KORPORAT
A. Latar Belakang
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu
konsep bahwa organisasi khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki
berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya yang di
antaranya adalah konsumen karyawan pemegang saham!komunitas dan lingkungan dalam
segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi sosial Dan lingkungan.
oleh karena itu CSR berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan
yakni suatu organisasi terutama perusahaan dalam melaksanakan aktiviitasnya
harusmendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek ekonomi
misalnya tingkat keuntungan atau dengan ide tetapi juga harus menimbang dampak sosial
danlingkungan yang timbul dari keputusannya itu baik untuk jangka pendek maupun untuk
jangka yang lebih panjang. dengan pengertian tersebut CSR dapat dikatakan sebagai
kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan dengan cara
manajemendampak (minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positif terhadap
seluruh pemangku kepentingannya.
Seperti dijelaskan di atas, perusahaan/korporat memiliki tanggung jawab yang lebih luas,
yaitu bukan hanya kepada para pemegang sahamnya saja, melainkan kepada seluruh
pemangku kepentingan. Tanggung jawab korporat tidak hanya meningkatkan kekayaan
pemegang saham, melainkan juga menjamin hak-hak pemangku kepentingan lainnya tidak
dilanggar, yaitu diantaranya diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab berikut ini :
1. Standar pelaporan tanggung jawab korporat yang berterima umum sebagai acuan
pelaporan;
2. Struktur dan mekanisme tata kelola yang mendorong pelaporan tanggung jawab
korporat yang akuntabel dan transparan;
3. Pihak eksternal dan independen yang memberikan asersi atas pelaporan tanggung
jawab korporat;
4. Peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban pelaporan tanggung jawab
korporat; dan
5. Tekanan publik akan praktik dan pelaporan tanggung jawab korporat
Sebagian kepentingan atau hak pemangku kepentingan diatur dalam ketentuan peraturan
perundangundangan. Sebagian lainnya hanya diatur dalam kesepakatan bersama antara
perusahaan dan pemangku kepentingan. Pemenuhan atas kepentingan atau hak pemangku
kepentingan tersebut akan menghindarkan perusahaan dari permasalahan hukum dan
pelanggaran terhadap kesepakatan. Oleh sebab itu perusahaan harus mengakui dan
menghormati kepentingan para pemangku kepentingan tersebut.
Hal tersebut ditegaskan dalam beberapa sub-prinsip OECD ke-4. Sub-prinsip A menyatakan
bahwa hak-hak pemangku kepentingan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan atau melalui kesepakatan bersama harus dihormati. Sub-prinsip B menyebutkan
bahwa pengakuan dan penghormatan atas hak-hak pemangku kepentingan tersebut harus
disertai dengan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan jika hak-haknya tersebut
dilanggar. Secara khusus, sub-prinsip C menggarisbawahi wujud penghormatan dan
pengakuan peran karyawan sebagai salah satu pemangku kepentingan perusahaan melalui
pengembangan mekanisme peningkatan kinerja melalui partisipasi karyawan. Demikian juga
dengan sub-prinsip F yang secara khusus mengatur tentang pengakuan dan penghormatan hak
kreditur melalui keberadaan kerangka penyelesaian kebangkrutan yang efektif dan efisien
serta penegakan hukum yang efektif atas hak-hak kreditur.
Pengakuan dan penghormatan hak pemangku kepentingan untuk ikut serta dalam tata kelola
perusahaan diatur di sub-prinsip D, yaitu melalui jaminan akses informasi yang relevan,
mernadai, andal, tepat waktu dan reguler. Di sisi lain sub-prinsip E bentuk pengakuan dan
pengbormatan hak pemangku kepentingan juga ditunjukkan oleh kebebasan pemangku
kepentingan, khusunya orang dalam perusabaan, uhtuk mengkomunikasikan dugaan tindakan
pelanggaran aturan/etika kepada pihak berwenang. Berbagai peraturan perundang-undangan
di Indonesia telah mengatur hak-hak pemangku kepentingan perusahaan, yaitu diantaranya
sebagai berikut (World Bank, 2010):
1. UUPT
Emiten atau Perusahaan Publik dapat mengungkapkan informasi tersebut di atas pada laporar
tahunan atau laporan tersendiri yang disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan kepada
OJK, seperti laporan keberlanjutan (sustainability report) atau laporan tanggung jawab sosial
perusahaan (corporate social responsibility report)
Pengakuan dan penghormatan atas hak pemangku kepentingan tersebut telah diakomodasi
dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Pemangku kepentingan mendapatkan perhatian
serius dan disebutkan pada hampir cluruh bab dalam Pedoman Umum GCG Indonesia.
Namun secara khusus peran pemangku kepentingan diuraikan di Bab VI. Empat kelompok
pemangku kepentingan menjadi fokus perhatian Pedoman Umum GCG Indonesia, yaitu
karyawan, mitra bisnis, pengguna produk dan jasa, serta masyarakat. Mitra bisnis yang
dimaksud dalam pedoman ini adalah pemasok, distributor, kreditur, debitur, dan pibak
lainnya yang melakukar transaksi usaha dengan perusahaan. Uraian pedoman pokok
pelaksanaan atas peran-peran masing-masing kelompok pada Pedoman Umum ini telah
mengakomodasi substansi prinsip OECD ke-4.
Upaya pemberantasan korupsi telah banyak dilakukan dengan pendekatan hukum yaitu yang
yang tertangkap korupsi diproses secara hukum. Pendekatan ini ternyata kurang memberikan
efek jera sehingga jumlah korupsi tetap tinggi. Pendekatan hukum ini juga membutuhkan
waktu yang lama dan biaya yang besar. Pemberantasan (termasuk pencegahan) memerlukan
pendekatan yang lebih tepat. Pendekatan hukum menyatakan bahwa korupsi adalah masalah
hukum sehingga pendekatan penyelesaiannya melalui hukum. Ternyata pendekatan ini
kurang efektif. Kurang efektifnya pendekatan ini adalah karena kesalahan dalam
merumuskan permasalahannya. Korupsi sebenarnya bukan masalah hukum tetapi masalah
manajemen atau lebih tepatnya masalah manajemen pemerintahan. Korupsi disebabkan
manajemen pemerintahan yang lemah. Korupsi harus dipandang sebagai akibat dari
lemahnya manajemen pemerintahan. Dengan demikian pendekatan penyelesaiannya adalah
dengan pendekatan manajemen. Salah satu bagian pendekatan yang dapat dilakukan adalah
dengan corporate governance
Korupsi merupakan salah satu tindakan kejahatan ekonomi yang luar biasa. Korupsi memiliki
dampak negatif yang sangat besar dan juga sulit untuk diberantas. Korupsi merupakan salah
satu bentuk pelanggaran hak-hak pemangku kepentingan, khususnya masyarakat/publik
karena dana yang dikorupsi merupakan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat/publik
dan dikelola negara.
Tindakan kejahatan korupsi pada urnumnya tidak hanya melibatkan pejabat publik,
melainkan juga dunia usaha. Dunia usaha (korporat) sering kali menjadi pendorong tindakan
korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Oleh sebab itu upaya pemberantasan korupsi
harus mengikutsertakan peran aktif korporat.
Upaya korporat dalamı menghindari penyuapan akan menekan peluang pejabat publik
melakukan korupsi Korporasi juga dapat berperan aktif melaporkan tindakan korupsi yang
dilakukan oleh pejabat publik. Prinsip OECD tidak secara eksplisit mengatur tentang peran
aktif korporat dalam memberantas korupsi.
Namun demikian, sub-prinsip A dan E mengandung semangat anti korupsi yang harus
dilaksanakar perusahaan. Upaya korporat dalam menghindari tindakan korupsi merupakan
penghormatan korporat terhadap hak pemangku kepentingan, yaitu negara dan masyarakat
(society). Sementara itu, peran aktif korporat menjadi whistleblower atas dugaan tindakan
korupsi merupakan salah satu bentuk implementas sub-prinsip E.
Peran korporat dalam memberantas korupsi juga dinyatakan dalam Pedoman Umum GCG
Indonesia. Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum ada yang secara khusus
mengatur peranan korporasi atau dunia usaha dalam memberantasi korupsi. Namun UU No.
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 tahun 2001
yang mengubah UU No. 31 tahun 1999, Pasal 20, menyebutkan bahwa korporasi dapat
terlibat dalam tindakan korupsi. Korporasi melakukan tindakan korupsi jika korporasi
melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri (korporasi) atau orang
(korporasi) lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pengelolaan/ penggunaan dana dari pemerintah yang tidak sesuai dengan peruntukannya
merupakan salah satu bentuk tindakan korupsi yang dapat dilakukan oleh korporat (misalnya
korporat memberikan barang/jasa yang kualitasnya lebih rendah dari spesifikasi yang telah
disepakati pada harga yang sama).
Tindakan korupsi oleh korporat dapat dilakukan dalam bentuk pemberian suap kepada
pejabat publik untuk mempengaruhi keputusan pejabat publik sehingga mengambik
keputusan yang menguntungkan korporasi namun merugikan keuangan negara (misalnya
pemberian suap terkait pengadaan barang/jasa di lingkungar pemerintahan). Pemberian
gratifikasi oleh korporasi kepada pejabat publik termasuk tindakan korupsi Penerimaan dan
pengelolaan dana hasil korupsi oleh korporat sebagai upaya tindakan pencucian uang juga.
termasuk rangkaian tindakan korupsi.
Oleh sebab itu korporasi memegang peranan penting dalam mencegah tindakan korupsi
tersebut. Peran aktif korporasi untuk tidak terlibat tindakan korupsi serta mencegah dan/atau
melaporkan tindakan korupsi akan berdampak signifikan terhadap upaya-upaya
pemberantasan korupsi.
Korporasi dihadapkan pada persaingan yang kompetitif, keterbasan sumber daya, dan tujuan
perolehan laba untuk meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Oleh sebab itu korporasi
melakukan berbagai upaya yang tidak jarang memiliki dampak negatif kepada pihak lain,
termasuk lingkungan. Tidak sedikit aktivitas korporasi menimbulkan kerusakan terhadap
alam. Kerusakan alam tersebut pada akhir akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan dan
mahluk hidup di dalamnya, termasuk kepada manusia. Tindakan korporasi seperti ini pada
akhirnya akan mengancam kelangsung hidup alam, manusia, dan pada akhirnya perusahaan
itu sendiri. Oleh sebab itu diperlukan prinsip dan upaya yang mendorong peran korporasi
dalam mencegah hal tersebut. Korporasi justru harus berperan aktif dalam melestarikan
lingkungan.
Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan secara tersirat terkandung dalam prinsip
OECD ke 4, sub-prinsip A. Lingkungan dan komunitas masyarakat dimana korporasi berada
merupakan salah satu pemangku kepentingan dan menurut sub-prinsip A, seluruh hak
pemangku kepentingan yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan atau melalui
kesepakatan bersama harus dipenuhi. Oleh sebab itu, sesuai dengan sub-prinsip A, korporasi
harus berperan aktif dalam melestarikan lingkungan dan memberdayakan komunikasi
masyarakat disekitarnya.
Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan juga tertuang dalam Pedoman Umum
GCG Indonesia. Pedoman Pokok Pelaksanaan asas Responsibilitas menyatakan bahwa
perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap
masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat
perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. Selain itu, pada bab tentang organ perusahaan,
bagian Pedoman Pokok Pelaksanaan untuk organ Direksi, sub-bagian tanggung jawab sosial,
salah satu fungsi pengelolaan perusahaan yang diemban Direksi adalah terkait dengan
tanggung jawab sosial, yaitu
Dalam UU PT juga terdapat beberapa pengaturan terkait peran aktif perusahaan dalam
melestarikan lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial, yaitu sebagai berikut:
1. Pasal 66 ayat 2 menegaskan bahwa laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan
lingkungan merupakan informasi minimum yang harus disajikan perusahaan dalam
laporan tahunannya.
2. BAB V secara khusus membahas tentang kewajiban perusahaan melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.
Selain mematuhi UU PT, peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan juga
dilakukan dengan memenuhi UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Perusahaan juga harus mentaati peraturan perundang-undangan lain yang
terkait dengan lingkungan. Peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan dapat
diwujudkan melalui beberapa aktivitas sebagai berikut:
1. Penciptaan produk yang ramah lingkungan (misalnya produk yang mudah untuk
didaur ulang).
2. Penggunaan sistem produksi yang efisien dalam mengkonsumsi sumber daya
(misalnya hemat bakar bakar, hemat listrik, air, dan lainnya).
3. Penggunaan sistem pengelolaan polusi yang aman dan efektif.
4. Penggunaan bahan baku secara efisien dan bahan baku ramah lingkungan.
5. Pelaksanaan program restorasi sumber daya alam yang dikonsumsi dalam proses
produksi (misalnya restorasi hutan atau restorasi kawasan tambang)
6. Pemberdayaan ekonomi komunikasi dan masyarakat berbasis kemandirian dan
pembangunan berkelanjutan.
F. Penyaluran Pengaduan oleh Pemangku Kepentingan terhadap Kemungkinan
Pelanggaran Aturan/Etika oleh Orang Dalam Korporat
Berbagai skandal keuangan terbesar pada umumnya melibatkan pimpinan perusahaan dan
banyak pihak yang berkolusi. Keterlibatan manajemen tingkat atas dan/atau kejahatan secara
berkolusi menyebabkan sistem pengendalian internal perusahaan tidak dapat berjalan
optimal. Kejahatan kerah putih tersebut pada umumnya diketahui oleh orang dalam
perusahaan. Namun orang dalam yang mengetahui kejahatan tersebut akan menghadapi risiko
tinggi terhadap keselamatan diri dan/atau keluarganya jika berupaya melaporkannya. Selain
laporan tahunan sebagai komponen dari infornasi tentang tata kelola perusahaan. Informasi
tentang sistem whistleblowing yang wajib diungkapkan antara lain meliputi: (a) cara
penyampaian laporan pelanggaran; (b) perlindungan bagi pelapor; (c) penanganan
pengaduan; (d) pihak yang mengelola pengaduan; dan (e) hasil dari penangangan pengaduan.
Saat ini belum terdapat UU yang secara khusus mengatur tentang perlindungan hukum bagi
whistleblower. UU yang ada saat ini baru mengatur tentang perlindungan saksi dan korban
secara umum, yaitu UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lebih
lanjut, pada tahun 2011, terdapat beberapa aturan kesepakatan yang diterbitkan untuk
memberikan perlindungan kepada whistleblower, namun hanya untuk tindak pidana tertentu,
yaitu:
1. Peraturan Bersama: (1) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia;
(2) Jaksa Agung Republik Indonesia; (3) Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia; (4) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia; dan (5) Ketua
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia. Nomor: (1) M.HH-
11.HM.03.02.th.2011: (2) PER-045/A/JA/12/2011:; (3) 1 Tahun 2011; (4) KEPB-
02/01-55/12/2011; dan (5) 4 Tahun 2011, tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi
Pelapor, dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.
2. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 04 Tahun 2011
tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
G. Peran Akuntan Profesional
Peran profesi akuntan sekarang ini, mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan
bisnis dan perubahan global. Akuntan Profesional Senior diharapkan menerapkan
pengetahuan, pertimbangan profesional, dan keahlian, namun tidak diharapkan memiliki
tingkat pemahaman atas hukum dan peraturan melebihi yang disyaratkan bagi peran
Akuntan Profesional di dalam organisasi tempatnya bekerja. Penentuan suatu tindakan
merupakan ketidakpatuhan pada akhirnya akan ditentukan oleh otoritas hukum yang
berwenang. Bergantung pada sifat dan signifikansi permasalahan, Akuntan Profesional dapat
membuat, atau mengambil langkah yang sesuai untuk membuat, permasalahan tersebut
untuk diselidiki secara internal. Akuntan profesional juga dapat berkonsultasi secara rahasia
dengan orang lain di dalam organisasi tempatnya bekerja atau Ikatan Akuntan Indonesia,
atau dengan penasihat hukum.
Akuntan profesional dapat berperan aktif dalam mewujudkan prinsip peran pemangku
kepentingan, diantaranya, namun tidak terbatas pada: