Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

OSEANOGRAFI

Disusun oleh :
NAMA : ELLY PUSPITANINGRUM
NIM : 03/171116/PN/09890
PRODI : MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN
ASISTEN : JAMALUDIN RASYID

LABORATORIUM EKOLOGI PERAIRAN


JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2005
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmatNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan praktikum oseanografi dengan baik. Praktikum oseanografi merupakan
syarat kelulusan dari mata kuliah oseanografi dan sebagai syarat mengikuti responsi. Laporan
tersusun atas beberapa bab yang mempelajari tentang aspek-aspek fisik, kimia, dan biologi
laut.
Penulisan laporan ini dapat terlaksana dan tersusun dengan baik dengan bantuan dari
beberapa pihak yang telah memberikan semangat, dukungan moral, dan bantuan. Tak lupa
saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. orang tua dan sahabat yang selalu membantu dan memberiku semangat.
2. seluruh asisten praktikum fisiologi hewan air, khususnya mbak wiwin.
3. seluruh teman-teman praktikan fisiologi hewan air.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak trdapat
kekurangan. Hal tersebut tidak lain karena keterbatasan yang ada pada penulis. Koreksi,
kritikan, dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan laporan.
Akhirnya tiada harapan yang lebih selain, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 28 Mei 2005

Penulis

2
LAPORAN PRAKTIKUM
OSEANOGRAFI

Oleh
ELLY PUSPITANINGRUM
03/171116/PN/09890

Laporan ini diterima sebagai persyaratan


yang diperlukan untuk kelulusan mata kuliah
Oseanografi

Disetujui pada tanggal : 29 Mei 2005

Asisten

Jamaludin Rasyid

Dosen Pengampu
Oseanografi

Eko Setyobudi, S.Pi, M. Si

3
I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Oseanografi bila dilihat dari asal katanya berarti “deskripsi dari laut” tetapi dalam arti
luas oseanografi merupakan ilmu mengenai laut atau suatu disiplin ilmu yang mencakup
segala aspek dari laut dan sebagainya. Secara umum oseanografi dapat dibagi menjadi empat
bagian, yaitu:
1. Fisika oseanografi
2. Kimia oseanografi
3. Biologi oseanografi
4. Geologi oseanografi
Di Indonesia oseanografi sering diartikan sebagai ilmu yang mempelajari segi-segi fisika,
kimia, dan biologi laut; sedangkan ilmu oseanologi merupakan ilmu yang cakupannya lebih
luas daripada oseanografi.
Laut memegang peranan penting sebagai sarana atau mata pencaharian, pentedia
sumber daya alam (khususnya protein hewani), alur transportasi, agribisnis, tempat pariwisata,
rekreasi, kawasan pemukiman, dan tempat pembuangan limbah. Negara-negara maju
memandang laut sebagai sumber bahan makanan, mineral, energi, bahkan eksploitasi minyak
atau bahan bakar lebih lanjut.
Pendekatan pengelolaan terpadu harus dilakukan guna membangun sumber daya
wilayah laut secara optimal dan berkelanjutan bagi kemakmuran rakyat. Namun, salah satu
kendala yang dihadapi adalah kurangnya sumberdaya manusia yang memahami pengelolaan
wilayah pesisir dan laut secar terpadu serta pelaksanaan perencanaan dan pembangunan
sumber daya pesisir dan laut secara sektoral dan terpilah.
Berdasarkan uraian di atas dan mengingat betapa pentingnya pengelolaan laut secara
berkelanjutan, maka dilaksanakan praktikum oseanografi. Praktikum oseanografi mempelajari
segala hal yang berhubungan dengan laut baik dari parameter kimia, fisika, dan biologi.
Diharapkan setelah mengetahui dan mempelajari berbagai aspek maka sumber daya maritim
Indonesia dapat lestari dan berkelanjutan demi kesejahteraan rakyat.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi, Sejarah, dan Ruang Lingkup Oseanografi

Oseanografi bila dilihat dari asal katanya memiliki pengertian “deskripsi dari laut”
tetapi bila ditinjau dalam arti yang lebih luas, oseanografi adalah ilmu magenta laut atau suatu
disiplin ilmu yang mencakup segala aspek laut, misal: gerakan air laut, susunan kimia air laut
dan udara di atas laut, kehidupan di dalam laut, kondisi dasar laut, dan sebagainya (Soepardjo,
1982).
Menurut Hutabarat dan Evans (1985), oseanografi merupakan perpaduan dari berbagai
macam ilmu, antara lain ilmu tanah (geologi), ilmu bumi (geografi), ilmu fisika, ilmu kimia,
ilmu biologi (hayat), dan ilmu iklim (meteorologi). Namun secara umum atau garis besar
oseanografi dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Fisika oseanografi, mempelajari hubungan antara sifat-sifat fisik yang terjadi di dalam
laut dan yang terjadi antara lautan, atmosfer, dan daratan.
2. Geologi oseanografi, mempelajari asal lautan yang telah mengalami perubahan lebih
dari berjuta-juta tahun yang lalu.
3. Kimia oseanografi, mempelajari reaksi kimia yang terjadi di dalam dan dasar laut serta
menganalisa sifat air dan laut itu sendiri.
4. Biologi oseanografi, mempelajari semua kehidupan organisme yang ada di lautan
termasuk hewan dan tumbuhan.
Keterkaitan manusia terhadap laut sudah terjadi sejak zaman peradaban manusia. Pada saat itu
bentuk peta sangat penting peranannya. Zaman ptolemous, abad kedua sebelum masehi, lautan
Mediterania, bagian utara Afrika dan Pantai Selatan Afrika berhasil dipetakan secara
sempurna. Abad keempat sebelum masehi, Aristoteles (kebangsaan Yunani) melakukan
penelitian yang lebih mendetail mengenai hewan dan tumbuhan laut. Akhirnya pada abad I
masehi, manusia mulai mengerti hubungan antara gerakan pasang dan letak dari bulan. Abad
ke-14 masehi seorang bangsawan Portugis, Ferdinando Hagelhaens, melakukan pelayaran
keliling dunia dan membuktikan bahwa bumi berbentuk bulat. Abad ke-18, James Cook
membuat seluruh peta dari Lautan Pasifik dan memperlihatkan adanya sebuah daratan di
bagian selatan kutub yang selalu tertutup oleh es. Beberapa ekspedisi oseanografi yang telah
dilakukan oleh Challenger (1872-1875), Gazelle (1874-1876), Vitiaz (1886-1889), dan Meteor

5
(1925-1927). Ekspedisi Challenger telah memberikan tambahan pengtahuan yang sangat
penting.

B. Pembentukan dan Pengembangan Pantai

Pantai merupakan daerah yang terletak di bagian tepi daratan. Peranan perairan pantai
sebagai sumber daya hayati laut masih dipengaruhi oleh daratan. Wilayah perairan panta
merupakan bagian samudra yang lebih kecil jika dibandingkan dengan luas perairan Indonesia
(Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Menurut Dahuri (2003), berdasarkan morfologinya pantai di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Pantai Terjal Berbatu
Pantai tersebut biasanya terdapat di kawasan tektonis aktif yang tidak pernah
stabil karena proses geologi. Kehadiran vegetasi penutup dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu: tipe batuan, tingkat curah hujan, dan cuaca.
2. Pantai Landai dan Datar
Tipe tersebut dapat ditemukan di kawasan stabil, yaitu: kawasan yang sudah
sekian lama tidak mengalami pergerakan tanah secara vertikal. Aliran air tawar yang
tinggi dan banyaknya endapan lumpur mengakibatkan terumbu karang tidaka dapat
berkembang dengan baik.
3. Pantai dengan Bukit Pasir
Pantai tersebut terbentuk karena pengaruh transportasi sedimen elastik secara
horisontal. Peristiwa transportasi tersebut dipengaruhi oleh gelombang besar dan arus
menyusur pantai yang mampu mensuplai sedimen dari daerah sekitarnya, misal Pantai
Selatan Jawa.
4. Pantai Beralur
Bentuk pantai beralur dipengaruhi oleh faktor gelombang. Gelombang yang
pecah akan menciptakan arus yang menyusur pantai. Arus tersebut berperan dalam proses
pendistribusian sedimen.
5. Pantai Berbatu

6
Tipe pantai tersebut dicirikan dengan adanya belahan batu cadas dan organisme
air yang hidup di permukaan. Pantai memiliki kepadatan mikroorganisme yang paling
tinggi, khususnya habitat intertidal di daerah dingin dan subtropik.
6. Pantai Lurus di Daratan Pantai yang Landai
Tipe tersebut dicirikan sebagai fase awal perkembangan pantai bercelah dan
bukit pasir apabila terjadi perubahan suplai sedimen dan cuaca.
7. Pantai yang Terbentuk Karena Pengaruh Erosi
Pantai tersebut terbentuk dari sedimen yang terangkut oleh arus dan aliran
sungai akan mengendap di daerah pantai. Pantai yang demikian akan mengalami
perubahan dari musim ke musim, baik secara alami maupun karena kegiatan manusia.

C. Fenomena Geografi Fisik

1. Pasang Surut
Pasang surut atau Pasut merupakana proses naik turunnya permukaan laut secara
periodik. Hal tersebut dipengaruhi oleh gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan
dan matahari. Kisaran Pasang surut (tidal range) merupakan perbedaan tinggi muka air
saat pasang maksimum dengan tinggi muka air saat surut meksimum. Pasang surut di
Indonesia dapat dibagi menjadi empat jenis berdasarkan pola gerakan muka lautnya, yaitu:
pasut harian tunggal, pasut harian ganda, dan dua jenis pasut campuran (Dahuri, 1996).
2. Temperatur
Menurut Hutabarat dan Evans (1985), suhu di laut merupakan faktor yang amat
penting bagi kehidupan organisme di lautan karena mempengaruhi aktifitas dan
metabolisme organisme tersebut. Sebagai contoh, binatang karang penyebarannya dibatasi
oleh perairan hangat yang berada di daerah tropik dan subtropik. Insolation adalah proses
pemanasan lautan dan daratan oleh sinar matahari. Daerah tropik merupakan daerah yang
memiliki kelembaban udara yang tinggi dan mengakibatakn terbentuknya lapisan awan
yang lebih tebal daripada daerah subtropik. Daerah tropik lebih bsnyak menerima panas
dibandingkan daerah kutub karena dippengaruhi oleh bebrapa faktor, yaitu:
a. sinar matahari yang merambat melalui atmosfer mengalami banyak kehilangan panas
sebelum mencapai daerah kutub.
b. Besarnya perbedaan sudut datang sainar matahari ketika mencapai permukaan bumi.

7
c. Daerah kutub lebih banyak menerima panas di permukaan bumi yang dipantulkan
kembali ke atmosfer.
3. Arus
Arus pantai yang berpengaruh terhadap proses sedimentasi pantai merupakan
gelombang yang datang menuju pantai. Arus laut merupakan pencerminan langsung dari
pola angin yang bertiup pada saat itu (Dahuri dkk, 1996). Gaya coriolis menyebabkan arus
di permukaan air laut berbelok ke kanan dari arah angin dan arus di lapisan bawahnya kan
berbelok ke arah kanan lagi dari arah arus permukaan (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
4. Gelombang Laut
Gelombang timbul karena dipengaruhi oleh dorongan angin di atas permukaan air laut
dan sebagian lagi oleh tekanan tangensial pada partikel air. Besar kecilnya gelombang
dipengaruhi oleh tinggi gelombang. Gelombangakan pecah jika bergerak menuju pantai
dan terdampar di dasar perairan pantai dangkal karena energi gelombang mulai
menghilang (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
5. Kemiringan Pantai
Kemiringan pantai ditentukan dengan cara mengukur perbedaan ketinggian pada dua
titik horizontal yang jarak antara kedua titik telah diketahui. Kemiringan pantai sangat
berperan dalam drainase air terutama dalam usaha budidaya pantai. Kemiringan yang
sangat besar sangat tidak baik buat budidaya. Sebaliknya pantai yang datar cukup
menyulitkan dalam proses pengeringan kolam tambak. Pantai yang landai menyebabkan
jangkauan pasang surut mencapai ratusan meter, sedangkan pantai yang terjal meyebabkan
jangkauan pasang surut hanya mampu mencapai beberapa puluh meter saja (Anonim 2005.

D. Aspek Biologi Laut

Biologi oseanografi sistem pelagik terdiri atas hewan dan tumbuhan yang hidupnya
melayang-layang di permukaan lautan terbuka. Sistem pelagik dibagi menjadi dua kelompok
besar atau utama, yaitu:
a. Plankton, terdiri atas organisme mikroskopik dan hiduonya melayang-layang di perairan.
Plankton tediri atas zooplankton dan fitoplankton.
b. Nekton, terdiri atas hewan-hewan yang berukuran besar dan memiliki kemampuan untuk
bergerak melawan gerakan arus (perenang aktif).

8
1. Plankton
Menurut Hutabarat dan Evans (1985), fitoplankton merupakan tumbuhan air yang
berukuran sangat kecil dan terbagi atas beberapa kelas yang berbeda. Fitoplankton
berperan sebagai produsen utama di perairan. Fotosintesis merupakan salah satu proses
permulaan yang sangat penting dimana fitoplankton dapat membuat atau mensintesa
karbohidrat dari ikatan-ikatan anorganik karbondioksida dan air.
6 CO2 + 6 H2O ↔ C6H12O6 + 6O2

Sinar matahari diperlukan untuk proses fotosintesis, oleh karena itu fitoplankton hanya
dapat dijumpai pada lapisan permukaan laut saja. Zooplankton merupakan suatu kelompok
yang terdiri atas kelas protozoa, coelenterata, mollusca, annelida, dan crustaceae.
Zooplankton tidak dapat memproduksi zat-zat organik dari zat-zat anorganik. Zooplankton
yang bersifat herbivora akan memangsa fitoplankton secara langsung sedangkan
2. Bentos
Menurut Hutabarat dan Evans (1985) organisme yang hidup menempel di bagian dasar
perairan dikenal sebagai bentos, termasuk di dalamnya adalah tumbuhan dasar (benthic
plants) dan hewan dasar (benthic animals). Tumbuhan dasar dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu:
a. Tanaman air bersel tunggal yang umumnya hidup dipermukaan pasir dan lumpur.
b. Tanaman air berukuran besar, misal seaweeds
c. Tanaman berbunga, misal Zostera, beberapa pohon, dan semakan yang hidup di
mangrove swamp daerah litoral.
Keadaan lingkungan seperti tipe sedimen, salinitas, dan kedalaman di bawah permukaan
mampu memberikan variasi yang sangat besar dari satu daerah dasar lautan ke daerah
dasar lautan yang lain, sehingga tidak mengherankan jika timbul perbedaan variasi jenis
hewan. Komunitas hewan tertentu sering dijumpai tersebar secara luas asalkan kondisi
lingkungan hidupnya cocok, walaupun hewan benthic tersebut berada di letak geografi
yang berbeda, sebagai contoh suatu perairan didominasi oleh Macoma (kelas Bivalvia)
yang terdapat di perairan dangkal dan bersalinitas rendah pada kedalaman 10 – 60 meter di
beberapa bagian dunia.

9
E. Aspek Kimia Air Laut

1. Salinitas
Menurut Nybakken (1992), air laut merupakan air murni yang di dalamnya terlarut
berbagai zat padat dan zat gas. Satu contoh, air laut seberat 1000 gram akan berisi kurang
lebih 35 gram senyawa-senyawa terlarut secara kolektif yang disebut garam. Dengan kata
lain, 96.5 % air alut berisi air murni dan 3.5 % berisi garam (zat terlarut). Banyaknya zat
terlarut disebut salinitas. Ilmuwan dalam bidang biologi laut dan oseanografi menyatakan
salinitas dengan satuan perseribu (0/00). Oleh karena itu, sampel air laut yang khas seberat
1000 gram yang mengandung 35 gram senyawa-senyawa terlarut memilki salinitas 35 0/00.
2. Alkalinitas.
Alkalinitas merupakan kemampuan penyangga perairan alami., yaitu kemampuan dari
perairan untuk menetralisir asam. Alkalinitas terdiri atas banyaknya basa-basa dalam air
yang dapat tertitrasi sebagai CaCO3 ekuivalen. Menurut Wetzel (1991), alkalinitas
dipengaruhi oleh kadar CO2 bebas menurut reaksi berikut:
CO2 ↔ CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ 2H+ + CO3-
3. Derajat Keasaman
Derajat keasaman merupakan nilai yang menunjukkan banyaknya kandungan ion
hidrogen dalam suatu perairan. Derajat keasaman dapat mempengaruhi kesetimbangan
senyawa-senyawa yang terdapat di perairan dan juga dapat mempengaruhi kehidupan
pakan alami (misal plankton) dan fisiologi ikan (Triyatmo, 2001).
4. Karbondioksida Bebas.
Karbondioksida bebas merupakan banyaknya kadar CO2 dalam suatu perairan yang
dihasilkan dari proses respirasi organisme akuatik. Karbondioksida oleh organosme
akuatik diperlukan untuk proses fotosintesis melalui reaksi:
6 CO2 + 6 H2O ↔ C6H12O6 + 6 CO2
Melalui proses fotosintesis, tumbuhnan akuatik dapat melakukan proses pemasakan untul
tubuhnya sendiri (Brotowidjoyo et al, 1995).
5. Kadar Oksigen Terlarut
Kadar oksigen terlarut merupakan banyaknya gas oksigen yang terlarut di dalam
perairan. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) sangat penting untuk metabolisme

10
pernapasan organisme akuatik dan proses biokimia (Haver and Hill, 1991). Distribusi
oksigen sangat penting untuk kebutuhan langsung organisme, mempengaruhi solubilitas,
dan ketersediaan nutrien (wetzel, 1991).

11
III. METODOLOGI

A. Parameter Fisik

1. Pasang Surut
a. Metode: pengamatan visual berdasarkan pengukuran terhadap perubahan tinggi
permukaan laut secara langsung dan tidak langsung.
b. Alat dan Bahan:
1) balok kayu (4 x 6 x 300 cm) 3 buah
2) selang plastik transparan (diameter 3/8 inci) 6 m, warna bening
3) selang plastik transparan (diameter 1/8 inci) 50 ml, warna bening
4) teropong
5) senter
6) meteran
7) spidol atau cat
8) paku usuk (7 cm) dan kawat secukupnya
c. Cara Kerja:
1) Meruncingkan salah satu ujung balok kayu untuk menancapkan ke dasar laut.
2) Memberi skala dengan cat atau spidol pada salah satu muka balok.
3) Memotong selang plastik (diameter 3/8 inci) sepanjang 2 meter dan
membentangkan pada salah satu muka balok kayu yang berbeda.
4) Meletakkan selang plastik dengan paku lalu diikat kawat.
5) Masukkan sebuah pelampung warna mencolok dalam selang plastik. Pelampung
lebih kecil dari diameter selang supaya bebas naik turun.
6) Menutup kedua selang plastik menggunakan gabus atau plastik supaya pelampung
tidak lepas, kira-kira 10 cm dari ujung selang dibuat lubang air atau udara
(diameter 1 cm).

2. Suhu Air
a. Metode: pengamatan visual menggunakan termometer.
b. Alat dan Bahan:
Termometer

12
c. Cara Kerja:
1) Memasukkan termometer ke dalam air laut sampai kurang lebih 5 menit.
2) Membaca ketinggian air raksa pada skala termometer.
3. Suhu Udara
a. Metode: pengamatan lansung terhadap termometer.
b. Alat dan Bahan:
1) termometer
c. Cara Kerja:
1) Membiarkan termometer menggantung di udara terbuka kurang lebih 5 menit.
2) Membaca ketinggian air raksa pada skala termometer.

4. Kecepatan Angin
a. Metode: metode visual terhadap alat.
b. Alat dan Bahan:
1) anemometer
2) stopwatch
c. Cara Kerja:
1) Menghadapkan anemometer ke arah datangnya angin bertiup.
2) Anemometer dinormalkan terlebih dahulu.
3) Mencatat kecepatan angin pada waktu tempuh tetentu dengan melihat angka yang
ditunjukkan anemometer.
5. Frekuensi Gelombang
a. Metode yang digunakan pada pengukuran adalah metode visual secara langsung
dengan bantuan teropong.
b. Alat dan Bahan:
1) teropong
2) stopwatch
c. Cara Kerja:
1) Menentukan satu titik pandang yang tetap.
2) Menghitung banyaknya gelombang yang melewati titik tersebut dalam satu menit.
3) Mencatat data yang didapat dalam tabel pengamatan.

13
6. Periode (Waktu Tempuh) Gelombang
a. Metode: pengamatan secara langsung dengan bantuan teropong.
b. Alat dan Bahan:
1) teropong
2) stopwatch
c. Cara Kerja:
1) Menentukan jarak antara garis pantai atau pengamatan dengan satu titik
pengamatan.
2) Mencatat waktu yang diperlukan oleh satu gelombang untuk menempuh jarak yang
telah ditentukan.
3) Melakukan pengamatan dengan selang tiap satu jam dan mencatatnya pada tabel.
7. Kemiringan Pantai
a. Metode: metode visual dengan menggunakan prinsip persamaan tinggi permukaan air
pada suatu medium.
b. Alat dan Bahan:
1) papan kayu dua buah
2) selang plastik transparan (diameter 1/8 inci) 50 m
3) spidol
c. Cara Kerja:
1) Menancapkan patok kayu di daerah jangkauan pasang tertinggi, kemudian patok
yang lain pada sembarang tempat ke arah laut dan tegak dengan garis pantai.
Mengukur jarak kedua patok tersebut.
2) Mengisi selang plastik hingga penuh lalu menutup dengan mengikat kedua
ujungnya.
3) Merentangkan selang plastik tersebut hingga mencapai pada kedua patok dan
membuka ikatannya hingga muka air dalam selang plastik dapat bergerak bebas.
Menandai ketinggian air pada masing-masing patok.
4) Melakukan prosedur yang sama sampai daerah surut terendah.
5) Menghitung dengan rumus: Slope (%) = (H1 – H2) / d x 100%
6) Menghitung lebar pantai yang terkena jangkauan pasang surut.

14
B. Parameter Kimia

1. Oksigen Terlarut
a. Metode: pengukuran Winkler
b. Alat dan Bahan:
1) Alat
a) botol oksigen 1 buah
b) pipet ukur 1 ml, 10 ml 4 buah
c) pipet tetes 1 buah
d) erlenmeyer 250 ml 2 buah
e) gelas ukur 50 ml 1 buah
f) karet penghisap 2 buah
2) Bahan
a) sampel air 100 ml
b) larutan MnSO4 1 ml
c) larutan reagen oksigen (NaOH-NaI) 1 ml
d) larutan H2SO4 pekat 1 ml
e) indikator amilum 3 tetes
f) Na2S2O3 1/80 N 2-10 ml
c. Cara Kerja:
1) Mengambil air dengan menggunakan botol oksigen dan menjaga agar jangan
sampai timbul gelembung udara.
2) Menambahkan 1 ml reagen oksigen dan 1 ml MnSO4, kemudian digojok lalu
didiamkan sampai terjadi endapan.
3) Menambahkan 1 ml H2SO4 pekat, kemudian botol digojok sampai semua endapan
hilang, lalu setelah hilang, didiamkan lagi.
4) Mengambil sampel air tersebut sebanyak 50 ml dan memasukkan dalam labu
erlenmeyer.
5) Menambahkan 3 - 4 tetes indikator amilum sampai warna cairan menjadi biru
kehitaman.

15
6) Menitrasi dengan 1/80 N Na2S2O3 sampai warna menjadi jernih kembali dan
mencatat volume titrasi (a).
7) Menghitung oksigen terlarut dengan rumus : 100/50 x a/(f) 0,1 mg/l, dengan a
volume titrasi dan faktor koreksi = 1.
2. Karbondioksida Terlarut
a. Metode: metode Alkalimetri.
b. Alat dan Bahan:
1) Alat
a) botol oksigen 1 buah
b) pipet ukur 1 ml, 10 ml 2 buah
c) pipet tetes 2 buah
d) erlenmeyer 250 ml 2 buah
e) gelas ukur 50 ml 1 buah
f) karet penghisap 1 buah
2) Bahan
a) sampel air 50 ml
b) larutan NaOH 1/44 N
c) indikator PP
c. Cara Kerja:
1) Mengambil air dengan menggunakan botol oksigen dan menjaga agar jangan
sampai timbul gelembung udara.
2) Mengambil sampel air tersebut sebanyak 50 ml dan memasukkan dalam labu
erlenmeyer.
3) Menambahkan 3 – 4 tetes indikator PP, apabila warna menjadi merah muda berarti
tidak ada CO2 bebas, namun apabila tetap bening, melakukan titrasi dengan 1/44 N
NaOH samapi warna larutan menjadi merah muda dan mencatat volume titrasi (a).
4) Menghitung CO2 bebas dengan rumus : 1000/50 x a/f/ 1 mg/l, dengan a voluma
titrasi dan faktor koreksi = 1.
3. Alkalinitas
a. Metode: metode Alkalimetri.
b. Alat dan Bahan:

16
1) Alat
a) botol oksigen 1 buah
b) pipet ukur 1 ml, 10 ml 2 buah
c) pipet tetes 2 buah
d) erlenmeyer 250 ml 2 buah
e) gelas ukur 50 ml 1 buah
f) karet penghisap 1 buah
2) Bahan
a) sampel air 50 ml
b) larutan H2SO4 0,02 N
c) indikator PP 3 tetes
d) indikator MO 3 tetes
c. Cara Kerja:
1) Mengambil air dengan menggunakan botol oksigen dan menjaga agar jangan
sampai timbul gelembung udara.
2) Mengambil sampel air tersebut sebanyak 50 ml dan memasukkan dalam labu
erlenmeyer.
3) Menambahkan 3 – 4 tetes indikator PP, apabila warna menjadi merah muda,
menitrasinya dengan 1/50 N H2SO4 sampai berwarna bening. Mencatat jumlah
volume titrasi (a).
4) Menambahkan 3 – 4 tetes MO sehingga berwarna kuning, kemudian menitrasi
dengan 1/50 H2SO4 sampai warna merah jerami. Mencatat volume titrasi (b).
5) Menghitung total alkalinitas dengan rumus : 100 x 50 x N x (a – b)/ml sampel.
6) Apabila sampel mengandung CO2, maka langsung menambahkan 3 – 4 tetes MO
sehingga berwarna kuning, kemudian menitrasi dengan 1/50 H2SO4 sampai warna
merah jerami. Mencatat volume titrasi (a).
7) Menghitung total alkalinitas dengan rumus : 1000 x 50 x N x a/ml sampel.
4. Salinitas
a. Metode: metode visual dengan menggunakan alat Refraktometer.
b. Alat dan Bahan:
1) refraktometer

17
2) sampel air
c. Cara Kerja:
1) Membuka penutup gelas pelan-pelan, membersihkan dengan kertas tissue,
kemudian menetesi dengan sampel air (1 tetes) dan menutupnya kembali.
2) Mengarahkan refraktometer ke arah datangnya cahaya. Membaca salinitas sampel
air melalui teropongnya dengan melihat angka yang ditunjukkan oleh garis batas
biru dan putih dalam lingkaran.
5. Derajat Keasaman (pH)
a. Metode: metode visual.dengan bantuan pH meter.
b. Alat dan Bahan:
1) pH meter
2) sampel air
c. Cara Kerja:
1) Menyiapkan sampel air secukupnya.
2) Memasukkan pH meter ke dalam larutan buffer supaya pH menunjuk angka 7 (pH
normal).
3) Memasukkan pH meter ke dalam sampel air dan mencatat angka yang ditunjukkan.

C. Parameter Biologi

1. Plankton

a. Metode: metode visual dengan bantuan mikroskop.


b. Alat dan Bahan:
1) plankton net
2) ember (kapasitas 10 L)
3) botol film
4) sampel air
5) formalin 40 %
6) pipet tetes
7) SR (Sedgwick Rafter)
8) mikroskop
c. Cara Kerja:

18
1) Mengambil sampel air dengan ember sebanyak 10 L, kemudian menyaringnya
dengan plankton net.
2) Memindahkan hasil saringan dalam botol film dan menetesi dengan formalin 40 %
sebanyak 2-3 tetes.
3) Mengendapkan sampel tersebut dan meresapkan airnya dengan meletakkan tissue.
4) Mengambil dengan pipet tetes sampel tersebut dan menuangkan dalam SR.
Mengamati jenis dan jumlah plankton di bawah mikroskop.
5) Menghitung kepadatan plankton dengan rumus:
Kepadatan plankton (individu/L) = a x volume botol / flakon : volume sampel air
volume SR
a : Σ plankton yang terhitung dalam SR

19
IV. HASIL PENGAMATAN

(Terlampir)

V. PEMBAHASAN

Praktikum oseanografi dilaksanakan di pantai Sundak, Gunung Kidul, Yogyakarta.


Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan fisik (suhu udara, suhu air, frekuensi dan
waktu tempuh gelombang, pasang surut dan kecepatan angin), kimia (kandungan oksigen
terlarut, karbondioksida terlarut, salinitas, alkalinitas dan pH) dan biologi (kepadatan
plankton). Pengamatan fisik dilakukan setiap jam, sedangkan pengamatan kimia dan biologi
dilakukan tiap tiga jam sekali. Pantai Sundak berdasarkan kenampakkan fisiknya dapat
digolongkan sebagai pantai dewasa karena sebagian besar materi penyusunnya berasal dari
laut dan tergolong pantai berpasir. Hal tersebut dapat terjadi dibentuk sebagai akibat dari
proses erosi laut dan proses pengendapan laut, bukan berasal dari pengendapan dan materi
yang dibawa aliran sungai, es dan angin (terrestial) (Djasmani 2004).
Pengamatan dilakukan di dua stasiun, yaitu stasiun I merupakan daerah yang dikelilingi
oleh batu karang di sebelah timurnya dan terdapat biota-biota yang letaknya sangat dekat
dengan pantai; stasiun II merupakan daerah yang lebih terbuka, gelombang altnya lebih besar,
dan komunitas daerah berkarang jarang dijumpai, akibatnya jarang dijumpai vegetasi dan
hewan hidupnya melekat di batuan karang .

A. Pembahasan Perstasiun

1. Stasiun I
a. Parameter Fisik
Stasiun I memiliki karakter berupa barier (penghalang) batu-batu karang yang
cukup mendominasi, terdapat biota-biota vegetasi dan hewan yang hidup melekat di
batuan karang, misal: alga, bintang ular, kelinci laut dan sebagainya. Biota tersebut banyak
dijumpai di daerah berbatu karang karena karang merupakan substrat yang berfungsi
sebagai temapt menancapkan holdfast dan tempat berlindung dari hempasan ombak.
Keadaan fisik stasiun I tersebut akan mempengaruhi pengamatan yang dilakukan.

20
Parameter fisika yang berkontribusi langsung terhadap kondisi pantai stasiun I yaitu suhu
udara, kecepatan angin, frekuensi dan waktu tempuh gelombang dan pasang surut.
1) Suhu Air dan Suhu Udara
Hasil pengamatan terhadap suhu air dan suhu udara stasiun I selama 24 jam didapat
kisaran antara 26-31,50C untuk suhu air dan 26-300C untuk suhu udara. Kisaran suhu,
khususnya suhu air dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari, posisi matahari, letak
geografis, musim, kondisi awan, serta interaksi antara air dan udara. Rentang kisaran
suhu air lebih besar dibandingkan dengan suhu udara karena air memiliki kemampuan
untuk menyerap dan menyimpan panas yang diterima dari udara dengan kapasitas yang
cukup tinggi.
Suhu air tertinggi terjadi pada jam 11.00 sebesar 31,50C dan terendah pada jam
03.00 sebesar 260C, sedangkan suhu udara tertinggi terjadi pada jam 09.00 dan 10.00
sebesar 300C, terendahnya pada jam 21.00, 01.00 sampai jam 06.00 sebesar 260C.
Suhu air tinggi karena dipengaruhi oleh intensitas matahari yang tinggi dan akibat dari
kemampuan air yang dapat lebih lama menyimpan panas, sehingga panas yang
diterima pada jam sebelumnya terakumulasi menjadi panas yang tinggi. Suhu udara
tertinggi terjadi pada jam 09.00 dan 10.00, Hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya
radiasi dan intensitas sinar matahari yang dipancarkan. Kecepatan angin juga
berpengaruh terhadap suhu udara, semakin besar kecepatan angin maka suhu udara
akan cenderung lebih rendah. Kecepatan angin yang tinggi mengakibatkan suhu udara
menjadi turun karena angin yang berhembus dalam jumlah banyak akan membawa uap
air yang bisa menyerap panas udara. Penyerapan panas udara oleh uap air
mengakibatkan suhu uadar menjadi turun. Suhu berkaitan dengan tekanan parsial suatu
tempat. Perbedaan suhu antara dua tempat yang berbeda menyebabkan terjadinya
aliran udara yang bergerak dari tekanan tinggi ke tempat bertekanan rendah, dimana
udara yang bergerak disebut angin. Semakin besar perbedaan yang ada maka semakin
cepat angin bertiup (Hutabarat dan Evans, 1985).
2) Kecepatan Angin
Kecepatan angin tertinggi stasiun I terjadi pada jam 12.00 sebesar 982,5 km/mnt
arah tenggara dan terendah pada jam 23.00, 01.00, 02.00, 03.00 dan 06.00 yaitu
sebesar 0 km/mnt (tidak ada angin). Tingginya kecepatan angin tertinggi bertiup dari

21
arah tenggara dapat terjadi karena pada jam tersebut terjadi perbedaan tekanan antara
laut dan darat paling besar, sehingga angin yang bertiup untuk menyeimbangkan
tekanan semakin kencang. Didapatkannya kisaran 0 km/menit pada beberapa waktu
diakibatkan oleh letak stasiun I yang terhalang gunung dan bukit. Hal tersebut
mengakibatkan angin darat yang terbentuk tidak sampai ke pantai, tertabrak gunung
dan akhirnya berbelok ke arah lain.
3) Frekuensi-Periode Gelombang dan Kecepatan Angin
Pengukuran parameter fisik yang berkorelasi terbalik yaitu antara frekuensi dan
periode (waktu tempuh) gelombang. Frekuensi gelombang merupakan jumlah puncak
atau jumlah lembah yang melewati suatu titik tetap tiap satuan waktu (biasanya dalam
detik atau menit), sedangkan periode (waktu tempuh) gelombang merupakan interval
waktu antara dua puncak yang berurutan yang melalui suatu titik tetap (Supangat dan
Susanna 1999).
Frekuensi gelombang merupakan waktu yang diperlukan untuk mengadakan satu
siklus gelombang dalam artian banyaknya gelombang yang melewati suatu titik
tertentu. Daerah pengamatan stasiun I memiliki frekuensi gelombang tertinggi sebesar
9,6 gel/menit yang berarti periode (waktu tempuh) gelombangnya terkecil 7 dtk/gel
terjadi pada jam 03.00, sedangkan frekuensi gelombang terendah sebesar 3 gel/mnt
yang berarti periode gelombang terbesar sebesar 30 dtk/gel terjadi pada jam 12.00.
Tingginya frekuensi gelombang dengan periode kecil pada jam 03.00 dapat terjadi
karena pada jam tersebut kecepatan angin bernilai 0 (tidak ada angin yang bertiup),
sehingga tidak terjadi penumpukkan energi gelombang dan pertumbuhan gelombang
tidak besar. Tidak terjadinya penumpukan energi pada gelombang menyebabkan laju
untuk terciptanya satu gelombang semakin kecil, dengan kata lain gelombang semakin
cepat terbentuk (periode kecil). Rendahnya frekuensi gelombang dengan periode besar
pada jam 12.00 dapat terjadi karena pada pada jam tersebut kecepatan anginnya paling
tinggi yaitu 982,5 km/mnt. Kecepatan angin yang tinggi menyebabkan terjadinya
penumpukkan energi dan pertumbuhan gelombang yang signifikan. Hal tersebut
menyebabkan ukuran, panjang dan kecepatan gelombang semakin meningkat, tetapi
dengan laju berkurang, sehingga waktu untuk terbentuk gelombang semakin banyak
(periode besar).

