BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi umum yang paling banyak digunakan untuk ECT selama beberapa
dekade dan dianggap sebagai 'standar emas'. Namun, statusnya yang tidak
berlisensi di Inggris dan masalah dengan pasokannya menghadirkan kesulitan
praktis bagi mereka yang ingin menggunakannya. Ketamine (1,5–2 mg / kg) dan
etomidate (0,15–0,6 mg / kg) ) mungkin tampak lebih disukai daripada agen lain
karena kurangnya sifat antikonvulsan, namun, aspek lain seperti keamanan obat
memerlukan pertimbangan. Campuran ketamin-propofol ("ketofol") dan
kombinasi ketofol-dexmedetomidine (campuran ketofol-dex) dapat digunakan
sebagai agen induksi alternatif, yang mengatasi kerugian dari masing-masing
agen. Sevoflurane (5% -8% untuk induksi, diikuti oleh 1-2 konsentrasi alveolar
minimal [MAC] adalah satu-satunya agen inhalasi yang digunakan secara luas
untuk induksi pada ECT, dengan efek yang sebanding dengan agen intravena
(IV). Opioid, seperti remifentanil dalam dosis yang lebih tinggi, dapat digunakan
sebagai agen tunggal pada pasien yang refrakter terhadap induksi kejang. Namun,
obat ini biasanya tidak direkomendasikan sebagai agen tunggal dan
dikombinasikan dengan agen anestesi lain. Obat ini menawarkan keuntungan
dalam mengurangi respons hemodinamik terhadap ECT dan juga meningkatkan
durasi kejang dengan efek hemat dosis agen induksi.7,10,11
Tidak ada bukti kuat untuk merekomendasikan agen induksi tertentu untuk
ECT dan semua agen induksi yang tersedia saat ini cocok untuk ECT. Mereka
harus dipilih berdasarkan efeknya pada kualitas kejang, profil efek samping dan
waktu munculnya. Keseimbangan yang cermat perlu dicapai antara kondisi klinis
pasien dan agen induksi yang digunakan. Obat apa pun yang digunakan, lebih
disukai menggunakan obat yang sama selama ECT dan jarang perlu diganti
selama pengobatan.7
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien
Usia : 29 tahun
B. Anamnesis
A: Alergi disangkal
M:
P: Asma(-), HT (-), DM (-) , Penyakit jantung (-) riw. sedasi ECT dengan GA
sebelumnya, post tindakan baik
C. Pemeriksaan Fisik
TD : 110/70 mmHg
HR : 82 x/m reguler, cukup
RR : 20 x/m
T : 36.8°C
BB : 75 kg
TB : 170 cm
Status generalis
Mulut : mallampati II buka mulut 3 jari, gigi goyang (-), gigi ompong (-), gigi
palsu (-)
Ext : edema (-/-), akral hangat (+/+), CRT kurang dari 2 detik
D. Pemeriksaan penunjang
Hb 17.5 12-15
HT 51.9 35-47
Ur 22 15-39
Cr 1.0 0.6-1.3
Na 146 136-145
K 3.9 3.5-5.0
Cl 103 95-105
E. Diagnosis
F. Tatalaksana
GA TIVA asa II
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skizoafektif
Berdasarkan pedoman diagnostik dari buku Pedoman Penatalaksanaan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)4 meliputi :
A. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat bila gejala-gejala
definitive adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama
menonjol pada saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam
beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode
penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini,
episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun
episode manik atau depresif
B. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala
skizofrenia dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang
berbeda
C. Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah
mengalami suatu episode psikotik, maka diberi kode diagnosis F20.4
(depresi paska skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode
skizoafektif berulang, baik berjenis manik (F25.0) maupun depresif
F25.1) atau campuran dari keduanya (F25.2). pasien lain mengalami
satu atau dua episode skizofreafektif terselip diantara episode manik
atau depresif (F30-F33).
A. Skizoafektif tipe manik
Pedoman diagnostic dalam PPDGJ III4
- Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik
yang tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan Sebagian
besar episode skizoafektif tipe manik
- Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek
yang tak begitu menonjol dikombinasikan dengan iritabilitas atau
kegelisahan yang memuncak
- Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu, atau
lebih baik dari dua, gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana
ditetapkan untuk skizofrenia, F20,- pedoman diagnostic a sampai
d)
Pedoman diagnostic dalam DSM V12
A. Mempunyai durasi tidak terputus dari sebuag episode mayor
dari manik atau depresi sebagai tambagan dalam kriteria A
untuk skizofrenia. Kriteria skizofrenia A, meliputi dua atau lebih
dari presentasi, dengan setiap gejala dengan durasi signifikan
periode 1 bulan. Setidaknya harus memenuhi 3 poin pertama
dibawah ini :
- Delusi
- Halusinasi
- Pembicaraan disorganisir
- Perilaku katatonik
- Gejala negative
B. Halusinasi dan delusi dalam dua minggu atau lebih dengan tidak
adanya episode mayor mood selama durasi dari penyakit.
C. Gejala yag memenuhi kriteria episode suasana hati mayor
muncul di Sebagian besar durasi total bagian aktif serta sisa
penyakit
D. Gangguan tidak muncul sebagai efek dari suatu zat atau adanya
kondisi medis yang mendasari.
Etiologi
Istilah skizoafektif pertama kali muncul menjadi subtype dalam
skizofrenia pada edisi pertama DSM. Namun seiring berjalannya waktu,
skizoafektif menjadi diagnosis tersendiri, berdasarkan adanya perbedaan
etiologic dan patofisiologi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 50% pasien dengan skizofrenia
juga memiliki komorbid depresi. Ptogenesis diantara kelainan mood dan
skizofrenia sangat beragam dengan rentang yang sangat luas mencakup
berbagai factor resiko seperti genetic, factor sosial, trauma dan stress.
Diantara pasien dengan skizofrenia, terdapat peningkatan resiko kejadian
skizoafektif pada keluarga tingkat pertama, begitupun sebaliknya.13
Patofisiologi
Patofisiologi tepat dari kelainan psikoafektif belum diketahui. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya ketidaknormalan dari dopamine,
norepinefrin, dan serotonin memainkan peran yang penting. Juga, adanya
ketidaknormalan substansia alba pada beberapa daerah di otak, terutama
di nucleus lentiformis dekstra, girus temporalis sinistra, dan prekuneus
dekstra berhubungan dengan kejadian skizofrenia dan skizoafektif.
Peneliti juga menemukan berkurangnya volume hipokampus berhubungan
dengan kejadian skizoafektif.13
Tatalaksana13
Tatalaksana dalam kelainan skizoafektif meliputi farmakoterapi dan
psikoterapi. Regimen pengobatan harus termasuk antipsikotik, namun
pilihan terapi harus disesuaikan secara individu. Bila pasien skizoafektif
dengan adanya kemungkinan membahayakan diri sendiri atau orang lain,
rawat inap merupakan pilihan yang dianjurkan, termasuk juga pada pasien
yang tidak mampu mejalani aktivitas sehari-sehari secara mandiri atau
ketidakmampuan menjalani kehidupan fungsional.
Antipsikotik digunakan untuk menarget psikosis dan perilaku agresif pada
skizoafektif. Gejala lain termasuk delusi, halusinasi, gejala negative, dan
perilaku. Paling panya menggunakan antipsikotik generasi pertama dan
kedua dengan antipsikotik yang memblokade reseptor dopamine.
Clozapine banyak digunakan pada kasus refrakter, kebanyakan pada
skizofrenia
Mood stabilizer diperlukan pada pasien dengan Riwayat gejala manik atau
hipomanik. Pengobatannya termasuk, lithium, asam valproate,
karbamazepine, oxcarbazepine, dan lamotrigine menarget disregulasi
mood.
Psikoterapi rencana terapi meliputi program terapi individu, keluarga dan
psikoedukasional. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan kognitif
untuk mencegah kekambuhan dan kemungkinan rawat inap Kembali.
Terapi ini juga termasuk edukasi tentang kelainan, etiologic, dan
tatalaksana.
ECT diindikasikan pada kasus dengan katatonia dan agresif. ECT terbukti
aman dan efektif untuk kebanyakan pasien rawat inap kronik14
2.2 (Electroconvulsive therapy / ECT)
A. Pra-medikasi
Oksigenasi
Agen Induksi
BAB IV
PEMBAHASAN
PENUTUP