Anda di halaman 1dari 34

PRESENTASI KASUS

OBSERVASI DEMAM HARI KE 1O


ec DEMAM TIFOID

Disusun Oleh:
dr. Ditta Farda Lestari

Pembimbing:
dr. Retno Budihartani , Sp.A

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CICALENGKA
KABUPATEN BANDUNG
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar Typhi (S.


thphi) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia khususnya di
negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. WHO memperkirakan
terdapat 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insiden 600.000 kasus
kematian tiap tahun. Di negara-negara dengan status endemis demam tifoid, 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insiden yang sebenarnya 15-25 kali lebih besar
dari laporan rawat inap rumah sakit.

Di Indonesia, insiden demam tifoid masih tinggi bahkan menempati urutan


ketiga diantara negara-negara di dunia. Penyakit ini didapatkan sepanjang tahun
dengan angka kesakitan pertahun mencapai 157/100.000 populasi pada daerah semi
rural dan 810/100.000 populasi pada daerah urban dan cenderung meningkat setiap
tahunnya. Berdasarkan riset kesehatan dasar yang dilakukan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Depkes tahun 2007 ditemukan prevalensi penderita
demam tifoid sebesar 1,6%.

Demam Tifoid erat kaitannya dengan higienitas atau kebersihan. Bakteri


penyebab tifoid senang hidup di makanan kotor ataupun tanah sehingga bila
seseorang mengonsumsi makanan kotor dan saat daya tahan tubuhnya rendah, bakteri
akan menyerang usus orang tersebut. Selanjutnya, bakteri masuk ke dalam peredaran
darah dan terjadinya penyakit tifoid

BAB II

2
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : An. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 15 Mei 2013
Usia : 7 tahun 8 bulan
Agama : Islam
Alamat : Kp Taman Mekar
Tanggal Masuk RS : 23 Desember 2020 pukul 12.57 di Poli Anak
Tanggal Diperiksa : 24 Desember di Ruang Rawat Inap Anak

II. Identitas Orang tua


 Ibu
Nama : Ny. Siti Halimah
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 40 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kp Taman Mekar

III. Anamnesis 
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien anak laki-laki usia 7 tahun 8 bulan dibawa oleh ibunya ke Poli Anak
RSUD Cicalengka dengan keluhan demam sejak 10 hari SMRS, pasien mengeluh
demam tinggi. Demam dirasakan tiba-tiba tinggi pada malam hari. Pada 7 hari awal,
demam dirasakan naik turun. Demam paling tinggi terjadi pada malam hari, dan
mulai turun pada pagi harinya tetapi badan pasien masih terasa hangat. Pada 3 hari
selanjutnya, demam dirasakan tinggi terus menerus dan menetap tanpa adanya
penurunan suhu, disertai menggigil pada malam hari dan berkeringat hingga
membasahi bajunya.
Keluhan demam ini disertai dengan nyeri pada ulu hati, BAB cair , batuk
berdahak, mual, penurunan nafsu makan, lemah dan lesu, ibu pasien juga mengatakan
melihat anaknya sedikit sesak. BAB ciar dirasakan 3 hari SMRS dengan banyaknya

3
BAB 3 kali per-hari, ibu pasien menyangkal adanya darah maupun lendir pada BAB
nya, namun pada 7 hari terakhir pasien mengalami susah buang air besar.
Ibu pasien menyangkal anaknya mengalami keluhan batuk lama yang tak kunjung
sembuh, kontak dengan penderita tuberkulosis, berat badan yang cenderung tidak
naik atau bahkan turun, serta adanya benjolan di leher dengan jumlah yang banyak.
Keluhan sering buang air kecil, tidak bisa menahan kencing, nyeri pada saat
berkemih, dan rasa tidak nyaman di daerah perut bawah juga disangkal oleh pasien.
Pasien juga menyangkal adanya nyeri atau bengkak pada daerah jari-jari tangan serta
ruam kemerahan di daerah pipi. Pasien juga menyangkal adanya keluhan nyeri perut
hebat dan terasa tegang seperti papan pada saat ditekan, kulit menjadi kuning, atau
pun penurunan kesadaran dan kejang selama sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Kebiasaan
pasien ialah sering jajan di warung daerah rumah nya dan pasien mengaku tidak
pernah mencuci tangan sebelum makan. Ibu pasien menyangkal adanya riwayat alergi
obat-obatan pada anaknya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien tinggal bersama keluarga nya dan tidak ada yang memliki keluhan
yang sama. Riwayat penyakit seperti asma dikeluarga disangkal

Riwayat Kelahiran

Pasien lahir spontan dari ibu G1P1A0 aterm dengan berat badan lahir 3100
gram.

Riwayat Kehamilan

4
Saat masa kehamilan ibu pasien tidak merokok maupun mengkonsumsi obat
obatan tertentu. Selama 9 bulan kehamilan ibu pasien melakukan ANC di bidan
dengan frekuensi 1 kali perbulan.

Riwayat Persalian
Ibu pasien melahirkan dibantu seorang bidan pada tanggal 15 Mei 2013,
usia kehamilan aterm 37 minggu dengan berat badan 3100 gram panjang badan 46
cm dan langsung menangis. Pasien telah mendapatkan vitamin K dari bidan.

Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan ASI eksklusif 24 bulan dan mulai mendapatkan susu
formula sejak usia 3 tahun hingga sekarang walaupun tidak rutin. Sehari hari
pasien makan 3 kali sehari dengan komposisi makanan nasi, lauk, dan sayur
kadang kadang buah buahan. Pasien gemar mengkonsumsi makanan ringa. Pasien
tidak memiliki riwayat alergi.

Riwayat Tumbuh Kembang

Riwayat Imunisasi
Pasien mendapatkan imunisasi dasar lengkap, yaitu :
 BCG
 DTP I/II/III 
 Hepatitis B I/II/III 
 Polio 0/I/II/III
 Campak

5
Riwayat Sosial
Saat ini pasien tinggal bersama kedua orang tuanya dan kakeknya. Pasien
merupakan anak pertama. Ayah pasien merupakan pegawai swasta.
Ibu pasien merupakan ibu rumah tangga yang sehari harinya hanya
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, pendidikan terakhir ibu pasien SMA. Menurut
ibu pasien, pasien bisa bergaul dan bermain dengan teman seusia pasien dengan
baik.

IV. Pemeriksaan Fisik

KU : baik
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 100 x/mnt
RR : 22x/menit
Tax : 37,7 oC
BB : 25 Kg
TB : 115 cm
Status Gizi : Baik

Status Generalis
Kepala : Normal
Mata : Anemis -/-, ikterus -/- , pupil isokor (3mm/3mm)
THT : Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-, napas cuping hidung (-), cyanosis (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), T1/ T1
Leher : Pembesaran kelenjar (-), retraksi suprasternal (-)

Thoraks : Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat


Perkusi : sonor kanan=kiri
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

6
Paru-paru
Inspeksi : simetris, gerakan dada simetris, retraksi itercostal (-/-)
Palpasi : gerakan dada simetris
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Aksila : pembesaran kelenjar (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-), retraksi epigastrium(-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar-lien tidak teraba, nyeri tekan (+)
Perkusi : timpani
Kulit : turgor normal
Genitalia : tidak ada kelainan
Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas : akral hangat (+), cyanosis (-), edema (-), CRT < 2 detik
Status Neurologis
Kaku kuduk : (-)
Kekuatan : 555 / 555
555 / 555
Tonus :N/N
N/N

Refleks fisiologis : ++/++


++/++
Tropi :N/N
N/N
Gerakan involunter : tidak ada
Nervus kranialis : defisit nervus kranialis (-)

7
V. Resume
Pasien anak laki-laki usia 7 tahun 8 bulan dibawa oleh ibunya ke Poli Anak
RSUD Cicalengka dengan keluhan demam sejak 10 hari SMRS, pasien mengeluh
demam tinggi. Demam dirasakan tiba-tiba tinggi pada malam hari. Pada 7 hari awal,
demam dirasakan naik turun. Keluhan demam ini disertai dengan nyeri pada ulu hati,
BAB cair, batuk kering, mual, penurunan nafsu makan, lemah dan lesu. Awalnya
BAB cair dirasakan 3 hari SMRS, namun pada 7 hari terakhir pasien mengalami
susah buang air besar. Keadaan umum pasien didapatan hasil sebagai berikut:
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit, regular, isi cukup
Respirasi : 30 x/menit
Suhu : 37,7 ºC
Pada pemeriksaan fisik generalis tidak ditemukan adanya kelainan, namun
pada tanda vital didapatkan peningkatan suhu
VI. Diagnosis Sementara
OF hari ke 10 ec demam tifoid
Susp. BP

VII.Usul Pemeriksaan
- Darah rutin dan hitung jenis
- Widal
- Rontgen thorax PA

VIII. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi Rutin Poli  Hitung Jenis:
 Hemoglobin : 12.8 g/dl  Basofil : 0

8
 Hematokrit : 37 %  Eosinofil : 1
 Leukosit : 12.600 uL  N. Batang : 0
 Trombosit : 255.000 uL  N. Segmen : 57
Widal  Limfosit : 38
 S. Typhi O : 1/320  Monosit : 4
 S. Typhi H : 1/320

b. Pemeriksaan Radiologi
Gambar 2.1. Foto Thorax PA (23/12/2020)

Inspirasi cukup
Trakea terletak di midline
Tulang tampak simetris, garis fraktur(-), lesi pada tulang(-), benda asing(-)
Tidak tampak adanya subcutaneous air.
CTR <50%
Subdiafraghm free gas(-) 9
Sudut kostofrenikus tajam
c. Diagnosis Kerja

Demam Tifoid

d. Penatalaksanaan
Farmakologis
 Kaen IB 1500ml/24 jam
 Cefotaxime 800 mg/8jam iv
 Clanexy 800mg/8 jam iv
 Ambroxol 3 x ½ cth
 Parasetamol 4 x 10ml
Non Farmakologis
 Observasi keadaan umum, dan tanda tanda vital
 Edukasi keluarga
 Tirah baring
TANGGAL 24-12-2020 26-12-2020
JAM 12.00 12.00
RUANGAN Sinom Sinom
KEADAAN UMUM Compos Mentis Compos Mentis
TTV
TD (mmHg) 110/70mmHg 110/80mmHg
HR (x/menit) 100 86
RR (xmenit) 21 20
S (ºC) 38.2 36.7
KELUHAN Batuk berdahak, pilek (+) demam Batuk berdahak, pilek (-) demam (-)
(+) BAB(+)
BAB(+)
PF KU sakit sedang, CM KU sakit sedang, CM
PCH(-) PCH(-)
CA(-/-), SI (-/-) CA(-/-), SI (-/-)
Ret SS(-) Ret SS(-)
Ret ICS(-), VBS ka=ki, wh(-/-), Ret ICS(-), VBS ka=ki, wh(-/-), rh(-/-)
rh(-/-) S1-S1 murni regular
S1-S1 murni regular Ret epi(-), BU(+) N
BU(+) N Akral hangat, CRT < 2”
Akral hangat, CRT < 2”
LAB Urine : bakteri (-)

10
Hb (gr%)

DIAGNOSIS OF hari ke 11 ec Demam Tifoid OF hari ke 12 ec Demam Tifoid


TERAPI L-Bio 1 x1 Terapi lanjut
Oreozink 1 x 5ml
Lasal 2 x 1cth
Nebu velutin 1 resp/8 jam
Terapi lain lanjut

ADVIS Diet lunak dan rendah serat BLPL

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM TIFOID
I. Pendahuluan

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai antara lain dengan

demam dan nyeri abdomen yang disebabkan oleh penyebaran Salmonella serotype

Typhi, Salmonella serotype Paratyphi A, Salmonella serotype Paratyphi B

(Schootmuelleri), Salmonella serotype Paratyphi C (Hirschfeldii). Sinonim dari

demam tifoid adalah enteric fever, typhus abdominalis. 

Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang

sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Infeksi umumnya disebarkan melalui

jalur fekal-oral dan berhubungan dengan higienis dan sanitasi yang buruk yaitu

melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang berasal dari tinja, kemih atau pus

yang positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat

berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi melalui air atau

kontak langsung.

Oleh karena penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella

yang beradaptasi pada manusia maka sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada

karier manusia. Penyebab yang terdekat kemungkinan adalah air (jalur yang paling

12
sering) atau makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia. Carrier adalah orang

yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi Salmonella typhi

dalam feses dan urine selama > 1 tahun. Karier menahun umumnya berusia lebih

dari 50 tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering menderita batu empedu. S.

typhi sering berdiam di batu empedu, bahkan di bagian dalam batu, dan secara

intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke feses, sehingga

mengkontaminasi air atau makanan.

II. Etiologi

Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella

berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu

motil dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih

bentuk antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica,

subspesies enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang

membantu mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O

somatik yang terlibat dalam serogrouping (S. typhi termasuk serogrouping D) dan

antigen yang satu lagi adalah antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan dengan

resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap

aktivasi komplemen oleh jalur yang lain. / melindungi O antigen terhadap fagositosis.

Etiologi lainnya : Salmonella paratyphi A, B, C.

III. Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko yang menyebabkan seseorang terkena demam tifoid :

13
 Lingkungan yang tidak bersih
 Kebiasaan yang tidak bersih ( tidak mencuci tangan setelah buang air atau
sebelum makan, dan makan sembarangan)
 Kontak dekat dengan orang yang sakit demam tifoid

IV. Patogenesis
Setelah tertelan inokulum yang sesuai, S. typhi melintasi sawar lambung

mencapai usus halus. Infeksi manusia secara eksperimental dengan strain Quailes

telah menyatakan bahwa 10 kuman tidak dapat menyebabkan penyakit simtomatik


3

tetapi 10 bakteri dapat menyebabkan gejala pada 27 persen relawan. Dosis yang lebih
5

tinggi dapat menyebabkan penyakit yang lebih sering, terutama jika kuman

menghasilkan antigen polisakarida kapsuler Vi. Kuman ditelan oleh fagosit

mononuklear, lalu bertahan hidup dan memperbanyak diri dalam sel sehingga

menimbulkan penyakit. 

Masa inkubasi bervariasi dan tergantung pada ukuran inokulum dan keadaan

pertahanan pejamu. Variasi masa inkubasi antara 3 sampai 60 hari telah dilaporkan.

Ketiadaan antibodi bakterisid memungkinkan kuman untuk difagositosis dalam

keadaan hidup. Daya tahan dalam sel tergantung pada faktor mikroba yang

menunjang resistensi terhadap pembinasaan dan pada imunitas yang diaktifkan oleh

sel limfosit T pejamu, yang berada di bawah kendali genetik. 

Ketergantungan dosis pada penyakit klinis tampaknya diatur oleh keseimbangan

antara perbanyakan diri bakteri dan pertahanan ekstraselular dan intraseluar penjamu

14
yang didapat. Jika jumlah bakteri intraselular melampaui ambang batas kritis,

bakteremia sekunder dapat terjadi dan menimbulkan invasi pada kelenjar empedu dan

Plaque Peyeri pada usus halus. Bakteremia yang menetap menjadi penyebab demam

yang menetap pada tifoid klinis, sementara reaksi radang terhadap invasi jaringan

menentukan pola pengungkapan klinis (kolesistitis, perdarahan usus atau perforasi).

Dengan invasi kelenjar empedu dan Plaque Peyeri, kuman kembali masuk ke dalam

lumen usus, dan dapat ditemukan pada biakan feses pada awal minggu kedua

penyakit klinis.

Pertumbuhan dalam ginjal menyebabkan biakan urin positif, tetapi dalam jumlah

yang jauh lebih kecil daripada biakan darah yang positif. Endotoksin liposakarida

pada S. typhi dapat menyebabkan demam, leukopenia dan gejala sistemik lain, tetapi

kejadian gejala ini pada individu yang dibuat toleran terhadap endotoksin menunjang

peranan untuk faktor lain, seperti sitokin yang dilepaskan dari fagosit mononuklear

yang terinfeksi, yang dapat memperantarai peradangan.

1. Bakteriemi I (1-7 hari)

Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (10 -10 ) 6 9

masuk ke dalam tubuh manusia 🡪 melalui esofagus, kuman masuk ke dalam

lambung dan sebagian lagi kuman masuk ke dalam usus halus 🡪 Di usus halus,

kuman mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang

sudah mengalami hipertrofi (ditempat ini sering terjadi perdarahan dan

perforasi) 🡪 Kuman menembus lamina propia, kemudian masuk ke dalam

15
aliran limfe dan mencapai kelenjar mesenterial yang mengalami hipertrofi 🡪

melalui ductus thoracicus, sebagian kuman masuk ke dalam aliran darah yang

menimbulkan bakteriemi I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus, dan

masuk kembali ke dalam hati.

2. Bakteriemi II (6 hari – 6 minggu)

Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian lagi masuk ke dalam hati 🡪

kuman ditangkap dan bersarang  di bagian RES : plaque peyeri di ileum

terminalis, hati, lien, bagian lain sistem RES-> kemudian masuk kembali ke aliran

darah->🡪 menimbulkan bakteriemia II -> dan menyebar ke seluruh tubuh.

 Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid adalah

disebabkan oleh endotoksin Salmonella typhi yang berperan pada patogenesis

demam tifoid karena Salmonella typhi membantu terjadinya proses inflamasi

lokal pada jaringan tempat Salmonella typhi berkembang biak dan endotoksin

Salmonella typhi merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit

pada jaringan yang meradang.

V. Patofisiologi

Pada dasarnya tifus abdominalis merupakan penyakit sistem retikuloendotelial

yang menunjukkan diri terutama pada jaringan limfoid usus, limpa, hati, dan sumsum

16
tulang. Di usus, jaringan limfoid terletak di antemesenterial pada dindingnya, dan

dinamai Plaque Payeri.

Usus yang terserang tifus umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang

bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I). Pada

permulaaan Plaque Payeri penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan tampak

seperti infiltrat atau hiperplasia di mukosa usus. Pada akhir minggu pertama infeksi

terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini lebih besar di ileum daripada di kolon sesuai

dengan ukuran Plaque Payeri yang ada disana. Kebanyakan tukaknya dangkal, tetapi

kadang lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi pada tukak

yang menembus serosa. Setelah penderita sembuh biasanya ulkus membaik tanpa

meninggalkan jaringan parut dan fibrosis. 

Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar limfe

mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan melunak. Limpa biasanya

juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel polimorfonuklear dan

mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir selalu terlibat. Kandung

empedu selalu terinfeksi dan bakteri hidup dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu

penderita dapat tetap mengandung bakteri dan Penderita menjadi pembawa kuman. 

        Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni bakteri. Itu

sebabnya pada minggu pertama ditemukan kumannya dalam air kemih. Bila sembuh,

penderita menjadi pembawa kuman yang menularkan lewat kemihnya. Parotitis dan

17
orkitis kadang ditemukan, sedangkan bronkititis hampir selalu ada dan kadang terjadi

pneumonia. Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus abdominalis

lebih sering terjadi sekunder oleh infeksi pneumokokus.

Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan gambaran

miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat (bradikardia relatif)

akibat miokarditis tersebut. Vena sering mengalami trombosis terutama v. femoralis,

v. safena dan sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi Zenker berupa

hilangnya striae transversales disertai pembengkakan otot. 

Otot yang sering terserang adalah otot diafragma, m.rektus abdomis dan otot

paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot pada penderita. 

Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptura spontan disertai perdarahan

lokal. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan abses di otot bersangkutan.

Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis itu dapat

berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena adalah tibia, sternum,

iga dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering didapat gambaran piogenik

disertai adanya basil tifus yang dapat hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang

ditunjukkan dengan gambaran leukopenia disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan

eosinofil dan bertambahnya sel mononuklear.

VI. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

18
 Demam yang tinggi.

 Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm

terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot tersebut

agak meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang berjumlah

kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai empat hari pada

minggu pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi perdarahan kecil

yang tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap (jarang

ditemukan pada orang Indonesia).

 Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.

 Bradikardia relatif.

 Hepatosplenomegali.

 Jantung membesar dan lunak.

 Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang

menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens muskuler

akibat rangsangan peritoneum.

  Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat

mungkin terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah

segar. 

 Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,

bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani.

Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya kosong.

19
Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah dan kurva suhu-denyut nadi

menunjukkan tanda salib  maut (Gambar 1-12).

 Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah

diafragma, sering disertai gambaran ileus paralitik. 

VII. Laboratorium

Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik,

leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah sel

polimorfonuklear. Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah putih normal,

walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam. Leukopenia

(<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada kejadian perforasi

usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi

pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan

keempat. 

Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90%

penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita.

Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman. Pembawa

kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria lebih banyak daripada

wanita.

20
Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk

basil usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang

diikuti peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B.

fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik

demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena ada

imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap meninggi

setelah diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi,

tetapi karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan. Peninggian

antibodi empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria yang baik tetapi

sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat menjadi tidak bermanfaat

akibat pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini sediaan awal diambil, maka

semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas

meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada

diagnosis dini infeksi.

1. Leukosit.

Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena

kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas

normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadang-

kadang dapat ditemukan leukositosis.

2. SGOT dan SGPT.

21
SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah

demam tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.

3. Biakan darah.

Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah (−)

tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah

tergantung pada beberapa faktor, yaitu :

a. Teknik pemeriksaan laboratorium.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

c. Vaksinasi di masa lampau.

d. Pengobatan dengan obat antimikroba.

4.Uji Widal.

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen

yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum

pasien yang disangka menderita demam tifoid.

Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah

dimatikan dan diolah di laboratorium.

Antibodi (aglutinin) yang spesifik terhadap Salmonella akan positif dalam serum

pada :

a. Pasien demam tifoid.

b. Orang yang pernah tertular Salmonella.

22
c. Orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.

Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat

antibodi (aglutinin), yaitu :

a. Aglutinin O.

Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O

yang berasal dari tubuh kuman.

b. Aglutinin H.

Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H

yang berasal dari flagela kuman.

c. Aglutinin Vi.

Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi

yang berasal dari simpai kuman.

Dari ketiga aglutinin di atas, hanya aglutinin O dan aglutinin H yang ditentukan

titernya untuk menegakkan diagnosis Faktor-faktor yang mempengaruhi uji

Widal, yaitu :

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien.

1. Keadaan umum pasien.

2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

3. Pengobatan dini dengan antibiotik.

4. Penyakit-penyakit tertentu.

23
5. Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid.

6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa.

7. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.

8. Reaksi anamnestik.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan teknis.

a. Aglutinasi silang.

b. Konsentrasi suspensi antigen.

c. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Interprestasi uji Widal, yaitu :

i. Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita

demam tifoid.

ii. Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai

nilai diagnostik pasti untuk demam tifoid.

iii. Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan

diagnosis demam tifoid.

iv. Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.

v. Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan

pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid, aglutinin

akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang lama.

24
vi. Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab

demam tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen

O dan H yang sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi yang sama

pula.

5. Kultur Gall (Gall Culture)

VIII. Diagnosis

Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gejala klinik

serta pemeriksaan laboratorium serologi. Bila didapati titer O yang tinggi tanpa

imunisasi

sebelumnya, maka diagnosis demam tifoid dapat dianggap positif. Diagnosis dapat

dipastikan bila biakan dari darah, tinja, urin, sumsum tulang, sputum atau eksudat

purulen positif.

a. Titer uji Widal meningkat 4 kali lipat selama 2 – 3 minggu.

 Titer antibodi (aglutinin)  O = 1  :  320 →   4  x  (1  :  80)

 Titer antibodi (aglutinin)  H = 1  :  640 →   4  x  (1  :  160)

Demam tinggi dengan atau tanpa bronkitis, disertai keluhan sakit kepala dan

nyeri samar-samar di perut dapat disebabkan banyak penyakit seperti salmonelosis

pada umumnya, tuberkulosis diseminatus, malaria, demam dengue, bronkitits akut,

influenza dan pneumonia.

25
IX. Komplikasi

          1. Komplikasi Intestinal

              - Perdarahan usus (bila gawat harus dilakukan pembedahan

              - Perforasi usus (harus dilakukan pembedahan)

              - Ileus paralitik

         2. Komplikasi Ekstra-Intestinal

             1. Darah : Anemia  hemolitik,  trombositopenia,  DIC,  Sindroma  uremia

                              hemolitik  

             2. Kadiovaskular : Syok septik, miokarditis, trombosis, tromboflebitis

             3. Paru-paru : Empiema, pneumonia, pleuritis, bronkhitis

             4. Hati dan kandung empedu  : Hepatitis, kholesistitis

             5. Ginjal : Glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis

             6. Tulang : Osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis

             7. Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,

                                              encephalopaty,  Sindrome  Guillian  –  Barre,  psikosis,

                                              impairment of coordination, sindroma katatonia.

X. Terapi Obat

 Kloramfenikol yang merupakan standar emas

Reaksinya nyata dalam 24 sampai 48 jam setelah dimulainya pengobatan dalam dosis

yang sesuai (3 sampai 4 g/hari pada orang dewasa atau 50 sampai 75 mg/kgBB per hari

26
pada anak yang lebih muda). Obat diberikan per os selama 2 minggu, dan dosis dapat

dikurangi sampai 2 g/hari atau 30 mg/hari jika pasien menjadi tidak demam, yang

biasanya terjadi setelah hari kelima pengobatan.

 Amoksisilin (4 sampai 6 g/hari dalam empat dosis terbagi pada orang dewasa atau

100 mg/kg per hari pada anak).

 Trimetoprim-sulfametoksazol (640 dan 3200 mg, berurutan, dalam dua dosis

harian terbagi pada orang dewasa atau 185 mg/m2 luas permukaan tubuh per hari

dari komponen trimetoprim pada anak-anak).

 4-fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau oflosaksin pada individu yang

berusia lebih dari 17 tahun.

Berbagai obat intravena juga efektif, dan baik kloramfenikol maupun

trimetoprim-sulfametoksazol dapat diberikan secara intravena pada individu yang

tidak mampu menelan obat per os. Antimikroba parenteral efektif lainnya adalah

ampisilin dosis tinggi, sefotaksim, aztreonam, dan 4-fluorokuinolon. Walaupun

demikian, tidak ada satupun yang aksinya begitu cepat atau begitu efektifnya

dibandingkan dengan seftriakson, yang dapat menandingi atau lebih baik daripada

kloramfenikol dalam hal kecepatan penurunan panas. Sejak itu, rekomendasi awal

pemberian 7 hari tidak diturunkan menjadi 3 hari, 3-4 g sekali sehari pada orang

dewasa atau 80 mg/kgBB sekali sehari, selama 5 hari pada anak, tanpa kehilangan

daya gunanya (efikasi). Lagi pula, dibandingkan dengan angka kekambuhan yang

berhubungan dengan obat lainnya, angka kekambuhan tampak lebih rendah pada

27
orang dewasa atau anak-anak yang sedikit diberi seftriakson; namun, jumlah pasien

yang dilaporkan masih sedikit.

Prevalensi S.typhi yang resisten terhadap obat oral garis pertahanan pertama

telah meningkat pada negara sedang berkembang, kadang secara menyolok, karena

kemahiran plasmid menjadikan β-laktamase yang tidak aktif dan enzim

kloramfenikol asetil transferase. 

Di daerah dengan resistensi banyak obat ini merupakan masalah, seftiakson atau

4-fluorokuinolon sebaiknya digunakan pada permulaan untuk orang dewasa yang

berusia lebih dari 17 tahun, dengan seftriakson sebagai pilihan terbaik untuk anak-

anak, sekurang-kurangnya sampai kuinolon baru dibuktikan aman untuk anak-anak

yang lebih muda.

Pemberian kortikosteroid, dapat dilakukan atas indikasi pasien demam tifoid

toksik, dengan dosis dan cara pemberian : oral atau perenteral dalam dosis yang

menurun secara bertahap  (tapering - off) selama 5 hari : Deksametason 3

mg/KgBB/x (initial), selanjutnya 1 mg/KgBB/ 8 jam (maintenance). Efek samping :

dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.

28
IV. PEMBAHASAN

Pasien anak laki-laki usia 7 tahun 8 bulan dibawa oleh ibunya ke Poli Anak
RSUD Cicalengka dengan keluhan demam sejak 10 hari SMRS, pasien mengeluh
demam tinggi. Demam dirasakan tiba-tiba tinggi pada malam hari. Pada 7 hari awal,
demam dirasakan naik turun. Keluhan demam ini disertai dengan nyeri pada ulu hati,
BAB cair, batuk berdahak, sesak, mual, penurunan nafsu makan, lemah dan lesu.
Awalnya BAB cair dirasakan 3 hari SMRS, namun pada 7 hari terakhir pasien
mengalami susah buang air besar. Keadaan umum pasien didapatan hasil sebagai
berikut:
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 100/70 mmHg

29
Nadi : 100 x/menit, regular, isi cukup
Respirasi : 30 x/menit
Suhu : 37,7 ºC

Pada pemeriksaan fisik generalis tidak ditemukan adanya kelainan, namun


pada tanda vital didapatkan peningkatan suhu, dan pada pemeriksaan fisik abdomen
didapatkan nyeri tekan epigastrium.

Namun demikian, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan di Poli


menunjukkan kondisi yang mengarahkan pada diagnosis sementara yaitu prolonged
febris ec demam tifoid + susp BP. Pada pemeriksaan penunjang pemeriksaan
laboratorium darah di dapatkan hasil positif untuk pemeriksaan widal yaitu S. Typhi
O : 1/320 dan S. Typhi H: 1/320. pada pemeriksaan radiologis ro thorax PA kesan
normal. Anamnesis dan pemeriksaan fisik di Poli yang telah ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis mengarah pada diagnosis
kerja Observasi fever hari ke 10 ec Demam Tifoid.

Pasien disarankan untuk dilakukan rawat inap dan mendapatkan advis dari
dr. Retno, Sp.A:

 Kaen IB 1500ml/24 jam


 Cefotaxime 800 mg/8jam iv
 Clanexy 800mg/8 jam iv
 Ambroxol 3 x ½ cth
 Parasetamol 4 x 10ml
 L-Bio 1 x1
 Oreozink 1 x 5ml
 Lasal 2 x 1cth
 Nebu velutin 1 resp/8 jam

30
Pasien juga diberikan tatalaksana non-farmakologis yaitu berupa observasi
keadaan umum, dan tanda tanda vital, edukasi keluarga, tirah baring, dan diet lunak
dan rendah serat.

V. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai antara lain dengan
demam dan nyeri abdomen yang disebabkan oleh penyebaran Salmonella serotype
Typhi, Salmonella serotype Paratyphi A, Salmonella serotype Paratyphi B
(Schootmuelleri), Salmonella serotype Paratyphi C (Hirschfeldii). Sinonim dari
demam tifoid adalah enteric fever, typhus abdominalis. 

31
Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang

sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Infeksi umumnya disebarkan melalui

jalur fekal-oral dan berhubungan dengan higienis dan sanitasi yang buruk yaitu

melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang berasal dari tinja, kemih atau pus

yang positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat

berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi melalui air atau

kontak langsung.

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui

beberapa tahapan. Kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke

dalam tubuh melalui makanan yang terkontaminasi. Setelah kuman Salmonella typhi

tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam

tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Jika respon imunitas humoral usus

kurang baik, kuman akan menembus sel-sel epitel usus dan lamina propina. Di

Lamina propina kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit tertutama

makrofag. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan

gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode

inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan

menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem

retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat

melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan

disebarkan kembali ke dalam system peredaran darah dan menyebabkan bakteremia

sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder

32
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala dan nyeri abdomen.

Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan

antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang,

kandung empedu dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada

Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis

dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.

Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem

retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali.

Perlunya memberikan pengetahuan masyarakat mengenai situasi epidemiologi

PenyakitDemam Tifoid, serta untuk mengetahui pentingnya pengaruh gaya hidup

tidak sehat terhadap kejadian Penyakit Demam Tifoid

Penatalaksanaan kasus Demam TIfoid pada anak di RSUD Cicalengka sudah

cukup baik dan sesuai prosedur. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbaikan kondisi

pasien secara signifikan setelah dilakuakan perawatan di ruangan.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://eprints.undip.ac.id/43747/4/CAROLINA_INNESA_G2A009119_BAB
2KTI.pdf

2. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi ke-4. Bandung: Departemen Ilmu


Kesehatan Anak FK UP RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung; 2012.

3. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004.

33
4. Harrison’s, Principles of Internal Medicine. Edisi ke-16. United States of
America: McGraw-Hill Companies; 2005

5. Robbins and Cotran’s, Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-17

34

Anda mungkin juga menyukai