| Pod
Budaya Visual di Indonesia ~
dan Permasalahannya
“Inthis age of mass production, when everthing must be planned and designed,
1.1. FENOMENA BUDAYA VISUAL DI INDONESIA
Apa sebenamya yang disebut budaya
sual itu? Mengapa dalam beberapa dekade ini budaya
“ertanyaan ini centu tidak mudah dijawab, karena paliam-
paham maupun substansi mengenai budaya visual itu sendiri setiap saat mengalami kontraksi
ddan pengembangan, Budaya visual adalah tauran wujud kebudayaan konsep (nila) dan kebudayaan
maceri (benda) yang dapar scgeta ditangkap oleh indera visual (mata), dan dapat dipahami
sebagai model pikiran manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Bingsai berpikir Bara
meni ee tunculk melihat budaya visual sebagai sebuah opaame budaya populer,
ees ¢kspresi kaum populis, kehidupan kaum transeksual, unelapan alternatify atau.
‘wuud artfak Kontemporer. Represeatasinya dapat berupa seni, deeain, arsivestun film, malti=
visual menjadi wacana insan akademis? PBEB B Budava Visual indonesia / a JBhee .
media, seni pertunjukan, fashion, gaya hidup, hingga komik picisan. Pandangan
agak menyesatkan, Karena secara tidak langsung pandangan ini membangun dike
yang membedakean budaya tinggi dengan budaya massa, padahal fenomena tersebut telah
seiting munculnya gugatan tethadap kesaktian kaum modernis di tabun 1970-an.
Budaya visual tidak hanya terdiri dari sebuah sosok kebudayaan yang dinilai kurang
bermartabat, hanya karena bentuk yang teraga sebagai implemencasi‘terluar’ kerap dinila sebagai
swajah imi ‘ual bukanlah sckadar *baju’ dari sebuah peradaban material, melainkan
‘sebuah hakikat dari strukcur budaya pembencuknya, Pilar-pilar tersebut adalah kreativitas nilai, |
inovasi, penciptaan teknologi baru, ideologi komunikasi, politik kebudayaan, dinamika sosial,
tatanan ckonomi global, hingga segula sesuana yang sifarnya mendasar dalam membentuk bangun !
sebuah peradaban,
Budaya visual melingkupi berbagai aspek yang berkaitan dengan wujud akhir gagasan manusia
untuk ‘mendunia’: menjadi eksis dalam bentara peradaban, Wujudnya beranekaragam mulai
dari fenomena inderawi yang monumental, seperti wajah perkotaan, sosok arsitektural, fas
publik, yangan TV, hingga bencuk yang sederhana, seperti tusuk gigi, grafiti, gantungan kunci
atau teks pada Tshirt. Fenomena sosial yang mengicingi budaya visual tersebut kini umumnya
‘membaur dengan isu-isu mutakhir yang mengiring) dinamika kebudayaan iu sendiri, seperti
tumbuhnya budaya pesmodern, feminisme, kesadaran lingkungan, kesadaran HAM, etnosenirisme,
global-lokal, sublaileur, poskolonial, multikulturisme, pluralisme, regionalisme, hingga berbagai
hhal yang berkaitan dengan transkultur dan berkembangnya budaya digital.
Dalam wacana kebudayaan yang dibentuk oleh proses transformasi yang panjang, dinamika
bbudaya visual kerap terbentuk karena adanya pergeseran nilai yang cenderung memilki korelasi
yang bertauran dengan berbagai wacana kebudayaan yang lebih besar dan luas. Dalam situasi
tersebut, hampir semua komponen kebudayaan saling mempengaruhi serta menempatkan diti
sepadan dengan berbagai wujud *kekuatannya’, Bahkan, kerapkali antara satu kebudayaan dan
sub-sub kebudayaannya terjadi penghancuran ataupun pelenyapan, sehingga yang tersisa hanyalah
‘wacana’ historis yang bermakna saja. Dalam kehidupan budaya visual yang dinamis tersebut,
secara spesifik artifak desain dapat dipahami sebagai salah satu aktivitas buday yang memiliki
muaran-nilai, serta amat terpengaruh oleh situasi sosial di zamannya. Dari sisi manfaat, desain
dapat dipandang sebagai ungkapan budaya visual yang paling fungsional dan cclah menjadi
bagian kehidupan schari-hari masyarakat. Selain itu, di dalam kehidupan masyarakat modern,
desain merupakan operasi-operasi kebudayaan yang menyenvuh sisi paling dalam dari pentingaya
menikmati dunia. Di pihak lain, desain juga merupakan wujud dari pencapaian kecerdasan
manusia untuk menundukkan alam yang dapat segera teraba dan cerserap secara visual oleh
indera.
