MANAJEMEN BENCANA
DIBUAT
O
L
E
H
KELOMPOK 4
38. Adhtya Putra Pratama (19134003)
40. Fenny Putri (19134031)
41. Tri Martha Tilar (19134086)
42. Vina Sri Wahyuningsih (19134090)
29. Rivky Salman Firdaus (19087137)
09. Zahra Atika (18133099)
23. Veby Kirani Pebrianty (19087041)
05. Akhdiat Prama Arisena (18062079)
18. Mhd. Ridhotul Habibie (19062033)
PENDAHULUAN
• LATAR BELAKANG
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung
keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-
kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam
hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan
sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45,
UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985
dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan
Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung
bahkan intensitasnya makin meningkat.
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan
ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan
produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu
kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan
udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas
negara.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk
mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen),
namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar
tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan
sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun
1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam
untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Tulisan ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan, kebakaran hutan
dan penanggulangannya yang dikumpulkan dari berbagai sumber dengan harapan dapat
dijadikan sebagai bahan masukan bagi para peneliti, pengambil kebijakan dan pengembangan
ilmu pengetahuan bagi para pencinta lingkungan dan kehutanan.
BAB II
PEMBAHASAN
• Tempat,Waktu,Korban KARHUTLA
TEMPAT KEJADIAN :
Saat ini ada beberapa titik api yang cukup besar terjadi seperti di wilayah
Kabupaten Bengkalis, Pelalawan, Indragiri Hulu (Inhu) dan Indragiri Hilir (Inhil). Untuk
titik api di Inhu dan Inhil,
WAKTU KEJADIAN:
Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau,
Jim Gafur mengatakan, luas hutan dan lahan yang terbakar di Riau sejak 1 Januari hingga 9
September 2019 sebanyak total 6.464 hektare
KORBAN:
Pada tahun 2019, kebakaran hutan dan lahan meliputi area seluas 9.706 hektare di
Provinsi Riau. Saat itu, Riau dalam status tanggap darurat asap karena selain menghadapi
dampak kebakaran hutan dan lahan di wilayahnya juga menerima kiriman asap dari Provinsi
Sumatera Selatan dan Jambi.
Luas area hutan dan lahan yang terbakar di wilayah Provinsi Riau tahun ini mencapai
1.587 hektare, turun hingga 99 persen lebih dibandingkan dengan luas hutan dan lahan yang
terbakar pada tahun 2019 menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Kebakaran hutan dan lahan tahun ini paling banyak terjadi di Kabupaten Indragiri Hilir
dengan luas area terbakar 479,5 hektare dan paling sedikit terjadi di Kuantan Singingi dengan
luas area terbakar sekitar 1,5 hektare.
Kebakaran hutan dan lahan juga terjadi di Kabupaten Bengkalis (382 hektare), Siak
(174,5 hektare), Dumai (138,9 hektare), Pelalawan (142 hektare), dan Rokan Hilir (60,15
hektare).Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau,
Jim Gafur mengatakan, luas hutan dan lahan yang terbakar di Riau sejak 1 Januari hingga 9
September 2019 sebanyak total 6.464 hektaredan Riau 289 titik,"primata kehilangan rumah
serta infeksi kemataan "kebakaran mengakibatkan kehilangan rumah bagi primata dan
beberapa diantara terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) hingga ada yang ikut
terbakar, symposium dan kongres primate Indonesia kelima di UGM, rabu 18 september
2019"
Wiratno belum mendapatkan laporan data pasti terkait penyelamatan orang utan sementara
ada yang sudah berhasil diselamatkan dan akan langsung mendapatkan perawatan dan
pengobatan intensif sebelum dilepaskan kembali ke lapangan.
Mulai dari anak anak sampai orang dewasa banyak yang terjangkit (ISPA) dan (TBS),
bencana kabut asap jiga tidak segera ditangani akan banyak primata yang hidup di Indonesia
bisa punah
Sampai saat ini, Indonesia mempunyai 61 jenis primata yang tidak bisa hidup
ditrmpat lain. Primata mempunyai kemampuan memperbaiki dan merestorasi ekosistem alam
juga bernilai ekonomi tinggi jika dikelola dengan benar dan sungguh sungguh oleh
pemerintah dan masyarakat, potensi ekonomi yang baik bisa dikembangkan menjadi wisata
dan bisa menghasilkan devisa yang menguntungkan, masyarakat dapat ikut mengembangkan
untuk menjadi lebih baik dari pada membabat hutan untuk membuka lahan baru untuk
ditanami kelapa sawit
• KARAKTERISTIK BENCANA
.
Kajian bahaya:
• Monitoring titik api serta menetapkan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.
• Prediksi cuaca untuk mengetahui datangnya musim kering/kemarau.
• Pemetaan daerah rawan bahaya kebakaran berdasarkan kejadian masa lalu dan
meningkatnya aktivitas manusia untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu kawasan.
• Pemetaan daerah tutupan lahan serta jenis tanaman sebagai bahan bakaran.
• Pemetaan tata guna lahan.
Parameter :
• PENYEBAB BENCANA
Cuaca panas dan angin kencang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di
Desa Penarikan, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau, meluas dan sulit
dikendalikan. Kepulan asap makin tebal di lahan yang terbakar.
• PENCEGAHAN BENCANA
Upaya Pencegahan
Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain
(Soemarsono, 1997):
(b) Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan;
(c) Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran
hutan;
(g) Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan,
selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.
• MITIGASI BENCANA
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) masih kerap terjadi di berbagai wilayah tanah air.
Badan Nasonal Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya telah terjadi 321
kejadian bencana karhutla yang melanda berbagai wilayah Indonesia di sepanjang tahun
2020. Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah dalam penanganan karhutla guna
meminimalisir dampak yang timbul serta mengurangi luasan lahan yang terbakar. Upaya
penanganan karhutla juga dilakukan melalui mitigasi bencana.
Salah satu kegiatan mitigasi bencana karhutla yang giat diupayakan saat ini adalah
melalui Sekolah Lapang Mitigasi Kebakaran Hutan dan Lahan. BNPB melalui Direktorat
Mitigasi Bencana bekerjasama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) menginisiasi kegiatan
mitigasi partisipatif kebakaran hutan dan lahan khususnya di daerah-daerah langganan
bencana karhutla. Dengan pendekatan edukasi dan sosialisasi pemanfaatan lahan gambut
tanpa bakar, kegiatan sekolah lapang ini menyasar masyarakat khususnya kelompok tani
untuk melakukan alternatif pemanfaatan lahan gambut yang ramah alam sehingga karhutla di
lahan gambut dapat dicegah.
Sekolah lapang mitigasi karhutla, pemanfaatan lahan gambut tanpa bakar dilaksanakan di
Provinsi Kalimantan Tengah dengan Desa Henda, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten
Pulang Pisau menjadi wilayah yang dipilih untuk tempat pelaksanaannya. Kegiatan yang
akan menjadi agenda rutin Direktorat Mitigasi Bencana ini terselengara atas kerjasama antara
BNPB, BRG, BPBD Provinsi Kalimantan Tengah dan Pemerintahan Kabupaten Pulang Pisau
dengan peserta dari kelompok tani yang ada di daerah tersebut.
Sebanyak 19 peserta dari berbagai kelompok tani di Desa Henda mengikuti kegiatan
sekolah lapang yang dilaksanakan selama tiga hari mulai Rabu (20/10) hingga Kamis (22/10).
Dalam kegiatan ini peserta dibekali pengetahuan tentang gambut, budidaya di lahan gambut,
dan pemasaran produk hasil budidaya gambut. Selain aspek teori, dalam kegiatan ini juga
dilakukan kegiatan praktek dalam pembuatan pupuk organik dan mini demplot.
Kegiatan ini juga menghadirkan berbagai narasumber dengan beragam latar belakang
keilmuan yang mampu meningkatkan kapasitas peserta didik, seperti dari BRG, BPBD
Provinsi Kalimantan Tengah, BPBD Kabupaten Pulang Pisau, Dinas Pertanian Kab Pulang
Pisau, fasilitator, Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pulang Pisau dan Himpunan Ahli
Kesehatan Lingkungan (HAKLI). Melalui kegiatan ini diharapkan masyarakat dapat berdaya
secara ekonomi tanpa merusak ekosistem lahan gambut. Dengan demikian keseimbangan
ekosistem dapat terjaga serta bencana karhutla dapat dihindari.
Johny Sumbung selaku Direktur Mitigasi Bencana BNPB yang membuka kegiatan ini
menyampaikan pemanfaatan lahan gambut tanpa harus membakar merupakan salah satu
upaya perlindungan dan penyelamatan ekosistem gambut.
“Kegiatan ini mengacu pada konsep restorasi lahan gambut yang dikenal dengan 3R
yaitu rewetting, revegetation dan revitalization of local livelihood,” ujar Johny.
Johny juga menekankan agar dalam melaksanakan kegiatan ini dilakukan dengan
memperhatikan protokol kesehatan mengingat kegiatan dilakukan dalam masa pandemi
COVID-19. Selalu menggunakan masker, rajin bercuci tangan dan menjaga jarak mutlak
dilakukan selama kegiatan berlangsung.
Selain di Pulang Pisau, sekolah lapang ini juga telah sukses dilakukan di daerah rawan
karhutla lain, seperti di Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat, Balangan
Kalimantan Selatan, Tanjung Jabung Timur Jambi. Selanjutnya dua daerah lagi rencananya
akan digelar pada November mendatang, yakni di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera
Selatan dan Pelalawan Riau.
Disamping mitigasi karhutla melalui sekolah lapang, upaya lain juga ditingkatkan dalam
penanganan bencana karhutla. Deteksi dini hotspot, patroli udara dan pemadaman titik api
yang muncul dengan mengerahkan personil darat dan udara merupakan beberapa upaya yang
telah dan akan terus dilakukan dalam penanganan karhutla di Indonesia. Diharapkan berbagai
upaya yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah pusat dan daerah serta didukung oleh
masyarakat ini akan menekan angka bencana karhutla dan juga berbagai kerugian yang
timbul atas bencana tersebut.
• KESIAPSIAGAAN BENCANA
Kejadian kebakaran mengakibatkan dampak yang besar bagi masyarakat. Selain kerugian
material, akibat yang lebih fatal berupa hilangnya nyawa orang, dapat terjadi akibat
kebakaran. Risiko kebakaran di perkotaan terbentuk oleh adanya ancaman berupa potensi api
yang sewaktuwaktu dapat menjadi sumber kebakaran, seperti penggunaan listrik dan kompor
gas, serta kerentanan masyarakat tinggi, yang dipengaruhi kepadatan penduduk dan
bangunan. Risiko bencana kebakaran di kawasan perkotaan tersebut susah diminimalkan,
terlebih menyangkut kebutuhan pokok masyarakat akan listrik dan memasak. Bagitu pula
dengan pengurangan kepadatan penduduk untuk mengurangi kerentanan. Upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan penanggulangan bencana melalui tindakan kesiapsiagaan terhadap
bencana tersebut. Upaya peningkatan kesiapsiagaan dapat meminimalkan kerugian yang
muncul jika bencana terjadi. Kesiapsiagaan merupakan salah satu fase dalam pengelolaan
bencana, yang tertuang dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
Ilustrasi tahapan penganggulangan bencana dapat digambarkan sebagai suatu siklus karena
sifatnya yang terus berulang
Kesiapsiagaan yaitu persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi (atau kemungkinan
akan terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap kebutuhan-kebutuhan
dalam keadaan darurat dan identifikasi atas sumber daya yang ada untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Perencanaan ini dapat mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman.
Penelitian ini difokuskan pada identifikasi kesiapsiagaan masyarakat perkotaan khususnya
Kelurahan Pringgokusuman dalam menghadapi ancaman bencana kebakaran
Pemetaan Partisipatif Titik Evakuasi Syarat penentuan titik kumpul antara lain :
• areal terbuka;
• mudah diakses oleh korban ataupun penolong;
• terlindungi dari jangkauan bahaya langsung / tidak langsung dari bencana;
• tersedia tempat sementara bagi kelompok rentan (lansia, bayi, ibu hamil, difabel);
• kemudahan akses mobilisasi;
• tersedia sarana komunikasi;
• tersedia sarana pertolongan pertama.
• Kekeringan Antropagenik
• Posisi geografis
Indonesia merupakan negara yang berada tepat di garis khatulistiwa dan diapit
oleh 2 benua dan 2 samudera. Selain itu, Indonesia secara geografis terdapat di daerah
monsoon atau sebuah fenomena alam di mana seringnya terjadi perubahan iklim secara
ekstrem karena terjadinya perubahan tekanan udara dari daratan. Dengan terjadinya
perubahan tersebut, maka secara tidak langsung menyebabkan jet steam effect dari lautan
yang langsung menghempas daratan dengan hawa panas yang mengikutinya.
Dengan hawa panas dan kekuatan angin yang tinggi tersebut, maka membuat
banyak daerah yang awalnya memiliki kandungan air, menjadi terkena imbasnya atau
menjadi kering. Hal tersebut semakin parah efeknya ketika musim kemarau tiba dimana
secara alami musimnya sudah kering dan panas, masih mendapatkan tambahan tekanan
dikarenakan fenomena monsoon tersebut.
• Penggunaan air tanah secara berlebih
Penggunaan air tanah secara berlebihan atau dikenal dengan istilah permasalahan
agronomis tersebut memiliki imbas terhadap lingkungan, yaitu membuat kekeringan di
sejumlah tempat, terlebih saat kemarau tiba. Permasalahan agronomis ini disebabkan oleh
penggunaan air tanah secara berlebih oleh para petani saat musim kemarau agar dapat
digunakan untuk mengairi sawah atau ladanganya. Sayangnya, cara tersebut justru
membuat cadangan air ikut terangkut dan membuat pasokannya menjadi kering dan habis.
• Kerusakan hidrologis
Memang tidak dapat dikatakan bahwa untuk masalah kerusakan hidrologis ini
sepenuhnya disebabkan oleh manusia, karena alam sendiri yang dapat menjadi
pemicunya. Kerusakan hidrologis tersebut merupakan rusaknya fungsi dari wilayah hulu
sungai karena waduk dan saluran irigasinya terisi sendimen dalam jumlah besar.
Dikarenakan hal itu, maka kapasitas dan daya tampung air menjadi berkurang jauh yang
mana akhirnya dapat memicu kekeringan ketika kemarau.
• Rendahnya tingkat curah uap air dan awan
Kekeringan yang terjadi di Indonesia juga dapat disebabkan oleh pengimpangan
iklim yang mana membuat hujan menjadi jarang turun. Hal tersebut dikarenakan
rendahnya tingkat produksi uap air dan awan di beberapa tempat di Indonesia yang
akhirnya membuat minimnya hujan. Dengan sangat sedikitnya hujan yang turun, maka
musim kemarau juga akan semakin lama dan menyebabkan kekeringan melanda.
• Faktor global warming
Memang tidak hanya terjadi di Indonesia saja karena seperti mengacu pada
namanya, global memiliki artian seluruh dunia. Global warming atau pemanasan secara
global ini juga menjadi salah satu penyebab kekeringan terjadi baik di Indonesia ataupun
di berbagai negara lain di dunia. Penyebabnya juga cukup beragam, mulai dari efek
penggunaan rumah kaca, pemakaian zat-zat kimia, polusi udara sampai dengan
pembuangan sampah secara sembarangan.
• Minimnya daerah resapan
Indonesia adalah negara yang terus berkembang dan secara perlahan banyak
daerah yang awalnya hijau kemudian dibuka dan dalam beberapa tahun setelahnya
berubah menjadi tempat hunian dan sejenisnya. Namun justru hal tersebut berakibat
buruk karena dapat mengakibatkan bencana kekeringan. Pasalnya, dengan banyaknya
pembukaan lahan dan juga mendirikan beton-beton bertingkat di atasnya, maka secara
otomatis berkurang pula serapan air hujan dan kandungan air tanah semakin lama
semakin hilang karena tidak mendapatkan pasokan lagi.
• CARA PENGURANGAN RESIKO BENCANA
Musim kemarau atau musim kering adalah musim di daerah tropis yang dipengaruhi
oleh sistem muson. Untuk dapat disebut musim kemarau, curah hujan per bulan harus di
bawah 60 mm per bulan (atau 20 mm per dasarian) selama tiga dasarian berturut-turut.
Wilayah tropika di Asia Tenggara dan Asia Selatan, Australia bagian timur laut, Afrika, dan
sebagian Amerika Selatan mengalami musim ini.
Lalu hal apa saja yang dapat di lakukan untuk menghadapi musim kemarau?
• Pra Bencana
• Masyarakat di sarankan untuk memanfaatkan sumber air yang ada secara Efektif dan
Efisien.
• Memprioritaskan pemanfaatan sumber air yang tersedia untuk keperluan air baku
untuk air bersih.
• Menanam pohon sebanyak-banyaknya di lingkungan kita.
• Membuat dan memperbanyak resapan air dengan tidak menutup semua permukaan
dengan plester semen atau ubin keramik.
Panen Air merupakan cara pengumpulan atau penampungan air hujan atau air
pada aliran saat curah hujan tinggi. Penampungan ini bisa digunakan saat curah hujan
menurun namun masih memiliki tampungan air. Panen air harus diikuti dengan
konservasi air, yakni menggunakan air yang sudah dipanen secara hemat sesuai
kebutuhan. Pembuatan rorak merupakan contoh tindakan panen air aliran permukaan dan
sekaligus juga tindakan konservasi air.
• Saat Terjadi Bencana
• Menyediakan air bersih dengan mobil tangki yang sudah di sediakan oleh dinas
terkait.
• Melakukan pengaturan pemberian air bagi pertanian secara darurat seperti gilir giring.
Yang perlu di perhatikan juga saat musim kemarau adalah kebakaran lahan dan
hutan, jadi lebih bijak lah dalam melakukan pembakaran sampah di sekitar lingkungan
anda.
• DAMPAK KEKERINGAN
Di Indonesia kekeringan merupakan salah satu bencana yang kerap dijumpai pada musim
kemarau. Ada banyak faktor alam seperti curah hujan dan kondisi alami lahan, manajemen
atau perubahan penggunaan lahan dan teknologi yang kurang tepat yang dapat mempengaruhi
terjadinya kekeringan. Selain itu, perubahan penggunaan lahan juga akan mengganggu
keseimbangan ekosistem. Kekeringan yang terjadi sangat berdampak untuk kehidupan seperti
mempengaruhi kesehatan manusia, tanaman, maupun hewan. Kekeringan juga dapat
menyebabkan pepohonan menjadi mati dan tanah menjadi gundul sehingga pada musim
hujan dapat menyebabkan erosi dan banjir.
Sementara itu, bencana yang ditimbulkan akibat kekeringan seperti bahan pangan menipis
akibat banyaknya tanaman yang mati, petani kehilangan mata pencaharian, sehingga
berdampak terjadinya urbanisasi dan lain sebagainya.
Untuk mencegah dan mengatasi bencana kekeringan, kita dapat melakukan upaya-upaya
berikut ini sebagai solusi, yaitu:
• Penghijauan / Reboisasi - Meski reboisasi dan penghijaun memiliki arti berbeda,
namun keduanya memiliki kesamaan dalam penanaman pohon sebagai upaya
memperbaiki alam sehingga tanah dapat menyimpan air.
• Pembuatan Waduk atau Bendungan – Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah
beserta masyarakat adalah membuat bendungan atau waduk sebagai penampungan
cadangan air baik untuk keperluan irigasi serta sehari-hari.
• Menghemat Air – Penggunaan air sesuai kebutuhan harus dijadikan kebiasaan
masyarakat, karena air memiliki peranan penting untuk kehidupan.
• Menyediakan air bersih dengan mobil tangki yang sudah di sediakan oleh dinas
terkait.
• Melakukan pengaturan pemberian air bagi pertanian secara darurat seperti gilir
giring.
BAB III
PENUTUP
• Kesimpulan
Bencana alam, adalah suatu peristiwa alam yang mengakibatkan dampak besar bagi
populasi manusia. Peristiwa alam dapat berupa banjir, letusan gunung berapi, gempa bumi,
tsunami, tanah longsor, badai salju, kekeringan, hujan es, gelombang panas, hurikan, badai
tropis, taifun, tornado, kebakaran liar dan wabah penyakit. Kebakaran hutan yaitu kebakaran
yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang
terjadi di luar kawasan hutan dan keduanya bisa terjadi baik disengaja maupun tanpa sengaja.
Kekeringan adalah salah satu bencana yang terjadi secara alamiah maupun karena manusia.
Karakteristik kekeringan dibedakan menjadi 2 yaitu: Kekeringan Alamiah, Kekeringan
Alamiah.