Anda di halaman 1dari 49

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

RHINOSINUSITIS KRONIK KOMPLIKASI ORBITA

OLEH :
Epi Pitria La Ongki, S.Ked (K1A1 14 101)
Zulfikri Saleh Islami, S.Ked (K1A1 15 049)

Pembimbing:
dr. Nur Hilaliyah, M.Kes., Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama/ NIM : Epi Pitria La Ongki, S.Ked / K1A114101
Zulfikri Saleh Islami, S.Ked / K1A115049
Judul : Rinosinusitis Kronik Komplikasi Orbita
Bagian : Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, November 2020


Pembimbing

dr. Nur Hilaliyah, M.Kes., Sp.THT-KL


NIP. 197440207 200212 2 003

2
RINOSINUSITIS KRONIK KOMPLIKASI ORBITA
Epi Pitria La Ongki, Zulfikri Saleh Islami, Nur Hilaliyah

A. PENDAHULUAN
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter
sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan
tersering di seluruh dunia. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa
sinus paranasl, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering
disebut rinosinusitis.1
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering
terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang
dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena
menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta menyebabkan
peningkatan serangan asma yang sulit diobati.1
Rinosinusitis merupakan suatu penyakit peradangan mukosa yang melapisi
hidung dan sinus paranasalis. Rinosinusitis adlah istilah yang lebih tepat karena
sinusitis jarang tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan inflamasi mukosa
hidung. Inflamasi sering bermula akibat infeksi bakteri, virus, jamur, infeksi
dari gigi, serta dapat pula terjadi akbat tumor dan fraktur. Rinosinusitis dibagi
atas 3 kriteria yaitu rinosinusitis akut yang berlangsung selama empat minggu,
rinosinusitis sub akut yang berlangsung selama antara empat sampai dua belas
minggu, dan rinosinusitis kronik yang berlangsung lebih dari dua belas
minggu. Rinosinusitis kronik didefinisikan sebagai peradangan yang terjadi
pada mukosa cavum nasi dan sinus paranasalis.2
Komplikasi yang disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik dapat
berupa komplikasi lokal (mukokel, osteomielitis), komplikasi orbita dan
komplikasi intrakranial. Komplikasi orbita umumnya terjadi akibat perluasan
infeksi rinosinusitis akut pada anak sedangkan pada anak yang lebih besar dan
orang dewasa dapat disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik. 3
Laporan Rinosinusitis kronik memiliki prevalensi yang tinggi di masyarakat.

3
Di Eropa diperkirakan sekitar 10-15% menderita penyakit rinosinusitis.
Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikit pernah mengalami episode
rinosinusitis dan sekitar 15% diperkirakan menderita rinosinusitis kronik.2

B. ANATOMI HIDUNG
1. Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian mulai dari atas ke bawah: kubah tulang yang tak
dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar berbentuk seperti piramid dengan bagian –
bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung
(dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6)
lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang
dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot
kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.4

4
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar5
2. Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding
lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah
antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior,
berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan
sebelah atas konka media disebut meatus superior.6

Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam5


a. Septum Nasi

5
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri.
Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian
anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela
membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila,
krista palatine serta krista sfenoid.6
b. Kavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari :6
a) Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan
prosesus horizontal os palatum.
b) Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis o smaksila, korpus osetmoid, dan korpus os
sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa
yang dilalui oleh filament-filamen olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
c) Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis
os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang
merupakan bagian dari osetmoid, konka inferior, lamina
perpendikularisos platinum dan lamina pterigoideus medial.
d) Konka
Fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ;
celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus
inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut meatus media,
dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-
kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas.
Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa
lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.

6
c. Meatus Superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.
Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior
melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas
belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus
sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.6
d. Meatus Media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik
bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding
lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai
infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus.6
Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang
dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum
maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum.
Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian
anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal
mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.6
e. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3
sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.6
f. Nares

7
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi
dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri
septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina
horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh
prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.
Di bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris
merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk
piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan
puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus
alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian
inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk
oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui
ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi
sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.6
3. Sinus paranasal
Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium)
ke dalam rongga hidung. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari
invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus
usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan
sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai
besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.1

a. Sinus Maksila

8
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 mlsaat dewasa.
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksimal yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.1
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih
besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis
tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus
frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran
sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2
cm.sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fosa cerebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar
ke daerah ini. Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak di
resesus frontal, yang behubungan dengan infundibulum etmoid.1
c. Sinus Etmoid
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5
cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di
bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang
menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os
etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior

9
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior.1
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka
media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus
etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlanya dan
terletak di posterior dari lamina basalis. Dibagian terdepan sinus etmoid
anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila.1
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang
sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian
belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.1
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan
lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid
akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
identasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya ialah, sebelah
superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a. karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons.1

10
Gambar 3. Anatomi Sinus Paranasalis5

Gambar 4. Anatomi Sinus Paranasalis (Potongan Coronal)5

11
Gambar 5. Anatomi Sinus Paranasalis5

4. Vaskularisasi rongga hidung


Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung a.palatina mayor an a.sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan
hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis.4
Pada bagian depan septum terdapat anastomose dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor,
yang disebut pleksus Kiesselbach (Little's area). Pleksus Kiesselbach

12
letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.4
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dengan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermauara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan
faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.4

Gambar 5. Vaskularisasi Hidung.5

Gambar 6. Vaskularisasi Hidung.5


5. Innervasi Rongga Hidung

13
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang
berasal n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila
(N.V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.4

Gambar 7.
Innervasi hidung.5

C. FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
hidung dan sinus paranasal adalah:

14
1. Fungsi respirasi untuk mengukur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme immunologic local. Udara inspirasi masuk ke hidung menuju
sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas menuju konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami
humidifikasi oleh palut lendir.3
Pada musim panas udara hampir penuh dengan uap air, sehingga sedikit
penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin
akan terjadi sebaliknya. Pada suhu udara yang melalui hidung diatur agar
mencapai suhu berkisar 37oC. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka
dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup
bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi, sillia, dan palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel-partikel yang besarakan dikeluarkan dengan reflex
bersin.3
2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfactorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu. Fungsi hidung akan membantu indra
pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai
macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberri, jeruk, pisang atau
coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam
jawa.3
3. Fungsi fonetik yang dapat berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi
hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses
pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole.
Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.3

15
4. Reflex nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa
hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau
tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.4

D. DEFINISI
Rinosinusitis kronik adalah suatu penyakit inflamasi dan infeksi dari sinus
paranasal dengan karakteristik 5 gejala mayor yang telah terjadi setidaknya
selama 12 minggu: kongesti nasal, terasa sakit atau tertekan pada wajah,
obstruksi nasal, adanya sekret di hidung bagian anterior dan posterior, serta
menghilanganya daya penciuman. Secara objektif rinosinusitis kronik dapat
disertai dengan polip nasi, produksi mukus yang tidak berwarna, dan nanah
atau inflamasi di meatus media.8

E. EPIDEMIOLOGI
Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 14,1 % dari
populasi orang dewasa. Menurut American Academy of Otolaringology,
kondisi ini menghabiskan langsung dana kesehatan sebesar 3,4 milyar dolar per
tahun. Kasus rinosinusitis kronis itu sendiri yang sudah masuk data rumah sakit
berjumlah 18 sampai 22 juta pasien setiap tahunnya dan kira-kira sejumlah
200.000 orang dewasa Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap
tahunnya juga. Data dari Kemenkes RI tahun 2013 menyebutkan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit
peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.9
Terdapat beberapa komplikasi yang disebabkan oleh rinosinusitis kronik,
antara lain kelainan orbita, kelainan intrakranial, osteomielitis dan kelainan
paru. Komplikasi yang paling banyak ditemukan dari 73 kasus rinosinusitis
kronik adalah kelainan orbita yaitu sebanyak 7 kasus (9,6%). Dan kemudian
osteomielitis sebanyak 4 kasus (5,5%), kelainan intrakranial (1,4%) dan tidak
ditemukannya kelainan paru.10

F. ETIOLOGI

16
Etiologi dan Faktor predisposisi timbulnya rinosinusitis kronik ialah
obstruksi mekanik seperti deviasi septum, hipertropi konka media, benda asing
di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung yang dibiarkan terus
menerus tanpa penanganan pengobatan. Faktor predisposisi lain seperti
rangsangan yang menahun dari lingkungan berpolusi, udara dingin serta
kering, yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan
silia.9

F. PATOFISIOLOGI
Tiga faktor utama berperan pada fisiologi sinus paranasal adalah ostium
yang terbuka, silia yang berfungsi efektif dan pengeluaran sekret yang normal.
Retensi sekret dalam sinus paranasal dapat diakibatkan oleh obstruksi ostium,
penurunan jumlah atau fungsi silia atau produksi yang berlebihan atau
berubahnya viskositas sekret, diikuti dengan infeksi sekunder sehingga terjadi
peradangan mukosa sinus paranasal.12
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium dan lancarnya
klirens mukosiliar (muccociliary clearance) di dalam kompleks ostio-meatal
(KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernapasan. Organ-organ yang membentuk kompleks ostio-
meatal letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan
akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.
Akiatnya terjadi tekanan negatif di dalam rogga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai
rinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan.1
Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media
baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibioti. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa
main membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai

17
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista.1
Penyebaran infeksi rinosinusitis ke orbita dapat melalui penyebaran
langsung melalui defek kelainan bawaan, foramen atau garis sutura yang
terbuka, erosi tulang terutama pada lamina papirasea dan tromboflebitis
retrograd langsung melalui pembuluh darah vena yang tidak berkatup yang
menghubungkan orbita dengan wajah, kavum nasi, dan sinus paranasal. Sinus
paranasal berhubungan erat dengan orbita, dinding lateral sinus ethmoidal
adalah lamina papyracea, yang juga merupakan dinding medial "tipis" dari
orbita. Lantai orbita membentuk atap dari sinus maksilaris. Sinus frontal
terkadang juga meluas sampai ke atap orbita.10

G. MANIFESTASI KLINIS
Gejala RSK dapat bervariasi dan tumpang tindih sehingga seringkali dapat
menyebabkan perpanjangan proses diagnostik. Penyakit ini bukan merupakan
akibat dari kondisi patologis tunggal; oleh karena itu, penyakit ini mungkin
saja muncul secara tiba-tiba. Penyakit ini awalnya dapat muncul sebagai
infeksi saluran pernapasan atas akut atau sinusitis akut yang tidak membaik
atau dapat berkembang secara perlahan selama berbulan-bulan dengan gejala
nonspesifik. Namun, baru-baru ini telah ditentukan tanda dan gejala utama
RSK pada orang dewasa diantaranya:12
1. Drainase sekret mukopurulen anterior atau posterior
2. Nyeri pada wajah, rasa penuh, atau tertekan
3. Obstruksi hidung
4. Hilangnya indra penciuman
Penting untuk ditekankan bahwa batuk merupakan gejala kardinal keempat
pada anak-anak. Dapat juga disertai gejala nonspesifik seperti kelelahan, batuk,
halitosis, iritasi tenggorokan, nyeri di punggung hidung, dan disfonia. Tak satu
pun dari gejala ini cukup untuk membuat diagnosis tetapi dapat membantu kita
menemukan cara untuk mendeteksi proses patologis yang sedang berlangsung.
12

18
Penderita biasanya tidak menunjukkan keluhan yang akut dan berat, tetapi
mereka cenderung mengeluhkan masalah tersebut dalam jangka waktu yang
lebih lama. Mereka mungkin telah mendapatkan beberapa perawatan medis
yang umumnya berfokus pada eksaserbasi akut sedangkan penyakit yang
mendasari mungkin masih ada. Pemeriksaan fisik terperinci harus dilakukan
untuk mencari petunjuk proses patologis kronis seperti polip, drainase hidung
yang menetap, atau musin alergi. 12

H. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang disebutkan di atas. Hal ini penting terutama pada
RSK karena diperlukan pengetahuan kemungkinan faktor penyebab yang
lain selain inflamasi itu sendiri. Adanya penyebab infeksi baik kuman
maupun virus, riwayat alergi atau kelainan anatomis di dalam rongga hidung
dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Penderita
dengan latar belakang alergi mempunyai riwayat yang khas terutama
karakteristik gejala pilek sebelumnya, riwayat alergi dalam keluarga serta
adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi.13 Informasi lain yang perlu
berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan,
lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat
pengobatan yang sudah dilakukan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif
yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:14
a) Obstruksi nasal
Keluhan obstruksi hidung pasien biasanya bervariasi mulai dari
obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh
daerah hidung dan sekitarnya. 14
b) Sekret (discharge nasal)
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip. 14

19
c) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan /
tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius. 14
d) Nyeri atau rasa tertekan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut,
pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif. 14
Kondisi komorbiditas juga harus didapatkan karena pengobatan
komorbiditas dapat menjadi terapi tambahan, terutama dalam kasus rinitis
alergi. Riwayat asma, alergi terhadap antiinflamasi nonsteroid dan aspirin,
dan temuan polip hidung dapat memberi petunjuk pada dokter terhadap
kemungkinan diagnosis penyakit pernapasan yang diperburuk aspirin atau
triad Samter. Riwayat infeksi sinus, pernapasan, dan telinga yang sering,
dapat memicu dimulainya pemeriksaan kemungkinan adanya defisiensi
imun. Paparan bahan kimia, terutama asap, tidak dapat diabaikan, karena hal
ini terbukti meningkatkan kejadian RSK.15
2. Pemeriksaan fisik
a) Rinoskopi anterior
Meskipun rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan yang sangat
terbatas, secara klinis seringkali dapat membantu dalam mendiagnosis.
Adanya cairan purulen yang keluar selama pemeriksaan dan perubahan
pada mukosa hidung seperti edema sekunder karena sekret menjadi
temuan utama penyakit ini. Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan
yang penting untuk membedakan sekret serosa pada rinitis alergi dan
infeksi virus dengan cairan purulen pada rinosinusitis.16 Kelainan-
kelainan di rongga hidung yang berkaitan dengan RS seperti hiperemi,
sekret, udem, krusta, septum deviasi, polip atau tumor juga dapat
dijumpai.13

20
b) Rinoskopi posterior
Rinoskopi posterior adalah pemeriksaan untuk melihat rongga hidung
bagian belakang dan nasofaring. Melalui pemeriksaan ini dapat diketahui
kelainan yang terdapat di belakang rongga hidung dan nasofaring seperti
post nasal drip dan lain-lain.13
3. Pemeriksaan penunjang
a) Transiluminasi
Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk
menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila
terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri. 14
b) Endoskopi nasal
Pemahaman akan pentingnya kompleks ostiomeatal pada sinusitis
kronik menjadikan pemeriksaan endoskopi nasal sebagai gold standard
dalam mendiagnosis penyakit ini. Pemeriksaan biasanya dilakukan
dengan menggunakan endoskopi 0 derajat. Endoskopi bersudut dapat
digunakan pada kasus tertentu. Pemeriksaan biasanya dilakukan secara
sistematis. Setelah endoskopi dimasukkan ke dalam hidung, dilanjutkan
ke turbinat bawah dan pengamatan diteruskan menuju koana dan
nasofaring. Endoskopi kemudian ditarik untuk mencapai turbinat tengah
dan area ini diperiksa. Endoskopi dimasukkan ke dalam meatus nasi
medius dan pemeriksaan daerah osteometal dilakukan dan jika perlu,
resesus sphenoethmoidal didorong ke anterior dan daerah posterior
diperiksa. 16

Gambar 8. Office video tower dan rigid endoskop.17

21
Selama pemeriksaan ini, perhatikan apakah terdapat variasi anatomi,
apakah variasi yang ada dapat menjadi predisposisi rinosinusitis, apakah
ada discharge atau tidak, jenis dan lokalisasi dischargenya, ada tidaknya
polip serta lokalisasinya, bila terdapat tumor, maka dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan struktur anatomi yang dapat memburuk
pada pasien yang telah menjalani operasi sebelumnya. Salah satu kriteria
diagnostik terpenting untuk rinosinusitis adalah pengamatan terhadap
keluarnya cairan purulen selama pemeriksaan endoskopi nasal. 16

Gambar 9. Koana kanan dan turbinat inferior, tampak


polip di posterior turbinat inferior. 16

Gambar 10. Turbinat medius kiri. 16

22
Gambar 11. Purulen kuning tebal keluar dari kompleks
osteomeatal kiri.15

c) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah foto sinus paranasal
(Water’s,Caldwel dan lateral), CT scan dan MRI. Foto sinus paranasal
cukup informatif pada RSA akan tetapi CT scan merupakan pemeriksaan
radilogis yang mempunyai nilai objektif yang tinggi.13
 X-ray konvensional
Evaluasi sinus paranasal konvensional termasuk pandangan
berikut: Caldwell (untuk melihat sinus frontal dan ethmoid), Waters
(untuk sinus maksilaris), lateral (untuk dinding anterior dan superior
sinus frontal, maksila, dan sphenoid), dan verteks submental (untuk
sinus ethmoid dan sphenoid). Namun, evaluasi foto polos sinus
sebagian besar telah digantikan oleh CT karena keunggulan
modalitasnya untuk menunjukkan anatomi dan patologi sinonasal
dengan peningkatan paparan radiasi yang relatif kecil pada pasien.18
 CT-Scan
CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses
patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut
bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak
diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan
pembedahan.14

23
Indikasi pemeriksaan CT scan adalah untuk evaluasi penyakit lebih
lanjut apabila pengobatan medikamentosa tidak memberi respon
seperti yang diharapkan. Kelainan pada sinus maupun kompleks
ostiomeatal dapat terlihat dengan jelas melalui pemeriksaan ini.13
Baik CT maupun endoskopi nasal dapat memastikan adanya
peradangan dan harus didokumentasikan untuk memastikan diagnosis
sinusitis kronis. CT lebih sensitif tetapi juga lebih mahal daripada
endoskopi nasal. Rinoskopi anterior memiliki visualisasi yang terbatas
dan memiliki sensitivitas yang lebih rendah dan tidak boleh digunakan
untuk memastikan diagnosis sinusitis kronis.19
Pemindaian CT saat ini merupakan metode pilihan untuk
pencitraan sinus. Karena gejala RSK tidak berkorelasi baik dengan
temuan. Oleh karena itu, CT dan / atau dual endoskopi diperlukan
untuk menegakkan diagnosis. Selain memberikan visualisasi yang
sangat baik akan penebalan mukosa, air fluid level, dan struktur
tulang, pemindaian koronal memberikan visualisasi yang optimal pada
kompleks osteomeatal dan lebih bermanfaat pada ahli bedah dalam hal
perencanaan pembedahan. Sagittal view dapat membantu
menggambarkan anatomi sinus frontal dan mengkonfirmasi
keberadaan sel Onodi atau varian anatomi lainnya.18

24
Gambar 12. CT scan sinus koronal ditemukan kekeruhan
mendekati otal dari sinus frontal dan sinus ethmoid. Lapisan
sinus maksilaris menebal dan rongga hidung terisi oleh
jaringan lunak, yang dalam hal ini adalah polip hidung.15

Gambar 13. CT-scan koronal pasien dengan inverted


papilloma yang mengisi sinus maksilaris kiri. Perhatikan
resorpsi tulang dinding medial kiri sinus maksilaris. Terjadi
perluasan jaringan lunak dari sinus maksilaris ke rongga
hidung kiri.20
 MRI
Jika dibandingkan dengan CT scan, MRI sinus memberikan
resolusi kontras jaringan lunak dan karakterisasi jaringan yang lebih
baik. MRI memberikan diferensiasi yang lebih baik pada sekresi
obstruksi jinak dari tumor, dan dapat menjadi modalitas yang
membantu terhadap dugaan adanya perluasan orbital atau intrakranial.
Untuk alasan ini, MRI harus menjadi metode pencitraan pilihan dalam
mengevaluasi massa jaringan lunak, penyakit inflamasi sinus yang
rumit, dan perluasan patologi sinus intrakranial atau intraorbital.18

25
Gambar 14. MRI koronal T2-weighted fat
suppressed tampak penurunan intensitas sinyal /
kekosongan sinyal (panah hitam) pada sinusitis
alergi jamur. 20
d) Pemeriksaan histopatologi
Sampel biopsi biasanya akan menunjukkan gambaran membran basal
yang menebal, hiperplasia sel goblet, arsitektur kelenjar yang atipikal,
dan infiltrasi dengan monosit. Kadang-kadang dapat terlihat neutrofil dan
eosinofil pada kasus kronis.19

Gambar 15. Pewarnaan hematoksilin-eosin (pembesaran 103)


mukosa dinding hidung lateral menunjukkan peradangan
granulomatosa dengan sel raksasa berinti banyak (tanda bintang).20

26
e) Pemeriksaan penunjang lainnya

Tes alergi

Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar
mikroskop elektron dan nitrit oksida

Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri

Tes fungsi olfaktori: threshold testing

Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)14
4. Kriteria diagnosis
a) Definisi
Untuk menentukan peran infeksi dan antibiotik pada RSK, definisi
standar untuk RSK perlu digunakan. Definisi yang jelas hanya tersedia
sejak tahun 2003. Pedoman praktik klinis dari American Academy of
Otolaryngology – Head and Neck Surgery (AAO-HNS) diterbitkan pada
2007 dan diperbarui pada 2015. Definisi AAO-HNS 2015 tentang RSK,
RSA, dan RSA berulang tercantum dalam Tabel 1. RSK membutuhkan
setidaknya dua gejala selama 12 minggu ditambah temuan obyektif
peradangan dengan pemeriksaan atau studi radiologis.21

Tabel 1. Definisi kategori sinusitis 21,22


Istilah Definisi
Rinosinusitis (RS) Peradangan sinus paranasal dan cavum nasalis
yang simtomatik
Rinosinusitis Akut (RSA) Discharge nasal purulen (anterior, posterior
atau keduanya) disertai obstruksi nasal
(kongesti, blockage, stuffiness), nyeri-rasa
tertekan-rasa penuh pada wajah, atau keduanya
yang berlangsung ≤ 4 minggu
Rinosinusitis Kronik (RSK) Terdapat setidaknya 2 gejala berikut yang
berlangsung ≥ 12 minggu:
1. Discharge mukopurulen
2. Obstruksi nasal (kongesti)
3. Nyeri, tertekan atau penuh pada wajah
4. Menurunnya indera penciuman
DITAMBAH peradangan yang
didokumentasikan paling tidak 1 temuan pada

27
pemeriksaan berikut:
1. Mukus purulen atau edema pada meatus
media atau ethmoid anterior (nasal
endoskopi)
2. Polip di cavum nasi atau meatus media
(nasal endoskopi)
3. Pencitraan radiografik menunjukkan
peradangan sinus: penebalan mukosa,
opasifikasi sinus, air fluid level
Rinosinusitis akut rekuren ≥ 4 episode RSA berlangsung lebih 12 bulan,
(RSAR) tanpa gejala diantara episdoe
Rinosinusitis kronik Perburukan gejala mendadak pada pasien
eksaserbasi akut (RSKEA) dengan diagnosis RSK sebelumnya, yang
kembali ke baseline setelah pemberian terapi.
b) Kriteria diagnosis
Menurut Task Force yang dibentuk oleh American Academy of
Otolaryngic Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS),
rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan dua gejala mayor atau
lebih, atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor.23
Tabel 2. Kriteria dagnosis RSK17
Gejala Mayor Gejala Minor
 Nyeri wajah, rasa tertekan atau  Sakit kepala
penuh  Demam
 Kongesti atau penuh pada wajah  Halitosis
 Obstruksi atau sumbatan nasal  Fatigue
 Discharge nasal, purulen atau post  Nyeri gigi
nasal drips yang diskolorasi  Batuk
 Hiposmia atau anosmia  Nyeri telinga, rasa tertekan atau
 Terdapat purulen dalam cavum nasi penuh
I. TATALAKSANA
Tidak ada konsensus tentang pendekatan penatalaksanaan sinusitis kronis.
Perawatan harus berfokus pada modulasi pencetus, mengurangi peradangan,
dan memberantas infeksi.19
1. Mengontrol pemicu dan faktor predisposisi
Karena sinusitis kronis memiliki banyak faktor risiko dan potensi
etiologi, diterapkan pendekatan gabungan untuk mengontrol atau
memodifikasi faktor-faktor ini di dalam manajemen sinusitis kronis.24
a) Infeksi saluran pernapasan atas akibat virus
Kurangi paparan virus dengan meningkatkan personal hygiene. Peran
zinc dan vitamin C dalam pencegahan infeksi saluran pernapasan bagian

28
atas virus masih kontroversial. Pada 16 Juni 2009, Badan Pengawas Obat
dan Makanan AS (FDA) mengeluarkan pernyataan kesehatan masyarakat
dan memberi tahu konsumen dan penyedia layanan kesehatan untuk
menghentikan penggunaan produk zinc intranasal. Produk zinc intranasal
(Zicam Nasal Gel / Nasal Swab; Matrixx Initiatives) adalah obat flu
herbal yang diklaim dapat mengurangi durasi dan keparahan gejala pilek
dan dijual tanpa resep. FDA menerima lebih dari 130 laporan anosmia
(yaitu, ketidakmampuan untuk mendeteksi bau) yang terkait dengan zinc
intranasal. 24
b) Faktor lingkungan dan alergi
Faktor lingkungan dan / atau faktor alergi dapat mempengaruhi
beberapa individu untuk mengalami sinusitis kronis. Kurangi paparan
debu, jamur, asap rokok, dan bahan kimia iritan lingkungan lainnya. Pada
pasien dengan alergi hidung, terapi anti alergi lainnya, termasuk
antihistamin oral atau topikal, kromolin, steroid topikal, dan imunoterapi,
dapat mengurangi kekambuhan dan gejala rinitis alergi. Berhenti
merokok mungkin memainkan peran besar di dalam keberhasilan
perawatan medis dan bedah karena produk tembakau bekerja sebagai
iritan pada fungsi mukosa hidung dan silia yang normal. 24

c) Penyakit refluks gastroesofageal


Pasien dengan sinusitis kronis dewasa dapat menerima manfaat dari
pengendalian penyakit gastroesophageal reflux (GERD), yang semakin
terlibat dalam menyebabkan atau memperburuk penyakit pernapasan
seperti asma dan sinusitis kronis. Hubungan dan mekanismenya saat ini
masih dalam perdebatan. 24
d) Defisiensi imun
Kontrol yang tepat terhadap berbagai status imunodefisiensi bawaan
maupun didapat diperlukan untuk menyembuhkan sinusitis kronis. 24

e) Asma

29
Khusus untuk pasien dengan asma yang menyertai, inhibitor
leukotrien mungkin berperan. 24
2. Terapi simtomatik
a) Steroid intranasal harus digunakan dengan atau tanpa irigasi saline
hidung. Perawatan harus berlangsung setidaknya delapan hingga 12
minggu dengan penggunaan yang tepat. 19
b) Irigasi saline nasal lebih kurang manfaatnya daripada steroid intranasal.
Namun, irigasi salin nasal dapat berfungsi sebagai terapi tambahan yang
bermanfaat. Irigasi nasal dengan volume tinggi (150 cc) ternyata lebih
efektif daripada teknik semprot hidung dengan volume rendah (5 cc). 19
c) Antihistamin hanya boleh digunakan jika diduga ada faktor alergi.
d) Dekongestan dapat digunakan untuk meredakan gejala, tetapi bukti yang
mendukung penggunaannya masih kurang. 19
e) Steroid oral bisa digunakan. Namun, penggunaannya tidak diindikasikan
secara rutin. Jika steroid oral digunakan, dokter harus terlibat dalam
pengambilan keputusan bersama dengan pasien. 19
f) Terapi steroid oral awal yang diikuti dengan terapi steroid topikal
ditemukan lebih efektif daripada terapi steroid topikal saja dalam
mengurangi ukuran polip dan meningkatkan penciuman pada pasien
dengan RSK dengan setidaknya poliposis hidung sedang. Tingkat
keparahan semua gejala berkurang.24
3. Terapi antimikroba
Terapi medikamentosa bukanlah terapi utama pada RSK. Eliminasi
penyebab RSK seperti kelainan pada daerah KOM (kompleks ostiomeatal)
harus diupayakan agar tercapai hasil terapi yang memuaskan. Antibiotik bila
digunakan harus diberikan dalam jangka lebih lama yaitu 4-6 minggu, dan
sebaiknya dilakukan tes kepekaan kuman terlebih dahulu. Disamping itu
perlu evaluasi terhadap faktor penyebab lainnya seperti alergi dan penyakit
sistemik lainnya.13
Regimen antibiotik oral umumnya digunakan untuk mengobati sinusitis
kronis, karena kondisi ini utamanya dirawat dalam pengaturan rawat jalan.

30
Untuk kasus resisten, mungkin terapi antibiotik intravena dapat berperan.
Pilihan awal antimikroba yang sesuai biasanya bersifat empiris. Kultur sinus
umumnya tidak diperoleh pada infeksi yang didapat dari komunitas kecuali
jika terapi empiris gagal memperoleh respons. Agen yang dipilih harus
efektif melawan kemungkinan penyebab bakteri, termasuk patogen aerob
dan anaerobik. 24
Kemungkinan keterlibatan organisme penghasil beta-laktamase harus
dipertimbangkan. Jika Staphylococcus aureus yang resisten terhadap
methicillin (MRSA) adalah kemungkinan patogen, cakupan untuk ini harus
disertakan. Riwayat alergi obat (jika ada) dan biaya terapi juga harus
diperhitungkan. Selain itu, jika pasien telah menerima antibiotik selama 3
bulan sebelumnya, kelas antibiotik yang berbeda harus digunakan.24
Regimen terapeutik termasuk kombinasi penisilin (misalnya, amoksisilin)
ditambah penghambat beta-laktamase (misalnya, asam klavulanat),
kombinasi metronidazol ditambah makrolida atau sefalosporin generasi
kedua atau ketiga, dan kuinolon yang lebih baru (misalnya,
moksifloksasin) . Semua agen ini (atau yang serupa) tersedia dalam bentuk
oral dan parenteral. Antimikroba efektif lainnya hanya tersedia dalam
bentuk parenteral (misalnya, sefoksitin, sefotetan). Jika organisme gram
negatif aerob (misalnya, Pseudomonas aeruginosa) terlibat, terapi parenteral
dengan aminoglikosida, sefalosporin generasi keempat (sefepim atau
seftazidim), atau pengobatan oral atau parenteral dengan Florokuinolon
(hanya pada pasien pasca pubertas) ditambahkan. Terapi dengan
karbapenem (yaitu, imipenem, meropenem) lebih mahal tetapi menyediakan
cakupan untuk sebagian besar patogen potensial, baik anaerob maupun
aerob.24
Agen yang memberikan perlindungan untuk MRSA harus diberikan.
Beberapa pilihan termasuk tetrasiklin, trimetoprim-sulfametoksazol atau
linezolid, yang ditambahkan ke rejimen lain yang mencakup anaerob.
Antimikroba parenteral yang efektif melawan MRSA termasuk vankomisin,

31
linezolid, dan daptomisin. Agen biologis telah menjanjikan dalam
pengobatan sinusitis refrakter.24
Tabel 3. Antibiotik untuk rinosinusitis13
Antibiotik
Lini pertama
Amoksisilin 20-45 bid (anak-anak (mg/kg)) 500 mg tid (dewasa)
Kotrimoksazol 8-12 bid (anak-anak (mg/kg)) 160 mg/800 mg bid (dewasa)
Lini kedua
Beta-laktam
Sefrozil (Cefzil) 7,5-15 bid (anak-anak (mg/kg)) 250-500 mg bid (dewasa)
Sefuroksimasetil (Ceftin) 10-15 bid (anak-anak (mg/kg)) 250-500 mg (dewasa)
Sefpodoksim proksetil 5 bid (anak-anak (mg/kg)) 200-400 mg bid (dewasa)
Amoksisilin-klavulanat 40/10 bid (anak-anak (mg/kg)) 500 mg tid - 875 mg tid
(dewasa)

Makrolid
Klaritromisin 7,5 mg bid (anak-anak (mg/kg)) 500 mg bid (dewasa)
Azitromisin 10 mg hari 1 od kemudian 5 od (anak-anak (mg/kg)) 250 mg od
(dewasa)
Klindamisin 5-6 tid/qid (anak-anak (mg/kg)) 150-300 mg tid/qid

Fluorokuinolon (dewasa)
Siprofloksasin - 500-750 mg bid
Levofloksasin - 500 mg od
Gatifloksasin - 400 mg od
Moksifloksasin - 400 mg od

4. Manajemen Operasi
Perawatan bedah digunakan sebagai terapi tambahan pada beberapa
kasus. Perawatan bedah biasanya disediakan pada kasus-kasus yang
refrakter terhadap terapi medikamentosa dan pada pasien dengan obstruksi
anatomi. Temuan CT pra operasi sebelum operasi sinus mungkin
merupakan prediktor yang buruk outcome operasi.24
Tujuan dari terapi pembedahan adalah untuk memulihkan ventilasi sinus
dan untuk memperbaiki mucosal opposition dalam rangka memulihkan
kembali sistem pembersihan mukosiliar. Pembedahan berusaha untuk
mengembalikan integritas fungsional dari lapisan mukosa yang meradang.24
a) Irigasi Sinus (Antral lavage). 13
Kegagalan sinus maksilaris untuk membersihkan sekret atau produk
infeksi dengan terapi medis yang adekuat mengakibatkan rusaknya

32
mucociliary blanket atau obstruksi pada ostium sinus. Hal ini
mengakibatkan retensi mukopus dan produk infeksi lain di dalam antrum.
Pada kondisi ini irigasi sinus maksilaris akan membuang produk-
produk infeksi seperti jaringan nekrotik, kuman-kuman penyakit dan
debris yang terjadi. Juga dapat dilakukan pemeriksaan kultur dan sitologi.
Tindakan irigasi ini akan membantu ventilasi dan oksigenasi sinus.
Tindakan irigasi sinus dapat dilakukan melalui meatus inferior dengan
menggunakan trokar bengkok atau lurus.13
b) Nasal Antrostomy
Indikasi tindakan ini adalah infeksi kronis, infeksi yang rekuren dan
adanya oklusi ostium sinus. Adanya lubang yang cukup lapang pada
antrostomy memungkinkan drainase secara gravitasi, sehingga akan
mengurangi infeksi,adanya akses untuk antral lavage, serta dapat
melakukan visualisasi ke dalam sinus yang memungkinkan
mengeluarkan jaringan nekrotik atau benda asing. Tindakan ini biasanya
dilakukan melalui meatus inferior,prosedur ini juga dikenal dengan naso
antral window dan dapat dilakukan secara lokal maupun general anestesi.
13

c) Operasi Caldwell-Luc
Prinsip dari operasi ini yaitu membuka dinding depan sinus maksila
pada daerah fosa kanina (transbuccal antrostomy), dan membuat
nasoantral window melalui meatus inferior. Dengan cara ini
memungkinkan visualisasi yang lebih baik ke dalam sinus
maksila,sehingga penilaian penyakit di antrum dapat lebih baik. 13
d) Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS).
Konsep endoskopi untuk diagnosis dan terapi operatif dari sinusitis
rekuren didasarkan atas penemuan Messerklinger, bahwa hampir semua
infeksi pada sinus maksila dan frontal adalah rinogen dan merupakan
infeksi sekunder dari fokus yang terdapat pada selulae etmoidalis
anterior, khusus di daerah infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis

33
yang dikenal sebagai ostiomeatal unit, yang kemudian menyebar ke
dalam sinus-sinus besar tersebut. 13
FESS memfasilitasi pengangkatan kondisi patologis di area utama,
memulihkan aerasi dan drainase sinus yang memadai dengan
memperbaiki patensi kompleks ostiomeatal, menghilangkan poliposis
berat, dengan menyebabkan lebih sedikit kerusakan pada fungsi hidung
normal. FESS berhasil memulihkan kesehatan sinus, dengan meredakan
gejala secara total atau paling tidak moderat pada 80-90% pasien.
Perawatan medis suportif dilakukan sebelum operasi dan pasca operasi.
Pada anak-anak, manajemen bedah belum mapan dan disediakan pada
kasus yang lebih rumit.24
Indikasi tindakan FESS ini meliputi : 13
 Sinusitis akut rekuren atau kronis pada semua sinus paranasalis
 Poliposis nasi
 Mukokel pada sinus paranasalis
 Mikosis pada semua sinus paranasalis
 Benda asing
 Osteoma yang kecil
 Fistula liquor serebrospinalis dan meningoensefalokel

J. KOMPLIKASI ORBITA
Jika rinosinusitis tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi lokal.
Dekatnya jarak orbita dengan tulang tipis dari lamina papyracea
memungkinkan penyebaran infeksi ke orbita. Komplikasi tersebut
dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Chandler, dimana penyebaran infeksi
harus dianggap sebagai suatu kontinum melalui penyebaran infeksi dari sinus
paranasal ke dalam isi orbita dan sekitarnya.17

34
Klasifikasi Chandler:25
I. Selulitis periorbita: peradangan pada kelopak mata yang ditandai dengan
edema pada kelopak mata.
II. Selulitis orbita: peradangan dan edema sudah meluas ke orbita, ditandai
dengan adanya proptosis, kemosis dan gangguan pergerakan bola mata.
Biasanya bisa meluas menjadi abses orbita dan kebutaan.
III. Abses subperiosteal: pembentukan dan pengumpulan pus antara
periorbita dan dinding tulang orbita, yang ditandai dengan proptosis
dengan perubahan letak bola mata, gangguan pergerakan bola mata dan
penurunan visus.
IV. Abses orbita: terdapat pembentukan dan pengumpulan pus di orbita
ditandai dengan optalmoplegi, proptosis dan kehilangan penglihatan.
V. Trombosis sinus kavernosus: sudah terjadi perluasan infeksi ke sinus
kavernosus yang ditandai dengan proptosis, optalmoplegi, kehilangan
penglihatan disertai perluasan tanda infeksi ke mata yang sehat dan tanda-
tanda meningitis.

Gambar 16. Klasifikasi Chandler; 1. Selulitis periorbita; 2.


Selulitis orbita; 3. Abses subperiosteal; 4. Abses orbita; 5.
Trombosis sinus cavernosus.25

35
1. Selulitis preseptal
a) Definisi: Proses inflamasi yang terletak di ruang periorbital yang dibatasi
oleh septum orbital, tanpa kerusakan orbital, dan pasien menunjukkan
edema palpebra tanpa nyeri pada mata dan tanpa mempengaruhi
penglihatan.26
b) Etiopatogenesis: Orbit, dibatasi oleh periosteum, dikelilingi oleh sinus
paranasal: sinus frontal lebih superior, sinus ethmoid medial, dan sinus
maksilaris inferior. Etmoiditis akut adalah rinosinusitis tersering yang
menyebabkan selulitis periorbital dan orbital. Infeksi yang berasal dari
sinus ethmoid berkembang dengan cepat, terutama karena lamina
papyracea adalah satu-satunya batas antara sinus ethmoid dan orbit.
Lamina ini sangat tipis dengan perforasi dan fenestrasi, yang disebut
dehiscence Zuckerkandl, yang memungkinkan lewatnya saraf dan
pembuluh darah. Hal ini memungkinkan penyebaran infeksi dengan
mudah dari sinus ethmoid ke regio periorbital dan orbital.27

Septum orbita adalah lembaran membran yang timbul dari lapisan


periosteum orbita; batas ini menentukan apakah infeksinya periorbital
(preseptal) atau orbital (postseptal). Septum orbital bertindak sebagai
barier. Bakteri penyebab selulitis periorbital yang paling umum adalah
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan Streptococcus
pyogenes. 27
c) Klinis: Selulitis periorbital muncul dengan eritema periorbital, edema,
dan kelopak mata bengkak. Keluhan biasanya unilateral. Penglihatan,
motilitas bola mata, dan tekanan intraokular biasanya normal karena
infeksi dan peradangan berada di permukaan dan anterior jaringan
periokular tanpa keterlibatan otot ekstraokuler. Juga, beberapa kasus
selulitis periorbital telah dikaitkan dengan demam, injeksi konjungtiva,
chemosis, mata berkaca-kaca, keluarnya cairan, dan beberapa penurunan
penglihatan. 27

36
d) Diagnosis: Diagnosis selulitis periorbital terutama merupakan diagnosis
klinis dengan temuan radiologis. Pada kebanyakan kasus, perbedaan
klinis antara periorbital dan selulitis orbital seringkali tidak jelas. Pada
kondisi tersebut perlu dilakukan pemeriksaan CT-scan. 27
e) Terapi: Penanganan berupa antibiotik oral dengan rawat jalan,
dekongestan topikal, irigasi saline dengan follow up yang ketat. 17
Pengobatan antibiotik untuk selulitis periorbital termasuk amoksisilin-
asam klavulanat, Sefpodoksim atau sefdinir. Untuk cakupan MRSA
rekomendasi saat ini adalah Klindamisin atau TMP-SMX tambah
Amoksisilin- asam klavulanat atau sefpodoksim atau sefdinir. 27

Gambar 17. (a) Pasien dengan selulitis periorbita akibat


komplikasi sinusitis maksilaris kiri.26. (b) Enhancement difus orbital
kiri yang konsisten dengan selulitis sekunder akibat sinusitis (MRI
T1-weighted post-gadolinium dengan Fat suppressed imaging).20
2. Selulitis orbita
a) Definisi: didefinisikan sebagai infeksi serius yang melibatkan otot dan
lemak yang terletak di dalam orbita. Kadang-kadang juga disebut sebagai
selulitis postseptal.28 Proses inflamasi melampaui septum orbital dan
mempengaruhi konten orbital. 26
b) Etiopatogenesis: Selulitis orbital adalah komplikasi rinosinusitis
bakterial yang jarang terjadi. Namun, pada kebanyakan kasus selulitis
orbital, rinosinusitis adalah sumber infeksi. Data menunjukkan bahwa
pada 86% sampai 98% kasus selulitis orbita, terdapat rinosinusitis yang

37
bersamaan. Selain itu, pansinusitis dan sinusitis etmoid adalah bentuk
rinosinusitis yang paling mungkin menyebabkan selulitis orbital. 28
c) Klinis: Indikator terbaik dari selulitis orbital adalah nyeri dengan gerakan
mata, proptosis, dan oftalmoplegia dengan diplopia. Kemosis
(pembengkakan konjungtiva) lebih sering ditemukan pada selulitis orbita;
Namun, kadang-kadang juga dapat terlihat pada kasus selulitis preseptal
yang parah. Demam dan leukositosis perifer dengan dominasi neutrofil
juga terlihat pada selulitis orbital. Eritema kelopak mata mungkin ada
atau mungkin juga tidak ada. 28
d) Diagnosis: Dua metode pencitraan utama seperti CT dan MRI membantu
dalam mendiagnosis selulitis orbital. MRI terbukti lebih unggul daripada
CT scan karena dapat membantu melihat perkembangan penyakit
jaringan lunak. Temuan CT umum pada selulitis orbital adalah
peradangan otot ekstraokuler, fat stranding , dan pergeseran bola mata ke
anterior, meskipun ini mungkin tidak begitu kentara. Bukti rinosinusitis
umumnya terlihat pada sinus ethmoid. 28
e) Terapi: Pasien memerlukan perawatan di rumah sakit dengan antibiotik
IV, dekongestan topikal, dan konsultasi oftalmologi untuk mengevaluasi
17
penglihatan. Selulitis orbital tanpa komplikasi dapat diobati dengan
antibiotik saja. Regimen pengobatan biasanya empiris dan dirancang
untuk mengatasi patogen yang paling umum. Untuk pasien dengan
selulitis orbita tanpa komplikasi, disarankan agar antibiotik dilanjutkan
sampai semua tanda selulitis orbital teratasi. Durasi terapi antibiotik
berkisar total minimal 2 sampai 3 minggu. Untuk pasien dengan sinusitis
ethmoid yang parah dan kerusakan tulang pada sinus direkomendasikan
minimal 4 minggu. 28

38
Gambar 18. Pasien dengan selulitis orbita akibat rhinosinusitis
frontal akut.26

3. Abses periorbita (subperiosteal)


a) Definisi: Proses infeksi terletak di antara lamina papyracea dan ruang
periorbital.26 Abses subperiosteal terbentuk saat infeksi di dalam tulang
berpindah ke periosteum.29
b) Etiopatogenesis: Abses subperiosteal merupakan infeksi postseptal dan
berkembang di antara tulang dan periorbita. Meskipun abses ini berasal
dari penyebaran langsung infeksi dari etmoiditis akut, pada kasus yang
lebih jarang dapat berkembang dari rinosinusitis akut pada sinus frontal
atau maksila.30 Pada rinosinusitis frontal, proses infeksi dapat masuk ke
orbit melalui langit-langitnya. Infeksi dapat menembus tulang yang
menyebabkan abses subperiosteal.26
c) Klinis: Pengumpulan nanah antara periorbita medial dan tulang,
kemosis, eksoftalmos, gangguan pergerakan otot bola mata, gangguan
penglihatan memburuk.17 Pengumpulan nanah antara dinding orbit dan
struktur periorbital di sekitarnya menyebabkan bola mata bergeser ke
arah lateral atau ke bawah. Pasien akan memiliki gerakan bola mata yang
terbatas dan datang dengan proptosis.27
d) Diagnosis: perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan atau dagnosis operasi
untuk membedakan selulitis orbita atau abses subperiosteal.26 Dokter

39
mata mendefinisikan proptosis sebagai perbedaan 2 mm atau lebih pada
permukaan kornea pada satu mata dibandingkan yang lain, menggunakan
alat pengukur seperti eksoftalmometer Hertel.29
e) Terapi: Terapi termasuk antibiotik IV, konsultasi oftalmologi,
dekongestan, dan perawatan bedah jika tidak ada perbaikan gejala setelah
48 jam, atau abses lebih dari 10 mm atau adanya tanda-tanda keterlibatan
orbita yg khas.17 Pengobatan abses subperiosteal adalah bedah endoskopi
atau terbuka. Perawatan bedah diindikasikan bila pasien tidak merespon
pengobatan medikamentosa, atau kondisinya memburuk selama
pengobatan; ketika terjadi penurunan motilitas atau ketajaman visual;
adanya kasus neuropati kranial; atau jika pasien mengalami abses, selain
abses subperiosteal, kecil dan terlokalisasi medial.26
Pendekatan operasi terbuka dapat berakhir dengan jaringan parut
wajah pasca operasi, penyembuhan tertunda, infeksi jahitan, diplopia
tumpang tindih, selulitis periorbital berulang dengan atau tanpa abses
subperiosteal.26

Gambar 19. Pasien dengan abses subperiosteal.26

4. Abses orbita
a) Definisi: kumpulan nanah di jaringan orbital. Abses dapat terletak
ekstrakonal (antara periosteum dan otot ekstraokular) atau intrakonal

40
(terletak di tengah kerucut otot). Abses dapat terjadi sebagai akibat
perkembangan selulitis orbital atau penyebaran infeksi dari abses
subperiosteal.20
b) Etiopatogenesis: Abses subperiosteal dapat pecah melalui septum orbital
dan muncul di kelopak mata atau pecah secara posterior ke dalam ruang
orbital atau akumulasi purulen menetap di dekat tulang sehingga
membentuk true abses orbital.27
c) Klinis: eksoftalmus / proptosis berat, kemosis, gangguan penglihatan
yang parah, oftalmoplegia, serta pergeseran bola mata. Abses ini juga
bisa meluas ke anterior dan pecah ke kelopak mata. Temuan klinis
oftalmoplegia dan proptosis masing-masing memiliki nilai prediksi
positif untuk infeksi orbital 97% dan ketiadaan mereka memiliki nilai
prediksi negatif 93%. Jika tidak satu pun dari temuan ini terdeteksi,
kemungkinan keterlibatan orbital rendah. 26,29
d) Diagnosis: terutama dengan CT-scan untuk membedakan keterlibatan
orbita atau periorbita.29
e) Terapi: Perawatannya adalah drainase bedah atau endoskopi dengan
antibiotik IV. 17

Gambar 20. Pasien dengan abses orbita.26

41
Gambar 21. Abses intraorbital akibat sinusitis pada
MRI koronal T1-gadolinium fat suppressed.
Perhatikan peningkatan difus pada orbita kiri
(selulitis) dengan area densitas rendah (fluida) di
dalam orbita inferolateral yang konsisten dengan
abses intraorbital 20

5. Trombosis sinus kavernosus


a) Definisi: trombosis pada sinus kavernosa yang merupakan hasil dari
perkembangan penyakit orbita lebih lanjut ke sinus kavernosus yang
menyebabkan gejala pada mata yang umumnya bilateral.31
b) Etiologi: Trombosis sinus kavernosa biasanya septik, tetapi bisa juga
aseptik. Kasus septik dapat mengikuti infeksi wajah sentral, terutama di
dalam segitiga bahaya wajah (dari sudut mulut ke pangkal hidung). Hal
ini termasuk abses atau selulitis dan sinusitis (terutama sfenoiditis dan
etmoiditis).31
Berbagai organisme infeksius dapat menyebabkan trombosis sinus
kavernosus meskipun sebagian besar adalah bakteri. Staphylococcus
aureus dapat menyebabkan dua pertiga kasus. Organisme khas lainnya
termasuk spesies Streptococcus (sekitar 20% kasus), pneumococcus
(5%), spesies gram negatif seperti Proteus, Hemophilus, Pseudomonas,

42
Fusobacterium, Bacteroides, serta spesies gram positif seperti
Corynebacterium dan Actinomyces. 31
c) Patofisiologi: Sinus kavernosa (satu di setiap sisi sella turcica, di atas
dan di lateral sinus sphenoid, fisura orbita anterior superior dan bagian
posterior petrous lobus temporal) adalah ruang kavernosus trebekulasi
yang dibentuk oleh lapisan dura mater dan diisi dengan darah vena.
Darah mengalir ke vena oftalmikus superior dan inferior serta vena
kortikal superfisial di anterior dan kemudian mengalir ke pleksus basilar
di posterior melalui sinus petrosus superior dan inferior. 31
Mekanisme terjadinya trombosis sinus kavernosus diantaranya:

Embolisasi bakteri dan organisme infeksius lainnya yang memicu
trombosis yang kemudian dapat memerangkap infeksi di dalam sinus
kavernosus. 31

Trombosis sinus kavernosa menyebabkan penurunan drainase dari
vena fasial dan vena oftalmikus superior dan inferior yang
mengakibatkan edema fasial dan periorbital, ptosis, proptosis,
ketidaknyamanan dan nyeri dengan pergerakan otot mata, kemosis,
edema papil, distensi vena retina, dan hilangnya penglihatan. 31

Kurangnya katup pada sistem sinus dural memungkinkan aliran
melalui vena emisaria ke dalam dan keluar dari sinus kavernosus dan
trombus dapat merambat ke dalam sistem dural. Komunikasi antara
sinus kavernosus kanan dan kiri melalui sinus interkavernosa, anterior
dan posterior ke sella, memungkinkan penyebaran trombus dan infeksi
dari satu sisi ke sisi lain. 31
d) Klinis: Pasien dengan trombosis sinus kavernosa paling sering
mengeluhkan demam, sakit kepala (50% sampai 90%), nyeri dan
pembengkakan periorbital, perubahan penglihatan, seperti fotofobia,
diplopia, kehilangan penglihatan. Gejala dapat muncul saat onset atau
berkembang secara subakut selama beberapa hari. Biasanya, ini dimulai
dengan satu mata dan kemudian berlanjut ke mata lainnya. Gejala yang

43
kurang umum mungkin termasuk kekakuan, leher kaku, mati rasa pada
wajah, kebingungan, kejang, gejala stroke, atau koma.31
Tanda-tanda vital dapat menunjukkan demam, takikardia, atau
hipotensi. Temuan neurologis seperti mentation yang berubah, kelesuan,
atau obtundasi, bukanlah hal yang aneh. Kejang atau sindrom stroke
(seperti hemiparesis) jarang terjadi. 31
Temuan mata hampir universal (90%). Ini termasuk edema periorbital
(awalnya unilateral tetapi biasanya bilateral), eritema kelopak mata,
chemosis, ptosis, proptosis (karena gangguan drainase vena pada orbit),
gerakan mata yang terbatas atau menyakitkan, dan edema papil yang
lebih jarang, perdarahan retinal, penurunan ketajaman visual ( 7% sampai
22%), fotofobia, refleks pupil berkurang, dan konjungtiva berdenyut.
Kebutaan dapat menyebabkan 8% hingga 15% kasus. 31
Secara individual, neuropati kranial keenam adalah neuropati yang
paling umum, mengakibatkan oftalmoplegia parsial dengan abduksi mata
yang terbatas. Kebanyakan kasus, bagaimanapun, berkembang pesat
menjadi oftalmoplegia eksternal komplit dari neuropati kranial ketiga,
keempat dan keenam. Pemeriksaan sensorik mungkin mengungkapkan
sensasi yang berkurang pada wajah (karena kompresi cabang oftalmika
dan maksila dari saraf kranial kelima) dan gangguan refleks kornea. 31
e) Diagnosis: Tes diagnostik yang optimal adalah pencitraan saraf dengan
computed tomography (CT) kontras yang ditingkatkan atau pencitraan
resonansi magnetik (MRI). Pemeriksaan darah dapat mengungkapkan
peningkatan jumlah sel darah putih (WBC), protein C-reaktif (CRP), laju
sedimentasi eritrosit (ESR,) dan D-dimer. Kultur darah harus dilakukan
secara rutin dan seringkali positif. Pungsi lumbal penting untuk
menyingkirkan meningitis dan dapat menunjukkan peningkatan tekanan
pembukaan dan pleositosis bahkan pada sampel kultur negatif. Skrining
untuk trombofilia dapat memberikan hasil yang salah selama terapi
antikoagulasi dan harus ditunda sampai pengobatan selesai.31

44
f) Terapi: Pengobatan trombosis sinus kavernosa memerlukan pengobatan
antibiotik intravena masif dengan atau tanpa drainase sinus kavernosa
(berbahaya karena risiko morbiditas yang tinggi). Harus ditambahkan
drainase pembedahan dari sumber utama infeksi (sinus) dan terapi
antikoagulan selama 4-6 minggu.26

Gambar 22. Pasien dengan trombosis sinus kavernosus


dengan kemosis. 26

K. PROGNOSIS
Pada era pra antibiotik, komplikasi orbital menyebabkan meningitis pada
17% dan kebutaan pada 20% kasus. Munculnya penggunaan antibiotik tidak
mengubah kejadian sinusitis, tetapi telah menurunkan frekuensi komplikasi.
Misalnya, kejadian abses otak sinogenik yang mungkin menyumbang hingga
32% dari semua abses otak di era pra-antibiotik kini telah turun menjadi 13%.
Kematian akibat infeksi terkait sinusitis intrakranial pada era pra-CT pernah
setinggi 66%, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah menurun menjadi 2
sampai 7%. Kematian akibat trombosis sinus kavernosus tetap lebih besar dari
40%.20
Outcome selulitis orbital sepenuhnya bergantung pada ada tidaknya
komplikasi. Sebagian besar pasien dengan selulitis orbital merespons dengan
cepat dan lengkap terhadap terapi antibiotik yang sesuai. Komplikasi serius

45
seperti trombosis sinus kavernosus, ekstensi intrakranial, dan kehilangan
penglihatan dapat menyebabkan gejala sisa permanen. Kematian jarang terjadi
tetapi sekuele mungkin terjadi akibat komplikasi selulitis orbita.28

L. KESIMPULAN
1. Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan peradangan pada mukosa cavum
nasi dan sinus paranasalis yang berlangsung selama lebih dari 12 minggu
dengan manifestasi subjektif utamanya dikeluhkan sebagai nyeri pada wajah
atau rasa tertekan, adanya sekret mukopurulen di nares anterior atau
posterior, hidung tersumbat, dan hilangnya indera penciuman atau anosmia.
Modalitas utama untuk mendiagnosis penyakit ini dengan menggunakan
endoskopi nasal atau pencitraan CT-scan, namun gold standardnya adalah
dengan modalitas CT karena mampu melihat struktur anatomi selain sinus
dan hidung jika dicurigai adanya keterlibatan orbita dan intrakranial.
2. Pasien dengan RSK sering kali mengalami keterlambatan diagnosis
sehingga berujung pada perluasan penyakit di sekitar sinus terutama
komplikasi ke orbita dan intrakranial. Komplikasi orbita dibagi berdasarkan
klasifikasi chandler meliput selulitis periorbita, selulitis orbita, abses
subperiosteal, abses orbita dan trombosis sinus kavernosus.
3. Abses subperiosteal, dan abses postseptal atau selulitis orbital (lebih sedikit)
merupakan stadium paling sering didapatkan, sangat jarang ditemukan abses
orbital dan trombosis sinus yang parah. Untuk membedakan abses
subperiosteal dari selulitis orbita diperlukan pemeriksaan pencitraan atau
pembedahan. Mikroorganisme terisolasi yang paling umum ditemukan
adalah S. pneumoniae, S. aureus, spesies streptokokus dan anaerob lainnya.
Drainase endoskopi lebih disukai pada abses orbital superior atau refrakter.
Selulitis preseptal dan postseptal, abses subperiosteal kecil dapat diobati
dengan antibiotik intravena. Setiap keterlambatan dalam pengobatan awal
trombosis sinus kavernosus atau abses orbital dapat menyebabkan kebutaan,
perluasan infeksi intrakranial dan kematian.

46
DAFTAR PUSTAKA

1 Soetjipto, D., Mangunkusomo, E., Wardani, RS. Rinore, Infeksi Hidung Dan
Sinus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2012. hal 122-124, 127.

2 Trihastuti, H., Budiman, B.J., Edison. Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di


Poliklinik THT-Kl RSUP DR.M.Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas
2015. 4(3): 877-878.

3 Huriyati E, Budiman BJ, Anwar HK. Rinosinusitis Kronis dengan Komplikasi


Abses Periorbita. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015;4(1): 313-314.

4 Soetjipto, D., Mangunkusomo, E., Wardani, RS. Hidung. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI. 2012. hal 96-100.

5 Netter, Frank H. 2014. Atlas Of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC

6 Punagi, Abdul Qadar. Epistaksis Diagnosis dan Penatalaksanaan Dini.DiGi


Pustaka. 2016. Available from: https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/10/EPISTAKSIS-QP-SISTEMTRAUMATOLOGI.pdf

7 Qalbi, R.N., Sarifuddin., Mariani. Rhinosinusitis Dengan Polip Nasi. Jurnal


Medical Profession 2019. 1(2): 128.

8 Kasim, M., Fitriyani H, N., Buchori, R.M. Hubungan Rinosinusitis Kronik


Dengan Rinitis Alergi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada 2020. 11(1):
272.

9 Nurmalasari, Y., Nuryanti, D. Faktor-Faktor Prognostik Kesembuhan


Pengobatan Medikamentosa Rinosinusitis Kronis Di Poli THT RSUD A. Dadi
Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2017. Jurnal Ilmu Kedokteran Dan
Kesehatan 2017. 3(4): 189.

10 Amelia, N.L., Zuleika, P., Utama, D.S. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di


RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya
2017. (2): 81

11 Rinaldi., Lubis, H.M., Daulay, R.M., Panggabean, G. Sinusitis Pada anak. Sari
Pediatri 2006. (7)4: 245.

12 Ertugay OC, Toros SZ, Zhang L. Chronic Rhinosinusitis: Adults and Children.
Dalam: Cingi C, Muluk NB. All Around The Nose Basic Science, Diseases and
Surgical Management. Kirikkale: Springer; 2020. h. 213-214.

47
13 Husni T. Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis. Conference paper. Divisi
Rinologi, Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSU
Dr. Zainoel Abidin. 2016. h.212-228

14 Wardana ING. Rinosinusitis Kronis. Bagian Anatomi FK Universitas Udayana


Denpasar. 2017; h. 1-19

15 Amine MA, Patadia MO. Sinusitis. Dalam: Rosenthal LHS, Patadia MO,
Stankiewicz. A Color Handbook Otolaryngology. Boca Raton: Taylor &
Francis Group; 2017. h. 61-64.

16 Kaplama ME. Approach to Chronic Rhinosinusitis. Dalam: Alabaz O. General


Surgery I. Ankara: Akademisyen Kitabevi; 2019. h. 85-90.

17 Stevens P, Tessema B, Brown SM. Chronic Rhinosinusitis. Dalam: Kacker A.


Rhinology Handbook. New York: The Health Science Publisher; 2016. h. 43-
45, 51-52.

18 Carlton DA, Beahm DD, Suh JD, Chiu AG. Acute and Chronic Sinusitis.
Dalam: Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head
and Neck Surgery. 4th Ed. New York: McGraw Hill Education; 2020. h. 344.

19 Kwon E, O’Rourke MC. Chronic Sinusitis. StatPearls [Serial Online] Last


Updated: Agustus 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441934/

20 Lanza DC, Epstein VA. The Diagnosis of Rhinosinusitis. Dalam: Kennedy


DW, Hwang PH. Rhinologi Diseases of The Nose, Sinuses, and Skull Base.
New York: Thieme Medical Publisher; 2012. h. 139, 144-145.

21 Barshak MB, Durand ML. The Role of Infections and Antibiotics in Chronic
Rhinosinusitis. Laryngoscope Investigative Otolaryngology. 2017; 1-7.

22 Sedaghat AR. Chronic Rhinosinusitis. Dalam: Durand ML, Deschler DG.


Infections of the Ears, Nose, Throat, and Sinuses. Boston: Springer
International Publishing; 2018. h. 156.

23 Trihastuti H, Budiman BJ, Edison. Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di


Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.
2015;4(3): 877-882.

24 Brook I, Brusch JL. Chronic Sinusitis. Medscape [Serial Online] Last Updated:
Juli 2019. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/232791

25 Huriyati E, Budiman BJ, Anwar HK. Rinosinusitis Kronis dengan Komplikasi


Abses Periorbita. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015;4(1): 313-321.

48
26 Simona MG, et al. Orbital Complications of Acute Rhinosinusitis. International
Buletin of Otolaryngology. 2018; 5-9.

27 Bae C, Bounget D. Periorbital Cellulitis. StatPearls [Serial Online] Last


Updated: Juli 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470408/

28 Danishyar A, Sergent SR. Orbital Cellulitis. StatPearls [Serial Online] Last


Updated: Agustus 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507901/

29 Wald ER, DeMuri GP. Complications of Acute Bacterial Sinusitis in Children.


Dalam: Durand ML, Deschler DG. Infections of the Ears, Nose, Throat, and
Sinuses. Boston: Springer International Publishing; 2018. h. 149.

30 Sciaretta V, et al. Management of Orbital Cellulitis and Subperiosteal Orbital


Abscess in Pediatric Patients: A Ten Year Review. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology. 2017;96: 72-76.

31 Plewa MC, Tadl P, Gupta M. Cavernous Sinus Thrombosis. StatPearls [Serial


Online] Last Updated: Juli 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448177/

49

Anda mungkin juga menyukai