Anda di halaman 1dari 9

Laporan Tugas Pengukuran Berbasis Citra

Disusun oleh : Farah Elma Annisa (13317074)

1. Tujuan
a) Menentukan apakah pada domain frekuensi, PSF dapat dinyatakan dari rasio antara
output citra dan input citra
b) Persyaratan informasi PSF
c) Perbandingan distribusi frekuensi tinggi citra1 dan citra2

2. Pembahasan
Proses Pembentukan citra
a) Konvolusi dalam domain frekuensi
Pengolahan citra pada domain frekuensi lebih mudah daripada pengolahan citra dalam
domain spasial. Sehingga pengolahan dilakukan pada domain frekuensi, kemudian hasil
pengolahan balik ditransformasikan kembali ke dalam domai spasial. Salah satunya adalah
pada proses konvolusi. Konvolusi dua fungsi pada domain spasial dapat dijadikan perkalian
biasa dalam domain frekuensi. Konvolusi dalam domain spasial dapat dituliskan sebagai
berikut
𝑔(𝑥, 𝑦) = 𝑓(𝑥, 𝑦) ∗∗ ℎ(𝑥, 𝑦)
Sedangkan, pada domain frekuensi konvolusi dua fungsi dapat dinyatakan

𝐺(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ) = 𝐹(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 )𝐻(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 )

Dengan
G(kx,ky) = FT(g(x,y))

F(kx,ky)=FT(f(x,y))
H(kx,ky) = FT(x,y)
FT adalah fourier transform
Karena dalam domain frekuensi konvolusi berupa perkalian biasa maka H(k x,ky) dapat
dinyatakan sebagai rasio antara output citra G(kx,ky) dan input citra F(kx,ky) dengan asumsi
noise jauh lebih kecil daripada fungsi objek.
b) Point Spread Function (PSF), Optical Transfer Function (OTF) dan Modulation Transfer
Function (MTF)
Instrumen citra tidak bisa merepresentasikan objek dengan sama persis. Hasil representasi
dari instrumen citra merupakan nilai perkalian fungsi objek dengan Point Spread Function

1
(PSF) ditambahkan dengan noise. PSF merupakan suatu fungsi yang menyatakan bagaimana
objek direpresentasikan oleh instrumen citra, yang dinyatakan sebagai berikut
𝑔(𝑥, 𝑦) = 𝑓(𝑥, 𝑦) ∗∗ ℎ(𝑥, 𝑦) + 𝑛(𝑥, 𝑦)
Dengan g(x,y) adalah citra yang ditangkap instrumen citra, f(x,y) adalah fungsi dari objek,
h(x,y) adalah PSF dan n(x,y) adalah noise.

Gambar 1. Proses pembentukan citra oleh instrumen citra


Jika Point Spread Function (PSF) ditransformasikan fourier akan menghasilkan fungsi Optical
Transfer Function (OTF). OTF ini berbentuk bilangan kompleks. Sedangkan Modulation
Transfer Function (MTF) adalah magnituda dari OTF.

Image Restoration
a) Definisi Image Restoration
Image restoration merupakan salah satu metode untuk perbaikan citra. Namun berbeda
dengan image enhancement yang memperbaiki kualitas citra dengan menambah atau
mengurangi kuantitas tertentu pada citra, contoh kuantitas yang dimaksud adalah kontras,
filter domain spasial. Sedangkan image restoration merupakan proses perbaikan citra
dengan mencari fungsi objek yang ditangkap oleh citra agar menghasilkan citra yang mirip
dengan objek awal. Persamaan representasi dari citra adalah

𝐺(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ) = (𝐹(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 )𝐻(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ) + 𝑁(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 )

Dengan
G(kx,ky) : Fungsi citra yang ditangkap oleh instrumen citra

2
F(kx,ky): Fungsi objek
H(kx,ky) : PSF
N(kx,ky): Fungsi noise

b) Persyaratan Image Restoration


Fungsi objek didapatkan dengan mengalikan fungsi hasil representasi instrumen citra yaitu
G(kx,ky) dengan suatu fungsi Y(kx,ky) yang digunakan untuk mengeliminasi H(k x,ky) dan N(kx,ky)
seminimum mungkin sehingga didapatkan fungsi objek.

𝐺(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ) = 𝐹(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 )𝐻(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ) + 𝑁(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 )

𝐹(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ) = 𝑌(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ) 𝐺(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ) = 𝑌(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 )(𝐹(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 )𝐻(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ) + 𝑁(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ))

Fungsi Y(kx,ky) dipengaruhi oleh noise. Berdasarkan Wiener-Helstrom filter, untuk noise yang
relatif lebih kecil daripada fungsi objek, maka
1
𝑌(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ) =
𝐻(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 )

Sedangkan untuk noise yang relatif besar daripada fungsi objek, maka

𝑌(𝑘𝑥 , 𝑘𝑦 ) = 0

Dengan kata lain tidak memungkinkan untuk mencari fungsi objek atau image restoration
jika noise jauh lebih besar daripada fungsi objek. Sehingga, agar dapat dilakukan image
restoration maka noise harus relatif lebih kecil daripada fungsi objek.
Dari persamaan tersebut dapat disimpulkan juga bahwa untuk mendapatkan restorasi citra
maka informasi PSF harus terlebih dahulu diketahui atau jika tidak diketahui maka harus
terlebih dahulu diestimasi.

Transformasi Fourier 2D
Pada bagian ini diberikan script untuk membentuk citra original yang akan diolah. script
yang diberikan adalah sebagai berikut.
citra1=zeros(256,256);
citra1(96:256-96,96:256-96)=1;
%Gaussian filter
Filter_size=256;
sigma=5;
citra2=Gaussian_filter(Filter_size, sigma);
function g=Gaussian_filter(Filter_size, sigma)
%size=5; %filter size, odd number
size=Filter_size;
g=zeros(size,size); %2D filter matrix

3
%sigma=2; %standard deviation
%gaussian filter
for i=-(size-1)/2:(size-1)/2
for j=-(size-1)/2:(size-1)/2
x0=(size+1)/2; %center
y0=(size+1)/2; %center
x=i+x0; %row
y=j+y0; %col
g(y,x)=1000*exp(-((x-x0)^2+(y-y0)^2)/2/sigma/sigma);
end
end
end

gambar yang dihasilkan dari script adalah sebagai berikut

Gambar 2. Citra1 Gambar 3. Citra2


a) Script matlab untuk transformasi fourier 2D
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengolahan citra pada domain frekuensi lebih mudah
daripada domain spasial. Untuk mengubah citra ke dalam domain frekuensi digunakan
transformasi fourier 2D.
Pada matlab, fungsi untuk transformasi fourier 2D adalah fft2(), sehingga script transformasi
fourier 2D dari citra1 dan citra2 adalah sebagai berikut
%Transformasi fourier dari citra1 dan citra2
FTcitra1=fft2(citra1); FTcitra1 =fftshift(FTcitra1);
FTcitra2=fft2(citra2); FTcitra2 =fftshift(FTcitra2);

Hasil transformasi fourier dari citra ditunjukkan sebagai berikut

4
Gambar 4. Transformasi fourier 2D citra1

Gambar 5. Transformasi fourier 2D citra2

Pada script tersebut dilakukan fftshift() untuk menggeser titik (0,0) hasil transformasi
fourier ke tengah. Semula titik (0,0) berada di ujung gambar. Hal ini dilakukan dengan
membagi daerah citra menjadi empat kuadran. Kemudian menukar kuadran 1 dengan
kuadran 3 dan menukar kuadran 2 dan kuadran 4.

5
Gambar 6. Proses shifting transformasi 2D
b) Reperesentasi transformasi fourier 2D dalam plotting 3D
Fungsi yang digunakan untuk representasi 3D adalah fungsi ribbon()
%menampilkan transformasi Fourier 2D dengan plotting 3D
figure
ribbon(abs(FTcitra1))
xlabel('horizontal pixel')
ylabel('vertical pixel')
zlabel('magnitude 2D fourier transform')
figure
ribbon(abs(FTcitra2))
xlabel('horizontal pixel')
ylabel('vertical pixel')
zlabel('magnitude 2D fourier transform')

hasil yang didapatkan ditunjukkan pada gambar berikut

6
Gambar 7. Representasi 3D magnitud transformasi fourier 2D dari citra1

Gambar 8. Representasi 3D magnitud transformasi fourier 2D dari citra2


c) Evaluasi distribusi transformasi fourier citra1 dan citra2.
Dari representasi 3D gambar 7 dan gambar 8 dapat simpulkan bahwa citra2 memiliki
magnituda yang lebih besar daripada citra1. Sedangkan dari gambar 4 dan gambar 5
disimpulkan bahwa luasan distribusi frekuensi tinggi citra2 lebih besar dari pada citra1.
Lampiran program
citra1=zeros(256,256);
citra1(96:256-96,96:256-96)=1;

7
%Gaussian filter
Filter_size=256;
sigma=5;
citra2=Gaussian_filter(Filter_size, sigma);
%Transformasi fourier dari citra1 dan citra2
FTcitra1=fft2(citra1); FTcitra1 =fftshift(FTcitra1);
FTcitra2=fft2(citra2); FTcitra2 =fftshift(FTcitra2);
%menampilkan citra original
figure
imshow(citra1)
figure
imshow(citra2)
%menampilkan transformasi Fourier 2D
figure
imagesc(abs(FTcitra1))
figure
imagesc(abs(FTcitra2))
%menampilkan transformasi Fourier 2D dengan plotting 3D
figure
ribbon(abs(FTcitra1))
xlabel('horizontal pixel')
ylabel('vertical pixel')
zlabel('magnitude 2D fourier transform')
figure
ribbon(abs(FTcitra2))
xlabel('horizontal pixel')
ylabel('vertical pixel')
zlabel('magnitude 2D fourier transform')
function g=Gaussian_filter(Filter_size, sigma)
%size=5; %filter size, odd number
size=Filter_size;
g=zeros(size,size); %2D filter matrix
%sigma=2; %standard deviation
%gaussian filter
for i=-(size-1)/2:(size-1)/2
for j=-(size-1)/2:(size-1)/2
x0=(size+1)/2; %center
y0=(size+1)/2; %center
x=i+x0; %row
y=j+y0; %col
g(y,x)=1000*exp(-((x-x0)^2+(y-y0)^2)/2/sigma/sigma);
end
end
end

3. Kesimpulan
a) H(kx,ky) dapat dinyatakan sebagai rasio antara output citra G(kx,ky) dan input citra F(kx,ky)
dengan asumsi noise jauh lebih kecil daripada fungsi objek.
b) Untuk mendapatkan restorasi citra maka informasi PSF harus terlebih dahulu diketahui
atau jika tidak diketahui maka harus terlebih dahulu diestimasi.
c) citra2 memiliki magnituda yang lebih besar daripada citra1. Sedangkan, luasan distribusi
frekuensi tinggi citra2 lebih besar dari pada citra1.

8
4. Referensi
Breckon, Toby and Solomon, Chris. Fundamentals of Digital Image Processing, Wiley-
Blackwell : 2011.

Anda mungkin juga menyukai