22
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap gelombang maka dapat diketahui bahwa
gelombang stasiun I tergolong tipe pecah gelombang surging. Surging merupakan tipe
pecah gelombang yang tidak banyak menimbulkan hempasan. Hal tersebut dapat
dilihat dari pecahnya gelombang terjadi sebelum sampai ke pantai. Terdapat hubungan
antara tipe pecah gelombang dengan kelandaian pantai dan perbandingan kedalaman
perairan terhadap tinggi gelombang. Tipe pecag gelombang surging terjadi pada
kelandaian dasar pantai yang curam (±20%) dengan pebandingan d/H mendekati 0.
Kondisi pantai yang berbatu karang dengan kemiringan pantai yang cukup tinggi yaitu
19,14% (termasuk curam), menyebabkan gelombang pecah tanpa hempasan kuat
akibat kedalaman perairan sama dengan tinggi gelombang yang terbentuk.
4) Pasang Surut
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pasang surut, diperoleh data sebagai
berikut: pasut berada pada kisaran 27-240 cm, diaman pasut tertinggi (240 cm) terjadi
pada jam 23.00 dan terendah (27 cm) pada jam 09.00. Tingginya pasang surut pada
jam 23.00 dipengaruhi oleh pasang harian tertinggi sebagai akibat adanya gaya tarik
bulan, sedangkan rendahnya pasang surut pada jam 09.00 menunjukkan bahwa terjadi
surut harian terendah. Tinggi rendahnya pasang surut disebabkan oleh gaya tarik-
menarik antara gaya sentrifugal yang disebabkan oleh perputaran bumi pada porosnya
dan gaya gravitasi yang berasal dari bulan.
Pasang surut merupakan gelombang perairan dangkal, yang dihasilkan oleh gaya
gravitasi bulan dan matahari terhadap lautan. Gaya pembangkit air pasang surut oleh
matahari memiliki sekitar 46% dari gaya yang dihasilkan oleh bulan. Kenaikan dan
penurunan pasang surut menghasilkan pergerakan lateral air (arus pasang surut) yang
kecepatan, besar dan arahnya dipengaruhi oleh geometri cekungan, kemiringan pantai
(slope) dan massa tanah penghambatnya. Angin yang kuat dapat menahan pasang naik
atau bahkan menguatkannya. Kecepatan penjalaran pasang surut juga dipengaruhi oleh
kedalamannya (Supangat dan Susanna 1999).
5. Kemiringan Pantai
Kemiringan pantai di stasiun I adalah 19,14%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
topografi bentuk pantai curam dan tidak landai. Keadaan yang demikian

23
mengakibatkan gelombang yang terbentuk akan memiliki hempasan yang tidak kuat
(tipe surging), karena pecah sebelum sampai pantai.
b. Parameter Kimia
Pengamatan parameter kimia meliputi kandungan oksigen terlarut (DO), kadar CO2
bebas, kadar alkalinitas, salinitas, dan nilai pH. Parameter-parameter kimia tersebut sangat
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup pakan alami dan proses fisik kimia biota laut.
Pengamatan terhadap parameter kimia dilakukan tiap tiga jam sekali.
1) Kadar Oksigen Terlarut
Kadar kandungan oksigen tertinggi terjadi pada jam 18.00 sebesar 13.2 ppm dan
terendahnya pada jam 03.00 sebesar 5.4 ppm. Tinggi rendahnya DO dapat dikaitk
dengan intensitas sinar matahari, suhu, gelombang (semakin banyak gelombang yang
terhempas ke pantai, maka semakin banyak oksigen dari udara yang terikat oleh air
secara difusi), kondisi perairan dan densitas plankton. Organisme/hewan akuatik
membutuhkan oksigen untuk respirasi agar keseimbangan dalam tubuhnya tetap
terjaga. Sedangkan tumbuhan akuatik menghasilkan oksigen dari proses fotosintesis.
Kadar DO tertinggi terjadi pada jam 18.00, dipengaruhi oleh densitas (kepadatan)
plankton terbesar dibandingkan dengan jam pengamatan lainnya yaitu 455 individu/L.
Berdasarkan data yang diperoleh, diduga bahwa fitoplakton pada siang hari sangat
banyak akibatnya proses fotosintesis berlangsung optimal, sehingga persediaan
oksigen yang dihasilkan maksimal. Rendahnya kandungan oksigen pada jam 03.00
karena tidak adanya sinar matahari, sehingga tidak terjadi proses fotosintesis yang
menghasilkan oksigensedangkan proses respirasi terus berlangsung disisi lain pada
malam hari tumbuhan akuatik melakukan proses asimilasi yang juga memerlukan
oksigen.
2) Kadar CO2 Bebas
Pengamatan terhadap kandungan karbondioksida bebas di stasiun I didapat kisaran
antara 0-24 ppm, dengan kadar CO2 bebas tertinggi sebesar 24 ppm pada jam 24.00
dan 06.00, sedangkan yang terendah sebesar 0 ppm pada jam 15.00, 03.00 dan 09.00.
Tingginya kandungan karbondioksida bebas dipengaruhi oleh proses respirasi hewan
akuatik yang terus menerus berlangsung, padahal O2 terlarut diperairan terus berkurang
karena digunakan untuk proses respirasi dan asimilasi. Pada malam hari tidak ada sinar

24
matahari sehingga tidak ada proses fotosintesis akibatnya tidak ada penambahan
oksigen. Kandungan CO2 bebas terendah terjadi pada jam 15.00, 03.00 dan 09.00 (0
ppm), karena pada jam tersebut CO2 bebas hasil respirasi hewan akuatik digunakan
sebagai bahan dasar fotosintesis oleh organisme autotroph (organisme yang mampu
memasak makanan sendiri). Karbondioksida tersebut akan diubah menjadi zat organik
berupa cadangan makanan dan oksigen, yang keperluan sebagai bahan fotosintesisnya
lebih besar dibandingkan dengan dihasilkannya CO2 bebas dari proses respirasi
organisme heterotroph (organisme yang tidak mampu memasak makanan sendiri).
Penambahan kelarutan karbondioksida dapat berasal dari hasil pernapasan dan
pembongkaran bahan organik oleh jasad renik. Kenaikan suhu dan salinitas akan
menaikkan karbondioksida. Pengurangan karbondioksida di laut diakibatkan dari
proses fotosintesis, penurunan suhu dan salinitas (Djasmani 2004).
Menurut Nybakken (1992), karbondioksida yang masuk keperairan akan bereaksi
dengan air menghasilkan asam karbonat: CO2 + H2O ↔ H2CO3
Asam karbonat (H2CO3) selanjutnya terdisosiasi menjadi ion hidrogen dan ion
bikarbonat: H2CO3 ↔ H+ + Hco3-
Kemudian ion bikarbonat terdisosiasi lagi menjadi ion hidrogen dan ion karbonat:
HCO3- ↔ H+ + CO3-
3. Alkalinitas
Hasil pengamatan menunjukkan kisaran alkalinitas stasiun I yaitu antara 5-290
ppm, dengan yang tertinggi sebesar 290 ppm pada jam 21.00 dan terendah sebesar 5
ppm pada jam 09.00. Tingginya alkalinitas jam 21.00, menunjukkan bahwa
kemampuannya dalam menyangga perubahan pH (menetralisir asam) sangat tinggi.
Tingginya alkalinitas dipengaruhi oleh ketersediaan ion karbonat dan bikarbonat yang
tinggi, sebagai akibat dari reaksi CO2 dan air. Ketersediaan ion karbonat dan
bikarbonat menyebabkan perairan bersifat lebih basa.
Menurut Kristanto (2002), reaksi alkalinitas yang terjadi:
CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3- ↔ 2 H+ + CO3-
Semakin kecil kandungan CO2 bebas di perairan maka penggunaan CO2 oleh
fitoplankton untuk fotosintesis akan meningkat demikianpula dengan bereaksinya CO2
dengan H2O akan mengalami peningkatan juga sehingga akan meningkatkan nilai

25
alkalinitas. Nilai alkalinitas meningkat sebagai akibat meningkatnya kandungan asam
bikarbonat dan ion karbonat. Kadar alkalinitas yang tinggi mengandung makna bahwa
perairan tersebut memilki kemampuan menyangga asam yang cukup tinggi dengan
memberikan sedikit sifat basa. Alkalinitas berfungsi sebagai buffer yang dapat
mempertahankan pH air laut dalam keadaan stabil.
4. Salinitas
Parameter kimia yang paling khas hanya dimiliki air laut adalah salinitas.
Pengamatan salinitas stasiun I didapat kisaran antara 32-35 0/00, tertinggi sebesar 35
ppm pada jam 24.00 dan terendah sebesar 32 ppm pada jam 21.00 dan 03.00. Kadar
salinitas dipengaruhi oleh presipitasi (hujan) yang menyebabkan kadar salinitas
menjadi turun, akan tetapi saat dilakukan pengamatan tidak terjadi hujan, sehingga
salinitas relatif tetap. Kandungan salinitas yang tinggi dapat menyebabkan kandungan
CO2 rendah karena saat salinitas air laut tinggi organisme laut yang ada sedikit
akibatnya prosesm respirasi yang terjadi juga sedikit dalam melepaskan CO2. Pasang
surut air laut juga berpengaruh terhadap nilao salinitas dimana, pasang surut dapat
menyebabkan pengadukan vertikam, karena ada di bawah kendali pasang surut maka
salinitas di semua tempat dapat berubah drastis tergantung pada kedudukan pasang
surut.
Air laut permukaan memiliki kisaran salinitas sebesar 32-38 0/00, sedangkan di
daerah pantai akibat masuknya air sungai dan buangan limbah, salinitasnya sering
menjadi lebih rendah yaitu antara 10-320/00. Naik turunnya salinitas air laut sangat
dipengaruhi oleh penguapan, peleburan dan pembentukan es di kutub (Sidharta 2000).
5. Derajat Keasaman
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kisaran pH relatif stabil (6,9-7,3), dengan
nilai tertinggi sebesar 7.3 ppm pada jam 03.00 dan 09.00, sedangkan terendah sebesar
6.9 ppm pada jam 12.00. Tingginya pH pada jam 03.00 dan 09.00 terjadi karena pada
jam tersebut kandungan karbondioksida pada perairan paling kecil (0 ppm).
Rendahnya pH jam 12.00 karena pada jam tersebut kandungan karbondioksida
perairan cukup tinggi (14 ppm). Rendahnya nilai pH pada saat itu juga dipengaruhi ole
meningkatnya kadar ion-ion basa perairan juga sebagai akibat rendahnya suhu air
(28.50C) yang akan berpengaruh terhadap penggunaan CO2. Karbondioksida di air

26
akan terurai menjadi asam karbonat, asam bikarbonat dan karbonat yang bersifat asam
(menurunkan pH). Alaklinitas yang tinggi menandakan perairan memilki kemampuan
untuk menyangga pH perairan sehingga pH yang dihasilkan relatif stabil. Nilai
alkalinitas juga mempengaruhi pH, karena pH merupakan indikator kadar asam
perairan sedangkan alkalinitas sebagai indikator kebasaan, sehingga keduanya bekerja
berkebalikan.
c. Parameter Biologi
Parameter biologi yang dilakukan yaitu pengamatan kepadatan plankton. Hasil
perhitungan didapat kepadatan (densitas) plankton didapat kisaran 145-455 individu/L.
Densitas tertinggi sebesar 455 ind/l pada pukul 18.00 (mayoritas plankton berupa
Ceratium sp.) dan terendahn sebesar 145 ind/l pada jam 21.00 (mayoritas plankton yaitu
Thalassiothrix sp.) Tingginya densitas plankton pada jam 18.00, karena pada jam tersebut
suhu perairannya tidak terlalu tinggi (290 C), kadar pH, alkalinitas, CO2 bebas dan DO
yang relatif tinggi. Suhu yang tidak terlalu tinggi dan sesuai dengan kisaran organisme
tersebut memungkinkan plankton untuk mendiami daerah ini, karena plankton menyukai
suhu yang tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Kadar pH (7,2), alkalinitas (256
ppm), CO2 bebas (20 ppm) yang tinggi, menunjukkan bahwa pada perairan ini banyak
mengandung ion karbonat dan bikarbonat, yang berguna untuk menyuplai nutrien dan
bahan utama fotosintesis bagi plankton. Tingginya DO (DO tertinggi pada yaitu 13,2
ppm), mengakibatkan plankton mudah mendapat oksigen sebagai bahan dasar respirasi
dalam aktivitasnya. Rendahnya densitas plankton pada jam 21.00 karena pada jam tersebut
kandungan oksigennya relatif sedikit (6,6 ppm), arus, gelombang dan pasang surut yang
cukup besar (pasang surut jam 21.00 senilai 210 cm). Perbedaan kerapatan plankton selain
dipengaruhi oleh faktor fotosintesis dan DO juga dipengaruhi oleh gelombang dengan
pengadukan massa airnya dan pasaang surut dengan perpindahan nutrisinya. Gelombang
dan pasang surut yang besar dapat menyebabkan plankton dari dasar laut banyak yang naik
terbawa ke pantai sehinga densitas plankton semakin tinggi, sama halnya dengan pasut.

27
2. Stasiun II
a. Parameter Fisik
Stasiun II memiliki karakter berupa perairan terbuka tanpa batu-batu karang yang
mendominasi, akibatnya biota-biota vegetasi dan hewan yang hidup melekat di batuan
karang, misal: alga, bintang ular, kelinci laut dan sebagainya jarang dijumpai. Gelombang
di stasiun II cenderung lebih besar karena tidak ada batuan karang yang dapat memecah
ombak. Keadaan fisik stasiun II tersebut akan mempengaruhi pengamatan yang dilakukan.
Parameter fisika yang berkontribusi langsung terhadap kondisi pantai stasiun I yaitu suhu
udara, kecepatan angin, frekuensi dan periode gelombang, kemiringan pantai, dan pasang
surut.
1) Suhu Air dan Suhu Udara
Hasil pengamatan terhadap suhu air dan suhu udara stasiun I selama 24 jam didapat
kisaran antara 26-300C untuk suhu air dan 26-320C untuk suhu udara. Kisaran suhu,
khususnya suhu air dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari, posisi matahari, letak
geografis, musim, kondisi awan, serta interaksi antara air dan udara. Rentang kisaran
suhu udara lebih besar dibandingkan dengan suhu air karena suhu udara dipengaruhi
oleh pemanasan sinar matahari.
Suhu air tertinggi terjadi pada jam 16.00, 17.00, 21.00, dan 09.00 sebesar 30C dan
terendah pada jam 24.00 sebesar 260C, sedangkan suhu udara tertinggi terjadi pada jam
11.00 sebesar 320C, terendah pada jam 24.00 sebesar 260C. Suhu air tinggi karena
dipengaruhi oleh intensitas matahari yang tinggi dan akibat dari kemampuan air yang
dapat lebih lama menyimpan panas dari atmosfer, sehingga panas yang diterima pada
jam sebelumnya terakumulasi didalam air. Suhu udara tertinggi terjadi pada jam 11.00
hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya radiasi dan intensitas sinar matahari yang
dipancarkan pada saat itu. Kecepatan angin juga berpengaruh terhadap suhu udara,
semakin besar kecepatan angin maka suhu udara akan cenderung lebih rendah.
Kecepatan angin yang relatif rendah (146.3 km/mnt) mengakibatkan suhu udara
menjadi tinggi karena angin yang berhembus dalam jumlah relatif kecil hanya akan
membawa sedikit uap air yang bisa menyerap panas udara. Penyerapan panas udara
yang kurang oleh uap air mengakibatkan suhu udara menjadi relatif besar. Suhu
berkaitan dengan tekanan parsial suatu tempat. Perbedaan suhu antara dua tempat yang

28
berbeda menyebabkan terjadinya aliran udara yang bergerak dari tekanan tinggi ke
tempat bertekanan rendah, dimana udara yang bergerak disebut angin. Semakin besar
perbedaan yang ada maka semakin cepat angin bertiup (Hutabarat dan Evans, 1985).
2) Kecepatan Angin
Kecepatan angin tertinggi stasiun II terjadi pada jam 13.00 sebesar 664,4 km/mnt
arah tenggara dan terendah pada jam 24.00, 03.00, 05.00, dan 06.00 yaitu sebesar 0
km/mnt (tidak ada angin). Tingginya kecepatan angin tertinggi bertiup dari arah
tenggara dapat terjadi karena pada jam tersebut terjadi perbedaan tekanan antara laut
dan darat paling besar, sehingga angin yang bertiup untuk menyeimbangkan tekanan
semakin kencang. Didapatkannya kisaran 0 km/menit pada beberapa waktu
diakibatkan oleh perbedaan tekanan antara darat dan laut yang kecil, sehingga angin
yang bertiup untuk menyeimbangkan tekanan tidak terlalu kencang. Letak stasiun II
yang terhalang gunung dan bukit. Hal tersebut mengakibatkan angin darat yang
terbentuk tidak sampai ke pantai, tertabrak gunung dan akhirnya berbelok ke arah lain.
3) Frekuensi-Periode Gelombang dan Kecepatan Angin
Pengukuran parameter fisik yang berkorelasi terbalik yaitu antara frekuensi dan
periode (waktu tempuh) gelombang. Frekuensi gelombang merupakan jumlah puncak
atau jumlah lembah yang melewati suatu titik tetap tiap satuan waktu (biasanya dalam
detik atau menit), sedangkan periode (waktu tempuh) gelombang merupakan interval
waktu antara dua puncak yang berurutan yang melalui suatu titik tetap (Supangat dan
Susanna 1999).
Frekuensi gelombang merupakan waktu yang diperlukan untuk mengadakan satu
siklus gelombang dalam artian banyaknya gelombang yang melewati suatu titik
tertentu. Daerah pengamatan stasiun II memiliki frekuensi gelombang tertinggi sebesar
11 gel/menit yang berarti periode (waktu tempuh) gelombangnya terkecil 6 dtk/gel
terjadi pada jam 01.00, sedangkan frekuensi gelombang terendah sebesar 3.3 gel/mnt
yang berarti periode gelombang terbesar sebesar 26 dtk/gel terjadi pada jam 13.00.
Tingginya frekuensi gelombang dengan periode kecil pada jam 01.00 dapat terjadi
karena pada jam tersebut kecepatan angin hanya bernilai 10, sehingga tidak terjadi
penumpukkan energi gelombang dan pertumbuhan gelombang tidak besar. Tidak
terjadinya penumpukan energi pada gelombang menyebabkan laju untuk terciptanya