Seiring dengan semakin meluasnya fenomena visual dalam bentuk artifak-acvfak
peradaban modern di abad ke-20, isu tentang keterbukaan budaya telah menjadi pembicartan
tutama di berbagai negara. Isu ini diprediksi akan menciptakan blok-blok kebudayaan, kluster
perdagangan, globalisasi pemodalan, kebebasan pasar yang lebih luas, di samping juga
Pemajemukan budaya, pembauran budaya, maupun perlawanan budaya; baik di dalam setiap
negara, kawasan regional, maupun di dunia internasional. Kondisi tersebur diduga diakibatkan
olch terciptanya situasi ‘dunia nirbatas’ (borderles: world) yang diakeibatkan oleh kebebasan arus
informasi dari satu negara ke negara lain, Percepacan dalam semua hal itu berawal sejak
Revolusi Ttansportasi, Revolusi Industri (abad ke-18), dan memuncak dalam Revolusi Komunikasi
di paruh kedua abad ke-20. (Toffler, 1980:23-28) Keadaan tersebut di aras menycbabkan
negara-negara berkembang mengalami pergeseran posisi: yang sudah terbebas dari masa
kolonialisasi yang panjang, kini terjebakc kembali menjadi bagian dari sistem kolonialisasi baru
yang dicanangkan sebagai grand-design oleh negara-negara adidaya. Memang, beberapa negata
berkembang =e bethasil keluar dari belenggu tcrsebut, seperti Malaysia, Taiwan, Thailand,
Cina, Korea Sclatan, tetapi negara-negara berkembang lainnya, yang lamban dalam programPembangunannya, senantiasa terikat dan menjadi ‘boncka’ negara-negiea kauat,
Di masyarakat Barat sendiri, °
hhalaum-hukum Kapitalisme din
asca kapitalis (pose capiralise society). Sebuah bencuk masyarakat bara yang mengkritisi m
dekaden yang muncul dati situasi kegamangan sosial dan kehilangan orientasi semasa kejayaan
Modemisme. Kapitalisme yang selama ini i telah meningkarkan kesejahteraan masyarakac
Barat, mengalami yang tajam di paruh pertama abad ke-20. Peter Drucker memprediksi
akibar dari itu semua yakni lahirnya masyarakae baru yang berorientasi pada ilmu pengetahan
dan jasa profesional. Dengan demikian, keberlangsungan pembungunan sebuah bangsa bukan
lagi bertumpu pada modal, besarnya tenaga kerja, ataupun penguasaan wilayah, namun akan
tercipta oleh kemampuan inovasi yang didasari oleh peaguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(Drucker,1994:7-8) Fenomena tersebut ditandai dengan scmakin cfisicnnya industri akibat
digunakannya tcknologi robotik, teknologi informatika, dikuasainya jejaring pasar, dan dibangun-
nya citra tentang peradaban yang hermartabat
Hal irulsh yang menyebabkan negara-negara berkembang kembali cerpurukk dalam pasar
sebagai wahana pasar negara-negara maju belaka, seperti yang terjadi di abad pertengahan, ketika
kolonialisme yang dilakukan masyarakat Barat merambah ke berbagai henua. Di masa selarang,
Kondisinya jauh lebih memprihatinkan, Hal itu discbabkan karena Kolonialisme Baru tersebut
lebih tersamar dalam ‘kemasan’ kebudayaan dan terjadi tanpa proses penyadaran masyarakat
yang mengalaminya, Dalam ekspansi kebudayaan Barat tersebut, nilai-nilai estetik telah menyatu
menjadi bagian gagasan dan artifak yang dihasilkan olch kebudayaan itu. Salah satu bentuk nilai
estetik yang paling nyata adalah gaya visual yang selalu menjadi bagian utama dalam tampilan
karya desain. Gaya visual menjadi ‘wajah’ dunia ketika manusia betkreasi menciptakan peradaban
benda dan tatanan huniannya. Semua hal yang berkaitan dengan eksplorasi kenyamanan dan
keindahan, pada akikatnya tok terlepas dari gaya visual. Situasinya dapat berupa proses intelek-
tualisasi masyarakar, atau dapat pula berupa proses yang ‘tidak disadasi’,
Dalam peradaban fisik, gaya visual selalu menjadi fenomena yang menarik untuk diamati,
hal itu disebabkan oleh faktor dinamika dan ekspresi terluar sebuah objek yang mudah dicema
indera mata, Salah satu bentuk gaya visual yang dianggap mendunia adalah Modemisme, dan
‘Modernisme selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari karya seni dan desain yang dihasilkan
oleh negara-negara Barat tersebut sejak awal abad ke-20. Pada masa itu, senantiasa dikumandangkan
wacana verang ‘seni tinggi” (Ligh art) dan ‘seni rendah” (applied art), meskipun dalam
perjalanannya hal itu tidak luput dari kritik yang tajam, seperdi dilakukan oleh Durkheim yang
kemudian menjadi inspirasi gerakan ‘Pop An’ dan ‘Dada’ di Eropa. Di Indonesia, wacana
tersebut juga diadopsi selama puluban tahun setelah era kemerdekaan, Hal itu kemudian
memarjinalkan nilai-nilai estetik yang menyercai karya arsitektur, desain, kerajinan, film, dan
media, Wacana itu kemudian bergeser sejak munculnya Gerakan Seninupa Baru di tahun 1975,
yang mengkritsi secara tajam adanya perbedaan ‘kelas’ esteiik antara duinia senirupa dan dunia
visual umumnya, yang selama itu mengalami proses marjinalisasi,
> 1.2 DESAIN SEBAGAI WUJUD BUDAYA VISUAL.
Penulis mencoba menempatkan ‘desain’ dalam peta budaya visual Indonesia modem dengan
menghilangkan unsur perbedaan ‘kelas’ estetik. Teneu saja, hal itu tidak bermaksud mengecilkan
arti proses terciptanya karya destin yang dilandas oleh unsur-unsur gagas dan teknik yang amat
kompleks. Sementara itu, dalam kajian budaya visual, desain diduduickan sebags ‘soso formal’
yang memuat ailai-nilai di dalamnya, Sosok atau wujud desain dianggap sebagai representa
kompieks cari sub-sub sosial budaya yang mengiringi proses peneiptaannya, ermasuk di dalamnyaW Budaya Visual indonesia
antara lain pola pikir, ideologi politic, kebijakan pemerintal, sistem pendidikan visual, wacang
SIR fang balemtang hinges orienasi masaralae tehadap pandangan duns
i possi desain masa-kini? Percanyaan ini tent menjadi amat mendassr pady
setiap awal tulisan karena pemahaman dan pengestiannya sclalu mengalami pergeseran hampip
di setiap zaman, Dalam dekade pertama abad ke-21, pemahaman masyarakat tethadap desain,
bukan lagi sckadar barang fungsional (form follows function) atau sebagai ala pemasaran tetap)
telah jauh melampaui cita-cita para wokoh desain modern di awal abad ke-20. Pandangan
pandangan bahwa desain adalah wujud sistem nilai yang teraga sccara visual yang memiliki espe
kemanfiatan dan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya kini telah mengslami
pergeseran menjadi sistem politik ideologi dan wacana kebudayaan baru, terutama sejak perannya
semakin meluas dan bermakna (form follows meaning).
Tetlepas dari wacana yang terjadi dalam masyarakat negara maju, banyak pemikir Indonesia
menyadari bahwa arah perkembangan desain modern Indonesia dinilai belum memiliki landasan
yang kuat di negeri sendiri, bahkan belum didudukkan secara proporsional dalam sejarah ke-
budayaan Indonesia abad ke-20 sejak pemerincahan kolonial membangun artifak destin modern
Upaya-upaya membuka Icbar penanaman modal asing untuk membangun industri maapun
konsultan bangunan, bahkan upaya-upaya mendatangkan perancang luar negeri sejak era seteah
kkemerdeksan merupakan bagian dari proses dinamika tersebut.
