Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

REGULASI DAN JAMINAN MUTU PANGAN


“KASUS PRODUK IKAN KALENG YANG MENGANDUNG CACING”

Dosen Pengampu:
Mursyid, S. Gz., M.Si.

DISUSUN OLEH :
NAMA : Slamet Riyadi ( J1A117077)
Alip Angga Zainedi ( J1A117093)
KELAS : R-002

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
Contoh kasusnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menarik 27
merk ikan kalengan atau Sarden Makarel dari pasaran setelah menunjukkan hasil
pengujian positif mengandung cacing parasit.Cacing parasit yang ditemukan
pada sarden ikan makarel adalah jenis cacing parasit Anisakis sp. yang merupakan
anggota Anisakidae.Cacing parasit Anisakis sp. yang ditemukan dalam makanan kaleng
sarden ikan makarel dalam kondisi mati. Seperti dilansir dari Tribunnews, Penny
mengkonfirmasi ketika ditemui di Jakarta pada Kamis (29/3/2018) dan mengatakan,
"Jadi temuan cacingnya dalam kondisi mati tapi setelah kita telusuri dan bagaimana
nanti ada ahlinya yang jelaskan, efeknya tidak ada zat yang berbahaya. "Meski temuan
cacing dalam kondisi mati, Penny menjelaskan bahwa ada efek samping bagi tubuh saat
tidak sengaja mengonsumsi cacing parasit dari makanan olahan tersebut, dikutip dari
tirto.id

1. Analisis Masalah

1.1 Faktor-faktor terjadinya ikan kaleng mengandung cacing perasit


Kementrian kelautan dan perikanan (KKP) melalui Balai Besar Riset
Pengolahan produk dan biotek turut memberikan penjelasan terkait masalah ini.
Menurut Hari Eko Irianto, Kepala Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Biotek,
Penyebab adanya cacing dalam ikan makarel kemasan kaleng dikaranekan penggunaan
bahan baku yang tidak teruji dengan baik dan pengolahan makanan yang tidak steril.
“Penyebabnya yang jelas bukan karena kadaluarsa tetapi bahan bakunya yang tidak
teruji dengan baik saat proses produksi oleh perusahan terkait, karena kami pernah
meneliti 136 jenis ikan dilaut kemudian ditemukan 32 ikan yang diperutnya ditemukan
cacing”.

Hari menjelaskan bahawa cacing dalam ikan makarel kemasan kaleng jika
dipanaskan hingga 80 derajat celcius akan mati sehingga tidak berbahaya, hanya saja
melanggar estetika makanan. Menurut hari seharusnya produsen makanan ikan makarel
dalam kemasan harus lebih steril dalam membersihkan ikan.

Peneliti Pencemaran Laut dan Bioremediasi dari lembaga ilmu pengetahuan


Indonesia (LIPI), Reza Cardova, menerangkan bahwa ditemukannya cacing dalam perut
ikan merupakan hal biasa karena memang ada ikan yang memakan cacing.
“Kemungkinan tersebar ditemukannya cacing dalam ikan makarel dalam kemasan ialah
pertama, ikan memakan cacing, lau cacing tersebut punya telur didalam tubuhnya dan
menetas. Kedua, produsen tidak melakukan sterilisasi atau tidak bersih kemudian ada
kontaminasi yang masuk kedalam kemasan.

Kerusakan pada produk kaleng, khususnya produk pengalengan ikan dibagi


menjadi dua yaitu kerusakan yang disebabkan karena kesalahan pengolahan dan
kebocoran kaleng. Pada dasarnya kerusakan utama pada makanan kaleng ditimbulkan
oleh kurang sempurnanya proses termal dan pencemaran kembali sesudah
pengolahan. Kerusakan makanan kaleng dapat disebabkan tiga hal yaitu keadaan
terlipatnya sambungan-sambungan kaleng, kontaminasi bakteriologis dari air pencuci
atau air pendingin, peralatan pengalengan bekerja kurang baik (Fadli 2011).

Menurut Anggraini et al. (2013) menjelaskan bahwa kerusakan-kerusakan yang


terjadi pada pengalengan sebagai berikut :
A. Flipper, yaitu kaleng terlihat normal, tetapi bila salah satu tutupnya ditekan
dengan jari, tutup lainnya akan menggembung.
B. Kembung sebelah atau springer, yaitu salah satu tutup kaleng terlihat normal,
sedangkan tutup lainnya kembung. Tetapi jika bagian yang kembung ditekan
akan masuk ke dalam, sedangkan tutup lainnya yang tadinya normal akan
menjadi kembung.
C. Kembung lunak, yaitu kedua tutup kaleng kembung tetapi tidak keras dan masih
dapat ditekan dengan ibu jari.
D. Kembung keras, yaitu kedua tutup kaleng kembung dan keras sehingga tidak
dapat ditekan dengan ibu jari. Pada kerusakan yang sudah lanjut dimana gas
yang terbentuk sudah sangat banyak, kaleng dapat meledak karena sambungan
kaleng tidak dapat menahan tekanan gas dari dalam.

Mayasari (2013) menjelaskan bahwa kerusakan yang dapat terjadi pada bahan
pangan yang dikemas dengan kemasan kaleng terutama adalah kerusakan kimia, meski
demikian kerusakan biologis juga dapat terjadi. Kerusakan kimia yang paling banyak
terjadi pada makanan yang dikemas dengan kemasan kaleng adalah hydrogen swell
yang terjadi karena adanya tekanan gas hidrogen yang dihasilkan dari reaksi antara
asam pada makanan dengan logam pada kaleng kemasan. Kerusakan lainnya adalah :
A. Interaksi antara bahan pembuat kaleng yaitu Sn dan Fe dengan makanan yang
dapat menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan. Kerusakan tersebut
dapat berupa perubahan warna dari bagian dalam kaleng, perubahan warna
pada makanan yang dikemas, off-flavor pada makanan yang dikemas,
kekeruhan pada sirup, perkaratan atau terbentuknya lubang pada logam,
kehilangan zat gizi.
B. Kerusakan mikrobiologis pada makanan kaleng dapat disebabkan oleh
meningkatnya resistensi mikroba terhadap panas setelah proses sterilisasi
rusaknya kaleng setelah proses sterilisasi sehingga memungkinkan
masuknya mikroorganisme ke dalam kaleng. Kerusakan kaleng yang
memungkinkan masuknya mikroorganisma adalah pada bagian sambungan
kaleng atau terjadinya gesekan pada saat proses pengisian (filling).
Mikroorganisme juga dapat masuk pada saat pengisian apabila kaleng yang
digunakan sudah terkontaminasi terutama jika kaleng tersebut dalam keadaan
basah. Kerusakan juga dapat disebabkan karena kaleng kehilangan kondisi
vakumnya sehingga mikroorganisme dapat tumbuh.
C. Perkaratan (korosi) adalah pembentukan lapisan longgar dari peroksida yang
berwarna merah coklat sebagai hasil proses korosi produk pada permukaan
dalam kaleng. Pembentukan karat memerlukan banyak oksigen, sehingga karat
biasanya terjadi pada bagian head space dari kaleng. Perkaratan pada
kemasan kaleng ini dapat menyebabkan terjadinya migrasi Sn ke dalam
makanan yang dikemas.

2.2 Penanggulangan terhadap produk ikan kaleng agar tidak ada mengandung cacing
perasit

Tanggung jawab manajemen adalah penting untuk menerapkan sistem HACCP


yang efektif. Selama melaksanakan identifikasi bahaya, penilaian dan pelaksanaan
selanjutnya dalam merancang dan menerapkan sistem HACCP, harus dipertimbangkan
dampak dan bahan baku, bahan tambahan, cara pembuatan pangan yang baik, peran
proses pengolahan dalam mengendalikan bahaya, penggunaan yang mungkin dari
produk akhir, katagori konsumen yang berkepentingan dan bukti-bukti epidemis yang
berkaitan dengan keamanan pangan. aksud dari sistem HACCP adalah untuk
memfokuskan pada Titik Kendali Kritis (CCPs). Perancangan kembali operasi harus
dipertimbangkan jika terdapat bahaya yang harus dikendalikan, tetapi tidak ditemukan
TKK (CCPs). HACCP harus diterapkan terpisah untuk setiap operasi tertentu. TKK
vang diidetitifikasi pada setiap contoh yang diberikan dalam setiap Pedoman praktek
Higiene dari Codex mungkin bukan satu-satunya yang diidentifikasi untuk suatu
penerapan yang spesifik atau mungkin berbeda jenisnya. Penerapan HACCP harus
ditinjau kembali dan dibuat perubahan yang diperlukan jika dilakukan modifikasi dalam
produk, proses atau tahapannya. Penerapan HACCP perlu dilaksanakan secara fleksibel,
dimana perubahan yang tepat disesuaikan dengan memperhitungkan sifat dan ukuran
dari operasi.

