Anda di halaman 1dari 15

5/12/2021 V.I.

Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

Revolusi Sosialis dan Hak


Sebuah Bangsa untuk
Menentukan Nasib Sendiri
TESIS
V.I. Lenin (1916)

Ditulis: antara Januari-Februari 1916

Diterbitkan: pada April 1916 di majalah Vorbote No 2. Diterbitkan juga dalam


bahasa Rusia pada Oktober 1916 di Sbornik Sotsial-Demokrata, No 1.

Penerjemah: Dipo Negoro (6 Juni 2013)

Penyunting: Ted Sprague

Sumber Terjemahan: "The Socialist Revolution and the Right of Nations to Self-
Determination"

1. Imperialisme, Sosialisme dan Pembebasan Bangsa Tertindas

Imperialisme adalah tahapan tertinggi dari perkembangan kapitalisme. Kapital di


negeri-negeri maju telah berkembang melebihi batasan-batasan Negara-bangsa.
Kapital telah membangun monopoli yang menggantikan persaingan, dengan begitu
menciptakan semua syarat objektif untuk mencapai sosialisme. Oleh sebab itu di
Eropa Barat dan di Amerika Serikat, perjuangan revolusioner kaum proletar untuk
penggulingan pemerintahan-pemerintahan kapitalis, untuk pengambilalihan aset-aset
borjuasi, adalah sesuatu yang mendesak hari ini. Imperialisme memaksa massa ke
dalam perjuangan ini dengan mempertajam antagonisme-antagonisme klas hingga ke
tingkatan yang sangat besar, dengan memperburuk kondisi-kondisi massa baik secara
ekonomi – hutang dan biaya hidup yang tinggi, serta secara politik – tumbuhnya
militerisme, peperangan-peperangan yang terus terjadi, meningkatnya reaksi, semakin
kuat dan meluasnya penindasan terhadap bangsa-bangsa dan penjarahan kolonial.
Kemenangan sosialisme harus mencapai demokrasi yang sepenuhnya dan, sebagai
akibatnya, tidak hanya membawa kesetaraan sepenuh-penuhnya di antara bangsa-
bangsa, tetapi juga memberikan hak kepada bangsa-bangsa yang tertindas untuk
https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 1/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

menentukan nasibnya sendiri, yaitu hak untuk bebas memisahkan diri secara politik.
Partai-partai Sosialis yang gagal membuktikan dengan seluruh aktivitas mereka hari
ini, dan juga saat revolusi serta setelah kemenangannya, bahwa mereka akan
membebaskan bangsa-bangsa yang tertindas dan membangun hubungan dengan
mereka di atas dasar sebuah persatuan yang bebas – dan sebuah persatuan yang
bebas adalah sebuah formula kosong bila tidak disertai dengan hak untuk
memisahkan diri – partai yang seperti itu akan melakukan pengkhianatan terhadap
sosialisme.

Tentu saja demokrasi juga merupakan sebuah bentuk Negara yang harus hilang
ketika Negara menghilang, namun hal ini akan terjadi hanya dalam proses transisi dari
sosialisme yang terkonsolidasi dan menang sepenuhnya menuju ke komunisme
sepenuhnya.

2. Revolusi Sosialis dan Perjuangan Untuk Demokrasi

Revolusi Sosialis bukanlah sebuah tindakan tunggal, bukanlah sebuah pertempuran


tunggal dalam satu front yang tunggal, namun adalah keseluruhan jaman konflik-
konflik klas yang semakin intensif, sebuah rangkaian panjang pertempuran di seluruh
front, yaitu pertempuran seputar semua masalah ekonomi dan politik, yang dapat
memuncak hanya dalam pengambilalihan hak-milik kaum borjuasi. Akan menjadi
kesalahan pokok untuk menganggap bahwa perjuangan untuk demokrasi dapat
membelokkan proletariat dari revolusi sosialis, atau menghalang-halangi, atau
mengaburkannya, dsb. Sebaliknya, seperti halnya sosialisme tidak dapat menang
kecuali kalau sosialisme memajukan demokrasi seutuhnya, maka proletariat tidak akan
mampu menyiapkan kemenangan terhadap borjuasi kecuali kalau proletariat
melancarkan perjuangan yang luas, konsisten dan revolusioner untuk demokrasi.

Akan juga menjadi kesalahan untuk menghilangkan poin apapun dari program
demokratik, sebagai contoh, poin hak penentuan nasib sendiri dari sebuah bangsa,
atas dasar bahwa program itu “tidak dapat dicapai”, atau bahwa itu adalah “ilusi” di
bawah imperialisme. Pernyataan bahwa hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib
sendiri tidak bisa dicapai dalam kerangka kapitalisme dapat dimengerti dengan melihat
makna ekonomi yang absolut, atau dalam makna politik yang konvensional.

Dalam makna yang pertama, pernyataan tersebut secara fundamental salah dalam
teori. Pertama, dalam makna ini, adalah tidak mungkin untuk mendapatkan hal-hal
seperti kerja yang dibayar sesuai dengan nilainya atau penghapusan krisis, dsb di
bawah kapitalisme. Namun sepenuhnya salah untuk juga berpendapat bahwa hak
penentuan nasib sendiri juga tidak dapat dicapai. Kedua, bahkan contoh Norwegia
yang memisahkan diri dari Swedia pada 1905 cukup untuk menyanggah argumentasi
bahwa pemisahaan diri sebuah bangsa “tidak dapat dicapai”. Ketiga, akan
menggelikan untuk menyangkal bahwa dengan sedikit perubahan dalam hubungan
politik dan strategis, sebagai contoh antara Jerman dan Inggris, pembentukan Negara-
negara baru, Polandia, India, dsb dapat “dicapai” dengan cepat. Keempat, kapital
https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 2/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

