Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH BENCANA ALAM

"Kebakaran Hutan di Riau & KEKERINGAN DI


SUMATERA BARAT"

MANAJEMEN BENCANA

DIBUAT
O
L
E
H
KELOMPOK 4
38. Adhtya Putra Pratama (19134003)
40. Fenny Putri (19134031)
41. Tri Martha Tilar (19134086)
42. Vina Sri Wahyuningsih (19134090)
29. Rivky Salman Firdaus (19087137)
09. Zahra Atika (18133099)
23. Veby Kirani Pebrianty (19087041)
05. Akhdiat Prama Arisena (18062079)
18. Mhd. Ridhotul Habibie (19062033)

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


Tahun Ajaran 2021/2022
BAB 1

PENDAHULUAN

• LATAR BELAKANG
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung
keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-
kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam
hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan
sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45,
UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985
dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan
Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung
bahkan intensitasnya makin meningkat.
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan
ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan
produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu
kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan
udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas
negara.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk
mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen),
namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar
tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan
sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun
1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003.  Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam
untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Tulisan ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan, kebakaran hutan
dan penanggulangannya yang dikumpulkan dari berbagai sumber dengan harapan dapat
dijadikan sebagai bahan masukan bagi para peneliti, pengambil kebijakan dan pengembangan
ilmu pengetahuan bagi para pencinta lingkungan dan kehutanan. 
BAB II

PEMBAHASAN

• Kebakaran Hutan di Riau

• Tempat,Waktu,Korban KARHUTLA

TEMPAT KEJADIAN :
Saat ini ada beberapa titik api yang cukup besar terjadi seperti di wilayah
Kabupaten Bengkalis, Pelalawan, Indragiri Hulu (Inhu) dan Indragiri Hilir (Inhil). Untuk
titik api di Inhu dan Inhil,

WAKTU KEJADIAN:
Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau,
Jim Gafur mengatakan, luas hutan dan lahan yang terbakar di Riau sejak 1 Januari hingga 9
September 2019 sebanyak total 6.464 hektare

KORBAN:
Pada tahun 2019, kebakaran hutan dan lahan meliputi area seluas 9.706 hektare di
Provinsi Riau. Saat itu, Riau dalam status tanggap darurat asap karena selain menghadapi
dampak kebakaran hutan dan lahan di wilayahnya juga menerima kiriman asap dari Provinsi
Sumatera Selatan dan Jambi.
Luas area hutan dan lahan yang terbakar di wilayah Provinsi Riau tahun ini mencapai
1.587 hektare, turun hingga 99 persen lebih dibandingkan dengan luas hutan dan lahan yang
terbakar pada tahun 2019 menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Kebakaran hutan dan lahan tahun ini paling banyak terjadi di Kabupaten Indragiri Hilir
dengan luas area terbakar 479,5 hektare dan paling sedikit terjadi di Kuantan Singingi dengan
luas area terbakar sekitar 1,5 hektare.

Kebakaran hutan dan lahan juga terjadi di Kabupaten Bengkalis (382 hektare), Siak
(174,5 hektare), Dumai (138,9 hektare), Pelalawan (142 hektare), dan Rokan Hilir (60,15
hektare).Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau,
Jim Gafur mengatakan, luas hutan dan lahan yang terbakar di Riau sejak 1 Januari hingga 9
September 2019 sebanyak total 6.464 hektaredan Riau 289 titik,"primata kehilangan rumah
serta infeksi kemataan "kebakaran mengakibatkan kehilangan rumah bagi primata dan
beberapa diantara terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) hingga ada yang ikut
terbakar, symposium dan kongres primate Indonesia kelima di UGM, rabu 18 september
2019"
Wiratno belum mendapatkan laporan data pasti terkait penyelamatan orang utan sementara
ada yang sudah berhasil diselamatkan dan akan langsung mendapatkan perawatan dan
pengobatan intensif sebelum dilepaskan kembali ke lapangan.
Mulai dari anak anak sampai orang dewasa banyak yang terjangkit (ISPA) dan (TBS),
bencana kabut asap jiga tidak segera ditangani akan banyak primata yang hidup di Indonesia
bisa punah
Sampai saat ini, Indonesia mempunyai 61 jenis primata yang tidak bisa hidup
ditrmpat lain. Primata mempunyai kemampuan memperbaiki dan merestorasi ekosistem alam
juga bernilai ekonomi tinggi jika dikelola dengan benar dan sungguh sungguh oleh
pemerintah dan masyarakat, potensi ekonomi yang baik bisa dikembangkan menjadi wisata
dan bisa menghasilkan devisa yang menguntungkan, masyarakat dapat ikut mengembangkan
untuk menjadi lebih baik dari pada membabat hutan untuk membuka lahan baru untuk
ditanami kelapa sawit

