Anda di halaman 1dari 27

Oral Hairy Leukoplakia

Makalah Kasus Minor Non Ulser

Disusun oleh:
Intan Melani 1601121070058
Putri Ratnasari 160112170071

Pembimbing:
drg. Theodora Adhisty Dwiarie

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNPAD
BANDUNG
2020

1
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS.....................................................................................2
2.1 Status IPM............................................................................................2
2.2.1 Identitas Pasien..........................................................................2
2.2.2 Anamnesa..................................................................................2
2.2.3 Riwayat Penyakit Sistemik........................................................3
2.2.4 Pemeriksaan Klinis Fisik...........................................................3
2.2.1 Pemeriksaan Ekstra Oral...........................................................3
2.2.2 Pemeriksaan Intra Oral..............................................................3
2.2.3 Pemeriksaan Penunjang.............................................................3
2.2.1 Diagnosis dan Diagnosis Banding.............................................3
2.2.2 Rencana Perawatan dan Perawatan...........................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
3.1 Lidah....................................................................................................4
3.2 Oral Hairy Leukoplakia.......................................................................7
3.2.1 Definisi......................................................................................7
3.2.2 Etiologi dan patofisiologi..........................................................9
3.2.3 Gambaran Klinis........................................................................9
3.2.4 Diagnosis.................................................................................10
3.2.5 Diagnosis Banding...................................................................16
3.2.6 Pengobatan...............................................................................18
3.2.7 Prognosis…………………………………………………….19
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................20
BAB IV KESIMPULAN..........................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................ii

i
BAB I

PENDAHULUAN

Lidah merupakan organ muskular yang terletak di dasar mulut, yang dilapisi oleh membran

mukus. Lidah berfungsi dalam pengunyahan, penelanan, vokalisasi, dan pengecap. Lidah

berhubungan dengan berbagai macam penyakit sehingga dapat menunjukkan tanda dan gejala

penyakit sistemik dan menjadi indikator diagnostik, sehingga lidah disebut sebagai “cerminan

tubuh”. Tidak seperti bagian lain pada kavitas oral, pasien dapat melihat perubahan lidah dengan

mudah dan dapat salah mengartikan tampilan lidah yang mereka miliki.

Lesi lidah merupakan salah satu lesi mukosa oral yang paling sering ditemukan, dan

prevalensinya berbeda-beda pada setiap bagian dunia. Salah satu lesi lidah adalah oral hairy

leukoplakia, yaitu kondisi klinis lesi putih yang terjadi pada bagian lateral lidah dan tidak dapat

terangkat ketika di swab. Kondisi ini dikaitkan dengan pasien yang menderita gangguan sistem

imun.

Laporan kasus ini akan membahas mengenai kasus pasien seorang laki-laki usia 30 tahun

yang datang ke Instalasi Penyakit Mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Padjadjaran dengan keluhan gigi terasa kotor dan ingin di skeling. Setelah di skeling

terdapat lesi putih di lateral lidah tidak terasa sakit. Pasien tidka mengetahui adanya lesi. Tidak

ada faktor memperberat dan memperingan lesi. Oral hygiene baik, kebiasaan sikat gigi dan alat

bantu seperti tongue scraper dilakukan. Pasien tidak menggunakan obat kumur. Tidka ada

konsumsi obat. Pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak 2-3 kg. Pasien ingin lesi

tersebut diobati.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Status Pasien IPM


2.1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. XX
Usia : 30 tahun

2.1.2 Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan gigi terasa kotor dan ingin di skeling. Setelah di skeling
terdapat lesi putih di lateral lidah tidak terasa sakit. Pasien tidka mengetahui adanya lesi. Tidak
ada faktor memperberat dan memperingan lesi. Oral hygiene baik, kebiasaan sikat gigi dan alat
bantu seperti tongue scraper dilakukan. Pasien tidak menggunakan obat kumur. Tidak ada
konsumsi obat. Pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak 2-3 kg. Pasien ingin lesi
tersebut diobati.

2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik


Penyakit jantung : YA/TIDAK
Hipertensi : YA/TIDAK
Diabetes mellitus : YA/TIDAK
Asma/alergi : YA/TIDAK
Penyakit hepar : YA/TIDAK
Kelainan GIT : YA/TIDAK
Penyakit ginjal : YA/TIDAK
Kelainan darah : YA/TIDAK
Hamil : YA/TIDAK
Kontrasepsi : YA/TIDAK
Lain-lain : YA/TIDAK
3

2.1.4 Pemeriksaan Klinis Fisik

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Composmentis

2.1.5 Pemeriksaan Ekstra Oral

-
2.1.6 Pemeriksaan Intra Oral

Lidah : Terdapat lesi putih berukuran 3 cm di lateral lidah, dasar irreguler, batas tidak jelas, plak
tidak terangkat saat di scrape.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

• Histopatologi
• Hibridisasi in situ
• Tes diagnostik HIV

2.1.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding

d/ Oral hairy leukoplakia


dd/ Oral lichen planus
Kandidiasis hiperplastik
Geographic tongue
Leukoplakia idiopatik,
White sponge nevus
Leukoplakia verrucous

2.1.9 Rencana Perawatan

Pemberian HAART, Asiklovir Dosis 800 mg 5 kali sehari min. selama 1 minggu

3
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Lidah

Lidah merupakan organ muskular yang terletak di dasar mulut, yang dilapisi oleh membran

mukus. Lidah berfungsi dalam pengunyahan, penelanan, vokalisasi, dan pengecap. Secara

anatomis, lidah dapat dibagi menjadi empat permukaan, yaitu akar, ujung, dorsal dan ventral.

