Anda di halaman 1dari 19

Nama :Indrawan Wicaksono/22041018320015

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan skizoafektif adalah penyakit dengan gejala psikotik yang


persisten, seperti halusinasi atau delusi, terjadi bersama-sama dengan masalah
suasana (mood disorder) seperti depresi, manik, atau episode campuran.1

Prevalensi kira-kira 0,2% di Amerika Serikat dari populasi umum dan


sampai sebanyak 9% orang dirawat di rumah sakit karena gangguan ini.
Gangguan skizoafektif diperkirakan terjadi lebih sering daripada gangguan
bipolar. Prevalensi pada pria lebih rendah daripada wanita. Onset umur pada
wanita lebih besar daripada pria, pada usia tua gangguan skizoafektif tipe depresif
lebih sering sedangkan untuk usia muda lebih sering gangguan skizoafektif tipe
bipolar. Laki-laki dengan gangguan skizoafektif kemungkinan menunjukkan
perilaku antisosial.2

Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala


definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif bersama-sama menonjol pada
saat yang bersamaan, atau dalam beberapa hari sesudah yang lain, dalam episode
yang sama. Sebagian diantara pasien gangguan skizoafektif mengalami episode
skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif atau campuran keduanya.3

Suatu gangguan psikotik dengan gejala-gejala skizofrenia dan manik yang


sama-sama menonjol dalam satu episode penyakit yang sama. Gejala-gejala
afektif diantaranya yaitu elasi dan ide- ide kebesaran, tetapi kadang-kadang
kegelisahan atau iritabilitas disertai oleh perilaku agresif serta ide-ide kejaran.
Terdapat peningkatan enersi, aktivitas yang berlebihan, konsentrasi yang
terganggu, dan hilangnya hambatan norma sosial. Waham kebesaran, waham
kejaran mungkin ada. Gejala skizofrenia juga harus ada, antara lain merasa
pikirannya disiarkan atau diganggu, ada kekuatan-kekuatan yang sedang berusaha
mengendalikannya, mendengar suara-suara yang beraneka beragam atau
menyatakan ide-ide yang bizarre. Onset biasanya akut, perilaku sangat terganggu,
namun penyembuhan secara sempurna dalam beberapa minggu.4

Beberapa data menunjukkan bahwa gangguan skizofrenia dan gangguan


afektif mungkin berhubungan secara genetik. Ada peningkatan resiko terjadinya
gangguan skizofrenia diantara keluarga dengan gangguan skizoafektif.
Pengobatan untuk dengan gangguan skizoafektif merespon baik terhadapat
pengobatan dengan obat antipsikotik yang dikombinasikan dengan obat mood
stabilizer atau pengobatan dengan antipsikotik saja. Untuk orang gangguan
skizoafektif dengan tipe manik, menggabungkan obat antipsikotik dengan mood
stabilizer cenderung bekerja dengan baik. Karena pengobatan yang konsisten
penting untuk hasil terbaik, psiko-edukasi pada penderita dan keluarga, serta
menggunakan obat long acting bisa menjadi bagian penting dari pengobatan pada
gangguan skizoafektif.2

Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah


perawatan di rumah sakit, medikasi, dan intervensi psikososial.Prinsip dasar yang
mendasari farmakoterapi untuk gangguan skizoafektif adalah bahwa protokol
antidepresan dan antimanik diikuti jika semuanya diindikasikan dan bahwa
antipsikotik digunakan hanya jika diperlukan untuk pengendalian jangka pendek.
Jika protokol thymoleptic tidak efektif di dalam mengendalikangejala atas dasar
berkelanjutan, medikasi antipsikotik dapat diindikasikan. Pasien dengan gangguan
skizoafektif, tipe bipolar, harusmendapatkan percobaan lithium, carbamazepine
(Tegretol), valproate (Depakene), atau suatu kombinasi obat- obat tersebut jika
satu obat saja tidak efektif. Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif,
harus diberikan percobaan antidepresan dan terapi elektrokonvulsif (ECT)
sebelum mereka diputuskan tidak responsive terhadap terapi antidepresan.5,6