• KARAKTERISTIK BENCANA
.
Kajian bahaya:

• Monitoring titik api serta menetapkan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.
• Prediksi cuaca untuk mengetahui datangnya musim kering/kemarau.
• Pemetaan daerah rawan bahaya kebakaran berdasarkan kejadian masa lalu dan
meningkatnya aktivitas manusia untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu kawasan.
• Pemetaan daerah tutupan lahan serta jenis tanaman sebagai bahan bakaran.
• Pemetaan tata guna lahan.

Gejala dan peringatan dini:


• Adanya aktivitas manusia menggunakan api di kawasan hutan dan lahan.
• Ditandai dengan adanya tumbuhan yang meranggas.
• Kelembapan udara rendah
• Kekeringan akibat musim kemarau yang panjang.
• Peralihan musim menuju ke kemarau.
• Meningkatnya migrasi satwa keluar habitatnya.

Parameter :

• Luas areal yang terbakar (hektar)


• Luas areal yang terpengaruh oleh kabut asap (hektar)
• Fungsi kawasan yang terbakar (Taman Nasional, Cagar Alam, Hutan Lindung, dll).
• Jumlah penderita penyakit saluran pernafasan atas (ISPA).
• Menurunnya keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.
• Menurunnya fungsi ekologis.
• Tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan.

Komponen yang terancam :

• Kerusakan ekologis yang mempengaruhi sistem penunjang kehidupan.


• Hilangnya potensi kekayaan hutan.
• Tanah yang terbuka akibat hilangnya tanaman sangat rentan terhadap erosi saat
musim hujansehinga akan menyebabkan longsor di daerah hulu dan banjir di daerah
hilir.
• Penurunan kualitas kesehatan masyarakat untuk daerah yang luas di sekitar daerah
kebakaran.
• Turunnya pendapatan pemerintah dan masyarakat akibat terganggunya aktivitas
ekonomi.
• Musnahnya aset negara dan sarana, prasarana vital.
Strategi Mitigasi dan upaya pengurangan bencana :

• Kampanye dan sosialisasi kebijakan pengendalian kebakaran lahan dan hutan.


• Peningkatan masyarakat peduli api.
• Peningkatan penegakan hukum.
• Pembentukan pasukan pemadaman kebakaran khususnya untuk penanganan
kebakaran secara dini.
• Pembuatan waduk di daerahnya untuk pemadaman api
• Pembuatan skat bakar, terutama antara lahan, perkebunan, pertanian dengan hutan.
• Hindarkan pembukaan lahan dengan cara pembakaran.
• Hindarkan penanaman tanaman sejenis untuk daerah yang luas.
• Melakukan pengawasan pembakaran lahan dengan cara pembakaran lahan untuk
pembukaan lahan secara ketat.
• Melakukan penanaman kembali daerah yang telah terbakar dengan tanaman yang
heterogen.
• Partisipasi aktif dalam pemadaman awal kebakaran di daerahnya.
• Pengembangan teknologi pembukaan lahan tanpa membakar (pembuatan kompos,
briket arang dll).
• Kesatuan persepsi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
• Penyediaan dana tanggap darurat untuk penanggulangan kebakaran lahan dan hutan.
• Pengelolaan bahan bakar secara intensif untuk menghindari kebakaran yang lebih
luas.

