Anda di halaman 1dari 2

Patofisiologi stroke hemoragik

Patofisiologi stroke hemoragik umumnya didahului oleh kerusakan dinding pembuluh darah kecil di
otak akibat hipertensi. Penelitian membuktukan bahwa hipertensi kronik dapat menyebabkan
terbentuknya aneurisma pada pembuluh darah kecil di otak. Proses turbulensi aliran darah
mengakibatkan terbentuknya nekrosis fibrinoid, yait nekrosis sel/jaringan dengan akumulasi matriks
fibrin. Terjadi pula herniasi dinding arteriol dan ruptur tunika intima, sehingga terbentuk
mikroaneurisma yang disebut Charcot-Bouchard. Mikroaneurisma ini dapat pecah seketika saat
tekanan darah arteri meningkat mendadak.

Darah yang keluar akan terakumulasi dan membentuk bekuan darah (hematom) di parenkim otak.
Volume hematom tersebut akan bertambah, sehingga memberikan efek desak ruang, menekan
parenkim otak, serta menyebabkan peningkatan TIK. Hal ini akan memperburuk kondisi klinis pasien,
yang umumnya berlangsung dalam 24-48 jam onset, akibat perdarahan terus berlangsung dengan
edema sekitarnya, serta defek desak ruang hematom yang mengganggu metabolisme dan aliran
darah.

Pada hematom yang besar, efek desak ruang meyebabkan pergeseran garis tengah (mid line shift)
dan herniasi otak yang pada akhirnya mengakibatkan iskemi dan perdarahan sekunder. Pergeseran
tersebut juga dapat menekan sistem ventrikel otak dan mengakibatkan hidrosefalus sekunder.
Kondisi seperti ini sering terjadi pada kasus stroke hemoragik akibat pecahnya pembuluh darah
arteri serebri posterior dan anterior. Keadaan tersebut akan semakin meningkatkan TIK dan
meningkatkan tekanan vena di sinus-sinus duramater.

Stroke hemoragik dapat terjadi melalui berbagai macam mekanisme. Stroke hemoragik yang
dikaitkan dengan hipertensi biasanya terjadi pada struktur otak bagian dalam yang diperdarahi oleh
penetrating artery seperti pada area talamus, putamen, pons, dan serebelum. Stroke hemoragik
lobaris pada usia lanjut dihubungkan dengan cerebral amyloid angiopathy, sedangkan pada usia
muda sering kali disebabkan oleh malformasi pembuluh darah.

(Sumber : Buku Ajar Neurologi FK UI, Buku 2, 2017)

Komplikasi stroke non hemoragik

- Edema cerebri
- Kejang
- Transformasi hemoragik
- Infeksi
- Trombosis vena
- Gangguan aktivitas sehari-hari

(sumber : Buku Ajar Neurologi FK Universitas Brawijaya, 2017)

Patofisiologi Migren

Ada beberapa teori mengenai patofisiologi dari migren :

1. Teori Vaskular
Berdasarkan teori ini, aura pada migren diperkirakan akibat vasokinstriksi pembuluh darah
intrakranial yang menginduksi iskemi jaringan. Selanjutnya, terjadi rebound vasodilatasi dan
mengaktifkan saraf nosiseptif perivaskular yang akhirnya menyebabkan nyeri kepala.
2. Teori Neurovaskular
Menurut teori ini, migren pada awalnya merupakan proses neurogenik yang kemudian diikuti
dengan perubahan perfusi serebral (neuro ke vaskular). Pada teori ini, dikatakan orang dengan
migren memiliki saraf yang gampang dieksitasi pada korteks serebral, terutama pada daerah
oksipital.
3. Cortical Spreading Depression (CSD)
CSD merupakan teori yang menjelaskan mekanisme migren dengan aura. CSD merupakan
gelombang eksitasi neuronal pada substansia grisea yang menyebar dari satu sisi ke sisi lain
otak dengan kecepatan 2-6mm/menit.
Depolarisasi seluler ini menyebabkan fenomena korteks primer atau biasa disebut dengan
aura. Selanjutnya, proses depolarisasi akan menstimulasi aktivasi neuron nosiseptif pada
pembuluh darah dura yang kemudian mengaktivasi saraf trigeminus dan pada akhirnya
menghasilakn nyeri kepala. Aktivasi neuron nosiseptif dilakukan melalui pelepasan berbagai
protein plasma dan substansi yang menstimulus inflamasi, seperti calcitonin gene-related
peptide (CGRP), substansi P, peptida intestinal vasoaktif, dan neurokinin A. Proses inflamasi ini
kemudian merangsang vasodilatasi dan akan diteruskan ke korteks sensorik sebagai rasa nyeri
yang berdenyut.
Sementaraitu, selama proses depolarisasi dilepaskan beberapa neurontransmiter, seperti
kalium dan/atau asam amino glutamat dari jaringan saraf. Substansi tersebut kemudian
mendepolarisasikan jaringan sekitarnya. Kondisi ini akan semakin merangsang pelepasan
berbagai neurotransmiter tersebut dan menyebabkan semakin luasnya depolarisasi yang
terjadi.
Selama penjalaran jaras nyeri dari trigeminovaskular ke korteks sensorik, terjadi sinaps di
nukleus salivatorius superior daerah batang otak, sehingga memicu gejala mual dan muntah.
Terdapat pula sinaps didaerah nukleus rafe dorsalis yang jika distimulus berulang akan
menyebabkan penurunan serotonin dan norepinefrin, sehingga menimbulkan gangguan
konsentrasi, kognitif, depresi, dan ansietas.
Serangan migren yang berlangsung berulang-ulang juga akan menyebabkan kerusakan pada
periaquaductal greymatter (PAG), sehingga terjadi sensitisasi sentral dan menyebabkan ambang
nyeri menurun. Pasien jadi lebih mudah mengalami migren pada stimulus yang lebih ringan.
Gejala lain, seperti menguap, iritabel, hipotensi dan hiperaktivitas merupakan gejala penyerta
migren yang muncul melalui jaras dopamin yang dipercaya mengalami hiperaktivasi sehingga
merangsang munculnya gejala tersebut.

(Sumber : Buku Ajar Neurologi FK UI, Buku 2, 2017)

Anda mungkin juga menyukai