Anda di halaman 1dari 7

KEDOKTERAN

FAKTOR~FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU MINUM OBAT SECARA TERATUR PADA PENDERITA TUBERKULOSIS (TB) PARU DEWASA

(di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat)

Rifqatussa'adah

FK Universitas Yarsi Jakarta

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is a contagious infection diseases that still being a main problem of public health in the world, especially in the developing country like Indonesia. The aim of this study is to know the percentage of the adult Pomona patients TB who have the behavior for taking drugs regularly and to know the factors related to that behavior at public health centre sub district Kemayoran Central Jakarta. The population is all TB patient with first category with therapy for the last two weeks which amount 71 samples. Oata was collected by lead interview with questioners and analyzed by unvaried and bivaried. The survey indicates that 52 (73,2 %) of the adult TB Panama patients take the medicine regularly and 19 (26,8 %) do not within the last two weeks. The result shows that from the eight factors mentioned, there are six main factors that connected; which are knowledge, motivation, attitude, extra time, motivation from family and forget. It is recommended for the patients to increase their behavior to take their medicine regularly.

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) dalam Annual Report of Global TB control 2003 mep nyatakan terdapat duapuluh dua negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Setiap tahunnya, TB menyebabkan hampir dua juta kematian, dan diperkirakan saat ini sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB, yang mung kin akan berkembang menjadi penyakit TB di masa datang. Selain jumlah kematian dan infeksi TB yang amat besar, pertambahan kasus baru TB pun amat signifikan, mencapai jumlah sembilan juta kasus baru setiap tahunnya. Bila tak dikendalikan, dalam 20 tahun mendatang TB akan membunuh 35 juta orang. Melihat kondisi tersebut, Badan Kesehatan Ounia (WHO) menyatakan TB sebagai kedaruratan global sejak tahun 1993. (OepKes RI, 2007).

Epidemiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sanqat lama dikenal pada

manusia, apabila dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra thoraks yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan jaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding pyramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM, (Sudoyo Aru, 2006).

Patogenesis

Penularan TS paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuchlei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi in; dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran nafas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel kurang dari 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh netrofil kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati oleh makrofag, keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. (Sudoyo Aru, 2006).

WIDYA

Tahun 25 Nomor 274 Juli 2008

19

KEDOKTERAN

Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak kemudian dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru disebut sarang primer atau fokus gohn. Oari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (Iimfangitis lokal), diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening hilus (Iimfadenitis regional), keadaan ini disebut komplek primer. (Sudoyo Aru, 2006).

Cara Penularan

1. Sumber penularan adalah penderita TB BT;;' (+).

2. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak ( droplet nuchlei ). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan. Sementara sinar matahari langsung dapat membunu kuman. Percikan dapat bertahan dalam beberapa jam dalam lingkungan yang lembab dan gelap.

4. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Resiko Penularan

1. Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA ( + ) memberikan kemungkinan resiko penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA ( - ).

2. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. (Harun Muharam, 2001 ).

Klasifikasi Penyakit Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena

1. TBparu yaitu T8 yang menyerang parenkim paru, tidak termasuk pleura dan kelenjar hilus. 2. T8 ekstra paru yaitu T8 yang menyerang organ

tubuh selain paru, misal selaput otak, selaput jantung, tulang, kulit, dll.

Klasifikasi Berdasarkan Hasll Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

1. TB paru BTA ( + )

a) Sekurang-kurangnya dua dari tiga spesi- . men dahak SPS ( sewaktu-pagi -sewaktu ) hasilnya BTA (+ ).

b) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA ( + ), foto thoraks menunjukkan gambaran TB.

c) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA ( + ) dan biakan kuman TB positif.

d) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah tiga spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA (-) dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.

2. TB paru BTA ( - )

a) Kasus yang tidak memenuhi defenisi pada TS paru BTA ( + ).

b) Kriteria diagnostik TS paru BTA ( - ) harus meliputi:

(1) Paling tidak tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA( -).

(2) Foto thoraks menunjukkan gambaran TB.

(3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.

(4) Oitentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya

1. Kasus baru yaitu penderita yang belum pernah diobati dengan OAT, atau sudah penah menelan OAT kurang dari 4 minggu.

2. Kasus kambuh (relaps) yaitu penderita TS yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA ( + ).

3. Kasus setelah putus berobat ( default ) yaitu penderita yang telah berobat dan putus berobat dua bulan atau lebih dengan BTA ( + ).

4. Kasus setelah gagal ( failure ) yaitu penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi pasitif bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

WIDYA

20

Tahun 25 Nomor 274 Juli 2008

KEDOKTERAN

5. Kasus pindahan ( transfer in ) yaitu penderita yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register

, T8 lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus lain yaitu semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA ( + ) setelah selesai pengobatan ulang. (DepKes RI, 2005).

Gejala Klinis

Keluhan yang dirasakan penderita TB dapat bermacam-macam atau malah banyak ditemukan tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang terbanyak adalah demam, batuk atau batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, malaise, (DepKes RI, 2005).

Tuberkulosis di Indonesia

Indonesia adalah negeri dengan prevalensi T8 ketiga tertinggi di dunia setelah China dan India. Pada tahun 1998, diperkirakan T8 di China sebanyak 1.828.000 kasus, di India 1.414.000 kasus dan di Indonesia 591,000 kasus. Perkiraan kejadian sputum BTAyang positif di Indonesia pada tahun 1998 adalah 296.000 kasus. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga 1985 dan survey kesehatan nasional 2001, TB menempati rangking nomor tiga sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. Sampai sekarang angka kejadian TB di Indonesia relatif terlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena masih relative rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan merubah di masa datang melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ke tahun. (SudoyoAru, 2006).

Menurut Dinas Kesehatan, di Jakarta, penderita TB men capai 14.416 orang, dengan rincian Jakarta Pusat 3.188, Jakarta Barat 3.046, Jakarta Selatan 2.679, Jakarta Utara 837 dan Jakarta Timur 5.666. Sekitar 75% pasien TB menyerang kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis( 15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan ratarata waktu kerjanya 3-4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 -30 %. Jika la meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun, Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak

buruk lainnya secara sosial stigma, bahkan dikucilkan oleh masyarakat. (DepKes RI, 2007).

Sulitnya pengobatan penderita TB paru menyebabkan banyak terjadi kegagalan pengobatan. Di Jakarta, penderita TB yang mengalami gagaJ pengobatan sebanyak 437 orangY) Pengobatan tidak teratur, penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) tidak adekuat ataupun pengobatan terputus menimbulkan kuman yang resisten terhadap OAT. Penderita TB tersebut akan menjadi sumber penularan kuman yang resisten di masyarakat. (DepKes RI, 2007).

Berdasarkan pedoman nasional penanggulangan TB, paduan OAT dibagi menjadi dua kategori, yaitu (4) Kategori I : paduan OAT ini diberikan pada pasien baru : pasien baru TB paru BTA ( + ), pasien TB paru BTA ( - ) foto thorax (+), pasien TB ekstra paru. Kategori II: paduan OAT ini diberikan pad a pasien BTA (+) yang telah diobati sebelumnya, pasien kambuh, pasien gagal, pasien dengan pengobatan setelah default (terputus).

Menurut data Suku Dinas Jakarta Pusat, jumlah penderita TB yang mendapat pengobatan pada tahun 2007 sebanyak 2269 orang. Sementara pada puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat, terdapat sebanyak 364 orang.

Dalam penelitian ini ingin diketahui, berapa besar persentase penderita TB untuk minum obat TS secara teratur pada Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat, selain itu ingin diketahui gambaran perilaku minum obat pada penderita TB, dan faktor-faktor yang berhubungan seperti pengetahuan, sikap, motivasi, ketersediaan waktu, efek sam ping obat, dorongan keluarga, dorongan ternan, dorongan petugas, dan lupa dalam perilaku minum obat TB secara teratur.

Penelitian ini merupakan survei yang dilakukan pada bulan Maret-April 2008. di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat. Populasi yang digunakan adaJah seluruh penderita TS yang memenuhi kategori I, yaitu: penderita TS paru baru BTA ( + ), penderita TS paru baru BTA ( - ), foto thoraks ( + ), pasien TB ekstra paru yang sedang menjalani pengobatan dalam dua mingg u terakhir di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat sebanyak

·90 orang penderita TB paru. Setelah dilakukan perhitungan sampel dengan cara acak seder-

WIDYA

21

Tahun 25 Nomor 274 Juli 2008

KEDOKTERAN

PEMBAHASAN

hana, maka didapatkan sampel sebanyak 71 orang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terpimpin dengan kuesioner terhadap responden. Sumber data primer adalah penderita TB yang memenuhi kategori I, yang sedang menjalani pengobatan dalam dua minggu terakhir di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat. Sumber data sekunder adalah buku laporan tahunan Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat, Buku laporan Sub Dinas Kesehatan Standar Penanggulangan TB. Analisis data dilakukan dengan menguji perbedaan proporsi kelompok sampel yang ada. Data dianalisis de-

. ngan menggunakan SPSS 15.0

Tabel 1:

Distribusi Persentase Perilaku Untuk Minum Obat pada Penderita TB Paru Dewasa di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat

Perilaku Minum Obat Secara Teratur

IV

DV Teratur % Tidak % Jumlah %

Teratur

Pengetahuan

Baik 31

Cukup 18

Kurang 3

2,8 33 46,5

5,7 22 31,0

18.3 16 22,5

43.7 2

25,3 4

4,2 13

Jumlah 52

268 71 100

732 19

Sikap

Setuju 37

Tidak Setuju 15

52.12 7

1 ,1 12

9,9 44 62,0

16.9 27 38.0

Jumlah 52

73,2 19

26,8 71 1 DO

Motivasi

Ada 47

TidakAda 5

66,2 2

7.0 17

2,8 49 69,0

24.0 22 31,0

Jumlah 52

26.8 71 100

73,2 19

Ketersediaan waktu

Ada 44

TidakAda 8

61,9 7

11,3 12

9,9 51 71,8

16,9 20 28,2

Jumlah 52

73,2 19

26,8 71 100

Efek Sam ping Obat

TidakAda 27

Ada 25

38 10

35,2 9

14,1 37 52,1

12,7 34 47,9

Jumlah 52

732 19

268 71 100

Dorongan Keluarga

Ada 36

TidakAda 16

50,72 6

2,5 13

8,5 42 59,2

18,3 29 40,8

Jumlah 52

73,2 19

26,8 71 100

Dorangan Teman

Ada 25

TidakAda 27

35,2 8

38 11

11,3 33 46,5

15,5 38 53,5

Jumlah 52

732 19

268 71 100

Lupa

Tidak pernah 52

Pernah 0

73,2 7

o 12

9,9 59 83,1

16,9 12 16,9

Jumlah 52

73,2 19

26.8 71 100

Perilaku Minum Obat pada Penderita TB Paru Dewasa

Hasil survei diperoleh 52 (73,2 %) penderita TB paru dewasa yang melakukan perilaku yang teratur dalam minum obat dalam dua minggu terakhir dan 19 (26,8 %) penderita Tb paru dewasa yang melakukan perilaku yang tidak teratur dalam minum obat dalam dua minggu terakhir (Iihat Tabel).

Dari hasil analisis data diperoleh beberapa faktor yang bermakna yaitu:

1. Pengetahuan

Pada Tabel didapatkan dari 71 responden yang mempunyai pengetahuan kurang sebanyak 16 responden (22,5%) dengan jumlah responden dalam kriteria perilaku minum obat secara teratur sebanyak 3 responden (4,2%) dan tidak teratur sebanyak 13 responden (18,3%). Dari hasil analisis data, didapatkan hubungan bermakna ( p = 0,000 ) antara pengetahuan dengan perilaku minum obat. Adanya pengetahuan yang baik akan mempengaruhi responden untuk dapat melakukan sesuatu dengan teratur sehingga dapat mempengaruhi perilakunya. Semakin baik pengetahuan tentang cara minum obat secara teratur, maka responden akan semakin meningkatkan perilaku minum obat secara teratur.

Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Bambang Irianto (2002), dapat disimpulkan bahwa penderita yang pengetahuannya kurang tentang penyakit TB paru dan pengobatannya, cenderung akan berperilaku tidak patuh dalam berobat, dan sebaliknya penderita yang pengetahuannya baik, cenderung akan berperilaku patuh dalam berobat. Hal ini karena responden/penderita yang mempunyai pengetahuan baik tersebut ditunjang oleh tingkat pendidikan yang tinggi sehingga mereka mengerti benar tentang bahaya penyakit TS paru dan pada akhirnya akan cenderung berperilaku patuh berobat demi kesembuhan penyakitnya.

2. Sikap

Pada Tabel didapatkan dari 71 responden yang mempunyai sikap tidak setuju sebanyak 27 responden (38%) dengan jumlah responden dalam kriteria perilaku minum obat secara teratur

WIDYA

Tahun 25 Nomor 274 Juli 2008

22

KEDOKTERAN

sebanyak 15 responden (21,1 %) dan tidak teratur sebanyak 12 responden (16,9%). Oari hasil anallsis data, didapatkan hubungan bermakna (p = Q,.008) antara sikap dengan perilaku minum obat. Sikap responden yang mau menerima untuk melakukan sesuatu yang dianggap benar akan mempengaruhi perilakunya. Semakin setuju responden yang minum obat teratur, maka responden akan semakin meningkatkan perilaku minum obat secara teratur.

Pada penelitian ini, secara statistik hubungan antara sikap dengan perilaku untuk minum obat secara teratur bermakna. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bambang Irianto (2002) yang menyatakan bahwa sikap tidak bermakna (p>0,05) terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru dengan strategi DOTS.

Merujuk pada teori Green yang menyatakan bahwa sikap merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya suatu perilaku seseorang, maka sikap negatif atau kurang setuju terhadap suatu pengobatan akan mendorong penderita tersebut untuk berperilaku tidak patuh dalam berobat baik dalam hal berobat ulang maupun dalam hal minum obat.

3. Motivasi

Pada Tabel didapatkan dari 71 responden yang tidak mempunyai motivasi sebanyak 22 responden (31,0%), dengan jumlah responden dalam perilaku minum obat secara teratur sebanyak 5 responden (7,0%) dan tidak teratur sebanyak 17 responden (24,0%). Oari hasll anallsls data didapatkan hubungan bermakna (p = 0,000) antara motivasi dengan perilaku minum obat. Adanya motivasi responden terhadap perilaku minum obat secara teratur, maka responden akan sernakln meningkatkan perilaku minum obat teratur. Oengan adanya motivasi yang positif, bisa mengarah pada suatu perilaku yang positif pula. Sesuai dengan teori motivasi menyatakan bahwa motivasi merupakan akibat dari interaksi individu dengan situasi yang berhubungan dengan tujuan yang diharapkan. (Kadri Ambun, 2006)

4. Ketersediaan Waktu

Pada Tabel didapatkan dari 71 responden yang tidak mempunyai waktu sebanyak 20 responden (28,2%), dengan jumlah responden dalam perllaku minum obat secara teratur sebanyak 8 responden (11,3%) dan tidak teratur sebanyak 12

responden (16,9%). Dari hasil analisis data didapatkan hubungan bermakna (p = 0,000) antara ketersediaan waktu dengan perilaku minum obat. Adanya ketersediaan waktu responden terhadap perilaku minum obat secara teratur, maka respond en akan semakin meningkatkan perilaku minum obat teratur. Hasil penelitian ini tidak dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain, karena belum ditemukannya data hubungan antara varibel perilaku dengan variabel ketersediaan waktu.

5. Dorongan KeJuarga

Pad a Tabel didapatkan dari 71 responden yang tidak mempunyai dorongan keluarga sebanyak 29 responden (40,8%), dengan jumlah responden dalam perilaku minum obat secara teratur sebanyak 16 responden (22,5%) dan tidak teratur sebanyak 13 responden (18,3%). Oari hasil anallsis data didapatkan hubungan bermakna (p = 0,01) antara dorongan keluarga dengan perilaku minum obat. Adanya dorongan keluarga responden terhadap perilaku minum obat secara teratur, maka responden akan semakin meningkatkan perilaku minum obat teratur. Oengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa peran keluarga yang baik merupakan motivasi yang ampuh dalam mendorong responden untuk berobat teratur sesuai anjurannya.

6. Lupa

Pada Tabel didapatkan dari 71 responden yang pernah lupa sebanyak 23 responden (32,4%), dengan jumlah responden dalam perilaku minum obat secara teratur sebanyak 11 responden (15,5%) dan tidak teratur sebanyak 12 responden (16,9%). Dari hasil anal isis data didapatkan hubungan bermakna (p = 0,000) antara lupa dengan perilaku minum obat. Pemah lupanya responden terhadap perilaku minum obat secara teratur, maka responden akan semakin meningkatkan perilaku minum obat teratur. HasH penelitian ini tidak dapat dibandingkan dengan hasll penelitian lain, karena belum ditemukannya data hubungan antara varibel perilaku dengan variabel lupa.

Adapun faktor-faktor yang menunjukkan hubungan tidak bermakna terhadap upaya meningkatkan perilaku minum obat secara teratur adalah:

WIDYA

Tahun 25 Nomor 274 Juli 2008

23

KEDOKTERAN

1. Efek Samping Obat

Pad a Tabel didapatkan dari 71 responden yang mempunyai efek samping obat sebanyak 34 responden (47,9%), dengan jumlah responden . dalam perilaku minum obat secara teratur sebanyak 25 responden (35,2%) dan tidak teratur sebanyak 9 responden (12,7%). Dari hasil analisis data didapatkan hubungan tidak bermakna (p = 1,00) antara efek samping obat dengan perilaku minum obat.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tjetjep Yudiana (2000) yang menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan proporsi kegagalan pengobatan di antara penderita yang merasakan efek sam ping OAT dibandingkan dengan penderita yang tidak merasakan efek samping OAT. Dapat disimpulkan bahwa odds penderita TB paru BTA ( + ) yang merasakan efek samping OAT mempunyai resiko kegagalan pengobatannya 2,773 kali lebih besar dibandingkan dengan odds penderita yang tidak merasakan adanya efek samping OAT.

2. Dorongan Ternan

Pada Tabel didapatkan dari 71 responden yang tidak mempunyai dorongan teman sebanyak 38 responden (53,5%), dengan jumlah responden dalam perilaku minum obat secara teratur sebanyak 27 responden (38%) dan tidak teratur sebanyak 11 responden (15,5%). Dari hasil anal isis data didapatkan hubungan tidak bermakna (p = 0,75) antara dorongan teman dengan perilaku minum obat. Walaupun hasil penelitian ini secara statistik tidak bermakna, namun responden yang menyatakan mendapat dorongan teman yang baik, mempunyai kecenderungan untuk minum obat teratur.

PENUTUP

KesimpuJan

1. Berdasarkan survei dari 71 responden didapatkan 52 responden (73,2%) melakukan perilaku minum obat secara teratur dan 19 responden (26,8%) tidak melakukan perilaku minum obat secara teratur.

2. Faktor-faktor yang bermakna dengan perilaku minum obat secara teratur pada penderita

TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat yaitu pengetahuan, motivasi, sikap, ketersediaan waktu, dorongan keluarga dan lupa. Sedangkan faktor-faktor yang tidak berhubungan adalah efek samping obat dan dorongan teman.

Saran~saran

Sebagai upaya meningkatkan perilaku minum obat teratur pada penderita TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat, disarankan:

1. Kepada responden disarankan untuk lebih mencari informasi melalui media cetak, elektronik dan penyuluhan - penyuluhan tentang cara minum obat secara teratur.

2. Keluarga responden disarankan untuk memberi

. informasi yang didapat melalui media cetak, elektronik dan penyuluhan - penyuluhan tentang cara minum obat secara teratur.

3. Dengan penyuluhan dan penyebaran brosur diharapkan adanya perubahan cara berpikir yang lebih bermanfaat dan perubahan sikap yang lebih baik dalam minum obat secara teratur.

4. Petugas kesehatan diharapkan mampu meningkatkan motivasi responden untuk meningkatkan perilaku minum obat secara teratur.

DAFTAR PUSTAKA

Center for Disease Control and Prevention: Guidelines for Preventing the Transmission of Mycobacterium Tuberculosis in Health-Care Fasilities, 1994.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005;Survei Prevalensi Tuberkulosis di Indonesia, Jakarta, 2005.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta. 2007.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TS, Indonesian Stop TB Initiative. Jakarta. 2006.

Harun Muharman, dkk,. Tuberkulosis Klinis. Widya Medika. Jakarta, 2001.

lrlanto, Bambang, Faktor - faktor yang Serhubungan dengan Kepatuhan Serobat penderita TB Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Wilayah Kecamatan Kejaksan kota Cirebon 2001; Program Sarjana. Program Studi IJmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia, Jakarta, 2002.

WIDYA

24

Tahun 25 Nomor 274 Juli 2008

KEDOKTERAN

Kadri, Ambun, Perllaku Pencarian Pengobatan Tersangka Penderita TS Paru di Wilayah Puskesmas Tanjung Paku Kota Solok Sumatera Barat (Studi Kualitatif Tahun 2005). Program Pasca Sarjana. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.

Masjoer Arif, dkk, Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III.

JiUdl'. Penerbit Medya Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.

Notoatmodjo, S,. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan IImu Perllaku, Penerbit Andi Offset, Cetakan Pertama, Yogyakarta. 1993.

Sudoyo. Aru, dkk,. Bu ku Ajar IImu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen IImu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2006.

Sutrisna, S. Motivasi dan Kepribadian 2, Teori Motivasi dan Pandangan Hirarki Kebutuhan Manusia. Terjemahan PT Pustaka Binaan Pressindo, Jakarta, 1993.

WIDYA

25

Tahun 25 Nomor 274 Juli 2008

Anda mungkin juga menyukai