Anda di halaman 1dari 11

Perspektif Baru dalam Penulisan Sejarah Islam

Dr. H. M. Yakub, MA
A. Pendahuluan
Karya-karya sejarah dalam peradaban Islam cukup menonjol. Ini terjadi karena karya-
karya sejarah Islam terkait dengan kepentingan studi al-Qur’an dan Hadits- dua sumber utama
agama Islam. Selain itu, sejarah bagi umat Islam tidak hanya bermanfaat sebagai cermin dan
pedoman, tetapi juga menjadi alat untuk memahami secara lebih tepat sumber-sumber Islam.
Al-Qur’an selain memuat kabar-kabar sejarah yang perlu diperjelas lebih lanjut, juga dalam
penafsiran ayat-ayatnya diperlukan pengetahuan sebab-sebab turunnya (asbab al-nuzul).
Untuk dapat menilai sebuah hadis diperlukan pengetahuan latar belakang terbitnya (asbab al –
wurud) dan riwayat hidup para perawi (rijdl al-hadis). Dua ilmu itu ditulis dalam kerangka
memperoleh pemahaman ayat baik yang berkaitan dengan kabar-kabar sejarah maupun yang
lainnya.
Dari keperluan itulah lahir karya-karya sejarah. Namun, pada awalnya karya-karya itu
belum ditulis dengan menggunakan metode historiografi. Artinya, sejarah tidak diletakkan
dan ditulis dalam kerangka klasifikasi ilmu pengetahuan tertentu tapi bercampur dengan
topik-topik lain. Baru pada abad ke 9 sarjana Islam melakukan klasifikasi ilmu sejarah secara
spesifik[ CITATION Mui88 \l 1033 ] . Sarjana yang melakukan pertama kali adalah al-Kindi.
Kemudian disusul al-Farabi dalam karyanya Ihsyd’ al-ulum, Ibn Shina, al-Ghazali, dan Ibn
Rusyd [ CITATION Nou96 \l 1033 ]. Itulah sebabnya, meski tokoh-tokoh tersebut banyak
membahas sejarah Islam, namun tidak dikenal sebagai ulama/ahli sejarah.
Karya-karya sejarah Islam, karena itu mmeiliki historiografi yang khas dan terus
berkembang ke arah historiografi kontemporer dengan ciri-ciri risetnya yang amat mendalam.
Artinya, karya-karya sejarah umat Islam tidak semata-mata berdasarkan riwayat tertentu saja
yang diujarkan secara naratif, tetapi sudah melalui riset ilmiah dengan komparasi-
komparasinya yang amat kritis dengan alat bantu sosiologi, arkeologi, antropologi dan ilmu-
ilmu lain [ CITATION Kar92 \l 1033 ]. Meski pada awalnya, langkah ini dilakukan oleh para
orientalis namun kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana Muslim dengan melalui pelbagai
adopsi dan seleksi secara kritis pula. Dari sinilah historiografi Islam berkembang bukan
semata-mata sebagai alat mempelajari al-Qur’an dan Hadis (sudut pandang center) saja, tetapi
telah beralih ke arah “periphery” atau pinggiran.
B. Sejarah Center dan Periphery
Sejarah Islam selama 14 abad merupakan sejarah yang berpandangan dari “center”.
Dalam arti sejarah Islam bukan merupakan sejarah totalitas, masih merupakan sejarah
particular. Sebab, seperti dikatakan Richard W. Bulliet, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi
Azra [ CITATION Azy06 \l 1033 ] , sejarah Islam selama 14 abad adalah cerita tentang Nabi
Muhammad dan penguasa-penguasa Muslim di kawasan Arab.
Pandangan dari “center” tersebut menggambarkan sejarah Islam sebagai pertumbuhan
dari nukelus tunggal, yang kemudian menyebar dan menyatu dalam institusi yang diberi label
“kekhalifahan” [ CITATION Azy02 \l 1033 ]. Penglihatan sejarah Islam dari center merupakan ciri
historiografi yang mendominasi buku-buku sejarah selama ini. Model ini kemudian dikritik
oleh intelektual kontemporer sebagai tidak sesuai lagi dan tidak proporsional mengingat umat
Islam Arab hanya berjumlah sekitar 13 persen dari populasi umat Islam di dunia.
Selain pandangan dari “center” itu, adalah pandangan dari “periphery”, yakni yang
mengkaji sejarah sejarah Islam yang ada di kawasan non Arab, dan menyangkut penyebaran
Islam di wilayah ini, oleh para ulama. Meski kajian sejarah model ini sangat muda sekali
dibandingkan dengan model kajian sejarah yang pertama (kajian model “center”) [ CITATION
Azy02 \l 1033 ]. Hal ini terjadi karena para penulis sejarah Islam tidak lagi didominasi oleh
orang-orang Arab sendiri, tetapi oleh para sarjana dari berbagai Negara Islam. Orang-orang
semacam Hamka, Joesoef Sou’yb, Abu Bakar Atjeh, untuk menyebut beberapa diantaranya,
adalah penulis sejarah Islam yang juga memasukkan elemen-elemen non-Arab sebagai bahan
baku materi tulisan sejarah [ CITATION Azy02 \l 1033 ].
Arti sejarah Islam mengalami pergeseran baru seiring dengan perluasan wilayah yang
didiami. Ekspansi-ekspansi geografis umat Islam ke Spanyol, Afrka, Asia, dan Asia Minor
berakibat pada pengayaan kebudayaan dan peradaban Islam melalui akulturasi dan
enkulturasi. Evolusi dan bahkan revolusi kultural, politik, dan lain-lainnya menyebabkan
Islam menampilkan diri sebagai peradaban dengan corak yang tidak lagi tunggal. Aspek-aspek
inilah yang menjadikan sejarah Islam dilihat dari optik center tidak memadai lagi. Diperlukan
optik-optik dan metode baru untuk melihat sejarah Islam secara lebih komprehensif dengan
menyertakan kawasan lain sebagai materi tulisan sejarah atau obyek penelitian sejarah Islam
[ CITATION MGS74 \l 1033 ].
Studi sejarah tersebut mengalami kompleksitas-disebabkan oleh masalah-masalah yang
bersifat semantik, maupun masalah-masalah yang lebih bersifat teknis dn praktis, menyangkut
hal-hal semacam metodologi. Kompleksitas studi sejarah semakin jelas jika kita
mempertimbangkan perkembangan-perkembangan baru dalam ilmu ini.
Kerangka dan pendekatan-pendekatan analitis yang diperkenalkan secara tentative pada
1920-an dan 1930-an ternyata mendorong pemikiran ulang atas studi sejarah konvensional.
Terjadi pergeseran tradisi kesejarahan. Semula mereka selalu menenggelamkan diri ke dalam
lautan arsip dan dokumen yang menghasilkan karya-karya yang terutama berkenaan dengan
tema-tema politik, administratif, konstitusi, dan diplomatik [ CITATION Azy02 \l 1033 ].
Sejarah mainstream memang berkutat pada sejarah tentang politik. Sejarah politik yang
direkonstruksi dan disosialisasikan kepada masyarakat dan menjadi sesuatu yang utama,
dominan, mainstream. Sejarah politik seperti ini menuai sasaran kritik karena beberapa hal: 1)
kehidupan dan kebudayaan manusia tidaklah melulu politik; politik hanyalah merupakan salah
satu aspek saja dari perjalanan sejarah anak manusia. 2) perjalanan sejarah manusia secara
objektif memang tidak hanya ditentukan politik dan para penguasa.
Dan 3) sejarah tentang politik, yang nyaris merupakan sejarah para penguasa adalah
sejarah elitis, sejarah tentang mainstream, atau mereka yang dipandang sebagai mainstream.
Dalam sejarah seperti ini tidak ada tempat bagi “orang kecil”, “massa” apalagi kelompok-
kelompok gerakan yang dipandang berada diluar mainstream; mereka ini kemudian dianggap
sebagai “people without history”, orang-orang tanpa sejarah; atau bahkan mungkin harus
dilenyapkan dari sejarah.
C. Perspektif Baru Historiografi Islam
Berkenaan dengan kritik sejarah ini, muncul sejarah alternatif yang kemudian popular
disebut sebagai “sejarah sosial” (social history), yang secara sederhana mempunyai pengertian
dan cakupan yang dapat dikategorikan menjadi tiga: (Azra:1999). Pertama, sejarah sosial,
yang bisa disebut juga sejarah structural (structural history) dan sejarah total (total history),
seperti yang dikembangkan oleh mazhab Annales, yang mencakup sejarah tentang kehidupan
sehari-hari, yang seiring telah menjadi hal-hal yang taken for granted.
Padahal, kejadian sehari-hari, jika terus berulang-ulang akan menciptakan struktur yang
mempengaruhi mentalitas dan kebudayaan manusia. Sebagai contoh adalah karya tentang
sejarah Islam yang ditulis oleh M. M. Ahsan, Social Life Under the Abbasid (1979). Dan
contoh yang baik dalam kajian historis Asia Tenggara adalah karya Anthony Reid, Southeast
Asia in the Age of commerce 1450-1680 (2 vol; 1988 dan 1993).
Kedua, sejarah sosial sebagai sejarah “protes movement”, sejarah gerakan-gerakan sosial
yang mewujudkan diri ke dalam bentuk gerakan-gerakan protes, yang selama ini dipandang
sebagai berada diluar mainstream. Sebagai contoh adalah karya Sartono Kartodirdjo tentang
“Pemberontakan Petani Banten 1888” dan “Gerakan Protes di Pedesaan Jawa pada abad 19
dan awal abad 20”, merupakan contoh-contoh terbaik dalam kategori ini.
Ketiga, sejarah sosial dalam pengertian lebih sempit dan terbatas dibandingkan kategori
pertama di atas. Dalam kategori ini, sejarah sosial membatasi pengertian “sosial” pada
beberapa aspek yang dipandang paling penting –selain politik- dalam sejarah manusia, tanpa
harus pergi ke rincian lebih jauh tentang sejarah “daily life”. Dalam hal ini, karya Badri Yatim
tentang Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925
menurut penilaian Azra [ CITATION Azy99 \l 1033 ].