Agar bahan baku ikan pada produk ikan kaleng tetap terjaga mutunya sebelum
diolah, maka dapat dilakukan dengan pemberian garam dan es. Penggunaan garam
untuk pengawetan dapat dilakukan bila jarak waktu sejak ikan ditangkap sampai pada
waktu proses pengalengan tidak terlalu lama. Jenis garam yang digunakan harus sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Depkes RI (SNI 01-3548.2- 1994).
Pendinginan dengan menggunakan es adalah cara pengawetan paling praktis dan
sederhana bila penyimpanan sebelum pengalengan masih lama. Oleh karena itu, sebuah
pabrik pengalengan dianjurkan agar menyediakan ruang pendingin khusus untuk
menampung kelebihan ikan. Ikan yang baru datang sebaiknya dicuci bersih dan disortir
untuk memisahkan ikan yang sudah rusak sebelum didinginkan kembali. Suhu terendah
pada ruang pendingin mekanis sebaiknya ditentukan sampai 0o C, sebab kalau lebih
rendah lagi dikhawatirkan terjadi slow freezing pada permukaaan badan ikan
(Muchtadi, 1995) Es harus dibuat dari air yang bersih, yang memenuhi persyaratan air
minum. Dalam penggunaannya, es harus ditangani dan disimpan di tempat yang bersih
agar terhindar dari penularan dan kontaminasi dari luar (SNI 01-3548.2-1994).

Penyiangan dan pencucian bahan mentah harus diawasi baik – baik, sesuai
dengan syarat – syarat kesehatan. Sebab, langkah permulaan ini menentukan mutu dan
besarnya kerugian – kerugian akibat pembusukan dan kerusakan fisik. Ikan setelah
disiangi lalu dicuci sampai bersih. Pencucian menggunakan rotary drum untuk
menghilangkan sisik dan sisa darah yang masih menempel pada daging ikan. Air
pencuci sebaiknya yang mengalir, sebab bila tidak kotoran akan terkumpul dalam bak
pencuci dan justru akan menjadi sumber kontaminasi dan pembusukan (Widodo, 2001).
Air yang digunakan dalam semua proses harus memenuhi persyaratan standar air
minum. Persediaan air bersih harus cukup banyak. Penyiangan dan pencucian bahan
mentah harus diawasi sebaik-baiknya sesuai dengan persyaratan kesehatan. Sampah dan
sisa-sisa isi perut harus segera dibuang dan diletakkan terpisah dari produk. Alat-alat
yang digunakan segera dibersihkan kembali oleh petugas tersendiri agar pekerja tidak
terganggu kebersihannya. Bak - bak sampah dan selokan pembuangan selalu
dibersihkan setelah selesai operasi. Sampah dan ruangan yang kotor merupakan sumber
sumber bakteri pembusuk maupun bakteri patogen, untuk itu harus sedapat mungkin
dihindarkan dari produk dan mendapatkan perlakuan khusus (Ditjenkan, 2000).

