Anda di halaman 1dari 31

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

PRAKTIKUM PRINSIP STRATIGRAFI


ACARA I : PENAMPANG STRATIGRAFI TERUKUR

LAPORAN

OLEH :
HANI ALFIYAH LESTYOWATI
D061181337

GOWA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stratigrafi merupakan sub ilmu Geologi yang membahas tentang


pemerian, pengurutan, pengelompokan, dan klasifikasi tubuh batuan serta
korelasinya satu terhadap lainnya. Dari hasil perbandingan atau korelasi
antarlapisan yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai
litologi (litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun
absolutnya.
Penampang stratigrafi terukur merupakan suatu penampang atau kolom
yang dimana menggambarkan kondisi stratigrafi suatu wilayah. Penampang
stratigrafi ini memberikan pemahaman jenis – jenis litologi yang diamati di
lapangan.. Mulai dari dimensi ketebalan lapisan batuan hingga genesa dan
lingkungan pengendapan. Penampang stratigrafi sangat membantu untuk
memperkirakan dalamnya pemboran yang akan dilakukan untuk mencari minyak
dan gas bumi. Sehingga dalam praktikum ini kita akan mempelajari bagaimana
membuat penampang stratigrafi secara terukur.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum Prinsip Stratigrafi ini untuk mengimplementasikan


teori-teori dan materi pada perkuliahan yang di realisasikan dengan melakukan
praktikum ini.
Adapun tujuan dari praktikum ini sebagai berikut:
1. Praktikan dapat membuat profil lintasan dari problem set yang di dapatkan
saat praktikum.
2. Praktikan mampu mendapatkan data berupa koreksi Dip, jarak datar dan
beda tinggi untuk pembuatan penampang profil lintasan.
3. Praktikan dapat menghitung ketebalan berdasarkan rumus dari ketebalan
4. Praktikan dapat membuat Kolom Stratigrafi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stratigrafi

Stratigrafi adalah studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif serta
distribusi perlapisan batuan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk
menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antar lapisan
yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi
(litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun
absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita pelajari untuk mengetahui luas
penyebaran lapisan batuan. (Noor, 2012).
Stratigrafi tersusun dari 2 (dua) suku kata, yaitu kata “strati“ berasal dari
kata “stratos“, yang artinya perlapisan dan kata “grafi” yang berasal dari kata
“graphic/graphos”, yang artinya gambar atau lukisan. Dengan demikian stratigrafi
dalam arti sempit dapat dinyatakan sebagai ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan.
Dalam arti yang lebih luas, stratigrafi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang aturan, hubungan, dan pembentukan (genesa) macam-macam
batuan di alam dalam ruang dan waktu, yaitu sebagai berikut: (Noor, 2012)
1. Aturan: Tatanama stratigrafi diatur dalam “Sandi Stratigrafi”. Sandi
stratigrafi adalah aturan penamaan satuan-satuan stratigrafi, baik resmi
ataupun tidak resmi, sehingga terdapat keseragaman dalam nama maupun
pengertian nama-nama tersebut seperti misalnya: Formasi/formasi,
Zona/zona, Sistem dan sebagainya.
2. Hubungan: Pengertian hubungan dalam stratigrafi adalah bahwa setiap lapis
batuan dengan batuan lainnya, baik diatas ataupun dibawah lapisan batuan
tersebut. Hubungan antara satu lapis batuan dengan lapisan lainnya adalah
“selaras” (conformity) atau “tidak selaras” (unconformity).
3. Pembentukan (Genesa): Mempunyai pengertian bahwa setiap lapis batuan
memiliki genesa pembentukan batuan tersendiri. Sebagai contoh, facies
sedimen marin, facies sedimen fluvial, facies sedimen delta, dsb
4. Ruang: Mempunyai pengertian tempat, yaitu setiap batuan terbentuk atau
diendapkan pada lingkungan geologi tertentu. Sebagai contoh, genesa
batuan sedimen: Darat (Fluviatil, Gurun, Glacial), Transisi (Pasang-
surut/Tides, Lagoon, Delta), atau Laut (Marine: Lithoral, Neritik, Bathyal,
atau Hadal)
5. Waktu: Memiliki pengertian tentang umur pembentukan batuan tersebut
dan biasanya berdasarkan Skala Umur Geologi. Contoh: Batugamping
formasi Rajamandala terbentuk pada kala Miosen Awal; Batupasir kuarsa
formasi Bayah terbentuk pada kala Eosen Akhir.

2.2 Hukum Stratigrafi

Pada hakekatnya ada hubungan tertentu antara kejadian dan aturan batuan di
alam, dalam kedudukan ruang dan waktu geologi. Stratigrafi membahas aturan,
hubungan, kejadian lapisan serta tubuh batuan di alam. Sandi stratigrafi
dimaksudkan untuk memberikan pengarahan kepada para ahli geologi yang
bekerja mempunyai persepsi yang sama dalam cara penggolongan stratigrafi.
Sandi stratigrafi memberikan kemungkinan untuk tercapainya keseragaman dalam
tatanama satuan-satuan stratigrafi. Pada dasarnya, Sandi Stratigrafi mengakui
adanya satuan lithostratigrafi, satuan litodemik, satuan biostratigrafi, satuan
sekuen stratigrafi, satuan kronostratigrafi dan satuan geokronologi. Sandi ini dapat
dipakai untuk semua macam batuan. (Noor, 2009)

1. Hukum Superposisi (Nicolas Steno,1669)


Dalam suatu urutan perlapisan batuan, maka lapisan batuan yang terletak di
bawah umurnya relatif lebih tua dibanding lapisan diatasnya selama lapisan
batuan tersebut belum mengalami deformasi.
Gambar 2.1 Hukum Superposisi (Nicolas Steno,1669)

2. Hukum Horizontalitas (Nicolas Steno,1669)


Pada awal proses sedimentasi, sebelum terkena gaya atau perubahan,
sedimen terendapkan secara horizontal.

Gambar 2.2 Hukum Horizontalitas yang Mengalami Deformasi (Nicolas Steno,1669)

3. Original Continuity (Nicolas Steno,1669)


Batuan sedimen melampar dalam area yang luas di permukaan bumi.

Gambar 2.3 Original Continuity (Nicolas Steno,1669)

4. Uniformitarianism (James Hutton, 1785)


Uniformitarianisme adalah peristiwa yang terjadi pada masa geologi lampau
dikontrol oleh hukum-hukum alam yang mengendalikan peristiwa pada masa
kini.  Hukum ini lebih dikenal dengan semboyannya yaitu “The Present is The
Key To The Past.” Maksudnya adalah bahwa proses-proses geologi alam yang
terlihat sekarang ini dipergunakan sebagai dasar pembahasan proses geologi masa
lampau.

Gambar 2.4 Uniformitarianism (James Hutton, 1785)

5. Faunal Succession (Abble Giraud-Soulavie, 1778)


Pada setiap lapisan yang berbeda umur geologinya akan ditemukan fosil
yang berbeda pula. Secara sederhana bisa juga dikatakan Fosil yang berada pada
lapisan bawah akan berbeda dengan fosil di lapisan atasnya. Fosil yang hidup
pada masa sebelumnya akan digantikan (terlindih) dengan fosil yang ada
sesudahnya, dengan kenampakan fisik yang berbeda (karena evolusi). Perbedaan
fosil ini bisa dijadikan sebagai pembatas satuan formasi dalam lithostratigrafi atau
dalam koreksi stratigrafi.

Gambar 2.5 Faunal Succession (Abble Giraud-Soulavie, 1778)

6. Strata Identified by Fossils (Smith, 1816)


Perlapisan batuan dapat dibedakan satu dengan yang lain dengan melihat
kandungan fosilnya yang khas.
Gambar 2.6 Strata Identified by Fossils (Smith, 1816)

7. Facies Sedimenter (Selley, 1978)


Suatu kelompok litologi dengan ciri-ciri yang khas yang merupakan hasil
dari suatu lingkungan pengendapan yang tertentu. Aspek fisik, kimia atau biologi
suatu endapan dalam kesamaan waktu. Dua tubuh batuan yang diendapakan pada
waktu yang sama dikatakan berbeda fsies apabila kedua batuan tersebut berbeda
fisik, kimia atau biologi (S.S.I.)

Gambar 2.7 Facies Sedimenter (Selley, 1978)

8. Cross-Cutting Relationship (A.W.R Potter & H. Robinson)


Apabila terdapat penyebaran lap. Batuan (satuan lapisan batuan), dimana
salah satu dari lapisan tersebut memotong lapisan yang lain, maka satuan batuan
yang memotong umurnya relatif lebih muda dari pada satuan batuan yang di
potongnya.

9. Law of Inclusion
Inklusi terjadi bila magma bergerak keatas menembus kerak, menelan
fragmen2 besar disekitarnya yang tetap sebagai inklusi asing yang tidak meleleh.
Jadi jika ada fragmen batuan yang terinklusi dalam suatu perlapisan batuan, maka
perlapisan batuan itu terbentuk setelah fragmen batuan. Dengan kata lain
batuan/lapisan batuan yang mengandung fragmen inklusi, lebih muda dari
batuan/lapisan batuan yang menghasilkan fragmen tersebut

Gambar 2.8 Hukum Inklusi

2.3 Penampang Stratigrafi Terukur

Dalam penelitian geologi, pengamatan stratigrafi disepanjang lintasan yang


dilalui perlu dibuat, baik dengan cara menggambarnya dalam bentuk sketsa profil
lintasan ataupun melalui pengukuran stratigrafi. Adapun tujuan dari pembuatan
profil lintasan adalah untuk mengetahui dengan cepat hubungan antar batuan /
satuan batuan secara vertikal. (Noor, 2009)

Gambar 2.1 Penampang Stratigrafi

2.3.1 Metoda Pengukuran Stratigrafi

Pengukuran stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran terperinci


urut-urutan perlapisan satuan stratigrafi, ketebalan setiap satuan stratigrafi,
hubungan stratigrafi, sejarah sedimentasi dalam arah vertikal, dan lingkungan
pengendapan. Mengukur suatu penampang stratigrafi dari singkapan mempunyai
arti penting dalam penelitian geologi. (Noor, 2012)
Pengukuran stratigrafi biasanya dilakukan terhadap singkapan singkapan
yang menerus, terutama yang meliputi satu atau lebih satuan satuan stratigrafi
yang resmi. Metoda pengukuran penampang stratigrafi banyak sekali ragamnya.
Namun demikian metoda yang paling umum dan sering dilakukan di lapangan
adalah dengan menggunakan pita ukur dan kompas. Metoda ini diterapkan
terhadap singkapan yang menerus atau sejumlah singkapan-singkapan yang dapat
disusun menjadi suatu penampang stratigrafi. (Noor, 2012)

2.3.2 Menghitung Ketebalan

Tebal lapisan adalah jarak terpendek antara bidang alas (bottom) dan bidang
atas (top). Dengan demikian perhitungan tebal lapisan yang tepat harus dilakukan
dalam bidang yang tegak lurus jurus lapisan. Bila pengukuran di lapangan tidak
dilakukan dalam bidang yang tegak lurus tersebut maka jarak terukur yang
diperoleh harus dikoreksi terlebih dahulu dengan rumus:

d = dt x cosinus ß

( ß = sudut antara arah kemiringan dan arah pengukuran).

Didalam menghitung tebal lapisan, sudut lereng yang dipergunakan adalah


sudut yang terukur pada arah pengukuran yang tegak lurus jurus perlapisan.
Apabila arah sudut lereng yang terukur tidak tegak lurus dengan jurus perlapisan,
maka perlu dilakukan koreksi untuk mengembalikan kebesaran sudut lereng yang
tegak lurus jurus lapisan. Biasanya koreksi dapat dilakuan dengan menggunakan
tabel “koreksi dip” untuk pembuatan penampang. (Noor, 2009)

1) Pengukuran pada daerah datar


Pengukuran pada daerah datar, apabila jarak terukur adalah jarak tegak lurus
jurus, ketebalan langsung di dapat dengan menggunakan rumus :
T = d sin ∂
(dimana d adalah jarak terukur di lapangan dan ∂ adalah sudut kemiringan
lapisan). Apabila pengukuran tidak tegak lurus jurus, maka jarak terukur harus
dikoreksi seperti pada cara diatas. (Noor, 2009)

Gambar 2.3 Posisi pengukuran pada daerah datar

2) Pengukuran pada Lereng


a) Pengukuran pada Lereng Searah
Bila kemiringan lapisan (∂ ) lebih besar daripada sudut lereng (s) dan arah
lintasan tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah :

T = d sin (∂ - s ). (Gambar 2.4 b)

Bila kemiringan lapisan lebih kecil daripada sudutlereng dan arah lintasan
tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah:

T = d sin (s - ∂ ). (Gambar 2.4 c)


Gambar 2.4 Posisi pengukuran pada lereng yang searah dengan kemiringan lapisan

b) Pengukuran pada Lereng berlawanan


Bila kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng dan arah
lintasan tegak lurus jurus maka:

T = d sin ( ∂ + s ) (Gambar 2.5 b)

Apabila jumlah sudut lereng dan sudut kemiringan lapisan adalah 900 (lereng
berpotongan tegak lurus dengan lapisan) dan arah lintasan tegak lurus jurus maka:

T = d (Gambar 2.5 c)

Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul terhadap lereng dan arah
lintasan tegak lurus jurus, maka :

T = d sin (1800 - ∂ - s) (Gambar 2.5 d )

Bila lapisannya mendatar, maka :

T = d sin (s)
Gambar 2.5 Posisi pengukuran pada lereng yang berlawanan dengan kemiringan lapisan
BAB III
METODELOGI

3.1. Alat dan Bahan

Dalam praktikum kali ini, alat dan bahan yang digunakan yaitu:
1. Kertas grafik
2. Kertas HVS A4
3. Penggaris
4. Double tip
5. Pensil warna
6. Cutter
7. ATM
8. Kalkulator

Pada praktikum acara penampang stratigrafi terukur ini, berikut adalah


tahapan-tahapan pembuatan laporan, antara lain :

3.1 Metode Praktikum

Adapun metode praktikum sebagai berikut:

1. Tahap Pendahuluan

Pada tahap ini, dilakukan asistensi acara oleh asisten ke praktikan untuk
dipaparkan bagaimana sistematikanya ketika praktikum. Pada tahap ini
praktikan akan membuat tugas pendahuluan yakni bab 1 sampai bab 3 laporan.
2. Tahap Praktikum
Pada tahap praktikum, praktikan akan memecahkan problem set yang
diberikan dan membuat penampang stratigrafi dari hasil problem set tersebut.
3. Tahap Analisis Data
Pada tahap ini, praktikan telah membuat penampang stratigrafi berdasarkan
interprestasi sendiri. Kemudian akan diasistensikan untuk dibuatkan laporan.
4. Tahap Pembuatan Jurnal
Tahap ini, laporan sementara yang sudah diasistensikan akan dibuatkan
laporan sebagai hasil akhirnya.
Tabel 3.1 Flow Chart

Tahap Pendahuluan

Tahap Praktikum

Tahap Analisis Data

Tahap Pembuatan Jurnal


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Stratigrafi Daerah Penelitian

4.1.1 Kompleks Basement

Kompleks Basement ini merupakan lapisan yang paling tua dengan


beranggotakan satuan sekis mika yang terbentuk pada kala Kapur Bawah sehingga
memiliki hubungan yang tidak selaras dengan Formasi Walanae. Hal ini
disebabkan karena adanya rumpang waktu pengendapan antara kedua formasi ini.
Batuan Sekis Mika yang dijumpai memiliki ciri fisik warna segar biru
kehitaman, warna lapuk kecokelatan, tekstur lepidoblastik, struktur schistose,
komposisi mineral Biotir, Muskovit, dan Hornblende, dengan arah foliasi 25° dan
penyebaran N 100°E.

4.1.2 Formasi Walannae

Formasi Walannae ini dijumpai batupasir, batugamping yang berselingan


dengan batulempung, batulanau, dan konglomerat yang berumur Miosen Tengah
hingga Pliosen. Berikut adalah anggota dari Formasi Walanae diurutkan dari yang
tertua hingga termuda.

1. Satuan Batupasir Halus

Batupasir yang tertua memiliki ciri fisik warna segar abu-abu, warna lapuk
cokelat kehitaman, tekstur klastik dengan ukuran butir 1/8 – ¼ mm, komposisi
silikaan, struktur berlapis dan struktur sedimen berupa laminasi. Satuan ini
memiliki tebal 13 meter. Satuan ini dijumpai sepanjang 17 meter dengan slope
27° terbentuk di lingkungan laut dangkal.

2. Satuan Batugamping

Terdapat satuan batugamping diatasnya yang memiliki tebal 14 meter.


Memiliki ciri fisik warna segar abu-abu kecokelatan, warna lapuk cokelat
kehitaman, tekstur bioklastik, komposisi kimia karbonatan, struktur berlapis.
Adapun kedudukan batuannya N 100°E/22°. Satuan ini dijumpai sepanjang 21
meter dengan slope 20° dan terbentuk di lingkungan laut dangkal.

3. Satuan Batulempung

Terdapat satuan batulempung diatasnya yang memiliki tebal 6,5 meter.


Memiliki ciri fisik warna segar abu-abu kecokelatan, warna lapuk abu-abu
kehitaman, tekstur klastik dengan ukuran butir <1/256 mm, struktur laminasi.
Batulempung ini dijumpai sepanjang 11 meter dengan slope 16° dan memiliki
kedudukan N 93°E/41°. Satuan ini terbentuk di lingkungan laut dangkal.

4. Satuan Batugamping

Terdapat satuan batugamping diatasnya yang memiliki tebal 18 meter.


Memiliki ciri fisik warna segar putih kekuningan, warna lapuk cokelat kehitaman,
tekstur bioklastik, komposisi kimia karbonatan, struktur berlapis dan kedudukan
batuannya N 120°E/25°. Satuan ini dijumpai sepanjang 21 meter dengan slope 20°
dan terbentuk di lingkungan laut dangkal.

5. Satuan Batulempung

Terdapat satuan batulempung diatasnya yang memiliki tebal 4,3 meter.


Memiliki ciri fisik warna segar cokelat muda, warna lapuk cokelat kehitaman,
tekstur klastik, ukuran butir <1/256 mm, struktur berlapis dan kedudukan
batuannya adalah N 105°E/27°. Satuan ini dijumpai sepanjang 7 meter dengan
slope 16° dan terbentuk di lingkungan laut dangkal.

6. Satuan Batulanau

Terdapat satuan batulanau diatasnya yang memiliki tebal 5,3 meter.


Memiliki ciri fisik warna segar kecoklatan, warna lapuk cokelat kehitaman,
tekstur klastik dan kedudukan N 102°E/22°. Satuan ini dijumpai sepanjang 9
meter dengan slope 11° dan terbentuk di lingkungan laut dangkal.

7. Satuan Batupasir Kasar


Terdapat satuan batupasir yang memiliki tebal 3 meter. Memiliki ciri fisik
warna segar abu-abu kehitaman, tekstur klastikm, ukuran butir 1 – ½ mm.
Batupasir ini dijumpai sepanjang 18 meter dengan slope 14° dan memiliki
kedudukan N 102°E/24°. Satuan ini terbentuk di lingkungan laut dangkal.

8. Satuan Konglomerat

Terdapat satuan konglomerat yang memiliki tebal 11 meter. Memiliki ciri


fisik warna segar abu-abu kecokelatan, warna lapuk abu-abu kehitaman, tekstur
klastik dengan ukuran butir ¼ - 64 mm, sortasi buruk, kebundaran subangular
hingga subrounded, fragmen dari batuan beku berupa basalt, matriks batuan beku,
dan semen berupa gelas silika. Batuan konglomerat ini dijumpai sepanjang 18
meter dengan slope 14° dan memiliki kedudukan N 144°E/31°. Satuan ini
terbentuk di lingkungan darat

Gambar 4.1 Penampang stratigrafi terukur daerah penelitian

4.2 Perhitungan

4.2.1 Koraksi Dip

Rumus: tan-1 (sinβ x tan dip)

1. Stasiun 1
Koreksi dip = tan-1 (sin 75 x tan 25)
Koreksi dip = 24,08˚
2. Stasiun 2
Koreksi dip = tan-1 (sin 32 x tan 31)
Koreksi dip = 17,32˚
3. Stasiun 3
Koreksi dip = tan-1 (sin 78 x tan 22)
Koreksi dip = 21,55˚
4. Stasiun 4
Koreksi dip = tan-1 (sin 80 x tan 41)
Koreksi dip = 40,124˚
5. Stasiun 5
Koreksi dip = tan-1 (sin 58 x tan 25)
Koreksi dip = 21,55˚
6. Stasiun 6
Koreksi dip = tan-1 (sin 68 x tan 27)
Koreksi dip = 25,22˚
7. Stasiun 7
Koreksi dip = tan-1 (sin 70 x tan 22)
Koreksi dip = 20,756˚
8. Stasiun 8
Koreksi dip = tan-1 (sin 72 x tan 24)
Koreksi dip = 22,91˚
9. Stasiun 9
Koreksi dip = tan-1 (sin 30 x tan 31)
Koreksi dip = 17,32˚

4.2.2 Beda Tinggi

Rumus : Jarak lintasan x sin slope

1. Stasiun 1 – Stasiun 2
Beda tinggi = 17 meter x sin 27˚
Beda tinggi = 7,701 meter
2. Stasiun 2 – Stasiun 3
Beda tinggi = 21 meter x sin 20˚
Beda tinggi = 7,14 meter
3. Stasiun 3 – Stasiun 4
Beda tinggi = 11 meter x sin 16˚
Beda tinggi = 3,025 meter
4. Stasiun 4 – Stasiun 5
Beda tinggi = 21 meter x sin 20˚
Beda tinggi = 7,14 meter
5. Stasiun 5 – Stasiun 6
Beda tinggi = 7 meter x sin 16˚
Beda tinggi = 1,925 meter
6. Stasiun 6 – Stasiun 7
Beda tinggi = 9 meter x sin 11˚
Beda tinggi = 1,717 meter
7. Stasiun 7 – Stasiun8
Beda tinggi = 5 meter x sin 17˚
Beda tinggi = 1,46 meter
8. Stasiun 8 – Stasiun 9
Beda tinggi = 18 meter x sin 14˚
Beda tinggi = 4,35 meter

4.2.3 Jarak Datar

Rumus : Jarak lintasan x cos slope

1. Stasiun 1 – Stasiun 2
Jarak lintasan = 17 meter x cos 27˚
Jarak lintasan = 15, 147 meter
2. Stasiun 2 – Stasiun 3
Jarak lintasan = 21 meter x cos 20˚
Jarak lintasan = 19,73 meter
3. Stasiun 3 – Stasiun 4
Jarak lintasan = 11 meter x cos 16˚
Jarak lintasan = 10,57 meter
4. Stasiun 4 – Stasiun 5
Jarak lintasan = 21 meter x cos 20˚
Jarak lintasan = 19,73 meter
5. Stasiun 5 – Stasiun 6
Jarak lintasan = 7 meter x cos 16˚
Jarak lintasan = 6,72 meter
6. Stasiun 6 – Stasiun 7
Jarak lintasan = 9 meter x cos 11˚
Jarak lintasan = 8,883 meter
7. Stasiun 7 – Stasiun8
Jarak lintasan = 5 meter x cos 17˚
Jarak lintasan = 4,78 meter
8. Stasiun 8 – Stasiun 9
Jarak lintasan = 18 meter x cos 14˚
Jarak lintasan = 17,46 meter

4.2.4 Ketebalan

Rumus : Panjang mistar x skala

1. Stasiun 2
Ketebalan = 13 cm x 100
Ketebalan = 13 m
2. Stasiun 3
Ketebalan = 14 cm x 100
Ketebalan = 14 m
3. Stasiun 4
Ketebalan = 6,5 cm x 100
Ketebalan = 6,5 m
4. Stasiun 5
Ketebalan = 18 cm x 100
Ketebalan = 18 m
5. Stasiun 6
Ketebalan = 4,3 cm x 100
Ketebalan = 4,3 m
6. Stasiun 7
Ketebalan = 5,3 cm x 100
Ketebalan = 5,3 m
7. Stasiun 8
Ketebalan = 3 cm x 100
Ketebalan = 3 m
8. Stasiun 9
Ketebalan = 11 cm x 100
Ketebalan = 11m
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang bisa kita dapatkan dari praktikum ini adalah
sebagai berikut :
1. Ketebalan dari setiap lapisan berdasarkan penampang stratigrafi terukur
bertuturut-turut dari sekis mika (stasiun 1) hingga konglomerat (stasiun 9)
adalah 13 m; 14 m; 6,5 m; 18m; 4,8 m; 5,3 m; 3 m dan 11 m.
2. Stratigrafi daerah penelitian dibagi atas dua yakni Kompleks Tektonik
Bantimala atau Kompleks Basement yang terdiri atas satuan Sekis Mika dan
Formasi Walanae yang terdiri atas satuan Batupasir, Batugamping,
Batulempung, Batugamping, Batulempung, Batulanau, Batupasir Kasar dan
Konglomerat. Adapun hubungan antara Kompleks Tektonik Bantimala atau
Kompleks Basement dengan Formasi Walanae adalah tidakselaras karena
adanya rumpang waktu pengendapan.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Mustaghfirin. 2013. Geologi Dasar 2 kelas X semester II. Jakarta :


Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Noor, Djauhari.2009. Pengantar Geologi. Bogor : PT. Graha Ilmu
Noor, Djauhari.2012. Pengantar Geologi. Bogor : PT. Graha Ilmu
L
A
M
P
I
R
A
N

Anda mungkin juga menyukai