Dalam konteks perkembangan ilmu sejarah di Indonesia, khususnya pada jurusan Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI), menurut Azyumardi masih tidak bisa menggembirakan. Sebab
pendekatan, kurikulum, dan silabus yang digunakan tertinggal beberapa dasawarsa
dibandingkan perkembangan pada tingkat internasional [ CITATION Azy99 \l 1033 ].
Dalam perkembangan penyajian sejarah tentang Islam telah ada model pendekatan
“general history” atau “total history”. Yang menggunakan model ini misalnya adalah karya
klasik Ibn Khaldun, Kita al-ibar wa Diwan al-Muhtada wa al-Khabar fi Ayyam al-Arab wa al-
Ajam wa al-Barbar wa Man Asarahum min Dzawi Al-Sultan al-Akbar, dan tentu saja
pendaluan kitab ini, al-Muqaddimah, yang diterbitkan secara terpisah.
Contoh yang lebih belakangan adalah yang dilakukan oleh misalnya Marshall G. S
Hodgson dalam karyanya The Venture of Islam; Conscience and History in World
Civilization (1974) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, diterbitkan oleh
Penerbit Paramadina Jakarta.
Karya Hodgson merupakan salah satu usaha penting di masa sekarang yang berupaya
memberikan kategori-kategori yang dapat digunakan untuk memahami sejarah Islam dalam
konteks seluruh peradaban, termasuk dunia pertanian menetap, kota-kota dan kebudayaan
tinggi (high culture). Asumsi dari Hodgson adalah, dalam sejarah umum dunia terdapat
“sejarah Islam”.
Dengan kata lain, terdapat karakteristik-karakteristik struktur dan perkembangan yang
umum bagi masyarakat dimana Islam menjadi agama dominan. Sejarah Islam, karenanya,
hanya bisa dipahami dalam kerangka lebih luas; tidak terbatas pada Islam, sejarah
masyarakat-masyarakat muslim dan “Islamicate”, tetapi dalam konteks sejarah manusia dan
peradabannya secara keseluruhan [ CITATION Azy99 \l 1033 ].
Selain Hodgson ada juga Ira M. Lapidus dengan bukunya A History of Islamic Societies
(1988). Pendekatan Lapidus dapat digolongkan sebagai pendekatan “total history” yang
berusaha secara lengkap menyorot bagaimana konsep-konsep Islam tentang sifat realitas
(hakikat) dan makna pengalaman kemanusiaan yang terdapat dalam al-Qur’an dan tafsir-
tafsirnya, dan sekaligus dalam pikiran dan perasaan kaum muslim yang memberi bentuk bagi
institusi-institusi dan gaya hidup masyarakat-masyarakat Muslim.
Selanjutnya, bagaimana secara timbal balik pengalaman-pengalaman politik dan sosial
masyarakat-masyarakat Muslim mengekspresikan nilai-nilai dan simbol-simbol Islam. Sejarah
Islam, demikian argument Lapidus, adalah sejarah dialog antara ranah simbol-simbol agama
(realm of religious symbols) dengan dunia realitas sehari-hari; sejarah tentang interaksi antra
nilai-nilai Islam dengan pengalaman-pengalaman historis masyarakat-masyarakat Muslim
yang berbeda, namun saling berkaitan [ CITATION Azy02 \l 1033 ].
Dalam melakukan pembahasan terhadap berbagai isu menyangkut sejarah masyarakat-
masyarakat Muslim, Lapidus menggunakan dua pendekatan: pertama, historis dan
evolusioner, yang digunakan untuk mengkaji pembentukan masyarakat-masyarakat Muslim
dan perubahannya sepanjang sejarah. Pendekatan kedua, analitas dan komparatif, yang
digunakan untuk memahami variasi-variasi di antara masyarakat-masyarakat Muslim
[ CITATION Azy02 \l 1033 ].
Terdapat pembicaraan tentang tipologi penulis sejarah atau sejarawan, yaitu sejarawan
profesional (historian by profession) atau sejarawan akademik (academic historian), dan
sejarawan informal (informal historian). Menurut Kuntowijoyo [ CITATION Kun03 \l 1033 ]
sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan,
mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang ditulis tentang sejarah.
Sedangkan sejarawan informal, sebagai perbandingan dengan sejarawan akademik, dapat
didefinisikan mereka yang melakukan kajian sejarah bukan sebagai tugas akademik, namun
lebih sebagai pengetahuan dan penyebaran informasi tentang sejarah, dilakukan lebih
sederhana bila dibandingkan dengan yang dilakukan oleh sejarawan akademik atau sejarawan
informal.