29
satu gelombang semakin kecil, dengan kata lain gelombang semakin cepat terbentuk
(periode kecil). Rendahnya frekuensi gelombang dengan periode besar pada jam 13.00
dapat terjadi karena pada pada jam tersebut kecepatan anginnya paling tinggi yaitu
982,5 km/mnt. Kecepatan angin yang tinggi menyebabkan terjadinya penumpukkan
energi dan pertumbuhan gelombang yang signifikan. Hal tersebut menyebabkan
ukuran, panjang dan kecepatan gelombang semakin meningkat, tetapi dengan laju
berkurang, sehingga waktu untuk terbentuk gelombang semakin banyak (periode
besar).
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap gelombang maka dapat diketahui bahwa
gelombang stasiun II tergolong tipe pecah gelombang surging. Surging merupakan tipe
pecah gelombang yang tidak banyak menimbulkan hempasan. Hal tersebut dapat
dilihat dari pecahnya gelombang terjadi sebelum sampai ke pantai. Terdapat hubungan
antara tipe pecah gelombang dengan kelandaian pantai dan perbandingan kedalaman
perairan terhadap tinggi gelombang. Tipe pecah gelombang surging terjadi pada
kelandaian dasar pantai yang curam (±20 %) dengan pebandingan d/H mendekati 0.
Kondisi pantai yang berbatu karang dengan kemiringan pantai yang cukup tinggi yaitu
15,54% (termasuk curam), menyebabkan gelombang pecah tanpa hempasan kuat
akibat kedalaman perairan sama dengan tinggi gelombang yang terbentuk.
4) Pasang Surut
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pasang surut, diperoleh data sebagai
berikut: pasang surut berada pada kisaran 10-320 cm, dimana pasut tertinggi (320 cm)
terjadi pada jam 10.00 dan terendah (10 cm) pada jam 17.00. Tingginya pasang surut
pada jam 10.00 dipengaruhi oleh pasang harian tertinggi sebagai akibat adanya gaya
tarik bulan, sedangkan rendahnya pasang surut pada jam 17.00 menunjukkan bahwa
terjadi surut harian terendah. Tinggi rendahnya pasang surut disebabkan oleh gaya
tarik-menarik antara gaya sentrifugal yang disebabkan oleh perputaran bumi pada
porosnya dan gaya gravitasi yang berasal dari bulan.
Pasang surut merupakan gelombang perairan dangkal, yang dihasilkan oleh gaya
gravitasi bulan dan matahari terhadap lautan. Gaya pembangkit air pasang surut oleh
matahari memiliki sekitar 46% dari gaya yang dihasilkan oleh bulan. Kenaikan dan
penurunan pasang surut menghasilkan pergerakan lateral air (arus pasang surut) yang

30
kecepatan, besar dan arahnya dipengaruhi oleh geometri cekungan, kemiringan pantai
(slope) dan massa tanah penghambatnya. Angin yang kuat dapat menahan pasang naik
atau bahkan menguatkannya. Kecepatan penjalaran pasang surut juga dipengaruhi oleh
kedalamannya (Supangat dan Susanna 1999).
5. Kemiringan Pantai
Kemiringan pantai di stasiun II adalah 15,54%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
topografi bentuk pantai curam dan tidak landai. Keadaan yang demikian
mengakibatkan gelombang yang terbentuk akan memiliki hempasan yang tidak kuat
(tipe surging), karena pecah sebelum sampai pantai.
b. Parameter Kimia
Pengamatan parameter kimia meliputi kandungan oksigen terlarut (DO), kadar CO2
bebas, kadar alkalinitas, salinitas, dan nilai pH. Parameter-parameter kimia tersebut sangat
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup pakan alami dan proses fisik kimia biota laut.
Pengamatan terhadap parameter kimia dilakukan tiap tiga jam sekali.
1) Kadar Oksigen Terlarut
Kadar kandungan oksigen tertinggi terjadi pada jam 24.00 sebesar 7.5 ppm dan
terendahnya pada jam 03.00 sebesar 6.3 ppm. Tinggi rendahnya DO dapat dikaitk
dengan intensitas sinar matahari, suhu, gelombang (semakin banyak gelombang yang
terhempas ke pantai, maka semakin banyak oksigen dari udara yang terikat oleh air
secara difusi), kondisi perairan dan densitas plankton. Kadar DO diperairan tersebut
tinggi karena suhu air pada pukul 24.00 adalah yang tertinggi yaitu 260C.
Organisme/hewan akuatik membutuhkan oksigen untuk respirasi agar keseimbangan
dalam tubuhnya tetap terjaga. Sedangkan tumbuhan akuatik menghasilkan oksigen dari
proses fotosintesis. Rendahnya kandungan oksigen pada jam 03.00 karena tidak adanya
sinar matahari, sehingga tidak terjadi proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen
sedangkan proses respirasi terus berlangsung disisi lain pada malam hari tumbuhan
akuatik melakukan proses asimilasi yang juga memerlukan oksigen.
2) Kadar CO2 Bebas
Pengamatan terhadap kandungan karbondioksida bebas di stasiun II didapat
kisaran antara 0-14 ppm, dengan kadar CO2 bebas tertinggi sebesar 14 ppm pada jam
18.00, sedangkan yang terendah sebesar 0 ppm pada jam 15.00, 21.00 dan 24.00,

31
03.00, dan 06.00. Tingginya kandungan karbondioksida bebas dipengaruhi oleh proses
respirasi hewan akuatik yang terus menerus berlangsung, padahal O2 terlarut diperairan
terus berkurang karena digunakan untuk proses respirasi dan asimilasi. Pada malam
hari tidak ada sinar matahari sehingga tidak ada proses fotosintesis akibatnya tidak ada
penambahan oksigen. Kandungan CO2 bebas terendah terjadi pada jam 15.00, 21.00
dan 24.00, 03.00, dan 06.00. (0 ppm) karena pada jam tersebut tidak ada sinar matahari
yang berperan dalam proses fotosintesis yang selanjutnya akan menghasilkan oksigen.
Karbondioksida dalam proses fotosintesis akan diubah menjadi zat organik berupa
cadangan makanan dan oksigen, yang keperluan sebagai bahan fotosintesisnya lebih
besar dibandingkan dengan dihasilkannya CO2 bebas dari proses respirasi organisme
heterotroph (organisme yang tidak mampu memasak makanan sendiri).
Penambahan kelarutan karbondioksida dapat berasal dari hasil pernapasan dan
pembongkaran bahan organik oleh jasad renik. Kenaikan suhu dan salinitas akan
menaikkan karbondioksida. Pengurangan karbondioksida di laut diakibatkan dari
proses fotosintesis, penurunan suhu dan salinitas (Djasmani 2004).
Menurut Nybakken (1992), karbondioksida yang masuk keperairan akan bereaksi
dengan air menghasilkan asam karbonat: CO2 + H2O ↔ H2CO3
Asam karbonat (H2CO3) selanjutnya terdisosiasi menjadi ion hidrogen dan ion
bikarbonat: H2CO3 ↔ H+ + Hco3-
Kemudian ion bikarbonat terdisosiasi lagi menjadi ion hidrogen dan ion karbonat:
HCO3- ↔ H+ + CO3-
3. Alkalinitas
Hasil pengamatan menunjukkan kisaran alkalinitas stasiun II yaitu antara 42-260
ppm, dengan yang tertinggi sebesar 260 ppm pada jam 15.00 dan terendah sebesar 42
ppm pada jam 09.00. Tingginya alkalinitas jam 15.00, menunjukkan bahwa
kemampuannya dalam menyangga perubahan pH (menetralisir asam) sangat tinggi.
Tingginya alkalinitas dipengaruhi oleh ketersediaan ion karbonat dan bikarbonat yang
tinggi, sebagai akibat dari reaksi CO2 dan air. Ketersediaan ion karbonat dan
bikarbonat menyebabkan perairan bersifat lebih basa.
Menurut Kristanto (2002), reaksi alkalinitas yang terjadi:
CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3- ↔ 2 H+ + CO3-

32
Semakin kecil kandungan CO2 bebas di perairan maka penggunaan CO2 oleh
fitoplankton untuk fotosintesis akan meningkat demikianpula dengan bereaksinya CO2
dengan H2O akan mengalami peningkatan juga sehingga akan meningkatkan nilai
alkalinitas. Nilai alkalinitas meningkat sebagai akibat meningkatnya kandungan asam
bikarbonat dan ion karbonat. Kadar alkalinitas yang tinggi mengandung makna bahwa
perairan tersebut memilki kemampuan menyangga asam yang cukup tinggi dengan
memberikan sedikit sifat basa. Alkalinitas berfungsi sebagai buffer yang dapat
mempertahankan pH air laut dalam keadaan stabil.
4. Salinitas
Parameter kimia yang paling khas hanya dimiliki air laut adalah salinitas.
Pengamatan salinitas stasiun II didapat kisaran antara 30-35 0/00, tertinggi sebesar 35
ppm pada jam 18.00 dan terendah sebesar 30 ppm pada jam 21.00. Kadar salinitas
dipengaruhi oleh presipitasi (hujan) yang menyebabkan kadar salinitas menjadi turun,
akan tetapi saat dilakukan pengamatan tidak terjadi hujan, sehingga salinitas relatif
tetap. Kandungan salinitas yang tinggi dapat menyebabkan kandungan CO2 rendah
karena saat salinitas air laut tinggi organisme laut yang ada sedikit akibatnya prosesm
respirasi yang terjadi juga sedikit dalam melepaskan CO2. Pasang surut air laut juga
berpengaruh terhadap nilai salinitas dimana, pasang surut dapat menyebabkan
pengadukan vertikal, karena ada di bawah kendali pasang surut maka salinitas di
semua tempat dapat berubah drastis tergantung pada kedudukan pasang surut.
Air laut permukaan memiliki kisaran salinitas sebesar 32-38 0/00, sedangkan di
daerah pantai akibat masuknya air sungai dan buangan limbah, salinitasnya sering
menjadi lebih rendah yaitu antara 10-320/00. Naik turunnya salinitas air laut sangat
dipengaruhi oleh penguapan, peleburan dan pembentukan es di kutub (Sidharta 2000).
5. Derajat Keasaman
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kisaran pH relatif stabil (7.0-7.3), dengan
nilai tertinggi sebesar 7.3 ppm pada jam 06.00 dan 09.00, sedangkan terendah sebesar
7 ppm pada jam 21.00. Tingginya pH pada jam 06.00 dan 09.00 terjadi karena pada
jam tersebut kandungan karbondioksida pada perairan paling kecil (0-10 ppm).
Karbondioksida di air akan terurai menjadi asam karbonat, asam bikarbonat dan
karbonat yang bersifat asam (menurunkan pH). Alkalinitas yang tinggi menandakan

33
perairan memilki kemampuan untuk menyangga pH perairan sehingga pH yang
dihasilkan relatif stabil. Nilai alkalinitas juga mempengaruhi pH, karena pH
merupakan indikator kadar asam perairan sedangkan alkalinitas sebagai indikator
kebasaan, sehingga keduanya bekerja berkebalikan.
3. Parameter Biologi
Parameter biologi yang dilakukan yaitu pengamatan kepadatan plankton. Hasil
perhitungan didapat kepadatan (densitas) plankton didapat kisaran 45-660 individu/L.
Densitas tertinggi sebesar 660 ind/l pada pukul 03.00 (mayoritas plankton berupa Beroe
sp.) dan terendahnya sebesar 45 ind/l pada jam 15.00 (mayoritas plankton yaitu
Tricaratium sp.) Tingginya densitas plankton pada jam 03.00, karena pada jam tersebut
suhu perairannya sebesar (290 C), kemungkinan suhu tersebut merupakan suhu yang
sesuai dengan kisaran organisme tersebut sehingga kebanyakan plankton tersebut mampu
bertahanhidup. Tingginya DO (DO tertinggi pada yaitu 6,5 ppm), mengakibatkan plankton
mudah mendapat oksigen sebagai bahan dasar respirasi dalam aktivitasnya. Rendahnya
densitas plankton pada jam 15.00 karena pada jam tersebut kandungan oksigennya relatif
sedikit (6,6 ppm), kandungan oksigen yang kecil pada perairan mengakibatkan plankton
kesulitan mendapatkan bahan bakar utama untuk melakukan proses respirasi tubuh yang
menghasilkan energi untuk kelangsungan hidupnya. Adanya gelombang dan pasang surut
mempengaruhi dalam pengadukan massa air dan distribusi nutrisi. Gelombang dan pasang
surut yang besar dapat menyebabkan plankton terbawa arus dan terkonsentrasi pada satu
tempat atau bahkan menjadi terpencar-pencar secara random, sehingga densitas yang
didapat kurang menggambarkan kepadatan plankton yang sebenarnya.

C. Manfaat dengan Dunia Perikanan

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kedua stasiun tersebut maka dapat diketahui
bahwa stasiun I dan stasiun II memiliki potensi yang sangat tinggi jika dimanfaatkan untuk
dunia perikanan. Tanaman akuatik seperti alga banyak dijumpai di stasiun I. Alga tersebut
berasal dari berbagai kelas dengan tingkat keragaman spesies yang sangat tinggi. Alga-alga
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan kosmetika, obat-obatan, dan sebagai bahan pakan
tambahan dari laut dengan kandungan nutrien yang sangat tinggi. Pantai tersebut juga dapat

34
dimanfaatkan untuk tambak pasang surut dengan memanfaatkan gerakan pasang surut air laut.
Ketika terjadi pasang maka sejumlah massa air akan masuk ke dalam tambak dan masuknya
nutrien yang dibawa oleh gerakan pasut dan gelombang. Disekitar pantai tersebut dapat kita
jumpai tanbak lobster, bandeng, dan udang windu. Tidak hanya itu penduduk disekitar pantai
tersebut juga banyak yang bermatapencahariaan sampingan sebagai nelayan rumput laut.
penduduk tersebut membudidayakan rumput laut kemudian menjualnya dalam bentuk kering
dan dijual kepada pedagang pengumpul. Selanjutnya oleh pedagang pengumpul rumput laut
tadi akan dijual ke perusaahaan kosmetika.

35
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Oseanografi merupakan ilmu terapan yang mempelajari tentang laut dan didukung oleh
aspek-aspek fisik, kimia, dan biologi laut.
2. Aspek fisika meliputi suhu air, suhu udara, kecepatan dan arah angin, periode dan
frekuensi gelombang, dan pasang surut air laut.
3. Hasil pengamatan terhadap aspek fisik laut menunjukkan bahwa :
a. suhu air berkisar 26-31.5 0C
b. suhu udara berkisar 26-300C
c. kecepatan angin berkisar 0-982.5 km/mnt
d. arah angin sebagian besar berasal dari tenggara
e. frekuensi gelombang berkisar 3-11 gel/mnt
f. periode gelombang berkisar 6-20 det/gel
g. kecepatan angin berkisar 0-982.5 km/mnt
h. kemiringan pantai sebesar 15.54 %
4. Aspek kimia yang diamati meliputi kadar DO, kadar CO2 bebas, alkalinitas, salinitas, dan
kadar pH. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kisaran data sebagai berikut:
a. Kadar DO berkisar antara 6-13.2 ppm
b. Kadar CO2 bebas berkisar antara 0-24 ppm
c. Kadar alkalinitas berkisar 5-290 ppm
d. Kadar salinitas berkisar 30-35 o/00
e. Kadar pH berkisar 6.9-7.3 ppm
5. Pengamatan terhadap aspek biologi berupa kepadatan plankton dengan kisaran 45-660
ind/liter. Spesies terbanyak adalah Beroe sp. dan spesies terkecil adalah Tricaratium sp.

B. Saran

1. Persiapan pelaksanaan teknis di lapangan diharapkan dapat lebih matang agar kesalahan
yang terjadi di lapangan dapat diminimalkan.

36
2. Kerjasama antara asisten dan praktikan di lapangan sebaiknya tetap dijaga sehingga
praktikum dapat berjalan dengan baik dan tujuan dapat tercapai dengan mudah.

37
DAFTAR PUSTAKA

Brotowidjoyo, M.D., D. Triawono, E. Mulbyantoro. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan


dan Budidaya Air. Liberty, Yogyakarta.

Cholik. 1991. Pengolahan Kualitas Air Kolam. Dirjen Perikanan. Jakarta.

Dahuri, R, dkk. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Pradnya Paramita. Jakarta.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Pt


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hutabarat, S. dan S.M. Evan. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.

Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan tentang Biologi Laut.
Djambatan. Jakarta.

Supardjo. 2004. Bahan Ajar Kuliah Oseanografi. Jurusan Perikanan Fakultasa Pertanian
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Triyatmo, B. 2001. Studi Kondisi Limnologis Waduk Sermo pada Tahap Pra-Inundasi.
Jurnal Perikanan. UGM.

Wetzel, R.G. 1991. 3rd edition: Limnology Lake and River Ecosystem. Academic Press

38

Anda mungkin juga menyukai