Sulkus terminalis yang berbentuk V pada permukaan dorsal memisahkan bagian oral dan

faringeal lidah. Permukaan lidah terdiri dari tonjolan-tonjolan kecil yang disebut sebagai papila

lidah, yang dibagi menjadi empat macam, yaitu papila filiformis, fungiformis, sirkumvalata, dan

foliata.

1) Papila filiformis

Papilla filiformis merupakan tipe papila terbanyak yang ada pada permukaan lidah. Papila ini

mengisi seluruh permukaan dorsal lidah. Papilla filliformis terdiri dari stratified squamous

keratinized epithelium, dan tidak memiliki pengecap atau taste bud. Adanya papilla filiformis

meningkatkan friksi antara lidah dan makanan (Avery, J.K., 1994).

2) Papila foliata

Papila foliata berbentuk seperti daun, dengan 8-12 celah, dan terletak pada batas posterior

lateral lidah. Pengecap pada papila ini mirip dengan sirkumvalata, dimana terdapat dinding pada

celah, dan pengecap dengan jumlah 1280 per celah atau 2560 per papila. Papila ini paling sensitif

dnegan rasa asam, asin dan pahit. Seperti parit pada papila sirkumvalata, parit pada papila foliata

memiliki saluran dari kelenjar serosa (Avery, J.K., 1994).

3) Papila sirkumvalata
5

Papila sirkumvalata merupakan papila terbesar dan yang paling jarang terlihat. Papila

sirkumvalata dinamakan sesuai dengan bentuknya, yaitu bulat dan dikelilingi oleh dinding parit

(trench and wall atau vallum); sehingga dinamakan sirkumvalata. Pada manusia, 1 baris yang

berisi 8-12 papila sirkumvalata, dengan masing-masing berukuran diameter 2-4mm, berada pada

perbatasan badan lidah (2/3 anterior) dan dasar (1/3 posterior) lidah. Sekitar 250 pengecap ada

pada setiap papilla ini, sehingga terdapat sekitar 2500 pengecap pada daerah ini. Tidak ada

pengecap pada aspek dorsal papila, hanya pada dinding papila yang menghadap parit. Di bawah

papila ini terdapat kelenjar serosa (von ebner), yang memproduksi cairan serosa. Cairan ini

berguna untuk membasahi parit sekitar papila sehingga rasa lebih dapat ditangkap pengecap.

Papila ini dapat mengecap rasa asin, pahit, dan manis (Avery, J.K., 1994).

4) Papila Fungiformis

Papila fungiformis merupakan papila yang berbentuk seperti jamur dengan ukuran diameter

0.5-1 mm. Papila ini sedikit menonjol diatas permukaan lidah. Karena papilla ini menonjol

sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan papila filiformis di sekitarnya, zat-zat yang meiliki rasa

memiliki akses lebih mudah ke pengecap. Pengecap pada papila fungiformis terlihat berbeda

dibandingkan dengan papila sirkumvalata dan foliata. Ketiga tipe sel yang ada pada papila lain

tidak terlihat jelas di papila fungiformis. Papila fungiformis terletak pada ujung dan sisi-sisi

lidah. Papila fungiformis dapat mengecap rasa manis, asin dan asam (Avery, J.K., 1994).

5
6

Gambar 3.1 Anatomi Lidah (Scheid, R. C., and Weiss, G., 2012)

Gambar 3.2 Permukaan dorsal lidah; mencakup papila sirkumvalata, papila filiformis dan papila
fungiformis. Permukaan lateral lidah (Scheid, R. C., and Weiss, G., 2012).

Lidah terlibat dengan berbagai macam penyakit, seperti lesi vaskular dan limfatik
(infantile hemangiomas dan oral varices), proses reaktif dan inflamasi (hairy tongue, pigmented
fungiform papillae pada lidah, benign migratory glossitis, dan fissured tongue), infeksi (oral
hairy leukoplakia, herpes simplex dan varicella zoster virus infection, human papillomavirus,
dan candidiasis), lesi premalignant (leukoplakia dan erythroplakia), lesi malignant (squamous
cell carcinoma, kapopsi sarcoma, dan penyakit limfatik proliferatif) dan tanda-tanda kondisi
sistemuk seperti defisiensi nutrisi dan amyloidosis sistemik. Lidah dapat menunjukkan tanda dan
gejala penyakit sistemik dan juga menjadi indikator diagnostik sehingga lidah disebut sebagai
“cerminan tubuh”. Contohnya, pada penyakit HIV, lidah berhubungan dengan tanda dan gejala
sepesifik dari HIV seperti adanya lapisan putih dengan tampilan bergelombang atau seperti
berambut pada batas lateral lidah, yang menggambarkan hairy leukoplakia, yang kemudian dapat

6
7

membantu diagnosis awal dari infeksi. Tidak seperti bagian lain pada kavitas oral, pasien dapat
melihat perubahan lidah dengan mudah dan dapat salah mengartikan tampilan lidah yang mereka
miliki.