D. Historiografi Modern: Suatu Alternatif
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa pengkajian sejarah konvensional maupun
historiografi Islam klasik, hanya menitikberatkan pada sejarah politik dan sejarah orang-orang
besar/terkenal saja, memasukkan peristiwa-peristiwa berdasarkan pembabaran dalam suatu
proses yang linier. Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan mellaui peristiwa dan
tokoh besar dengan mendokumentasikan asal usul kejadian, menganalisis genealogi, lalu
membangun dan mempertahankan singularitas peristiwa, memilih peristiwa yang dianggap
spektakuler (seperti perang).
Sejarah politik seperti ini menuai saran dan kritik karena beberapa hal: 1) kehidupan dan
kebudayaan manusia tidaklah melulu politik; politik hanyalah merupakan salah satu aspek
saja dari perjalanan sejarah anak manusia. 2) perjalanan sejarah manusia secara objektif
memang tidak hanya ditentukan politik dan para pengusaha. dan 3) sejarah tentang politik,
yang nyaris merupakan sejarah para penguasa adalah sejarah elitis, sejarah tentang
mainstream, atau mereka yang dipandang sebagai mainstream. Sementara masyarakat Muslim
tidak mempunyai tempat dalam sejarah Islam.
Berkenaan dengan kritik sejarah ini, muncul sejarah alternatif yang kemudian popular
disebut sebagai “sejarah sosial” (social history), seperti yang dikembangkan oleh mazhab
Annales, yang mengkaji sejarah tidak hanya pada sejarah politik namun penulisan sejarah
yang berdimensi majemuk, termasuk di dalamnya aspek ekonomi dan sosial, sekaligus juga
mendorong munculnya kesadaran akan pentingnya berbicara konteks dimana
peristiwa/kejadian sejarah ditemukan. Hanya dengan begitu, sejarah politik tidak lagi sekedar
cerita tentang pergantian kekuasaan, pertumpahan darah diantara elit politik, dan sebagainya.
Politik singkatnya harus dijadikan bagian dari “general history” [ CITATION Azy99 \l 1033 ].
Semangat penulisan sejarah seperti itu telah muncul lama di Perancis pada decade 1920-
an yaitu ditandai adanya gerakan “sejarah jenis baru” yang dipimpin Marc Bloch dan Lucian
Febvre. Melalui jurnal Annales d’histoire Economique et Sociale mereka mengkritik tajam
sejarawan tradisional yang menekankan pada sejarah politik dan menggantikannya dengan
“sejarah yang lebih luas dan lebih manusiawi”, suatu sejarah yang berbicara tentang semua
kegiatan manusia dan kurang berminat kepada penceritaan kejadian dibanding kepada analisis
struktur [ CITATION Pet01 \l 1033 ].
Menurut Lloyd[ CITATION Chi88 \l 1033 ] wacana sejarah sosial berkaitan erat dengan
sejarah masyarakat dan merupakan cabang baru dalam studi sosial. Sejak PD II aliran Marxis
dan Annales telah memberi inspirasi bagi penggabungan antara teori sosial abstrak dan
sejarah. Situasi ini dimungkinkan ketika terjadi diskusi tentang bagaimana sejarah dan teori
sosial dapat dipersatukan untuk memberi jalan bagi lahirnya sejarah sosial baru atau sosiologi
sejarah[ CITATION The89 \l 1033 ].
Menurut J. Jean Hecht dalam bukunya Badri Yatim[ CITATION Bad97 \l 1033 ] yang
berjudul Historiografi Islam, secara ideal, sejarah sosial ialah studi tentang struktur dan proses
tindakan serta tindakan timbal balik manusia sebagaimana telah terjadi dalam konteks sosio-
kultural dalam masa lampau yang tercatat. Dengan istilah lain, sejarah sosial yang ideal,
menurut Kuntowijoyo [ CITATION Kun03 \l 1033 ] , sejarah sosial dengan menjadikan masyarakat
secara keseluruhan sebagai bahan garapan sejarah sosial; jadi meneliti masyarakat secara total
atau global. Oleh karena itu, sejarah sosial disebut juga dengan total history atau general
history. Dengan demikian, mazhab Annales yang telah meletakkan tonggak baru pengkajian
sejarah jenis baru. Misalnya, Perancis mulai akrab dengan penggunaan konsep-konsep ilmu
sosial lain di luar sejarah, termasuk psikologi, demografi, sosiologi dan geografi [ CITATION
Art89 \l 1033 ].
Adanya kesadaran sejarah yang berdimensi majemuk, termasuk di dalamnya aspek
ekonomi dan sosial, sekaligus juga mendorong munculnya kesadaran akan pentingnya
berbicara konteks di mana peristiwa/kejadian sejarah ditemukan. Jadi, bukan hanya bicara
peristiwa (event), melainkan struktur yang mewadahi peristiwa itu. Sejarawan mulai akrab
dengan model-model perubahan sosial yang diadopsi dari disiplin lain khususnya sosiologi.
Bukan untuk menguji teori, melainkan memanfaatkan teori untuk mengajukan pertanyaan,
menganalisis dan menerangkan peristiwa sejarah yang diteliti. Sejarawan mencoba membuat
generalisasi/teori dari temuannya.
