Anda di halaman 1dari 43

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


Sektor industri menjadi salah satu lapangan pekerjaan yang banyak
menggunakan sumber daya manusia, salah satunya adalah industri pabrik. Pabrik
triplek merupakan salah satu industri strategis yang berhubungan dengan
sistem agroindustri (agro-based industry). Berkembangnya industri pabrik
triplek yang dimaksud dapat pula membawa dampak negatif yaitu timbulnya
pencemaran udara oleh debu yang timbul pada proses pengolahan atau hasil
dari industri triplek tersebut. Debu kayu ini akan mencemari udara dan
lingkungannya sehingga pekerja industri triplek dapat tepapar debu karena
bahan baku atau pun produk akhir. Algasaf (2004) mengatakan bahwa
perkembangan kegiatan industri secara umum juga merupakan sektor yang
potensial sebagai sumber pencemaran yang akan merugikan bagi kesehatan dan
lingkungan. (Jurnal Respiratory Research Disease, 2010)

Menurut (Direktorat Bina Kesehatan, 2010) terdapat beberapa


penyebab penyakit akibat kerja yang digolongkan berdasarkan penyebab dari
penyakit yang ada ditempat kerja yaitu dari golongan fisik seperti bising, radiasi,
suhu ekstrem, tekanan udara, vibrasi dan penerangan, dari golongan kimiawi
berasal dari semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, gas, larutan, dan
kabut. Golongan biologik berasal dari bakteri, virus, jamur dan lain-lain,
kemudian dari golongan fisiologik berasal dari desain tempat kerja dan beban
kerja serta dari golongan psikososial yaitu stress psikis, tuntutan pekerja dan
lain sebagainya. Cedera akibat kerja dapat bersifat ergonomik, ortopedik, fisik,
mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit-penyakit akibat pajanan di
lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi, kanker, gangguan hati, saraf, alat
reproduksi, kardiovaskular, kulit dan saluran napas.

Pneumokoniosis merupakan penyakit paru restriktif akibat inhalasi


okupasional debu, biasanya dari pasir, batu, batubara, tumbuh-tumbuhan dan serat
buatan [ CITATION Eli09 \l 1033 ]. Pneumokoniosis adalah penyakit paru yang biasa

1
terjadi pada pekerja industri akibat pajanan partikel anorganik. Partikel anorganik
tersebut dapat berupa debu nonfibrogenik ataupun fibrogenik. Debu yang
terinhalasi ini akan dibawa makrofag ke jaringan limfoid terdekat dan membentuk
fibrosis. Tiga penyakit yang paling sering terjadi adalah pneumokoniosis batu
bara, asbestosis, dan silikosis.

Data American Lung Association State of Lung Diverse in Diverse


Community (2010) menyebutkan bahwa perusahaan swasta melaporkan
terjadi14.800 kasus penyakit paru akibat kerja (occupational lung disease),
dan pemerintahan pusat melaporkan sebanyak 7.800 kasus penyakit paru
akibat kerja (occupational lung disease) terjadi pada tahun 2008. Data
penyakit pernafasaan di provinsi Riau sebanyak 8,861 kasus. (Dinkes Riau
2011). Kasus kecelakaan kerja di Indonesia pada tahun 2003 tercatat 440
kasus dan 10.393 orang (9,8%) mengalami kecacatan (Depkes R.I, 2004).
Kejadian masalah kesehatan akibat kerja berupa kejadian kecelakaan kerja
dan kecacatan,kesakitan hingga kematian yang menimpa pekerja di provinsi Riau
dan kota Pekanbaru tercatat 1.357 kasus (Jamsostek Cabang Riau, 2007).

Sebelum terjadi sutau hal tidak diinginkan, penyakit paru akibat kerja
dapat dicegah dengan lebih memperhatikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) yang telah ditetapkan seperti menggunaan APD (Alat Perlindungan Diri),
namun apabila pekerja telah mengidap penyakit paru maka perlu beberapa
pengobatan yang harus dilakukan. Penyakit paru juga dapat dicegah dengan
mengurangi kadar serat dan debu asbes serta silika di lingkungan kerja. Selain itu,
pengurangan kebiasaan merokok akan mengurangi resiko kanker paru-paru.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1.      Apa pengertian silicosis dan asbestosis?
1.2.2.      Bagaimanakah etiologi silicosis dan asbestosis?
1.2.3 Apa saja manifestasi klinis seseorang hingga dikatakan
menderita silicosis dan asbestosis?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi silicosis dan asbestosis?
1.2.5 Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada silikosis dan
asbestosis?

2
1.2.6 Apa tindakan preventif yang dilakukan untuk silikosis dan
asbestosis?
1.2.7 Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan silikosis dan
asbestosis?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa mengetahui pengertian dari silikosis dan asbestosis
1.3.2 Mahasiswa mengetahui etiologi dari silikosis dan asbestosis
1.3.3 Mahasiswa mengetahui manifestasi klinis dari silikosis dan
asbestosis
1.3.4.      Mahasiswa mengetahui patofisiologi dari silikosis dan asbestosis
1.3.5 Mahasiswa mengetahui pemeriksaan diagnostik pada silikosis
dan asbestosis
1.3.6 Mahasiswa mengetahui tata cara penatalaksanaan untuk silikosis
dan asbestosis
1.3.7 Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan
silikosis dan asbestosis
1.4 Manfaat
Dapat mengetahui tentang debu-debu berbahaya pada pekerja di
lingkungan pekerja atau di rumah sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan
dengan langkah-langkah yang tepat serta mengenali gejala-gejala awal akibat
debu-debu berbahaya tersebut, sehingga tindakan kuratif yang lebih dini dapat
diusahakan.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumokoniosis
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis
sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang
menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan
debu di paru adalah fibrosis (Susanto, 2011). Pneumokoniosis adalah penyakit
paru restriktif akibat inhalasi okupasional debu, biasanya dari pasir, batu,
batubara, tumbuh-tumbuhan dan serat buatan [ CITATION Eli09 \l 1033 ].
Berdasarkan macamnya debu dibedakan menjadi berikut:
1. Debu organik : debu yang berasal dari tanaman (debu kapas,
debu daun-daunan, tembakau).
2. Debu anorganik, terdiri dari
a. Debu mineral : debu yang berasal dari senyawa kompleks
(SiO2, SiO3, dan arang batu).
b. Debu metal : debu yang mengandung unsur logam (Pb, Hg,
Cd, Arsen, dan lain-lain).
Ukuran partikel debu yang semakin kecil dan konsentrasi yang semakin
besar pada udara akan memperbesar kemungkinan partikel terdeposisi di alveoli.
Menurut WHO (1996), ada beberapa ukuran partikel debu berdasarkan organ
yang dapat dicapai, yaitu:
1. 5-10 mikron : akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas
2. 3-5 mikron : akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah
3. 1-3 mikron : sampai di permukaan alveoli
4. 0,5-1 mikron: mengendap di permukaan alveoli/selaput lendir
sehingga menyebabkan fibrosis paru
5. 0,1-0,5 mikron: melayang di permukaan alveoli.
Meskipun batas debu adalah 5 mikron, namun debu ukuran 5-10 mikron
dengan kadar berbeda dapat masuk kedalam alveoli. Debu yang berukuran >5
mikron akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10
partikel/mmᶟ udara. Bila jumlahnya 1000 partikel/mmᶟ udara, maka 10%
akan tertimbun dalam paru.

4
2.1.1 Jenis Pneumokoniosis
Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan
asbes menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu
batubara menyebabkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain. Secara ringkas
beberapa yang dikategorikan pneumokoniosis berdasarkan jenis debu
penyebabnya terlihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya

Pneumokoniosis
Jenis Debu

Silika Silikosis
Asbes Asbestosis
Batu bara Pneumokoniosis Batu bara
Besi Siderosis
Berilium Beriliosis
Timah Stanosis
Aluminium Aluminosis
Grafit Pneumokoniosis grafit
Debu antimony Antimony Pneumokoniosis
Debu Karbon Pneumokoniosis karbon
Debu Polyvinyl Chloride (PVC) Pneumokoniosis PVC
Debu Bakelite Pneumokoniosis Bakelite
Titanium Oksida Pneumokoniosis Titanium
Zirkonium Pneumokoniosis Zirkonium
Silikon Carbide Carborundum Pneumokoniosis
Hard Metal Tungsten Carbide Pneumokoniosis
Nylon Flock Flock Worker’s Lung
Debu Campuran :
- Campuran silica dan besi - Silikosiderosis
- Silikat - Silikatosis
- Slate (Campuran mica, - Slate Worker’s Pneumokoniosis
feldspar, crystalline quartz)
- Kaolin - Pneumokoniosis Kaolin
- Mica - Mica
Sumber : Susanto, 2011

2.1.2 Jenis Penyakit akibat kerja

5
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan,
alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian Penyakit
Akibat Kerja merupakan penyakit yang artifisial atau man made disease. Dalam
melakukan pekerjaan apapun, sebenarnya kita berisiko untuk mendapatkan
gangguan Kesehatan atau penyakit yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.Oleh
karena itu , penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan,alat kerja , bahan , proses maupun lingkungan kerja.

