari OLEs sendiri, selanjutnya
penulis akan mengilustrasikan penataan OLEs dalam kerangka kerja
pembelajaran online. Kerangka pembelajaran online ini adalah alat
komunikasi online seperti Email, Web page, Chat room, etc. Berikut
ini adalah gambaran kerangka kerja OLEs:
Gambar 2.1 Kerangka Kerja OLEs menurut (Dringus & Terrell, 1999)
Kerangka kerja tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
No Elemen Definisi
1 Dilevery Sebuah proses untuk memperkenalkan OLEs
(materi, manajerial, teknik pembelajaran yang
sudah di sediakan oleh guru dan pelaku
pendidikan tentang desain pengembangan
model OLEs.
2 Instruction Mengejawentahkan antara peserta didik dan
pelaku pendidikan tentang pemahaman alat
teknologi yang dipakai dalam belajar dan
pembelajaran.
3 Resources Pembelajar, pembelajaran, informasi,materi
dan teknik yang diterapkan dalam OLEs.
SDM, tenaga edukatif, tenaga administrasi dan
masyarakat sekolah. Referensi materi baik dari
dalam ataupun luar dan juga aktifitas yang
siswa dalam mengakses pembelajaran,
mempresentasikan dan menampilkannya.
Teknologi pembelajaran, komputer, internet
dan alat yang bisa mendukung dalam
komunikasi peserta didik dan guru secara
online untuk melakukan aktifitas OLEs.
4 Evaluation Sebuah proses interaktif untuk mengevaluasi
ke-efektifan dan memvalidasi kegiatan OLEs.
Evaluasi seharusnya diambil dari
pengembangan konseptual OLEs
menggunakan ukuran dari capaian lulusan
sebuah pembelajaran online. Penilaian
dilakaukan secara terus menerus dalam proses
pembelajaran, isi pembelajaran dan kesatuan
dari kegiatan OLEs. Penilaian tersebut adalah
kombinasi antara sumatif dan formatif
evaluasi pada setiap komponen dan ke-
efektifan setiap unit.
5 Culture Identifying the new roles that learners and
faculty take on in OLEs, as well as an
understanding ofa shift toward a learner-
centered paradigm.A ``culture'' emerges in
OLEs that supports the notion that learners
and faculty are resources for each other, and
that learners interface with the world of
information at large
6 Teknologi Tekonologi yang kuat dalam menjalankan
mekanisme aktifitas OLEs dan alat yang
dihubungkan oleh komputer.
7 Education Perwujudan dari proses belajar dan
pembelajaran yang membantu peserta didik
dan guru dalam pelaksanaan pembelajaran
berbasis siswa.
8 Desaign Desaim metode pembelajaran dan metode
penyampaian materi pembelajarn secara
onlain, konseptual desain dan cara
pembelajaran dilaksaknakan, logistik
penyampain untuk guru dan staff, menejemen
penyampaian OLEs dan mekanisme
komunikasi yang bisa untuk menyokong
aktifitas OLEs.
Tabel 2.1 elemen dan definisi dari kerangka kerja OLEs yang diambil
dari (Dringus & Terrell, 1999)
Kerangka kerja untuk OLEs ditunjuklam pada gambar 2.1.
kerangka kerja tersebut dimakasudkan untuk mengidentifikasi
beberapa elemen ketika paradigma pembelajaran berpusat pada OLEs.
Pada lapiran luar. Elemen OLEs disajikan dalam bentuk yang berbeda
untuk menghubungkan interaksi antara elemen satu dengan yang
lainnya. Kemudian garis penghubung dari setiap elemen itu
menunjukan integrasi total dari beberapa elemen untuk mewakili
pengembangan OLEs.
Delapan elemen dari kerangka kerja OLEs diatas secara
singkat dikenalkan oleh Dringus dan Terrel tersebut berfokus pada isu-
isu yang memungkinkan interaksi antara unit sekolah, peserta didik
dan penyedia informasi eksternal. Kemudian, unsur dari sumberdaya
manusia membahas tentang dukungan informasi, eknis, administratif,
unit sekolah dan pembelajar yang menggunakan OLEs. Evaluasi
berfokus pada cara guru malakukan evaluasi kegiatan pembelajar, hasil
pembelajaran melalui OLEs dan memvalidasi OLEs sendiri. Budaya
berhubungan dengan struktur sosial kelas dan budaya yang muncul
dari lingkungan dan aktivitas OLEs. Pusat teknologi menyediakan isu-
isu komunikasi yang berkualitas dan alat instruksional untuk
mendukung mode pembelajaran sinkron dan asinkron dalam OLEs.
Pendidikan melibatkan berbagai masalah pedagogis yang berkaitan
dengan pendukung pembelajaran dan proses pembelajaran dalam
OLEs. Desain berkonsentrasi pada isu-isu yang terlibat dalam
merancang OLEs untuk menggunakannya secara berkelanjutan.
Kerangka kerja OLEs mencakup isu-isu penting yang masuk
dalam proses konseptual, perencanaan, desain, implementasi dan
evaluasi OLEs dengan mempertimbangkan budaya, alat komunikasi,
interaksi, kegiatan pembelajaran, intruksional pelajaran, kompone
teknologi, pedagogi dan sumber daya manusia yang harus dieksplorasi
untuk memberikan instruksi secara online. Secara keseluruhan,
elemen-elemen untuk membentuk OLEs secara komprehensif untuk
mencapai hasil yang efektif.
Untuk mencapai hasil efektif maka prpses pembelajaran dan
lingkungan belajar yan kondusif harus disiapkan oleh pihak sekolah.
Pendidikan yang efektif itu lebih mengutamakan proses pemebelajaran
untuk mencapai hasil maksimal (Hall, 2005, Hing & Sit, 2013). Untuk
menjadikan pendidikan efektif, menurut (Anderson & Elloumi, 2004)
beberapa element dibawah ini harus dilakukan oleh pihak sekolah guna
mengimplementasikan OLEs:
a. Seorang siswa juga harus aktif dalam proses belajar dan
pembelajaran. Ketika siswa aktif dalam pembelajaran dengan
menggunakan fasilitas yang memadai dan mengembangkan kreasi
mereka, maka mereka melakukan aktifitas pembelajaran yang
bermakna dan dapat mencapai hasil yang mereka inginkan
(Anderson & Elloumi, 2004, Spoelstra, Rosmalen, & Sloep,
2014) dan (Van Joolingen, De Jong, Lazonder, Savelsbergh, &
Manlove, 2005). Disini, seorang guru meminta siswa untuk
mempraktikkan sistem informasi yang ada sesuai dengan situasi
dalam aktif learning (Bartolomé, 2017).
b. Siswa harus bisa mngkonstruksi pengetahuannya yang mereka
dapatkan dari guru (Anderson & Elloumi, 2004). Karena, dalam
penerapan model OLEs, seorang siswa mendapatkan pengalaman
informasi dari dari tangan pertama (internet, lingkungan, budaya
dll) kemudian dikonstruksi oleh peserta didik dan mereka
mengontrol pembelajarannya sendiri (Bruff, 2009) .
c. Pembelajaran kollaboratif dan kooperatif dijadikan pendorong
peserta didik untuk memfalitasi mereka pembelajaran
konstruktifis (Hannafin et al., 1999, Pennington, Calico, Edgar,
Edgar, & Johnson, 2015). Ketika peserta didik dapat bekerja sama
dengan pembelajar yang lain maka bisa memberikan mereka
pengalaman yang nyata, meningkatkan metakognitif skill mereka
(Anderson & Elloumi, 2004).
d. Pembelajar diberikan waktu dan kesempatan untuk
menggambarkan serta menginternalisasi materi pelajaran
(Anderson & Elloumi, 2004).
e. Pembelajaran harus dijadikan pembelajaran bermakna bagi
peserta didik (Spoelstra et al., 2014). Sehingga, materi
pembelajaran harus disertakan contoh-contoh yang berkenaan
dengan kebutuhan siswa.
f. Pembelajaranya harus interaktif, guna mempersiapkan mereka ke-
level yang lebih tinggi lagi (Anderson & Elloumi, 2004).
3. Keuntungan penggunaan model OLEs
Di era yang serba teknologi ini, banyak dari sekolahan di
Indonesia berpindah haluan dari pembelajaran tradisional/penerapan
lingkungan belajar secara trasisional ke pembelajaran online/OLEs
(Ivanovic & Jain, n.d.). Dari perpindahan tersebut, banyak keuntungan
yang mereka dapatkan baik untuk peserta didik ataupun untuk guru
mereka (Simmons, 2002).
Keuntungan yang diperoleh siswa dalam melakukan OLEs
antara lain; peserta didik mendapatkan kejelasan waktu dan tempat
pembelajaran, memudahkan siswa untuk mendapatkan materi, pesrta
didik dapat melakukan komunikasi dengan guru melalui media sosial,
peserta didik dapat mengakses internet untuk mendapatkan meteri
yang relevan dan peserta didik dapat mengumkan tugas pembelajaran
secara online.
Kemudian, keuntungan OLEs yang didapatkan oleh guru
antara lain adalah; guru dapat melakukan pembelajaran secara online
dimanapun dan kapanpun mereka berada, seorang guru bisa
memperbaruhi materi pembelajaran sesuai dengan perkembangannya,
guru juga dapat berkomunikasi terhadap peserta didik secara online
ketika ada materi terbaru. Selain hal tersebut, pembelajaran dengan
model OLEs, seorang guru dapat menentukan kebutuhan peserta didik
sesuai dengan level serta ekspektasi mereka. Guru juga dapat
menerima tugas pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik
secara online.
4. Model pembelajaran OLEs berbasis online
Dalam teori pengembangan teori pembelajaran itu seringkali
hasil dari kontruksi model variabel pembelajaran dan hubungan antara
variabel tersebut (Anderson & Elloumi, 2004). Model tersebut
diilustrasikan sebagai 2 (dua) aktor terbesar yaitu; pesrta didik dan
guru, dan interaksi antara keduanya mengenai isi pembelajarn (Falk et
al., n.d.). dibawah ini penulis mengilustrasikan 2 (dua) model
pembelajaran berbasis online.
Gamba 4.1 Model Pembelajaran Online
Model pembelajaran yang sudah diilustrasikan tersebut,
seorang pelajar tentunya bisa menemukan isi materi pembelajran yang
mereka temukan dalam berbagai format, terutama mereka mudah
materi tersebut ari Web. Akan tetapi, banyak dari guru ataupun peneliti
memberikan pengertian bahwa pelajaran harus diurutkan, diarahkan
dan dievaluasi dengan bantuan seorang guru (Anderson & Elloumi,
2004). Interaksi antar guru dan peserta didik dapat menggunakan
dengan berbagai aktifitas baik sinkron maupun asinkron yang berbasis
internet (Van Joolingen et al., 2005).
Pembelajaran yang berbasis online sangat kaya akan materi
pelajaran, sehingga peserta didik harus menguasai keterampilan sosial,
pembelajaran kolaboratif, dan kemudian mengembangkan lingkungan
pribadi peserta didik (Rogo & Portillo, 2015). Namun, komunitas
OLEs mengikat para pembelajar untuk bisa melakukan pembelajaran
tepat waktu karena setidaknya mereka melakukan pembelajaran secara
berkelompok. Model pembelajaran yang selanjutnya (sebelah kanan)
menggambarkan bahwa alat pembelajaran harus terstruktur dan terkait
dengan pembelajaran mandiri. Pembelajaran yang digunakan dalam
mode ini berbentuk tutorial, ada materi, latihan dan simulasi. Dalam
simulasi pembelajaran, siswa bisa menggunakan Laboratorium Virtual,
dimana siswa dapat menyelesaikan simulasi pembelajaran di
laboratorium (Capacho, 2017). Menggunakan model pembelajaran
secara online, mengharuskan para guru untuk mendesain beberapa
keputusan penting dalam belajar dan pembelajaran (Prensky, 2000).
5. Model pembelajaran berbasis MOOCs (Massive Open Online
Course)
MOOCs (massive Open Online Course) adalah model
pembelajaran secara online yang dapat diakses melalui Web (Luaran,
2013). MOOCs juga sebagai model pembelajaran untuk
menyampaikan isi pelajaran secara online kepada orang yang ingin
mengambil kursus secara singkat dengan atanpa adanya batasan waktu
(Educause, 2014). Model pembelajaran MOOCs adalah gabungan dari
materi tradisional dan modern seperti video, bacaan, tugas dan evaluasi
(Luaran, 2013). Berikut ini adalah beberapa website yang
menyediakan pembelajaran berbasis MOOCs:

No MOOCs Provider Website


1 Coursera https://www.coursera.org/
2 Iversity https://iversity.org/
3 edX https://www.edx.org/
4 ALISON http://alison.com/
5 Canvas Network http://www.instructure.com/
6 Open Learning https://www.openlearning.com/
7 Academic Earth http://academicearth.org/
8 Future learn https://www.futurelearn.com/
9 Peer to peer university https://p2pu.org/en/
10 Saylor.org http://www.saylor.org/
11 Udemy https://www.udemy.com/
12 UINSA Schoology http://www.app.Schoology.com
13 UI Open Courseware http://www.ocw.ui.ac.id
Tabel 5.1 website MOOCs

6. Model pembelajaran berbasis ERGONOMI


Ergonomi adalah model pembelajaran untuk mengupayakan
keaktifan pembelajar melalui pengembangan lingkungan belajar
(Praherdhiono, Degeng, Setyosari, & Sulton, 2016). Esensi daripada
pembelajaran ergonomi tidak hanya terletak pada manusia dengan
pekerjaan saja (Salvendy, 2012), akan tetapi ini adalah model untuk
memaksimalkan dan mengupayakan pembelajaran agar terbentuk
lingkungan belajar (Praherdhiono et al., 2016). (Santrock, 2004)
menjelaskan bahwa ergonomi membangun hubungan antara
pembelajar dengan lingkungan belajar yang positif untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran.
Pembelajaran model ergonomi adalah kombinasi antara
simulasi, video, grafik komputer, dan materi print-out (Hannafin et al.,
1997). Dalam ergonomi, peserta didik belajar tentang konsep fisik
melalui desain virtual (Reigeluth, 1999). Sehingga peserta didik diberi
kesempatan untuk memilih materi dan evaluasi pembelajaran sesuai
dengan konsep dan permintaan dari guru pelajaran.
7. Kesimpilan
Pada bagian ini pemakalah memberika keterangan tentang
model, konsep, pengembangan dan beberpa model pembelajaran
berbasis OLEs. OLEs adalah model pembelajaran yang berbasis online
dimasa peserta didik diberi kesempatan untuk memilih materi
pelajaran sesuai dengan karakteristik mereka. OLEs merupakan
pengembangan model pembelajarn yang awalnya terpacu pada Teacher
Centered Learning (TCL) ke Learner Centered Learning (LCL).
Dikarenakan model pembelajaranya berpusat pada siswa maka model
pembelajaran ini hasil dari turunan teori pembelajaran kontruktivistik.

Daftar Pustaka

Anderson, T., & Elloumi, F. (2004). Theory and Practice of Online Learning.
Athabasca University. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16802307

Atici, B., & Polat, O. . (2010). Influence of the online learning environments and
tools on the student achievement and opinions. Educational Research and
Reviews, 5(8), 455–464.

Aziz, I. N. (2017). Curriculum Development of KKNI at English Education


Department of INKAFA Gresik. Jalie, 2, 3. Retrieved from Jalie.com

Barab, S. L., & Duffy, T. M. (2000). From practice fields to communities of


practice. In Jonassen D. H. & S. M. Land (Eds.), Theoretical foundations of
learning environments (pp. 1–23). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.

Bartolomé, A. (2017). Personal Learning Environments: A study among Higher


Education students’ designs. International Journal of Education and
Development Using Information and Communication Technology, 13(2), 21–
41. https://doi.org/http://ijedict.dec.uwi.edu/include/getdoc.php?
id=7264&article=2305&mode=pdf

Berns, R., & Erickson, P. (2001). Contextual teaching and learning: Preparing
students for the new economy. The Highlight Zone Research, (5), 1–8.

Bruff, D. (2009). Teaching with Classroom Response Systems (Crating Active


Learning Environment). San Francisco: JOSSEY-BASS A Wiley Imprint.
Retrieved from www.josseybass.com

Capacho, J. (2017). ASSESSMENT OF STUDENT LEARNING IN VIRTUAL


SPACES ,. Turkish Online Journal of Distance Education, 18(April), 179–
201.

Chandra, F. H., & Nugroho, Y. W. (2016). Implementasi Student Centered


Learning Dengan Memanfaatkan Media Pembelajaran Digital Dalam
Pembelajaran Dengan Menggunakan Metode “Flipped Classroom.” Media
Prestasi, XVIII(2), 40–50.

Clarebout, G., & Elen, Æ. J. (2008). Tool use in open learning environments : In
search of learner-related determinants. Learning Environ Res, 163–178.
https://doi.org/10.1007/s10984-008-9039-2

Degeng, N. S. (2013). Ilmu Pembelajaran: Klasifikasi Variabel untuk


Pengembangan Teori dan Penelitian. Malang: Aras Media.

Dringus, L. P., & Terrell, S. (1999). The Framework for DIRECTED Online
Learning Environments. The Internet and Higher Education, 2(1), 55–67.

Educause. (2014). Massive Open Online Course. Retrieved October 22, 2018,
from http://www.educause.edu/library/massive-open-online-course-mooc

Erdogan, N. (2016). Sociocultural Perspective of Science in Online Learning


Environments. International Journal of Education in Mathematics, Science
and Technology, 4(3). https://doi.org/10.18404/ijemst.20679

Falk, J. H., Heimlich, J. E., & Foutz, S. (n.d.). Free-Choice Learning and the
Environment. United Kingdom: AltaMira Press.

Fasihuddin, H., & Skinner, G. (2015). Towards adaptive open learning


environments : Evaluating the precision of identifying learning styles by
tracking learners ’ behaviours. Educ Inf Tecchnol.
https://doi.org/10.1007/s10639-015-9458-5

Gallay, L., & Suet, L. P. (2004). School Climate and Students’ Interventation
Stategies. Retrieved October 16, 2018, from
http://schoolclimateandenvironment.wordpress.com

Gillespie, H., Boulton, H., Hramiak, A. J., & Williamson, R. (2007). Learning
and Teaching with Virtual Learning Environment. British: Learning Matter.

Hall, G. (2005). Literature in Language Education. New York: Palgrave


Macmillan Press.

Hannafin, M., Land, S., & Oliver, K. (1997). Open Learning Environments :
Foundations , methods , and models. (C. M. Reigeluth, Ed.), Instructional-
Design Theories And Models (II). London: Lawrence Erlbaum Associates,
Publishers Mahma, New Jersey.

Harjali. (2015). Strategi Guru dalam Menata Lingkungan Belajar yang Kondusif.

Harjali, Degeng, S. N. I., Setyosari, P., & Dwiyogo, W. D. (2015). Strategi Guru
dalam Membangun Lingkungan Belajar yang Kondusif : Studi Fenomenologi
pada Kelas-kelas Sekolah Menengah Pertama di Ponorogo. Jurnal
Pendidikan, 23(April), 10–19.

Harry, K. (2003). Higher Education Through Open and Distance Learning.


London: Rouledge Taylor & Francis Group.

Herrington, J., Oliver, R., & Reeves, T. C. (2003). Patterns of engagement in


authentic online learning environments. Australian Journal of Educational
Technology, 19(1), 59–71.

Hing, H., & Sit, W. (2013). An Investigation of How Lecturers’ Teaching


Strategies Promote Productive Classroom Interaction. US-China Education
Review, 3(3), 162–171.

Honebein, P. C., Duffy, T. M., & Fishman, B. J. (1993). Constructivism and the
design of learning environments: Context and authentic activities for
learning. In T. M. Duffy, J. Lowyck, & D. H. Jonassen (Eds.), Designing
environments for constructivist learning (pp. 87–108). Berlin, Jerman:
Spinger Verlag.

Isaacs, G. (1996). Bloom’s taxonomy of educational objectives. In Dr Robert


Kleinsasser (Ed.), University of Queensland, Teaching and Educational
Development Institute (p. 5). Australia: the University of Queensland.
Retrieved from https://kaneb.nd.edu/assets/137952/bloom.pdf

Ivanovic, M., & Jain, L. C. (n.d.). E-Learning Paradigms and Applications


(Agent-based Approach).

Jacobson, M. J., & Spiro, R. J. (1995). Hypertext learning environments, cognitive


flexibility and the transfer of complex knowledge. Journal of Educational
Computing Research, 12, 301–333.

Jonassen, D. H. (1999). Desaining Constructivist Learning Environment. In C. M.


Reigeluth (Ed.), Instructional design theories and models: A new paradigm
of instructional theory (Vol. 2, pp. 215–239). Mahwah, NJ: Lawrence
Erlbaum.

Jonassen, David H, & Land, S. M. (2000). Theoretical Foundation of Learning


Environment. London: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers Mahma,
New Jersey.

Joyse, Bruce and Weil, M. (2003). MODELS OF TEACHING (Fifth). New Delhi:
Prentice Hall of INDIA Private Limited.

Karahan, E., & Roehrig, G. (2015). Constructing Media Artifacts in a Social


Constructivist Environment to Enhance Students ’ Environmental Awareness
and Activism. J Sci Educ Technol, 24, 103–118.
https://doi.org/10.1007/s10956-014-9525-5

Krajcso, Z., & Frimmel, U. (2017). Retrieving Online Language Learning


Resources: Classification and Quality. Universal Journal of Educational
Research, 5(1), 11–22. https://doi.org/10.13189/ujer.2017.050102

Kroop, S., Mikroyannidis, A., & Wolpers, M. (2015). Responsive Open Learning
Environments. United Kingdom: Springer Cham Heidelberg New York
Dordrecht London. https://doi.org/DOI 10.1007/978-3-319-02399-1

Lasry, N., Charles, E., & Whittaker, C. (2014). When teacher-centered instructors
are assigned to student-centered classrooms. Physycs Education Research,
010116, 1–9. https://doi.org/10.1103/PhysRevSTPER.10.010116

Luaran, J. E. (2013). Full_MOOC. i-Learn Center Universiti Teknologi MARA.

Ozgul, F., Kangalgi, M., Diker, G., & Yamen, E. (2018). Evaluation of the
Constructivist Learning Environments of Physical Education Teacher
Candidates. European Journal of Educational Research, 7(3), 19–22.
https://doi.org/10.12973/eu-jer.7.3.653

Pennington, K., Calico, C., Edgar, L. D., Edgar, D. W., & Johnson, D. M. (2015).
Knowledge and Perceptions of Visual Communications Curriculum in
Arkansas Secondary Agricultural Classrooms: A Closer Look at Experiential
Learning Integrations. Journal of Agricultural Education, 56(2), 27–42.
https://doi.org/10.5032/jae.2015.02027

Pieters, M. J., Breuer K, & Simons J. R. P. (1990). Learning Environments


(Contributions from Dutch and German Research). Netherlands: Springer
Netherlands. https://doi.org/10.1007/978-3-642-84256-6

Praherdhiono, H., Degeng, I. N. S., Setyosari, P., & Sulton. (2016). Instrumen
Kenyamanan Lingkungan Belajar Berbasis Ergonomi. Jurnal Pendidikan,
23(April), 38–45.

Prensky, M. (2000). Digital game-based learning. New York: New York:


McGraw-Hill.

Reigeluth, C. M. (1999). Instructional Model Theories and Model. (C. M.


Regeluth, Ed.) (II). London: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers
Mahma, New Jersey.
Rogo, E. J., & Portillo, K. M. (2015). I nnovations in E ducation and T echnology
E-Model for Online Learning Communities. The Journal of Dental Hygiene,
89(5).

Salvendy, G. (2012). Handbook of Human Factors and Ergonomics. New Jersey:


John Wiley & Sons.

Santrock, J. . (2004). Educational Psychology. (E. R. Slavin, Ed.) (Twelfth). New


York: McGraw Hill.; Pearson.

Schlager, M. S., & Fusco, J. (2003). Practice, then, both shapes and supports
learning. We wouldn’t need to labor this point so heavily were it not that
unenlightened teaching and training often pulls in the opposite direction.
Designing for Virtual Communities in the Service of Learning. Cambridge
University Press., 203–220.

Silalahi, J. (2008). Pengaruh Iklim Kelas terhadap Motivasi Belajar. Journal


Pembelajaran Universitas Negeri Padang, 30(02), 20–26.

Simmons, D. E. (2002). The forum report: E-learning adoption rates and


barriers. In A. Rossett (Ed.), The ASTD e-learning handbook. New York:
New York: McGraw-Hil.

Spoelstra, H., Rosmalen, P. Van, & Sloep, P. (2014). Toward Project-based


Learning and Team Formation in Open Learning Environments. Journal of
Universal Computer Science, 20(1), 57–76.

Suman, S., Amini, A., Elson, B., & Reynolds, P. (2010). Design and Development
of Virtual Learning Environment Using Open Source Virtual World
Technology. IFIP International Federation for Information Processing, 379–
388.

Tu, C. H. (2012). the Integration of Personal Learning Environments & Open


Network Learning Environments. TrechTrends, 56(3), 13–19.

Van Joolingen, W. R., De Jong, T., Lazonder, A. W., Savelsbergh, E. R., &
Manlove, S. (2005). Co-Lab: Research and development of an online
learning environment for collaborative scientific discovery learning.
Computers in Human Behavior, 21(4), 671–688.
https://doi.org/10.1016/j.chb.2004.10.039

Weimer, M. (2002). Learner Centered Teaching: Five Key Changes to Practice.


San Francisco: JOSSEY-BASS A Wiley Imprint.

Weiss, J., Nolan, J., Hunsinger, J., & Trifonas, P. (2006). International Handbook
of Virtual Learning Environment (1st ed.). Netherlands: Springer Cham
Heidelberg New York Dordrecht London.

Anda mungkin juga menyukai