Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

MYASIS HIDUNG

Oleh:
Putri Maharani
K1A1 15 107

Pembimbing:
dr. Nur Hilaliyah, M.Kes., Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA & LEHER
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama/ NIM : Putri Maharani / K1A1 15 107
Judul : Myasis Hidung
Bagian : Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan LeherFakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Agustus 2020


Pembimbing

dr. Nur Hilaliyah, M.Kes., Sp.THT-KL


NIP. 197440207 200212 2 003

2
Myasis Hidung
Putri Maharani, Nur Hilaliyah
A. PENDAHULUAN
Hidung merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai alat pernapasan dan indera
penciuman untuk mengenali lingkungan sekitar sebagai salah satu organ pelindung tubuh
terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.1
Miasis berasal dari bahasa Yunani (myia, yang berarti lalat) pertama kali diperkenalkan
oleh Hope pada tahun 1840 untuk menunjukkan suatu keadaan penyakit yang disebabkan oleh
infestasi larva lalat dari ordo Diptera pada manusia atau vertebrae hidup dan memakan
jaringan mati atau hidup serta cairan tubuh atau makanan yang ditelan oleh hospesnya.2
Miasis ini banyak ditemukan pada negara-negara tropis dan subtropis seperti Afrika dan
Amerika. Diantara lalat penyebab myiasis didunia, lalat Chrysomya bezziana mempunyai
nilai medis yang penting karena larvanya bersifat obligat parasit. Infestasi myiasis pada
jaringan akan mengakibatkan berbagai gejala tergantung pada lokasi yang dikenai. Larva yang
menyebabkan myiasis dapat hidup sebagai parasit dikulit, jaringan subkutan, soft tissue,
mulut, traktus gastrointestinal, sistem urogenital, hidung, telinga dan mata. Higine yang buruk
dan bekerja pada daerah yang terkontaminasi, melatarbelakangi infestasi parasit ini.3,4
Penyakit ini sering ditemukan pada negara-negara masyarakat golongan sosial ekonomi
rendah myiasis pada hidung endemik terutama negara Afrika dan Amerika di daerah tropis
maupun subtropik, terutama pada musim panas. Di Indonesia Sulawesi, Sumba Timur, Pulau
Lombok, Sumbawa, Papua dan Jawa telah dilaporkan sebagai daerah endemik. Sebagian
besar pasien adalah berusia diatas 60 tahun dengan rasio perempuan : laki-laki adalah 1 : 1.5,6

B. ANATOMI HIDUNG
1. Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung bagian luar menonjol pada
garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian
mulai dari atas ke bawah: kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus
hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar berbentuk seperti piramid dengan
bagian – bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung

3
(dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung
(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) ,
2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior
kartilago septum.7

Gambar 1.Anatomi Hidung Luar8

2. Hidung Dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah
anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan
konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus
inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan
sebelah atas konka media disebut meatus superior.9

4
Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam8
a. Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum
(kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior
oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista sfenoid.9
b. Kavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari : 9
a) Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal
os palatum.
b) Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis o smaksila, korpus osetmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar
atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
c) Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari

5
osetmoid, konka inferior, lamina perpendikularisos platinum dan lamina
pterigoideus medial.
d) Konka
Fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut
meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema)
yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa
lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada maksila bagian superior dan palatum.
c. Meatus Superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.9
d. Meatus Media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang
letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit
yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk
bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah
satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya
bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai
ostium tersendiri di depan infundibulum.9

6
e. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara
duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas
posterior nostril.9
f. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,
berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior
bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os
vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus. Di bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks
prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam
tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian
prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian
inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh
pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan
lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang
menghasilkan sel-sel goblet.9

3. VASKULARISASI RONGGA HIDUNG


Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung a.palatina mayor an a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung
posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomose dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach (Little's area). Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera

7
oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama
pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dengan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermauara ke v.oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.

Gambar 3.Vaskularisasi Hidung.8

Septum nasi mendapat suplai darah dari :


a. Ramus Sphenopalatinus yang dipercabangkan oleh arteri maksilaris
b. Ramus Ethmoidalis anterior dan ramus ethmoidalis posterior yang dipercabangkan
oleh arteri frontalis
c. Ramus Ascendens, cabang dari arteri palatine mayor.
d. Ramus labialis superior, yang dipercabangkan oleh arteri facialis.9

8
Daerah vaskularisasi dinding lateral dibagi menjadi empat kuadran yaitu:
a. Kuadran antero-superior, mendapat suplai darah dari ramus ethmoidalis anterior
yang dipercabangkan oleh arteri ophtalmica.
b. Kuadran antero-inferior, mendapat aliran darah dari arteri infraorbitalis, ramus
labialis superior, cabang dari arteri facialis, dan dari ramus palatinus mayor, suatu
cabang dari arteri maksilaris.
c. Kuadran postero-superior, mendapat suplai darah dari ramus nasalis posterior
lateralis (cabang dari arteri maksilaris).
d. Kuadran postero-inferior, mendapat suplai darah dari cabang-cabang arteri palatine
mayor dan arteri sphenopalatina (cabang dari arteri maksilaris).9

4. Innervasi Rongga Hidung

9
Permukaan luar hidung dipersarafi oleh n. nasociliaris dan n. infraorbitalis. Septum
nasi mendapat persarafan dari cabang n.ethmoidalis anterior di bagian antero-superior
dan dari n.sphenopalatinus yang dipercabangkan oleh ganglion sphenopalatina di bagian
postero-inferior. Dinding lateral di bagi menjadi 4 kuadran sesuai dengan vaskularisasi
yaitu:
a. Kuadran antero-superior dipersarafi oleh n. ethmoidalis anterior
b. Kuadran antero-inferior dipersarafi oleh n. dentalis superior-anterior
c. Kuadran postero-superior dipersarafi oleh ramus nasalis posterior lateralis cabang
dari ganglion sphenopalatinum
d. Kuadran postero-inferior dipersarafi oleh ramus nasalis posterior inferior yang
dipercabangkan oleh n. palatinus mayor17

Gambar 5.Innervasi hidung.8

C. FISIOLOGI HIDUNG 7
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi hidung dan
sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengukur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme immunologic local.
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu
naik ke atas menuju konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring.
Aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.

10
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas
udara hampir penuh dengan uap air, sehingga sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut
lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya
Pada suhu udara yang melalui hidung diatur agar mencapai suhu berkisar 37oC. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur
yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi, sillia, dan palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel-partikel yang besarakan dikeluarkan dengan reflex bersin3.
2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfactorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu.
Fungsi hidung akan membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis
yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberri, jeruk,
pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam
jawa.
3. Fungsi fonetik yang dapat berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran sendiri melalui konduksi tulang.
Resonansi hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk
oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
4. Fungsi static dan mekanik untuk meningkatkan beban kepala, proteksi terhadap trauma
dan pelindung panas.
5. Reflex nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung dan pankreas.

D.DEFINISI

11
Myiasis pada hidung adalah infestasi pada rongga hidung oleh lalat yang bertelur baik
secara langsung dalam rongga hidung atau di sekitarnya pada manusia saat sedang tidur.2
Miasis adalah infestasi atau invasi larva lalat diptera, baik pada organ tubuh atau jaringan
manusia maupun hewan vertebrae. Miasis biasanya menyerang hewan ternak, seperti domba,
kambing, sapi dan vertebrae lainnya. Pada manusia, infestasi larva lalat diptera terjadi pada
luka yang bernanah, luka terbuka, terutama jaringan nekrotik dan dapat mengenai setiap
lubang atau rongga seperti mata, telinga, hidung, mulut, vagina dan anus.Insidensi miasis
hidung sangat jarang terjadi dibandingkan miasis kulit.6

E. KLASIFIKASI MIASIS 4
1. Berdasarkan Etiologi
a. Miasis Spesifik (Miasis Obligatori), miasis yang berkembang pada jaringan atau
manusia yang hidup.
b. Miasis semi spesifik (Miasis Fakultatif), parasit ini dapat tumbuh pada jaringan yang
hidup atau yang mati.
c. Miasis Akidental (Miasis Accidental), telur dari lalat akan masuk kedalam tubuh
melalui makanan yang sudah terkontaminasi.
2. Berdasarkan Jaringan Yang Terkena
a. Kutan, jaringan mukokutan, mata, hidung dan telinga. Larva masuk ke jaringan
menimbulkan berbagai macam kelainan mulai dari iritasi, pruritus sampai invasi ke
organ-orang yang lain.
b. Intestinal, lalat betina menempel pada makanan atau minuman kemudian bertelur lalu
bisa berubah menjadi larva, kemudian makanan/minuman tersebut tertelan oleh
manusia atau hewan lain.
c. Tempat-tempat lain, pernah dilaporkan ditemukannya larva di urin, vagina, dan paru-
paru (inhalasi secara tidak sengaja dari lalat dewasa betina gravid atau melalui telur
yang berterbangan)

F. ETIOLOGI 3,10,11,12
Myiasis adalah infestasi larva lalat pada jaringan tubuh hewan yang masih hidup,
disebabkan oleh larva lalat fakultatif dan atau obligat. Kejadian myiasis di Indonesia

12
teridentifikasi disebabkan oleh larva lalat : Chrysomia benziana, Booponus intonsus, Lucillia,
Calliphora, Musca dan Sarcophaga. Genus Chrysomia yang memegang perananan penting
dalam kasus myiasis yaitu Chrysomia megacephala dan Chrysomia benziana.
Berdasarkan sifatnya maka larva tersebut dibedakan menjadi : a) fakultatif parasit yaitu
larva secara normal hidup bebas dan mampu berkembang pada bahan-bahan organik yang
busuk, tetapi larva tersebut dapat dijumpai pada hewan hidup dimana mampu berkembang
dan selanjutnya dapat bertindak sebagai parasit untuk kelangsungan hidupnya. Terdiri dari
Blowflies, misalnya: Larva dari Lucilia, Phormia, Calliphora dan Chrysomyia. b) Obligat
Parasit yaitu larva secara normal membutuhkan jaringan induk semangnya sebagai makanan
dalam perkembangbiakannya terdiri dari: Bot Flies, misalnya, Larva dari Hipoderma bovis
dan H. lineatum. Screw worm misalnya, Larva dari Callitroga hominivorax, C. macellaria
dan bezziana lalat yang paling umum bertanggung jawab menyebabkan nyiasis hidung.

Gambar6.Morfologi Tubuh Lalat 12

Lalat dewasa C. bezziana berwarna metalik hijau atau biru. Wajah lalat ini biasanya
berwarna kuning dengan lembut bulu-bulu kuning halus, panjang lalat dewasa berkisar antara
8 dan 12 mm. Tidak ada tanda-tanda makroskopik yang khas untuk dapat mengenalinya
dengan kasat mata sehingga identifikasi hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan
mikroskopik.11.12
Telur C. bezziana berwarna putih transparan dengan panjang 1,25 mm dan berdiameter
0,26 mm, berbentuk silindris serta tumpul pada kedua ujungnya. Larva C. bezziana terbagi

13
menjadi tiga instar, yaitu L1, L2, dan L3. Larva ini mempunyai 12 segmen, yaitu satu segmen
kepala, tiga segmen torak, dan delapan segmen abdominal. Ketiga instar tersebut dapat
dibedakan dari panjang tubuh dan warnanya. Panjang L1 adalah 1,6 mm dengan diameter
0,25 mm dan berwarna putih, sedangkan L2 mempunyai panjang 3,5-5,5 mm dengan diameter
0,5-0,75 mm dan berwarna putih sampai krem. Adapun panjang L3 mencapai 6,1-15,75 mm
dengan diameter 1,1-3,6 mm. L3 muda berwarna krem namun jika telah dewasa berwarna
merah muda.5 Larva mempunyai kait-kait dibagian mulutnya berwarna coklat tua atau coklat
orange. Larva mempunyai cacing yang mempunyai 11 segmen dengan kait-kait anterior
berlokasi pada segmen kedua dan kait-kait posterior berlokasi pada segmen terakhir. Larva
juga memiliki tanduk yang dapat mengelilingi setiap segmen tubuhnya. Kait-kait anterior
memiliki 4-6 bibir.11,13
Siklus hidup C. bezziana berkisar 9-15 hari dan lalat betina bertelur 150-200 telur
sekaligus. Telur diletakkan di luka dan selaput lendir dari mamalia hidup dan akan menetas
setelah 24 jam pada suhu 30C. Setelah 12-18 jam, larva stadium I muncul dari dalam telur dan
bergerak dipermukaan luka atau pada jaringan yang basah. Larva ini berubah menjadi larva
stadium II setelah 30 jam dan larva stadium III setelah 4 hari. Larva stadium I berwarna putih
dan memiliki ukuran panjang 1,5 mm, larva stadium II berukuran 4-9 mm dan larva stadium
III berukuran 18 mm. Larva stadium II dan III menembus jaringan hidup dari host dan hidup
dari jaringannya. Pada saat makan hanya kait-kait posterior yang tampak. Larva stadium III
meninggalkan luka setelah makan dan berubah menjadi pupa dan kemudian lalat dewasa.
Tahap pupa sangat tergantung dengan factor suhu, cuaca yang hangat akan menguntungkan
pertumbuhan. Tergantung pada suhu, tahap pupa dapat berlangsung dari 1 minggu sampai 2
bulan. Lalat jantan menjadi seksual dewasa setelah 24 jam meninggalkan puparium mereka,
sementara lalat betina memakan waktu sekitar 6-7 hari untuk menjadi sepenuhnya seksual
dewasa. Jika cuaca tropis (29C atau 84,2F), seluruh siklus hidup akan berlangsung sekitar 24
hari, namun pada suhu dingin (dibawah 22C atau 71,6F) siklus hidup dapat berlangsung
selama 2-3 bulan.11,13

14
Gambar 7.Siklus Hidup Chrymosomyia bezziana.11

G. PATOGENESIS 3,10
Pada usia tua biasanya telah terjadi kurangnya derajat penciuman yang dapat memfasilitasi
lalat untuk bertelur pada hidung. Faktor predisposisinya adalah rhinitis atrofi dan keganasan.
Myiasis pada hidung lebih sering terjadi pada orang yang menderita rhinitis atrofi, yaitu
penyakit hidup kronis dengan etiologi yang tidak diketahui, ditandai dengan progresif atrofi
mukosa hidung dan tulang yang mendasari dan adanya sekresi kental yang cepat mengering
dan membentuk krusta yang memberikan karakteristik bau busuk yang disebut ozaena. Pada
rhinitis atrofi, sensasi sensorik berkurang sehingga pasien dapat tidak menyadari lalat hinggap
pada krusta atau cairan hidung.3,10
Lalat betina tertarik pada lesi bernanah atau cairan yang berbau, dan meletakkan telurnya
kurang lebih 200 butir, yang kemudian dalam waktu 24 jam menetas menjadi larva. Lalat
dewasa tidak dapat bertelur dalam dua lubang hidung, namun migrasi larva dalam lubang
hidung lain melalui koana dapat terjadi. Telur ini dapat pula berpindah ke tempat lainnya pada
tubuh manusia dengan jari pasien sendiri terlebih lagi dengan higenitas yang buruk ataupun
hilang dengan bersin atau saat menggaruk.10
Setelah telur lalat menetas, larva akan masuk lebih dalam dengan kait tajam pada mulut
dan duri halus intersegmental yang akan mengikis jaringan dan melukai pembuluh darah
sekitar serta membuat terowongan di dalam jaringan sehingga akan memperparah kerusakan.

15
Larva menghasilkan toksin yang dapat merusak jaringan hostnya. Sekresi enzim proteolitik
oleh bakteri di sekitarnya akan menguraikan jaringan menjadi jaringan nekrotik termasuk
allontoin, amonia, dan kalsium karbonat yang akan dimakan oleh larva. Interaksi dari enzim
dan toksin bakteri-larva dapat pula menyebabkan erosi pada tulang.
Efektivitas dari aktifitas larva tampak dari hasil stimulasi jaringan granulasi oleh aktivitas
fisik larva yang selalu bergerak untuk mendapatkan makanan dari jaringan nekrotik. Terdapat
peningkatan eksudat serosa, yang juga didorong oleh efek iritan dari aktivitas larva. Nekrotik
jaringan terus berlangsung diikuti dengan invasi dan pertumbuhan larva hingga membentuk
lesi berbentuk gua yang besar. Dapat timbul tanda klinis 2 hari setelah infestasi seperti
perdarahan dari lesi, jaringan sekitarnya menjadi tegang, edema dan bau busuk yang
menyengat.

H. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala umum dari myiasis hidung diantaranya adalah:
1. Obstruksi nasal
2. Nyeri wajah
3. Nyeri kepala
4. Sekret purulen atau mukopurulen
5. Epistaksis
6. Bau yang sangat tidak tertahankan dari hidung pasien
7. Sensasi gerakan benda asing dalam hidung, dan
8. Anosmia
Gejala penyertanya diantaranya demam, anoreksia, dan mudah lelah. Pada satu studi 20%
dari 252 pasien dilaporkan adanya riwayat ulat keluar dari hidung. Gejalanya mirip dengan
gejala alergi atau rhinosinusitis. Hal ini terjadi jika ulat jatuh ke tenggorokan yang kemudian
bermanifestasi sebagai batuk, laringospasme, dyspnea, dan stridor.2,4

I. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Tanda-tanda myiasis hidung biasanya berkaitan dengan keberadaan dan pergerakan
larva, yang meliputi sensasi adanya benda asing, dengan atau tanpa sensasi gerakan,

16
hidung dan wajah menjadi edema dan eritem yang dapat meluas ke dahi dan bibir, adanya
noda darah atau cairan mukopurulen, berbau busuk dan anosmia. Terjadi obstruksi hidung
sehingga bernapas melalui mulut dan suara sengau. Dapat menjadi epistaksis dan mungkin
ada ulat yang keluar dari hidung. Jika belatung jatuh ke dalam tenggorokan dapat
bermanifestasi sebagai batuk, laringospasme, dispnea, dan stridor.2,4
2. Pemeriksaan Fisik
a. Rhinoskopi Anterior
Pemeriksaan Rhinoskopi tampak edema, ulserasi membran mukosa yang berisi
material nekrotik dan belatung. Dapat pula tampak perforasi septum, palatal, ataupun
keduanya pada pasien. Sekret mukopurulen berbau busuk. Pada kasus yang lanjut
dapat menyebabkan sumbatan duktus nasolakrimalis. Ulat dapat menyerap ke dalam
sinus atau menembus ke intrakranial. Pemeriksaan Rhinoskopi mungkin tidak hanya
mengkonfirmasi diagnosis tetapi juga dapat digunakan untuk mengobati pasien,
membantu dalam mengeluarkan belatung dengan forcep. 2,10,11

Gambar 7. Pemeriksaan Rhinoskopi Anterior.6

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Nasoendoskopi 2,10
Dapat memperlihatkan keadaan rongga hidung lebih jelas. Tampak jaringan nekrotik
luas berisi kelompok belatung. Kadang-kadang, larva tidak dapat terlihat karena
mereka fotofobik dan cenderung bersembunyi dibagian terdalam dari rongga hidung
ke tuba eustachius.

17
Gambar 9.Endoskopi Intranasal.14

b. CT-Scan
Pada CT-Scan berguna untuk mengevaluasi tingkat kerusakan tulang dan invasi jaringan.
CT-Scan potongan aksial dapat terlihat bayangan bulat yang bersegmen-segmen di dalam
sinus paranasal. Gambaran CT Scan yang paling sering ditemukan pada pasien miasis
yaitu gambaran inflamasi atau edema mukosa rongga hidung destruksi tulang dan invasi
jaringan. Gambaran radiologi CT Scan yang sering didapatkan adalah gambaran
hipolusen melingkar.3,6

Gambar 10. Gambaran CT-Scan.6

18
J. TATALAKSANA
Prinsip penatalaksanaan miasis adalah dengan menghilangkan faktor penyebab miasis
disertai pengeluaran larva yang ada. Pengangkatan larva hidup secara manual umumnya tidak
sulit dilakukan, namun untuk larva yang tidak dapat dijangkau secara manual
direkomendasikan dengan penggunaan endoskopi.6
A. Terapi Lokal
Beberapa terapi topikal yang direkomendasikan pada kasus miasis, diantaranya seperti
aplikasi minyak terpentin, kloroform, dekstrosa, larutan iodin, dan larutan salin normal
untuk membantu pengangkatan larva. Terapi topikal ini dapat digunakan baik secara
tunggal maupun kombinasi.6
B. Terapi Medikamentosa
- Seftriakson 2x1 gr intravena
- Metronidazole 3x500 mg intravena
- Asam mefenamat 3x500 mg tablet.
Setelah itu, dilakukan ekstraksi dan eksplorasi debridemen kavum nasi di ruang operasi
dengan anestesi umum dan dilanjutkan dengan membuang jaringan nekrotik serta irigasi
menggunakan H2O2 3% dan larutan povidon iodine yang diencerkan dengan NaCl 0,9%.6
C. Terapi Antibiotik
Diberikan terapi sistemik antibiotik spektrum luas bila dijumpai adanya infeksi
sekunder dan untuk mencegah infeksi sekunder.6
- Ampilisilin 250-500 mg tiap 6 jam
- Amoksisilin 250-500 mg tiap 8 jam

Gambar 11. Larva yang berhasil di ekstraksi.6

19
K. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dapat terjadi selama infestasi pada rongga hidung. Apabila tidak
diobati maka larva dapat bergerak ke atas dan masuk ke saluran air mata, selanjutnya merusak
tulang rawan dan tulang septum, menghancurkan os nasal dan os frontal. Komplikasi ini dapat
berupa selulit pada wajah, ulserasi dinding faring posterior, perforasi septum nasi dengan
gambaran hidung pelana atau saddle nose, perforasi palatal, perforasi periorbital dengan
edema ringan tanpa adanya diplopia. Selain itu, larva dapat masuk ke dalam paranasal bahkan
dalam kasus yang ekstrim dapat menyebabkan penetrasi ke dalam sistem saraf pusat,
menembus dasar tengkorak dan menyebabkan meningitis sampai kematian, dengan tingkat
kematian hingga 1,19%. Setelah belatung telah dikeluarkan, semua pasien di sarankan untuk
operasi korektif untuk perforasi palatal, perforasi septum nasi, maupun perforasi periorbital.
Namun sebagian besar pasien tidak setuju untuk dilakukan tindakan.2,3,6

Gambar 9. Pasien dengan Perforasi Septal.16

L. PROGNOSIS
Prognosis myiasis hidung baik jika perawatan dilakukan dengan benar. Dua bulan setelah
operasi endoskopi, tidak ada tanda-tanda kekambuhan pada pasien. Dalam sebuah penelitian,
80% pasien yang menolak pengobatan memiliki myiasis hidung berulang.3,5

M. PENCEGAHAN
Pencegahan myiasis hidung memerlukan pengendalikan populasi lalat dan perlindungan
terhadap pasien dengan hambatan fisik. Efisiensi dalam pembuangan limbah dilengkapi

20
dengan insektisida dapat meminimalkan populasi lalat. Menutup jendela dan pintu dengan
rapat serta meningkatkan hygienitas juga akan mengurangi kontak antara lalat dengan pasien.
Metode Sterile Insect Technique (SIT) yaitu pelepasan lalat jantan yang disterilisasi dengan
teknik radiasi dan pengembangan pemikat lalat (attaraktan) juga masih dilakukan dan
menunjukkan hasil yang cukup memuaskan.4,10,11

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Tangkelangi, RA. Tumbel, ER. Mengko, KS. Kesehatan Hidung Masyarakat di


Komplek Perumahan TNI di Lanudal Manado. Jurnal e-clinal. 2016;4(2):1-5

2. Francesconia F, Lupi O. Myiasis. Journal ASM. 2012;25(1):79-105

3. Wu C J. Nasal Myiasis in a Bedridden Patient and Literature Review. Journal Medical


Science. 2012;4(2):39-41

4. Widyaningsih I. Supriyono B. Miasis. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2015;2(3):1-


5

5. Lee TY. Nasocomial Nasal Myiasis in an Intubated Patient. Journal of the Chinese
Medical Association. 2011;2(1):369-71

6. Zuleika P. Penatalaksanaan Tiga Kasus Miasis Hidung di Bagian Ilmu Kesehatan


THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan. 2015;2(3):325-31. Available from:
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jkk/article/view/2842

7. Soetjipto, D. Mangunkusomo, E. Wardani, RS. Hidung. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th ed. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2007. h. 96-100

8. Netter, Frank H. 2014. Atlas Of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC

9. Punagi, Abdul Qadar. Epistaksis Diagnosis dan Penatalaksanaan Dini.DiGi Pustaka.


2016. Available from:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/EPISTAKSIS-QP-
SISTEM-TRAUMATOLOGI.pdf

10. Ranga RK, Yadaf SP, Goyal A, Agrawal A. Endoscopic Management of Nasal
Myiasia. A 10 Years Experience. A Case series. 2013;2(1): 58-60

11. Wardhana AH. Chrysomya Bezziana Penyebab Myiasis pada Hewan dan Manusia
Permasalahan dan Penanggulangannya. Balai Penelitian Veteriner. 2006;1(1):146-59

12. Pudjiatmoko Drh. Manual Penyakit Hewan Mamalia. 2th ed. Jakarta : Subdit
Pengamatan Penyakit Hewan, 2014. h.418-430

13. Spradbery JC. Life Cycle In A Manual for the Diagnosis of Srew-worm Fly.
Commonwealth of Australia. 2002;1(1):4-8

22
14. Baptista MAFB. Nasal Myiasis. The New England Journal of Medicine. 2015;1(1): 17

15. Manfirm A M, et.al. Nasal Myiasis.Original Article. 2009; 1(1):356-361. Available


from:
https://www.internationalarchivesent.org/conteudo/acervo_eng.asp?id=409

16. Arora S, et al. Clinical Etiology of Myiasis in ENT: a Retrogade Period Interval Study.
Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. 2009;4(2)356-61 Available from:
https://www.researchgate.net/publication/26711846_Clinical_etiology_of_myiasis_in
_ENT_A_reterograde_period_-_Interval_study

17. Hendra FN. . Struktur, Morfologi, Lokalisasi, Vaskularisasi Dan Innervasi Sistem
Respirasi. 2017. Available from:
https://docplayer.info/36760101-Struktur-morfologi-lokalisasi-vaskularisasi-dan-
innervasi-sistem-respirasi-dr-faqi-nurdiansyah-hendra.html

23

Anda mungkin juga menyukai