Anda di halaman 1dari 4

Nama : Zalfa Ainun Rozak

NPM : 10060319063
Kelas : Farmasi B
PAI/Akhlak
AKHLAK KEPADA ALLAH SWT
Akhlak kepada Allah diartikan sebagai adab dan sopan santun seorang hamba
kepada-Nya, baik dalam ’ubudiyah maupun dalam menjalankan amanah yang
diembankan-Nya. Atau adab dalam berhubungan dengan Allah, baik yang bersifat
’ubudiyah (ritual) maupun mu’amalah.
A. Landasan berakhlak kepada Allah Swt
Alam ini mempunyai Pencipta dan Pemelihara yang diyakini ada-Nya,
Dia-lah yang memberikan rahmat dan menurunkan azab kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dia-lah yang wajib diibadahi dan ditaati oleh semua
manusia. Kepada-Nya manusia berhutang budi yang besar, karena berkat
Rahman dan Rahim-Nya, Dia menganugerahkan nikmat yang
dihajatkannya oleh manusia dengan tak terhitung jumlahnya. Maka wajiblah
manusia mencintai-Nya dan mematuhi-Nya serta berterima kasih atas segala
pemberian-Nya itu. (Hamzah Ya’kub, 1982: 140-141)
B. Sasaran dalam Berakhlak kepada Allah
Tentang persoalan ini, ulama memunculkan berbagai pandangan yang
berbeda-beda, baik bentuk, macam, maupun jumlahnya. Setiap orang
mengajukan teori/pendapatnya sesuai dengan sudut pandang dan penegasan yang
menjadi pusat perhatiannya.
Namun demikian, pada umumnya para ahli menjelaskan beberapa sasaran
akhlak manusia kepada Allah Swt sebagai berikut:
1. Bersyukur atas nikmat Allah Swt. Seorang Muslim hendaknya melihat segala
sesuatu yang telah diberikan Allah kepadanya, dengan tiada terhingga, yaitu
berupa kenikmatan yang tidak terhitung, terlindungnya dia pada saat
menempel di dalam rahim ibunya ketika berupa nuthfah (air mani),
menentukan perjalanan hidupnya hingga hari bertemunya dengan Allah.
Maka, ia wajib bersyukur atas segala nikmat-Nya, karena itu memang adab
yang mesti dilakukan kepada-Nya. (Abu Bakar al-Jazairi, tt: 179)
Maka syukur kepada Allah terdiri dari tiga unsur, yaitu syukur dengan
hati, syukur dengan lisan, dan syukur dengan perbuatan (anggota badan).
a. Syukur dengan hati adalah menerima nikmat Allah tersebut dengan hati
bahagia, sekecil apa pun nikmat tersebut.
Manusia biasa bersyukur dengan kuat manakala nikmat yang
diterimanya besar. Akan tetapi, ia kurang bersyukur atas nikmat itu apabila
dirasakan kecil atau kurang.
Untuk memantapkan rasa syukur dan bahagia atas nikmat-nikmat-
Nya, ulama menasehatkan: ”Tadzakkar ma’a kulli ni’matin zawalaha”
(Ingat-ingatlah, bersama dengan nikmat yang diterimanya itu, bagaimana
kalau kamu kehilangannya). Manusia akan merasakan atau menyadari
kehadiran dan pentingnya nikmat itu di saat kehilangannya.
b. Syukur dengan lidah adalah memuji dan menyanjung-Nya.
Mengingat nikmat Allah itu sangat banyak, sehingga tidak
mungkin dapat dihitungnya secara cepat dan akurat, maka manusia sering
kali kesulitan dalam mensyukurinya secara sempurna. Oleh karena itu,
Allah mengajarkan manusia bagaimana cara bersyukur dengan lisan
melalui firman-Nya di bawah ini.
Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan
kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya.
Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan". (QS. Al-Naml [27]:
93).
c. Syukur dengan perbuatan adalah memanfaatkan nikmat itu dengan
anggota badannya secara optimal.
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan
sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’
[34]: 13).
Artinya, aspek bersyukur yang ketiga ini adalah memanfaatkan
nikmat tersebut sesuai dengan kehendak pemberinya secara optimal.
Manusia tidak pandai bersyukur atas nikmat itu karena berbagai alasan:
a. Nikmat Allah itu sangat banyak, sehingga tidak sanggup mensyukurinya.
Menghitung nikmat itu saja manusia sudah tidak sanggup, maka apalagi ia
dapat mensyukurinya secara sempurna. Maka ulama ushul fikih
mengatakan, ”ma laa yudraku kulluh, la yutraku kulluh” (apa yang tidak
sanggup diketahui/digapai seluruhnya, maka jangan tinggalkan seluruhnya).
Artinya, secepat kita menemukan dan merasakan nikmat itu, segeralah kita
syukuri nikmat tersebut.
b. Manusia selalu melihat orang yang secara materi berada di atasnya. Oleh
karena itu Nabi Saw menasihatkan dengan sabdanya di bawah ini.
ْ
‫مه‬َ ‫َِنى‬ ‫ُر‬
‫ُوا إ‬ ْ‫ ا‬:ِ‫ل هللا‬
‫وظ‬ ُ‫َسُى‬ َ‫َا‬
‫ل ر‬ َ‫َا‬
‫ ق‬:‫ل‬ ََ
‫ ق‬،‫ة‬ َْ
‫ير‬ ‫َب‬
ُ ‫ِي‬
‫هر‬ ‫ْ أ‬
‫َه‬‫ع‬

ُ
‫در‬ ‫َج‬
َْ ‫َ أ‬
‫هى‬َُ ‫ُم‬
‫ ف‬،ْ ‫َك‬
‫ْق‬‫َى‬
‫َ ف‬
‫هى‬ُ ْ
‫مه‬َ ‫َِنى‬ ‫ُر‬
‫ُوا إ‬ ‫ْظ‬
‫تى‬ ََ
َ ‫َل‬ ‫ُم‬
‫ و‬،ْ ‫ْك‬
‫ِى‬‫َ م‬
‫َم‬‫َسْف‬
‫أ‬

‫ُم‬
ْ ‫ْك‬
‫هي‬ََ ََ
‫ة هللاِ ع‬‫ْم‬
‫ِع‬‫ُوا و‬
‫در‬َْ
‫تز‬ َ ‫ن‬
َ ‫َل‬ َْ
‫أ‬

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda,”Lihatlah


orang-orang yang berada di bawah kalian (segi materi), dan jangan selalu
melihat orang-orang yang di atas kalian. Itu lebih layak bagi kamu, agar
tidak meremehkan nikmat yang dianugerahkan kepada kamu.” (HR
Muslim)
c. Setan berusaha keras untuk memalingkan manusia dari bersyukur atas
nikmat Allah.
2. Bertawakal kepada Allah. Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan
manusia untuk menjadikan Allah sebagai “wakil,” antara lain QS. Al-
Muzzammil [73]: 9. Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna
yang disebutkan di atas berarti menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia
yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.
Manfaat Tawakal kepada Allah
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang benar tawakal kepada
Allah dalam ayat berikut:
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-
tiap sesuatu.” (QS. Al-Thalaq [65]: 3)
Ini merupakan jaminan Allah dan diperkuat dengan pernyataan
Rasulullah Saw bagi orang yang bertawakal kepada-Nya dengan sebenar-
benarnya. Karena, tawakkal merupakan wujud dari keyakinan hamba kepada
Allah Yang Maha Pelindung, Pemberi Rezeki, dan Maha Bijaksana, serta
sifat kesempurnaan lainnya. Apa yang diberikan Allah setelah diusahakan
manusia, maka itulah yang terbaik bagi hamba.
3. Taubat dan Istigfar kepada Allah Swt
Taubat Nasuha, menurut Ulama (dalam Al-Zuhaili, tt., 28: 315) adalah
melepaskan diri dan berhenti dari dosa, menyesal atas perbuatan dosa
tersebut, dan berjanji dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi di masa
yang akan datang.
Selanjutnya, jika kemaksiatan itu berkenaan dengan hak-hak manusia
lain (hak Adami), maka syarat taubatnya ada 4 (empat) hal:
a. Berhenti dari perbuatan maksiat.
b. Menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya.
c. Berniat dengan kuat untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat tersebut.
d. Meminta dibebaskan dari hak orang lain (yang bukan materi/benda) yang
pernah dilakukannya, seperti permintaan maaf atas ghibah atau
tuduhan/fitnah yang pernah dilancarkannya kepada seseorang; atau jika itu
berupa barang atau benda, maka orang yang taubat itu harus
mengembalikannya kepada sang pemilik.

Anda mungkin juga menyukai