Yang penting menurue Penulis adalah bagaimana: (1) mendudukkan pergeseran gaya visual
dan nilai estetik dalam karya desuin sebagai bagian dari proses transformasi budaya nasional
secara keseluruhan; (2) menempatkan desain dalam wacana budaya visual Indes
proporsional; (3) mengamati peran gaya visual pada karya desain yang telah memperkaya peradaban
bbangsa diamati sebagai fenomena pemberdayaan masyarakat Indonesia yang bermakna
‘Untuk betpindah ke uraian yang lebih jauh, diperlulaan beberapa pemshaman istlah yang
‘menjadi rujukan penting dalam pembicaraan hal-hal yang berhubungan dengan desain, Memang,
penggunaan istilah ‘desain’ (design) di awal abad ke-20 di masa pendudukan Belanda, belum
begitu: populer, meskipun aktivitasnya ada, Dalam konteks wakcu tersebut, penggunaan pralts
istilah ‘“desain” memiliki padanan dengan kata kerajinan, bangunan, perkotaan, gambar, dekoras,
rekayasa, keterampilan, seni ataupun dalam pemahaman yang lebih sederhana, sebagai wujud
rupa sebuah karya fisik, Istilah ‘desain’ dalam benwuk pemahaman keilmuan formal, baru dipakai
dan diterapkan pada pendidikan tinggi senirupa di ITB pada tahun 1971 untuk menani
bidang keablian desain interior, desain produk, desain grafis, dan desain tekstil, Pengguraan
istilah desain kemudian mengalami pemancapan dengan diresmikannya Fakultas Senirupa dan
Desain (FSRD) tahun 1984 dan dibukanya Jurusan Desain dengan beberapa program sudi
desain (desain interior, desain produk, desain tekstil, destin grafis), Tidak tercutup pula, ala
kemungkinan istilah desain dalam dunia teknologi dan relayasa telah dipergunakan jauh sebelum
istilah ‘desain’ diformalkan menjadi nama keilmuan ataupun profesi di lingkungan Fakultas
Senirupa dan Desain di berbagai perguruan tinggi. Sedangkan desain bangunan (arsitektut)
berkembang dalam wilayah lain secara lebih cepat sejalan dengan merebaknya kebutuhan akan
Perumahan dan pembangunan fisik yang lebih mendasar. Namun, dalam konteks budaya visu)
‘stilah desain dapat dipahami sebagai suatu aktivitas dan karya budaya yang teraga dan memiliki
‘makna bagi perkembangan peradaban masyarakatnya. Dengan demikian, desain melingkup!
semua hal yang berkaitan dengan budaya benda, nilai-nilai dan substansi filosofis yang melatal~
belakanginya,
> 1.3 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI INDONESIA
Serelah mengkaji dan membahas berbagai aspele pembangunan dan kaitannya dengan budaY?
visual di ee ee Kondisi yang kurang menggembirakan dalam berbagai bidang p+
hakikatnya telah disadari merupakan bagian ‘rekayasa budaya’ dari 1 gara-negara adikusstBudaya Visual di Indonesia dan
ae bentuk hegemoni ideologi, polivle kebudlayaan, dan juga perluasan wilayah pemasaran
produk industrinya. Tenn saja buku ini tidak bermaksud untuk menganjurkan pemencilan diti
ssthadap hegemoni kebudayaan-kebudayaan kuat tersebut, melainkan -memberikan’inspirast
bagaimana scharusnya negara berkembang ‘memosisikan dis’ di dalamnya sambil membangun
aya saing budaya. Permasalaban nasional yang dihadapi bangsa Indonesia ke depan dalam
spcktrum kebudayaan yang las sesungguhnya ditentukan oleh mentalitas dan sikap mamusia
bangsa Indonesia sendiri, beberapa di antaranya dapat diuraikan sebagai berikut:
1.3.1. MELEMAHNYA NASIONALISME
Sebagaimana diketahui, dalam era pasar cerbuka, hegemoni Barat yang bersifat ekspansioni
tidal akan pemah surut, bai hegemoni kebudayzan nil-niki, bush pikivan, hegemoni lpia,
hegemoni informasi, hegemoni karya cipta, hegemoni ekonomi, hingga hegemoni produk-produk
asing. Khusus untuk bidang desain, gejala dan indikasi ke arah itu telah mulai tampak. Ancaman-
ancaman iru tidak datang dari negara-negara adiekonomi saja, tetapi juga dari negara-negara
tetangga, seperti Cina, Malaysia, Korea, bahkan Vietnam.
Hal icu juta didukung olch jaringan informasi yang semakin canggih dan terbuka di akhir
abad ke-20 dan merupakan suatu model dunia baru yang cambuh di berbagai negara. Budaya
yang tumbuh bersamaan dengan berkembangaya teknologi dan tata ekonomi dunia baru iu
adalah idcologi poskapitalis dan posindustri yang dampaknya demikian meluas, di antaranya
adalah tumbuhnya ideologi neo-liberal yang amat mengandalkan kecepatan pembangunan,
pelipatan modal yang besar, permainan mata wang, ckonomi dijital, jaringan kerja yang luas,
peningkatan spionase ekonomi, dan penguasaan informasi bahkan propaganda gaya visual yang
amat beragam,
Kondisi terscbur mau tidak mau juge merasuki wilayah geografis Indonesia yang cela
mencanangkan keterbukaan dalam segala bidang, Fakta-fakta menunjukkan bahwa krisis ekonomi
dan perbankan yang dialami Indonesia pada dekade akhie absd ke-20 diakibackan oleh masuknya
permainan mata uang di wilayah Asia ‘Tenggara. Kerapuhan pembangunan yang selama ini
dijalankan menyebabkan lambannya berbagai program pemulihan ekonomi di tanah air. Demikian
pula kinerja industci nasional dan lembage-lembaga usaha di tanah airpun mengalami pukulan
yang hebat karena kalah cepat untuk bersaing dengan negara lain, Dari sisi budaya, kebudayaan
nasional hampir-hampir tidale memiliki daya tahan yang kuat menghadapi fenomena kebudayaan-
kebudayaan itu, bahkan beberapa kebudayaan daerah telah mengalami situasi Kolaps, lantaran
dijauhi oleh generasi muda dan lemahnya pewarisan. Di samping point-point di atas, para
pelaku ekonomi pasar di tanah air juga tidak memiliki jaringan spionase yang dapat secara dini
mendereksi arah perubahan pasar modal dan strategi pembangunan ekonomi negara-negara
maju, sehingga Indonesia seperti negara yang “buta-tuli’ menghadapi setiap langkah-langkah
yang dilakukan oleh negara-negara maju dalam menjalankan ‘imperialisme’ ekonomi dan nilainya
ike berbagai wilayah. Jargon-jargon agar berpikir positif vethadap ancka tawaran kebudayaan dan
produlk negara lain iru menyebabkan generasi muda dengan mudah menerima dan mengadopsinya.
Di samping meluasnya paham neoliberalis di bidang ekonomi pembangunan, paham ini
juga meluas dalam bidang politik dan menumbuhkan refleksi-refleksi yang ditangkap langsung
oleh para pemegang kebijakan politik di tanah air, seperti pelaksanaan demokrasi, pelaksanaan
HAM, isu tentang lingkungan, isu tentang terorisme intemasional, hak-hak perempuan, pandangan
terhadap agama, bahkan penafiiran tentang kebebasan pers, Pelaksanaan paham neoliberalis yang,
tidak lagi proporsional dengan budaya bangsa yang masih berada dalam fase transisi tersebut
tentu saja menghadapi kendala yang lebih kompleks dibanding dengan di negar sumbemya,
yang telah mengalami masa pengeraman dan seleksi yang panjang dari masyarakatnya. Sejalan
dengan meluasnya penyerapan paham Neoliberalisme tersebut, diadopsilah budaya dan pikiran-
pikiran posmodera yang menjadi wacana di negara-negara maju sejak cahun 1970-4 sebagaiTBD betes Visual cones
bagian lajian-kajian intelekeual yang meluas. Paham-paham budaya posmodern Kini secara amar
ry Ulccitber e pe balfevea aah ie dln eraga cna dan jug cha
jargon falsafah berekspresi dalam berbagai bidang. Dalam bidang arsitektur, senirupa, dan desiin,
Penerapan gaya posmodern telah menjadi kecenderungan baru generasi ee a mudah
‘silau’ dengan scsuatu yang baru dari negara-negara Barat. ‘Tentu saja, dalam banyak hal telah
terjaifriks-friksiidealisme dengan realitas yang dihadapi oleh masyarakat yang sedang mengalam
berbagai krisis. Perhenturan ini diduga menyebabkan rumbuhaya ‘anomali sosial” yang akhirnys
‘membuae sistem nilai menjadi ‘chaos’, sebagaimana yang dibadapi oleh negara Indonesia di akhic
abad ke-20. Dalam kondisi tersebut, yang dirasakan paling genting adalah luncurnya jiw,
Nasionalisme yang sebenarnya merupakan pilar mentalitas dari rasa kepemilikan bangsa Indo.