Dalam lingkungan perawatan kesehatan saat ini, penggunaan teknik anestesi


umum dengan onset dan pemulihan yang cepat sangat penting untuk memfasilitasi
keluarnya pasien dalam 1-2 jam setelah ECT. Karena waktu paruh propofol lebih
pendek dari pada anestesi barbiturat dan, dengan keuntungan efek hemodinamik
yang kecil, propofol secara universal menjadi agen induksi pilihan, meskipun
biayanya lebih tinggi. Ini juga dianggap sebagai agen referensi karena penggunaan
yang lebih luas dan keuntungan dibandingkan yang lain.7,8,9

Anestesi umum yang paling banyak digunakan untuk ECT selama beberapa
dekade dan dianggap sebagai 'standar emas'. Namun, statusnya yang tidak
berlisensi di Inggris dan masalah dengan pasokannya menghadirkan kesulitan
praktis bagi mereka yang ingin menggunakannya. Ketamine (1,5–2 mg / kg) dan
etomidate (0,15–0,6 mg / kg) ) mungkin tampak lebih disukai daripada agen lain
karena kurangnya sifat antikonvulsan, namun, aspek lain seperti keamanan obat
memerlukan pertimbangan. Campuran ketamin-propofol ("ketofol") dan
kombinasi ketofol-dexmedetomidine (campuran ketofol-dex) dapat digunakan
sebagai agen induksi alternatif, yang mengatasi kerugian dari masing-masing
agen. Sevoflurane (5% -8% untuk induksi, diikuti oleh 1-2 konsentrasi alveolar
minimal [MAC] adalah satu-satunya agen inhalasi yang digunakan secara luas
untuk induksi pada ECT, dengan efek yang sebanding dengan agen intravena
(IV). Opioid, seperti remifentanil dalam dosis yang lebih tinggi, dapat digunakan
sebagai agen tunggal pada pasien yang refrakter terhadap induksi kejang. Namun,
obat ini biasanya tidak direkomendasikan sebagai agen tunggal dan
dikombinasikan dengan agen anestesi lain. Obat ini menawarkan keuntungan
dalam mengurangi respons hemodinamik terhadap ECT dan juga meningkatkan
durasi kejang dengan efek hemat dosis agen induksi.7,10,11

Tidak ada bukti kuat untuk merekomendasikan agen induksi tertentu untuk
ECT dan semua agen induksi yang tersedia saat ini cocok untuk ECT. Mereka
harus dipilih berdasarkan efeknya pada kualitas kejang, profil efek samping dan
waktu munculnya. Keseimbangan yang cermat perlu dicapai antara kondisi klinis
pasien dan agen induksi yang digunakan. Obat apa pun yang digunakan, lebih
disukai menggunakan obat yang sama selama ECT dan jarang perlu diganti
selama pengobatan.7
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas pasien

Nama :Sugeng Raharjo

Usia : 29 tahun

Ruang : Kenari kelas III

Rencana Tindakan :07.00 WIB

B. Anamnesis                  

A: Alergi disangkal

M:

- Asam valproat 250mg/12jam po


- Clozapine 100mg/24jam po malam
- Haloperidol 5mg/12jam
- Trihexyphenidil 2mg/12jam po

P: Asma(-), HT (-),  DM (-) , Penyakit jantung (-) riw. sedasi ECT dengan GA
sebelumnya, post tindakan baik

L: 6 jam pre tindakan

E: demam (-), sesak napas (-), pilek (-), batuk (-)

C. Pemeriksaan Fisik

KU : tampak gelisah, composmentis

TD : 110/70 mmHg
HR : 82 x/m reguler, cukup

RR : 20 x/m

T : 36.8°C

SpO2 : 99% room air

BB : 75 kg

TB : 170 cm

Status generalis

Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-)

Mulut : mallampati II buka mulut 3 jari, gigi goyang (-), gigi ompong (-), gigi
palsu (-)

Leher : deviasi trakea (-), benjolan (-) , leher kaku (-)

Paru : SD vesikuler (+/+), Rh(-/-) Wh(-/-)

Cor : BJ 1-2 Reguler, bising (-), gallop (-)

Abd : supel, BU (+) normal

Ext : edema (-/-), akral hangat (+/+), CRT kurang dari 2 detik

D. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium darah rutin dan kimia klinik 24/4/21

Pemeriksaan (24/4/21) Hasil Nlai Normal

Hb 17.5 12-15

HT 51.9 35-47

Leukosit 9.1 3,6-11

Trombosit 367 150 – 400


GDS 78 80-160

Ur 22 15-39

Cr 1.0 0.6-1.3

Na 146 136-145

K 3.9 3.5-5.0

Cl 103 95-105

E. Diagnosis

Skizoafektif tipe manik

F. Tatalaksana

Electro Convulsive Therapy (ECT) ke 6

GA TIVA asa II
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizoafektif
Berdasarkan pedoman diagnostik dari buku Pedoman Penatalaksanaan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)4 meliputi :
A. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat bila gejala-gejala
definitive adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama
menonjol pada saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam
beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode
penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini,
episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun
episode manik atau depresif
B. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala
skizofrenia dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang
berbeda
C. Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah
mengalami suatu episode psikotik, maka diberi kode diagnosis F20.4
(depresi paska skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode
skizoafektif berulang, baik berjenis manik (F25.0) maupun depresif
F25.1) atau campuran dari keduanya (F25.2). pasien lain mengalami
satu atau dua episode skizofreafektif terselip diantara episode manik
atau depresif (F30-F33).
A. Skizoafektif tipe manik
Pedoman diagnostic dalam PPDGJ III4
- Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik
yang tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan Sebagian
besar episode skizoafektif tipe manik
- Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek
yang tak begitu menonjol dikombinasikan dengan iritabilitas atau
kegelisahan yang memuncak
- Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu, atau
lebih baik dari dua, gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana
ditetapkan untuk skizofrenia, F20,- pedoman diagnostic a sampai
d)
Pedoman diagnostic dalam DSM V12
A. Mempunyai durasi tidak terputus dari sebuag episode mayor
dari manik atau depresi sebagai tambagan dalam kriteria A
untuk skizofrenia. Kriteria skizofrenia A, meliputi dua atau lebih
dari presentasi, dengan setiap gejala dengan durasi signifikan
periode 1 bulan. Setidaknya harus memenuhi 3 poin pertama
dibawah ini :
- Delusi
- Halusinasi
- Pembicaraan disorganisir
- Perilaku katatonik
- Gejala negative
B. Halusinasi dan delusi dalam dua minggu atau lebih dengan tidak
adanya episode mayor mood selama durasi dari penyakit.
C. Gejala yag memenuhi kriteria episode suasana hati mayor
muncul di Sebagian besar durasi total bagian aktif serta sisa
penyakit
D. Gangguan tidak muncul sebagai efek dari suatu zat atau adanya
kondisi medis yang mendasari.
Etiologi
Istilah skizoafektif pertama kali muncul menjadi subtype dalam
skizofrenia pada edisi pertama DSM. Namun seiring berjalannya waktu,
skizoafektif menjadi diagnosis tersendiri, berdasarkan adanya perbedaan
etiologic dan patofisiologi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 50% pasien dengan skizofrenia
juga memiliki komorbid depresi. Ptogenesis diantara kelainan mood dan
skizofrenia sangat beragam dengan rentang yang sangat luas mencakup
berbagai factor resiko seperti genetic, factor sosial, trauma dan stress.
Diantara pasien dengan skizofrenia, terdapat peningkatan resiko kejadian
skizoafektif pada keluarga tingkat pertama, begitupun sebaliknya.13
Patofisiologi
Patofisiologi tepat dari kelainan psikoafektif belum diketahui. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya ketidaknormalan dari dopamine,
norepinefrin, dan serotonin memainkan peran yang penting. Juga, adanya
ketidaknormalan substansia alba pada beberapa daerah di otak, terutama
di nucleus lentiformis dekstra, girus temporalis sinistra, dan prekuneus
dekstra berhubungan dengan kejadian skizofrenia dan skizoafektif.
Peneliti juga menemukan berkurangnya volume hipokampus berhubungan
dengan kejadian skizoafektif.13
Tatalaksana13
Tatalaksana dalam kelainan skizoafektif meliputi farmakoterapi dan
psikoterapi. Regimen pengobatan harus termasuk antipsikotik, namun
pilihan terapi harus disesuaikan secara individu. Bila pasien skizoafektif
dengan adanya kemungkinan membahayakan diri sendiri atau orang lain,
rawat inap merupakan pilihan yang dianjurkan, termasuk juga pada pasien
yang tidak mampu mejalani aktivitas sehari-sehari secara mandiri atau
ketidakmampuan menjalani kehidupan fungsional.
Antipsikotik digunakan untuk menarget psikosis dan perilaku agresif pada
skizoafektif. Gejala lain termasuk delusi, halusinasi, gejala negative, dan
perilaku. Paling panya menggunakan antipsikotik generasi pertama dan
kedua dengan antipsikotik yang memblokade reseptor dopamine.
Clozapine banyak digunakan pada kasus refrakter, kebanyakan pada
skizofrenia
Mood stabilizer diperlukan pada pasien dengan Riwayat gejala manik atau
hipomanik. Pengobatannya termasuk, lithium, asam valproate,
karbamazepine, oxcarbazepine, dan lamotrigine menarget disregulasi
mood.
Psikoterapi rencana terapi meliputi program terapi individu, keluarga dan
psikoedukasional. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan kognitif
untuk mencegah kekambuhan dan kemungkinan rawat inap Kembali.
Terapi ini juga termasuk edukasi tentang kelainan, etiologic, dan
tatalaksana.
ECT diindikasikan pada kasus dengan katatonia dan agresif. ECT terbukti
aman dan efektif untuk kebanyakan pasien rawat inap kronik14
2.2 (Electroconvulsive therapy / ECT)

ECT merupakan salah satu metode pengobatan tertua di bidang


psikiatri, pertama kali diperkenalkan 80 tahun yang lalu di Roma ketika
Ugo Cerletti dan Lucio Bini menggunakan arus listrik untuk menimbulkan
kejang epilepsi untuk tujuan terapeutik ECT paling umum digunakan
untuk mengobati depresi berat atau yang resistan terhadap pengobatan,
meskipun dapat juga bermanfaat untuk mania dan katatonia. ECT
menginduksi epilepsi umum tonik-klonik kejang, meski sudah dijelaskan
pertama kali pada tahun 1938 mekanisme aksi yang tepat tetap ada sukar
dipahami. Selama hampir 30 tahun itu dilakukan tanpa obat bius. Sekarang
anestesi umum banyak digunakan dalam prosedur ECT.15
Gambar 1. Posisi ECT16

A. ECT dalam Pengobatan Gangguan Afektif

Meduna menganggap terapi kejang sebagai pengobatan untuk


skizofrenia. Namun, terapi kejang terbukti lebih efektif untuk pengobatan
gangguan afektif. Saat ini, depresi berat adalah indikasi pertama untuk
ECT. Antara tahun 1960-an dan 1980-an, beberapa penelitian menyelidiki
efektivitas ECT. Mayoritas studi acak terkontrol mengkonfirmasi
keunggulan ECT untuk pengobatan gangguan afektif, dan temuan ini
didukung oleh beberapa meta-analisis.Terlepas dari efek antidepresannya,
ECT juga memiliki efek anti-bunuh diri yang jelas. Oleh karena itu, ECT
direkomendasikan sebagai pengobatan pilihan pertama untuk pasien yang
berisiko tinggi untuk bunuh diri. Pada pasien yang resistan terhadap
farmakoterapi, pemeliharaan ECT terbukti menjadi alternatif yang efektif
dalam pencegahan kekambuhan.15

B. ECT dalam Pengobatan Psikosis dan Skizofrenia

Di beberapa negara berkembang, termasuk India dan Cina, dua


negara terbanyak dengan kasus skizofrenia, ECT tetap menjadi indikasi
pertama. Meskipun antipsikotik sama efektifnya untuk skizofrenia, alasan
keuangan dapat menjelaskan penggunaan umum ECT pada populasi
pasien ini. ECT yang tidak dimodifikasi masih dipraktikkan di negara
berkembang karena sumber daya keuangan yang terbatas.17

Resistensi terhadap farmakoterapi tetap menjadi masalah serius


dalam pengobatan skizofrenia. ECT bisa menjadi strategi augmentasi
untuk meningkatkan efek obat antipsikotik. ECT juga dapat meningkatkan
clozapine pada pasien yang resisten terhadap clozapine. Kondisi psikotik
yang merespon dengan baik terhadap ECT termasuk catatonia dan keadaan
psikotik sebelum dan sesudah melahirkan. Menggabungkan pemeliharaan
ECT dengan obat antipsikotik adalah strategi yang efektif untuk
pencegahan kekambuhan pada skizofrenia.18,19,20
C. Efek merugikan dari ECT

Sejak awal, tujuan psikiater adalah membuat ECT seaman


mungkin dengan mengurangi efek sampingnya seminimal mungkin.
Sebagai hasil dari upaya ini, relaksasi otot dan anestesi diperkenalkan pada
awal 1950-an. Pentingnya meminimalkan efek samping kognitif telah
diakui sejak dini dan teknik stimulasi unilateral diperkenalkan pada awal
tahun 1954. Upaya terbaru untuk mengurangi efek samping kognitif fokus
pada perubahan dari stimulasi denyut nadi singkat menjadi sangat singkat.
Sementara beberapa kesaksian individu melaporkan gangguan memori
jangka panjang dan parah setelah ECT, tes psikologis ekstensif tidak dapat
mendeteksi defisit memori yang signifikan lebih dari enam bulan setelah
ECT.15

2.3 Anestesi GA pada Prosedur ECT


Gambar 2. Prosedur anestesi pada ECT21

A. Pra-medikasi

Agen antikolinergik seperti glikopirolat dan atropin sering


diberikan untuk melawan pelepasan parasimpatis awal. Glikopirolat (0,01
mg / kg) lebih disukai dan diberikan baik secara intramuskular setidaknya
3 menit sebelum prosedur terjadwal atau secara intravena sebelum
menyuntikkan agen induksi. Ini dapat menurunkan kemungkinan dan
keparahan bradikardia atau asistol dan risiko aspirasi karena efek vagal
dari ECT. Penggunaan antikolinergik secara rutin, bagaimanapun, telah
dikritik sebagai hal yang tidak perlu. Mereka mungkin sangat berguna
pada pasien yang menerima agen penghambat simpatis, seperti beta-
blocker atau yang ambang kejang belum ditetapkan (yaitu, untuk mereka
yang menjalani sesi ECT pertama mereka). Beta blocker seperti esmolol (1
mg / kg) dan labetalol (0,3 mg / kg) dapat digunakan untuk mengurangi
respon simpatis dari lonjakan tekanan sistolik dan detak jantung. Namun,
mereka harus dipertimbangkan setelah evaluasi rinci dari setiap risiko
kardiovaskular pasien. Esmolol memiliki efek yang lebih rendah pada
durasi kejang dibandingkan labetalol. Penghambat saluran kalsium dan
agonis alfa 2 juga dapat digunakan. Clonidine dan dexmedetomidine (1
mcg / kg selama 10 menit sebelum induksi anestesi) mengontrol tekanan
darah tanpa mempengaruhi durasi kejang. Obat-obatan yang meningkatkan
morbiditas (lithium) atau menurunkan kemanjuran (benzodiazepin,
antikonvulsan) ECT harus dinilai.7,22

Oksigenasi

Banyak pasien menjadi hipoksia dan sianosis dengan hilangnya


kontrol sfingter dengan praktik ECT yang tidak dimodifikasi. Pengenalan
ECT yang dimodifikasi dengan hasil relaksasi otot dalam mengurangi
kebutuhan oksigen. Meskipun demikian, konsumsi oksigen otak
meningkat hampir 200% selama kejang. Oleh karena itu, rekomendasi
standar bahwa paru-paru harus diventilasi dengan 100% oksigen dengan
kecepatan 15-20 napas / menit, dimulai kira-kira 1 menit sebelum induksi,
dilanjutkan sampai pernapasan spontan kembali. Hiperventilasi dapat
memperpanjang kejang.7

Agen Induksi

Agen induksi menyebabkan amnesia untuk periode singkat


stimulasi listrik dan aksi agen relaksasi otot. Berbagai agen induksi dapat
digunakan tergantung pada karakteristik klinis pasien. Agen induksi yang
ideal harus memiliki waktu paruh yang pendek dengan onset dan
pemulihan yang cepat, menjaga stabilitas hemodinamik dan tidak memiliki
gangguan dengan durasi kejang atau ambang kejang.23

Ketersediaan dan preferensi agen induksi

Sodium pentothal (2-4 mg / kg) adalah agen induksi pertama yang


digunakan karena ketersediaannya pada saat itu. Methohexital (0,5–1,0 mg
/ kg), barbiturat yang lebih baru, menjadi lebih populer setelah
perkembangannya. Ini tetap menjadi anestesi umum yang paling banyak
digunakan untuk ECT selama beberapa dekade dan dianggap sebagai
'standar emas'. Ketamine (1,5–2 mg / kg) dan etomidate (0,15–0,6 mg / kg)
) mungkin tampak lebih disukai daripada agen lain karena kurangnya sifat
antikonvulsan, namun, aspek lain seperti keamanan obat memerlukan
pertimbangan. Kombinasi ketamin-propofol ("ketofol") dan kombinasi
ketofol-dexmedetomidine (campuran ketofol-dex) dapat digunakan
sebagai agen induksi alternatif, yang mengatasi kerugian dari masing-
masing agen.24

Sevoflurane (5% -8% untuk induksi, diikuti oleh 1-2 konsentrasi


alveolar minimal [MAC] adalah satu-satunya agen inhalasi yang
digunakan secara luas untuk induksi pada ECT, dengan efek yang
sebanding dengan agen intravena (IV). Agen ini memiliki keuntungan
dalam melemahkan kontraksi uterus setelah ECT dan digunakan pada
trimester ketiga kehamilan. Opioid, seperti remifentanil dalam dosis yang
lebih tinggi, dapat digunakan sebagai agen tunggal pada pasien yang
refrakter terhadap induksi kejang. Namun, obat ini biasanya tidak
direkomendasikan sebagai agen tunggal dan dikombinasikan dengan agen
anestesi lain. Tidak ada bukti kuat untuk merekomendasikan agen induksi
tertentu untuk ECT dan semua agen induksi yang tersedia saat ini cocok
untuk ECT. Mereka harus dipilih berdasarkan efeknya pada kualitas
kejang, profil efek samping dan waktu munculnya.7

Pertimbangan pasca operasi


Pemantauan standar harus diterapkan selama pemulihan dan
suplementasi oksigen dilanjutkan sampai saturasi oksigen memadai.
Kebanyakan pasien sembuh dengan cepat dan dapat dipulangkan sesuai
dengan kriteria standar. Kehadiran pendamping terlatih yang akrab bagi
pasien dapat meyakinkan. Efek samping yang paling umum adalah
kebingungan, agitasi, perilaku kekerasan, amnesia, sakit kepala, mialgia,
serta mual dan muntah. Komplikasi kardiovaskular juga masih dapat
terjadi pada tahap ini. Agitasi yang muncul bisa menjadi masalah yang
paling menantang untuk ditangani. Dosis kecil midazolam mungkin
berguna untuk pemulihan.16
 

BAB IV

PEMBAHASAN

ECT diindikasikan pada kasus dengan perilaku katatonia dan


agresif, dan masih terbukti aman dan efektif untuk kebanyakan pasien
rawat inap kronik.14 Dalam beberapa studi acak terkontrol mengkonfirmasi
keunggulan ECT dalam pengobatan gangguan afektif dan temuan ini
didukung oleh beberapa meta analisis.15

Di beberapa negara berkembang, termasuk India dan Cina, dua


negara terbanyak dengan kasus skizofrenia, ECT tetap menjadi indikasi
pertama. Meskipun antipsikotik sama efektifnya untuk skizofrenia, alasan
keuangan dapat menjelaskan penggunaan umum ECT pada populasi
pasien ini. ECT yang tidak dimodifikasi masih dipraktikkan di negara
berkembang karena sumber daya keuangan yang terbatas.17

Beberapa efek negative paska prosedur ECT harus mnejadi


perhatian bagi klinisi, termasuk adanya ganguuan memori jangka Panjang,
sedangkan tes psikologis ekstensif tidak dapat mendeteksidefisit memori
yang signifikan lebih dari enam bulan paska ECT15

Pada pasien ini terdiagnosis dengan skizoafektif tipe manik oleh


dokter psikiatri dan rencana akan mendapatkan prosedur ECT ke 6

Pemantauan standar harus diterapkan selama pemulihan dan


suplementasi oksigen dilanjutkan sampai saturasi oksigen memadai.
Kebanyakan pasien sembuh dengan cepat dan dapat dipulangkan sesuai
dengan kriteria standar. Kehadiran pendamping terlatih yang akrab bagi
pasien dapat meyakinkan. Efek samping yang paling umum adalah
kebingungan, agitasi, perilaku kekerasan, amnesia, sakit kepala, mialgia,
serta mual dan muntah. Komplikasi kardiovaskular juga masih dapat
terjadi pada tahap ini. Agitasi yang muncul bisa menjadi masalah yang
paling menantang untuk ditangani. Dosis kecil midazolam mungkin
berguna untuk pemulihan.16
BAB V

PENUTUP

Seorang laki-laki dengan diagnosis skizoafektif tipe manik usia 29 tahun


telah dikonsulkan ke TS bagian psikiatri ke bagian Anesthesiologi dan terapi
intensif, dan akan menerima prosedur ECT ke 6 dengan general anesthesi TIVA.
DAFTAR PUSTAKA