Menurut Kuntowijoyo[ CITATION Kun03 \l 1033 ] memberikan beberapa contoh model yang
telah dipakai sejarawan dalam merenkonstruksi masa lampau sehigga mempunyai daya
menerangkan yang lebih kuat tanpa harus membuat generalisasi. Pertama, model evolusi,
untuk menjelaskan proses perubahan dari masyarakat sederhana menuju masyarakat kompleks
(misalnya pertumbuhan desa menjadi kota atau perubahan kota pusat kerajaan tradisional
menjadi kota modern).
Kedua, model lingkaran sentral, yaitu model pengkajian dan penulisan sejarah yang
bertolak dari titik sejarah yang sudah menjadi. Biasanya dimulai dengan lukisan sinkronis
tentang masyarakat itu, baru kemudian secara diakornis ditunjukkan pertumbuhannya.
Muisalnya tulisan Ladurie tentang petani Perancis abad ke-16 dan ke-17. Ladurie memulai
tulisannya dengan menjelaskan adanya gejala baru pemilikan tanah dan konsekuensi sosial-
ekonominya sebagai basis uraian diakronis perkembangan petani di Languedoc. Peledakan
penduduk membawa konsekuensi sosial ekonomi dan masing-masing menjadi kekuatan
sejarah yang mentransformasikan Languedoc.
Ketiga, model interval, merupakan kumpulan dari lingkungan sinkronis yang diurutkan
dalam kronologi sehingga tampak perkembangannya, seklaipun tidak nampak benar hubungan
sebab akibat. Misalnya, data mengenai laporan pedesaan di pedesaan Pati yang dimuat dalam
Eindresume 1868 dikembangkan oleh Burger dengan meneliti desa yang sama pada tahun
1928, dan oleh Bachtiar Rivai dikaji kembali pada tahun 1976. Interval waktu yang cukup
lama akan memberi gambaran yang lebih lengkap tentang perubahan sosial ekonomi pedesaan
Pantai Utara Jawa bagian Tengah itu melalui potret-potret data sinkronis.
Keempat, model tingkat perkembangan, yaitu menerapkan teori perkembangan
masyarakat yang diangkat dari disiplin sosiologi, misalnya model perkembangan masyarakat
dari Karl Marx (komunisme awal, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme) dan dari
Rostow tentang perkembangan ekonomi dari yang sederhana hingga konsumsi tinggi. Untuk
penelitian sejarah, pendekatan terhadap tahapan ekonomi tidak perlu harus menggunakan
ukuran-ukuran ekonomi.
Tahapan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dikemukakan Rostow yang menggunakan
ukuran produktivitas sebagai kriteria tahapan, hanya berlaku dalam masyarakat industrial dan
kurang relevan untuk ekonomi pedesaan/petani di masa lampau. Tulisan Neil Smelser
menggunakan model diferensiasi structural untuk melukiskan tahap-tahap perkembangan
revolusi industry dan masyarakat Inggris khususnya golongan pekerja.
Kelima, model jangka panjang-menengah-pendek dari Fernand Braudel. Membagi
sejarah ke dalam tiga jenis, yaitu (1) sejarah jangka panjang yang perubahannya sangat
lamban, merupakan perulangan konstan dan perkembangan waktu yang tak dapat dilihat. Ini
menyangkut hubungan manusia dengan lingkungan atau disebut geographical time;. (2)
sejarah jangka menengah, perkembangan yang lamban tetapi dapat dirasakan ritmenya. Di
sinilah letak sejarah sosial itu sendiri.
Ini disebut social time; (3) sejarah jangka pendek, sejarah dari kejadian-kejadian
(l’historie evenementielle) atau sejarah berjalan cepat, pendek, fluktuaktif yang
menggelisahkan. Ini disebut individual time. Khusus mengenai sejarah struktur, dalam setiap
struktur ada elemen perubahan, gerakan, sehingga struktur juga tampak sebagai konjungtur.
Kelima, model sistematis, cocok untuk menelusuri sejarah sosial dalam arti perubahan sosial.
Misalnya karya Wertheim, Indonesia Society in Transition ataupun karya sosiolog Selo
Sumarjan, Social Change in Jogjakarta, yang menggambarkan terjadinya perubahan lembaga-
lembaga dan peranan sosial dalam kurun sejarah tertentu.
Namun demikian harus segera diingatkan, meskipun penggunaan model atau tipe ideal
bermanfaat untuk melukiskan aspek-aspek sosial ekonomi masa lalu, sejarawan perlu waspada
bahwa penggunaan model akan membuat mereka tidak lagi memperhatikan perubahan-
perubahan dari waktu ke waktu. Menggunakan model tanpa mengakui kegunaannya atau
tanpa menyadari status logikanya mengakibatkan sejarawan terjebak ke dalam kesulitan yang
tidak perlu.
Konsep sejarah sosial cukup problematic dan lingkup pekerjaannya cukup luas. Ia
meliputi ‘sejarah masyarakat dalam lingkup kecil’ (microscopic) seperti kajian Le Roy
Ladurie tentang petani Languadoc dan Montaillou (semuanya didasarkan pada pengakuan
personal), melalui studi kesadaran kelas dan interaksi kelas seperti ditulis E.P Thompson,
hingga ‘kajian structural jangka panjang dalam skala makro’ (macroscopic) seperti yang
dilakukan Barrington Moore tentang sejarah politik, yang membandingkan revolusi di
berbagai tempat.
Barrington Moore menjelaskan tentang ‘latar belakang sosial kediktatoran dan
demokrasi’ dari Inggris abad ke 17 hingga Jepang abad ke-19; Immanuel Wallerstein tentang
“New World-System” dan Ferdinand Braudel tentang sejarah jangka panjang-menengah-
pendek yang berlangsung di Dunia Laut Tengah abad ke 15-17.
Sejarah sosial dapat menjadi ilmiah jika ia berdiri pada realism dan metodologi
strukturisme. Salah satu konsekuensi pokok dari metode itu bagi pengetahuan sosial adalah
menyediakan landasan untuk bersatunya sosiologi dan sejarah.
Studi sejarah sosial saat ini secara resmi/kelembagaan dibagi antara sejarah di satu pihak
dan studi sosial di lain pihak. Pembagian ini berasal dari pemikiran bahwa sejarah berurusan
dengan perubahan, dengan masa lalu, dengan hal-hal unik atau khusus; dan studi sosial
berhubungan dengan masalah kontinyuitas struktur dan generalisasi, menyangkut kejadian
sekarang. Tetapi sudah pasti pembagian itu gagal sepenuhnya untuk menjelaskan situasi yang
sesungguhnya, terutama dalam hal penjelasan sejarah sosial dan ekonomi. Pemisahan seperti
itu merupakan kesalahan ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa sebenarnya tidak ada
pemisahan kejadian yang terjadi sekarang ini.
Dalam perkembangan penyajian sejatrah tentang Islam telah ada model pendekatan
“general history” atau “total history”. Contoh klasik terbaik dalam penulisan “general” atau
“total history” adalah karya Ibn Khaldun, kitab al-‘Ibar wa Diwan al-muhtada wa al-Khabar fi
Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man Asaharum min Dzawi al-Sultan al-Akbar,
dan tentu saja pendahuluan kitab ini, al-Muqaddimah yang diterbitkan secara terpisah.
Dalam al-Muqaddimah, Ibn Khaldun tidka sekedar menarasikan kejadian-kejadian masa
lampau, apalagi membatasinya pada peristiwa-peristiwa politis. Lebih jauh, untuk
menjelaskan kejadian-kejadian pada masa silam, ia tidak menggunakan ilmu sejarah saja,
tetapi juga ilmu-ilmu lain, termasuk geografis, klimatologi, Antropologi, etnologi, filologi,
astronomi, dan meteorologi, ekonomi dan politik, kebudayaan, logika, filsafat, agama,
sosiologi, sastra, dan banyak lagi. Bahkan dalam analisisnya tentang tumbuh, bangkit dan
punahnya suatu kebudayaan, ia membangun kerangka teori yang disebut para sejarawan
Annales sebagai “long-term structural” yang membentuk, menetukan atau mempengaruhi
perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia.
Contoh yang lebih belakangan adalah yang dilakukan oleh misalnya Marshall G. S.
Hodgson dalam karyanya The Venture of Islam; Conscience and History in World
Civilization (1974) yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, diterbitkan oleh penerbit
Paramadina Jakarta.
Karya Hodgson merupakan salah satu usaha penting di masa sekarang yang berupaya
memberikan kategori-kategori yang dapat digunakan untuk memahami sejarah Islam dalam
konteks seluruh peradaban, termasuk dunia pertanian menetap, kota-kota dan kebudayaan
tinggi (high culture). Asumsi dari Hodgson adalah, dalam sejarah umum dunia terdapat
“sejarah Islam”.
Karya Hodgson juga merupakan salah satu model general history atau total history yang
menempatkan sejarah Islam dan masyarakat Muslim dalam totalitas peradaban manusia. Ia
memakai “pendekatan peradaban” (civilization approach), seperti yang digunakan oleh Ibn
Khaldun, bergerak dalam analisis tekstual yang biasa disebut orientalis. Di dalam
karangannya terlihat jelas bahwa Hodgson memandang “pengembaraan” (venture) Islam
merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dalam peradaban dunia.
Sejarah Islam, bagi Hodgson, hanya bisa dipahami dalam kerangka lebih luas; totalitas
tidak terbatas pada Islam, sejarah masyarakat-masyarakat Muslim (Islam-dom), dan produk
peradaban yang berkarakter Islam (Islamicate), tetapi juga dalam konteks sejarah manusia dan
peradabannya secara keseluruhan. Pendekatan totalitas peradaban yang dipahami Hodgson
tentu saja berkaitan dengan pendekatan yang sama digunakan koleganya, sejarawan terkenal
William McNeill, yang melalui karyanya The Rise of the West telah memulai penulisan
kembali sejarah dunia. McNeill dalam karyanya itu menempatkan kebangkitan modernitas
Eropa dalam konteks seluruh sejarah umat manusia, termasuk di dalamnya kontribusi para
ilmuwan Muslim.
Tidak banyak yang tahu bahwa Hodgson sebenarnya juga sejarawan tentang sejarah
dunia. Dalam kaitan inilah Hodgson ingin menempatkan sejarah yang disebut Islamicate
dalam konteks sejarah Asia Barat dan seluruh sejarah umat manusia sebelum kedatangan
Islam. Dari segi pendekatan, pendekatan Hodgson juga mirip dengan pendekatan Al-Thabari,
sejarawan besar Muslim lain yang terkenal dnegan karya monumentalnya, Tarikh Thabari.
Memandang hal tersebut, The Venture secara keseluruhan (aslinya tiga jilid) merupakan
salah satu usaha terpenting untuk memberikan kategori yang dapat digunakan untuk
memahami sejarah kaum Muslimin dalam konteks seluruh peradaban, termasuk dunia
pertanian menetap, kota-kota, dan kebudayaan tinggi (high culture).
Asumsi dasar Hodgson bahwa dalam sejarah dunia terdapat “sejarah Islam” atau
sekurang-kurangnya “sejarah kaum Muslimin” mirip dengan kerangka mazhab Annalies. Bagi
Hodgson terdapat struktur-struktur yang khas dalam perkembangan umum masyarakat-
masyarakat tempat Islam menjadi agama yang dominan. Struktur-struktur itu, dalam banyak
hal, dibentuk oleh con-science, kesadaran keagamaan yang tentu agak mislesding. Con-
science, seperti biasa diduga, adalah istilah yang disebut para sejarawan mazhab Annales
mentalite, sejarah mentalitas.
Selain Hodgson ada juga Ira M. Lapidus dengan bukanya A History of Islamic Societes
(1988). Pendekatan Lapidus dapat digolongkan sebagai pendekatan “total history” yang
berusaha secara lengkap menyorot bagaimana konsep-konsep Islam tentang sifat realitas
(hakikat) dan makna pengalaman kemanusiaan yang terdapat dalam al-Qur’an dan tafsir-
tafsirnya, dan sekaligus dalam pikiran dan perasaan kaum muslim yang memberi bentuk bagi
institusi-institusi dan gaya hidup masyarakat-masyarakat muslim mengekspresikan nilai-nilai
dan simbol-simbol Islam. Sejarah Islam, demikian argument Lapidus, ada sejarah dialog
antara ranah simbol-simbol agama (realm of Religius Symbols) dengan dunia realitas sehari-
hari; sejarah tentang interaksi antara nilai-nilai Islam dengan pengalaman-pengalaman historis
masyarakat-masyarakat Muslim yang berbeda, namun saling berkaitan.
Lapidus tidak hanya memberikan contoh yang baik tentang transisi penulisan sejarah
kaum muslimin, dan sejarah politik ke sejarah masyarakat; tetapi juga dari sejarah Islam yang
selama ini cenderung too middle Eastern Oriented menjadi sejarah Muslim mondial. Dalam
konteks terakhir ini, Lapidus merevisi pandangan yang mapan di kalangan banyak Islamis
Barat, dan juga sebagian sarjana Muslim Timur Tengah. Padahal, fakta menunjukkan, jumlah
kaum Muslim di Timur Tengah jauh lebih sedikit dibandingkan mereka yang hidup di Asia
Selatan, Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Afrika. Dan ini tidak bisa lagi diabaikan.
Dalam menunjukkan pembahasan terhadap berbagai isu menyangkut sejarah masyarakat-
masyarakat Muslim, Lapidus menggunakan dua pendekatan: pertama, Historis dan
Evolusioner, yang digunakan untuk mengkaji pembentukan masyarakat-masyarakat Muslim
dan perubahannya sepanjang sejarah. Pendekatan kedua, Analitas dan komparatif, yang
digunakan untuk memahami variasi-variasi di antara masyarakat-masyarakat Muslim.
Pendekatan Lapidus ini didasarkan pada sejumlah asumsi historis dan metodologis.
Asumsi pertama, sejarah seluruh masyarakat dapat disajikan dalam kerangka sinstem-sistem
institusional. Suatu institusi, apakah dinasti (empire), modus pertukaran ekonomi, keluarga
atau praktek keagamaan merupakan aktivitas seseorang atau kelompok manusia yang
dilakukan dalam hubungan yang sudah terpolakan dengan manusia-manusia lain sebagaimana
didefinisikan dan dilegitimasikan dalam dunia mental para aprtisipan. Dengan begitu, suatu
institusi meliputi aktivitas, pola hubungan-hubungan sosial dan suatu kontruk mental.
Asumsi kedua adalah bahwa sejarah masyarakat-masyarkat Islam dapat diungkapkan
dalam kerangka empat bentuk dasar institusi: keluarga, termasuk kabilah (tribe), suku dan
komunitas-komunitas kecil lain; ekonomi yakni organisasi produksi dan distribusi barang-
barang material; konsep-konsep kultural keagamaan tentang nilai-nilai mutlak, tujuan-tujuan
kehidupan manusia dan kolektivitas yang dibangun atas dasar konsep-konsep dan komitmen
tersebut; politik, yakni pengorganisasian kekuasaan, penyelesaian konflik dan pertahanan.
Institusi-institusi ini mempunyai kualitas-kualitas khas pada setiap masyarakat, namun saling
berkaitan melalui pola-pola tertentu.
Asumsi ketiga adalah bahwa karakteristik pola-pola institusional dalam masyarakat-
masyarakat Islam mempunyai akar-akarnya dari kebudayaan lampau, misalnya, dalam
kebudayaan Mesopotamia kuno pada abad ke-3 SM. Konstelasi struktur-struktur lineage dan
kekabilahan, keagamaan, dan politik yang tercipta dalam kerajaan dan Negara-kota
Mesopotamia meletakkan dasar bagi perkembangan lebih akhir masyarakat-masyarakat Timur
Tengah sebelum dan setelah munculnya Islam, yang pada gilirannya didifusikan atau
direproduksi dari Timur Tengah kepada masyarakat-masyarakat Muslim lain. Jadi,
masyarakat Muslim Timur Tengah berdasarkan pola institusi-institusi lebih tua yang
kemudian memperoleh warna dan identitas Islam. Institusi-institusi Muslim Timur Tengah ini
selanjutnya berinteraksi dengan institusi-institusi dan kebudayaan di wilayah-wilayah lain
yang pada gilirannya menciptakan sejumlah varian masyarakat-masyarakat Islam.
Mempertimbangkan model-model Historiografi yang telah diuraikan di atas, maka untuk
kepentingan penelitian sejarah peradaban Islam. Dewasa ini para sejarawan muslim patut
mempertimbangkan Historiografi modern sebagai suatu alternative guna memperkaya dan
lebih dapat menyempurnakan karya-karya sejarah Islam di masa yang akan datang.
E. Penutup
Kecenderungan sejarawan masa lalu, pada umumnya menonjolkan sejarah Elite, sejarah
orang-orang ternama, sejarah politik, dan kisah-kisah kebangsawanan. Padahal, kehidupan ini
sejatinya bukanlah diperankan oleh segelintir manusia, sebagaimana yang ditonjolkan dalam
penulisan sejarah selama ini.
Demikianlah pula halnya, penulisan sejarah Islam, hanya menonjolkan sejarah “center”
atau mainstream, mengabaikan sejarah Periphery, seolah-olah Islam hanya berkontribusi di
tempat turunnya agama tersebut. Padahal banyak peristiwa sejarah yang terjadi di luar
kawasan (Arab) Timur Tengah yang juga sangat menarik. Lebih dari itu, seakan-akan cerita-
cerita tentang Islam pada masa lalu hanya ada di bagian bumi tentu saja. Hal ini tentunya akan
menimbulkan bias dalam sejarah.
Dalam perspektif lain sejarah ditulis hanya menonjolkan satu sisi kehidupan tertentu saja,
sementara mengabaikan sisi yang lain. Sudah menjadi kelaziman, yang menjadi daya tarik
sejarawan adalah masalah politik dan kekuasaan serta peperangan dan lainnya. Sedangkan
kehiudpan sosial yang lebih kompleks tidak tersentuh.inilah yang kemudian disebut dengan
sejarah elit atau sejarah politik. Kelemahan model penulisan sejarah seperti ini akan
menimbulkan distorsi dan tidak dapat menggambarkan keadaaan yang sebenarnya secara
obyektif.
Sebagai alternative, saat ini mulai dikembangkan apa yang disebut dengan sejarah sosial
atau sejarah total, yang dapat memberikan gambaran yang utuh suatu fenomena yang diamati
dan dituliskan. Paradigma baru ini banyak didukung oleh sarjana-sarjana barat yang tampil
belakangan untuk menemukan dan menampilkan perspektif baru dalam penulisan sejarah.
Daftar Pustaka

Azra, A. (1999). Hijaz; Antara Sejarah Politik dan Sejarah Sosial. In B. Yatim, Sejarah Sosial
Keagamaan Tanah Suci; Mekah dan Madinah 1800-1925 (pp. 9-11). Jakarta: Logos.
Azra, A. (2002). Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Azyumardi Azra, K. H. (2006). "Historiografi Islam Indonesia" dalam Menjadi Indonesia: 13
Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara. Bandung: Mizan.
Burke, P. (2001). New Perspectives on Historical Writing. Cambridge: Polity Press.
Hodgson, M. G. (1974). The Venture of Islam. Chicago: Chicago University Press.
Kartodirjo, S. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lloyd, C. (1988). Explanation in Social History. New York: Busil Black Weil.
Marwick, A. (1989). The Nature of History. London: Macmillan Ltdd.
Shiddiqy, N. (1996). Jeram-jeram Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Skocpol, T. (1989). Vision and Method in Historical Sociology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Umar, M. (1988). Historiografi Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Yatim, B. (1997). Historiografi Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai