Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS DRIVER, PRESSURE, STATE, IMPACT (DPSIR) TERHADAP

KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI DKI JAKARTA


Aiman – 25420012
Tugas Matakuliah PL5102 Sumber Daya dan Lingkungan

Abstrak

Ruang Terbuka Hijau (RTH) memiliki banyak manfaat terkait dengan sosial, ekonomi dan
lingkungan. Fungsi utama RTH adalah membantu menyeimbangkan kondisi ekologis kota.
Sayangnya, peranan RTH ini belum begitu populer di perkotaan Indonesia, khususnya DKI
Jakarta. Dari 30% RTH yang perlu disediakan, DKI Jakarta baru memiliki sekitar 9,9% RTH
dari total seluruh luas wilayah. Lebih lanjut, keterlibatan masyarakat dalam mewujudkan
terpenuhinya RTH dinilai begitu penting. Penelitian ini menganalisis tentang kondisi RTH di
DKI Jakarta dengan melakukan pendekatan analisis Driving Force-State-Impact-Response
(DPSIR-Analysis). Hasil menunjukkan bahwa driver berasal dari Pertumbuhan penduduk,
ekosistem yang layak, penyediaan ruang, dan harga lahan. Pressure terhadap RTH di DKI
Jakarta berupa keterbatasan lahan, dan pemenuhan kebutuhan dan ekosistem yang layak.
Tekanan-tekanan yang disebutkan pada gilirannya menhasilkan kondisi (state) berupa masih
jauhnya pemenuhan RTH dari 30% yang seharusnya dimiliki oleh DKI Jakarta. Tekanan-
tekanan tersebut pada akhirnya menghasilkan dampak (impact) terhadap kondisi RTH dimana
aspek lingkungan hidup (kualitas air tanah, polusi udara, kebisingan di perkotaan) yang masih
kurang serta masih tingginya angka kriminalitas. Tanggapan (response) dari pemerintah
terhadap kondisi di atas tertuang pada RPJMD DKI Jakarta Tahun 2017-2022 dan Pergub DKI
Jakarta nomor 41 Tahun 2019.

Pendahuluan
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Saat ini, masalah perkotaan merupakan masalah yang cukup pelik untuk diatasi.
Konsekuensi negative yang diakibatkan oleh perkembangan perkotaan dapat dilihat dari
beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan. Sebagian besar lahan merupakan lahan hijau pada
tahap awal perkembangan kota. Akan tetapi, keterbatasan ruang untuk menampung kebutuhan
penduduk dan aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan
menjadi kawasan terbangun. Di pusat kota, Sebagian besar permukaan tertutup oleh jalan,
bangunan, dan lain-lain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda dengan karakter
ruang terbuka hijau.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) berfungsi untuk melestarikan ekosistem kota dan untuk
mengurangi tekanan penduduk yang tinggal di kota, secara langsung dan tidak langsung melalui
fungsi ekosistem (Constanza, et al., 1997)serta menghasilkan oksigen dan mengurangi
karbondioksida (Jo, 2002), mencegah pencemaran udara dan air, mengatur iklim mikro,
mengurangi polusi suara (Bolund & Hunhammar, 1999) melindungi tanah dan air (Kim & Pauleit,
2007), dan dapat bersifat rekreasi , nilai budaya dan sosial (Savard, L, Clergeau, & Menneches,
2000). Oleh karena itu, selain berfungsi memperbaiki lingkungan perkotaan, ruang hijau
perkotaan juga berperan dalam menjaga kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup
penduduk perkotaan.

Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau (RTH) telah mengakibatkan
kualitas lingkungan yang menurun seperti terjadinya banjir, tingginya polusi udara dan
meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas dan krisis sosial), menurunnya produktivitas
masyarakat akibat stress karena terbatasnya ruang public yang tersedia untuk interaksi sosial.

Kondisi RTH di DKI Jakarta


Menurut DKI Jakarta Smart City (2016), dari 30% RTH yang perlu disediakan, DKI Jakarta
baru memiliki sekitar 9,9% RTH dari total seluruh luas wilayah. Lebih lanjut, keterlibatan
masyarakat dalam mewujudkan terpenuhinya RTH dinilai begitu penting.

DPSIR
Tabel dan gambar di bawah ini menampilkan kerangka DPSIR (European Environtment
Agency, 2011)

Tabel-1: Terminologi DPSIR

Terminologi Definisi
Driver Aktivitas antropogenik yang mungkin memiliki efek terhadap lingkungan
Pressure Efek langsung yang uncul dari driver
State Kondisi yang dihasilkan, baik karena factor alamiah maupun antropogenik
Impact Dampak lingkungan karena adanya pressure
Response Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan lahan

Gambar 1: Kerangka DPSIR

Kerangka DPSIR ini mengasumsikan bahwa kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan
adalah hal-hal yang saling berhubungan. Driving force secara konseptual menjelaskan
terjadinya perubahan lingkungan dengan jalan menciptakan pressure terhadap lingkungan.
Impact yang muncul dapat berupa dampak terhadap ekosistem, ekonomi, dan juga komunitas.
Sebuah dampak negative yang muncul akan ditanggapi oleh masyarakat dengan berbagai cara,
misalnya penyusunan.
Penelitian ini menganalisis tentang kondisi RTH di DKI Jakarta dengan melakukan
pendekatan analisis Driving Force-State-Impact-Response (DPSIR-Analysis)
Pembahasan
Driving force
Driving force yang pertama terkait dengan penyediaan RTH dibagi menjadi beberapa
aspek yaitu sosial, politik dan hukum, serta ekonomi.

Sosial
Driver di bidang sosial adalah kependudukan. DKI Jakarta merupakan ibu kota negara
yang menarik minta banyak orang datang ke DKI Jakarta. Selain itu DKI Jakarta juga
merupakan pusat kegiatan ekonomi regional, nasional, dan internasional di mana hampir
80% kegiatan ekonomi di Indonesia. DKI Jakarta juga merupakan pusat kegiatan sosial-
budaya, serta pusat ilmu pengetahuan dan teknologi. Daya Tarik inilah yang membuat DKI
Jakarta memiliki tingkat kependudukan yang tinggi.

Gambar 2: Jumlah Penduduk DKI Jakarta (Databoks, 2020)

Kependudukan menjadi driving force karena pada dasarnya manusia membutuhkan


ruang. Data pertumbuhan penduduk DKI Jakarta yang sangat pesat tersebut sudah tentu
akan berdampak pada sarana dan prasarana pendukung lainnya seperti permukiman. Selain
itu, data pertumbuhan penduduk ini juga sangat berdampak pada mobilitas suatu wilayah
sehingga diperlukan adanya ketersediaan akses antar wilayah yang memadai seperti jalan
dan sistem transportasi. RTH publik di DKI Jakarta sangat sulit berkembang dapat
dikarenakan adanya kebutuhan akan sarana dan prasarana lain yang dirasa pemerintah
cukup mendesak seperti permukiman, fasilitas, dan transportasi yang lebih diprioritaskan
guna memenuhi kebutuhan penduduk DKI Jakarta yang jumlahnya terus mengalami
peningkatan.

Lingkungan
Driver selanjutnya adalah berdasarkan pemenuhan DKI Jakarta dengan Ekosistem
Lingkungan yang layak huni. Kondisi lingkungan di DKI Jakarta juga ikut menjadi driver dari
pentingnya keberadaan RTH di DKI Jakarta.

Politik dan hukum


Penegakan hukum ketentuan ruang terbuka hijau di DKI Jakarta yaitu tertuang dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030. Namun dalam pelaksanaannya perlu memiliki
dukungan politik yang kuat. Penyediaan RTH sulit untuk dilakukan apabila tidak memiliki
dukungan politik yang kuat. Sebab, penyediaan RTH secara langsung pasti terhubungan
dengan sistem politik yang ada. Karena itu, Langkah-langkah dalam menyediakan RTH juga
berarti berhubungan dengan kekuatan politik. Dukungan politik yang lemah, tata Kelola yang
buruk, dan politik anggaran yang tidak berpihak pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya kesulitan dalam menyediakan RTH.

Sumber lain menyebutkan beberapa hambatan dalam penyediaan ruang. Pertama


adalah tanah dalam keadaan sengketa. Kedua, tanah sudah masuk dalam surat izin
peruntukan penggunaan tanah milik pengembang. Ketiga, harga lahan diatas nilai jual obyek
pajak atau NJOP. Keempat, terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. (Untoro dan Raihan, 2017)

Ekonomi
Salah satu yang menjadi driver dalam pembangunan RTH di DKI Jakarta adalah dalam
hal pembebasan lahan terkait dengan harga lahan di DKI Jakarta yang semakin mahal
dikarenakan ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Seperti yang telah diketahui dalam
ilmu ekonomi bahwa harga akan mengikuti keseimbangan antar supply dan demand.
Tingginya harga tanah di DKI Jakarta memang masih menjadi slah satu kendala yang dihadapi
Pemerintah Provnisi dalam pembebasan lahan guna membangun RTH di DKI Jakarta.

Pressure
Pertumbuhan penduduk DKI Jakarta dari driver sosial yang besar akan mengakibatkan
pressure kebutuhan di sektor property khususnya perumahan. Lalu driver lingkungan
memberikkan pressure terhadap kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh pemerintah kepada
warga kota, seperti pemenuhan air bersih, udara yang layak, serta mitigasi terhadap bencana
alam. Driver Politik dan Ekonomi, mengakibatkan pressure terhadap penggunaan tata ruang
kota yang notabene berfokus pada pemenuhan kebutuhan permukiman, seperti infrastruktur
perumahan, perbelanjaan, dan transportasi.

Lebih dalam ekonomi, hal ini juga beriringan dengan permintaan terhadap apartemen,
pusat perbelanjaan, perkantoran serta bangunan-bangunan komersial lainnya yang akan
mengalami peningkatan. Prioritas pemerintah terhadap penyediaan permukiman dan sektor
property yang mampu memberikan dampak berganda (multiplier effect pada peningkatan
kesejahteraan, baik secara langsung (melalui penciptaan lapangan pekerjaan) maupun tidak
langsung (melalui kontribusinya terhadap PDB Nasional) lalu lemahnya politik akan kebutuhan
RTH dibandingkan dengan penyediaan sektor property akan menggeser urgensi dalam
penyediaan RTH.

States
Berdasarkan data Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, jumlah Ruang Terbuka
Hijau (RTH) di DKI Jakarta mencapai 3.131. Ruang terbuka hijau ini berupa taman kota, taman
lingkungan, taman interaktif dan juga jalur hijau jalan. DKI Jakarta Pusat menjadi wilayah
dengan RTH terbanyak, yaitu sebanyak 913 RTH. (Djafar, 2016)

Meski jumlahnya sudah banyak tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta, tapi luas RTH di
DKI Jakarta hanya berjumlah 9,98% dari total luas wilayah. Angka ini masih jauh dari 30% yang
seharusnya dimiliki oleh DKI Jakarta. Selama ini pembuatan RTH terkendala pembebasan lahan.
Terlalu banyak masalah dalam proses pembebasan lahan dan pembelian lahan.
Gambar 3: Jumlah Ruang Terbuka Hijau DKI J akarta (Databoks, 2020)

Hal ini menunjukkan bahwa kuantitas dari adanya RTH yang perlu ditambah dan kualitas
yang masih perlu pengembangan.

Impact
Dampak yang berkaitan dengan RTH secara umum terkait dengan beberapa tantangan
tipikal perkotaan, seperti menurunnya lingkungan hidup di kawasan kota dan di lingkungan
permukiman warga, bencana banjir, perubah perilaku sosial masyarakat yang cenderung
kontra-produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan vandalisme.

Pressure diatas yang menyatakan bahwa ketersediaan RTH yang kurang dari 30% serta
prioritas pemerintah yang lebih terokus pada penyediaan permukiman, fasilitas perbelanjaan,
dan transportasi mengakibatkan beberapa hal berikut yaitu

1. Aspek lingkungan hidup (kualitas air tanah, polusi udara, kebisingan di perkotaan)
2. Aspek sosial (kriminalitas)

Sementara itu dari aspek lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi
udara, dan kebisingan di perkotaan merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak
langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Di samping itu tingginya frekuensi
bencana banjir di DKI Jakarta dewasa ini juga disebabkan karena terganggunya sistem tata air
karena terbatasnya daerah resapan air dan tinggi volume air permukaan (run-off). Secara
ekonomis, kondisi tersebut juga dapat menurunkan tingkat produktivitas dan menurunkan
tingkat kesehatan dan tingkat hidup harapan masyarakat.

Kualitas air tanah


Banyaknya pembangunan permukiman, fasilitas perbelanjaan, dan infrastruktur dan
kurangnya daerah resapan air seperti RTH mengakibatkan pencamaran air tanah di DKI
Jakarta tercemar. Meskipun pemeran utama dari pencemaran ini adalah limbah industry dan
sampah, akan tetapi RTH secara teorinya dapat mengurangi dampak pencemaran dengan
penyerapan run-off water akibat hujan sehingga mengurangi pencemaran dari dataran yang
terbawa ke badan air. Berikut ini adalah data tentang kualitas air di DKI Jakarta.
Tabel 2: Kualitas Air di DKI Jakarta (Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 2019)

Polusi Udara
Dalam catatan pemantauan udara PM 2,5 oleh Kedutaan Besar AS di DKI Jakarta,
dalam satu tahun kota DKI Jakarta hanya mengalami sedikit sekali jumlah hari yang partikulat
udaranya dalam kategori bersih atau sehat. (Kompas.com, 2020)

1. Pada tahun 2017, di DKI Jakarta hanya mengalami 40 hari dengan kualitas udara yang
baik, di mana sebagian besar terjadi pada bulan Januari, November dan Desember.
2. Pada tahun 2018, di DKI Jakarta hanya memiliki 25 hari dengan kualitas udara yang
baik, jauh berbeda dengan 101 hari tercaat kualitas udara berkategori tidak sehat.
3. Pada tahun 2019, jumlah hari tidak sehat meningkat menjadi 172 atau lebih dari 50
persen daripada tahun sebelumnya, dan hanya ada 8 hari dengan kualitas udara yang
baik.
4. Pada periode tahun 2020 ini, sejauh ini ternyata untuk kali pertama dalam empat
tahun, tidak ada satu hari pun yang memiliki kualitas udara yang baik.

Banjir
Kurangnya daya serap air akibat tertutupnya tanah dengan lahan terbangun akan
mengakibatkan dampak banjir. Secara teori dan konsep sebenarnya bencana ini dapat
dikurangi intensitasnya dengan pengadaan RTH.

Kriminalitas
Secara sosial, kurangnya RTH di DKI Jakarta akan berdampak pada tingginya tingkat
kriminalitas dan konflik di antara kelompok masyarakat DKI Jakarta akibat disebabkan oleh
kurangnya ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial untuk melepas
tekanan yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas perumahan dan
penyediaan RTH, secara psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial
masyarakat yang makin buruk dan tertekan.

Berdasarkan data dari BPS Statistik Kriminal 2020, DKI Jakarta ikut menyumbang
besaran kejadian perkelahian massal sebesar 20,60% dari seluruh kejadian di Indonesia.
(Badan Pusat Statistik, 2020)
Response
Berbagai peraturan perangkat hukum yang mendukung terwujudnya pembangunan kota
yang berkelanjutan (kota hijau) telah dihasilkan antara lain Undang Undang (UU) nomer
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 7/2004 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air dan UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung, UU No 24/2007
tentang Penanggulangan Bencana mensyaratkan adanya ruang evakuasi bencana sebagai
bagian dari Ruang Terbuka Hijau Kota, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang mensyaratkan
kota harus memiliki Ruang Terbuka Hijau minimal sebesar 30% dari total Luas Kota terkait
secara keseluruhan. Ini menegaskan akan pentingnya peranan RTH sebagai infrastruktur hijau
dalam tata ruang kota yang berkelanjutan. Perlu adanya pemahaman ulang (redefinisi) RTH dan
penempatan kembali (reposisi) RTH dalam struktur dan pola tata ruang kota.

Upaya perbaikan, penyelarasan dan penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah


(RTRW) yang tengah dan terus dilaksanakan di berbagai kota menghadapi kendala dalam
mengadopsi ketetapan target minimal RTH Kota sebesar 30% seperti yang diamanatkan dalam
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang (pasal 29 ayat 1). Keterbatasan lahan, dana yang
tersedia dan mahalnya harga tanah merupakan alasan utama keengganan pihak pemerintah
daerah memasukkan target RTH 30% ke dalam RTRW kota. Oleh karena itu perlu adanya
pemahaman ulang bersama mengenai pencapaian target RTH 30% itu. Apakah akan dilakukan
secara bertahap sampai dengan puluhan tahun mendatang 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun
ataukah lebih cepat lagi? (Eni, 2015)

DKI Jakarta sudah menetapkan kepentingan akan RTH pada Strategi dan Arah Kebijakan
Provinsi DKI Jakarta 2017-2022 pada misi ke-4 yaitu “Menjadikan DKI Jakarta kota yang lestari,
dengan pembangunan dan tata kehidupan yang memperkuat daya dukung lingkungan dan
sosial”. Dalam sasarannya disebutkan tentang “Meningkatnya kuantitas dan kualitas Ruang
Terbuka Hijau (RTH), dan strateginya adalah “Mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas
RTH”.
Salah satu upaya DKI Jakarta adalah menaikkan pajak bagi pemilik lahan kosong di
sepanjang jalan protokol Ibu Kota. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub)
Nomor 41 Tahun 2019 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atas Objek Pajak Bangunan Berupa Rumah untuk Tahun Pajak
2019.
Terkait dengan pembebasan lahan di DKI Jakarta, Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI
Jakarta mengupayakan untuk melakukan suatu program kemitraan dengan pihak swasta
melalui program CSR untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas RTH di DKI Jakarta.
Lalu maslaah RTH ini juga dapat dilakukan apabila masyarakat ikut sadar akan
kepentingan RTH. Hambatan pengadaan tanah untuk ruang terbuka hijau privat dapat diatasi
dengan penanaman pohon di pot-pot yang dapat dilakukan oleh masyarakat dihalaman rumah
masing-masing.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa

1. Driver dari ketersediaan RTH di DKI Jakarta dapat dibagi menjadi 4 yaitu secara sosial,
lingkungan, politik dan hukum, dan ekonomi yaitu
a. Sosial: Pertumbuhan penduduk
b. Lingkungan: Ekosistem Lingkungan yang layak
c. Politik dan hukum: Penyediaan Ruang
d. Ekonomi: Harga Lahan

2. Pertumbuhan penduduk DKI Jakarta dari driver sosial yang besar akan mengakibatkan pressure
kebutuhan di sektor property khususnya perumahan. Lalu driver lingkungan memberikkan
pressure terhadap kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh pemerintah kepada warga kota, seperti
pemenuhan air bersih, udara yang layak, serta mitigasi terhadap bencana alam. Driver Politik
dan Ekonomi, mengakibatkan pressure terhadap penggunaan tata ruang kota yang notabene
berfokus pada pemenuhan kebutuhan permukiman, seperti infrastruktur perumahan,
perbelanjaan, dan transportasi.

3. State/Kondisi DKI Jakarta terkait dengan RTH adalah hanya berjumlah 9,98% dari total luas
wilayah. Angka ini masih jauh dari 30% yang seharusnya dimiliki oleh DKI Jakarta.

4. Impact dari ketersediaan RTH di DKI Jakarta adalah


a. Aspek lingkungan hidup (kualitas air tanah, polusi udara, kebisingan di perkotaan)
b. Aspek sosial (kriminalitas)

5. DKI Jakarta sudah menetapkan kepentingan akan RTH pada Strategi dan Arah Kebijakan Provinsi
DKI Jakarta 2017-2022 pada misi ke-4 yaitu “Menjadikan DKI Jakarta kota yang lestari, dengan
pembangunan dan tata kehidupan yang memperkuat daya dukung lingkungan dan sosial”.
Dalam sasarannya disebutkan tentang “Meningkatnya kuantitas dan kualitas Ruang Terbuka
Hijau (RTH), dan strateginya adalah “Mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas RTH”. Salah
satu upaya DKI Jakarta adalah menaikkan pajak bagi pemilik lahan kosong di sepanjang jalan
protokol Ibu Kota. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 41 Tahun
2019 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan kepada Wajib
Pajak Orang Pribadi atas Objek Pajak Bangunan Berupa Rumah untuk Tahun Pajak 2019.
Referensi
Badan Pusat Statistik. (2020). Publication. Retrieved from BPS website:
https://www.bps.go.id/publication/download.html?nrbvfeve=MGYyZGZjNDY3NjEyODFmNjh
mMTFhZmIx&xzmn=aHR0cHM6Ly93d3cuYnBzLmdvLmlkL3B1YmxpY2F0aW9uLzIwMjAvMTEv
MTcvMGYyZGZjNDY3NjEyODFmNjhmMTFhZmIxL3N0YXRpc3Rpay1rcmltaW5hbC0yMDIwLm
h0bWw%3D&twoadfnoarfeauf=MjAyMC0xM

Bolund, P., & Hunhammar, S. (1999). Ecosystem services in urban areas. Ecological economies 29,
293-301.

Constanza, R., d'Arge, R., de Groot, S, F. M., Grasso, B., Hannon, R., . . . M, v. (1997). The value of the
world ecosystem services and natural capital. Nature 387(15), 253-260.

Databoks. (2020). databoks. Retrieved from databoks.katadata website:


https://databoks.katadata.co.id/series?id_kategori=1548

Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. (2019, Agustus 16). Kualitas Air Tanah di DKI Jakarta. Retrieved
from statistik DKI Jakarta website: 2019

Djafar, M. (2016, Oktober 23). Begini Upaya Pemprov DKI Perluas RTH di DKI Jakarta. (A. D. Sari,
Interviewer)

Eni, S. P. (2015). Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau DKI Jakarta. Scale volume 3, 319-331.

European Environtment Agency. (2011). DPSIR Framework. Retrieved from EEA:


http://www.eea.europa.eu/

DKI Jakarta Smart City. (2016). DKI Jakarta akan Memenuhi Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau.
Retrieved from DKI Jakarta Smart City: https://smartcity.DKI Jakarta.go.id/blog/114/DKI
Jakarta-akan-memenuhi-kebutuhan-ruang-terbuka-hijau

Jo, H. K. (2002). Impacts of urban greenspace on offsetting carbon emissions for middle Korea.
Journal of Environtmental Management 64, 115-126.

Kim, K. H., & Pauleit, S. (2007). Landscape character, biodiversity and land use planning: the case of
Kwangju City Region, South Korea. Land Use Policy 24(1), 264-274.

Kompas.com. (2020, Agustus 12). Terkenal Buruk, Begini Kualitas Udara DKI Jakarta selama Pandemi
Covid-19. Retrieved from kompas website:
https://www.kompas.com/sains/read/2020/08/12/100200623/terkenal-buruk-begini-
kualitas-udara-DKI Jakarta-selama-pandemi-covid-19?page=all

Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2019. (n.d.).


Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. (n.d.).

RPJMD DKI Tahun 2017. (n.d.).

Savard, L, J.-P., Clergeau, P., & Menneches, G. (2000). Biodiversity concepts and urban ecosystems.
Landscape and Urban Planning 48, 131-142.

Undang-Undang no 24 Tahun 2007. (n.d.).


Undang-Undang No 26 Tahun 2007. (n.d.).
Undang-Undang no 32 Tahun 2009. (n.d.).

Undang-Undang No. 28 Tahun 2002. (n.d.).

Undang-Undang No.7 Tahun 2004. (n.d.).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 20012. (n.d.).

Anda mungkin juga menyukai