1. Schizoaffective disorder. In: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders


DSM-IV-TR. 4th ed. Arlington, Va.: American Psychiatric
Association;2000.http://www.psychiatry online. com.
2. Melissa Conrad Stöppler. 2013. Schizoaffective disorder. http://www.medicinenet.com.
3. Ken Duckworth, M.D., and Jacob L. Freedman, M.D. 2012. Schizoaffective disorder.
4. Rusdi Maslim. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. 2013
5. Prudic J, Roger HW, Vaughn M, Keith I,Thomas C, Peter B, et al. 2013. Sackeim
Pharmacological Strategies in the Prevention of Relapse Following Electroconvulsive
Therapy. 29(1):3-12.
6. Baghai CT, Hans-Jürgen M. 2008. Electroconvulsive therapy and its different indications.
10(1):105-117
7. Pavan Kumar Kadiyala and Lakshmi Deepthi Kadiyala. Anaesthesia for electroconvulsive
therapy: An overview with an update on its role in potentiating electroconvulsive therapy.
Indian J Anaesth. 2017 May; 61(5): 373–380. doi: 10.4103/ija.IJA_132_17
8. Hoyer C, Kranaster L, Janke C, Sartorius A. Impact of the anesthetic agents ketamine,
etomidate, thiopental, and propofol on seizure parameters and seizure quality in
electroconvulsive therapy: A retrospective study. Eur Arch Psychiatry Clin Neurosci.
2014;264:255–61. [PubMed] [Google Scholar]
9. Firouzian A, Tabassomi F. Is ketamine-propofol mixture (ketofol) an appropriate
alternative induction agent for electroconvulsive therapy? Saudi J Anaesth. 2013;7:476–7.
[PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]
10. Dunne RA, McLoughlin DM. ECT prescribing and practice. In: Waite J, Easton A,
editors. The ECT Handbook. 3rd ed. London: Royal College of Psychiatrists Publications;
2013. pp. 28–44. [Google Scholar]
11. Kellner CH, editor. Brain Stimulation in Psychiatry: ECT, DBS, TMS and Other
Modalities. 1st ed. Cambridge: Cambridge University Press; 2012. Electroconvulsive
therapy (ECT): Technique; pp. 56–60. [Google Scholar]
12. Malaspina D, Owen MJ, Heckers S, Tandon R, Bustillo J, Schultz S, Barch DM, Gaebel
W, Gur RE, Tsuang M, Van Os J, Carpenter W. Schizoaffective Disorder in the DSM-
5. Schizophr Res. 2013 Oct;150(1):21-5
13. Wy TJP, Saadabadi A. Schizoaffective Disorder. [Updated 2020 Nov 19]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541012/
14. Iancu I, Pick N, Seener-Lorsh O, Dannon P. Patients with schizophrenia or
schizoaffective disorder who receive multiple electroconvulsive therapy sessions:
characteristics, indications, and results. Neuropsychiatr Dis Treat. 2015;11:853-62
15. Gazdag G, Ungvari GS. Electroconvulsive therapy: 80 years old and still going
strong. World J Psychiatry. 2019;9(1):1-6.
16. Uppal V, Dourish J, Macfarlane A. Anaesthesia for electroconvulsive therapy. Continuing
Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain J. 2010; 10(6)
17. Tang YL, Jiang W, Ren YP, Ma X, Cotes RO, McDonald WM. Electroconvulsive
therapy in China: clinical practice and research on efficacy. J ECT. 2012;28:206–212
18. Sinclair D, Adams CE. Treatment resistant schizophrenia: a comprehensive survey of
randomised controlled trials. BMC Psychiatry. 2014;14:253
19. Lally J, Tully J, Robertson D, Stubbs B, Gaughran F, MacCabe JH. Augmentation of
clozapine with electroconvulsive therapy in treatment resistant schizophrenia: A
systematic review and meta-analysis. Schizophr Res. 2016;171:215–224. 
20. Ward HB, Szabo ST, Rakesh G. Maintenance ECT in schizophrenia: A systematic
review. Psychiatry Res. 2018;264:131–142.
21. Helsloot, D., & Lauweryns, J. Anesthesia for electroconvulsive therapy: guidelines for
daily practice. European Journal of Anaesthesiology. 2012; 29(106)
22. Ross L. Electroconvulsive therapy. In: Urman R, Gross WL, Philip BK,
editors. Anesthesia Outside of the Operating Room. 1st ed. New York: Oxford University
Press; 2011. pp. 251–9.
23. Gih DE, Taylor E, Biermann B. Anesthesia. In: Ghaziuddin N, Walter G,
editors. Electroconvulsive Therapy in Children and Adolescents. 1st ed. New York:
Oxford University Press; 2013. pp. 125–39
24. Shams T, El-Masry R. Ketofol-dexmedetomidine combination in ECT: A punch for
depression and agitation. Indian J Anaesth. 2014;58:275–80

Anda mungkin juga menyukai