Pada simposium internasional mengenai penyakit akibat hubungan


pekerjaan yang diselenggarakan oleh ILO (International Labour Organization) di
Linz, Austria, dihasilkan definisi menyangkut PAK sebagai berikut:

1. Penyakit Akibat Kerja – Occupational Disease adalah penyakit yang


mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan
pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang
sudah diakui.
2. Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan – Work Related
Diseaseadalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab,
dimana faktor pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor risiko
lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi
kompleks.
3. Penyakit yang Mengenai Populasi Kerja – Disease of Fecting Working
Populations adalah penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa
adanya agen penyebab ditempat kerja, namun dapat diperberat oleh
kondisi pekerjaan yang buruk bagi kesehatan.

Dalam melakukan tugas di perusahaan seseorang atau sekelompok pekerja


berisiko mendapatkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja. WHO membedakan
empat kategori Penyakit Akibat Kerja, yaitu:

1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya


Pneumoconiosis.

6
2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya
Karsinoma Bronkhogenik.
3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab di
antara faktor-faktor penyebab lainnya, misalnya Bronkhitis
khronis.
4. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah
ada sebelumnya, misalnya asma.

Beberapa jenis penyakit pneumoconiosis yang banyak dijumpai di daerah


yang memiliki banyak kegiatan industri dan teknologi, yaitu:

1. Silikosis
2. Asbestosis
3. Bisinosis
4. Antrakosis
5. Beriliosis

2.2 Silikosis
2.2.1 Definisi Silikosis
Pneumokoniosis adalah sekumpulan penyakit yang disebabkan oleh
penimbunan debu didalam jaringan paru-paru. Salah satu jenis dari
pneumokoniosis adalah silikosis. Silikosis merupakan suatu penyakit
saluran pernafasan akibat inhalasi dari silikon dioksida (Si2) atau silika
yang menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-
paru. Silika bebas merupakan komponen utama pasir dan batu masuk ke
dalam saluran pernapasan biasanya terjadi karena peledakan,
penggerindaan, penghancuran, pengeboran,dan penggilingan batuan. Bisa
juga terdapat dari usaha komersial yang menggunakan granit, batu pasir
serta pasir giling atau pembakaran diatomit. Silika adalah kristal yang
sangat keras yang biasanya menempel di batu atau tanah atau terdapat
ada juga yang terdapat di udara bebas (Riyani, 2009).
Silikosis merupakan salah satu pneumoconiosis restriktif akibat
inhalasi okupasional debu, biasanya dari pasir, batu, batubara, tumbuh-
tumbuhan dan serat buatan. Pneumokoniosis biasanya hanya tejadi setelah

7
pajanan debu bertahun-tahun. Debu yang mencapai saluran nafas bawah
akan merangsang reaksi imun dan inflamasi yang menyebabkan akumulasi
makrofag sehingga akhirnya terjadi fibrosis paru yang difus. [ CITATION
Eli09 \l 1033 ].
Menurut Agus Susanto (2009), Secara klinis terdapat 3 bentuk silikosis,
yakni silikosis akut, silikosis kronik, dan silikosis terakselerasi.
1. Silikosis Akut 
 Terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang
sangat besar, dalam waktu cepat.Paru-paru sangat meradang dan
terisi oleh cairan, sehingga timbul sesak nafas yang hebatdan
kadar oksigen darah yang rendah. Gejala lain yang dapat timbul
pada penderita silikosis akut adalah demam, batuk, dan
penurunan berat badan . 
2. Silikosis Akselerata
  Terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih
banyak selama waktu yang lebihpendek (4-8 tahun). Peradangan,
pembentukan jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadilebih
cepat, fibrosis masif dan sering terjadi mycobacterium tipikal
atau atipik. Fibrosisini terjadi akibat pembentukan jaringan parut
dan menyebabkan kerusakan pada strukturparu yang normal.
Biasanya penderita mengalami gagal nafas akibat hipoksemia.
3. Silikosis Kronis Simplek 
Terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika
dalam jangka panjang (lebih dari 20 tahun).
Pemerikaan dengan sprirometri dapat ditemukan adanya
tanda restriksi dan obstruksi paru. Nodul-nodul peradangan
kronis dan jaringan parut akibat silika terbentuk di paru-paru dan
kelenjar getah bening dada. Pada pemeriksaan spirometri
Kerusakan diparu-paru bisa mengenai jantung dan menyebabkan
gagal jantung yang bisa berakibat fatal jika terpapar oleh
organisme penyebab tuberkulosis ( Mycobacterium tuberculosis)

8
karena penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar
untuk menderita tuberculosis

2.2.2 Jenis dan Ukuran Debu Silika


Saluran Pernafasan pada manusia berhubungan dengan udara yang
dihirup. Udara yang dihirup tentu berasal dari lingkungan sekitar. Udara
juga membawa partikel-partikel kecil (debu) yang mungkin memiliki
potensi berbahaya. Debu adalah salah satu bahan atau partikel melayang di
udara dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Partikel debu
akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan
melayang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui
saluran pernapasan. Dalam hal ini debu industri yang ada di udara akan
dibagi menjadi 2 karakteristik yaitu debu yang hanya sementara di udara dan
tidak mudah mengendap (Suspended Particulate Matter).(Patel, RP : 2007)
Menurut Djojodibroto 2007, partikel debu anorganik yang
terinhalasi dapat berupa debu inert ataupun fibrogenik. Debu yang termasuk
dalam golongan debu inert (nonfibrogenik) adalah debu besi, barium, timah
putih, sedangkan yang termasuk golongan debu fibrogenik (menimbulkan
fibrosis) adalah silika, asbes, berilium, debu tambang batubara.

Tabel.1 Tabel Jenis Kristal Silika

Nama Struktur

α-quartz
Trigonal

β-quartz Hexagonal

α-tridymite Orthorhombic

β-tridymite Hexagonal

α-cristobalite Tetragonal

9
β-cristobalite Cubic

faujasite
Cubic

melanophlogite Cubic

keatite Tetragonal

moganite
Monoclic

coesite Monoclic

stishovite
Tetragonal

poststishovite
Orthorhombic

fibrous
Orthorhombic

seifertite
Orthorhombic

2.2.3 Etiologi
Menurut Demedts M (2003) Silika bebas yang merupakan
komponen utama pasir dan batu masuk kedalam saluran pernapasan
biasanya terjadi karena peledakan, penggerindaan, pengahancuran,
pengeboran, dan penggilingan batuan. Bisa juga terdapat dari usaha

10
komersial yang menggunakan granit, batu pasir, serta pasir giling atau
pembakaran diatomit. Silikosis terjadi pada orang-orang yang telah
menghirup debu silica selama beberapa tahun. Silica adalah unsur utama
dari pasir, sehingga pemaparan biasanya terjadi pada:

1. Pekerja pemotong batu dan granit


2. Pekerja pengecoran logam
3. Pembuat tembikar
4. Buruh tambang logam
Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun.
Tetapi pada peledakan pasir, pembuatan terowogan dan pembuatan alat
pengampelas sabun, dimana kadar silika yang dihasilkan sangat tinggi,
gejala dapat timbul dalam waktu kurang dari 10 tahun.
Bila terhirup, serbuk silika masuk ke paru-paru dan sel pembersih
(misalnya makrofag) akan mencernanya. Tubuh akan mengeluarkan
makrofag (sel antibodi tubuh) dari paru-paru yang menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. 
Pada awalnya, daerah parut ini hanya merupakan bungkahan bulat yang
tipis (silikosis noduler simplek). Akhirnya, mereka bergabung menjadi
massa yang besar (silikosis konglomerata).
Daerah parut ini tidak dapat mengalirkan oksigen ke dalam darah
secara normal. Paru-paru menjadi kurang lentur dan penderita mengalami
gangguan pernafasan. 

