Nim : 2001036124
Prodi : Akuntansi
Mata Kuliah : Bahasa Indonesia/Gab J
Dosen Pengampu : Eka Yusriansyah S.Pd.,M.Hum
Tamil Indonesia
Kappal Kapal
Satay Sate
Ulōkam logam
Hindi Indonesia
Kappas Kapas
Rotee Roti
Chumma Cium
2. Perkembangan Ejaan Di Indonesia
Ejaan Van Ophuijsen (1901-1947)
Sejarah ejaan Bahasa Indonesia diawali dengan ditetapkannya Ejaan van Ophuijsen
pada 1901. Ejaan ini menggunakan huruf Latin dan sistem ejaan Bahasa Belanda yang
diciptakan oleh Charles A. van Ophuijsen. Ejaan van Ophuijsen berlaku sampai
dengan tahun 1947. penggunaan huruf ‘J’ yang dibaca ‘Y,’ misalnya ‘Jang = yang,’
huruf ‘oe’ yang dibaca ‘u’ (boelan : bulan), huruf ‘tj’ yang dibaca ‘c’ (Tjinta : cinta),
huruf ‘ch’ yang dibaca ‘kh’ (chidmat : khidmat), huruf ‘dj’ yang dibaca ‘j’
(djoedjoer : jujur).
Ejaan Republik berlaku sejak tanggal 17 Maret 1947. Pemerintah berkeinginan untuk
menyempurnakan Ejaan van Ophuijsen. Adapun hal tersebut dibicarakan dalam
Kongres Bahasa Indonesia I, pada tahun 1938 di Solo. Kongres Bahasa Indonesia I
menghasilkan ketentuan ejaan yang baru yang disebut Ejaan Republik/Ejaan
Soewandi.
Kongres Bahasa Indonesia II digelar pada tahun 1954 di Medan. Kongres ini digagas
oleh Menteri Mohammad Yamin. Dalam Kongres Bahasa Indonesia II ini, peserta
kongres membicarakan tentang perubahan sistem ejaan untuk menyempurnakan ejaan
Soewandi. Ejaan ini membuat standar satu fonem dengan satu huruf, mislanya kata
menyanyi : menjanji menjadi meñañi. Selain itu, untuk kata – kata yang berdiftong
‘ai,’ ‘au’ dan ‘oi’ dieja menjadi ‘ay,’ ‘aw’ dan ‘oy.’ Misalnya kerbau menjadi kerbaw,
sungai menjadi sungay dan koboi menjadi koboy.
Ejaan ini dikenal pada akhir 1959 dalam Perjanjian Persahabatan Indonesia dan
Malaysia. Pembaruan ini dilakukan karena adanya beberapa kosakata yang
menyulitkan penulisannya. Akan tetapi, rencana peresmian ejaan bersama tersebut
gagal karena adanya konfrontasi Indonesia dengan Malaysia pada 1962. sebagian
besar perubahan pada ejaan ini sama dengan apa yang ada pada ejaan pembaharuan,
hanya saja pada fonem ‘e’ pepet dalam sebuah kata harus diberikan garis di atasnya.
Pada 1967, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang sekarang bernama Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengeluarkan Ejaan Baru. Pembaharuan
Ejaan ini merupakan kelanjutan dari Ejaan Melindo yang gagal diresmikan pada saat
itu.
Huruf ‘tj’ diganti ‘c’, j diganti ‘y,’ ‘nj’ diganti ‘ny,’ ‘sj ‘menjadi ‘sy,’ dan ‘ch’
menjadi ‘kh.’
Huruf asing: ‘z,’ ‘y,’ dan ‘f’ disahkan menjadi ejaan Bahasa Indonesia. Hal ini
disebabkan pemakaian yang sangat produktif.
Huruf ‘e’ tidak dibedakan pepet atau bukan, alasannya tidak banyak kata yang
berpasangan dengan variasi huruf ‘e’ yang menimbulkan salah pengertian.
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan berlaku sejak 23 Mei 1972 hingga 2015
pada masa menteri Mashuri Saleh. Ejaan ini menggantikan Ejaan Soewandi yang
berlaku sebelumnya. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan ini mengalami dua
kali perbaikan yaitu pada 1987 dan 2009.
Perubahan cara baca abjad, dari a, ba, ca, da menjadi a, be, ce de, dan seterusnya.
Baku.
Struktur bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia baku, baik
mengenai struktur kalimat maupun kata. Demikian juga, pemilihan kata istilah dan
penulisan yang sesuai dengan kaidah ejaan.
Logis.
Ide atau pesan yang disampaikan melalui bahasa Indonesia ragam ilmiah dapat
diterima akal. Contoh: “Masalah pengembangan dakwah kita tingkatkan.”Ide kalimat
di atas tidak logis. Pilihan kata “masalah’, kurang tepat. Pengembangan dakwah
mempunyai masalah kendala. Tidak logis apabila masalahnya kita tingkatkan.
Kalimat di atas seharusnya “Pengembangan dakwah kita tingkatkan.”
Kuantitatif.
Keterangan yang dikemukakan pada kalimat dapat diukur secara pasti. Perhatikan
contoh di bawah ini:Da’i di Gunung Kidul “kebanyakan” lulusan perguruan tinggi.
Arti kata kebanyakan relatif, mungkin bisa 5, 6 atau 10 orang. Jadi, dalam tulisan
ilmiah tidak benar memilih kata “kebanyakan” kalimat di atas dapat kita benahi
menjadi Da’i di Gunung Kidul 5 orang lulusan perguruan tinggi, dan yang 3 orang
lagi dari lulusan pesantren.
Tepat.
Ide yang diungkapkan harus sesuai dengan ide yang dimaksudkan oleh pemutus atau
penulis dan tidak mengandung makna ganda. Contoh: “Jamban pesantren yang sudah
rusak itu sedang diperbaiki.”Kalimat tersebut, mempunyai makna ganda, yang
rusaknya itu mungkin jamban, atau mungkin juga pesantren.
Kata yang digunakan atau dipilih sesuai dengan arti sesungguhnya dan tidak
diperhatikan perasaan karena sifat ilmu yang objektif.
Runtun.
Ide diungkapkan secara teratur sesuai dengan urutan dan tingkatannya, baik dalam
kalimat maupun dalam alinea atau paragraf adalah seperangkat kalimat yang
mengemban satu ide atau satu pokok bahasan.