• PENYEBAB BENCANA

Kementerian Kehutanan meyakini adanya oknum tertentu yang membuat terjadinya


kebakaran hutan di Riau seluas 10 ribu hektar lebih. rata" daerah riau sebagian adalah tanah
gambut dan gambut tidak mudah terbakar, gambut akan terbakar jika terjadi keadaan kering
dan musim kemarau danakhirbya terbakarlah hutan tersebut.
''Gambut sangat susah terbakar, jenuh air, kondisi normal gambut tidak mudah terbakar,'' kata
dia, Sabtu (15/3).
Gambut hanya bisa terbakar dalam keadaan kering dan musim kemarau tidak
membuat gambut kering. Menurut Sumarto kebakaran hutan ini sudah direncanakan oleh
oknum tertentu. Di awali dengan pembakaran lahan.
Bagaimana caranya? oknum sadar bahwa gambut sangat sulit dibakar, maka dibuatlah
kanal-kanal. Kanal-kanal tersebut terdapat sungai kecil yang fungsinya untuk mengeringkan
gambut dari air. ''Masalahnya gambut itu selalu basah di akarnya, dan tugas dari sungai kecil
itu supaya air di dalam akar gambut itu mengalir dan gambut jadi kering,'' kata Sumarto.
Jika sudah kering barulah dibakar untuk membuat lahan baru yang kosong. Tapi efeknya
lainnya tidak diperkirakan. Api yang sudah masuk ke dalam akar gambur sangat sulit untuk
dipadamkan. Sekalipun sudah dilakukan penyemperotan, namun api tetap membara di
akarnya dan akan kembali terbakar jika terkena angin.

Cuaca panas dan angin kencang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di
Desa Penarikan, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau, meluas dan sulit
dikendalikan. Kepulan asap makin tebal di lahan yang terbakar.
• PENCEGAHAN BENCANA
Upaya  Pencegahan
Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain
(Soemarsono, 1997):

(a)  Memantapkan kelembagaan dengan membentuk dengan membentuk Sub Direktorat


Kebakaran Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas,
Pusdalkarhutda dan Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di
masing-masing HPH dan HTI;

(b)  Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan;

(c)  Melengkapi perangkat keras  berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran
hutan;

(d)  Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga


BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;

(e)   Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran


hutan;

(f)   Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan


Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan
Menteri Negara Lingkungan Hidup;

(g) Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan,
selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.
• MITIGASI BENCANA

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) masih kerap terjadi di berbagai wilayah tanah air.
Badan Nasonal Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya telah terjadi 321
kejadian bencana karhutla yang melanda berbagai wilayah Indonesia di sepanjang tahun
2020. Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah dalam penanganan karhutla guna
meminimalisir dampak yang timbul serta mengurangi luasan lahan yang terbakar. Upaya
penanganan karhutla juga dilakukan melalui mitigasi bencana.

Salah satu kegiatan mitigasi bencana karhutla yang giat diupayakan saat ini adalah
melalui Sekolah Lapang Mitigasi Kebakaran Hutan dan Lahan. BNPB melalui Direktorat
Mitigasi Bencana bekerjasama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) menginisiasi kegiatan
mitigasi partisipatif kebakaran hutan dan lahan khususnya di daerah-daerah langganan
bencana karhutla. Dengan pendekatan edukasi dan sosialisasi pemanfaatan lahan gambut
tanpa bakar, kegiatan sekolah lapang ini menyasar masyarakat khususnya kelompok tani
untuk melakukan alternatif pemanfaatan lahan gambut yang ramah alam sehingga karhutla di
lahan gambut dapat dicegah.

Sekolah lapang mitigasi karhutla, pemanfaatan lahan gambut tanpa bakar dilaksanakan di
Provinsi Kalimantan Tengah dengan Desa Henda, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten
Pulang Pisau menjadi wilayah yang dipilih untuk tempat pelaksanaannya. Kegiatan yang
akan menjadi agenda rutin Direktorat Mitigasi Bencana ini terselengara atas kerjasama antara
BNPB, BRG, BPBD Provinsi Kalimantan Tengah dan Pemerintahan Kabupaten Pulang Pisau
dengan peserta dari kelompok tani yang ada di daerah tersebut.

Sebanyak 19 peserta dari berbagai kelompok tani di Desa Henda mengikuti kegiatan
sekolah lapang yang dilaksanakan selama tiga hari mulai Rabu (20/10) hingga Kamis (22/10).
Dalam kegiatan ini peserta dibekali pengetahuan tentang gambut, budidaya di lahan gambut,
dan pemasaran produk hasil budidaya gambut. Selain aspek teori, dalam kegiatan ini juga
dilakukan kegiatan praktek dalam pembuatan pupuk organik dan mini demplot. 

