Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Bronkopneumonia adalah salah satu bentuk pneumonia, yaitu pneumonia


lobularis. Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang
terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Saluran pernapasan tersebut
tersumbat oleh eksudat yang mukopurulen, yang membentuk bercak-bercak
konsolidasi di lobulus yang berdekatan. Penyakit ini bersifat sekunder yang
biasanya menyertai penyakit ISPA (Infeksi Salurann Pernapasan Atas), demam
infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh. 1,2
Bronkopneumonia paling sering didapatkan pada anak kecil dan pada anak
yang lebih besar dengan kondisi kronis yang mempengaruhi fungsi pernapasan
(misalnya fibrosis kistik, palsi serebral berat). Berbagai organisme dapat
menyebabkan infeksi ini. Bronkopneumonia sering kali terjadi setelah
bronkiolitis, infeksi virus, dan batuk rejan. Gambaran klinis berupa napas cepat,
batuk kering, demam, dan gelisah. Biasanya ditemukan krepitasi dan rhonki. 2,3
Etiologi dari bronkopneumonia yaitu : 4
a. Infeksi bakteri :

- Diplococcus Pneumoniae

- Pneumococcus

- Streptococcus Pneumoniae

- Staphylococcus Aureus

- Eschericia Coli 

b. Infeksi Virus

Respiratory Syncytial Virus, Virus Sitomegalo, Virus Influenza, Virus


Parainfluenza 1,2,3, Adenovirus, Rinovirus, dan Virus Epstein-Barr.

1
Patogenesis bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui
inhalasi, aspirasi, hematogen dari fokus infeksi atau penyebaran langsung.
Sehingga terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan
berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih
keluar dari darah masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian alveoli yang
terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi
disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus. Kadang-kadang
seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi padat (consolidated) yang berarti
bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel. 2

Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan


bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus
akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel
pernapasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi
sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan
multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn.

2
Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema
dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN. 2
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti).
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. 4

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang


interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. 4

2. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena
adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak,
stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 4

3
Gambar 2. Tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil).

3. Stadium III (3 – 8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. 4

Gambar 3. Tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil.

4
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. 4

Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau


penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil
merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari
infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit
terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk,
berkembang biak dan menimbulkan penyakit. 4
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme : 4
 Filtrasi partikel di hidung
 Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
 Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar

5
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
 Drainase melalui sistem limfatik.

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas


selama beberapa hari. Suhu dapat naik sangat mendadak sampai 39 – 40 oC dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dyspnea, pernapasan cepat dan dangkal, disertai pernapasan cuping hidung dan
sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang-kadang disertai muntah dan diare. Pada
bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung daripada luas daerah yang
terkena. Pada perkusi thoraks sering tidak ditemukan kelainan. Pada auskultasi
mungkin hanya terdengar rhonki basah nyaring halus atau sedang. Bila sarang
bronkopneumonia menjadi satu (konfluens), mungkin pada perkusi terdengar
keredupan dan suara pernapasan pada auskultasi terdengar mengeras. 1,2
Sianosis terjadi pada kasus yang berat dan bayi bisa mengalami gagal
jantung. Rontgen thoraks sering memperlihatkan konsolidasi. 3
Gambaran radiologi pada bronkopneumonia menunjukan adanya bercak-
barcak infiltrat yang tersebar di lobulus dan dapat ditemukan pada kedua paru. 1,2

Gambar 4. Foto Thorax Bronkopneumonia.

6
Tatalaksana sebagian besar bronkopneumonia pada dasarnya tidak perlu
dirawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat ringannya penyakit,
misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit
dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien,
neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis bronkopneumonia dirawat
inap. 1,2
Dasar tatalaksana bronkopneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemberian cairan intravena dan terapi oksigen. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti
efektif. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi yang
mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi. 1,2,5
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik intravena harus segera diberikan pada bayi kecil
karena sering terjadi sepsis dan meningitis. 1,2,5

7
LAPORAN KASUS

Seorang bayi laki-laki berusia 2 bulan, berat badan 5.5 kg, tinggi badan 58
cm, anak ke 2, kebangsaan Indonesia, tinggal di jl. Labu, masuk rumah sakit
tanggal 16 Mei 2014.

ANAMNESIS (diberikan oleh ibu penderita)


Keluhan Utama adalah Sesak.
Sesak dialami sejak 1 hari yang lalu, terutama sore menjelang malam.
Panas (+) dan riwayat minum sanmol tadi pagi dan sore tapi setelah reaksi obat
habis panasnya naik lagi. Batuk (+) sejak lahir, terus-menerus, sudah 2x berobat
tapi tidak ada perubahan, batuk berlendir warna kuning kehijauan. Sesak (+) sejak
2 jam yang lalu. Muntah (-). BAB dan BAK lancar.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Pada waktu lahir banyak lendir di leher tapi tidak disedot dan semenjak
lahir batuk berlendir.

Riwayat penyakit Dalam Keluarga


Tidak ada yang batuk-batuk dalam rumah.

Riwayat Ante Natal


Riwayat ANC lengkap, riwayat sakit waktu hamil tidak ada, riwayat
hipertensi selama kehamilan tidak ada.

Riwayat Imunisasi
Baru 1x diimunisasi yaitu imunisasi BCG.

8
PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum :
SP : CM / Sakit Sedang
BB = 5.5 kg, TB = 58 cm, LK = 39 cm, Status Gizi = Baik
 Vital Sign :
Nadi : 120x/menit
Pernapasan : 78x/menit
Suhu : 38.5o C
 Kepala :
Wajah : Simetris kanan = kiri
Deformitas : (-)
Bentuk : Normochepal
Rambut : Hitam
Mata : - Konjungtiva : Anemis (-)/(-)
- Sklera : Ikterus (-)/(-)
- Pupil : Isokor
Mulut : Lidah kotor (-)
 Leher :
Kelenjar GB : Pembesaran (-)
Tiroid : Pembesaran (-)
JVP : Dalam batas normal
Massa lain : (-)
 Paru-Paru :
Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-), vokal fremitus kesan normal kiri
dan kanan
Perkusi : Bunyi sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler, Rhonki (+)/(+), Wheezing (-)/(-)

9
 Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Pekak. Batas jantung kesan normal.
Auskultasi : BJ I/II murni reguler
 Abdomen :
Inspeksi : Permukaan perut cembung, pergerakan normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), organomegali (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+)
 Anggota Gerak :
Atas : Akral hangat (+)/(+), Edema (-)/(-)
Bawah : Akral hangat (+)/(+), Edema (-)/(-)
 Pemeriksaan Khusus : (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
DL 16 Mei 2014
WBC 18.8 x 103/mm3
HGB 11 gr/dl
HCT 31.6 %
PLT 561 x 103/mm3

10
Diagnosis Kerja : Bronkopneumonia

Terapi :
a. Non-medikamentosa :
 O2 0.5 – 2 L/menit
 Puasa
b. Medikamentosa :
 IVFD Dextrose 5% + Sodium Bikarbonat 10 cc  24 tpm (mikro)
 Cefotaxime 150 mg/12 jam/IV (skin test cocok)
 Gentamicine 15 mg/12 jam/IV (skin test cocok)
 Dexamethasone 1 mg/8 jam/IV
 Paracetamol syrp 3x ½ cth (kalau perlu)  melalui sonde
 Puyer batuk :
Salbutamol 0.4 mg
Histapan 6 mg
Metyl prednisolon (4 mg) 1/6 tab 3 x 1 pulv
Ambroxol 2.5 mg

11
FOLLOW UP
Tanggal & Jam Vital Sign Keterangan
17 Mei 2014, Jam 07.00 N : 128x/menit S : Panas (+), batuk berlendir (+),
(Perawatan Hari ke-2 P : 92x/menit beringus (-), sesak (+), muntah (-),
S : 38.8oC BAK lancar, BAB belum ada hari
ini.
O : Retraksi dinding dada (+),
rhonki (+)/(+), wheezing (-)/(-),
akral hangat.
A : Bronkopneumonia
P:
 O2 0.5 – 2 L/menit
 IVFD Dextrose 5% + Sodium
Bikarbonat 10 cc  16 tpm
(mikro)
 Cefotaxime 150 mg/12 jam/IV
 Gentamicine 15 mg/12 jam/IV
 Dexamethasone 1 mg/8 jam/IV
 Paracetamol 3x ½ cth (kalau
perlu)  melalui sonde
 Salbutamol 0.4 mg
Histapan 6 mg
Metyl prednisolon (4 mg) 1/6
tab
Ambroxol 2.5 mg
ʃ 3x1 pulv
 ASI/PASI 40 cc/2 jam (sonde).
18 Mei 2014, Jam 07.00 N : 120x/menit S : Panas (+), batuk berlendir (+),
(Perawatan Hari ke-3) P : 60x/menit beringus (-), sesak (+), muntah (-),
S : 38.0oC BAK lancar, BAB belum ada
sudah 2 hari.

12
O : Retraksi dinding dada (+),
rhonki (+)/(+), wheezing (-)/(-),
akral hangat.
A : Bronkopneumonia
P:
 O2 0.5 – 2 L/menit
 IVFD Dextrose 5% 16 tpm
(mikro)
 Cefotaxime 150 mg/12 jam/IV
 Gentamicine 15 mg/12 jam/IV
 Dexamethasone 1 mg/8 jam/IV
 Paracetamol 3x ½ cth (kalau
perlu)  melalui sonde
 Salbutamol 0.4 mg
Histapan 6 mg
Metyl prednisolon (4 mg) 1/6
tab
Ambroxol 2.5 mg)
ʃ 3x1 pulv
 ASI/PASI 40 cc/2 jam (sonde)
19 Mei 2014, Jam 07.00 N : 120x/menit S : Panas (-), batuk berlendir (+),
(Perawatan Hari ke-4) P : 46x/menit beringus (-), sesak (-), muntah (-),
S : 36.5oC BAK lancar, BAB belum ada 3
hari.
O : Retraksi dinding dada (-),
rhonki (+)/(+), wheezing (-)/(-),
akral hangat.
A : Bronkopneumonia
P:
 IVFD Dextrose 5% 18 tpm
(mikro)

13
 Cefotaxime 150 mg/12 jam/IV
 Gentamicine 15 mg/12 jam/IV
 Salbutamol 0.4 mg
Histapan 6 mg
Metyl prednisolon (4 mg) 1/6
tab
Ambroxol 2.5 mg
ʃ 3x1 pulv
 Susu
20 Mei 2014, Jam 07.00 N : 120x/menit S : Panas (-), batuk berlendir (+),
(Perawatan Hari ke-5) P : 46x/menit beringus (-), sesak (-), muntah (-),
S : 36.0oC BAB & BAK biasa.
O : Retraksi dinding dada (-),
rhonki (+)/(+), wheezing (-)/(-),
akral hangat.
A : Bronkopneumonia
P:
 IVFD Dextrose 5% 12 tpm
(mikro)
 Cefotaxime 150 mg/12 jam/IV
 Gentamicine 15 mg/12 jam/IV
 Salbutamol 0.4 mg
Histapan 6 mg
Metyl prednisolon (4 mg) 1/6
tab
Ambroxol 2.5 mg
ʃ 3x1 pulv
 Susu
21 Mei 2014, Jam 07.00 N : 120x/menit S : Panas (-), batuk berlendir (+),
(Perawatan Hari ke-6) P : 48x/menit beringus (-), sesak (-), muntah (-),
BAB & BAK biasa.
S : 36.0oC
O : Retraksi dinding dada (-),

14
rhonki (+)/(+), wheezing (-)/(-),
akral hangat.
A : Bronkopneumonia
P:
 IVFD Dextrose 5% 12 tpm
(mikro)
 Cefotaxime 150 mg/12 jam/IV
 Gentamicine 15 mg/12 jam/IV
 Salbutamol 0.4 mg
Histapan 6 mg
Metyl prednisolon (4 mg) 1/6
tab
Ambroxol 2.5 mg
ʃ 3x1 pulv
 Susu

Pemeriksaan Lab :
WBC 16.2 x 103/mm3
HGB 11.2 gr/dl
HCT 31.9 %
PLT 640 x 103/mm3

Pada tanggal 22 Mei 2014, pasien dipulangkan dengan diberi obat :


 Cefadroxil (125 mg) 3x ½ cth
 Puyer batuk :
 Salbutamol 0.4 mg
 Histapan 6 mg
 Metyl prednisolon (4 mg) 1/6 tab 3 x 1 pulv
 Ambroxol 2.5 mg

DISKUSI

15
Diagnosis bronkopneumnia ditegakan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.1,3,5
Pada pasien ini didiagnosis sebagai bronkopneumonia karena berdasarkan
anamnesis pasien mengeluh demam, batuk, sesak dan pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya retraksi dinding dada dan terdengar bunyi rhonki pada kedua
lapangan paru. Dimana gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien ini
sesuai dengan teori yang ada. 1,3
Tatalaksana sebagian besar bronkopneumonia pada dasarnya tidak perlu
dirawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat ringannya penyakit,
misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit
dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien,
neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis bronkopneumonia dirawat
inap. 1,3
Dasar tatalaksana bronkopneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemberian cairan intravena dan terapi oksigen. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti
efektif. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi yang
mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi. 1,3,5
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik intravena harus segera diberikan pada bayi kecil
karena sering terjadi sepsis dan meningitis. 1,3,5
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam keadaan malnutrisi energi protein
dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.1

DAFTAR PUSTAKA

16
1. World Health Organization (WHO). Buku Saku Pelayanan Kesehatan
Anak di Rumah Sakit. Jakarta: 2009..
2. Meadow R, Newell S. Lecture Notes Pediatrika. Edisi ke-7. Jakarta: EMS;
2009.
3. Medical mini note pediatric. Edisi 2013. FK UNHAS.
4. Pd Persi. 2012. Pneumonia Pada Anak: UNICEF dan WHO menyebutkan
pneumonia sebagai penyebab kematian tertinggi anak balita
http://www.pdpersi.co.id/content/article.php?mid=5&catid=9&nid=866
5. Ojie. Bronkopneumonia. 2012. Available from: URL:
http://www.slideshare.net/ojie_cr7/bronkopneumonia

17

Anda mungkin juga menyukai