finans, dalam usahanya untuk ekspansi, akan “secara bebas” membeli dan menyuap
pemerintahan yang paling bebas, paling demokratik dan paling republik serta para
pejabat terpilih dari negeri manapun, bagaimanapun “independennya” pemerintahan
tersebut. Dominasi kapital finans, seperti juga kapital secara umum, tidak dapat
dihilangkan oleh reformasi bentuk apapun di dalam ranah demokrasi politik, dan hak
penentuan nasib sendiri secara keseluruhan dan eksklusif ada di dalam ranah
tersebut. Namun dominasi kapital finans tidak sedikitpun menghancurkan signifikansi
demokrasi politik sebagai bentuk penindasan kelas dan perjuangan kelas yang lebih
bebas, lebih luas, dan lebih jelas. Oleh karena itu semua argumentasi yang
menyatakan bahwa “kemustahilan mencapai” secara ekonomi salah satu tuntutan
demokrasi politik di dalam kapitalisme mereduksi diri mereka sendiri ke dalam sebuah
definisi yang secara teori keliru mengenai relasi-relasi umum dan fundamental dari
kapitalisme dan dari demokrasi politik secara umum.

Dalam makna yang kedua, pernyataan tersebut adalah tidak lengkap dan tidak
tepat, karena bukan hanya hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri,
tetapi juga semua tuntutan pokok dalam demokrasi politik adalah “mungkin untuk
dicapai” di bawah imperialisme, hanya dalam bentuk yang tidak lengkap, termutilasi
dan sebagai sebuah pengecualian yang langka (sebagai contoh, pemisahaan
Norwegia dari Swedia pada 1905). Tuntutan untuk kemerdekaan segera bagi negeri-
negeri jajahan, seperti yang diajukan oleh semua kaum Sosial Demokrat revolusioner,
juga “tidak mungkin dicapai” di bawah kapitalisme tanpa serangkaian revolusi. Akan
tetapi ini bukan berarti bahwa Sosial Demokrasi harus menahan diri dari melancarkan
sebuah perjuangan yang segera dan paling tegas untuk semua tuntutan tersebut –
untuk menahan diri hanya akan memberikan keuntungan pada borjuasi dan reaksi.
Sebaliknya, hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa penting untuk
memformulasikan dan memajukan semua tuntutan tersebut, bukan dengan cara yang
reformis, namun dengan cara yang revolusioner; bukan dalam kerangka legalitas
borjuasi, namun dengan menerobosnya; bukan dengan membatasi diri pada pidato-
pidato parlementer dan protes-protes verbal, namun dengan mendorong massa ke
dalam aksi yang riil, dengan memperluas dan mengobarkan perjuangan untuk setiap
tuntutan demokratik yang pokok, sampai dengan dan termasuk juga serangan
langsung proletariat terhadap borjuasi, yakni sampai ke revolusi sosialis yang akan
melucuti borjuasi. Revolusi sosialis dapat terjadi bukan hanya akibat pemogokan
umum, demonstrasi jalanan, kerusuhan akibat kelaparan, pemberontakan di dalam
tentara atau pemberontakan di negeri-negeri jajahan, namun juga akibat krisis politik
apapun, seperti skandal Dreyfus[1], insiden Zabern[2], atau dalam hubungannya
dengan referendum untuk memisahkan diri dari sebuah bangsa yang tertindas, dsb.

Intensifikasi penindasan nasional di bawah imperialisme menjadikan sebuah


keharusan bagi Sosial Demokrasi untuk tidak meninggalkan apa yang digambarkan
oleh borjuasi sebagai perjuangan “utopis” bagi kemerdekaan bangsa-bangsa untuk
memisahkan diri, tetapi, sebaliknya, untuk mengambil keuntungan lebih banyak dari

https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 3/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

konflik-konflik yang juga muncul atas dasar perjuangan tersebut dengan tujuan untuk
membangkitkan aksi massa dan serangan revolusioner terhadap borjuasi.

3. Makna Hak Penentuan Nasib Sendiri dan Hubungannya dengan Federasi

Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri bermakna hanya hak untuk
kemerdekaan dalam arti politik, hak untuk pemisahan politik secara bebas dari bangsa
yang menindas. Secara konkrit, tuntutan demokratik dan politik ini berarti kebebasan
sepenuhnya untuk beragitasi mendukung pemisahan diri dan kebebasan untuk
menyelesaikan persoalan pemisahan diri dengan cara referendum dari bangsa yang
ingin memisahkan diri. Sebagai akibatnya, tuntutan ini bukan berarti identik dengan
tuntutan memisahkan diri, untuk partisi, untuk pembentukan negeri-negeri yang kecil.
Tuntutan tersebut adalah ekspresi logis dari perjuangan melawan penindasan nasional
dalam setiap bentuk. Semakin dekat sistem demokratik negeri tersebut kepada
kebebasan sepenuhnya untuk memisahkan diri, akan menjadi semakin lemah dan
jarang praktek untuk memperjuangkan pemisahan diri; karena keuntungan-keuntungan
dari negeri-negeri yang besar, baik dari sudut pandang perkembangan ekonomi dan
dari sudut pandang kepentingan massa, adalah hal yang tidak diragukan lagi; dan
keuntungan-keuntungan ini meningkat seiring dengan pertumbuhan kapitalisme.
Pengakuan terhadap hak penentuan nasib sendiri tidaklah sama dengan membuat
federasi menjadi sebuah prinsip. Seseorang dapat saja menentang dengan teguh
prinsip federasi tersebut dan mendukung sentralisme demokratik, namun lebih memilih
federasi ketimbang ketidaksetaraan nasional sebagai jalan satu-satunya untuk menuju
sentralisme demokratik yang utuh. Adalah dari cara pandang ini, Marx, meskipun
seorang sentralis, lebih memilih federasi Irlandia dengan Inggris ketimbang
penundukan paksa Irlandia kepada Inggris.

Tujuan sosialisme adalah bukan hanya untuk menghapus pembagian umat manusia
hari ini ke dalam negeri-negeri kecil dan semua isolasi nasional; bukan hanya untuk
membawa bangsa-bangsa menjadi semakin dekat, namun juga untuk menyatukan
mereka. Dan untuk mencapai tujuan ini kita harus, di satu sisi, menjelaskan kepada
massa sifat reaksioner dari ide-ide Renner dan Otto Bauer mengenai apa-yang-
disebut-sebagai “otonomi budaya nasional” dan, di sisi yang lain, menuntut
kemerdekaan bangsa-bangsa yang tertindas, bukan dalam kata-kata umum dan
samar-samar, bukan dalam pernyataan-pernyataan kosong, bukan dengan “menunda”
persoalan tersebut hingga sosialisme dimenangkan, namun dengan sebuah program
politik yang terformulasikan secara jelas dan tepat, yang secara khusus akan
menjelaskan kemunafikan dan kepengecutan kaum Sosialis di negeri-negeri yang
menindas. Seperti juga umat manusia dapat mencapai penghapusan klas-klas hanya
dengan melewati periode transisi dari kediktaktoran klas-klas yang tertindas, demikian
juga umat manusia dapat mencapai keniscayaan persatuan bangsa-bangsa hanya
dengan melewati periode kemerdekaan sepenuhnya dari semua bangsa-bangsa yang
tertindas, yaitu kebebasan mereka untuk memisahkan diri.

https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 4/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

4. Presentasi Proletariat Revolusioner Mengenai Persoalan Hak Sebuah


Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri

Bukan hanya tuntutan hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri namun
juga semua item dari program demokratik minimum kita telah diajukan sebelum kita,
jauh sejak abad ke tujuh belas dan delapan belas, oleh kaum borjuis kecil. Dan kaum
borjuis kecil, yang percaya pada kapitalisme “damai”, hingga hari ini terus
mengedepankan semua tuntutan tersebut dengan cara utopis, tanpa melihat
perjuangan klas dan fakta bahwa perjuangan kelas ini telah menjadi semakin intensif
di bawah demokrasi. Gagasan persatuan damai dari bangsa-bangsa yang setara di
bawah imperialisme, yang menipu rakyat, dan yang diajukan oleh kelompok
Kautsky[3], adalah seperti itu. Untuk melawan kaum utopis yang filistin dan oportunis
ini, program Sosial Demokrasi harus menunjukkan bahwa di bawah imperialisme
pembagian bangsa-bangsa menjadi yang menindas dan yang tertindas adalah sebuah
kenyataan yang pokok, yang paling penting dan tidak dapat dihindari.

Kaum proletariat dari bangsa-bangsa yang menindas tidak dapat membatasi dirinya
sendiri pada ungkapan-ungkapan yang umum dan lazim menentang aneksasi dan
mendukung hak yang setara dari bangsa-bangsa secara umum, sesuatu yang dapat
diulang-ulang oleh kaum borjuasi pasifis manapun. Proletariat tidak dapat menghindari
masalah yang sangat “tidak menyenangkan” bagi kaum borjuasi imperialis, yakni,
masalah perbatasan sebuah bangsa yang berdasarkan atas penindasan nasional.
Kaum proletariat harus melawan pengekangan paksa bangsa-bangsa yang tertindas di
dalam batas-batas bangsa tertentu, dan inilah makna perjuangan untuk hak penentuan
nasib sendiri. Kaum proletariat harus menuntut hak politik untuk memisahkan diri bagi
negeri-negeri jajahan dan bagi bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsanya “sendiri”.
Jika kaum proletariat tidak melakukan hal itu, internasionalisme proletariat akan
menjadi ungkapan yang tidak bermakna; saling percaya dan solidaritas klas antar
buruh dari bangsa-bangsa yang menindas dan tertindas akan menjadi mustahil;
kemunafikan dari kaum reformis dan para pendukung Kautsky yang mendukung hak
penentuan nasib sendiri namun bungkam mengenai bangsa-bangsa yang ditindas oleh
bangsa “mereka” dan dipenjara secara paksa di dalam negeri “mereka” akan tetap
tidak terekspos.

Kaum Sosialis dari bangsa-bangsa yang tertindas, di sisi yang lain, secara khusus
harus berjuang untuk dan mempertahankan persatuan absolut (juga secara
organisasional) antara buruh dari bangsa yang tertindas dengan buruh dari bangsa
yang menindas. Tanpa persatuan semacam itu akan menjadi mustahil untuk
mempertahankan kebijakan proletariat yang independen dan solidaritas klas dengan
proletariat dari negeri-negeri lain di hadapan semua akal-akalan, pengkhianatan dan
tipu daya borjuasi; karena kaum borjuasi dari bangsa yang tertindas selalu mengubah
slogan pembebasan nasional menjadi alat untuk menipu buruh; dalam politik internal
kaum borjuasi bangsa yang tertindas menggunakan slogan tersebut sebagai alat untuk
melakukan perjanjian-perjanjian reaksioner dengan kaum borjuasi dari bangsa yang

https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 5/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

berkuasa (sebagai contoh, kaum borjuasi Polandia di Austria dan Rusia, yang
membuat perjanjian dengan kelompok reaksi untuk menindas kaum Yahudi dan orang
Ukraina); dalam ranah politik luar negeri dia berusaha membuat perjanjian dengan
salah satu pesaing kekuatan imperialis dengan tujuan untuk memenangkan
kepentingan-kepentingan predatornya sendiri (kebijakan negeri-negeri kecil di Balkan,
dsb).

Kenyataan bahwa di bawah kondisi-kondisi tertentu perjuangan pembebasan


nasional melawan satu kekuatan imperialis dapat digunakan oleh Kekuatan “Besar”
lainnya untuk kepentingan yang juga imperialis tidak boleh mendorong Sosial
Demokrasi untuk mencampakkan pengakuan terhadap hak sebuah bangsa untuk
menentukan nasib sendiri, seperti halnya dalam banyak kasus dimana kaum borjuasi
menggunakan slogan republik untuk tujuan penipuan politik dan perampokan ekonomi,
contohnya di negeri-negeri Amerika Latin, tidak mendorong mereka untuk
meninggalkan republikanisme.

5. Marxisme dan Proudhonisme Mengenai Persoalan Kebangsaan

Berkebalikan dengan kaum demokrat borjuis-kecil, Marx menganggap semua


tuntutan demokratik, tanpa terkecuali, bukanlah sebagai sebuah hal yang aboslut,
namun merupakan ekspresi sejarah dari perjuangan massa rakyat, yang dipimpin oleh
kaum borjuasi, dalam melawan feodalisme. Tidak ada satu tuntutan demokratik pun
yang tidak dapat menjadi, atau belum menjadi, di bawah kondisi-kondisi tertentu,
sebuah instrumen kaum borjuasi untuk menipu kaum buruh. Untuk hanya memilih satu
tuntutan demokrasi politik, yaitu, hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri,
dan mempertentangkannya dengan tuntutan-tuntutan demokrasi politik lainnya, adalah
secara fundamental keliru dalam teori. Dalam praktek, kaum proletariat akan mampu
mempertahankan kemandiriannya hanya jika dia mensubordinasikan perjuangannya
untuk semua tuntutan demokratik, termasuk juga tuntutan untuk sebuah republik,
kepada perjuangan revolusionernya untuk menggulingkan borjuasi.

Di sisi yang lain, berkebalikan dari kelompok Proudhon, yang “menolak” persoalan
kebangsaan “atas nama revolusi sosial”, Marx, yang memikirkan terutama kepentingan
perjuangan klas buruh di negeri-negeri maju, memajukan prinsip pokok
internasionalisme dan sosialisme, yakni bahwa tidak ada bangsa yang dapat bebas
jika ia menindas bangsa lain. Justru dari sudut pandang kepentingan gerakan
revolusioner dari kaum buruh Jerman Marx pada tahun 1898 menuntut supaya
demokrasi yang menang-jaya di Jerman harus memproklamirkan dan memberikan
kemerdekaan kepada bangsa-bangsa yang ditindas oleh Jerman. Justru dari sudut
pandang perjuangan revolusioner kaum buruh Inggris Marx pada tahun 1869 menuntut
pemisahan Irlandia dari Inggris, dan menambahkan: “…meskipun setelah pemisahan
mungkin akan muncul federasi.” Hanya dengan memajukan tuntutan tersebut maka
Marx benar-benar mendidik kaum buruh Inggris dalam semangat internasionalisme.
Hanya dengan cara itu dia mampu mempertentangkan solusi revolusioner dari sebuah

https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 6/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

masalah historis tertentu dengan kaum oportunis dan reformisme borjuis, yang bahkan
hingga sekarang, setengah abad kemudian, telah gagal untuk mencapai “reforma”
Irlandia. Hanya dengan cara ini Marx dapat – tidak seperti para apologis kapital yang
berteriak-teriak mengenai hak bangsa-bangsa kecil untuk memisahkan diri sebagai
sesuatu yang utopis dan mustahil, dan mengenai sifat progresif dari konsentrasi
ekonomi dan juga politik – mendorong sifat progresif dari konsentrasi tersebut dengan
cara yang non-imperialis, untuk mendorong persatuan dari bangsa-bangsa, bukan
dengan pemaksaan, namun atas dasar persatuan bebas kaum proletariat dari semua
negeri. Hanya dengan cara ini Marx mampu, juga dalam hal solusi untuk persoalan
kebangsaan, mempertentangkan aksi revolusioner massa dengan pengakuan verbal
dan yang seringkali munafik atas kesetaraan dan hak sebuah bangsa untuk
menentukan nasibnya sendiri. Perang Imperialis tahun 1914-16 dan kandang
Augean[4] kemunafikan dari kaum oportunis dan para Kautskyian yang dibongkarnya
telah menegaskan kebenaran kebijakan Marx, yang harus menjadi model untuk semua
negeri-negeri maju; karena mereka semua saat ini menindas bangsa-bangsa lain.

6. Tiga Tipe Negeri Dalam Hubungannya dengan Hak Sebuah Bangsa Untuk
Menentukan Nasib Sendiri

Dalam hal ini, negeri-negeri harus dibagi menjadi tiga tipe utama:

Pertama, negeri-negeri kapitalis maju Eropa Barat dan Amerika Serikat. Di negeri-
negeri ini gerakan borjuis nasional yang progresif telah berakhir lama sekali. Setiap
bangsa “besar” tersebut menindas bangsa lain di dalam negeri-negeri jajahan dan di
dalam negeri mereka sendiri. Tugas proletariat di negeri-negeri berkuasa tersebut
adalah sama dengan proletariat di Inggris pada abad kesembilan belas dalam
hubungannya dengan Irlandia.

Kedua, Eropa Timur: Austria, Balkan dan terutama Rusia. Di sini adalah abad
keduapuluh yang secara khusus mengembangkan gerakan nasional borjuis-
demokratik dan mengintensifkan perjuangan nasional. Tugas proletariat di negeri-
negeri tersebut – berkaitan dengan pemenuhan reformasi borjuis-demokratik mereka,
juga berkaitan dengan membantu revolusi sosialis di negeri-negeri lainnya – tidak
dapat tercapai kecuali kalau mereka mendukung hak sebuah bangsa untuk
menentukan nasib sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut tugas paling sulit namun
paling penting adalah untuk menggabungkan perjuangan klas dari kaum buruh
bangsa-bangsa yang menindas dengan perjuangan klas dari kaum buruh bangsa-
bangsa yang tertindas.

Ketiga, negeri-negeri semi-kolonial seperti Cina, Persia, Turki dan semua negeri-
negeri jajahan, yang total populasinya berjumlah hingga satu miliar. Di negeri-negeri
tersebut, gerakan borjuis-demokratik entah baru saja mulai atau jauh sekali dari
selesai. Kaum sosialis bukan saja harus menuntut kemerdekaan tanpa syarat dan
segera untuk negeri-negeri jajahan tanpa kompensasi – dan tuntutan ini dalam
ekspresi politiknya berarti, tidak kurang dan tidak lebih, pengakuan atas hak
https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 7/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

penentuan nasib sendiri – tetapi juga harus memberikan dukungan tegas kepada
elemen-elemen yang lebih revolusioner dalam gerakan borjuis-demokratik untuk
pembebasan nasional di negeri-negeri tersebut dan membantu pemberontakan
mereka – jika perlu, perang revolusioner mereka – melawan kekuatan-kekuatan
imperialis yang menindas mereka.

7. Sosial-Sovinisme dan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri

Epos Imperialis dan perang tahun 1914-1916 [Perang Dunia Pertama] terutama
sekali telah membawa ke depan tugas melawan sovinisme dan nasionalisme di negeri-
negeri maju. Mengenai masalah hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri,
ada dua macam pendapat di antara kaum sosial-sovinis, yaitu kaum oportunis dan
kaum Kautskyian, yang memberikan hiasan pada perang imperialis yang reaksioner ini
dengan menyatakannya sebagai perang untuk “membela tanah air”.

Di satu sisi, ada para pelayan borjuasi yang membela aneksasi dengan alasan
bahwa konsentrasi politik dan imperialisme adalah sesuatu yang progresif dan yang
menolak hak penentuan nasib sendiri dengan alasan bahwa hal itu adalah utopis, ilusi,
borjuis kecil, dsb. Di antara mereka adalah Cunow[5], Parvus[6] dan para oportunis
ekstrim di Jerman, sebagian dari kaum Fabian[7] dan para pemimpin serikat buruh di
Inggris, dan kaum oportunis, Semkovsky, Liebman, Yurkevich, dan yang lainnya di
Rusia.

Di sisi yang lain, ada kaum Kautskyian, termasuk Vandervelde[8], Renaudel[9] dan
banyak kaum pasifis di Inggris, Perancis, dsb. Mereka mendukung persatuan dengan
orang-orang yang disebut sebelumnya, dan dalam praktek tingkah laku mereka adalah
sama, dimana mereka mendukung hak penentuan nasib sendiri dengan cara yang
sepenuhnya verbal dan munafik. Mereka menganggap tuntutan untuk kebebasan
pemisahan politik sebagai sesuatu yang “berlebihan” (“zu viel verlangt” – Kautsky
dalam Neue Zeit, 21 Mei 1915); mereka tidak mendukung perlunya taktik-taktik
revolusioner, terutama sekali untuk kaum Sosialis di negeri-negeri yang menindas,
tetapi, sebaliknya, mereka mengabaikan kewajiban revolusioner mereka, mereka
membenarkan oportunisme mereka, mereka mempermudah penipuan terhadap
rakyat, mereka justru menghindari masalah perbatasan sebuah negeri yang dengan
paksa mengekang bangsa-bangsa jajahan, dsb.

Kedua kelompok ini adalah kaum oportunis yang melacurkan Marxisme dan telah
kehilangan semua kapasitas untuk memahami makna teoritis dan urgensi praktis dari
taktik-taktik Marx, dimana dia telah memberikan sebuah contoh terkait dengan Irlandia.

Masalah aneksasi telah menjadi sebuah masalah yang terutama mendesak karena
perang. Namun apa itu aneksasi! Jelas, untuk melakukan protes terhadap aneksasi
menyiratkan entah pengakuan atas hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib
sendiri, atau bahwa protes tersebut berdasarkan frase pasifis yang membela status

https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 8/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

quo dan menentang semua kekerasan termasuk kekerasan revolusioner. Frase


semacam ini sangatlah keliru, dan tidak sesuai dengan Marxisme.

8. Tugas-tugas Kongkrit Proletariat ke Depan

Revolusi sosialis dapat saja mulai dalam waktu yang sangat dekat. Pada momen
tersebut kaum proletariat akan dihadapkan dengan tugas mendesak untuk merebut
kekuasaan, mengambil alih bank-bank dan melakukan langkah-langkah diktaktorial
lainnya. Dalam situasi semacam itu, kaum borjuasi, dan terutama sekali para
intelektual seperti kaum Fabian dan kaum Kautskyian, akan berusaha untuk
menghambat dan mengganggu revolusi, untuk membatasinya pada tujuan-tujuan
demokratik yang sempit. Sementara semua tuntutan yang murni demokratik dapat saja
– pada saat proletariat telah mulai menyerbu benteng-benteng kekuasaan borjuasi –
dalam makna tertentu menjadi hambatan bagi revolusi, meskipun demikian, keharusan
untuk mewartakan dan memberikan kebebasan kepada semua bangsa-bangsa
tertindas (yaitu hak mereka untuk menentukan nasib sendiri) akan sama mendesaknya
dalam revolusi sosialis seperti juga mendesak bagi kemenangan revolusi borjuis-
demokratik, contohnya di Jerman 1848 atau di Rusia pada 1905.

Namun, lima tahun, sepuluh tahun atau bahkan lebih lama lagi bisa belalu sebelum
revolusi sosialis dimulai. Dalam hal itu, tugas kita adalah untuk mendidik massa dalam
semangat revolusioner agar membuat mustahil bagi kaum sovinis dan oportunis
Sosialis untuk berada dalam partai buruh dan mencapai kemenangan serupa seperti
tahun 1914-1916. Menjadi tugas kaum Sosialis untuk menjelaskan kepada massa
bahwa kaum Sosialis Inggris yang gagal menuntut kebebasan untuk memisahkan diri
bagi negeri-negeri jajahan dan bagi Irlandia; bahwa kaum Sosialis Jerman yang gagal
menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi negeri-negeri jajahan, bagi rakyat
Alsatian[10], bagi Denmark dan bagi Polandia, dan yang gagal untuk menjalankan
propaganda revolusioner langsung serta aksi massa revolusioner ke dalam medan
perjuangan melawan penindasan nasional, yang gagal untuk menggunakan kasus-
kasus seperti insiden Zabern untuk melancarkan propaganda bawah tanah yang luas
di antara kaum proletariat dari bangsa yang menindas, untuk mengorganisir
demonstrasi jalanan dan aksi massa revolusioner; bahwa kaum Sosialis Rusia yang
gagal untuk menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi Finlandia, Polandia,
Ukraina, dsb, dsb – bertingkah laku seperti kaum sovinis, seperti antek-antek dari
kaum borjuasi imperialis dan monarki imperialis yang berlumuran darah dan lumpur.

9. Sikap Sosial Demokrasi Rusia dan Polandia serta Internasional Kedua[11]


terhadap Hak Penentuan Nasib Sendiri.

Perbedaan antara kaum Sosial Demokrat revolusioner Rusia dan Sosial Demokrat
Polandia mengenai masalah hak penentuan nasib sendiri muncul sedini tahun 1903 di
kongres yang mensahkan program Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia, dan yang,
kendati protes dari delegasi Sosial Demokrat Polandia, memasukkan program di poin
9, yang mengakui hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Sejak saat
https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 9/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

itu kaum Sosial Demokrat Polandia, atas nama Partai mereka, tidak pernah
mengulangi pengajuan untuk menghilangkan poin 9 dari program kita atau untuk
menggantikannya dengan formulasi yang lainnya.

Di Rusia – dimana tidak kurang dari 57 persen, yakni lebih dari 100 juta populasi,
berasal dari bangsa-bangsa yang tertindas, dimana bangsa-bangsa tersebut terutama
menempati provinsi-provinsi di perbatasan, dimana beberapa dari bangsa-bangsa
tersebut lebih berbudaya ketimbang Rusia Raya, dimana sistem politik dibedakan oleh
karakternya yang sangat barbar dan abad-pertengahan, dimana revolusi borjuis-
demokratik belum dituntaskan – pengakuan hak sebuah bangsa yang ditindas oleh
tsarisme untuk bebas memisahkan diri dari Rusia adalah sepenuhnya kewajiban bagi
Sosial Demokrasi demi kepentingan tugas-tugas demokratik dan sosialisnya. Partai
Kita, yang didirikan ulang pada Januari 1912, mensahkan resolusi pada 1913 yang
menegaskan hak untuk menentukan nasib sendiri dan menjelaskannya dalam makna
yang kongkrit seperti yang dijelaskan di atas. Kegilaan sovinisme Rusia-Raya
berkecamuk pada 1914-16 di antara kaum borjuasi dan kaum Sosialis oportunis
(Rubanovich[12], Plekhanov[13], Nashe Dyelo[14], dsb) mendorong kita untuk
menuntut lebih kuat ketimbang sebelumnya dan untuk menyatakan bahwa mereka-
mereka yang menolaknya melayani, dalam praktek, benteng sovinisme dan tsarisme
Rusia Raya. Partai kita menyatakan bahwa kita dengan tegas menolak semua
tanggung jawab atas oposisi terhadap hak penentuan nasib sendiri.

Formulasi terakhir dari posisi Sosial Demokrasi Polandia terhadap persoalan


kebangsaan (deklarasi yang dibuat oleh Sosial Demokrasi Polandia di Konferensi
Zimmerwald[15]) mengandung ide-ide sebagai berikut:

Deklarasi ini mengutuk Jerman dan pemerintahan lainnya yang menganggap


“provinsi Polandia” sebagai sandera untuk permainan kompensasi mendatang dan
dengan demikian “merampas dari rakyat Polandia hak untuk menentukan nasibnya
sendiri.” Deklarasi ini menyatakan: “Sosial Demokrasi Polandia secara tegas dan
serius memprotes pemecahan dan partisi terhadap sebuah negeri” … Sosial
Demokrasi Polandia mengutuk kaum Sosialis yang menyerahkan kepada
Hohenzollern[16] “tugas membebaskan bangsa-bangsa tertindas.” Sosial Demokrasi
Polandia mengekspresikan keyakinan bahwa hanya dengan partisipasi dalam
perjuangan kaum proletariat internasional revolusioner yang akan datang, dan hanya
dalam perjuangan untuk sosialisme, “rantai beban penindasan nasional dapat
dihancurkan dan menghapus semua bentuk dominasi asing, dan memastikan untuk
rakyat Polandia kemungkinan untuk berkembang secara bebas dan menyeluruh
sebagai anggota yang setara di dalam sebuah Liga Bangsa-Bangsa.” Deklarasi ini
juga mengakui bahwa perang yang sekarang ada adalah “perang saudara ganda”
“bagi rakyat Polandia.” (Bulletin of the International Socialist Committee, No. 2, 27
September 1915, hlm 15.)

https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 10/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

Tidak ada perbedaan dalam substansi antara postulat-postulat di atas dengan


pengakuan hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri kecuali bahwa
formulasi politik mereka masih terlalu kabur dan samar-samar ketimbang mayoritas
program dan resolusi dari Internasional Kedua . Usaha apapun untuk
mengekspresikan ide-ide tersebut dalam formula politik yang tepat dan untuk
menentukan apakah ide-ide ini berlaku dalam sistem kapitalis atau hanya di dalam
sistem sosialis akan semakin jelas membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh kaum
Sosial-Demokrat Polandia dalam menyangkal hak sebuah bangsa untuk menentukan
nasib sendiri.

Keputusan Kongres Internasional Kedua yang diselenggarakan di London pada


1896, yang mengakui hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, harus, di
atas dasar postulat-postulat yang disebutkan di atas, ditambahi dengan referensi pada:
(1) urgensi yang terutama dari tuntutan ini di bawah imperialisme; (2) sifat kondisional
secara politik dan isi klas dari semua tuntutan demokrasi politik, termasuk tuntutan ini;
(3) perlunya membedakan tugas-tugas konkrit dari kaum Sosial Demokrat di bangsa-
bangsa yang menindas dan di bangsa-bangsa yang tertindas; (4) pengakuan hak
penentuan nasib sendiri dari kaum oportunis dan kaum Kautskyian yang tidak
konsisten, sepenuhnya verbal, dan, oleh karenanya, sejauh signifikansi politiknya,
munafik; (5) kesamaan yang sesungguhnya antara kaum sonivis dan kaum Sosial
Demokrat, terutama sekali kaum Sosial Demokrat dari Kekuatan-kekuatan Besar
(Rusia Raya, Anglo-Amerika, Jerman, Perancis, Italia, Jepang, dsb) yang tidak
mendukung kebebasan untuk memisahkan diri bagi koloni-koloni dan bangsa-bangsa
yang ditindas oleh bangsa “mereka sendiri”; (6) perlunya mensubordinasi perjuangan
untuk tuntutan ini, dan juga untuk semua tuntutan demokrasi politik yang pokok,
kepada perjuangan massa revolusioner yang segera untuk menggulingkan
pemerintahan borjuis dan untuk mencapai sosialisme.

Untuk mencangkokkan kepada Internasional cara pandang beberapa bangsa-


bangsa kecil – terutama sekali cara pandang kaum Sosial Demokrat Polandia yang
dalam perjuangannya melawan borjuasi Polandia, yang menipu rakyat dengan slogan-
slogan nasionalis, disesatkan ke penolakan hak menentukan nasib sendiri – akan
merupakan kesalahan teoritis. Itu akan menggantikan Marxisme dengan
Prodhounisme dan, dalam praktek, akan memberikan dukungan tidak-sengaja kepada
sovinisme dan oportunisme yang paling berbahaya dari bangsa-bangsa Besar.

Dewan Editorial Sotsial-Democrat, Organ Sentral dari P.B.S.D.R [Partai


Buruh Sosial Demokrat Rusia]

Postscript. Dalam Die Neue Zeit pada tanggal 3 Maret 1916, yang baru saja
muncul, Kautsky secara terbuka mengulurkan tangan rekonsiliasi Kristen kepada

https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 11/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

Austerlitz , yakni seorang perwakilan sovinisme Jerman yang paling busuk, menolak
kebebasan untuk memisahkan diri bagi bangsa-bangsa yang tertindas di Hapsburg
Austria namun mengakuinya untuk Polandia Rusia, sebagai layanan kecil untuk
Hindenburg dan Wilhelm II . Tidak ada ekspose mengenai Kautskyisme yang lebih baik
daripada ini!

---------------

Catatan Untuk Tesis “Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa Untuk
Menentukan Nasib Sendiri”

Ditulis antara Januari-Februari 1916. Pertama kali diterbitkan tahun 1937 dalam
Lenin Miscellany XXX, diterjemahkan dari bahasa Jerman

Ada persamaan antara bagaimana umat manusia harus mencapai penghapusan


klas-klas dengan bagaimana umat manusia dapat mencapai fusi bangsa-bangsa.
Seperti halnya hanya sebuah tahapan transisi dari kediktaktoran oleh klas yang
tertindas akan membawa kita ke penghapusan klas-klas, maka hanya kemerdekaan
bangsa-bangsa tertindas dan penghapusan secara riil penindasan nasional akan
membawa kita pada fusi bangsa-bangsa, dan kriteria politik dari kemungkinan ini ada
pada kebebasan untuk memisahkan diri. Kebebasan untuk memisahkan diri adalah
alat politik terbaik dan satu-satunya untuk melawan sistem negeri-negeri kecil yang
konyol dan isolasi nasional yang, karena nasib baik umat manusia, tak terelakkan
sedang dihancurkan oleh seluruh perkembangan kapitalis.

Catatan:

[1] Alfred Dreyfys, seorang perwira Prancis, seorang Yahudi, yang pada 1894
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di pengadilan militer, berdasarkan tuduhan
fitnah bahwa dia melakukan spionase dan pengkhianatan. Pengadilan yang provokatif
dan penuh skandal ini diorganisir oleh kaum reaksioner. Gerakan untuk mendukung
Dreyfus mengekspos adanya korupsi di pengadilan dan pemerintahan, dan
menajamkan pertentangan antara kaum republikan dan royalis. Pada 1889 Dreyfus
dimaafkan dan dibebaskan. Hanya pada 1906, setelah kasus ini diperiksa kembali,
Dreyfus lalu direhabilitasi.

https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 12/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

[2] Pada 1913, seorang perwira Jerman menggunakan kata yang kasar yang
menghina penduduk kota Saverne. Penduduk Saverne melakukan protes tetapi
ditindas secara kejam oleh tentara, dimana banyak orang ditangkap tanpa alasan.
Peristiwa ini lalu menyulut perdebatan besar di Jerman dan krisis kepercayaan
terhadap pemerintah Jerman.

[3] Karl Kautsky (1854-1938) menyandang reputasi sebagai guru besar Marxis
Jerman. Lenin pun pada satu ketika menganggapnya sebagai gurunya. Akan tetapi,
dengan semakin dekatnya revolusi, semakin menjauh ia dari Marxisme revolusioner.
Sampai akhirnya dia menentang Revolusi Oktober mati-matian dan menjadi salah satu
kekuatan kontra-revolusioner. Lenin dan Trotsky mengecam mantan guru mereka ini
sebagai pengkhianat.

[4] Kandang Augean merujuk pada mitos Herkules, dimana Herkules ditugasi untuk
membersihkan Kandang Augean yang penuh dengan kotoran ternak, yang selama 30
tahun tidak pernah dibersihkan.

[5] Heinrich Cunow (1862-1936) adalah seorang politisi dari Partai Sosial Demokrat
Jerman dn editor koran teori Partai Sosial Demokrat Jerman, Die Neue Zeit, dari 1917
hingga 1923. Dia mendukung Perang Dunia Pertama dan pecah dari Marxisme.

[6] Alexander Parvus (1867-1924) adalah politisi Partai Sosial Demokrat Jerman,
yang juga aktif dalam gerakan revolusioner Rusia. Pada Revolusi 1905, dia terlibat dan
ditangkap oleh polisi Rusia bersama dengan Trotsky dan kaum revolusioner Rusia
lainnya. Sebagai bagian dari sosial demokrasi Jerman, dia mendukung Perang Dunia
Pertama.

[7] Fabian Society adalah sebuah gerakan sosialis intelektual di Inggris yang
tujuannya adalah mendorong prinsip sosial demokrasi melalui cara-cara reformis dan
bukan cara-cara revolusi. Kelompok ini dibentuk pada tahun 1884. Sekarang kelompok
ini adalah “think tank” untuk gerakan New Labournya Tony Blair, sebuah gerakan
sayap kanan di Partai Buruh Inggris.

[8] Emile Vandervelde (1866-1938) adalah seorang politisi dari Belgia dan presiden
Partai Buruh Belgia dari 1928-1938. Dia juga mengetuai Internasional Kedua dari
1900-1918, dimana dia mendukung Perang Dunia Pertama.

[9] Pierre Renaudel (1871-1935) adalah politisi sosialis dari Prancis, dan menjadi
pemimpin nasional dari SFIO, yakni seksi Prancis dari Internasional Kedua, yang hari
ini adalah Partai Sosialis Prancis. Dia adalah seorang reformis yang mendukung
Perang Dunia Pertama.

[10] Rakyat Alsatian adalah dari daerah Alsace, yakni wilayah Prancis yang
berbatasan dengan Jerman. Dari 1871-1918 daerah ini ada di bawah jajahan Jerman.

https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 13/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

[11] Internasional Kedua dibentuk pada 1881 oleh partai-partai buruh Eropa.
Organisasi internasional ini mendasarkan dirinya pada gagasan Marxisme. Akan tetapi
dalam perjalanannya, banyak para pemimpin Internasional Kedua mulai mengadopsi
gagasan reformisme. Pada 1914, mayoritas seksi Internasionale Kedua mendukung
Perang Dunia Pertama, dan ini menandai kehancuran organisasi tersebut.

[12] Ilya Rubanovich (1859-1920) adalah seorang revolusioner Rusia yang


bergabung dengan kelompok Narodnik, yakni Narodnaya Volya, pada 1880an, sebuah
kelompok populis yang berhasil membunuh Tsar Alexander II. Dia lalu bergabung
dengan Partai Sosialis Revolusioner. Pada saat Perang Dunia I, ia lalu mendukung
perang ini sebagai perang untuk membela tanah air. Dia juga lalu menentang Revolusi
Oktober.

[13] Georgi Plekhanov (1856-1918) adalah Bapak Marxisme Rusia. Dia adalah salah
satu pendiri organisasi Marxis pertama di Rusia: Kelompok Emansipasi Buruh.
Dianggap oleh Lenin sebagai gurunya, dia pada akhirnya berseberangan dengan
Lenin mengenai masalah Revolusi Rusia 1917, dan menentang Revolusi Oktober.

[14] Nashe Dyelo adalah koran kaum reformis Rusia.

[15] Konferensi Zimmerwald adalah konferensi internasional yang diselenggarakan


oleh kaum sosial-demokrat atau Marxis yang menentang Perang Dunia, yang
bertempat di Zimmerwald, Switzerland, pada 8 September 1915. Setelah mayoritas
kaum sosial demokrat Internasional Kedua memberikan dukungan mereka kepada
negara mereka masing-masing untuk meluncurkan Perang Dunia, kaum Marxis
revolusioner yang menentang perang pecah dari kaum sosial-demokrat reformis ini.
Ikut dalam konferensi ini antara lain adalah Lenin, Trotsky, Zinoviev, Radek, dan
Martov. Rosa Luxemburg walau tidak hadir juga mendukung kelompok Zimmerwald.

[16] Hohenzollern adalah adalah keluarga bangsawan yang memegang kekuasaan


di Prussia, Jerman, dan Rumania semenjak tahun 1100. Di Jerman dan Prusia, tahta
kerajaan mereka ditumbangkan oleh Revolusi Jerman 1918. Di Romania, pada 1947
mereka ditumbangkan oleh gerakan Komunis.

[17] Friedrich Austerlitz (1862-1931) adalah seorang jurnalis dan politisi sosial
demokrat Austria.

[18] Paul von Hindenburg (1847-1934) adalah seorang Jendral dari Jerman di dalam
Perang Dunia Pertama dan lalu menjadi presiden Jerman dari tahun 1925-1934.

[19] Wilhem II (1859 -1941) adalah Kaisar Jerman yang terakhir, yang memerintah
Kerajaan Jerman dan Prusia dari 1888 hingga 1918, dimana kerajaan dia
ditumbangkan oleh Revolusi Jerman.

Karya-karya V.I. Lenin | Séksi Bahasa Indonesia M.I.A.

https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 14/15
5/12/2021 V.I. Lenin: Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri (1916)

https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm 15/15

Anda mungkin juga menyukai