Nim : 1301011913087
Kelas :D
1. Tema
Tema adalah inti / pokok permasalahan yang diangkat dalam sebuah karya fiksi.
Dalam karya fiksi tema dibagi menjadi tema mayor dan tema minor. Dalam novel ini
terdapat tema mayor yang mengangkan persoalan sosial budaya dan kepercayaan
sebagian besar cerita ini mengangkat persoalan adat istiadat serta kepercayaan yang
masih sangat dipercayai dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Dukuh Paruk. Kehadiran
ronggeng yang sangat dipuja-puja keberadaannya sebab pedukuhan itu bukanlah Dukuh
Paruk tanpa adanya ronggeng dan semua kecabulannya. Selain itu kepercayaan mengenai
roh nenek moyang juga masih dipercayai.
Sedangkan tema minor mengangkat persoalan politik dan ekonomi. Penulis
menggambarkan keadaan Dukuh Paruk dengan kondisi yang terbelakang dan miskin.
Idak ada orang yang berpendidikan dalam pedukuha itu sehingga masyarakatnya mudah
dibodohi dan dipermainkan.
1
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta : Gadjah Mada Press,1988), hlm 113,
2
Ibid.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui tahapan alur dalam novel “ Ronggeng Dukuh
Paruk”, yaitu
a. Tahap penyituasian
Penulis mengawali certa dengan menggambarkan kondisi Dukuh Paruk yang
sedang dilanda musibah kekeringan. Dijelaskan pula letak Dukuh Paruk yang
diapit oleh hamparan sawah yang sangat panjang dan banyak ditumbuhi
pepohonan.
“ Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh
Paruk telah tujuh bulan kerontang.....” ( Ronggeng Dukuh Paruk:3)
Di pada bab 1 pula diperkenalkan Rasus dan kedua temannya, Darsun dan
Warta, serta Srintil yang masih kecil. Diceritakan pula keadaan Rasus dan Srintil
yang tumbuh besar tanpa emak dan bapaknya karena malapetaka tempe bongkrek
sebelas tahun yang lalu. Malapetaka yang menjadi sebab Dukuh Paruk menjadi
mati sebab kehilangan ronggeng selama bertahun-tahun.
“...
Srintil adalah seorang yatim piatu-sisa sebuah malapetaka, yang membuat banyak
anak Dukuh Paruk kehilangan ayah-ibu.
Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah
kuyup tersiram hujan lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman terpencil
itu lengang, amat lengang."
b. Taham Pemunculan Konflik
Kemunculan konflik dalam novel ini ditandai ketika diangkatnya Srintil
menjadi ronggeng baru oleh dukun ronggeng, Kertareja. Saat itu kehidupan
Srintil menjadi berubah. Hari-hari yang biasa ia habiskan dengan bermain
bersama Rasus dan kawan-kawannya telah hilang sebab tak lagi ada waktu. Hal
itu menyebabkan hubungan Rasus menjadi renggang dengan Srintil, wanita yang
disukainya.
c. Tahap Penigkatan Konflik
Puncak konflik ditandai dengan penyelesaian ritual syarat terakhir seorang
ronggeng, yaitu ritual bukak klambu. Ritual ini adalah penyerahan keperawan
seorang ronggeng kepada lelaki yang memenangkan sayembara tersebut. Hal ini
lah yang menggoyahkan hubungan Rasus dengan Srintil sehingga memunculkan
kebencian yang mendalam dalam dirinya terhadap kebudayaan yang ada di
Dukuh Paruk. Tak hanya itu, dengan adanya prosesi bukak klambu ini juga maka
citra emak rasus yang ada di dalam diri Srintil pun hilang dan menganggap bahwa
emaknya sama saja dengan wanita yang ada di Dukuh Paruk.
d. Tahap Klimaks
Saat Srintil telah menjadi seorang ronggeng seutuhnya dan telah menjadi milik
semua orang sehingga Rasus pun mau tidak mau harus melepas dan merelakan
wanita yang disukainya itu.
e. Tahap Penyelesaian
Pada bagian pertama ini diselesaikan dengan kepergian Rasus meninggalkan
Srintil dan segala tetek bengek yang ada di Dukuh Paruk yang membuatnya
sengsara dan membuat noda dalam dirinya karena telah menghubungkan emak
dengan Srintil. Kepergian Rasus itulah yang akan merubah segalanya, tentang
Srintil, ibunya, serta semua tentang dirinya.
Berdasarkan tahapan alur tersebut dapat disimpulkan bahwa penulis menggunakan
alur campuran dalam bagian pertama dari trilogi novel “Ronggeng Dukuh
Paruk”sebab penulis menggunakan alur maju dan mundur dalam mengemas cerita ini.
pada bagian tahap pengenalan, penulis menceritakan kronologi peristiwa secara runtut
menggunakan alur maju. Kemudian menjadi flashback karena suatu kejadian yang
membuat tokoh menceritakan kejadian sebelas tahun yang lalu, yaitu saat malapetaka
tempe bongkrek terjadi. Setelah itu penulis meguraikan ceritanya kembali
menggunakan alur maju.
Bukti alur maju : “ Jadi pada malam yang bening itu, tak ada anak Dukuh Paruk
keluar halaman. Setelah menghabiskan sepiring nasi gaplek mereka lebih senang
bergulung dalam kain sarung, tidur di atas balai-balai bambu. Mereka akan bangun
esok pagi bila sinar matahari menerobos celah dinding dan menyengat diri mereka.”
( Ronggeng Dukuh Paruk : 7)
Bukti alur mundur : “ Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi. Dukuh Paruk
yang kecil basah kuyup tersiram hujan lebat. Dalam kegelapan yang pekat,
pemukiman terpencil itu lengang, amat lengang.” (Ronggeng Dukuh Paruk :11)
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga
peristiwa itu mampu menjalin cerita atau tokoh adalah pelaku dalam sebuah karya
sastra. Jenis – jenis tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tambahan,tokoh
protaginis, antagonis, dan tritagonis, tokoh sederhana dan bulat, tokoh statis dan
berkembang, serta tokoh tipikal dan netral.
Dalam novel “ Ronggeng Dukuh Paruk” ditemukan beberapa pelaku cerita,
yaitu sebagai berikut.
b. Rasus
1. Pendendam
“ Nenek menjadi korban balas dendamku terhadap Dukuh Paruk..
(2008:47”
2. Pemberani
“ Aku mengutuk sengit mengapa kopral Pujo belum juga muncul. Karena
tidak sabar menunggu, maka timbul keberanianku..(2008:61)”
3. Mudah emosi
“...Jadi saat itu sudah kuperoleh gambaran pertama Dower-lah yang akan
memenangkan malam bukak-klambu. Aku belum mengenal perjaka
Pecikalan itu. Tetapi kebencianku kepadanya langsung
melangit(2008:34)”
c. Warta
1. Perhatian
“Rasus, kau boleh sakit hati. Kau boleh cemburu. Tetapi selagi kau tak
mempunyai sebuah ringgit emas, semuanya menjadi sia-sia.” (2008:37)
“.... Percayalah sahabatku, tak ada yang salah pada diriku. Aku terharu.
Suaramu memang bisa membuat siapa pun merasa begitu
terharu.”(2008:37)
d. Sakarya
1. Penyayang
“di bawah lampu minyak yang bersinar redup. Sakarya, kamitua di
pedukuhan kecil itu masih merenungi ulah cucunya sore tadi.” (2008:8)
“Jangan keliru! Yang asli buat Sulam. Lainnya buat Dower,” kata
Kartareja.
f. Ny. Kertareja :
1. Mistis
g. Sakum
1. Cabul
“Sakum, dengan mata buta mampu mengikuti secara seksama pagelaran
ronggeng. Seperti seorang awas,Sakum dapat mengeluarkan seruan cabul
tepat pada saat ronggeng menggerakkan pinggul ke depan dan ke
belakang. Pada detik ronggeng membuat gerak birahi, mulut Sakum
meruncing, lalu keluar suaranya yang terkenal; Cessss! Orang mengatakan,
tanpa Sakum setiap pentas ronggeng tawar rasanya, (2008:9)”
h. Santayib
1. Pekerja keras dan tanggung jawab
“Meski Santayib orang yang paling akhir pergi tidur, namun dia pulalah
yang pertama kali terjaga di Dukuh Paruk. Disusul kemudian oleh
istrinya. Srintil, bayi yang manis. Dia biasa tergolek sendiri meskipun
kedua orang tuanya mulai sibuk bekerja. Suami-istri Santayib menyiapkan
dagangannya; tempe bongkrek.Sebelum matahari terbit akan datang para
tetangga yang akan membeli bongkrek. Kecuali hari pasaran Santayib
hanya menjual dagangannya kepada para tetangga... (2008:12)”
2. Gegabah
“Bajingan! Kalian semua bajingan tengik! Betapapun bongkrekku tak
bersangkut-paut dengan malapetaka ini. Lihat! Akan kutelan bongkrek ini
banyak-banyak. Kalau benar ada racun, pasti aku akan segera sekarat!”
i. Ny. Santayib
1. Gegabah dan ceroboh
“.... Pada mulanya, istri Santayib terpana. Tetapi rasa setia kawan
menyuruhnya segera bertindak. Sambil membopong Srintil, perempuan itu
ikut mengambil bongkrek dari tangan Santayib dan langsung menelannya
(2008:15)”
j. Dower
1. Tidak mudah menyerah
“ pada saja baru ada dua buah perak. Saya bermaksud menyerahkannya
kepadamu sebagai panjar. Masih ada waktu satu hari lagi. Barangkali
besok bisa kuperoleh seringgit emas, (2008:34)”
“Aku datang lagi kek. Meski bukan sekeping ringgit emas yang kubawa,
kuharap engkau mau menerimanya, (2008:41)”
k. Sulam
1. Angkuh
“Ada anak Pecikalan di sini?” kata Sulam angkuh,(2008:42)”
l. Siti
1. Pemalu
“....Sikapnya yang malu-malu dan
hampir menutup diri sering merangsang diriku untuk menggodanya,
(2008)
4. Latar
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa latar tempat di dalam rumah
novel “Ronggeng Dukuh Paruk” terjadi di Dukuh Paruk sedangkan latar
tempat di luar rumah tidak ditemukan dalam novel. Keterangan adanya
dua puluh tiga rumah di pedukuhan tersebut menggambarkah bahwa
Dukuh Paruk merupakan pemukiman yang kecil dan keberadaanya
terpencil. Latar utama ini memunculkan latar pendukung, yaitu sebagai
berikut.
a. Di tepi kampung
“Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah-payah
mencabut sebatang singkong,(2008:4)”
b. Di belakang rumah Kartareja
“Siapa pula yang akan menyalahkan Dower bila dia kelak berteriak-
teriak bahwa dirinyalah yang telah mewisuda ronggeng Srintil. Sesuatu
telah terjadi di belakang rumah Kartareja sebelum Dower menyiapkan
kelambu yang mengurung Srintil,(2008:45)”
c. Rumah Kartareja
“Banyak perempuan dan anak-anak memenuhi rumah Kartareja.
Mereka ingin melihat Srintil dirias. Sepanjang usianya yang sebelas
tahun, baru pertama kali Srintil menjadi perhatian orang,(2008:9)”
d. Perkuburan KI Secamenggala
“Pada saat seperti itu orang-orang Dukuh Paruk percaya semua roh di
pekuburan itu bangkit melihat pertunjukan. Mereka juga yakin arwah
Ki Secamenggala berdiri di ambang pintu cungkup dan melihat Srintil
berjoget,(2008:26)”
e. Pasar Dawuan
“Sampai hari-hari pertama aku menghuni pasar Dawuan, aku
menganggap nilai-nilai yang kubawa dari Dukuh Paruk secara umum
berlaku pula di semua tempat, (2008: 84).”
2. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan kapan peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya sastra fiksi sehinga pembaca dapat memahami dan
menikmati cerita berdsarkan acuan waktu. Adanya acuan waktu
tersebut membuat cerita seolah-olah benar – benar terjadi.
Adapun latar waktu yang terdapat dalam novel ini, diantaranya:
a. Pagi
Latar waktu pagi digambarkan dalam kutipan berikut.
Matahari mulai kembali pada lintasannya di garis khatulistiwa.
Angin tenggara tidak lagi bertiup,(2008:44)”
b. Tengah hari (Siang)
“Namun semuanya berubah menjelang tengah hari. Seorang anak
berlari-lari dari sawah sambil memegangi perut,(2008: 24)”
c. Sore hari
3. Latar Sosial
4. Sudut pandang
Sudut pandang yaitu cara sebuah cerita dikisahkan atau dapat
dikatakan sebagai cara atau pandangan pengaran sebagai sarana dalam
menyajikan tindakan, pelaku,latar maupun kejadian yang membentuk
sebuat satu kesatuan cerita.
Dalam novel “ Ronggeng Dukuh Paruk” bagian satu ini penlis
menggunakan sudut pandang orang pertama “Aku” pelaku utama, yaitu
Rasus. Penggunakan sudut pandang orang pertama sebagai t6okoh utama
ini terlihat jelas dlam kutipan berikut
“Aku mengenal dengan sempurna setiap sudut tersembunyi di Dukuh
paruk. Ketika kartareja bercakap-cakap dengan Dower, aku mendengarnya
dari balik rumpun pisang di luar rumah(2008: 34)”
Tokoh utama menceritakan tentang dirinya sendiri dan segala tetek
bengek di pedukuhannya melalui tingkah laku dan cara berpikirnya.
Namun terdapat sedikit kejanggalan dalam penggunaan sudut pandang ini
sebab meskipun penulis menggunakan sudut pandang orang pertama
pelaku utama namun tokoh aku mengetahui isi hati orang lain yang
umumnya digunakan dalam sudut pandang orang ketiga Mahatahu.
“Kartareja tidak mengubah roman muka meski dalam hati dia merasa
menang. Seekor kerbau betina yang besar ditambah dengan dua keping
rupiah perak. Dukun ronggeng itu terbahak dalam hati. Hanya karena
Kartareja sudah amat berpengalaman maka dia dapat mengendalikan
perasaannya (2008:41)”
5. Amanat
Amanat ialah pesan moral yang hendak disampaikan penulis kepada
pembacanya. Secara keseluruhan, penulis menyampaikan pesan moral
secara tersirat. Tidak semua nilai – nilai adat istiadat masyarakat harus
dilakukan oleh masyarakat. Melestarikan adat memang diperlukan agar
tetap terjaga kelestariannya namun hendaknya meninggalkan nilai-nilai
negatif yang terkandung di dalamnya.
Selain itu menempuh pendidikan juga sangat diperlukan agar pola pikir
dapat berkembang dan tidak tertinggal oleh zaman yang selalu
berkembang serta tidak mudah dibodohi dan dipermainkan oleh orang –
orang yang memiliki kuasa.
Tak hanya tersirat, adapun pesan yang disampaiakan langsung oleh
penulis, yaitu Jangan melakukan perbuatan ditempat keramat jika tidak
ingin kualat.
“Srin, ini tanah pekuburan. Dekat dengan makam Ki Secamenggala
pula. Kita bisa kualat nanti (2008:39)”
“Kita tak bisa berbuat sembrono di tempat ini,” kataku sambil
membenahi pakaian Srintil (2008:39)”