Anda di halaman 1dari 3

Secara keseluruhan adanya kembali Haluan Negara akan memperkuat rencana pembangunan

nasional baik jangka panjang, menengah, maupun pendek. Untuk itu diperlukan pembenahan dan
penguatan kerangka perencanaan pembangunan melalui proses penyusunan yang lebih
partisipatif guna menjamin kesinambungan pembangunan.
Tujuan negara Indonesia sendiri telah ditetapkan dengan jelas dalam Pembukaan UUD 1945,
yaitu: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Sebagaimana diketahui, sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


1945 (UUD NRI 1945), kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian, MPR memegang kekuasaan negara
yang tertinggi dan menjadi lembaga tertinggi negara , dan berwenang untuk menetapkan Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi arah penyelenggaraan negara. GBHN tersebut
dituangkan ke dalam Ketetapan MPR sebagai instrumen hukum lembaga tertinggi negara.
Penyelenggaraan negara oleh Presiden harus didasarkan pada haluan negara yang ditetapkan oleh
MPR, sebagai konsekuensi kedudukan Presiden selaku untergeordnet MPR. Konstelasi politik
yang bergulir pada tahun 1998 menghasilkan berbagai tuntutan untuk merombak dimensi
ketatanegaraan, guna kemudian dituangkan ke dalam agenda amandemen UUD NRI 1945. Salah
satu poin perubahan fundamental yang dimuat dalam amandemen UUD NRI 1945 tersebut
adalah adanya pergeseran pelaksana kedaulatan rakyat, dari yang sebelumnya dilaksanakan
sepenuhnya oleh MPR, menjadi dilaksanakan menurut UUD NRI 1945. Perpindahan pelaksana
kedaulatan rakyat tersebut mengakibatkan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, dan
tidak lagi berwenang untuk menetapkan GBHN sebagai arah pelaksanaan pembangunan. Praktis,
dengan tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, terdapat konsekuensi logis bahwa Ketetapan
MPR yang sebelumnya mempunyai kedudukan hukum langsung di bawah UUD NRI 1945 dan
di atas Undang-Undang (UU), tidak lagi diakomodir dalam kerangka peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian pasca amandemen UUD NRI 1945, kewenangan MPR terbatas
dalam lingkup mengubah dan menetapkan UUD NRI 1945; melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden; serta memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut UUD.
Permasalahan ketatanegaraan yang mengemuka akhir-akhir ini adalah tentang Haluan Negara.
Sebagai negara hukum, pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum,
yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi adalah suatu
keharusan . Hukum sebagai pedoman tertinggi ini dituangkan dalam pengaturan dan peraturan.
Di Indonesia, pengaturan dan peraturan tersebut ditetapkan dalam sistem hirarkhie (tata urutan)
peraturan perundang-undangan dengan tingkatan dari tingkat tertinggi hingga tingkat terendah.

Untuk mencapai tujuan pembangunan dari cita-cita bangsa Indonesia dan menjadi pedoman
pelaksanaan maka perlu dibuat atau ditetapkan haluan negara, agar jelas kemana negara ini
dibawa, yang kemudian dijabarkan dalam perencanaan jangka pendek (5 thn ) dan jangka
panjang (25 thn ). Perencanaan jangka panjang ini disebut Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) dan idialnya ditetapkan oleh Tap MPR, sebagai kehendak rakyat.Dengan adanya
GBHN ini maka diharapkan setiap adanya penggantian pemerintah sudah ada pegangan atau
pedoman dalam pembangunan, sehingga
kehendak rakyat tetap bisa dijalankan siapapun pemimpinya. Kemudian untuk melaksanakan
atau menjalankan pemerintahan dan melaksanakan pembangunan diperlukan adanya dana. Untuk
tertibnya pencarian / perolehan dan penggunaan dana maka dibuatlah perencanaan perolehan dan
penggunaan dana yg disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN). Jadi
dengan demikian APBN untuk melaksanakan pembangunan yg tercantum GBHN harus sesuai
dengan ketentuan UUD 45 dimana Batang Tubuh UUD 45 disinari oleh Pancasila yg tercantum
dalam Pembukaan UUD 45. Melalui APBN itu cita-cita dapat diwujudkan secara bertahap sesuai
dengan haluan negara dalam rangka pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Dalam konteks Indonesia, Haluan Negara dibutuhkan oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang sedang membangun (developing country) untuk memperkuat arah dan kepastian
pembangunan dalam mewujudkan tujuan negara. Tujuan negara Indonesia sendiri telah
ditetapkan dengan jelas dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Tujuan negara yang termaktub dalam
konstitusi tersebut menjadi landasan filosofis dalam pembangunan negara di segala bidang.
Dalam kaitan ini, Haluan Negara menjadi wadah penjabaran tujuan negara yang berfungsi
sebagai pedoman dan arah pembangunan negara. Sejarah menunjukkan bahwa keberadaan
Haluan Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan. Di era Orde Lama
dan Orde Baru, Haluan Negara perannya menjadi sangat vital sebagai pedoman pembangunan
negara, yang kala itu wujud formalnya disebut sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Namun, setelah reformasi eksistensi Haluan Negara menjadi hilang seiring
diamandemen UUD 1945 yang menghilangkan eksistensi Haluan Negara dalam konstitusi.3
Setelah era reformasi, peran GBHN sebagai haluan negara yang berfungsi sebagai pedoman dan
arah pembangunan negara digantikan oleh Sistem Perencanaan

--\

Di samping itu, keterbatasan fungsifungsi DPD dalam hubungannya dengan DPR dalam sistem
parlemen akan dapat direduksi dengan peran strategis DPD sebagai anggota MPR yang
berwenang menetapkan GBHN. Dengan demikian, kedudukan DPD dalam MPR akan menjadi
counterpart DPR yang diharapkan mampu menjadi pengimbang dan mengurangi arogansi DPR
dalam parlemen (MPR). Di samping itu, selain fungsi dan peran DPD yang menguat, fungsi dan
peran MPR pun semakin strategis karena mengalami penambahan kewenangan. Jika
kewenangan menetapkan GBHN dimiliki kembali oleh MPR, maka GBHN tersebut akan
dituangkan dalam produk hukum yang berbentuk Ketetapan MPR (Tap-MPR). Artinya,
kewenangan MPR dalam membentuk Tap-MPR secara otomatis akan dipulihkan kembali. Di
samping itu, kedudukan Tap-MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan akan semakin
jelas eksistensinya. Selama ini kedudukan Tap-MPR di satu sisi masih diakui, walaupun hanya
tinggal 14 buah lagi. Namun di sisi lain MPR tidak berwenang lagi membentuk Tap MPR yang
baru. Dengan adanya GBHN ini, maka akan ada lagi Tap MPR yang baru. Selain itu, adanya Tap
MPR tentang GBHN harus disertai dengan mekanisme pengawasan terhadap peraturan
pelaksanaanya, yang dalam hal ini Undang-Undang tentang RPJM Nasional. Dengan kata lain,
jika UndangUndang tentang RPJM Nasional yang nota bene adalah peraturan pelaksana dari Tap
MPR tentang GBHN bertentangan dengan Tap MPR tentang GBHN, maka dibutuhkan
mekanisme kontrol yuridis terhadap undang-undang tersebut. Mekanisme kontrol yuridis
tersebut tidak lain adalah melalui hak menguji (toetsing recht) melalui judicial review yang
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga secara tidak langsung berimplikasi pada
semakin menguatnya fungsi MK. Hal ini dikarenakan selama ini MK hanya berwenang menguji
undang-undang terhadap UUD, sedangkan jika undang-undang bertentangan dengan Tap MPR,
maka undang-undang tersebut tidak dapat diuji, akibatnya harmonisasi hukum yang diharapkan
sulit terwujud. Hal ini karena setidaknya GBHN mengandung beberapa hal yang mendasar
diantaranya adalah: 1) dasar dan landasan filosofis sekaligus penjelasannya sehingga dapat
menjadi “tali kendali” yang selalu melekat pada setiap langkah pembangunan bangsa. Tali
kendali ini penting karena tidak ada artinya pembangunan dan hasilnya manakala dia lepas dari
filosofi dasar bernegara dan abai terhadap nilai dan ruh Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara; 2) GBHN memuat wawasan nusantara dimana didalamnya berisi tentang cara pandang
tentang bangsa Indonesia terhadap dirinya dan lingkungan strtegis yang melingkupinya. Hal ini
penting untuk dapat membantu mengidentifikasi dan menganalisis potensi kekuatan, kelemahan,
peluang, maupun ancaman yang ada sehingga dapat ditangani dengan tepat. Keberadaan
wawasan nusantara sebagai suatu dokumen yang tidak terpisahkan dengan perencanaan
pembangunan adalah suatu hal yang mutlak untuk dikuatkan karena akan sangat membantu
mewujudkan perencanaan pembangunan yang telah ditentukan; 3) GBHN menegaskan
pentahapan-pentahapan yang harus dicapai lengkap dengan indikator pencapaian program
pembangunan. Hal ini tentulah sangat baik karena memberikan “time line” sekaligus rambu
rambu waktu yang diperlukan

Anda mungkin juga menyukai