3.2 Oral Hairy Leukoplakia

3.2.1 Definisi

Oral hairy leukoplakia (OHL) merupakan salah satu penyakit yang muncul dari infeksi
HIV. Manifestasi OHL dapat terlihat unilateral, bilateral atau menempel pada lateral lingual
sampai dorsal atau ventral lidah dengan warna putih atau abu-abu. Permukaan daerah OHL
terlihat irregular dan seperti lipatan yang menonjol, tetapi lebih sering terlihat sebagai tonjolan
yang bergelombang. Terkadang lesinya dapat terlihat rata pada permukaan ventral lidah. Lesi
yang belum berkembang terdeteksi sebagai daerah keputihan pada batas posterolateral lingual
lidah. OHL juga dapat terjadi pada mukosa bukal, dasar mulut, palatum lunak, dan mukosa
orofaringeal (Triantos, et al., 1997). Walaupun biasanya OHL asimtomatik, tetapi lesi ini juga
dapat menyebabkan rasa sakit atau sensasi terpakar dan tampilan klinisnya juga menjadi keluhan
(Triantos, et al., 1997).
Oral hairy leukoplakia (OHL) adalah lesi mukosa mulut terkait HIV kedua yang paling
umum. Oral hairy leukoplakia telah digunakan sebagai penanda aktivitas penyakit karena lesi
dikaitkan dengan jumlah CD4+ T-Limfosit yang rendah. Lesi ini bukan patognomonik untuk
penyakit HIV karena keadaan defisiensi imun lainnya, seperti yang disebabkan oleh obat
imunosupresif dan kemoterapi kanker. Individu dengan kekebalan tubuh normal jarang terjangkit
OHL (Burket, 2015).

Oral hairy leukoplakia hampir selalu terjadi dalam konteks imunosupresi, dokter

memiliki kewajiban setelah mendeteksi lesi mirip OHL untuk mengevaluasi status imun pasien

lebih lanjut. Umumnya temuan laboratorium diinterpretasikan sehubungan dengan tanda-tanda

lain dari disfungsi imun, riwayat sosial dan medis pasien harus memberikan petunjuk untuk

diagnosis dan penyebab imunosupresi. Diagnosis sementara OHL biasanya didasarkan pada

gambaran klinis saja (Triantos et al., 1998; Greenberg and Glick, 2003).

7
8

Pemeriksaan histologis hanya diindikasikan jika gambaran klinis tidak jelas. Pada

pemeriksaan histopatologi, dilakukan biopsi insisi lesi yang mengarah pada OHL. Spesimen

kemudian segera ditempatkan pada 10% formaldehid bufer netral untuk kemudian dilakukan

pewarnaan hematoksilin-eosin (Epstein, et al., 1995). Pemeriksaan histopatologis dari epitel

menunjukan hiperkeratosis parah dengan permukaan ireguler, akantosis dengan edema

superfisial, dan banyak sel koilositik (sel “balon” yang terkena virus) di lapisan spinosus

(Greenberg and Glick, 2003).

(a) Degenerasi balloning dari sel epitel di stratum spinosum di demonstasikan (H&E,

pembesaran 100x); (b) menunjukan halo perinuklear dan marginasi perifer kromatin di

inti sel spinosus (H&E, pembesaran 400x) (agustina, dkk, 2016).

Sitologi ekfoliatif juga dapat memberikan kontribusi penting untuk diagnosis OHL.

Prosedur sitologi dilakukan dengan cara menscrap lesi menggunakan tepi pisau bedah yang

tumpul. Material yang di scrap pertama kali dibagian superfisial dibuang. Apusan dibuat

pada slide kaca, difiksasi dalam alkohol 96%, diwarnai dengan pewarnaan papanicolaou

konvensional dan diperiksa menggunakan mikroskop cahaya standar. Apusan lesi

menunjukan penamplan yang khas dan tiga jenis perubahan epitel diamati: (1) inklusi

intranuklear dari cowdry tipe A, (2) inklusi intranuklear dengan tampilan ground-glass dan

(3) penggumpalan dan marginasi kromatin disekitar membran inti (Fraga et al., 1992).

8
9

Kriteria untuk apusan sitologi positif pewarnaan PAP adalah adanya margin kromatin inti

perifer (Epstein, et al., 1995). Metode ini sangat berguna ketika biopsi tidak memungkinkan

atau disarankan (misalnya pada pasien hemofilia atau gangguan perdarahan lainnya, anak-

anak, pasien yang sangat lemah atau pasien yang menolak prosedur biopsi Kelebihan

pemeriksaan sitologi eksfoliatif dalam mendiagnosa OHL adalah merupakan metode

sederhana, hemat biaya dan dapat diandalkan (Fraga et al., 1992).

Gambar a (atas kiri). Kelompok keratinosit yang tereksfoliasi dengan inklsi


intranuklear (Cowdry A) (pewarnaan papanicolao, pembesaran 400x); Gambar b (atas
kanan). Tampak dekat dari inklusi intranukleas (Cowdry A) (pewarnaan papanicolaou,
pembesaran 1000x); Gambar c (bawah kiri). Keratinosit dengan penggumpalan dan
marginasi kromatin (pewarnaan papanicolaou; pembesaran 1000x); Gambar d (bawah
kanan). Keratinosit OHL menunjukan inklusi intranuklear dari penampakan ground-glass
(panah) (pewarnaan papanicolaou, pembesaran 200x) (Fraga et al., 1992).

3.2.2 Etiologi dan Patogenesis

OHL sangat terkait dengan virus Epstein-Barr (EBV) dan dengan tingkat limfosit CD4 +

T yang rendah. Pengobatan antivirus, yang mencegah replikasi EBV, bersifat kuratif dan

memberikan dukungan lebih lanjut untuk EBV sebagai faktor etiologi. Ada juga korelasi antara

replikasi EBV dan penurunan jumlah sel CD1a+ Langerhans, yang bersama dengan limfosit T,

9
10

merupakan populasi sel penting dalam pertahanan kekebalan seluler mukosa mulut (Burket,

2015).

3.2.3 Gambaran Klinis

Oral hairy leukoplakia (OHL) sering dijumpai pada batas lateral lidah, tetapi dapat juga

pada dorsum lidah dan mukosa bukal. Gambaran klinis yang khas adalah lipatan putih vertikal

yang diorientasikan sebagai palisade di sepanjang batas lidah. Lesi terlihat sebagai plak putih

dan agak meninggi yang tidak dapat terambil saat di swab. OHL ini bersifat asimptomatik,

bentuk klinis dapat berbeda-beda sehingga penting untuk selalu mempertimbangkan lesi mukosa

ini setiap kali melihat adanya lesi putih di lateral lidah terutama pada pasien dengan gangguan

sistem imun (Burket, 2015).

a. b.
Gambar 3. A. Oral Hairy Leukoplakia (Scully, C., et al., 2010) b. Oral Hairy Leukoplakia
(Burket, 2015)

3.2.4 Diagnosis

Demonstrasi replika EBV sangat penting utnuk diagnosis definitif OHL. EBV dapat

dideteksi melalui beberapa teknik seperti polymerase chain reaction, hibridisasi in situ,

immunohistochemistry, immunocytochemistry dan mikroskop elektron (Greenberg and Glick,

2003).

1. Hibridisasi in situ

10
11

Hibridisasi in situ spesimen biopsi dengan menggunakan probe DNA spesifik EBV

untuk mendeteksi antigen EBV cukup memadai dalam banyak kasus. Prosedur hibridisasi in

situ dilakukan pertama-tama dengan meletakan spesimen pada slide yang sebelumnya telah

dilapisi larutan 3-aminopropyltriethoxylane 10% dalam etanol 100%, dan dikeringkan dalam

oven padan suhu 370C selama 24 jam.

Slide di deparafinisasi dalam xylene dan direhidrasi melalui etanol bertingkat. Slide

direndam dlam larutan 10% amonium hidroksida dalam 95% etanol selama 10 menit untuk

menghilangkan formalin. Slide kemudian dicuci selama 10 menit dalam air ledeng dan

direndam dua kali dalam air suling.

Reaksi untuk mendeteksi EBV dilakukan menggunakan PNA ISH detection kit

(Dakocytomation, Glostrup, Denmark. Slide ditempatkan di ruang kelembaban. Sebanyak

150 µl proteinase K yang diencerkan (1:10 dalam larutan buffer - 10 mM TRIS dan NaCl, pH

7,6) ditambahkan ke setiap bagian, dan spesimen diinkubasi selama 25 menit pada suhu

kamar. Slide direndam dua kali dalam air suling (tiga menit setiap kali), direndam dalam

etanol 95% selama 10 detik, dan dibiarkan dalam ruang lembab selama lima menit hingga

kering.

Setelah pretreatment dengan proteinase K, langkah hibridisasi dimulai. Dua tetes

probe PNA terkonjugasi fluorescein (EBER-Y5200, DakoCytomation Inc., CA, USA)

ditambahkan ke setiap bagian jaringan. Bagian-bagian tersebut kemudian ditutup dengan

tutup penutup. Slide, di dalam ruang kelembaban, diinkubasi pada suhu 55 0C selama 1 jam

dan 30 menit.

Penutup dilepas dan slide direndam dalam larutan pencuci stringet yang telah

dipanaskan sebelumnya, diencerkan 1:60 (stringent wash terkonsentrasi 50X, DAKO,

11
12

S3500), dan diinkubasi pada 550 selama 25 menit. Slides kemudian direndam sebentar dalam

TBS (10 mM TRIS dan NaCl, pH 7.6).

Slide ditempatkan lagi di ruang kelembaban dan dua hingga tiga tetes antibodi (Anti-

FITC / AP) ditambahkan ke setiap bagian, yang diinkubasi selama 30 menit pada suhu

kamar. Antibodi dibilas dengan TBS (pH 7,5). Slide direndam dua kali di TBS (3 menit

setiap kali) dan kemudian direndam dua kali dalam air suling (1 menit setiap kali).

Slide ditempatkan di ruang kelembaban dan dua sampai tiga tetes substrat [5-bromo-

4-kloro-3-indolil fosfat (BCIP) dan nitroblue tetrazolium (NBT)] ditambahkan ke setiap

bagian. Bagian diinkubasi selama 45 menit pada suhu kamar. Substrat dihilangkan dengan

merendam slide dalam air suling. Slide itu kemudian dicuci selama 5 menit dengan air

ledeng.

Bagian diwarnai dengan Fast-red (DakoCytomation Inc., CA, USA) selama 1 menit

pada suhu kamar, dicuci selama 5 menit dengan air keran dan direndam dalam air suling.

Bagian tersebut kemudian didehidrasi dalam meningkatkan konsentrasi etanol dan xilena dan

dipasang dengan media pemasangan Permount (Fisher Scientific, NJ, USA). Setelah

pemeriksaan mikroskopis, keberadaan EBV dikonfirmasi ketika warna biru tua atau hitam

diamati di lokasi hibridisasi (nukleus) (Braz-Silva, et al., 2008).

Saat ini, deteksi molekuler dari transkip RNA yang yang dikodekan EBV oleh

hibridisasi in situ menjadi “gold standard untuk membuktikan bahwa lesi histopatologi

terkait EBV (Gulley, 2001).

2. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Scraping lidah untuk analisis PCR dilakukan dengan menscrap batas lateral lidah

menggunakan tepi tumpul pisau bedah steril. Biopsi lidah difiksasi dalam 10% formalin

12
13

bufer dan parafin dengan metode standar. Primer - dua 20 mer oligonukleotida primer

sintetis (5’-GTTCGCGTTGCTAGGCCACC dan 5’-AGGACCACTTTATACCAGGG)

digunakan untuk memperkuat secara khusus regio 110 bp yang unik dari urutan

pengulangan EBV BamHIW. Urutan onkogen c-myc manusia, digunakan untuk memilih

pasangan primer (5'-AGGAACTATGACCTCGACTA dan 5-

AGCAGCTCGAATTTCTTCCA) menghasilkan amplimer 139 bp. Primer c-myc

digunakan sebagai kontrol internal dalam semua reaksi untuk memastikan amplifikasi itu

telah terjadi. Dengan demikian, jalur di mana pita c-mvc dan pita virus sama-sama tidak

ada akan menunjukkan kegagalan amplifikasi, bukan hasil negatif. Hasil negatif

sebenarnya hanya akan menampilkan band c-myc (Mabruk et al., 1994). Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Mabruk et al., menunjukan bahwa teknik PCR memiliki

spesifisitas yang rendah dan tidak dapat direkomendasikan.

3. Mikroskop Elektron

Spesimen untuk mikroskop elektron diperoleh dengan menscrap lesi dan

membilas spatula logam dalam media transfer paraformaldehida 2% dan kemudian

diproses untuk EM rutin. Spesimen sitologi yang diproses untuk mikroskop elektron

dianggap positif untuk OHL jika menunjukan partikel virus atau kerusakan inti didalam

keratinosit yang terinfeksi. Mikroskop elektron lebih sensitif dan andal daripada

mikroskop cahaya untuk memastikan diagnosis klinis OHL (Epstein, et al., 1995).

4. Imunohistokimia

Spesimen untuk pemeiksaan imunohistokimia diperoleh dari biopsi OHL yang

difiksasi dalam 10% formalin bufer selama 24 jam. Antibodi monoklonal tikus terhadap

ZEBRA dari EBV (Dako) bereaksi dengan aktivator transkripsi “immediate-early” yang

13
14

dikodekan oleh BZLFI dari EBV. Imunohistokimia dilakukan dengan menggunakan

antibodi primer ini dan tiga kit deteksi komersial yang berbeda: kit Histostain-SP

(Zymed), kit Vectastain ABC dan Vectastain Elite ABC (Vector Laboratories; Burlin

37°C dengan antibodi primer diencerkan 1: 7,5 selama 60 menit, dan antibodi sekunder

terbiotinilasi (disertakan dengan kit) selama 50 menit pada suhu kamar, diikuti dengan

siklus kedua antibodi primer diencerkan 1:14 selama 60 menit pada suhu 37°C dan

antibodi sekunder terbiotinilasi selama 20 menit pada suhu kamar. diinkubasi selama 20

menit dengan konjugat streptavidin-peroksidase (disertakan dengan kit). Kit Histostain-

SP menggunakan 3-amino-9-etil karbazol (AEC; Zymed) sebagai kromogen, yang

memberikan warna merah pada lokasi target. antara setiap langkah di PBS selama 3

menit (Mabruk et al., 1996).

Gambar (a) Imunohistokimia menggunakan kit Vectastain Elite ABC pada jaringan biopsi lidah
dari pasien HIV-seropositif dengan OHL, menunjukkan sinyal positif untuk antigen EBV sebagai
brown stain di epitel atas (100x). (b) Imunohistokimia menggunakan kit Vectastain Elite ABC
pada jaringan lidah dari otopsi AIDS tanpa bukti klinis OHL (spesimen kontrol positif nomor
salinan EBV rendah), menunjukkan sinyal EBV positif sebagai brown stain di epitel atas (200x).
Gambar 5. Lnunohistokimia menggunakan kit Histostain-SP pada jaringan biopsi lidah dari
pasien HIV-seropositif dengan OHL, menunjukkan sinyal positif untuk antigen EBV sebagai red
stain pada sel mirip koilosit dan di epitel lesi OHL (200x) (Mabruk et al., 1996).

5. Konseling dan Tes HIV

14
15

Menurut permenkes RI nomor 87 tahun 2014 Untuk mengetahui status HIV

seseorang, maka pasien harus melalui tahapan konseling dan tes HIV (KT HIV). Secara

global diperkirakan setengah ODHA tidak mengetahui status HIV-nya. Sebaliknya

mereka yang tahu sering terlambat diperiksa dan karena kurangnya akses hubungan

antara konseling dan tes HIV dengan perawatan, menyebabkan pengobatan sudah pada

stadium AIDS. Keterlambatan pengobatan mengurangi kemungkinan mendapatkan hasil

yang baik dan penularan tetap tinggi.

Konseling dan tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara

global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent; confidentiality;

counseling; correct test results; connections to care, treatment and prevention services).

1. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan laboratorium

HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah mendapatkan dan

memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh petugas kesehatan tentang

tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien/klien tersebut.

2. Confidentiality, adalah Semua isi informasi atau konseling antara klien dan petugas

pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan diungkapkan

kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien.

3. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk

memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien. Konselor

memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien

mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah

terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan konseling HIV harus

15
16

dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS, konseling pra-Konseling dan Tes pasca-

tes yang berkualitas baik.

4. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti standar

pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan sesegera

mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.

5. Connections to, care, treatment and prevention services. Pasien/klien harus

dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan

pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.

Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan diagnosis.

Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis pemeriksaan laboratorium

HIV dapat berupa:

1. Tes serologi terdiri atas:

a. Tes cepat

Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk

Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1 maupun

HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih sedikit dan

waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari 20 menit bergantung pada jenis

tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih.

b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)

Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi antigen-antibodi

dapat dideteksi dengan perubahan warna.

c. Tes Western Blot

Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang sulit

16
17

3.2.5 Diagnosis Banding

Penting untuk membedakan lesi oral hairy leukoplakia dari lesi klinis lainnya seperti

kandidiasis hiperplastik, leukoplakia idiopatik, lichen planus, white sponge nevus, dan

leukoplakia verrucous. Sejak oral hairy leukoplakia dianggap sangat memprediksi

perkembangan AIDS, diferensiasi dari lesi lain sangat penting (Greenberg and Glick, 2003).

Kandidiasis hiperplastik dapat dibedakan dengan OHL pada tampilan klinis. Kandidiasis

hiperplastik berupa lesi plak putih, tebal, kasar dan irreguler dengan dasar eritema yang apabila

di scrap dapat hilang sebagian (Soeprapto, 2017).

Idiopatik leukoplakia adalah lesi prakanker mulut berwarna putih yang dapat dikenali

untuk transformasi keganasan. Leukoplakia saat ini diarikan sebagai “bercak putih atau plak

yang tidak dapat dikarakterisasi secara klinis atau patologis seperti penyakit lainnya. Sekitar 70%

lesi leukoplakia oral ditemukan pada mukosa bukal, batas vermilion bibir bawah, dan gingiva.

Jarang ditemukan di palatum, mukosa rahang atas, daerah retromolar, dasar mulut, dan lidah.

Namun, lesi pada lidah dan dasar mulut terjadi pada lebih dari 90% kasus yang menunjukkan

displasia atau karsinoma (Greenberg and Glick, 2003).

Leukoplakia verrucous adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya lesi

putih tebal dengan permukaan papiler di rongga mulut. Lesi ini biasanya heavily keratinized dan

paling sering terlihat pada orang tua dalam dekade keenam hingga kedelapan kehidupan.

Beberapa dari lesi ini mungkin menunjukkan pola pertumbuhan eksofitik (Greenberg and Glick,

2003).

17
18

Gambar memperlihatkan plak putih tebal di tepi lateral lidah menunjukan leukoplakia verukosa.
Lesi ulserasi kecil di anterior lesi bergelombang putih merupakan karsinoma sel skuamosa
(dibuktikan dengan biopsi) (Greenberg and Glick, 2003).

Lichen planus oral (OLP) adalah kelainan mukokutan inflamasi kronis imunologis umum

yang penampilannya bervariasi dari keratotik (retikuler atau mirip plak) hingga eritematosa dan

ulseratif. Sekitar 28% pasien yang mengalami OLP juga memiliki lesi kulit

Gambar menunjukan bentuk lichen planus A, reticular lichen planus dari mukosa bukal. B,
lichen planus atrofi dari gingiva. C, lichen planus erosif pada lidah (Greenberg and Glick,
2003).

18
19

White sponge nevus (WSN) adalah kelainan autosom dominan langka dengan tingkat

penetrasi yang tinggi dan ekspresi yang bervariasi. Penyakit ini biasanya melibatkan mukosa

mulut dan (lebih jarang) selaput lendir hidung, esofagus, alat kelamin, dan rektum. White sponge

nevus muncul sebagai plak putih simetris bilateral, lembut, “spongy” atau beludru tebal pada

mukosa bukal. Namun, situs lain di rongga mulut mungkin terlibat, termasuk lidah ventral, dasar

mulut, mukosa labial, palatum lunak, dan mukosa alveolar (Greenberg and Glick, 2003).

3.2.7 Pengobatan

Pengobatan untuk OHL dapat berhasil dengan obat antivirus, tetapi hal ini tidak sering

diindikasikan karena kelainan tidak terkait dengan gejala yang merugikan. Kelainan tersebut juga

dilaporkan menunjukkan kemunduran spontan. Pengobatan dengan HAART telah mengurangi

jumlah OHL menjadi beberapa persen pada pasien yang terinfeksi HIV (Burket, 2015). Tidak

ada pengobatan yang diindikasikan. Kondisi tersebut biasanya menghilang bila obat antivirus

seperti zidovudine, acyclovir, atau gancyclovir digunakan dalam pengobatan infeksi HIV dan

komplikasi infeksi virusnya. Aplikasi resin topikal podophyllin atau tretinoin menyebabkan

resolusi jangka pendek, tetapi kekambuhan sering terjadi (Greenberg and Glick, 2003).

Pemberian HAART dengan penurunan muatan virus dan peningkatan jumlah CD4+

membantu menurunkan prevalensi pasien OHL secara signifikan. Terapi sistemik antiviral

herpes memberikan kesembuhan cepat, walaupun terkadang kekambuhan dapat terjadi ketika

terapi dihentikan. Sistemik antiviral herpes yang biasanya digunakan ialah asiklovir dan

valasiklovir. Penggunaan desiklovir dan famsiklovir juga pernah dilaporkan. Guideline terapi

medis OHL masih belum optimal, meskipun beberapa antiviral menunjukkan hasil terapi yang

19
20

efektif. Insidensi OHL yang relatif rendah menyebabkan penelitian acak berskala besar sulit

dilakukan (Pujiastuti, dkk., 2016)

Asiklovir adalah analog nukleosida yang tersedia dalam bentuk oral, intravena, dan

topikal. Bentuk trifosfat obat ini merupakan bentuk aktif, yang memiliki efek penghambat poten

terhadap polimerase DNA yang terinduksi virus herpes, tetapi relatif sedikit efeknya terhadap

polimerase DNA sel host. Asiklovir tidak efektif sebagai terapi infeksi laten EBV yang khas

yaitu limfoproliferasi yang terinduksi virus, tetapi dapat menjadi penghambat poten terhadap

polimerase DNA EBV, sehingga dapat menghambat replikasi EBV. Asiklovir dapat secara

efektif menghilangkan infeksi OHL, walaupun penghentian terapi seringkali berakibat rekurensi

lesi dalam 1-4 bulan. Dosis asiklovir yang digunakan untuk terapi OHL adalah 800 mg, 5 kali

sehari, minimal selama 1 minggu (Pujiastuti, dkk., 2016)

3.2.6 Prognosis

Kemungkinan perkembangan AIDS pada pasien ditemukan menjadi 48% pada 16 bulan

dan sebesar 83% pada 31 bulan setelah diagnosis awal oral hairy leukoplakia (Greenberg and

Glick, 2003).

20
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis seorang pasien laki-laki berusia 30 tahun datang

ke klinik untuk diskeling. Setelah diskeling terdapat lesi putih di lateral lidah tidak

terasa sakit, pasien tidak menyadari sejak kapan lesi muncul. Pasien tidak

memiliki kebiasaan merokok. Pasien memelihara kesehatan gigi dan mulut

dengan menyikat gigi dan memakai alat bantu seperti dental floss dan tongue

scraper. Pasien tidak memakai obat kumur, tidak sedang mengkonsumsi obat.

Penurunan berat badan terjadi sekitar 2-3 kg. Riwayat penyakit sistemik pasien

disangkal.

Pada pemeriksaan klinis ditemukan lesi plak putih berukuran ± 3 cm di

lateral lidah dengan dasar ireguler, batas tidak jelas. Plak tidak terangkat saat di

scrap. Menurut Greenberg and Glick (2003) oral hairy leukoplakia adalah lesi

putih bergelombang yang biasanya terjadi pada permukaan lateral atau ventral

lidah pada pasien dengan imunodefisiensi parah. Virus Epstein-Barr (EBV)

terlibat sebagai agen penyebab OHL. Berdasarkan temuan klinis pasien

kemungkinan didiagnosa OHL, tetapi diperlukan pemeriksaan penunjang seperti

pemeriksaan histopatologi atau sitopatologi.kemudian untuk menegakkan

diagnosis definitif pada pasien OHL diperlukan pemeriksaan penunjang

hibridisasi in situ untuk mendemonstrasikan keberadaan EBV pada lesi

histopatologi (Gulley, 2001).

Penyakit yang paling umum terkait dengan OHL adalah infeksi HIV. OHL

dilaporkan pada sekitar 25% orang dewasa dengan infeksi HIV (Greenberg and
22

Glick, 2003). Pada kasus ini pasien memiliki kebiasaan memelihara kesehatan

gigi dan mulut yang baik,tidak mengkonsumsi obat, penurunan berat badan juga

masih normal sekitar 2-3 kg dan riwayat penyakit sistemik disangkal oleh pasien

saat anamnesis. Tetapi karena prevalensi OHL mencapai setinggi 80% pada

pasien dengan AIDS. Kehadiran lesi ini telah dikaitkan dengan perkembangan

AIDS selanjutnya pada sebagian besar pasien HIV positif (Greenberg and Glick,

2003). Selain itu, tidak ada pengobatan yang diindikasikan untuk OHL, karena

kondisi ini biasanya akan menghilang apabila pasien telah menerima perawatan

untuk infeksi HIV nya. Sehingga dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan tes

diagnostik HIV utnuk kelanjutan terapi.

Pada kasus ini karena pasien belum menyadari kemungkinan suspek HIV.

Menurut permenkes RI nomor 87 tahun 2014 untuk mengetahui status HIV

seseorang, maka pasien harus melalui tahapan konseling dan tes HIV (KT HIV).

Konseling dan tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara

global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent;

confidentiality; counseling; correct test results; connections to care, treatment

and prevention services. Selanjutnya dilakukan tes diagnosis HIV dengan

pemeriksaan laboratorium. Jenis pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa tes

serologi. Setelah hasil pemeriksaan didapatkan pasien positif HIV, terapi

dilakukan dengan pemberian HAART menggunakan asiklovir. Asiklovir adalah

analog nukleosida yang tersedia dalam bentuk oral, intravena, dan topikal. Dosis

asiklovir yang digunakan untuk terapi OHL adalah 800 mg, 5 kali sehari, minimal

selama 1 minggu (Pujiastuti, dkk., 2016).

22
BAB V

SIMPULAN

Oral hairy leukoplakia adalah lesi putih bergelombang yang biasanya

terjadi pada permukaan lateral atau ventral lidah pada pasien dengan

imunodefisiensi parah. Virus Epstein-Barr (EBV) terlibat sebagai agen penyebab

OHL. Diagnosis OHL dapat dilakukan berdasarkan temuan klinis, tetapi diagnosis

definitif ditegakkan melalui pemeriksaan keberadaan EBV pada lesi melalui

hibridisasi in situ, imunohisokimia, mikroskop elektron dan PCR.

Berdasarkan pemeriksaan klinis pasien diduga menderita OHL. Lesi OHL

pada pasien berupa lesi plak putih berukuran ± 3 cm di lateral lidah dengan dasar

ireguler, batas tidak jelas. Plak tidak terangkat saat di scrap. Diagnosis definitf

ditegakkan setelah melakukan pemeriksaan hisopatologi dan hibridisasi in situ.

Kemudian pasien disarankan melakukan tes diagnostik HIV. Setelah hasil

pemeriksaan pasien keluar dan hasil positif untuk OHL dan HIV, terapi dilakukan

dengan pemberian HAART. HAART yang diberikan yaitu Asiklovir dengan dosis

untuk terapi OHL 800 mg, 5 kali sehari, minimal selama 1 minggu.
DAFTAR PUSTAKA

Avery, J. K. 1994. Oral Development and Histology 3rd Edition. New York:

Thieme. Pg. 283.

Agustina, Yohana Alfa; Wardhany, Indriasti indah; Wimardhani, Yuniardini

Septorini, Ening Krisnuhoni; Iamaroon, Anak. 2016. Oral Hairy

Leukoplakia: Clinical Indicator of an Immunosuppressive Condition and

Challenges in Patient Management. Journal of Dentistry Indonesia, Vol. 23,

No.2, 54-58

Braza-Silva, Paulo Henrique; de Rezende, Nathalie Pepe Medeiros; Ortega, Karen

Lopez; Santos, Raimunda Telma de Macedo; Magalhaes, MARINA Helena

Cury Gallottini de. 2008. Detection of the Epstein–Barr Virus (EBV) by In

situ Hybridization as Definitive Diagnosis of Hairy Leukoplakia. Head and

Neck Pathol;2:19-24

Burket, L.W.; Greenberg M.S., editor. 2015. Burket’s Oral Medicine. 12 ed. Hh

99-100

Epstein, Joel B; Fatahzadeh, Mahnaz; Matistic, Jasenka; Anderson, George. 1995.

Exfoliative cytology and electron microscopy in the diagnosis of hairy

leukoplakiai. Oral surge Oral Med oral Pathol Radiol Endod;79:564-9)

Fraga fernandes, Javier; Vicandi-Plaza, Blanca. 1992. Diagnosis of Hairy

Leukoplakia by Exfoliative Cytologic Methods. J Clin Pathol; 97: 262-266

Gulley ML (2001). Molecular diagnosis of Epstein-Barr virusrelated diseases. J

Virol Diagn 3: 1–10.

ii
iii

Greenberg, Martin S; Glick, Michael. 2003. Burket’s oral medicine: diagnosis &

treatment tent edition. BC Decker Inc., Hamilton

Mabruk MJEMF, Flint SR, Toner M, Balluz I, Coleman D, Sullivan D, Atkins GJ.

1994. In situ hybridization and the polymerase chain reaction (PCR) in the

analysis of biopsies and exfoiiative cytology specimens for definitve

diagnosis of oral hairy leukoplakia (OHL). J Oral Pathol Med; 23: 302-308.

Mabruk, M.J.E.M.F; Flint, S.R; Coleman, D.C; Shiels, O; Toner, M; Atkins, G.J.

1996. A rapid microwave-in situ huyridization method for the diagnosis of

oral hairy leukoplakia: comparison with immunohistochemistry. Journal of

oral pathology & medicine: 170-176

Peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang

pedoman pengobatan antiretroviral. 9-12

Pujiastuti, Agustina Tri; Murtiastutik, Dwi. 2016. Oral Hairy Leukoplakia pada

Pasien HIV/AIDS. BIKKK – Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin –

periodical of dermatology and venereology Vol. 28 No.1 FK Universitas

Airlangga

Soeprapto, Andi. 2017. Pedoman dan tatalaksana praktik kedokteran gigi.

Yogyakarta: STPI Bina Insan Mulia.

Triantos, Dimitris; R, Stephen; Porter; Scully, Crispian; Teo, Chong Gee. 1998.

Oral Hairy Leukoplakia: Clinicopathologic Features, Pathogenesis,

Diagnosis, and Clinical Signficance. Clinical infectious disease;25:1392-6

iii

Anda mungkin juga menyukai