2.2.4 Patofisiologi Silikosis


Partikel Silikat berukuran sangat kecil, kurang dari satu mikron
setelah terhirup melalui pernapasan akan mengendap di ujung akhir saluran
pernapasan bronkiolus, saluran alveolus, dan alveoli paru-paru. Permukaan
partikel silikat tersebut akan menyebabkan produksi hidrogen, hidrogen

11
peroksida, dan radikal bebas senyawa oksigen lainnya. Semua radikal bebas
ini akan merusak lapisan lemak dinding sel tubuh yang sehat dan mematikan
protein-protein penting untuk metabolisme sel normal. Sistem pertahanan
tubuh kita tentunya akan berespons terhadap kehadiran partikel asing
tersebut. Tubuh akan mengeluarkan makrofag (sel antibodi tubuh) dari paru-
paru yang selanjutnya diikuti pelepasan senyawa antibodi interleukin (IL-
1 dan B-4). Pelepasan senyawa ini akan membuat tubuh merespons dengan
peningkatan suhu tubuh sehingga gejala yang dirasakan adalah demam. Faktor-faktor
pertahanan tubuh seperti faktor pertumbuhan alfa akan menginduksi
pembelahan sel tipe 2 pada paru-paru sehingga terjadi pembelahan sel
fibroblas dan memproduksi nodular-nodular dengan ukuran mikroskopik
(silikosis noduler simplek). Semakin lama semakin banyak pula nodul yang
terbentuk, kemudian bergabung menjadi nodul yang lebih besar
(silikosis konglomerata). Nodul-nodul tersebut akan tertimbun dalam
jaringan paru sehingga terjadi fibrosis paru. Fibrosis adalah kelainan di
mana paru-paru menjadi mengeras dan membentuk gambaran seperti skar
luka. Kelainan inilah yang akan membantu penegakan diagnosis karena akan
terlihat jelas sebagai gambaran putih, bulat beraturan dengan ukuran tertentu
pada foto rontgen paru. Selama perkembangan penyakit ini, aliran udara di
alveolus paru-paru akan terbatas. Pergantian oksigen dan karbondioksida di
paru menjadi tidak efektif akibatnya akan ditemukan gejala sesak diikuti
batuk-batuk. Timbunan silika juga menyebabkan menyempitnya saluran
bronchial yang merupakan sebab utama dari dyspnea. (Becklake MR, 2005)

WOC SILIKOSIS

Partikel debu silika terinhalasi

Retensi silika di alveolus

Fagositosis oleh makrofag


encernanya 12
Pelepasan senyawa antibodi sebagai pertahanan

Terbentuk jaringan parut pada paru

Paru tercemar silika

SILIKOSIS

Breath (B1) Blood (B2) Bowel (B5) Bone (B6)

Reaksi sistemik Perasaan tidak Elastisitas paru


Masuknya Perubahan silika nyaman
Fibrosis pada
benda asing kapiler
parenkim di jalan nafas Paru-paru tidak
membran
paru laju metabolisme Nafsu makan dapat
kapiler-alveolar
sekunder dari mengembang
Sekresi
Ekspansi Penyempitan
reaksi sistemis Intake nutrsi
tertahan
paru tidak area difusi silika Kebutuhan energi
maksimal alveoli untuk respirasi
Penumpukan MK : Perubahan meningkat
MK : nutrisi kurang dari
sekret
Pergerakan Gangguan Hipertermi kebutuhan tubuh
dada tidak Elastisitas paru Ketidakseimbang
maksimal Difusi gas an suplai oksigen
Akumulasi
dengan kebutuhan
sekret di
jalan nafas Dispnea
MK : Pola
nafas tidak
efektif MK : Gangguan Perubahan TTV
MK :
pertukaran gas setelah aktivitas
Ketidakefek
tifan
bersihan
jalan nafas

13
2.2.5 Manifestasi Klinis Silikosis

Penderita silikosis noduler simpel tidak memiliki masalah


MK : Intoleransi
pernafasan, tetapi mereka bisa menderita batuk berdahak Kelemahan fisik
aktivitaskarena saluran
pernafasannya mengalami iritasi (bronkitis). Silikosis konglomerata bisa
menyebabkan batuk berdahak dan sesak nafas, mula-mula sesak nafas hanya
terjadi pada saat melakukan aktivitas, tapi akhirnya sesak timbul bahkan
pada saat beristirahat. Keluhan pernafasan bisa memburuk dalam waktu 2-5
tahun setelah penderita berhenti bekerja. Kerusakan di paru-paru bisa
mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal.
Jika terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium
tuberculosis, penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk
menderita tuberkulosis.(Nadel JA, 2005)

Penyakit  silikosis ditandai dengan sesak nafas yang disertai batuk-


batuk. Batuk ini seringkali tidak disertai dengan dahak. Pada silikosis
tingkah sedang, gejala sesak nafas yang disertai terlihat dan pada
pemeriksaan fototoraks kelainan paru-parunya mudah sekali diamati. Bila
penyakit silikosis sudah berat maka sesak nafas akan semakin parah dan
kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan
mengakibatkan kegagalan kerja jantung. Gejala tambahan yang mungkin
ditemukan, terutama pada silikosis akut:

1. demam
2. batuk
3. penurunan berat badan
4. gangguan pernafasan yang berat.

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien silikosis
menurut jeyaratnam (2009), yaitu:
1. Rontgen dada (terlihat gambaran pola nodul dan jaringan parut)
Foto toraks berguna dalam mendeteksi dan memantau
respon paru untuk debu mineral, logam tertentu, dan debu organik

14
mampu mendorong pneumonitis hipersensitivitas. Organisasi
Perburuhan Internasional (ILO) International Klasifikasi Radiografi
dari Pneumoconioses mengklasifikasikan radiografi dada sesuai
dengan sifat dan ukuran dan kekeruhan melihat sejauh mana
keterlibatan parenkim tersebut. Secara umum, kekeruhan linier
terlihat di asbestosis.

Gambar 1. Hasil Rontgen silikosis

2. Tes fungsi paru


Banyak debu mineral menghasilkan perubahan karakteristik
dalam mekanisme pernapasan dan volume paru-paru yang secara
jelas menunjukkan pola restriktif. Demikian pula, pemaparan debu
organik atau bahan kimia dapat menyebabkan asma kerja atau
PPOK. Pengukuran perubahan volume ekspirasi paksa (FEV1)
sebelum dan setelah shift kerja dapat digunakan untuk mendeteksi
respon bronchoconstrictive atau peradangan akut.

3. High Resolution Computed Tomography (HRCT) dan EKG


HRCT bisa abnormal bahkan bila foto toraks tampak
normal dan terlihat perubahan subpleura yang berlanjut
membentuk sarang lebah. Di bawah daerah fibrosis pleura, bisa
terjadi kolaps berbentuk nodul yang pada foto toraks nampak
sebagai massa. HRCT bisa membedakannya dari gambaran
karsinoma. EKG diindikasikan untuk mencari hipertrofi ventrikel

15
kanan yang berakibat pada kegagalan jantung akibat oksigen yang
tidak terpenuhi karena kerusakan paru silikosis.

2.2.7 Penatalaksanaan Silikosis


Patrick (2005) dalam bukunya menyebutkan bahwa tidak ada
pengobatan khusus untuk silikosis, namun untuk mencegah agar penyakit
silikosis tidak semakin memburuk yaitu dengan cara menghilangkan
sumber pemaparan atau dengan menurunkan kadar debu silika.
Salah satu terapi yang cocok untuk penderita silikosis adalah terapi
suportif. Terapi ini terdiri dari obat antitusif atau penekan batuk,
bronkodilator, dan oksigen.  Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik.
Tindakan preventif lebih penting dan berarti dibandingkan dengan
tindakan pengobatannya.
Penyakit silikosis akan lebih buruk kalau penderita sebelumnya
juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronkitis, asma bronkial
dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Pengawasan dan pemeriksaan
kesehatan secara berkala bagi pekerja akan sangat membantu dalam
pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat kerja. Data
kesehatan pekerja sebelum masuk kerja, selama bekerja dan sesudah
bekerja perlu dicatat untuk pemantauan riwayat penyakit pekerja jika
sewaktu-waktu diperlukan.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah:
1.  Membatasi pemaparan terhadap debu silika.
2.  Merubah pola hidup denga berhenti merokok.
3. Menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin setiap tahunnya karena
penderita silikosis memiliki resiko tinggi
menderita tuberkulosis (TBC). Silika diduga dapat mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika
hasilnya positif, maka diberikan obat anti TBC.