Agar mutu ikan tetap baik, cara pengisian ikan yang sudah dipotong-potong ke
dalam kaleng harus sepadat mungkin supaya tidak mudah rusak akibat goncangan
waktu pengemasan atau pengangkutan. Umumnya pengisian dilakukan dengan
menggunakan tangan. Pemotongan ikan harus dibuat sesuai bentuk dan ukuran kaleng,
sehingga isi sebuah kaleng cukup dengan beberapa potong. Potongan ikan diperkirakan
tepat dengan isi kaleng, sehingga jarak antara permukaan ikan setelah ditambah brine
dengan bibir kaleng kira-kira setinggi 3 - 4,5 mm. Hal ini untuk mendapatkan ruang
hampa yang cukup. Di dalam head space kaleng yang normal terdapat banyak gas
nitrogen dengan sedikit karbon dioksida dan hidrogen. Jumlah oksigen yang masih ada
pada waktu exhausting dan double seaming pada umumnya menurun dengan
meningkatnya korosi dari kaleng dan oksidasi dari produk. Biasanya kandungan karbon
dioksida, hidrogen atau oksigen di bawah 1 % dan selebihnya adalah nitrogen. Jika
menyimpang dari dari kondisi tersebut, hal ini bisa memberikan petunjuk dari
perubahan – perubahan yang terjadi di dalam kaleng yaitu apakah kaleng yang abnormal
yang disebabkan oleh aktifitas mikroba, korosi dari kaleng atau kerusakan produknya
sendiri. Sebelum dipakai kaleng harus bersih dan kering (Winarno,1994).
Keamanan dan stabilitas makanan dalam kaleng secara teknis sangat tergantung
pada dua faktor utama, yaitu efisiensi penutupan kaleng sehingga menghasilkan
penutupan yang hermetis dan seberapa jauh efisiensi proses sterilisasi panas dalam
menginaktifkan mikroba yang menjadi penyebab potensial kebusukan makanan kaleng
(Winarno, 1994). ). Proses pemanasan yang diperlukan untuk sterilisasi makanan kaleng
diantaranya tergantung pada pH produk yang akan diproses. Ikan yang termasuk
makanan berasam rendah dengan pH di atas 4,5 memerlukan proses pemanasan lebih
kuat, dibanding makanan berasam tinggi. Sterilisasi untuk ikan biasanya menggunakan
suhu 1160 C atau 1210 C, dengan waktu proses yang bergantung pada cepat lambatnya
perambatan panas untuk mencapai titik terdingin makanan dalam kaleng (Winarno,
1994). Menurut Muchtadi (1995), daerah yang paling lambat menerima panas disebut
sebagai titik terdingin (coldest point). Apabila perambatan panas berlangsung secara
konveksi, maka titik dingin akan berada pada tengah kaleng. Sedangkan apabila
perambatan panas berlangsung secara konduksi, maka titik dingin tersebut akan berada
pada titik tengah geometris kaleng.

2. Solusi untuk Pemerintah terhadap produk ikan kaleng yang mengandung


produk cacing
Sebaiknya pemerintah lebih ketat dalam pengawasan produk ikan kaleng, jika
ada produsen yang sudah memiliki SNI dan didapati produk yang dibuat produsen itu
mengandung cacing atau rusak, sebaiknya pemerintah langsung memberi peringatan
kepada produsen tersebut. Jika masih ada produsen didapati atau mengulangi
kesalahannya langsung dicabut SNI, sertifikat MUI, dan MD pada produk tersebut. Dan
pemerintah sebaiknya melakukan pengecekan produk yang sudah memiliki Hazard
Analysis & Critical control (HACCP), sertifikat MUI, dan MD , dan SNI setidaknya 2
bulan sekali, agar para produsen bisa lebih sadar tentang jaminan mutu produknya
kepada konsumen itu sangat penting.

3. Masukan untuk Pemerintah terhadap produk ikan kaleng yang menggandung


produk cacing
Seharusnya pemerintah sering melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang
sistem jaminan mutu pangan, tentang dasar hukum jaminan mutu pangan secara
langsung bukan hanya sekedar tertulis saja agar masyarakat lebih paham dan mengerti
tentang jaminan mutu pangan. Dan pemerintah seharusnya memberi sanksi kepada
produsen yang tidak memperhatikan jaminan mutu pangan pada produknya.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Shelica., Bhatara Ayi Meata, Elka Annisa Kuncoro M., Istiqomah, dan
RintoFelly Hartana. 2013. Makalah proses thermal hasil perikanan.
Direktorat Jenderal Perikanan, 1994. Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3548-1994),
Sardin Media Saus Tomat dalam Kaleng. Jakarta.
Fadli, Wan Khairul. 2011. Manajemen proses pada pengalengan ikan lemuru (Sardinella
Longiceps) di PT. Pasific Harvest Banyuwangi Jawa Timur. Akademi
Perikanan : Sidoarjo.
Mayasari, Lina Dwi. 2013. pengaruh hasil tangkapan ikan lemuru terhadap produksi
pengalengan ikan PT. Maya Muncar Banyuwangi. Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Surabaya : Surabaya.
Muchtadi, T. R. 1995. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan
kebudayaan, Direktorat jendral pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas pangan &
Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Widodo, J. 2001. Pengamatan Sanitasi dan Higiene pada Unit Pengolahan Sardin Kaleng
Dikaitkan denganPenerapan HACCP di PT. Maya Muncar, Banyuwangi – Jawa
Timur. Karya Ilmiah Praktek Akhir. STP. Jakarta.
Winarno, F. G. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai