Anda di halaman 1dari 49

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Komunikasi merupakan salah satu bentuk proses interaksi sosial dan

interpersonal dalam kehidupan manusia. Melalui komunikasi terdapat dua

orang individu atau lebih yang sedang melakukan hubungan tertentu yang

masing-masing dari mereka berupaya untuk saling mempengaruhi, seperti

membentuk opini, pemikiran, penilaian, keyakinan, kepercayaan, sikap atau

perilaku tertentu.

Demikian pula dalam praktik keperawatan, bagi seorang perawat

selain wajib memiliki kemampuan akademis ilmu keperawatan, mereka juga

wajib mempunyai keterampilan berkomunikasi dengan baik, efektif, dan tepat

sasaran. Bahkan keterampilan komunikasi dianggap sebagai critical skill yang

harus dimiliki perawat, karena melalui komunikasi perawat bisa mengumpul

data, mengidentifikasi, mengkaji, mengolah, dan menarik kesimpulan, serta

dapat memberikan edukasi kesehatan yang berdampak terhadap kesehatan

dan kesembuhan pasien atau klien (Pieter, 2017).

Angka kejadian kecemasan di Amerika 28% atau lebih. Usia yang

mengalami kecemasan 9-17 tahun. 13% usia 18-54 tahun, 16% usia 55 tahun

dan lansia sebesar 11,4%. Jenis kelamin wanita 2 kali lebih banyak beresiko

mengalami kecemasan dibandingkan dengan laki laki (Fortinesh, 2007 dalam

Lestari et al, 2016).

1
2

Serah terima klinis yang tidak efektif telah menjadi isu mendunia

terkait dengan rangkaian perawatan klinis yang mengancam keamanan

pasien. Sekitar 44.000-98.000 orang meninggal setiap tahun karena kesalahan

medis (medical error). Kesalahan komunikasi dilaporkan sebagai faktor

penyumbang utama lebih dari 70% dari semua kejadian kesalahan medis

tersebut (Vinu & Kane, 2016).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Garvin (2003), didapatkan

data 79,8% mengatakan bahwa penanganan kecemasan sangat penting dan

17,6% menyatakan penangan kecemasan penting, didapat data berikutnya

33% berfikir bahwa kecemasan dapat mengancam kehidupan, dan hampir

setengah dari responden 49,5% mengatakan sangat berbahaya bila kecemasan

tidak di tangani dengan baik, hal ini membuktikan bahwa pentingnya

penanganan kecemasan pada pasien (Anastasia, 2018)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mulyani tahun 2016

tentang Hubungan komunikasi terapeutik dengan Tingkat Kecemasan Pasien

Rawat Inap di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang menunjukkan pasien

yang mengalami kecemasan ringan (52,5%), dan pasien dengan kecemasan

sedang (47,5%) dari 40 pasien klien rawat inap. Penelitian yang dilakukan

terhadap pasien dengan riwayat penyakit kronik yang mengalami kecemasan

ringan (22,4%), kecemasan berat (13,8%), dan kecemasan berat sekali

(3,5%).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Haji Kota

Makassar, jumlah pasien rawat inap di Ruang Rinra Sayang 1 pada tahun
3

2017 sebanyak 1.519 orang, sementara di tahun 2018 sebanyak 1.371 orang,

dan pada bulan Januari-April tahun 2019 sebanyak 396 orang. Sedangkan

pasien rawat inap di Ruang Rinra Sayang 2 pada tahun 2017 berjumlah 1.278

orang, di tahun 2018 sebanyak 1.516 orang, pada bulan Januari-April tahun

2019 sebanyak 489 orang dan pada saat peneliti membagi kuesioner pada

bulan Juni peneliti mendapatkan responden sebanyak 42 orang. Sedangkan,

jumlah perawat yang bertugas di Ruang Rinra Sayang 1 sebanyak 16 orang,

dan pada Ruang Rinra Sayang 2 sebanyak 20 orang yaitu 11 orang berstatus

PNS dan 9 lainnya berstatus Non PNS. Hasil wawancara yang dilakukan pada

beberapa pasien yang dirawat mengalami kecemasan karena akan dilakukan

tindakan operasi dan juga lamanya masa perawatan di rumah sakit.

Dari enam unsur sasaran keselamatan pasien, yang utama dari layanan

asuhan ke pasien adalah komunikasi efektif. Menghindari risiko kesalahan

dalam pemberian asuhan keperawatan pasien dan meningkatkan

kesinambungan perawat dan pengobatan maka dapat diwujudkan dengan baik

melalui komunikasi yang efektif antar perawat, maupun dengan tim kesehatan

yang lain terutama kepada pasien selama dirawat (Nursalam, 2014).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik meneliti Hubungan

Komunikasi Perawat Dengan Kecemasan Pada Pasien Rawat Inap Di RSUD

Haji Kota Makassar.


4

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan fenomena yang ada, maka dapat dirumuskan

masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan komunikasi

perawat dengan kecemasan pada pasien rawa inap di RSUD Haji Kota

Makassar?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan dalam penelitian ini adalah diketahui hubungan

komunikasi perawat dengan kecemasan pada pasien rawat inap di RSUD

Haji Kota Makassar.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Diketahui komunikasi perawat dengan pasien yang dirawat di ruang

rawat inap RSUD Haji Makassar.

b. Diketahui tingkat kecemasan pasien yang dirawat di ruang rawat

inap RSUD Haji Makassar.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini

diharapkan mempunyai manfaat dalam pendidikan kesehatan di masyarakat.

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :


5

1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Melalui penelitian ini di harapkan dapat menambah khazanah ilmu

keperawatan berkaitan dengan hubungan komunikasi perawat

terhadap kecemasan pasien.

b. Sebagai pijakan dan refrensi pada peneltian-penelitian selanjutnya

yang berkaitan dengan hubungan komunikasi perawat terhadap

kecemasan pasien.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat digunakan pengelola pelayanan kesehatan

sebagai rujukan dalam meningkatkan pelayanan keperawatan

mengenai penerapan komunikasi terapeutik bagi pasien yang

mengalami kecemasan.

b. Bagi Perawat

Meningkatkan kemampuan dan mengoptimalkan fungsi perawat

dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien yang

mengalami kecemasan di ruang perawatan.

c. Bagi Penulis

Sebagai salah satu sarana penerapan ilmu dan teori serta pengalaman

dalam melakukan sebuah penelitian ilmiah, dan juga dapat

menambah wawasan tentang pentingnya komunikasi perawat dalm

memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien dengan kecemasan.


6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Komunikasi Perawat

2.1.1 Pengertian Komunikasi

Menurut Stuart dalam Suryani (2014), komunikasi dalam

keperawatan merupakan alat mengimplementasikan proses keperawatan.

Komunikasi ditujukan untuk mengubah perilaku klien dalam mencapai

tingkat kesehatan yang optimal.

Tappen (1995) dalam Nursalam (2014), mendefinisikan

komunikasi adalah suatu pertukaran pikiran, perasaan, pendapat, dan

pemberian nasihat yang terjadi antara dua orang atau lebih yang bekerja

sama. Komunikasi juga merupakan suatu seni untuk dapat menyusun dan

menghantarkan suatu pesan dengan cara yang mudah sehingga orang lain

dapat mengerti dan menerima maksud dan tujuan pemberi pesan.

Komunikasi dalam praktik keperawatan ialah upaya yang

sistematis untuk mempengaruhi secara positf terhadap perilaku pasien

(klien) yang berkaitan erat dengan kesehatan dan tindakan atau asuhan

keperawatan penyakit pasien yang menggunakan prinsip-prinsip

komunikasi. Proses mempengaruhi perilaku ini bersifat terapeutik, yakni

pada usaha pertolongan, perawatan, penyembuhan, dan mengedukasi

pasien. Kegiatan komunikasi dalam praktik keperawatan berlangsung

secara kolaborasi antara perawat dan perawat, perawat dan dokter,

6
7

perawat dan pasien, serta keluarga pasien secara professional, bermoral,

dan bertangggung jawab (Pieter, 2017).

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau

dirancang untuk tujuan terapi. Seorang penolong atau perawat dapat

membantu klien mengatasi masalah yang dihadapinya melalui

komunikasi (Suryani, 2014).

Komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi yang bermanfaat

dan menyembuhkan bagi salah satu partisipan atau lebih (Rosdahl &

Kowalski, 2017).

Komunikasi keperawatan merupakan proses kerja sama dalam

memberikan dan menerima informasi yang dilakukan oleh perawat

dengan klien atau keluarganya yang bertujuan untuk mencapai

kesepakatan tindakan keperawatan (Tri Prabowo, 2014).

2.1.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik

Tujuan komunikasi terapeutik Menurut Purwanto (1994) yang

dikutip dalam Sarfika (2018) adalah sebagai berikut :

a. Mambantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban

perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk

mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang

diperlukan.

b. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan

yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.

c. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik, dan dirinya sendiri.


8

2.1.3 Manfaat Komunikasi Terapeutik

Manfaat komunikasi terapeutik (Ariani, 2018) :

1. Mendorong dan menganjurkan kerja sama antar perawat dengan

pasien melalui hubungan perawat-klien.

2. Mengidentifikasi, mengungkapkan perasaan dan mengkaji masalah

serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat.

2.1.4 Prinsip-Prinsip Komunikasi Terapeutik

Menurut Suryani (2014) ada beberapa prinsip dasar yang harus

dipahami dalam membangun dan mempertahankan hubungan yang

terapeutik.

a. Hubungan perawat dengan klien adalah hubungan terapeutik yang

saling menguntungkan. Hubungan ini didasarkan pada prinsip

“Humanity of nurse and clients”. Kualitas hubungan perawat-klien

ditentukan oleh bagaimana perawat mendefinisikan dirinya sebagai

manusia. Hubungan perawat dengan klien tidak hanya sekedar

hubungan seorang penolong dengan kliennya tapi lebih dari itu, yaitu

hubungan antar manusia yang bermartabat.

b. Perawat harus menghargai keunikan klien. Tiap individu mempunyai

karakter yang berbeda-beda. Karena itu perawat perlu memahami

perasaan dan perilaku klien dengan melihat perbedaan latar belakang

keluarga, budaya, dan keunikan setiap individu.

c. Semua komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga

dirinya dan harga diri klien.


9

d. Komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya

harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan

memberikan alternatif pemecahan masalah. Hubungan saling percaya

antara perawat dan klien adalah kunci dari komunikasi terapeutik.

2.1.5 Sikap Komunikasi Terapeutik

Menurut Damaiyanti (2014), terdapat 5 sikap atau cara untuk

menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi

terapeutik yaitu :

a. Berhadapan; arti dari posisi ini adalah saya siap untuk anda.

b. Mempertahankan kontak mata; kontak mata pada level yang sama

berarti menghargai pasien dan menyatakan keinginan untuk tetap

berkomunikasi.

c. Membungkuk ke arah pasien; posisi ini menunjukkan keinginan

untuk menyatakan atau mendengarkan sesuatu.

d. Memperlihatkan sikap terbuka; tidak melipat kaki atau tangan

menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi dan siap membantu.

e. Tetap rileks; tetap dapat mengendalikan keseimbangan antara

ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respon kepada pasien,

meskipun dalam situasi yang kurang menyenangkan.

2.1.6 Tahap-Tahap Komunikasi Terapeutik

Menurut Priyoto (2015) komunikasi terapeutik mempunyai tujuan

dan berfungsi sebagai terapi bagi klien, karena itu pelaksanaan


10

komunikasi terapeutik harus direncanakan dan terstruktur dengan baik.

Komunikasi terapeutik terdiri dari empat tahapan, yaitu:

1) Tahap Pre interaksi

Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan

dengan klien. Tahap ini lebih memfokuskan persiapan perawat

sebelum berhadapan langsung dengan pasien. Perawat merupakan

seseorang yang telah lulus pendidikan keperawatan, didalam

kependidikan perawat materi yang harus dikuasai oleh perawat

adalah komunikasi terapeutik dengan tingkat kompetensi mandiri.

Perawat yang telah lulus secara legal sudah berkompeten dalam

melakukan komunikasi terapeutik.

Tugas perawat pada tahap ini, yaitu:

a) Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemasannya.

b) Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri dengan analisa diri, ia

akan terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai

terapeutik bagi klien.

c) Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat

rencana interaksi.

d) Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan

diimplementasikan saat bertemu dengan klien.

2) Tahap Orientasi

Tahap ini dimulai pada saat bertemu pertama dengan klien. Saat

pertama kali bertemu dengan klien tahap ini digunakan perawat untuk
11

berkenalan dengan klien dan merupakan langkah awal dalam

membantu hubungan saling percaya.

Tugas utama perawat pada tahap ini adalah memberikan situasi

lingkungan yang peka dan menunjukkan penerimaan, serta membantu

klien dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya.

Tugas-tugas perawat pada tahap ini adalah :

a) Membantu hubungan saling percaya, menunjukkan sikap

penerimaan dan komunikasi terbuka. Untuk membina hubungan

saling percaya perawat harus terbuka, jujur, ikhlas, menerima

klien apa adanya, menepati janji dan menghargai klien.

b) Merumuskan kontrak bersama klien. Kontrak yang harus disetujui

bersama dengan klien yaitu tempat, waktu dan topik pertemuan.

c) Mengenali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah

klien.

d) Merumuskan tujuan dengan klien.

Hal yang perlu diperhatikan pada tahap ini antara lain : memberikan

salam terapeutik disertai mengulurkan tangan, jabat tangan,

memperkenalkan diri perawat, menyepakati kontrak, melengkapi

kontrak, evaluasi dan validasi, menyepakati masalah.

3) Tahap Kerja

Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi

terapeutik. Tahap ini perawat bersama klien mengatasi masalah yang

dihadapi klien. Tahap ini berkaitan dengan pelaksanaan rencana


12

asuhan yang telah diterapkan. Teknik komunikasi yang sering

digunakan perawat antara lain mengeksplorasi, mendengarkan

dengan aktif, refleksi, berbagai persepsi, memfokuskan dan

menyimpulkan.

4) Tahap Terminasi

Tahap ini merupakan tahap yang sulit dan penting, karena hubungan

saling percaya sudah terlena dan berada pada tingkat optimal. Bisa

terjadi terminasi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit

tertentu atau saat klien akan pulang. Perawat dan klien meninjau

kembali proses keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan.

Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dibagi 2 yaitu

terminasi sementara dan terminasi akhir.

Terminasi terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses

keperawatan secara menyeluruh.

Tugas perawat pada tahap ini:

a. Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan,

evaluasi ini disebut evaluasi objektif.

b. Melakukan evaluasi subjektif dilakukan dengan menanyakan

perasaan klien setelah berinteraksi atau setelah melakukan

tindakan tertentu.

c. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah

dilakukan.
13

2.1.7 Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik

Menurut Potter and Perry (1987) dalam Sepriyaningrum (2015)

adalah :

1. Persepsi: suatu bentuk penerimaan tentang sesuatu yang terjadi

disekitarnya, berkaitan dengan panca indra manusia.

2. Nilai: suatu keyakinan yang sangat dekat dengan masalah etika yang

dianut seseorang.

3. Emosi: situasi yang dirasakan berkaitan dengan keadaan subjektif

seseorang dilingkungannya.

4. Latar belakang sosial budaya: faktor ini menjadi pedoman perawat

dalam berinteraksi dengan klien.

5. Pengetahuan: hasil dari pendidikan dengan harapan perawat dapat

berinteraksi dengan pasien yang memiliki perbedaan tingkat

pengetahuan.

6. Peran dan hubungan: seseorang mampu menempatkan diri ketika

berinteraksi dengan orang lain dan dapat menjalin hubungan sesuai

dengan peran masing-masing.

7. Kondisi lingkungan: lingkungan sosial sebagai tempat komunikasi

berlangsung.

2.1.8 Hubungan Perawat dan Klien/Helping Relationship

Salah satu karakteristik dasar dari komunikasi yaitu ketika

seseorang melakukan komunikasi terhadap orang lain maka akan tercipta

suatu hubungan diantara keduanya. Hal inilah yang pada akhirnya


14

membentuk suatu hubungan helping relationship. Helping relationship

adalah hubungan yang terjadi diantara dua atau lebih individu maupun

kelompok yang saling memberikan dan menerima bantuan atau

dukungan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sepanjang kehidupan.

Pada konteks keperawatan, hubungan yang dimaksud adalah hubungan

antara perawat dan klien. Ketika hubungan antara perawat dan klien

terjadi, perawat sebagai penolong (helper) membantu klien sebagai orang

yang membutuhkan pertolongan, untuk mencapai tujuan yaitu

terpenuhinya kebutuhan dasar manusia sebagai klien (Suryani, 2014).

Menurut Suryani (2014), ada beberapa karakteristik seorang helper

(perawat) yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubunganyang terapeutik,

yaitu :

a) Kejujuran; kejujuran sangat penting, karena tanpa adanya kejujuran

mustahil bisa terbina hubungan saling percaya. Sangat penting bagi

perawat untuk menjaga kejujuran saat berkomunikasi dengan klien,

karena apabila hal tersebut tidak dilakukan maka klien akan menarik

diri, merasa dibohongi, membenci perawat atau bisa juga berpura-

pura terhadap perawat.

b) Tidak membingungkan dan cukup ekspresi dalam berkomunikasi

dengan klien, perawat sebaiknya menggunakan kata-kata yang mudah

dipahami oleh klien. Komunikasi non verbal harus cukup ekspresif

dan sesuai dengan verbalnya karena ketidaksesuaian akan

menimbulkan kebingungan bagi klien.


15

c) Bersikap positif; ditunjukan dengan bersikap hangat, penuh perhatian

dan penghargaan terhadap klien. Untuk mencapai kehangatan dan

ketulusan dalam hubungan terapeutik tidak memerlukan kedekatan

yang kuat atau ikatan tettentu diantara perawat dan klien. Akan tetapi,

penciptaan suasana yang dapat membuat klien merasa aman dan

diterima dalam mengungkapkan perasaan daan pikirannya.

d) Empati bukan simpati; dengan empati perawat dapat memberikan

alternatif pemecahan masalah karena perawat tidak hanya merasakan

permasalahan klien tetapi juga tidak berlaut-larut dalam perasaan

tersebut dan turut berupaya mencari penyelesaian masalah secara

objektif.

e) Mampu melihat permasalahan dari kaca mata klien dalam

memberikan asuhan keperawatan. Perawat harus berorientasi pada

klien, melihat permasalahan yang sedang dihadapi klien dari sudut

pandang klien. Untuk dapat melakukan hal ini perawat harus

memahami dan mendengarkan dengan aktif serta penuh perhatian.

f) Menerima klien apa adanya. Jika seseorang merasa diterima maka dia

akan merasa aman dalam menjalin hubungan interpersonal.

g) Sensitif terhadap perasaan klien. Dengan bersikap sensitif terhadap

perasaan klien, perawat dapat terhindar dari berkata atau melakukan

hal-hal yang menyinggung privasi ataupun perasaan klien.

h) Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat

sendiri. Perawat harus mampu memandang dan mengahargai klien


16

sebagai individu yang ada pada saat ini, bukan atas masa lalunya,

demikian pula terhadap dirinya sendiri.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Kecemasan

2.2.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan merupakan reaksi yang muncul atau dirasakan pasien

dan keluarganya disaat pasien harus mendadak atau tanpa terencana

mulai masuk rumah sakit. Kecemasan akan terus menyertai pasien dan

keluarganya dalam setiap tindakan keperawatan terhadap penyakit yang

diderita pasien. Kecemasan muncul bila ada ancaman ketidakberdayaan,

kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi-fungsi dan harga diri,

kegagalan pertahanan, perasaan terisolasi (Nursalam, 2014).

Kecemasan merupakan emosi subjektif yang membuat individu

tidak nyaman, ketakutan yang tidak jelas dan gelisah, dan disertai respon

otonom. Kecemasan juga merupakan kekhawatiran yang tidak jelas dan

menyebar berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya

(Stuart, 2016).

2.2.2 Tahapan Kecemasan

Kecemasan diidentifikasikan menjadi 4 (empat) tingkat yaitu,

ringan, sedang, berat dan panik. Semakin tinggi tingkat kecemasan

individu maka akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis. Kecemasan

berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual

terhadap bahaya. Kecemasan merupakan masalah psikiatri yang paling

sering terjadi.
17

Tahapan tingkat kecemasan akan dijelaskan sebagai berikut

(Stuart, 2016) :

a) Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

meningkatkan persepsi.

b) Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada

hal yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang

mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu

yang lebih terarah.

c) Kecemasan berat sangat mengurangi persepsi seseorang yang cenderug

memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik dan tidak dapat

berpikir tentang hal lain.

d) Tingkat panik (sangat berat) berhubungan dengan terperangah,

ketakutan dan terror. Individu yang mencapai tingkat ini tidak mampu

melakukan sesuatu walaupun denga arahan.

2.2.3 Manifestasi Kecemasan

Menurut Ghufron & Risnawati (2014), menyebutkan beberapa

manifestasi kecemasan secara umum yang dapat muncul berupa :

1) Respon fisik seperti sulit tidur, dada berdebar-debar, tubuh berkeringat

meskipun tidak gerah, tubuh panas-dingin, sakit kepala, otot tegang

atau kaku, sakit perut atau sembelit, terengah-engah, sesak dan nafas.

2) Respon perasaan seperti merasa diri dalam khayalan, derealization,

merasa tidak berdaya dan ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi.
18

3) Respon pikiran seperti mengira hal yang paling buruk akan terjadi dan

sering memikirkan bahaya.

4) Respon tingkah laku seperti menjauhi situasi yang menakutkan,

mudah terkejut, hyperventilation dan mengurangi rutinitas.

2.2.4 Faktor-fakor Yang Mempengaruhi Kecemasan.

a. Faktor Presipitasi

Ada dua faktor presipitasi yang mempengaruhi kecemasan menurut

Stuart (2016) :

1) Faktor eksternal

a) Ancaman intergritas fisik, meliputi ketidakmampuan fisiologis

atau gangguan terhadap kebutuhan dasar (penyakit, trauma fisik,

pembedahan yang akan dilakukan).

b) Ancaman sistem dari diri antara lain : ancaman terhadap

identitas diri, harga diri, dan hubungan interpersonal, kehilangan

serta perubahan status atau peran.

2) Faktor internal

a) Potensi stresor

Stresor psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa

yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang

sehingga orang tersebut terpaksa melakukan adaptasi.

b) Maturitas

Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar

mengalami gangguan akibat kecemasan, karena individu yang


19

matur mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap

kecemasan.

c) Pendidikan dan status ekonomi

Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah akan

menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan.

Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh

terhadap kemampuan berpikir. semakin tinggi tingkat

pendidikan akan semakin mudah berpikir rasional dan

menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan

masalah yang baru.

d) Keadaan fisik

Seseorang yang mengalami gangguan fisik seperti cidera,

operasi akan mudah mengalami kelelahan fisik sehingga lebih

mudah mengalami kecemasan.

e) Tipe kepribadian

Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami

gangguan kecemasan daripada orang dengan kepribadian B.

Adapun ciri-ciri orang dengan kepribadian A adalah tidak

sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa

diburu waktu, mudah gelisah, tidak dapat tenang, mudah

tersinggung, otot-otot mudah tegang. Sedangkan orang dengan

tipe kepribadian B mempunyai ciri-ciri berlawanan dengan tip

kepribadian A
20

f) Lingkungan dan situasi

Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata lebih

mudah mengalami kecemassan disbanding bila dia berada di

lingkungan yang biasa ia tempati.

g) Umur

Seseorang yang memiliki umur yang lebih muda sangat mudah

mengalami gangguan kecemasan daripada yang berumur lebih

tua. Namun, ada juga yang berpendapat sebaliknya.

h) Jenis kelamin

Gangguan panik merupakan suatu gangguan cemas yang

ditandai oleh kecemasan yang spontan dan episodik. Gangguan

ini lebih sering dialami oleh wanita daripada pria.

b. Faktor Predisposisi (Nursalam, 2014)

1) Teori Psikoanalisis

Kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi antara dua

elemen kepribadian yaitu id dan super ego.

2) Teori Interpersoanal

Kecemasan terjadi dari ketakutan dan penolakan interpersonal. Hal

ini dihubungkan dengan trauma. Individu yang mempunyai harga

diri rendah sangat mudah untuk mengalami kecemasan berat.

3) Teori Perilaku

Kecemasan merupakan hasil frustasi segala sesuatu yang

mengganggu kemampuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.


21

4) Teori Kajian Keluarga

Gangguan kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata dalam

keluarga, biasanya tumpang tindih antara gangguan cemas dan

depresi.

5) Teori Biologi

Teori biologi menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor

spesifik untuk benzodiazepine. Reseptor ini mungkin

mempengaruhi kecemasan.

2.2.5 Penatalaksanaan Kecemasan

Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan

kecemasan umum adalah kemungkinan pengobatan yang

mengkombinasikan psikoterapi, farmakoterapi, dan pendekatan suportif

(Smeltzer and Bare, 2017).

a) Psikoterapi

Teknik utama yang digunakan adalah pendekatan perilaku misalnya

relaksasi dan bio feed back (proses penyediaan suatu informasi pada

keadaan satu atau beberapa variabel fisiologi seperti denyut nadi,

tekanan darah, dan temperatur kulit.

b) Farmakoterapi

Dua obat utama yang dipertimbangkan dalam pengobatan kecemasan

umum adalah buspiron dan benzodiazepine. Obat lain yang mungkin

berguna adalah obat trisiklik sebagai contohnya imipramine


22

(tofranil)-antihistamin dan antagonis adrenergik beta sebagai

contohnya propanolo (Inderal).

c) Pendekatan suportif

Dukungan emosi dari keluarga dan orang terdekat akan memberikan

cinta dan perasaan berbagi beban. Kemampuan berbicara kepada

seseorang dan mengekspresikan perasaan secara terbuka dapat

membantu dalam menguasai keadaan.

2.2.6 Penilaian Tingkat Kecemasan

Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS/SRAS) adalah penilaian

kecemasan pada pasien dewasa yang dirancang oleh William W.K. Zung,

dikembangkan berdasarkan gejala kecemasan dalam Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-II). Terdapat 20

pertanyaan, dimana setiap pertanyaan dinilai 1-4 (1 : tidak pernah, 2:

kadang-kadang, 3 : sebagian waktu, 4 : hampir setiap waktu). Terdapat

15 pertanyaan kea rah peningkatan kecemasan dan 5 pertanyaan ke arah

penurunan kecemassan. Rentang penilaian 20-80, dengan

pengelompokan antara lain (Nursalam, 2014) :

1) Skor 20-44 : Normal/Tidak cemas.

2) Skor 45-59 : Kecemasan ringan.

3) Skor 60-74 : Kecemasan sedang.

4) Skor 75-80 : Kecemasan berat.


23

2.3 Keaslian Penelitian

Nama/
Tahun Judul Metode Hasil

Warsini Komunikasi Penelitian Dari hasil penelitian


(2015)
Terapeutik Perawat observasional disimpulkan bahwa tingkat

Berhubungan dengan dengan kecemasan yang terjadi

Tingkat Kecemasan pendekatan pada pasien preoperasi

Pasien Pre-Operasi cross sebagian besar mengalami

di Ruang Instalasi sectional kecemasan sedang.

Bedah Sentral Terdapat hubungan

RSUD Saras Husada komunikasi terapeutik

Purworejo dengan tingkat kecemasan

pasien pre-operasi di ruang

IBS RSUD Saras Husada

Purworejo, dimana dari

hasil uji statistik dengan

menggunakan Kendal tau

diperoleh nilai p-

value=0,000 (p<0,05).

Rahmat Hubungan Penelitian Hasil penelitian ini,


Gunawan
Komunikasi deskriptif disimpulkan bahwa
(2013)
Terapeutik Perawat analitik komunikasi terapeutik
24

Dengan Tingkat dengan perawat sebagian besar

Kecemasan Klien Di pendekatan dalam kategori baik

Ruang Alamanda cross (73,8%), dan tingkat

RSUD Sleman sectional kecemasan pasien

Yogyakarta mayoritas dalam kategori

cemas ringan (42,9%).

Hasil analisis dengan

menggunakan chi-square

didapatkan nilai ρ value

sebesar 0,002. Hal tersebut

menunjukkan bahwa

komunikasi terapeutik

perawat perawat memiliki

hubungan yang signifikan

terhadp tingkat kecemasan

pasien.
Rahmadani Hubungan Penelitian Didapatkan hasil penelitian
(2018)
Komunikasi kuantitatif bahwa sebagian besar

Terapeutik Perawat menggunaka komunikasi terapeutik

Terhadap Tingkat n metode perawat baik (60,6%).

Kecemasan Pasien deskriptif Tingkat kecemasan pasien

Pre Operasi di Rawat korelasi pre operasi sebagian besar

Inap RS PKU dengan tidak cemas (45,5%).

Muhammadiyah pendekatan Terdapat hubungan antara


25

Gamping cross komunikasi terapeutik

sectional perawat dengan tingkat

kecemasan pasien pre

operasi di unit rawat inap

RS PKU Muhammadiyah

Gamping Sleman

Yogyakarta ditunjukkan

dengan hasil uji coba

Kendall tau dengan nilai ρ-

value 0,002 < 0,05 dan

nilai koefisien korelasi

0,441 yang artinya tingkat

keeratan sedang.

Tabel 2.1 Jurnal Penelitian Terkait

2.4 Kerangka Teori

Faktor Predisposisi Faktor Prepitasi

a. Teori a. Faktor eksternal


psikoanalisis b. Faktor Internal

b. Teori
26

Komunikasi Terapeutik Kecemasan


pasien

Bagan 2.1 Kerangka Teori


Sumber : Stuart (2016)

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual


27

Komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan

keperawatan di rumah sakit dalam hubungan perawat dan pasien adalah

pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dan tatap muka.

Kemampuan perawat melakukan komunikasi verbal akan menentukan kualitas

asuhan yang diberikan sehingga pasien merasa aman dan tenang serta

mengurangi kecemasan. Kecemasan merupakan reaksi pertama yang muncul

atau dirasakan oleh pasien dan keluarganya disaat pasien harus dirawat

mendadak atau tanpa terencana begitu mulai masuk rumah sakit (Nursalam,

2014).

Berikut ini adalah bagan kerangka konsep variabel penelitian:

Kecemasan Pasien
Komunikasi Perawat

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel Dependen

: Variable Independen

: Penghubung antar variabel

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan sebuah


27 pernyataan tentang hubungan yang

diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara empiris

(Hidayat, 2014).
28

3.2.1 Hipotesis Alternatif (Ha)

Ada hubungan antara komunikasi perawat dengan kecemasan pada

pasien rawat inap di RSUD Haji Kota Makassar.

3.2.2 Hipotesis Nol (Ho)

Tidak ada hubungan antara komunikasi perawat dengan kecemasan pada

pasien rawat inap di RSUD Haji Kota Makassar.

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


29

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif-analitik dengan pendekatan cross sectional, yang dimana variabel

independen dan dependen dikumpulkan secara simultan, sesaat atau satu kali

saja (dalam waktu bersamaan) (Sanjaya, 2015).

4.2 Populasi Dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat

di ruang rawat inap Rinra Sayang II berdasarkan jumlah pasien pada

bulan Juni sebanyak 42 orang.

4.2.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat di

ruang rawat inap Rinra Sayang II sebanyak 42 orang.

4.2.3 Sampling

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total

sampling.

4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

4.3.1 Variabel Penelitian 29

Variabel penelitian adalah berbagai hal yang akan diteliti dan ditetapkan

oleh peneliti berupa atribut, sifat, atau nilai dari orang, objek atau kegiatan
30

yang mempunyai variasi tertentu untuk diperoleh informasi dan ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2016).

a. Variabel Independen (Variabel Bebas)

Menurut Sugiyono (2016), varabel independen atau variabel bebas

merupakan variabel yang mempengaruhi dan menjadi sebab timbulnya

variabel terikat. Variabel independen dalam penelitian ini adalah

komunikasi perawat.

b. Variabel Dependen (Variabel Terikat)

Sugiyono (2016) menerangkan variabel dependen atau variabel terikat

adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat dari variabel

bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kecemasan pasien

di ruang rawat inap.

4.3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Skala Kriteria Objektif


Operasional

Komunikasi Komunikasi Kuesioner Ordinal Baik: Jika


Perawat antara perawat responden
31

dan klien menjawabn


untuk kuesioner dengan
kenyamanan skor ≥33.
pasien dalam Kurang : Jika
menjalani responden
proses menjawab
pelayanan kuesioner dengan
keperawatan skor <33
Kecemasan Perasaan tidak Kuesioner Ordinal Tidak Cemas: Jika
Pasien menyenangkan tingkat kecemasan
yang dialami pasien:
pasien yang 1. Normal/tidak
ditandai cemas: 20-24
dengan gejala- Cemas: Jika tingkat
gejala kecemasan pasien
kecemasan. antara:
2. Cemas Ringan:
45-59
3. Cemas Sedang:
60-74
4. Cemas Berat :
75-80

Tabel 4.1 Definisi Operasional

4.4 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Lembar kuesioner.

b. Alat tulis kantor (ATK) seperti pulpen, pensil.


32

c. Alat/Media yaitu handphone atau kamera yang digunakan untuk

dokumentasi kegiatan selama penelitian berlangsung.

d. Komputer dengan program SPSS

4.5 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data berupa kuesioner.

a) Kuesioner A untuk mengetahui data demografi responden yang meliputi:

Nama, Umur, Jenis Kelamin, Lama Rawat Inap.

b) Kuesioner B terkait dengan komunikasi perawat yang terdiri atas 19 item

pertanyaan menggunakan skala likert. Nilai 3 untuk jawaban selalu,

dimana perawat selalu memberikan komunikasi terapeutik. Nilai 2 untuk

jawaban kadang-kadang yaitu perawat kadang-kadang memberikan

komunikasi terapeutik. Nilai 1 perawat tidak pernah meberikan

komunikasi terapeutik.

c) Kuesioner C terkait kecemasan pasien rawat inap yang terdiri atas 20

pertanyaan. Menggunakan kuesioner Zung Self-Rating Anxiety Scale

(SAS/SRAS). Dengan penilaian skor 20-44: Normal/tidak cemas, skor 45-

59: kecemasan ringan, skor 60-74: kecemasan sedang, dan skor 75-80:

kecemasan berat.

4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.6.1 Lokasi Penelitian


33

Penelitian ini dilaksanakan di Ruangan Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Daerah Haji, Jl. Daeng Ngeppe No.14, Kelurahan Balang Baru Kota

Makassar.

4.6.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni tahun 2019.

4.7 Prosedur Pengumpulan Data

4.7.1 Prosedur

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan

izin kepada Direktur, dan Kepala Bidang Keperawatan di Rumah Sakit

Umum Daerah Haji Kota Makassar.

4.7.2 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu data

primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui teknik pengumpulan

data dengan kuesioner atau angket. Kuesioner berisi daftar pertanyaan

tertutup yang disebarkan kepada responden dengan harapan responden

akan memberikan respon jawaban. Sedangkan data sekunder diperoleh

dari pengumpulan dokumen seperti laporan tahunan dan Profil Rumah

Sakit Umum Daerah Haji Kota Makassar. Selain itu, data sekunder juga

diperoleh dari sumber-sumber lain seperti jurnal, buku, dan penunjang

lainnya yang terkait dengan penelitian.

4.8 Teknik Pengolahan Data


34

Menurut Hidayat (2014), langkah-langkah yang digunakan dalam

pengolahan data secara manual, antara lain:

4.8.1 Editing (Penyuntingan data)

Angket yang diperoleh atau dikumpulkan memalui wawancara dengan

kuesioner kuesioner atau alat ukur maupun teknik pengambilan data

lainnya, perlu disunting (edit) terlebih dahulu untuk memeriksa kembali

kebenaran data maupun kelengkapan data yang diperoleh atau

dikumpulkan.

4.8.2 Coding sheet (Membuat lembaran kode)

Untuk memudahkan pengolahan data, semua data atau jawaban

disederhanakan dengan memberikan simbol atau kode tertentu misalnya

angka atau bilangan secara manual.

4.8.3 Entry (Memasukan data)

Mengisi kolom atau kotak-kotak lembar kode sesuai dengan jawaban

masing-masing pertanyaan.

4.8.4 Tabulating (Tabulasi)

Kegiatan membuat tabel-tabel data sesuai dengan tujuan penelitian. Dan

pengolahan data dilakukan menggunakan komputer.

4.8.5 Cleaning (Pembersihan data)

Data yang telah dientry, diperiksa kembali untuk memastikan bahwa

data telah bersih dari kesalahan baik waktu pengkodean maupun

membaca kode.

4.9 Analisa Data


35

4.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan ataupun

menggambarkan setiap variabel yang akan diteliti, baik variabel

independen maupun variabel dependen.

4.9.2 Analisis Bivariat

Analisis ini dengan melakukan uji statistik untuk mengetahui hubungan

antara variabel dependen dengan variabel independen dalam bentuk

tabulasi silang (crosstab) dengan menggunakan sistem komputerisasi

program SPSS dengan uji chi-square.

Untuk menguji tingkat kemaknaan dilakukan uji statistik chisquare (

2
χ ) dengan batas kemaknaan ɑ 0,05. CI=95%.

Hasil yang diperoleh pada analisis chi square yaitu :

1) Jika nilai p value < ɑ, artinya ada hubungan yang bermakna antara

variabel dependen dan variabel independen.

2) Jika nilai p value ≥ ɑ, artinya tidak ada hubungan yang bermakna

antara variabel dependen dan variabel independen (Notoatmodjo,

2014).

4.10 Masalah Etik

Potensi dan praktik penyimpangan kode etik semakin banyak,

sehingga makin terasa keharusan adanya badan yang mengawasi penelitian

yang memakai manusia sebagai subjek penelitian (Sastroasmoro & Ismael,

2014).

Penelitian dilaksanakan dengan berpedoman pada masalah etik, yakni :


36

4.10.1 Informed Consent (Lembar Persetujuan) menjadi responden

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden dengan

memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari penelitian

serta dampak yang terjadi bila menjadi responden.

4.10.2 Anonimity (Tanpa Nama)

Nama responden tidak dicantumkan pada lembar pengumpulan data,

hal ini bertujuan untuk menjaga kerahasiaan responden. Namun, untuk

mengetahui keikutsertaan responden, peneliti cukup menggunakan

kode pada masing-masing lembar pengumpulan data.

4.10.3 Confidentiality (Kerahasiaan)

Informasi yeng telah diperoleh dari responden akan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti. Peneliti hanya akan menyajikan

informasi terutama dilaporkan pada hasil riset.

4.11 Kerangka Operasional/Kerja


37

Populasi :
Pasien Rawat Inap Periode Juni 2019 sebanyak 42 orang.

Teknik Sampling :
Total Sampling

Sampel :
42 orang

Pengumpulan Data :
Data Primer

Vaiabel Independen : Variabel Dependen :


Komunikasi Perawat Kecemasan Pasien

Analisis data dengan ditabulasikan ke


dalam SPSS

Penyajian data dalam bentuk tabel distribusi

Bagan 4.1 Kerangka Operasional


38

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Haji Makassar berdiri dan diresmikan pada tanggal

16 Juli 1992. Berdiri di atas tanah seluas 10,6 hektar milik pemerintah daerah

Sulawesi Selatan terletak di ujung selatan kota Makassar, tepatnya di Jl. DG.

Ngeppe No. 14 Kelurahan Jongaya, Kecamatan Tamalatea. Latar belakang

pembangunan Rumah Sakit Umum Haji Makassar yang ditetapkan di daerah

bekas lokasi Rumah Sakit Kusta Jongaya adalah diharapkan rumah sakit ini

dapat mendukung kelancaran kegiatan pelayanan calon jemaah haji dan

masyarakat sekitarnya.

RSUD Haji Makassar adalah Rumah Sakit Umum Daerah milik

Pemerintah dan merupakan salah satu rumah sakit tipe B Layanan Kesehatan

ini telah terdaftar sejak  27/01/2016 dengan Nomor Surat ijin

07375/YANKES-2/V/2010 dan Tanggal Surat ijin  27/05/2010 dari

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan Sifat  Sementara, dan berlaku

sampai   27 Mei 2015. Sesudah melakukan Prosedur Akreditasi Rumah sakit

Seluruh Indonesia dengan proses  Pentahapan II (12 Pelayanan) akhirnya

ditetapkan status  Lulus Akreditasi Rumah Sakit.

Rumah sakit ini memberikan pelayanan dibidang kesehatan yang

didukung oleh layanan dokter spesialis dan sub spesialis, serta ditunjang
38

dengan fasilitas medis yang memadai. Selain itu RSUD Haji Makassar juga

sebagai rumah sakit rujukan untuk wilayah Makassar dan sekitarnya.

5.2 Hasil Penelitian

5.2.1 Anaisis Univariat

Data yang disajikan merupakan hasil dari jawaban atas kuesioner yang

diberikan kepada 42 orang responden pada pasien ruang rawat inap di RSUD

Haji Makassar. Kuesioner yang disebarkan setelah diisi oleh para responden

seluruhnya diterima kembali, sehingga sesuai dengan besarnya sampel yang

diteliti, waktu yang dibutuhkan yakni 3 minggu sejak pengedaran kuesioner

kepada 42 orang responden pada pasien ruang Rinra II RSUD Haji Makassar.

1) Data Demografi

Analisis univariat menggambarkan tentang distribusi frekuensi

karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, dan lama rawat inap.

a. Umur

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Di Ruang
Rawat Inap RSUD Haji Makassar

Umur Frekuensi (n) %

20-30 Tahun 14 33.3


31-40 Tahun 20 47.6
41->50 Tahun 8 19.0

Jumlah 42 100.0

Sumber: Data Primer bulan Juni 2019


38

Tabel 5.1 di atas menujukkan bahwa dari 42 responden,

terdapat 14 (33.3%) berumur 20-30 tahun, 20 (47.7%) berumur 31-

40 tahun dan8 (96.0%) berumur 41->50 tahun.

b. Jenis Kelamin

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Di Ruang Rawat Inap RSUD Haji Makassar

Jenis Kelamin Frekuensi (n) %

Laki-laki 19 45.2
Perempuan 23 54.8

Jumlah 42 100.0

Sumber: Data Primer bulan Juni 2019

Tabel 5.2 di atas menujukkan bahwa dari 42 responden,

terdapat 19 (45.2%) responden yang berjenis kelamin laki-laki dan

23 (54.8%) responden yang berjenis kelamin perempuan.

c. Lama Rawat Inap

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Rawat
Inap Di Ruang Rawat Inap RSUD Haji Makassar

Lama Rawat Frekuensi (n) %

<3 Hari 11 26.2


>3 Hari 31 73.8

Jumlah 42 100.0

Sumber: Data Primer bulan Juni 2019


38

Tabel 5.3 di atas menujukkan bahwa dari 42 responden,

terdapat 11 (26.2%) responden yang memiliki lama rawat inap

kurang dari 3 hari, 31 (73.8%) responden yang memiliki lama

rawat inap lebih dari 3 hari.

2) Variabel Independen

Komunikasi Perawat
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Komunikasi
Perawat Di Ruang Rawat Inap RSUD Haji Makassar

Komunikasi Frekuensi (n) %


Perawat

Baik 28 66.7
Kurang Baik 14 33.3

Jumlah 42 100.0

Sumber: Data Primer bulan Juni 2019

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa responden terbanyak adalah

yang mengatakan komunikasi perawat baik sebanyak 28 responden

(66.7%) dan yang mengatakan komunikasi perawat kurang hanya

14 responden (33.3%).
38

3) Variabel Dependen

Kecemasan Pasien
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan kecemasan
Pasien Di Ruang Rawat Inap RSUD Haji Makassar

Kecemasan Frekuensi (n) %


Pasien

Normal/Tidak 34 81.0
Cemas
Cemas Ringan 3 7.1
Cemas Sedang 3 7.1
Cemas Berat 2 4.8

Jumlah 42 100.0

Sumber: Data Primer bulan Juni 2019

Tabel 5.5 di atas menujukkan bahwa dari 42 responden,

diketahui tingkat kecemasan responden terbesar adalah

normal/tidak cemas sebanyak 34 responden (81.0%) dan terendah

adalah pasien dengan kecemasan berat sebanyak 2 responden

(4.8%).

5.2.2 Analisis Bivariat

Untuk mengetahui hubungan komunikasi perawat dengan

menggunakan uji statistic Chi-Square dengan tingkat kemaknaan 5%

(0,05).

Pada penelitian ini jika didapatkan cell ada yang nilai

expectednya <1 atau cell yang nilai expected <5 atau lebih dari 20%
38

cell tidak memenuhi syarat uji chi-square, maka peneliti menggunakan

uji alternatif yaitu uji Fisher’s Exact Test, dengan hipotesis two tailed

dimana uji dengan tingkat kemaknaan 5% (0,05), maka ketentuan

bahwa komunikasi perawat dengan kecemasan pasien dikatakan

mempunyai hubungan yang bermakna jika p<0,05.

Hubungan Komunikasi Perawat dengan Kecemasan Pada Pasien di


Ruang Rawat Inap RSUD Haji Makassar

Tabel 5.6
Distribusi Hubungan Komunikasi Perawat dengan Kecemasan
Pada Pasien di Ruang Rawat Inap RSUD Haji Makassar

Kecemasan Pasien
Total
Komunikasi Tidak Cemas
Perawat Cemas P
n % n % n %

Baik 26 61.9 2 4.8 28 66.7


0.010
Kurang 8 19.0 6 14.3 14 33.3

Jumlah 34 81.0 8 19.0 42 100.0

Sumber: Data Primer bulan Juni 2019

Berdasarkan tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa mayoritas

komunikasi perawat kepada pasien adalah baik sebanyak 28 responden

(66.7%). Terdapat 26 responden (61.9%) yang tidak cemas dan 2

responden (4.8%) yang cemas. Menurut asumsi peneliti, hal ini

disebabkan oleh komunikasi perawat dapat tersampaikan dengan baik

dan diterima oleh pasien sehingga dengan komunikasi tersebut dapat


38

terjalin hubungan saling percaya antara perawat dan pasien. Dengan

demikian pasien merasa aman dan tidak cemas dengan kondisinya.

Diketahui juga terdapat 8 responden (19.0%) yang tidak cemas

dari komunikasi perawat yang kurang sebanyak 14 responden (33.3%).

Menurut asumsi peneliti, hal ini disebabkan oleh koping individu

responden baik dimana manajemen stress responden dapat diolah

dengan baik yaitu melalui ibadah, relaksasi nafas dalam dan

mempeerbanyak kegiatan aktifitas fisik yang teratur.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square antara variabel

komunikasi perawat dengan kecemasan pada pasien, diperoleh

p=0,000<0,05 yang artinya ada hubungan bermakna antara komunikasi

perawat dengan kecemasan pada pasien.

5.3 Pembahasan

5.3.1 Hubungan Komunikasi Perawat dengan Kecemasan Pada Pasien

di Ruang Rawat Inap RSUD Haji Makassar

Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa mayoritas komunikasi

perawat kepada pasien adalah baik sebanyak 28 responden (66.7%). Terdapat

26 responden (61.9%) yang tidak cemas dan 2 responden (4.8%) yang cemas.

Menurut asumsi peneliti, hal ini disebabkan oleh komunikasi perawat dapat

tersampaikan dengan baik dan diterima oleh pasien sehingga dengan

komunikasi tersebut dapat terjalin hubungan saling percaya antara perawat dan

pasien. Dengan demikian pasien merasa aman dan tidak cemas dengan

kondisinya.
38

Penyampaian komunikasi ini menurut Stuart (2015) dapat melalui

komunikasi verbal dan non verbal. Keliat (2015) menjelaskan tahapan

komunikasi terapeutik yaitu tahap prainteraksi, tahap orientasi, tahap kerja,

dan tahap terminasi. Ketika hubungan antara perawat dan pasien terjadi

melalui komunikasi, perawat sebagai penolong (helper) membantu pasien

sebagai orang yang membutuhkan pertolongan, untuk mencapai tujuan yaitu

terpenuhinya kebutuhan dasar manusia sebagai klien (Suryani, 2014).

Diketahui juga terdapat 8 responden (19.0%) yang tidak cemas dari

komunikasi perawat yang kurang sebanyak 14 responden (33.3%). Menurut

asumsi peneliti, hal ini disebabkan oleh koping individu responden baik

dimana manajemen stress responden dapat diolah dengan baik yaitu melalui

ibadah, relaksasi nafas dalam dan mempeerbanyak kegiatan aktifitas fisik

yang teratur. Selain itu, setiap orang memiliki latar belakang dan kondisi fisik

maupun psikologi yang berbeda-beda, sehingga setiap orang perlu memahami

kebutuhan akan dirinya agar dapat menghadapi stressor sesuai dengan caranya

sendiri.

Adapun faktor yang menghambat terjadinnya komunikasi antara

perawat dan pasien yaitu faktor fisik berupa keadaan abnormal dari tubuh atau

pikiran pasien, penggunaan bahasa karena perbedaan asal daerah antara

perawat dan pasien, latar belakang budaya yang berbeda yang menyebabkan

psikologi perawat dan pasien seringkali mengalami ketidakcocokan misalnya

intonasi suara dan terakhir faktor lingkungan misalnya suasana bising yang

menyebabkan komunikasi tidak berlangsung dengan baik (Nur Rahma, 2016).


38

Dengan hasil uji statistik Chi-Square dimana diperoleh nilai p =0,010

dengan tingkat kemaknaan α = 0,05 yang berarti nilai p value = 0,010 < 0.05

dengan demikian H0 ditolak dan Ha diterima yang artinya ada hubungan

antara komunikasi perawat dengan kecemasan pada pasien di ruang rawat inap

RSUD Haji Makassar.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh

Warsini (2015) yang menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan komunikasi

terapeutik dengan tingkat kecemasan pasien pre-operasi di ruang IBS RSUD

Saras Husada Purwokerto. Dimana hasil uji statistik dengan menggunakan

Kendal tau diperoleh nilai P value=0.000 < 0.05.

Sama pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani (2018)

yang menunjukkan bahwa sebagian besar komunikasi terapeutik perawat baik

(60.6%), tingkat kecemasan pasien pre-operasi sebagian besar tidak cemas

(45.5%) dan terdapat hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan

tingkat kecemasan pasien pre-operasi di unit rawat inap RS PKU

Muhammadiyah Gamping Sleman Yogyakarta ditunjukkan dengan hasil uji

coba Kendal tau dengan nilai P value = 0.002 < 0.05 dan nilai koefisien

korelasi 0.441 yang artinya tingkat keeratan sedang.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andansari

(2014) menunjukkan hasil nilai rata–rata skor kecemasan sebelum dilakukan

komunikasi terapeutik adalah 39,5 sedangkan setelah dilakukan komunikasi

terapeutik adalah 22,3. Ini berarti bahwa secara numerik juga ada penurunan
38

kecemasan. Pengujian statistik terhadap penurunan skor kecemasan dengan

signifikansi (ρ) sebesar 0,000 (0,000 < 0,050). Nilai ρ < 0,05 berarti bahwa

perbedaan (penurunan) kecemasan antara sebelum dan setelah dilakukan

komunikasi terapeutik dinyatakan signifikan.

Semakin sering perawat memberikan komunikasi terapeutik maka

komunikasi antara pasien dan perawat akan semakin sering terjadi, dan

kualitas asuhan keperawatan juga semakin tinggi karena adanya rasa percaya

pasien yang meningkatkan kepuasan pasien (Ningsih, 2015).

Komunikasi menjadi landasan dalam berinteraksi dengan pasien.

Kompetensi perawat dalam berinteraksi dengan pasien menjadikan pasien

merasa puas terhadap layanan yang diberikan. Klisiari & Gaki (2012)

menjelaskan bahwa pelayanan yang berkualitas ditentukan oleh komunikasi

yang diberikan. Melalui komunikasi kebutuhan pasien akan tergali (Hajarudin,

2014).

Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka penulis berasumsi bahwa

komunikasi pada hakikatnya adalah suatu proses social dimana terjadi

interaksi saling mempengaruhi antarmanusia. Sehingga menimbulkan

perubahan sikap dan tingkah laku. Komunikasi yang baik antara perawat dan

pasien akan berdampak pada kesembuhan pasien termasuk salah satunya

penurunan tingkat kecemasan pasien yang sedang menjalani perawatan.


38

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya maka

dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

1) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa sebagian besar

komunikasi yang diterapkan perawat dalam melaksanakan asuhan

keperawatan kepada pasien adalah baik.

2) Mayoritas pasien yang mendapat komunikasi yang baik dari perawat

adalah tidak cemas.

3) Terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi perawat dengan

kecemasan pada pasien di ruang rawat inap RSUD Haji Makassar.

6.2 Saran

1. Bagi rumah sakit

a) Mempertahankan kualitas sumber daya manusia bidang keperawatan

sebagai pemberi pelayanan keperawatan, khususnya sikap dan

keterampilan dalam berkomunikasi.

b) Melakukan pelatihan komunikasi terapeutik sebagai salah satu upaya

yang harus terus menerus dilaksanakan dalam mempertahankan atau

bahkan lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien atau

masyarakat.
38

2. Bagi perawat

a) Mempertahankan pengetahuannya dalam upaya menambah kualita

personalnya sebagai “educator”.

b) Perlu selalu menyadari bahwa komunikasi verbal dan non verbal yang

terapeutik penting dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.

c) Mempertahankan sikap cepat tanggap terhadap setiap persoalan yang

timbul pada jasa pelayanan keperawatan khususnya komunikasi perawat

terhadap kecemasan pada pasien.

d) Sebagai seorang perawat muslim hendaknya dalam berkomunikasi

dengan pasien tetap menjunjung tinggi etika dan selalu bersikap santun

serta selalu mengucapkan salam setiap sebelum dan sesudah

berkomunikasi seperti yang di ajarkan oleh Rasulullah SAW.

3. Saran bagi peneliti berikutnya: apabila ingin melakukan penelitian dengan

judul dan area yang sama, hendaknya dapat melanjutkan penelitian dengan

melihat variabel-variabel yang lain.

Anda mungkin juga menyukai