16
2.2.8 Prognosis dan Komplikasi Silikosis
Silika dapat menyebabkan menyempitnya saluran bronchial yang
merupakan sebab utama dari dyspnea. Jika penderita silikosis terpapar
oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis)
penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita
tuberkulosis. 
Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun.
Pekerja penambang pasir, pekerja pembuatan terowogan dan pembuatan
alat pengampelas sabun dengan kadar silika yang dihasilkan sangat tinggi
akan timbul gejala dalam waktu  kurang dari 10 tahun.
Silikosis dapat menyebabkan komplikasi pada beberapa penyakit
dan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk:
1. Emfisema

2. Fibrosis paru

3. Gagal napas infeksi mikrobakteri nontuberkolosis

4. Pneumotoraks

5. Penurunan volume paru disertai obstruksi aliran udara

6. Melanoptisis atau sputum berwarna hitam

7. Tuberkulosis (TBC)

2.2.9 Tindakan Pencegahan Penyakit Silikosis


1) Promotif 
Pada promotif dapat dilakukan penyuluhan kepada tenaga kerja
seperti penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) saat bekerja, penyuluhan
mengenai kesehatan para tenaga kerjaberdasarkan pekerjaan yang
dilakukannya. Kepada pekerja perlu diberi penyuluhan mengenai kebersihan
perorangan, makanan yang nilai gizinya sesuai dengan jenis pekerjaan, gerak badan
untuk kesehatan (olahraga), pertolongan pertama pada kecelakaan, dan
perilaku dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

17
2) Preventif 
Pengawasan terhadap di lingkungan kerja dapat membantu
mencegah terjadinya silikosis. Tindakan preventif dapat dilakukan dengan
cara memperhatikan :
a. Ventilasi baik lokal maupun umum. Ventilasi umum antara lain
dengan mengalirkan udara ke ruang kerja melalui pintu dan jendela
dan ventilasi lokal berupa pipa keluar stempat. Pengendalian debu
silika dapat menjadi hal yang penting dalam usaha mencegah
terjadinya silikosis.
b. Dengan melakukan substitusi. Misalnya dalam proses sandblasting,
bahan untuk meratakan permukaan logam yang biasanya berupa
debu pasir diganti dengan bubuk alumina.
c. Metode yang memungkinkan berkurangnya debu di udara.
Misalnya dengan pengeboran basah (wet drilling)
d. Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu di ruang kerja
dengan “ local exhauster ” atau dengan melengkapi water sprayer pada
cerobong asap.

2.3 Asbestosis
2.3.1 Definisi Asbestosis
Asbestosis adalah pneumokoniosis yang disebabkan oleh
akumulasi pajanan serat asbestos. Gangguan lain yang dapat disebabkan
oleh asbestos adalah kanker paru dan mesotelioma. Istilah asbestosis
pertama kali dikemukakan oleh Cooke pada 1927, setelah pada 1906
dilaporkan kasus kematian akibat asbestos. Asbestosis adalah
suatu penyakit saluran pernapasan yang terjadi akibat menghirup serat-
serat asbes, dimana pada paru-paru terbentuk jaringan parut yang luas.
Asbestos terdiri dari serat silikat mineral dengan komposisi kimiawi yang
berbeda. Jika terhisap, serat asbes mengendap di dalam dalam paru-paru,
menyebabkan parut. Menghirup asbes juga dapat menyebabkan
penebalan pleura (selaput yang melapisi paru-paru).(A. Praya, 2008)

18
Menurut Prabu (2008) Asbestosis adalah suatu penyakit saluran
pernafasan yang terjadi akibat menghirup serat-serat asbes, dimana pada
paru-paru terbentuk jaringan parut yang luas. Asbestos terdiri dari serat
silikat mineral dengan komposisi kimiawi yang berbeda. Jika terhisap, serat
asbes mengendap di dalam dalam paru-paru, menyebabkan parut. 
Menghirup asbes juga dapat menyebabkan penebalan pleura (selaput yang
melapisi paru-paru). Menghirup serat asbes bisa menyebabkan terbentuknya
jaringan parut (fibrosis) di dalam paru-paru. Jaringan paru-paru yang
membentuk fibrosis tidak dapat mengembang dan mengempis sebagaimana
mestinya. Beratnya penyakit tergantung kepada lamanya pemaparan dan
jumlah serat yang terhirup. Pemaparan asbes bisa ditemukan di industri
pertambangan dan penggilingan, konstruksi dan industri lainnya. Pemaparan
pada keluarga pekerja asbes juga bisa terjadi dari partikel yang terbawa ke
rumah di dalam pakaian pekerja.

2.3.2 Jenis dan Ukuran Serat Asbestos


Asbestos adalah bentuk serat mineral silica. Termasuk dalam
kelompok serpentine dan amphibole dari mineral-mineral pembentuk
batuan, termasuk: actinolite, amosite (asbes coklat, cummingtonite,
grunnerite), anthophyllite, chrysotile (asbes putih), crocidolite (asbes biru),
tremolite, atau campuran yang sekurang-kurangnya mengandung salah satu
dari mineral-mineral tersebut. Asbes dapat diperoleh dengan berbagai
metode penambangan bawah tanah, namun yang paling umum
adalahmelalui penambangan terbuka (open-pit mining). 2 kelompok utama
dari serat asbes terdiri dari amphiboles dan serat chrysotile. Amfibol, serat
lurus panjang (termasuk actinolite, amosite, anthrophyllite, crocidolite dan
tremolite) lebih jauh akan menyebabkan jaringan parut di lapisan paru-paru
(fibrosis pleura) dan kanker di lapisan paru-paru (mesothelioma). Kedua
kelompok serat asbes akan menyebabkan penyakit paru-paru seperti asbes.
Chrysotile (asbes putih) juga disebut serat “Serpentine” meringkuk dan
panjang. (Palupi W, 2006)

19
Menurut Patrick Davey (2006 )Setiap jenis asbes yang jelas berbeda
dalam dan kimia sifat fisik tergantung pada komponen lain dari batu, seperti
kalsium, magnesium atau besi :
1. Chrysotile (putih) Serat asbes cenderung menjadi warna putih dan
dengan halus, tekstur yang halus. terdapat dalam bentuk lempengan atau
dalam urat dan sarang suatu senyawa berserabut parallel. Terkadang
serabutnya kasar atau sangat halus dan sangat mudah dibelah. Arah
serabutnya tegak lurus pada urat-uratnya. Kilap sutera yang mengkilap
seperti logam atau kilap lemak. Sedikit banyak tembus cahaya
2. Crocidolite (biru) Serat asbes yang cerah biru, biasanya lebih
pendek, tegak dan kurang halus dari chrysotile. Serat panjangnya yang kasar
tapi dapat dipintal memiliki ketahanan yang tinggi terhadap asam. salah satu
jenis dari kelompok amphibole, berwarna biru dan seratnya lurus.
Crociodolite mengandung natrium, besi, dan magnesium silika.
3. Amosite (coklat) Serat cenderung berwarna coklat dengan serat
lebih rapuh dari baik crocidolite atau chrysotile. Mempunyai warna
kecoklat-coklatan karena tingginya kandungan besi di dalam serat.
Umumnya panjang dan kuat. serat amosite lurus termasuk dalam kelompok
amphibole, dan mengandung besi dan magnesium.
Ketiganya telah berkaitan dengan non-kanker penyakit paru-paru dan
kanker penyakit paru-paru. Asbes telah sering digunakan dalam berbagai
bahan bangunan untuk isolasi dan sebagai bantalan rem di mobil dan
penghambat api. Ini ditemukan paling sering di rumah tua – dalam atap
sirap, bahan pelapis, cat bertekstur, lantai keramik, millboard, pipa dan
tungku.
2.3.3 Etiologi
Asbestosis merupakan salah satu penyakit paru yang disebabkan oleh
pajanan dari serat asbes. Asbes merupakan mineral fibrosa yang secara luas
banyak dipakai bukan hanya di negara berkembang melainkan juga di
negara yang sudah maju seperti di Amerika. Di Amerika asbes dipakai
sebagai bahan penyekat. Terdapat banyak jenis serat asbes tetapi yang paling
umum dipakai adalah krisotil, amosit, dan krokidolit, semuanya merupakan
silikat magnesium berantai hidrat kecuali krokidolit yang merupakan silikat