Kegiatan ini juga menghadirkan berbagai narasumber dengan beragam latar belakang
keilmuan yang mampu meningkatkan kapasitas peserta didik, seperti dari BRG, BPBD
Provinsi Kalimantan Tengah, BPBD Kabupaten Pulang Pisau, Dinas Pertanian Kab Pulang
Pisau, fasilitator, Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pulang Pisau dan Himpunan Ahli
Kesehatan Lingkungan (HAKLI). Melalui kegiatan ini diharapkan masyarakat dapat berdaya
secara ekonomi tanpa merusak ekosistem lahan gambut. Dengan demikian keseimbangan
ekosistem dapat terjaga serta bencana karhutla dapat dihindari.

Johny Sumbung selaku Direktur Mitigasi Bencana BNPB yang membuka kegiatan ini
menyampaikan pemanfaatan lahan gambut tanpa harus membakar merupakan salah satu
upaya perlindungan dan penyelamatan ekosistem gambut.  

“Kegiatan ini mengacu pada konsep restorasi lahan gambut yang dikenal dengan 3R
yaitu rewetting, revegetation dan revitalization of local livelihood,” ujar Johny.

Johny juga menekankan agar dalam melaksanakan kegiatan ini dilakukan dengan
memperhatikan protokol kesehatan mengingat kegiatan dilakukan dalam masa pandemi
COVID-19.  Selalu menggunakan masker, rajin bercuci tangan dan menjaga jarak mutlak
dilakukan selama kegiatan berlangsung.
Selain di Pulang Pisau, sekolah lapang ini juga telah sukses dilakukan di daerah rawan
karhutla lain, seperti di Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat, Balangan
Kalimantan Selatan, Tanjung Jabung Timur Jambi. Selanjutnya dua daerah lagi rencananya
akan digelar pada November mendatang, yakni di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera
Selatan dan Pelalawan Riau. 

Disamping mitigasi karhutla melalui sekolah lapang, upaya lain juga ditingkatkan dalam
penanganan bencana karhutla. Deteksi dini hotspot, patroli udara dan pemadaman titik api
yang muncul dengan mengerahkan personil darat dan udara merupakan beberapa upaya yang
telah dan akan terus dilakukan dalam penanganan karhutla di Indonesia. Diharapkan berbagai
upaya yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah pusat dan daerah serta didukung oleh
masyarakat ini akan menekan angka bencana karhutla dan juga berbagai kerugian yang
timbul atas bencana tersebut.

• KESIAPSIAGAAN BENCANA

Kejadian kebakaran mengakibatkan dampak yang besar bagi masyarakat. Selain kerugian
material, akibat yang lebih fatal berupa hilangnya nyawa orang, dapat terjadi akibat
kebakaran. Risiko kebakaran di perkotaan terbentuk oleh adanya ancaman berupa potensi api
yang sewaktuwaktu dapat menjadi sumber kebakaran, seperti penggunaan listrik dan kompor
gas, serta kerentanan masyarakat tinggi, yang dipengaruhi kepadatan penduduk dan
bangunan. Risiko bencana kebakaran di kawasan perkotaan tersebut susah diminimalkan,
terlebih menyangkut kebutuhan pokok masyarakat akan listrik dan memasak. Bagitu pula
dengan pengurangan kepadatan penduduk untuk mengurangi kerentanan. Upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan penanggulangan bencana melalui tindakan kesiapsiagaan terhadap
bencana tersebut. Upaya peningkatan kesiapsiagaan dapat meminimalkan kerugian yang
muncul jika bencana terjadi. Kesiapsiagaan merupakan salah satu fase dalam pengelolaan
bencana, yang tertuang dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
Ilustrasi tahapan penganggulangan bencana dapat digambarkan sebagai suatu siklus karena
sifatnya yang terus berulang

Kesiapsiagaan yaitu persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi (atau kemungkinan
akan terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap kebutuhan-kebutuhan
dalam keadaan darurat dan identifikasi atas sumber daya yang ada untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Perencanaan ini dapat mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman.
Penelitian ini difokuskan pada identifikasi kesiapsiagaan masyarakat perkotaan khususnya
Kelurahan Pringgokusuman dalam menghadapi ancaman bencana kebakaran