esi akan negaranya dan tumbuhnya rasa percaya diri. Selanjucnya dengan dicanangkannys
program otonomi daerah di awal abad ke-21, kondisi-kondisi daerah bukannya semakin membzik,
tetapi justrs tercipra jiwa kedaerahan yang sempit yang diikuti oleh fanatisme kesukuan serta
tumbuhnya masyarakat yang lebih mengutamakan kepertingan golongan.
Memudarnya jiwa Nasionalisme semakin dirastkan, Hal ini dicirikan dengan semakin
lunturnya penghargaan terhadap karya bangsa Indonesia sendiri. Sejale jargon “penggunaan produk
dalam negeri* dicanangkan semasa pemerintahan Orde Baru, pelaksanaannya di masyarakat
Kerap justru ambivalen dengan kebijakan pemerintah sendiri, yang membuka keran impor untuk
berbagai Komoditas strategis dengan alasan harga yang lebih murah atau kualicas yang lebih
unggul. Kondisi tersebur semakin memburuk sejak industri nasional mengalami kemunduran
akibat kalah bersaing dengan produk sejenis buatan negara tetangga. Padahal, dengan jcjaring
informasi yang semakin luas, semakin banyak pula awaran-tawaran produk asing dan gays
hhidup masyarakat Barat yang memasuki wilayah tanah air tanpa halangan yang berarti. Apalg)
dengan adanya kesepakatan APEC dan perdagangan bebas, yang semakin mempercepat rapuhnya
pilar-pilar kebudayaan nasional yang telah mengalami pelapukan sebelumnya,
1.3.2, HILANGNYA JATIDIRI
Nilai-nilai yang telah menjadi bagian Kehidupan masyarakat Indonesia selama bertahun-thun
mengalami ‘kegoncangan’. Kegoncangan tersebur diakibatkan oleh masuknya kebudayaan asing
yang kemudian mendominasi kebudayaan lokal Dalam hubungan kekerabatan yang dianggap
sebagai sistem nilai paling mendasar saja terjadi reorientasi baru bentuk masyarakat ke arah yang
invidual dan memencingkan kehidupan material, Hal itu tercermin dalam masyarakat perkotat
ali Indonesia, yang mulai menjadi amat individual dengan menguramakan kepentingan pribad
azau golongannya, Selain itu, juga telah menggejala di berbagai kalangan, bahwa mengjar kckayaan
an materi menjadi tujuan yang penting dalam mengisi kehidupan sosial
Dalam hubungan kemasyarakatan dan pranata sosial, bangsa Indonesia juga mengalami
suatu fise pergeseran yang penting, di mana terlihac dengan jelas bahwa upaya ‘pemaksaan
iklim demokrasi justra memarakkan demonstrasi dan kritikckritike yang menghujat pemegang
Kekuasaan secara terbuka. Tiada lagi hormar kepada atasan, kepada pemimpin bangsa, «aU
bahkan kepada orang cua sendiri, Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikenal schagai bangs:
yang santun, ramah, dan murah senyum, kini celah berubah menjadi bangsa yang menggemaf
kekerasan dan mudah tersinggung. Fenomena ini tentu tidak terjadi pada satu sektor kehidupa
sosial saja, tapi merambah tatanan-ratanan yang lebih luas, termasuk sistem politik nasonal
bahasa nasional, hingga perilaku kehidupan schari-hari. Nilai-ilai yang mengalami pergese™™®
ini memicu persoalan lainnya yang lebih kompleks, antara lain cumbuhnya rasa kurang percay2
diri dan kehilangan jaridiri yang sesungeubnya mulai dibangun pada saat bangsa Indonesia
memperolch kemerdckzan, Penggunaan bahasa asing yang berlebihan hampir di semua papa?
nama pertokoan, demikian pula dalam berbagai tayangan media dan percakapan schari-hati
menunjukkan adanya rcoriencasi baru dalam penghargaan kepada jatidiri yang selama in!Budaya Visual di Indonesia dan Per
berlangsung. Demikian pula, pandangan-pandangan generasi muda tethadap lambang
‘Pancasila’ dan falsafah hidup bangsa yang selama ini diyakini sebagai fondasi negara,
mengalami pelunturan makna akibat ‘trauma’ politike yang berkembang sebelum masa Reforma
tahun 1998,
___ Dalam spektrum budaya yang lebih luas, telah tampak tanda-tanda terkoyaknya simbol-
simbol yang membentuk jatidiri bangsa Indonesia. Kondisi tersebut diperburuk oleh lemahnya
Program pewarisan nilai, schingga rerdapat proses pengeroposan nilai-nilai di kalangan generasi
muda, Hal ini diperparah lagi oleh para kaum cerdik pandai dan para pelaku media yang konon
selalu mengagung-agungkan kebudayaan asing secara berlebihan. Selain itu, dalam beberapa’
kegiatan intelektual, seperti penulisan, penelitian, dan bahkan belajar mengajar, buah karya
pemikit-pemikir baralah yang menjadi rujukan utama. Tampak bahwa masyarakat akademis
meninggalkan “sejarah intelektual’ bangsanya sendiri, yang sebenarnya padat dan bermutul
Hal itu mempengaruhi pandangan dan penghargaan masyarakat terhadap karya-karya budaya
visual bangsa sendiri, yang kurang mendapat tempat sccara proporsional, terutama sejale dibukanya
produk impor dan gencarnya iklan gaya hidup masyarakat negara maju. Lambat laun, artifak
dan karya pikiran bangsa Indonesia menjadi semakin asing di negerinya sendiri.
1.3.3, HEGEMONI BUDAYA KUAT
Di sisi lain pada awal abad ke-20, dalam proporsi yang amat variatif, perintisan munculnya gaya
visual dan nilai estetik modern dalam dunia budaya visual di tanah air tidaklah terlepas dari
tautan dan peran para seniman dan arsitek Belanda yang berkarya di wilayah Nusancara. Aspek-
aspek desain dan kesenirupaan modern yang dijalankan oleh warga Belanda secara bertahap
mempengaruhi dan pada akhimya diserap oleh masyarakat pribumi yang telah memperoleh
pendidikan modem. Hal itulah yang kemudian mendasari cumbuhnya rasa “inferioritas’ budaya
pada kaum pribumi ketika berhadapan dengan kebudayaan Barat yang telah maju. Masyarakat
mudah ‘silau’ dan menerima begitu saja semua hal yang menjadi ikon kemajuan kebudayaan
Barat itu.
Namun demikian, sesungguhnya ada hal-hal yang perlu diwaspadai: yaitu adanya proses
untuk mengadopsi dan menyerap nilai-nilai Barat melalui proses berkarya yisual secara membabi
buta. Proses sintesis budaya yang tidak sempurna kerap memicu terjadinya dominasi olch
kebudayaan donor (kebudayaan asing), sehingga secara bertahap nilai-nilai tradisi yang telah
menjadi kekayaan bangya Indonesia selama berabad-berabad dapat tergeser. Perubahan yang
terjadi akibat adanya pergeseran nilai tersebut bukannya tanpa dampak negatif, ia secara betahap
dan berlapis membentuk karakter dan mentaliras baru yang tidak sejalan dengan norma-norma
yang telah mapan.
Dalam konteks budaya visual—khususnya dalam bidang desain, ketertautan antara nilai
cestetik dengan kebijakan pembangunan, perilaku, dan gaya hidup masyarakat berlangsung secara
sinergis. Satu masa dengan mast yang lainnya memiliki tautan budaya yang pada hakikacnya
saling berhubungan, Oleh karena itu, tidak terturup kemungkinan bahwa dominasi kebudayzan
ajutnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam mendukung proses pembentukan
kebudayaan modern di Indonesia.