20
natrium dan besi. Krokidolit dan amosit mempunyai kandungan besi yang
besar. Krisotil terdapat dalam lembaran-lembaran yang menggulung,
membentuk serat-serat berongga seperti tabung dengan diameter sekitar 0,03
milimikron. Serat asbes bersifat tahan panas dapat mencapai 800 derajat
Ceelcius. Karena sifat inilah maka asbes banyak dipakai di industri
konstruksi dan pabrik. Lebih dari 30 juta ton asbes digunakan dalam
konstruksi dan pabrik di Amerika. Selain itu asbes relatif sukar larut, daya
regang tinggi dan tahan asam.
Mengirup serat asbes bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut
(fibrosis) di dalam paru-paru. Jaringan paru-paru yang membentuk fibrosis
tidak dapat mengembang dan mengempis sebagaimana mestinya. Beratnya
penyakit tergantung pada lamanya pemaparan dan jumlah serat yang
terhirup. Pemaparan asbes bisa ditemukan di industri pertambangan dan
penggilingan, konstruksi, dan industri lainnya. Pemaparan pada keluarga
pekerja asbes juga bisa terjadi dari partikel yang terbawa ke rumah di dalam
pakaian pekerja. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh asbes diantaranya:
a. Plak pleura (klasifikasi)
b. Mesotelioma maligna
c. Efusi pleura
2.3.4 Patofisiologi
Proses patofisiologi asbestosis diawali dengan inhalasi serat
asbestos. Serat berukuran besar akan tertahan di hidung dan saluran
pernafasan atas dan dapat dikeluarkan oleh sistem mukosiliaris. Serat
berdiameter 0,5-5 mikrometer akan tersimpan di bronkioli dan alveoli. Serat
asbestos akan menyebabkan cedera sel epitel dan sel makrofag alveolar yang
berusaha memfagosit serat. Beberapa serat akan masuk ke dalam jaringan
intersisium melalui penetrasi yang dibawa oleh makrofag atau epitel.
Makrofag yang telah rusak akan mengeluarkan reactive oxygen species
(ROS) yang dapat merusak jaringan dan beberapa sitokin, termasuk tumor
necrosis factor (TNF), metabolit asam arakidonat yang akan memulai
inflamasi alveoli (alveolitis). Sel epitel yang terganggu juga mengeluarkan
sitokin. Gangguan asbestos berskala kecil tidak akan menimbulkan

21
gangguan setelah inflamasi terjadi. Namun bila serat terinhalasi dalam kadar
lebih tinggi, alveolitis akan terjadi lebih intens, menyebabkan reaksi jaringan
yang lebih hebat. Reaksi jaringan ini menyebabkan fibrosis yang progresif,
yaitu pengeluaran sitokin profibrosis seperti fibronektin. Orang yang
terpajan debu serat-serat asbes dapat tertelan bersama ludah atau sputum.
Kadangkala minuman dan makanan dapat mengandung sejumlah kecil serat
tersebut.
Asbes merupakan karsinogen utama yang dikaitkan dengan
mesothelioma malignan. Tentu saja, mesotelioma malignan jarang terjadi
sebelum penggunaan asbes. Pada awalnya mesothelioma malignan terjadi
pada lapisan parietal di mesothelium pleura, dibanding pada lapisan visceral.
Beberapa mekanisme melaporkan dalam penemuan ini. Satu
kemungkinan bahwa serat asbes terlepas dari lapisan paru-paru
dan menyebabkan goresan, kerusakan, inflamasi, dan perbaikan pada lapisan
sel parietal mesothel sekitarnya.  Normalnya sel sel mesothelial
memudahkan pergerakan bebas dari permukaan pleural selama respirasi oleh
glycoprotein yang bersifat pelicin. Sel-sel ini siap untuk berproliferasi
dalam merespon luka dan faktor pertumbuhan. 
Asbes rupanya bermutasi kira-kira 2 milyar sel mesothelial pada
orang dewasa. Ada empat proses utama dimana asbes berpengaruh terhadap
pleura. Pertama, serat-serat asbes dapat mengiritasi pleura. Bentuk serat
asbes, khususnya perbandingan panjang dan lebarnya, menentukan penetrasi
kedalam paru-paru dan kemungkian dapat menyebabkan kanker. Serat-serat
yang menetrasi paru-paru dapat mengiritasi pleura dan menyebabkan
penyakit yang dimanifestasikan sebagai luka parut (plaque) atau suatu
proses frank malignan (mesothelioma malignan). Kedua, serat-serat asbes
dapat memutuskan atau menembus sel-sel spindle mitosis dan mengganggu
proses mitosis sel, menyebabkan uneuploid bentuk lain dari kerusakan
kromosom. Ketiga, asbes membentuk generasi iron-related reactive oxygen
species yang menyebabkan kerusakan DNA. Keempat, asbes menyebabkan
phosphorilasi dari Mitogen- Activated Protein (MAP) kinases dan
Extracellular signal-Regulated Kinases (ERK)1 dan 2. Phosphorilasi

22
kinases ini meningkatkan ekspresi dari respon proto-oncogenes yang
mengkode anggota activator protein 1 families.

Gb. 2 Mesothelioma

ASBESTOSIS

23
Serat asbes masuk ke saluran pernapasan
Serat asbes
dicerna makrofag
Masuk alveoli

Fibrosis massif pada Makrofag mencoba menelan serat asbes yang bersifat
paru fibrogenik

Terjadi radang dan membentuk jaringan parut


Migrasi ke pleura

Inflamasi pleura dan ASBESTOSIS


penebalan plak

Mesothelioma

B1 Breath B2 Blood B5 Bowel B6 Bone

Fibrosis pada Masuknya Pelebaran Jaringan Reaksi Rasa tidak


parut Ekspansi
parenkim benda asing dinding sistemik asbes nyaman
paru
paru di jalan nafas alveolar
Sesak laju
Ekspansi Sekresi Penurunan Napas metabolisme Energi
Nafsu
paru tidak tertahan elastisitas sekunder untuk
makan
maksimal dan difusi dari reaksi respirasi
Kadar
gas O2 di sistemis
Penumpukan jaringan
Pergerakan asbes suplai
sekret Intake
dada tidak oksigen dan
Gangguan difusi nutrisi
maksimal MK : kebutuhan
Akumulasi Hipertermi tidak
sekret di MK : Perubahan seimbang
MK : Gangguan
MK : Pola jalan nafas nutrisi kurang
pertukaran gas
nafas tidak dari kebutuhan Perubahan
efektif tubuh TTV setelah
MK :
aktivitas
Bersihan
jalan nafas
tidak Kelemahan
efektif MK : Intoleransi
aktivitas fisik

24
2.3.5 Manifestasi Klinis
Gejala asbestosis biasanya akan timbul 20 tahun setelah pemaparan
awal. Gejala asbestosis muncul secara bertahap dan baru muncul hanya
setelah terbentuknya jaringan parut dalam jumlah banyak dan paru-paru
kehilangan elastisitasnya. Tanda dan gejala asbestosis kebanyakan tidak
khas dan mirip penyakit paru reskriktif lainnya. Gejala paling sering dan
juga merupakan tanda awal adalah :
1. Munculnya dispnea saat beraktivitas. Dispnea akan berkembang
progresif lambat dalam beberapa tahun.
2. Batuk produktif, rasa sesak, dan nyeri dada serta adanya mengi.
3. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ronkhi basal paru bilateral
(pada 60% pasien) yang terdengar pada akhir fase inspirasi.
Sering ditemukan pula jari tabuh pada 30-40% pasien dan pada
asbestosis lanjut.
4, Gangguan lain yang perlu diperhatikan adalah adanya cor
pulmonale, keganasan yang terkait asbestosis seperti kanker
paru, kanker laring, bahkan bisa terjadi kanker pancreas.
5. Pada pemeriksaan fungsi paru akan didapatkan pola restriktif
dengan penurunan kapasitas vital, kapasitas total paru, dan
kapasitas difusi dengan hipoksemia arterial. Kapasitas vital
paksa akan menurun 75%.
6. Dapat juga didapatkan pola obstruktif disebabkan fibrosis dan
penyempitan bronkioli.

2.3.6 Pemeriksaan diagnostic


Menurut Irman (2007) Pemeriksaan diagnotik dapat diuraikan
menjadi:
a. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan:
1. Terdengar suara ronki kering
2. Diikuti dengan keluhan takipnea, dan sianosis
3. Dapat terlihat adanya jari tabuh.
4. Pergerakan dada menjadi berkurang

25
5. Pada stadium lanjut dapat ditemukan kor pulmonal dan
mungkin gagal jantung.
b. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiografi
1) Gambar rontgen thoraks (posteroanterior/PA dan lateral)
adalah dasar dalam menentukan diagnostik.
2) Penemuan khas meliputi:
a) Reticulonodular infliltrat yang difus, yang diamati
sebagian besar di basis paru-paru.
b) Infiltrat paru-paru yang difus membuat gambaran yang
kabur antara batas jantung.
3) Pleural bilateral mungkin perlu juga diamati diamati karena
asbes dapat menyebabkan infalamasi pada pleural.
4) Kadang-kadang dapat pula ditemukan kelainan seperti:
a) Pembesaran kelenjar hilus
b) Gambaran nodul-nodul
c) Sudut kostofrenikus yang tumpul.
5) Karsinoma bronkogen sering dijumpai pada pasien-pasien
dengan asbestosis, begitu juga pada mesotelioma.
6) Kalsifikasi pleural diafragmatik
a) Merupakan suatu indikator ekspose asbes yang dapat
dipercaya tetapi bukanlah suatu unsur yang diperlukan
untuk hasil diagnosa asbestosis.
b) Di samping pleura yang diaphragmatik, lokasi lain pada
parietal pleura yang melalui interkostal
7) Pada awal penyakit terjadi:
a) Gambaran radiologis pada awal penyakit berupa
bayangan garis-garis halus khususnya di paru bagian
bawah
b) Dapat terlihat peningkatan di tanda interstitial,
banyaknya garis-garis.

26
c) Adanya gambaran seperti sarang lebah, menandai
penyakit yang telah lanjut.

Gb. 3 Asbestosis Gambar 4. Mesothelioma

2. CT Scan
1) CT scan bermanfaat penggambaran pleural
atau kelainan pleura (misalnya, efusi, plaque, mesotelioma
maligna, atelektasis) dan pada penggambaran parenkimal
yang padat adalah sugestif untuk karsinoma bronkogenik.
2) HRCT scan mendefinisikan infiltrate
interstitial dan mungkin sangat menolong dalam
mendiagnosis asbestosis tahap awal.
3) Penemuan yang khas asbestosis pada HRCT
meliputi:
a) Subpleural tak tembus cahaya linier sampai pleura.
b) Fibrosis basis paru-paru dan peribronkiolar, intralobular
dan septal interlobular.
c) Adanya gambaran yang menyerupai sarang lebah
merupakan peringatan dari suatu karsinoma paru.
3. Tes fungsi paru dengan oximetri
Evaluasi oksigenasi penting sebab hipoksemia yang belum
dikoreksi akan menyebabkan hipertensi yang berkenaan
dengan paru-paru dan dapat mendorong kearah kor pulmonal .
terutama oximetri dilakukan pada saat istirahat dan selama
latihan (misalnya, 6-menit tes berjalan).

27
Gambar 5. Oximetry

4. Spirometri

Gambaran spirometri yang khas adalah penurunan kavasitas


vital dan kapasitas paru total, volume residu biasanya normal
atau sedikit menurun serta penurunan kapasitas difusi. Dalam
mendeteksi kelainan ini secara dini maka kita harus mengamati
adanya penurunan kapasitas vital dan kapasitas difusi.

Gambar 6. Spirometri

5. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi penurunan
oksigen dalam darah yang berhubungan dengan perubahan
pernapasan yang terkait dengan penyakit yang berhubungan dengan
asbes. Nilai normal BGA (Blood Gas Analysis) adalah PCO2: 35-
45mmHg, PO2: 80-100 mmHg, pH: 7,35-7,45. Pada klien dengan
asbestosis analisis gas darah arteri menunjukkan tekanan parsial

28
oksigen arteri  menurun dan tekanan parsial karbon dioksida arteri
rendah karena hiperventilasi.
2.3.7 Penatalaksanaan Penyakit Asbestosis
Tidak ada obat yang tersedia untuk menangani kasus
asbestosis, tetapi tindakan yang dapat dilakukan adalah
menghentikan paparan asbes lebih lanjut. Selain itu juga dapat
dilakukan perawatan yang bertujuan untuk membantu pasien dapat
bernapas dengan mudah, mencegah infeksi pernapasan, dan
mencegah komplikasi lebih lanjut.
Pengguanaan antibiotik pada penderita asbestosis
dimaksudkan untuk menngurangi infeksi. Aspirin atau
Acetominophen (Tylenol) dapat membebaskan ketidaknyaman dan
sebagai bronchodilator oral atau inhalasi yang dapat melebarkan
saluran napas. Selain itu pemberian obat semprot juga diberikan
untuk mengencerkan lendir, mereka juga harus berpartisipasi dalam
terapi pernapasan seperti bronkial drainase atau penggunaan
humidifier kabut ultrasonik yang membantu dalam pembersihan
lendir dari paru-paru. (Patrick, 2005)

2.3.8 Prognosis dan Komplikasi Penyakit Asbestosis


Jaringan paru yang terserang asbestosis akan menyebabkan
dinding alveolar menebal yang dapat mengurangi elastisitas dan
kemampuan mereka untuk pertukaran oksigen dan karbon dioksida.
Sehingga, terjadi penurunan kapasitas paru-paru, pertukaran oksigen
berkurang, dan akan terasa semakin kekurangan nafas. Lebih dari
50% orang yang terkena asbestosis akan ada plak di pleura parietal
yang berada di dalam ruang antara dinding dada dan paru-paru.
Pasien yang datang akan terdengar suara crackles pada paru,
clubbing finger, dan pola fibrotik yang sering menyebar di bagian
bawah lobus paru-paru merupakan tempat paling sering terserang
asbestosis.

29
Prognosis asbestosis adalah 20% pasien asbestosis
meninggal dunia karena penyakitnya dan 50% akibat keganasan
yang berkaitan dengan kanker paru atau mesotelioma.
Komplikasi lanjutan pada asbestosis antara lain:
1) Efusi pleura
2) Mesothelioma, asbes juga bisa menyebabkan tumor pada
pleura yang disebut mesotelioma atau pada selaput perut
yang disebut mesotelioma peritoneal. Mesotelioma
biasanya terjadi setelah pemaparan selama 30-40 tahun.
3) Cor pulmonale
4) Fibrosis Pulmoner idiopatik
5) Pneumoconeosis
6) Kanker bronkus
7) Hipertensi pulmonal
8) Gagal Jantung kanan
Mesotelioma bisa timbul dalam waktu 20-40 tahun setelah pemaparan.
Merokok sigaret menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya penyakit asbes.

2.3.9 Tindakan Preventif Penyakit Asbestosis


Asbestosis dapat dicegah dengan mengurangi kadar serat dan debu
asbes dilingkungan kerja. Penggunaan kontrol debu, ventilasi udara yang
cukup di ruang kerja, penggunaan masker bagi pekerja yang beresiko tinggi
dapat mengurangi pemaparan. Upaya yang dapat dilakukan dalam
mengurangi risiko terjadinya kanker paru-paru, maka pekerja pabrik
dianjurkan untuk berhenti merokok.
Pencegahan dini yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan
APD. Hampir semua APD yang dipakai pada bidang industri dan jasa lain
dipakai dan digunakan juga dalam dunia konstruksi dan bangunan karena
dunia konstruksi bukan hanya membangun fasilitas baru tetapi juga
memelihara dan memperbaiki suatu fasilitas yang masih berjalan. Alat
Pelindung Diri (APD) adalah kelengkapan yang wajib digunakan saat
bekerja sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja

30
itu sendiri dan orang di sekelilingnya. Kewajiban itu sudah disepakati oleh
pemerintah melalui Departement Tenaga Kerja Republik Indonesia,
sebagaimana tercantum dalam undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang
keselamatan kerja, pasal 12 mengatur mengenai hak dan kewajiban tenaga
kerja untuk mamakai alat pelindung diri.
Tindakan preventif pada rumah yang berasbes adalah dari:
1. Sumber penyakit asbestosis dengan health promotion, ventilasi
udara yang cukup, mencuci pakaian kerja.
2. Transmisi penyakit asbestosis dengan menyiram asbes rumah
setiap hari untuk mengurangi paparan debu.
3. Dengan melakukan pola hidup bersih, menghindari kebiasaan
merokok, APD misalnya dengan menggunakan masker saat
melakukan pembersihan rumah
Para pemakai atau mereka yang menggunakan asbes di rumah tinggal
tidak bisa menghindari dampak berbahaya dari debu ini. Namun
kemungkinannya lebih kecil sepanjang asbes tersebut tidak rusak. Masa
penggunaan asbes mampu bertahan hingga 10 tahun sehingga perlu diganti
secara berkala untuk menghindari kemungkinan bahaya. Minimal untuk
mencegah kemungkinan terhirupnya debu yang berjatuhan dari asbes di atap,
buatlah plafon dari multipleks atau gipsum. Asbes relatif aman jika bentuknya
utuh tidak rusak. Mengapa asbes berbahaya bagi kesehatan kita? Asbes tahan
terhadap bahan-bahan kimia, api ataupun air sehingga asbes tidak dapat
dihancurkan. Jika debu-debu asbes terhirup atau tertelan, debu-debu tersebut
akan masuk paru-paru dan menempel. Debu tersebut tidak dapat dihancurkan
oleh tubuh sehingga menimbulkan berbagai penyakit seperti tersebut di atas.

31
2.4 Asuhan Keperawatan pada Penyakit Silikosis dan Asbestosis

2.4.1 Pengkajian

Pengkajian yang dilakukan oleh perawat pada kasus silikosis dan


asbestosis meliputi:
a) Identitas pasien
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, ras,
pendidikan dan pekerjaan. Pada seseorang dengan pekerjaan
penambang bawah tanah, terowongan, penggalian dan pekerja
industri, memiliki risiko lebih besar terkena penyakit silikosis dan
asbestosis, karena setiap hari mereka terpapar debu silica dan serat
asbes.
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Klien datang dengan keluhan sesak saat bernafas, dan batuk disertai
dahak. Kemudian diikuti dengan gejala lain yaitu : mengeluh nyeri
dada, tubuh terasa panas, peningkatan frekuensi nadi, terdengar suara
ronchi pada lapang paru kanan dan kiri nyeri kepala, klien tampak
kurus, RR meningkat, pucat, lemas, lemah, adanya penggunaan otot
bantu pernafasan saat inspirasi, dan hipoksia.
c) Keluhan Utama
Klien mengeluh sesak saat bernafas, batuk disertai dahak, dan tubuh
terasa panas.
d) Riwayat Penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah mengalami infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) dengan gejala luka tenggorok, bersin demam
ringan sebelumnya.
e) Riwayat penyakit keluarga
Pada umumnya kliendengan silikosis tidak memiliki penyakit
keluarga yang berhubungan dengan penyakit ini.

32
f) Riwayat Psikososial
Perawat mengkaji tentang perasaan, status emosional, dan perilaku
klien. Misalnya, klien sering merasa cemas akibat nyeri yang kronis
dan  mengisolasi diri karena penyakit yang diderita.
g) Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breath) : sesak, nyeri saat bernafas akibat adanya jaringan
parut di alveoli,  RR meningkat, adanya penggunaan otot bantu
pernafasan saat inspirasi, nafas cuping hidung dan hipoksia.
2) B2 (Blood) : sianosis, hipoksia, denyut jantung meningkat, TD
meningkat, tachycardia.
3) B3 (Brain) : cemas, penurunan kesadaran
4) B4 (Bladder) : -
5) B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun, pasien lemas.
6) B6 (Bone) : malaise
h) Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya didapatkan leukosit
15.000-40.000/mm³, dilakukan pembiakan sputum, darah, bila
perlucairan efusi pleura
Pemeriksaan radiologis, sebaiknya gunakan foto thoraks posterior-
anterior dan lateral. Pada lapangan paru bawah bilateral terdapat bercak-
bercak nodular.

2.4.2 Analisa Data

Data Etiologi Masalah

DS:Klien mengeluh sesak Partikel silica/asbes yang Gangguan Pertukaran


DO: RR meningkat, takikardia, terinhalasi akan tertahan di gas
peningkatan frekuensi nadi, alveolus. Sel makrofag
RR meningkat, pucat dan sebagai agen pertahanan
lemas, adanya penggunaan otot akan mencernanya.

33
bantu pernafasan saat inspirasi, Terbentuk jaringan parut
dan hipoksia. pada paru yang membuat
paru akan tercemar silika.
Pencemaran oleh silika akan
mempersempit saluran
bronkial yang akan
memberikan efek dispnea,
penurunan elastisitas dan
difusi gas. Sehingga
menyebabkan gangguan
pertukaran gas

DS : klien mengatakan sulit Akumulasi sekret pada Bersihan jalan napas


bernapas bila dahak tidak bisa bronkus tidak efektif
dikeluarkan
DO : Terdengar suara ronchi
pada lapang paru kanan dan
kiri, Px batuk berdahak
DS: klien mengatakan sesak Kelelahan otot-otot Ketidakefektifan Pola
saat bernafas pernapasan Napas
DO: Penggunaan otot bantu
napas, napas cuping hidung,
sianosis
DS : Klien mengatakan tubuh Peningkatan laju Hipertermi
terasa panas metabolisme sekunder dari
DO : Suhu tubuh lebih dari 37 reaksi sistemis asbes
°C
DS : Klien mengatakan Intake makanan kurang dari Perubahan nutrisi
tubuhnya terasa lemas kebutuhan kurang dari kebutuhan
DO : kurus, BB menurun, tubuh
albumin << 3,2  , Hb <<
11g/dl.
DS : Klien mengatakan Kelemahan fisik dan Intoleransi Aktivitas
tubuhnya terasa lemah peningkatan metabolisme

34
DO: Denyut jantung umum sekunder dari
meningkat, TD meningkat. kerusakan pertukaran gas

2.4.3 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli


2. Gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
akumulasi secret pada bronkus
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
maksimal
4. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi
sistemis silika
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan
kurang dari kebutuhan
6. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme
umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas.

2.4.4 Intervensi dan Rasional


A. Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli
 Tujuan : Pertukaran gas tidak terganggu
 Kriteria Hasil : RR : 16-24 kali per menit, gelisah, sianosis, dan
keletihan tidak ada. Nilai normal BGA dalam batas normal (PCO2 :
35-45 mmHg, PO2 : 80-100 mmHg, pH: 7,35-7,45)
Intervensi Rasional
1. Monitor  bunyi paru; frekuensi 1. Berguna dalam evaluasi derajat distress
napas, kedalaman, dan usaha dan pernafasan atau kronisnya proses penyakit.
produksi sputum sesuai dengan
indikator dari penggunaan alat
penunjang yang efektif.
2. Lakukan auskultasi bunyi napas, 2. Gelisah dan ansietas adalah manifestasi
catat area penurunan aliran udara atau umum pada hipoksia. Nilai AGD
bunyi tambahan memburuk disertai bingung/somnolen
3. Awasi tingkat kesadaran atau status menunjukkan disfungsi serebral yang
mental. Selidiki adanya perubahan. berhubungan dengan hipoksemia

35
3. Dapat mengurangi banyaknya sputum
dimana gangguan ventilasi dan
mengurangi ketidaknyamanan upaya
bernapas
4. Konsultasikan dengan dokter tentang 4. Dapat memperbaiki atau mencegah
kebutuhan akan pemeriksaan gas darah memburuknya hipoksia.
arteri (GDA) dan penggunaan alat  
bantu yang dianjurkan.  
5. Persiapkan klien untuk ventilasi atau 5. Terjadinya kegagalan nafas yang akan
oksigenasi mekanis bila perlu. datang memerlukan upaya tindakan
penyelamatan hidup
4. Jelaskan prosedur pengobatan 4. Menurunkan kece masan klien terhadap
kepada klien. Pengobatan yang prosedur tindakan yang dilakukan.
diberikan bisa berupa terapi oksigen
dan transplantasi paru-paru.
5. Awasi tanda vital dan irama jantung 5. Takikardi, disritmia, dan perubahan
tekanan darah dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung
6. Jelaskan penggunaan alat bantu 6. Memberikan informasi kepada pasien
pernafasan sesuai indikasi. tentang tata cara menggunakan alat bantu.
7. Ajarkan kepada pasien tekhnik 7. Dengan adanya tekhnik bernapas dan
bernapas dan relaksasi. relaksasi dapat mengurangi hipoksia

B. Gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif b.d akumulasi secret


pada bronkus
 Tujuan : Bersihan jalan nafas kembali efektif
 Kriteria Hasil : Dapat batuk efektif, tidak sesak nafas, RR : 16-24
kali per menit, suara vesikuler pada lapang paru dan tidak terdapat
sekret

Intervensi Rasional
1. Kaji frekuensi kedalaman 1. Takipnea, pernapasan dangkal, gerakan
pernapasan dan gerakan dada. dada tidak simetris karena jalan napas

36
2. Atur posisi semi fowler 2. Meningkatkan ekspansi paru dengan
bantuan gayagravitasi bumi
3. Bantu pasien bernapas dalam batuk 3. Dapat mengurangi banyaknya sputum
efektif dimana gangguan ventilasi dan
mengurangi ketidaknyamanan upaya
bernapas
4. Berikan obat sesuai indikasi 4. Ekspektoran gangguan batuk disertai
dahak yang berlebih
5. Mengeluarkan dahak yang meningkatkan
5. Latih pasien untuk batuk efektif. bersihan jalan napas .
C. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang
tidak maksimal
 Tujuan : Pola nafas kembali efektif
 Kriteria Hasil : Pola nafas efektif (RR 16-24 kali per menit),
bunyi nafas normal, batuk berkurang, ekspansi paru
mengembang

Intervensi Rasional
1. Kaji frekuensi kedalaman 1.Kecepatan biasanya mencapai kedalaman
pernafasan dan ekspansi dada. pernafasan bervariasi tergantung derajat
Catat upaya pernafasan termasuk gagal nafas. Expansi dada terbatas yang
penggunaan otot bantu berhubungan dengan atelektasis dan
pernafasan/pelebaran nasal. nyeri dada
2. Lakukan auskultasi bunyi nafas 2. Ronki dan wheezing menyertai obstruksi
dan catat adanya bunyi nafas jalan nafas/kegagalan pernafasan.
seperti wheezing. Bingung/somnolen menujukkan
disfungsi serebral yang berhubungan
dengan hipoksemia.
3. Tinggikan kepala (posisi semi 3. posisi semi fowler/fowler
fowler/fowler) dan bantu memungkinkan ekspansi paru dan
mengubah posisi. memudahkan pernafasan.
4. Berikan oksigen tambahan 4. Memberikan kebutuhan O2 yang cukup
5. Berikan humidifikasi tambahan 5. Memaksimalkan pernafasan dan

37
misalnya nebulizer memberikan kelembaban pada membran
mukosa dan membantu pengenceran
secret.
6. Berikan breathing exercise 6. Meredakan nyeri pasien dan
misalnya dengan pulse lips melancarkan panas pasien.
breathing atau yang lainnya.

D. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi


sistemis silika
 Tujuan : pasien dapat mempertahan suhu tubuh normal (36-37°C)
 Kriteria Hasil : Suhu tubuh normal (36-37°C)
Intervensi Rasional
1. Pantau tanda vital tip tiga jam atau 1. Perubahan frekuensi jantung atau
lebih sering tekanan darah menunjukkan bahwa pasien
mengalami nyeri, khususnya bila alasan
lain untuk perubahan tanda vital telah
terlihat
2. Berikan antipiretik 2. Antipiretik untuk menurunkan suhu
tubuh
3. Berikan kebutuhan cairan ekstra 3. Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan
penguapan cairan tubuh meningkat,
sehingga perlu diimbangi dengan intake
cairan yang banyak
4. Anjurkan klien untuk memakai 4. Pakaian yang tipis akan membantu
pakaian yang minimal mengurangi penguapan tubuh
5. Berikan kompres dingin 5. Konduksi suhu membantu menurunkan
suhu tubuh.
6. Ajarkan pentingnya 6. Agar pasien dapat mempertahankan
mempertahankan asupan cairan yang asupan cairan tubuhnya
adekuat

E. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan


kurang dari kebutuhan.

38
 Tujuan : Kebutuhan nutrisi yang adekuat
 Kriteria Hasil : Klien menghabiskan porsi makan dan nafsu makan
bertambah.
Intervensi Rasional
1. Pastikan pola diet biasa pasien, yang 1. Untuk mendukung peningkatan nafsu
disukai atau tidak disukai. makan pasien
2. Pantau masukan dan pengeluaran 2. Mengetahui keseimbangan intake dan
dan berat badan secara pariodik. pengeluaran asuapan makanan
3. Monitor turgor kulit pasien 3. Sebagai data penunjang adanya
perubahan nutrisi yang kurang dari
kebutuhan
4. Pantau nilai laboratorium, seperti 4. Untuk dapat mengetahui tingkat
Hb, albumin, dan kadar glukosa darah kekurangan kandungan Hb, albumin, dan
glukosa dalam darah
5. Buat perencanaan makan dengan 5. Menjaga pola makan pasien sehingga
pasien untuk dimasukkan ke dalam pasien makan secara teratur.
jadwal makan.
6. Dukung anggota keluarga untuk 6. Pasien merasa nyaman dengan makanan
membawa makanan kesukaan pasien yang dibawa dari rumah dan dapat
dari rumah. meningkatkan nafsu makan pasien.
7. Tawarkan makanan porsi besar 7. Dengan pemberian porsi yang besar
disiang hari ketika nafsu makan tinggi dapat menjaga keadekuatan nutrisi yang
masuk.
8. Pastikan diet memenuhi kebutuhan 8. Tinggi karbohidrat, protein, dan kalori
pernafasan sesuai indikasi. diperlukan atau dibutuhkan selama
perawatan.
9. Ajarkan metode untuk perencanaan 9. Klien terbiasa makan dengan terencana
makan. dan teratur.
10. Ajarkan pasien dan keluarga 10. Menjaga keadekuatan asupan nutrisi
tentang makanan yang bergizi. yang dibutuhkan
F. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan
metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas.
 Tujuan : Pasien menunjukkan penghematan energi untuk aktivitas

39
 Kriteria Hasil : Pasien dapat menyeimbangkan antara aktivitas dan
energi, tingkat daya tahan adekuat untuk beraktivitas.
Intervensi Rasional
1. Monitor  respon emosi, sosial, dan 1. Menetapkan kemampuan, kebutuhan dan
spiritual terhadap aktivitas memudahkan pilihan intervensi pasien
2. Pantau asupan nutrisi 2. Asupan nutrisi yang cukup dapat
menjaga keadekuatan energi.
3. Pantau/Dokumentasikan pola 3. Dengan istirahat yang cukup dan teratur
istirahat pasien dan lamanya waktu dapat membantu untuk menyiapkan energi
tidur yang cukup bagi klien
4. Hindari aktivitas perawatan selama 4. Aktivitas di periode istirahat dapat
periode istirahat menyebabkan pasien kekurangan tenaga
sehingg pasien lemas.
5. Bantu dengan aktivitas fisik teratur 5. Dengan aktivitas yang teratur
menyebabkan tubuh terbiasa sehingga
klien bisa lebih kuat melakukan aktivitas
6. Batasi rangsangan lingkungan 6. Dengan membatasi rangsangan dapat
mengurangi tingkat distress klien yang
membutuhkan tenaga
7. Kolaborasikan dengan ahli terapi 7. Merencanakan dan memantau program
okupasi, fisik dan atau rekreasi aktivitas
8. Rujuk pada pelayanan kesehatan 8. Mendapatkan pelayanan tentang bantuan
rumah perawatan di rumah sesuai dengan
kebutuhan
9. Rujuk pada ahli gizi untuk 9. Meningkatkan asupan makanan yang
merencanakan makanan tinggi energi
10. Ajarkan tentang pengaturan 10. Mencegah kelelahan
aktivitas dan teknik manajemen waktu.
11. Jelaskan pentingnya istirahat dalam 11. Tirah baring dipertahankan selama fase
rencana pengobatan akut untuk menurunkan kebutuhan
metabolik, menghemat energi untuk
penyembuhan. Pembatasan aktivitas
ditentukan dengan respon individual pasien

40
terhadap aktivitas

2.4.5 Evaluasi
1. Nyeri dada dapat teratasi
2. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
3. Klien dapat beraktivitas dengan baik.
4. Perawatan diri atau kebutuhan dasar klien terpenuhi

BAB 3
PENUTUP

Penyakit pada lingkungan kerja dapat terbentuk dari paparan debu.


Silikosis adalah penyakit paru akibat inhalasi kristal silikon dioksida (silika).

41
Penyakit silikosis memiliki tiga jenis tingkatan, yaitu silikosis kronis simplek,
silikosis akselerata, dan silikosis akut. Perbedaan dari ketiga jenis silikosis
berdasarkan lamanya pasien terpapar dalam lingkungan yang berpotensi.
Asbestosis adalah fibrosis intertestial kronis yang menyebar pada
parenkim paru akibat menghirup serat asbes. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan terkena asbestosis adalah para pekerja industri, paparan dari
keluarga yang bekerja di lingkungan tersebut, dan perokok yang bekerja di
paparan asbestosis memiliki resiko lebih tinggi.
Asuhan keperawatan pada asbesitosis dan silikosis hampir sama karena
mereka sama-sama terpapar oleh polisi debu campuran yang bebas. Dengan
menjaga kebersihan diri akan meminimalisasi penyebaran debu asbes dan silika
yang banyak terdapat di pabrik.

42
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Djojodibroto, R. Darmanto. 2009. Respirology (Respiratory Medicine). Jakarta:
EGC.
Jeyaratman, J., Koh, David. 2010. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta:
EGC.
Marilyn E, et all. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Ed rev. Jakarta:
Rineka Cipta. 10
Owh, D.P., ILO & WHO. (2005). Pedoman bersama ILO dan WHO tentang
pelayanan kesehatan dan HIV/AIDS. Jakarta : Direktorat pengawasan
kerja.
Pandita, S. (2010). Sejua tenaga kerja Asia diderita penyakit akibat kerja. Di
peroleh tanggal 1 oktober 2014 jam 21: 45 WIB diakses dari http:
//kampungtki.com/
Price, S.A.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.
Sari, R. Y.N.I (2009). Pemakaian alat pelindung diri sebagi upaya dalm
memberikan perlindungan bagi tenaga kerja. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Sudoyo, A.W. (2006) . Ilmu penyakit dalam. Jakarta : Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

43

Anda mungkin juga menyukai