Pengetahuan masyarakat akan bencana, khususnya kebakaran, menjadi


dasar untuk melakukan pemetaan partisipatif dalam pengelolaan bencana di daerah
penelitian. Titik kumpul menjadi salah satu elemen yang penting dalam pengelolaan bencana.
Penentuan titik kumpul untuk evakuasi perlu ditetapkan sebagai langkah kesiapsiagaan. n.
Pemetaan partisipatif dimaksudkan untuk menetapkan titik kumpul yang tepat sesuai dengan
kondisi sebenarnya di lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan masyarakat lokal memiliki
pandangan tersendiri terhadap lingkungan sekitarnya dan pemetaan partisipatif memfasilitasi
masyarakat untuk memvisualisasikan pandangan mereka

Pemetaan Partisipatif Titik Evakuasi Syarat penentuan titik kumpul antara lain :
• areal terbuka;
• mudah diakses oleh korban ataupun penolong;
• terlindungi dari jangkauan bahaya langsung / tidak langsung dari bencana;
• tersedia tempat sementara bagi kelompok rentan (lansia, bayi, ibu hamil, difabel);
• kemudahan akses mobilisasi;
• tersedia sarana komunikasi;
• tersedia sarana pertolongan pertama.

• KEKERINGAN DI SUMATERA BARAT

• DATA DAN FAKTA


Nama Bencana : Kekeringan Di Berbagai Kabupaten Di Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2019
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Iklim
Sicincin Sumatra Barat mengungkapkan sejumlah daerah di provinsi itu mulai mengalami
kekeringan. Di sana, hujan sudah tak turun sejak dua bulan terakhir.
Tidak hanya daerah zona musim, tetapi daerah pesisir pantai juga mengalami penurunan
curah hujan, kata Pengamat Meteorologi Geofisika Analisis Iklim BMKG Staklim
Sicincin Rizky A Saputra di Padang, Kamis.
Daerah yang mengalami kekeringan, antara lain Kabupaten Dharmasraya, Kota
Bukittinggi, Kota Padang, Kabupaten Limapuluh Kota, Pasaman, Pesisir Selatan,
Sijunjung, Solok, Solok Selatan, dan Tanah Datar. Masyarakat di sejumlah daerah itu
mulai merasakan dampak penurunan ketersediaan air.
Daerah Sitiung di Kabupaten Dharmasraya saat ini mengalami hari tanpa hujan
yang sangat panjang, sudah lebih dari 30 hari, daerah Koto Besar dan Koto Salak di
Dharmasraya hingga saat ini sudah lebih dari 20 hari tanpa hujan. Hari tanpa hujan
dengan kategori sangat panjang, yaitu 30 sampai 60 hari, harus diwaspadai sehingga tidak
menimbulkan dampak kerugian yang lebih besar. "Oleh sebab itu, langkah-langkah
mitigasi dan adaptasi perlu untuk disiapkan dalam mengatasinya. Di Sangir Jujuhan di
Solok Selatan, tercatat hari tidak hujan selama 31 hari dengan jumlah curah hujan 47,5
milimeter dalam 50 hari. Sedangkan, sejak Juli hingga saat ini hujan turun hanya tiga
hari.
Bahkan berdasarkan data yang dihimpun di daerah Sungai Kunyit Sangir Balai
Janggo juga sudah mulai krisis air bersih.. Oleh karena itu, pemangku kepentingan terkait
harus mewaspadai dampak kekeringan pada sektor pertanian. Sekitar 100 hektare areal
persawahan warga di Nagari Bidar Alam, Kecamatan Sangir Jujuan, di Solok Selatan
terancam gagal panen karena turunnya debit air Sungai Batang Sangir sehingga tidak
mampu mengaliri pertanian masyarakat. BMKG memperkirakan dalam 10 hari ke depan
peluang curah hujan hanya kategori rendah hingga menengah. Untuk itu, diingatkan
perlunya antisipasi penyesuaian pola tanam di daerah musim kering pada sawah tadah
hujan dengan menyesuaikan tanaman, seperti hortikultura berumur pendek, atau menunda
tanam.
Selain itu, perlu pencegahan kebakaran hutan dan lahan dengan sosialisasi secara
terus menerus kepada masyarakat untuk tidak membakar lahan atau ladangnya agar titik
api di Sumatra Barat rendah.
• KARAKTERISTIK BENCANA

Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh di


bawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi
dan lingkungan. Untuk memudahkan dalam memahami masalah kekeringan,
berikut diuraikan klasifikasi kekeringan yang terjadi secara alamiah dan atau ulah
manusia, sebagai berikut:
• Kekeringan Alamiah
Kekeringan Meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal
dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama
adanya kekeringan.
• Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air
tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau d an
elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan
sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air
tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakarr awal adanya kakeringan.

• Kekeringan Pertanian berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air


dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada
periode waktu tertentu pada wilayah yang luas, Kekeringan pertanian ini terjadi satelah
gejala kekeringan meteorologi.

• Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi


ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat tarjadinya kakeringan meteorologi,
hidrologi, dan pertanian.

• Kekeringan Antropagenik

Kekeringan yang disebabkan karma ketidak-taatan pada aturan terjadi karena:


• Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidaktaatan
pengguna terhadap pola tanam/pengunaan air.

• Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia.

Dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan erat


dengan fenomena ENSO (EI-Nino Southem Oscillation). Pengamatan dari tahun 1844,
dari 43 kejadian kekeringan di Indonesia, hanya enam kejadian yang tidak berkaitan
dengan kejadian. Namun demikian dampak kejadian El-Nino terhadap keragaman hujan
di Indonesia beragam menurut lokasi. Pengaruh El-Nino kuat pada wilayah yang
pengaruh sister monsoon kuat, lemah pada wilayah yang pengaruh sistem equatorial
kuat, dan tidak jelas pada wilayah yang pengaruh lokal kuat. Pengaruh El-Nino lebih
kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan, Pengaruh El-Nino pada
keragaman hujan memiliki beherapa pola:
• Akhir musim kemarau mundur dari normal.
• Awal masuk musim hujan mundur dan normal.

• Curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal.

• Deret hari kering semakin panjang, knususnya di daerah Indonesia bagian timur.

• PENYEBAB TERJADINYA KEKERINGAN

• Posisi geografis

Indonesia merupakan negara yang berada tepat di garis khatulistiwa dan diapit
oleh 2 benua dan 2 samudera. Selain itu, Indonesia secara geografis terdapat di daerah
monsoon atau sebuah fenomena alam di mana seringnya terjadi perubahan iklim secara
ekstrem karena terjadinya perubahan tekanan udara dari daratan. Dengan terjadinya
perubahan tersebut, maka secara tidak langsung menyebabkan jet steam effect dari lautan
yang langsung menghempas daratan dengan hawa panas yang mengikutinya.
Dengan hawa panas dan kekuatan angin yang tinggi tersebut, maka membuat
banyak daerah yang awalnya memiliki kandungan air, menjadi terkena imbasnya atau
menjadi kering. Hal tersebut semakin parah efeknya ketika musim kemarau tiba dimana
secara alami musimnya sudah kering dan panas, masih mendapatkan tambahan tekanan
dikarenakan fenomena monsoon tersebut.
• Penggunaan air tanah secara berlebih

Penggunaan air tanah secara berlebihan atau dikenal dengan istilah permasalahan
agronomis tersebut memiliki imbas terhadap lingkungan, yaitu membuat kekeringan di
sejumlah tempat, terlebih saat kemarau tiba. Permasalahan agronomis ini disebabkan oleh
penggunaan air tanah secara berlebih oleh para petani saat musim kemarau agar dapat
digunakan untuk mengairi sawah atau ladanganya. Sayangnya, cara tersebut justru
membuat cadangan air ikut terangkut dan membuat pasokannya menjadi kering dan habis.
• Kerusakan hidrologis

Memang tidak dapat dikatakan bahwa untuk masalah kerusakan hidrologis ini
sepenuhnya disebabkan oleh manusia, karena alam sendiri yang dapat menjadi
pemicunya. Kerusakan hidrologis tersebut merupakan rusaknya fungsi dari wilayah hulu
sungai karena waduk dan saluran irigasinya terisi sendimen dalam jumlah besar.
Dikarenakan hal itu, maka kapasitas dan daya tampung air menjadi berkurang jauh yang
mana akhirnya dapat memicu kekeringan ketika kemarau.
• Rendahnya tingkat curah uap air dan awan
Kekeringan yang terjadi di Indonesia juga dapat disebabkan oleh pengimpangan
iklim yang mana membuat hujan menjadi jarang turun. Hal tersebut dikarenakan
rendahnya tingkat produksi uap air dan awan di beberapa tempat di Indonesia yang
akhirnya membuat minimnya hujan. Dengan sangat sedikitnya hujan yang turun, maka
musim kemarau juga akan semakin lama dan menyebabkan kekeringan melanda.
• Faktor global warming

Memang tidak hanya terjadi di Indonesia saja karena seperti mengacu pada
namanya, global memiliki artian seluruh dunia. Global warming atau pemanasan secara
global ini juga menjadi salah satu penyebab kekeringan terjadi baik di Indonesia ataupun
di berbagai negara lain di dunia. Penyebabnya juga cukup beragam, mulai dari efek
penggunaan rumah kaca, pemakaian zat-zat kimia, polusi udara sampai dengan
pembuangan sampah secara sembarangan.
• Minimnya daerah resapan

Indonesia adalah negara yang terus berkembang dan secara perlahan banyak
daerah yang awalnya hijau kemudian dibuka dan dalam beberapa tahun setelahnya
berubah menjadi tempat hunian dan sejenisnya. Namun justru hal tersebut berakibat
buruk karena dapat mengakibatkan bencana kekeringan. Pasalnya, dengan banyaknya
pembukaan lahan dan juga mendirikan beton-beton bertingkat di atasnya, maka secara
otomatis berkurang pula serapan air hujan dan kandungan air tanah semakin lama
semakin hilang karena tidak mendapatkan pasokan lagi.
• CARA PENGURANGAN RESIKO BENCANA
Musim kemarau atau musim kering adalah musim di daerah tropis yang dipengaruhi
oleh sistem muson. Untuk dapat disebut musim kemarau, curah hujan per bulan harus di
bawah 60 mm per bulan (atau 20 mm per dasarian) selama tiga dasarian berturut-turut.
Wilayah tropika di Asia Tenggara dan Asia Selatan, Australia bagian timur laut, Afrika, dan
sebagian Amerika Selatan mengalami musim ini.
Lalu hal apa saja yang dapat di lakukan untuk menghadapi musim kemarau?
• Pra Bencana

• Masyarakat di sarankan untuk memanfaatkan sumber air yang ada secara Efektif dan
Efisien.

• Memprioritaskan pemanfaatan sumber air yang tersedia untuk keperluan air baku
untuk air bersih.
• Menanam pohon sebanyak-banyaknya di lingkungan kita.

• Membuat waduk (embung) disesuaikan dengan keadaan lingkungan.

• Membuat dan memperbanyak resapan air dengan tidak menutup semua permukaan
dengan plester semen atau ubin keramik.

• Memberikan perlindungan sumber sumber air bersih yang tersedia, dan

• Melakukan panen dan konservasi air.

Panen Air merupakan cara pengumpulan atau penampungan air hujan atau air
pada aliran saat curah hujan tinggi. Penampungan ini bisa digunakan saat curah hujan
menurun namun masih memiliki tampungan air. Panen air harus diikuti dengan
konservasi air, yakni menggunakan air yang sudah dipanen secara hemat sesuai
kebutuhan. Pembuatan rorak merupakan contoh tindakan panen air aliran permukaan dan
sekaligus juga tindakan konservasi air.
• Saat Terjadi Bencana

• Membuat sumur pantek atau sumur bor untuk mendapatkan air.

• Menyediakan air bersih dengan mobil tangki yang sudah di sediakan oleh dinas
terkait.

• Melakukan penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan.

• Menyediakan pompa air.

• Melakukan pengaturan pemberian air bagi pertanian secara darurat seperti gilir giring.

Yang perlu di perhatikan juga saat musim kemarau adalah kebakaran lahan dan
hutan, jadi lebih bijak lah dalam melakukan pembakaran sampah di sekitar lingkungan
anda.
• DAMPAK KEKERINGAN

Sebagian besar tanaman dan hewan yang hidup di daerah yang


mengalami kekeringan parah tidak dapat bertahan hidup. Akibatnya, seluruh populasi suatu
spesies dapat musnah dari daerah tersebut. Dengan demikian, daerah yang terkena dampak
kekeringan menunjukkan hilangnya keanekaragaman hayati yang besar.

Di Indonesia kekeringan merupakan salah satu bencana yang kerap dijumpai pada musim
kemarau. Ada banyak faktor alam seperti curah hujan dan kondisi alami lahan, manajemen
atau perubahan penggunaan lahan dan teknologi yang kurang tepat yang dapat mempengaruhi
terjadinya kekeringan. Selain itu, perubahan penggunaan lahan juga akan mengganggu
keseimbangan ekosistem. Kekeringan yang terjadi sangat berdampak untuk kehidupan seperti
mempengaruhi kesehatan manusia, tanaman, maupun hewan. Kekeringan juga dapat
menyebabkan pepohonan menjadi mati dan tanah menjadi gundul sehingga pada musim
hujan dapat menyebabkan erosi dan banjir.

Sementara itu, bencana yang ditimbulkan akibat kekeringan seperti bahan pangan menipis
akibat banyaknya tanaman yang mati, petani kehilangan mata pencaharian, sehingga
berdampak terjadinya urbanisasi dan lain sebagainya.

Berikut ini adalah akibat dari bencana kekeringan, yaitu:


• Kekurangan Sumber Air Minum
Dampak yang paling fatal bagi kehidupan manusia adalah kurangnya air minum. Tubuh yang
kekurangan cairan akan mengalami dehidrasi. Tidak hanya akan dialami oleh manusia,
namun hewan-hewan juga akan mengalami kekurangan cairan tubuh karena tidak adanya air
untuk diminum.
• Kekurangan Air Untuk Kebutuhan Sehari-Hari
Selain fungsi utamanya untuk air minum, air juga dibutuhkan dalam kegiatan sehari hari
seperti memasak, mandi, buang air, mencuci dan sebagainya. Jika tidak ada air maka
kegiatan-kegiatan rumah tangga tidak akan berjalan dengan baik.
• Tanaman dan Hewan Mati
Akibat bagi tanaman adalah layu hingga kematian. Tanaman menjadi bagian penting dari
siklus oksigen dan menjadi sumber pangan bagi manusia dan hewan. Jika tanaman mati,
maka sumber makanan bagi hewan dan manusia akan berkurang dan menyebabkan
kelaparan, bahkan ancaman kematian.
• Bencana Kelaparan
Kekeringan yang berkepanjangan akan menyebabkan sektor pertanian, perkebunan dan
peternakan mengalami gagal panen. Akibatnya, cadangan makanan bagi masyarakat menjadi
langka
• Lingkungan Kotor
Adanya air dapat dimanfaatkan untuk membersihkan kotoran di sekitar kita, misalnya
mengepel lantai, membersihkan hewan dan lainnya. Jika kekeringan melanda, maka tidak ada
sumber air untuk membersihkan lingkungan.
• CARA MENGATASI KEKERINGAN

Untuk mencegah dan mengatasi bencana kekeringan, kita dapat melakukan upaya-upaya
berikut ini sebagai solusi, yaitu:
• Penghijauan / Reboisasi - Meski reboisasi dan penghijaun memiliki arti berbeda,
namun keduanya memiliki kesamaan dalam penanaman pohon sebagai upaya
memperbaiki alam sehingga tanah dapat menyimpan air.
• Pembuatan Waduk atau Bendungan – Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah
beserta masyarakat adalah membuat bendungan atau waduk sebagai penampungan
cadangan air baik untuk keperluan irigasi serta sehari-hari.
• Menghemat Air – Penggunaan air sesuai kebutuhan harus dijadikan kebiasaan
masyarakat, karena air memiliki peranan penting untuk kehidupan.

• KEGIATAN TANGGAP BENCANA PADA SAAT TERJADI

Saat Terjadi Bencana


• Membuat sumur pantek atau sumur bor untuk mendapatkan air.

• Menyediakan air bersih dengan mobil tangki yang sudah di sediakan oleh dinas
terkait.

• Melakukan penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan.

• Menyediakan pompa air.

• Melakukan pengaturan pemberian air bagi pertanian secara darurat seperti gilir
giring.
BAB III
PENUTUP
• Kesimpulan
Bencana alam, adalah suatu peristiwa alam yang mengakibatkan dampak besar bagi
populasi manusia. Peristiwa alam dapat berupa banjir, letusan gunung berapi, gempa bumi,
tsunami, tanah longsor, badai salju, kekeringan, hujan es, gelombang panas, hurikan, badai
tropis, taifun, tornado, kebakaran liar dan wabah penyakit. Kebakaran hutan yaitu kebakaran
yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang
terjadi di luar kawasan hutan dan keduanya bisa terjadi baik disengaja maupun tanpa sengaja.
Kekeringan adalah salah satu bencana yang terjadi secara alamiah maupun karena manusia.
Karakteristik kekeringan dibedakan menjadi 2 yaitu: Kekeringan Alamiah, Kekeringan
Alamiah.

Anda mungkin juga menyukai