Anda di halaman 1dari 21

5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


2.1.1 Penelitian Wulandari, dkk. (2015) Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Menarche Siswi SMPN 31 Semarang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian menarche. Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian adalah study corelation dengan metode pendekatan cross
sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi kelas VII,VIII
dan IX di SMPN 31 Semarang yang terdiri dari 24 kelas dengan jumlah
siswi yang sudah mengalami menarche sebanyak 315, karena jumlah
populasi <1000 maka didalpatkan jumlah sampel 176 siswi sampel yang
digunakan dalam penelitian ini dan dihitung dengan menggunakan rumus
slovin. Analisis yang digunakan yaitu korelasi rank spearman.

Distribusi frekuensi responden berdasarkan kejadian menarche,


didapatkan hasil siswi yang mengalami kejadian menarche dini sebanyak
56, siswi yang mengalami kejadian menarche normal sebanyak 120, dan
tidak ada siswi yang mengalami kejadian menarche terlambat. Hasil
penelitian menurut uji korelasi rank sperman menunjukkan bahwa ada
hubungan antara status menarche ibu (genetik), keterpaparan media massa,
gaya hidup, nutrisi, status gizi dengan kejadian menarche siswi di SMPN
31 Semarang, yang dinyatakan dengan p value 0,000 < 0,05. Penelitian
yang dilakukan di SMPN 31 Semarang menunjukkan hasil kejadian
menarche siswi mayoritas normal >11-15 tahun.
2.1.2 Penelitian Sofya, Sri Novi Y (2015) Hubungan Aktivitas Fisik dengan
Usia Menarche pada Remaja Putri Atlet dan Non Atlet.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan aktivitas
fisik dengan usia menarche pada remaja putri atlet dan non atlet,
menggunakan desain penelitian cross sectional dengan survey analitik,
sampel berjumlah 41 orang terdiri dari 16 orang atlet dan 25 orang non
atlet. Pengambilan data dilakukan di SMP Atlet Ragunan Jakarta Selatan
sebagai sampel atlet dan SMP Negeri 01 Dramaga Bogor sebagai sampel
non atlet, sampel keduanya ditentukan secara purposive.

Hasil uji beda Mann Whitney yang dilakukan pada aktivitas


responden hari sekolah menunjukkan terdapat perbedaan yang siginifikan
(p<0.05) antara atlet dan non atlet, sedangkan pada aktivitas fisik
responden di hari libur menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata
(p>0.05) pada responden atlet dan non atlet. Hasil uji beda dengan uji
Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara
aktivitas fisik pada hari libur dan aktivitas fisik pada hari sekolah. Hasil uji
korelasi spearman menunjukkan terdapat hubungan yang nyata (p<0.05,
r=0.482) pada rata-rata aktivitas fisik responden terhadap usia menarche,
sehingga semakin tinggi aktivitas fisik maka usia menarche akan semakin
lambat.
2.1.3 Astuti, Nana Dewi (2014) Hubungan Frekuensi Konsumsi Fast Food dan
Status Gizi dengan Usia Menarche Dini pada Siswi Sekolah Dasar di
Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
frekuensi konsumsi fast food dan status gizi dengan usia menarche dini
pada siswi sekolah dasar di Surakarta, merupakan penelitian observasional
yang menggunakan metode penelitian cross sectional. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan sistem
Proportional Random Sampling. Data dalam penelitian ini meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer yaitu identitas responden, konsumsi
fast food, usia menarche dan data antropometri. Data sekunder meliputi
data gambaran umum SDN Kleco 1, SDN 15 dan SDN Bumi 1. Jumlah
sampel sebanyak 53 siswi yang sudah menstruasi. Untuk mengetahui
hubungan frekuensi konsumsi fast food dan status gizi dengan usi
menarche menggunakan Chi Square.

6
Hasil penelitian analisis bivariate dengan menggunakan uji chi
square menunjukkan p=0,736 (p>0,05), sehingga tidak terdapat hubungan
antara frekuensi konsumsi fast food dengan usia menarche dini, sedangkan
hasil uji Chi Square hubungan status gizi dengan usia menarche dini
sebesar p=0,021 (p<0,05) , sehingga menunjukkan hasil terdapat hubungan
yang signifikan antara status gizi dengan usia menarche dini.
2.1.4 Penelitian Wulandari, dkk. (2013) Status Gizi, Aktivitas Fisik dan Usia
Menarche Remaja Putri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dan
aktivitas fisik dengan usia menarche, pendekatan yang digunakan dalam
penelitian adalah cross sectional dengan sampel remaja putri kelas 5 dan 6
SD serta kelas 1 dan 2 SMP di sekolah di Jakarta. Jumlah sampel dipilih
dengan menggunakan cluster samling sebanyak 87 siswi yang sudah
mengalami menarche dalam tiga bulan terakhir. Data yang diperoleh
selanjutnya diolah menggunakan program komputer dengan meng-
gunakan analisis univariat dan uji chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
bermakna antara status gizi dengan usia menarche remaja putri (p= 0,660;
α= 0,05; 95% CI) sedangkan, antara aktivitas fisik dengan usia menarche
remaja putri terdapat hubungan yang bermakna (p= 0,015; α= 0.05; 95%
CI).
2.1.5 Penelitian Wulandari, Atik Ratna dan Ungsianik, Titin (2012) Perbedaan
Usia Menarche pada Anak Sekolah Pedesaan dan Perkotaan.
Tujuan penelitian adalah mengetahui perbedaan usia menarche
pada anakusia sekolah antara pedesaan dan perkotaan. Penelitian ini
adalah penelitian komparatif dengan desain penelitian yang digunakan
adalah cross sectional.Sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik
purposive sampling dengan pendekatan persons.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata umur responden yang
sekolah dari desa yang mengalami menarche 11,16 ±0,74 tahun, rata-rata
umur responden yang sekolah di kota yang mengalami menarche

7
10,23±0,56 tahun. Hasil penelitian menggunakan analisis bivariate untuk
Uji Independent t-test rata-rata usia menarche pada responden diperoleh
nilai Z = -4.440 dengan signifikasi p= 0,001 (p < 0,05) sehingga dapat
dikatakan bahwa terdapat perbedaan usia menarche pada anak usia sekolah
antara pedesaan dan perkotaan.

2.2 Remaja
2.2.1 Definisi Remaja
Tubuh manusia mengalami banyak perubahan dari waktu kewaktu meliputi
pertumbuhan dan perkembangan, Perubahan tersebut mulai mencolok ketika
seorang anak perempuan dan laki-laki memasuki usia 9-15 tahun, pada saat itu
terjadi perubahan-perubahan di dalam tubuh yang memungkinkan untuk
bereproduksi. Masa ini disebut masa pubertas atau masa remaja (Proverawati dan
Misaroh, 2009).
Masa remaja ditandai dengan seorang individu yang berada dalam rentang
umur 10-19 tahun, posisi remaja masih belum jelas, karena tidak termasuk
golongan anak-anak, bukan pula golongan dewasa yang belum mampu
menguasai fungsi fisik dan psikisnya. Remaja masih harus banyak belajar untuk
menempatkan dirinya dalam masyarakat sebagai warga negara yang
bertanggung jawab (Marmi dan Margiyati, 2013).
Menurut Marmi dan Magiyati (2013), dalam proses tumbuh kembangnya
menuju masa dewasa, seorang anak remaja akan mengalami berbagai macam
tahapan sesuai dengan kematangan psikososial dan seksual, yang meliputi:
1. Masa remaja awal atau dini (early adolescence) pada rentang usia 11-13 tahun
2. Masa remaja pertengahan (middle adolescence) pada rentang usia 14-16 tahun
3. Masa remaja lanjut (late adolescence) pada rentang usia 17-20 tahun
Tahapan ini bergantung pada keadaan masing-masing individu, setiap
tahapan mempunyai ciri tertentu tetapi tidak mempunyai batas yang jelas, karena
suatu proses tumbuh kembang berjalan secara berkesinambungan.

8
2.2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja baik secara psikis dan
fisik sangat pesat, perkembangan tersebut biasanya terjadi pada saat remaja
berusia 11-16 tahun pada laki-laki dan 10-15 tahun pada perempuan (Proverawati
dan Misaroh, 2009).
Masa remaja adalah masa yang paling sulit untuk dilalui oleh seseorang,
hal tersebut disebabkan karena pada masa ini seorang individu mengalami banyak
perubahan, baik perubahan secara psikis maupun fisik. Perubahan-perubahan itu
ditandai dengan terjadinya menstruasi pertama (menarche) dan payudara yang
membesar pada perempuan, sedangkan pada laki-laki ditandai dengan mimpi
basah, perubahan suara dan otot yang membesar (Istiany dan Rusilanti, 2014).
Remaja perempuan merupakan seorang anak yang sedang berkembang
baik secara fisik ataupun psikis. Anak perempuan akan lebih cepat dewasa
dibandingkan dengan anak laki-laki, karena seorang anak perempuan memerlukan
persiapan menjelang reproduksi dalam tubuhnya, sementara laki-laki akan
menyusul dalam waktu dua tahun kemudian (Arisman. 2009).
Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja menandakan
bahwa organ-organ reproduksi pada masa ini mulai berfungsi. Memasuki usia
remaja, beberapa jenis hormon pada tubuh perempuan khususnya estrogen dan
progesterone mulai bekerja aktif yang dapat menyebabkan perubahan pada tubuh.
Hal ini juga ditandai dengan adanya perubahan pada tubuh anak remaja, ciri-ciri
perubahan tersebut menurut Proverawati dan Misaroh (2009), dapat dibedakan
menjadi ciri kelamin primer dan kelamin sekunder.
Ciri-ciri kelamin primer yang ada pada perempuan dapat meliputi, mulai
berfungsinya organ reproduksi dan mulai terjadinya menstruasi. Ciri-ciri kelamin
sekunder meliputi, pertumbuhan payudara, rambut ketiak dan kemaluan,
membesarnya pinggul pada perempuan (Proverawati dan Misaroh, 2009).
Tanda pubertas yang dialami remaja perempuan pada umumnya yaitu
pertumbuhan payudara stadium 2 (breast bud) yaitu terdiri dari penonjolan putting

9
disertai pembesaran daerah aerola pada usia 8-12 tahun. Pertumbuhan pada
stadium lanjut yaitu terjadinya menstruasi pertama (menarche) yang terjadi di
umur yang bervariasi (Soetjiningsih, 2010).
Pertumbuhan cepat pada masa remaja, di dalam Negara maju tidak
berlangsung cukup lama dan akan selesai saat usia 17 tahun, berbeda di negara
tengah berkembang (miskin) proses pendewasaan fisik berjalan sedikit lebih lama
dan biasanya akan selesai saat usia 19 tahun. Hal ini mengakibatkan menarche
atau menstruasi pertama datang lebih lama, sehingga menyebabkan seorang
perempuan akan lebih dulu mengalami ketertarikan terhadap lawan jenisnya
dibandingkan dengan laki-laki yang berusia setara (Arisman, 2009).
Menstruasi yang datang pertama pada masing- masing remaja putri
berbeda-beda. Contoh, ada seorang remaja putri yang mendapatkan menarche di
usia 9-10 tahum, ada pula yang mendapatkannya di usia 14 tahun, namun pada
umumnya menarche terjadi di usia 12 tahun. Faktor –faktor yang menyebabkan
adanya perbedaan itu, salah satunya adalah faktor gizi (Proverawati dan Misaroh,
2009).

2.3 Menarche
2.3.1 Definisi Menarche
Menarche adalah menstruasi pertama pada perempuan yang terjadi sekitar
usia 10-11 tahun (Manuaba dkk., 2007). Proverawati dan Misaroh (2009),
mengatakan bahwa menarche terjadi pada rentang usia 10-16 tahun atau pada
masa awal remaja ditengah masa pubertas sebelum memasuki masa reproduksi.
Terjadinya menarche dimulai dari adanya pertumbuhan organ seks
sekunder yang mulai muncul, seperti pembesaran payudara, tumbuhnya rambut
ketiak, panggul membesar serta mulai berkembangnya beberapa organ vital yang
siap untuk dibuahi (Manuaba dkk., 2007).

10
2.3.2 Proses Terjadinya Menarche
Proses terjadinya menarche berawal dari adanya rangsangan dalam
hipotalamus, dimana rangsangan panca indra diubah dalam korteks serebri dan
akan disalurkan melalui nucleus amigdala menuju ke hipotalamus. Rangsangan
pada hipotalamus akan merangsang pembentukan hormon dalam bentuk
gonadothropic releasing factor yang merangsang hipofisis anterior dengan sistem
portal sehingga hipofisis akan mengeluarkan hormone FSH (follicle stimulating
hormone). FSH akan merangsang ovarium (folikel de graaf) untuk mengeluarkan
hormon estrogen, dimana keadaan ini terjadi pada perempuan di usia sekitar 8-9
tahun (Manuaba dkk., 2007).
Hormon estrogen yang memiliki konsentrasi rendah ini akan merangsang
pertumbuhan payudara. Estrogen juga akan menyebabkan timbulnya perubahan
organ seks sekunder pada wanita yang meliputi distribusi rambut, deposit jaringan
lemak, pertumbuhan vulva, dan perkembangan endometrium di dalam uterus.
Rangsangan hormon estrogen pada endometrium yang terjadi cukup lama akan
menyebabkan timbulnya pendarahan pertama yang disebut dengan menarche.
Pada tahun pertama sebagian besar menarche tidak disertai dengan proses ovulasi,
namun menstruasi sesungguhnya yang disertai dengan proses ovulasi sebagian
besar terjadi saat usia sektar 17-18 tahun (Manuaba dkk., 2007).

2.3.3 Usia Terjadinya Menarche


Usia datangnya menstruasi pertama atau menarche seorang anak
perempuan sangat bervariasi. Saat ini terdapat kecenderungan seorang anak
mendapatkan menstruasi pertamanya pada usia yang lebih muda. Usia terjadinya
menstruasi pertama atau menarche, ada yang mendapatkannya pada usia 12 tahun,
tapi ada pula yang mendapakannya lebih awal saat usia 8 tahun dan lebih tua saat
usia 16 tahun (Proverawati dan Misaroh, 2009).
Seorang anak perempuan dapat dikatakan dia mengalami menarche dini
bila usia menarche < 12 tahun, sedangkan dikatakan normal bila usia menarche ≥
12 tahun (Susanti dan Sunarto, 2012). Salirawati (2010), mengatakan bahwa usia
menarche di Indonesia berdasarkan penelitian rata-rata 13 tahun.

11
Usia dalam pencapaian fase terjadinya menarche dapat disebabkan oleh
banyak faktor, antara lain faktor suku, genetik, gizi, sosial, ekonomi, dan lainnya.
Secara global seorang anak perempuan mengalami menarche dini, hal ini
disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang dapat
menyebabkan usia menarche datang lebih cepat yaitu seperti asupan gizi makanan
yang dikonsumsi. Tingkat kualitas gizi yang dari waktu ke waktu semakin baik
saat ini pada masyarakat dapat menjadi pemicu terjadinya menarche dini, tapi
asupan gizi yang kurang dalam tubuh juga dapat menjadi penyebabnya, faktor
internal yang dapat menyebabkan seorang anak perempuan mengalami menarche
dini yaitu karena adanya ketidakseimbangan hormon bawaan dari lahir atau
disebut juga dengan faktor genetik (Proverawati dan Misaroh, 2009).
Menarche yang terjadi lebih dini pada seorang anak remaja, dapat
menyebabkan hormone estrogen terpapar lebih lama dalam tubuh, dibandingkan
dengan anak perempuan yang mendapatkan menarche di usia normal. Hal tersebut
terjadi dikarenakan aktivitas hormon reproduksi yang mengalami peningkatan
(Susanti dan Sunarto, 2012).

2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Menarche


1. Status Gizi
Status gizi merupakan suatu keadaan dalam tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat gizi (Almaitser, 2009). Supariasa dkk. (2013)
mengatakan bahwa status gizi sebagai suatu ekspresi dari keadaan keseimbangan
dalam bentuk variabel tertentu, atau sebagai perwujudan dari nutriture dalam
bentuk variabel tertentu.
Makanan yang dikonsumsi seseorang akan berpengaruh terhadap status
gizinya. Status gizi akan baik bila tubuh dapat memperoleh cukup zat-zat gizi
yang digunakan secara efisien sesuai dengan kebutuhan tubuh, sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan
kesehatan secara optimal (Istiany dan Rusilanti, 2014).
Status gizi sangat berhubungan dengan makanan yang dikonsumsi
seseorang, seseorang yang memiliki asupan makan lebih akan berpengaruh

12
terhadap kerja hormon dalam tubuh, terutama pada hormon seksual. Jenis hormon
—hormon seksual yang berperan seperti hormone progesteron, estrogen, LH, dan
FSH, sehingga umur menarche seseorang semakin muda (Astuti, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Sylvia dan Saftarina (2013),
menyimpulkan bahwa seorang remaja yang memiliki status gizi tinggi akan
cenderung mendapatkan menarche di usia yang lebih cepat, dibandingkan dengan
mereka yang memiliki status gizi rendah yang cenderung mendapatkan menarche
di usia yang lebih lambat.
2. Genetik
Genetik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi usia menarche
seseorang. Susanti dan Sunarto (2012) mengatakan, faktor genetik merupakan
salah satu faktor yang tidak dimodifikasi. Faktor genetik disini berperan terhadap
kecepatan dan keterlambatan usia menarche antara seorang anak dan ibunya.
Wulandari dkk. (2015) menyatakan bahwa, ada hubungan antara status
menarche ibu (genetik) dengan kejadian menarche siswi di SMPN 31 Semarang.
Hardiningsih dan Kusharisupeni (2013) memiliki hasil penelitian berbeda, yang
mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia menarche ibu
dengan usia menarche siswi.
Hasil penelitian yang saling bertentangan tersebut dapat disebabkan
karena, seorang ibu terkadang tidak mengetahui usia menarche secara pasti,
sehingga para ibu hanya bisa menduga saja. Sedangkan, menurut berbagai teori
genetik atau usia menarche ibu merupakan salah satu faktor terjadinya menarche,
yang dapat digunakan untuk menebak usia menarche pada putrinya (karapanou,
2012).
3. Sosial ekonomi
Kejadian menarche yang lebih lambat pada suatu kelompok sosial ekonomi
sedang sampai tinggi yang memiliki selisih sekitar 12 bulan. Hal ini telah
dibuktikan dalam penelitian di India berdasarkan pendapatan perkapita, bahwa
seorang dalam kelompok keluarga yang biasa akan mengalami usia menarche
lebih dini (Proverawati dan Misaroh, 2009).

13
Remaja dengan kondisi sosial ekonomi orang tua yang lebih baik dan
bersekolah di daerah pusat kota dengan fasilitas-fasilitas yang serba ada dan
mudah dijangkau memungkinkan seorang anak remaja memiliki status kesehatan
dan nutrisi yang lebih baik serta mendapatkan paparan informasi dengan lebih
mudah. Sehingga dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa status sosial ekonomi
orang tua cukup berpengaruh terhadap usia menarche anak (Astuti dan
Handarsari, 2010).
Faktor sosial ekonomi tidak berpengaruh secara langsung dengan kejadian
menarche, namun berpengaruh dalam memperoleh pelayanan kesehatan dan
pemenuhan gizi yang berhubungan dengan menarche, dimana hal tersebut akan
berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang. Tingkat sosial ekonomi meliputi
sumber-sumber yang dapat meningkatkan taraf hidup keluarga, sehingga dapat
dikatakan semakin tinggi tinggi pendapatan seseorang dalam keluarga, maka
semakin tinggi pula sumber-sumber yang didapat dalam meningkatkan taraf hidup
keluarga (Notoatmojo, 2009).
4. Lingkungan
Faktor lingkungan berpengaruh terhadap terjadinya menarche pada seorang
anak perempuan, hal ini telah dibuktikan dalam sebuah penelitian. Lingkungan
keluarga merupakan faktor yang sangat berpengaruh, lingkungan keluarga yang
harmonis dan keadaan keluarga yang baik akan menunda kejadian menarche dini,
sedangkan anak perempuan yang tinggal di lingkungan keluarga yang kurang
harmonis dapat memperbesar kejadian menarche dini (Proverawati dan Misaroh,
2009).
5. Gaya Hidup
Gaya hidup yang berhubungan dengan usia menarche yaitu aktivitas fisik
dan frekuensi konsumsi fast food. Latihan fisik atau aktivitas fisik yang dilakukan
dengan tingkatan yang berat akan dapat menunda usia menarche. Hal ini terbukti
dalam penelitian Sofya (2015) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang
nyata antara aktifitas fisik dengan usia menarche pada remaja putri atlet dan non
atlet.

14
Faktor lain yang berhubungan dengan usia menarche yaitu frekuensi fast food,
dimana sudah diketahui bahwa fast food merupakan makanan yang dapat diolah
dan disajikan secara instan dalam waktu beberapa menit dan memiliki kandungan
gizi yang tidak seimbang yaitu mengandung tinggi kalori, lemak, karbohidrat dan
rendah serat (Nirwana, 2012). Kebiasaann mengkonsumsi makanan siap saji (fast
food) yang mengandung tinggi gula, garam, zat adiktif dan juga terdapat sedikit
vitamin dan serat dapat menyebabkan terjadinya menarche dini (Susanti dan
Sunarto, 2012).

2.4 Aktivitas Fisik


2.4.1 Definisi Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan suatu gerakan dihasilkan oleh otot rangka yang
memerlukan pengeluaran energy dalam melakukannya. Aktivitas fisik yang
kurang menjadi faktor risiko timbulnya berbagai penyakit kronis sehingga dapat
berdampak pada kematian (WHO, 2010).
Aktivitas fisik menurut Almaitser (2009), merupakan suatu gerakan yang
dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Energi di luar metabolism
diperlukan untuk bergerak selama melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik dalam
kehidupan sehari-hari contohnya yaitu bekerja (occupational), olah raga,
melakukan pekerjaan rumah, atau aktivitas lain.
Bagi anak-anak dan remaja, kegiatan fisik dapat meliputi permainan,
permainan, olahraga, transportasi, rekreasi, pendidikan jasmani, atau latihan
terencana, dalam konteks keluarga, sekolah dan kegiatan masyarakat. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang dilakukandengan intensitas
sedang hingga kuat minimal 60 menit per hari, akan membantu anak-anak dan
remaja terhindar dari risiko penyakit kardiovaskular dan membentuk sistem
metabolik yang sehat. Ukuran volume atau intensitas kegiatan fisik yang lebih
tinggi secara umum cenderung memiliki manfaat lebih besar, namun penelitian di
bidang ini masih terbatas. (WHO, 2010).

15
2.4.2 Tingkat Aktivitas Fisik
Gibney dkk. (2009) mengatakan bahwa, terdapat empat dimensi utama
yang menjadi dasar pengukuran tingkat aktivitas fisik yaitu meliputi, tipe, durasi,
frekuensi, dan intensitas. Tipe merupakan jenis aktivitas fisik seperti duduk,
berlari, berjalan, bersepeda, berdiri, dan lainnya, frekuensi merupakan jumlah sesi
aktivitas fisik per satuan waktu, durasi merupakan waktu yang digunakan dalam
melakukan suatu aktivitas fisik, dan intensitas merupakan aktivitas fisik yang
dikategorikan dengan istilah ringan, sedang, dan berat.
Menurut WHO (2010) aktivitas fisik dapat dibagi menjadi beberapa jenis
yaitu :
a. Aktivitas fisik sedang. Pada skala absolut, intensitas sedang mengacu pada
aktivitas yang dilakukan pada 3,0-5,9 kali intensitas istirahat. Aktivitas fisik
intensitas sedang biasanya berukuran 5 atau 6 pada skala 0-10.
b. Aktivitas fisik yang sangat kuat. Pada skala absolut, intensitas yang kuat
mengacu pada aktivitas yang dilakukan pada 6,0 atau lebih kali intensitas
istirahat untuk orang dewasa dan biasanya 7,0 atau lebih kali untuk anak-anak
dan remaja. Aktivitas fisik intensitas kuat biasanya berukuran 7 atau 8 pada
skala 0-10.
Sedangkan menurut Nurmalina (2011) aktivitas fisik dapat digolongkan
menjadi 3 tingkatan yang sesuai untuk remaja, antara lain :
1. Kegiatan ringan : kegiatan atau aktivitas fisik ringan, dimana dalam
melakukannya tidak memerlukan banyak tenaga dalam melakukannya dan
tidak menimbulkan perubahan dalam pernafasan. Contohnya, berjalan kaki,
menyapu lantai, mencuci baju/piring, mencuci kendaraan, berdandan, duduk,
les di sekolah, les di luar sekolah, mengasuh adik, nonton TV, aktivitas main
play station, main komputer, belajar di rumah, nongkrong.
2. Kegiatan sedang : kegiatan atau aktivitas fisik dalam melakukannya
menggunakan tenaga secara intens atau terus-menerus, serta memerlukan pula
gerakan otot yang berirama dengan mempertimbangkan kelenturan.
Contohnya, berlari kecil, tenis meja, berenang, bermain dengan hewan
peliharaan, bersepeda, bermain musik, jalan cepat.

16
3. Kegiatan Berat : kegiatan atau aktivitas fisik yang dalam melakukannya
memerlukan tenaga dan kekuatan, yang akan membuat keringat sangan
melakukannya. Contoh, berlari, bermain sepak bola, aerobik, bela diri ( misal
karate, taekwondo, pencak silat ) dan outbond.

2.4.3 Manfaat Aktivitas Fisik


Aktivitas fisik sangat bermanfaat dalam menjaga kesehatan tubuh, karena
aktivitas fisik merupakan kunci utama dalam menjaga keseimbangan energi serta
mengontrol berat badan. Aktivitas fisik juga bermafaat untuk menghindari
berbagai penyakit seperti menurunkan risiko menderita penyakit jantung koroner,
stroke, diabetes, hipertensi, kanker kolon, kanker payudara, depresi, serta menjaga
kesehatan fungsional tubuh dan mencegah jatuh pada lansia (WHO, 2010).
Menurut Nurmalina (2011), aktivitas fisik yang dilakukan seseorang
khususnya anak remaja, akan memberikan banyak keuntungan, antara lain :
a. Membantu menjaga otot dan sendi tetap sehat.
b. Membantu meningkatkan mood atau suasana hati.
c. Membantu menurunkan kecemasan, stress dan depresi ( faktor yang
berkontribusi pada penambahan berat badan ).
d. Membantu untuk tidur yang lebih baik.
e. Menurunkan resiko penyakit penyakit jantung, stroke, tekanan darah tinggi
dan diabetes.
f. Meningkatkan sirkulasi darah.
g. Meningkatkan fungsi organ-organ vital seperti jantung dan paruparu.
h. Mengurangi kanker yang terkait dengan kelebihan berat badan.
Aktivitas fisik yang kurang dapt menjadi salah satu pemicu terjadinya gizi
lebih atau obesitas pada anak remaja. Gizi lebih atau obesitas itu sendiri dapat
mempengaruhi usia terjadinya menarche pada anak perempuan, karena status gizi
merupakan salah satu faktor terjadinya menarche. Aktivitas fisik yang dilakukan
secara rutin bukan hanya bermanfaat bagi kesehatan tubuh saja, namun juga dapat
bermmanfaat sebagai hiburan agar terhindar dari stress (Misnadiarly, 2007).

17
2.4.4 Cara Pengukuran Aktivitas Fisik
Cara pengukuran aktivitas fisik pada penelitian yang akan dilakukan
menggunakan metode faktorial. Metode ini dilakukan dengan cara merinci,
mencatat beberapa jenis kegiatan yang dilakukan selama 24 jam (menit) dalam
lembar kuesioner yang tersedia, yang sesudahnya akan dicocokkan dengan daftar
nilai perkiraan pengeluaran energi pada jenis kegiatan tertentu, dimana setiap
kegiatan memiliki nilai yang berbeda.
Physical Activity Level (PAL) merupakan suatu tingkatan untuk
menentukan besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang. Jika sudah
ditemukan nilai PAL dalam perhitungan, maka dapat disimpulkan aktivitas
seseorang dapat dikategorikan ke dalam jenis aktivitas fisik ringan, sedang atau
berat. PAL dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut : (WHO,2001)

PAL=
∑ ( PAR x W )
24 jam
Keterangan :
PAL = Physical activity level (tingkat aktivitas fisik)
PAR = Physical activity rasio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis
kegiatan per satuan waktu tertentu)
W =Alokasi waktu tiap aktivitas (jam)

Tingkat aktivitas fisik dapat dikategorikan sebagai berikut :


Tabel 2.1 Kategori Aktivitas Fisik Berdasarkan Nilai PAL

Kategori Nilai PAL


Ringan 1,40 – 1,69
Sedang 1,70 – 1,99
Berat 2,00 – 2,40
Sumber : (FAO/WHO/UNU, 2001)

18
2.4.5 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Usia Menarche
Aktivitas fisik juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
usia menarche pada seorang remaja putri. Aktivitas fisik yang dilakukan secara
rutin dan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama akan dapat menunda usia
pubertas seorang remaja putri. Latihan fisik yang teratur pada masa pra pubertas
dapat menunda usia menarche. Penelitian Sofya (2015) telah membuktikan bahwa
terdapat hubungan yang nyata antara aktifitas fisik dengan usia menarche pada
remaja putri atlet dan non atlet.
Penelitian lainnya juga telah membuktikan bahwa seorang anak perempuan
yang memiliki kegiatan fisik tinggi atau meningkat sebelum mengalami menarche
akan mengalami penundaan umur menarche dan ketidakteraturan pada siklus
menstruasinya (Giriwijoyo dan Sidik, 2013).
Seorang anak perempuan dengan kegiatan fisik yang cukup tinggi,
misalnya pada atlet, jika penggunaan energi terlalu tinggi dan tidak seimbang,
dimana terjadi ketidakseimbangan antara pemasukan dan pemakaian energi, akan
dapat mempengaruhi sekresi pulsatil dari LH sehingga pola sekresi dari LH
terganggu dan biasanya penekanan pada LH lebih besar daripada FSH (Handjaja,
2010). Aktifitas fisik terlalu sering dapat menyebabkan penurunan aktivitas
ovarium, akhirnya menyebabkan kadar estrogen menjadi lebih rendah, akibatnya
menarche datang lebih lambat dari usia normalnya dan berlaku untuk sebaliknya
(Rosenthal, 2009).
Estrogen yang tinggi dan cukup lama akan merangsang endometrium,
sehingga akan ikut luruh bersama cairan yang berbentuk darah dan sel-sel
endometrium yang terkumpul di rahim kemudian mengalir melalui vagina dan
mulailah terjadi haid pertama atau disebut menarche (Manuaba, 2007).

2.5 Frekuensi Konsumsi Fast Food


2.5.1 Definisi Fast Food
Makanan cepat saji atau yang biasa disebut fast food merupakan makanan
yang diolah dan disajikan secara instan dalam waktu beberapa menit dengan
kandungan gizi tidak seimbang yaitu mengandung tinggi kalori, lemak,

19
karbohidrat dan rendah serat (Nirwana, 2012). Fast food merupakan jenis
makanan yang disajikan dengan mudah, cepat, praktis dengan cara pengolahannya
sederhana. Beberapa contoh makanan cepat saji yaitu Kentucky Fried Chicken,
California fried chicken, Burger, Pizza, Dunkin Donuts, Pecel, Gado-gado, dan
yang lainnya (Heryanti, 2009).
Budaya makanan cepat saji merupakan trend yang muncul di kalangan
remaja. Ketersediaan, rasa, biaya rendah, strategi pemasaran dan tekanan teman
sebaya membuat mereka populer di kalangan anak-anak dan remaja. Makanan
cepat saji dapat ditandai dengan biaya rendah, ukuran porsi besar dan makanan
tinggi energi dengan kandungan kalori dan lemak yang cukup tinggi (Sharkey JR
dkk, 2011). Kehadiran fast food yang semakin populer berpengaruh terhadap pola
makan para remaja khususnya mereka yang tinggal di kota besar, sehingga tidak
bisa dipungkiri dengan gaya hidup di kota yang serba praktis menyulitkan
kalangan remaja untuk menghindar dari fast food (Kristianti dkk., 2009).
Restoran fast food di kota-kota besar yang semakin pesat keberadaannya di
Indonesia telah menghadirkan berbagai macam makanan siap saji yang dapat
berupa makanan tradisional Indonesia maupun makanan barat. Keberadaan fast
food di kalangan remaja saat ini dengan berjalannya waktu semakin populer,
diiringi peningkatan besar porsi dan konsumsi energi beberapa tahun terakhir,
dapat menyebabkan remaja yang mengkonsumsi makanan cepat saji akan
mengkonsumsi energi, lemak, dan gula secara berlebihan. Hal ini dikarenakan
makanan cepat saji mengandung serat yang rendah dan tinggi akan kandungan
sodium (Imtihani dan Noer, 2013).

20
Tabel 2.2 Definisi yang Terkait Dengan Makanan Cepat Saji (Fast Food)

Type makanan Definisi Contoh


Fast Food Makanan dijual di restoran atau toko Burger, pizza,
yang cepat disiapkan dan cepat disajikan kentang goreng,
dalam bentuk kemasan untuk dibawa burger, roti,
pulang nugget.
Junk Food Makanan padat energi dengan kandungan Coklat, es krim,
gula / lemak / garam yang tinggi dan minuman ringan,
memiliki nilai gizi rendah dari keripik dll.
kandungan protein, serat, vitamin dan
mineral.
Instan Food Makanan yang dimasak dengan Mie, corn flakes,
pengolahan khusus yang siap disajikan bubuk sup,
sekali dilarutkan atau didispersikan spaghetti, dll.
dalam cairan dengan waktu memasak
yang rendah/singkat.
Street Food Makanan yang disiapkan dan dijual oleh Cilok, siomay,
penjaja atau pedagang di jalanan atau batagor, dll.
tempat umum lainnya
Sumber : Khausik, et al (2011) dalam Journal Indian Pediatri

Makanan cepat saji lebih mengacu pada jenis makanan yang siap
disajajikan dan siap dimakan. Makanan cepat saji tidak hanya dikenal sebagai fast
food saja, tetapi juga dikenal dengan sebutan junk food. Sebagian besar junk food
merupakan fast food, tetapi tidak semua fast food merupakan junk food, karena
dalam jenis makanan fast food masih terdapat makanan yang bergizi. Sedangkan
jenis makanan junk food dikenal sebagai makanan, dimana merupakan makanan
dengan kandungan gizi yang kurang (Khausik et al, 2011).
Makanan cepat saji atau yang biasa disebut fast food memang jenis
makanan yang mengandung gizi tinggi, namun kandungannya tidak memiliki
komposisi gizi yang seimbang. Konsumsi fast food saat ini lebih banyak dijumpai
di daerah perkotaan, namun bukan berarti di pedesaan tidak terdapat sama sekali
orang-orang yang mengkonsumsi fast food. Frekuensi konsumsi fast food lebih
banyak terdapat di perkotaan dikarenakan masyarakat kota besar menginginkan
makanan yang serba instan dan cepat dalam penyajiannya (Nirwana, 2012).

21
2.5.2 Jenis Fast Food
Jenis makanan cepat saji atau fast food menurut Hayati (2010), pada
umumnya dibedakan menjadi dua, antara lain :
1. Fast food barat : merupakan jenis fast food yang berasal dari negara barat
atau yang biasa disebut dengan fast food modern, yang terdiri atas pizza,
humburger, shagetty, Kentucky fied chicken dan sejenisnya.
2. Fast food lokal : merupakan jenis fast food yang berasal dari dalam negeri
atau lokal, atau yang biasa disebut dengan fast food tradisional, yang terdiri
atas makanan yang biasa dijual di warung seperti nasi pecel, masakan
padang, dan sejenisnya.
Berikut adalah beberapa contoh makanan cepat saji yang mengandung
kalori tinggi dalam setiap 100 gram jenis makanan :
Tabel 2.3 Daftar beberapa jenis fast food per 100 gram BDD

Jenis Makanan Kandungan Kalori (kkal)


a. Nasi Gurih 190
b. Sosis 448
c. Fried chicken 298
d. Pempek 243
e. Es krim 210
f. Bakso 190
g. Donat 317
h. Pizza 294
i. Nasi goreng 138
j. Mie kuning goreng 476
Sumber : Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2009)

2.5.3 Food Frequency Questioner (FFQ)


Food Frequency Quetioner (FFQ) merupakan salah satu jenis metode
survei konsumsi pangan yang cukup sering digunakan untuk mengetahui
frekuensi makan sesorang terhadap suatu jenis makanan atau minuman tertentu.
Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam periode waktu tertentu seperti hari,
minggu, bulan, atau dalam waktu satu tahun (Supariasa dkk., 2012).

22
Penelitian kali ini, peneliti menggunakan metode Food Frequency
Quetioner (FFQ) untuk mengetahui frekuensi konsumsi fast food pada responden
penelitian. Cara menggunakan metode FFQ ini yaitu langkah pertama membuat
kuesioner frekuensi makanan atau minuman berdasarkan kebutuhan jenis
makanan atau minuman yang akan diteliti, sehingga tidak perlu semua nama
makanan masuk ke dalam kuesioner namun juga tidak ada jenis makanan atau
minuman yang terlewatkan (Widajanti, 2009).
Bahan makanan yang tertulis di dalam kuesioner frekuensi makanan
merupakan jenis bahan makanan yang paling sering dikonsumsi oleh responden.
Kelebihan dari metode ini yaitu relative murah, dapat dilakukan sendiri oleh
responden, tidak memerlukan latihan khusus, sedangkan kekurangan dari metode
ini yaitu tidak dapat menghitung intake zat gizi sehari, cukup menjemukan bagi
pewawancara, dan responden harus jujur (Supariasa dkk., 2012).

2.5.4 Hubungan Frekuensi Konsumsi Fast Food dengan Usia Menarche


Setyowati (2014) mengatakan fast food banyak disediakan atau dijual di
kantin sekolah, namun tidak menutup kemungkinan jika di rumah tidak
mengkonsumsi fast food. Contoh fast food yang paling sering dikonsumsi oleh
anak-anak baik di rumah maupun sekolah seperti, kentang goreng, nugget,
sphagetti, sosis, burger, jamur crispy, dan mie instant.
Astuti (2014), menyatakan dalam penelitiannya bahwa tidak ada hubungan
antara frekuensi konsumsi fast food dengan menarche dini. Hal ini bertentangan
dengan penelitian Susanti (2012) yang mengatakan kebiasaan mengkonsumsi
makanan siap saji (fast food) yang mengandung tinggi gula, garam, zat adiktif dan
juga terdapat sedikit vitamin dan serat dapat menyebabkan terjadinya menarche
dini. Penelitian Pramanik (2014) juga mengatakan bahwa seorang anak
perempuan yang memiliki frekuensi asupan makanan cepat saji lebih mengalami
usia menarche yang lebih awal dibandingkan anak perempuan yang memiliki
frekuensi asupan makanan cepat saji kurang. Pengamatan tersebut dapat
menunjukkan bahwa perubahan kebiasaan makan pada seorang anak perempuan
dapat menjadi salah satu penyebab menurunnya usia menarche.

23
Fast food yang identik dengan jenis makanan dengan kandungan tinggi
kalori, lemak, karbohidrat dan rendah serat. Konsumsi makanan tinggi gula akan
menyebabkan pankreas mengekskresikan insulin dalam jumlah yang banyak agar
kadar gula dalam darah tetap normal. Ketika kadar karbohidrat yang tinggi dalam
tubuh terjadi secara terus menerus, pankreas akan bekerja lebih keras untuk
menghasilkan insulin dalam kadar yang lebih banyak. Hal ini akan menyebabkan
disfungsi pankreas yang pada akhirnya tidak bisa mengkontrol kadar gula darah
dan akhirnya menyebabkan terjadinya diabetes militus type II.
Konsumsi makanan tinggi lemak akan berakibat pada penumpukan lemak
dalam jaringan adiposa yang berhubungan dengan peningkatan kadar leptin.
Leptin akan memicu pengeluaran hormon GnRH yang selanjutnya mempengaruhi
FSH dan LH dalam merangsang pematangan folikel dan pembentukan estrogen.
Pelepasan pulsatil GnRH merangsang peningkatan pelepasan pulsatil FSH dan LH
dari kelenjar hipofisis. Frekuensi dan amplitudo peningkatan FSH dan LH
menstimulasi produksi hormon seks steroid. Pada perempuan ovarium
memproduksi estrogen. Produksi hormon seks steroid mengakibatkan munculnya
tanda seks sekunder, pertumbuhan somatik, kemampuan reproduksi dan efek
psikologis lainnya yang secara otomatis akan mempercepat usia menarche pada
perempuan (Maditias, 2015).
Akan tetapi hal ini bertolak belakang dengan konsumsi makanan tinggi
serat yang tidak terdapat dalam jenis fast food, bahwa serat dapat menurunkan
jumlah kolesterol. Serat makanan terutama jenis serat larut air berpengaruh
terhadap penurunan kadar kolesterol. Pengaruh serat terhadap kadar kolesterol
berkaitan dengan metabolisme asam empedu, diamana serat makanan dapat
menyerap asam empedu yang disintesis dari kolesterol dalam hati. Konsumsi serat
yang tinggi dapat memproduksi lebih banyak asam empedu melalui feses,
sehingga perlu pembuatan asam empedu baru dari persediaan kolesterol, yang
berdampak pada penurunan jumlah kolesterol. Berkurangnya jumlah kolesterol
dapat menurunkan kadar leptin dalam darah sehingga dapat berpengaruh dalam
produksi hormon estrogen yang berpengaruh secara langsung terhadap datangnya
menarche seorang perempuan. (Susanti, 2012).

24
2.6 Kerangka konsep

Faktor lain yang


tidak bisa
dikendalikan :
1. Genetik
Tingkat 2. Ras dan Suku
Aktivitas
Fisik

Gaya Hidup Usia


Menarche

Frekuensi
konsumsi Faktor lain yang bisa
fast food dikendalikan:
1. Status Gizi
2. Lingkungan
3. Sosial Ekonomi

Keterangan :

: Faktor yang tidak diteliti

: Faktor yang diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

2.7 Hipotesis Penelitian

2.7.1 Terdapat hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan usia menarche
pada siswi SDN Kepatihan 06 Jember
2.7.2 Terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi fast food dengan usia
menarche pada siswi SDN Kepatihan 06 Jember

25

Anda mungkin juga menyukai