Oleh:
LEDALERO, MAUMERE
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
Hembusan restorasi dalam tubuh Gereja melalui Konsili Vatikan II (1962-1965) telah
membuka mata paradigma Gereja tentang keberagaman agama dan budaya. Bahwasanya
Gereja harus menerima dan mengakuinya sebagai komplemen jalan menuju keselamatan.
Gereja mesti menjalankan proses konformitas, kooptasi, dan pembaruan yang intensif.
Pasalnya, tidak dapat dimungkiri lagi bahwa di dalam agama dan budaya lain, Allah juga
hadir dan berbicara kepada umatnya dan bahwasanya antipati terhadap budaya berarti pula
antipati terhadap manusia sebagai pendukung utamanya. Sebelumnya, Gereja secara eksplisit
menyatakan bahwa hanya Gereja sendirilah yang dapat menyelamatkan umat manusia dan di
luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nula salus).
“Lebih jauh, Gereja bahkan mengakui pewahyuan diri Allah dalam melalui budaya
dan agama lain”.2 Keanekaragaman budaya dan agama tidak boleh dianggap dan dipandang
sebagai sebuah ancaman ataupun ajaran sesat, melainkan “…...Gereja memelihara dan
memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat
kebiasaan para bangsa yang tidak secara mutlak terlihat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh
Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipelihara dalam keadaan baik
dan utuh” (SC 37).3 Hal ini termaktub dalam Ensiklik Redemptoris Missio artikel 28-29
1
“Dokumen Konsili Vatikan II”, R. Hardawiryana (penterj.) (Jakarta: Obor, 2013).
2
Cristologus Dhogo, Su’i Uwi Ritus Budaya Ngada dalam Perbandingan dengan Perayaan Ekaristi (Maumere:
Ledalero, 2009), hlm. 1.
3
“Dokumen Konsili Vatikan II”, op. cit., hlm. 17.
bahwa Gereja menyadari tindakan penyelamatan telah hadir dan senantiasa hadir sepanjang
sejarah di dalam berbagai kebudayaan dan agama dari semua bangsa.”4
Dalam perjalanannya, keterbukaan Gereja ini menuntut Gereja secara universal untuk
membangun relasi secara intensif dan adaptasi terhadap pelbagai keberagaman budaya lokal
dan agama yang ada. Dengan upaya itu warisan-warisan budaya itu dapat dikaji dan
dipelihara serta dikembangkan untuk menambah khazanah pembangunan dan perkembangan
Gereja. Gereja mesti berjuang secara sungguh-sungguh dalam mengemban relasi dengan
budaya lain, agar proses integrasi antara keduanya dapat terpolarisasi dengan baik tanpa ada
sikap antipati satu sama lain. Gereja juga mesti berusaha agar kehadirannya dalam umat tidak
dirasa sebagai suatu budaya asing atau pun sebagai pembawa kehancuran.
Namun demikian, dewasa ini sering muncul paham-paham dualisme dalam diri
masyarakat sebagai setara kehidupan Gereja, khususnya dalam peryaan Ekaristi Kudus.
Banyak masyarakat yang berpandangan bahwa antara ritus kebudayaan dan perayaan Ekaristi
terdapat dikotomi. Salah satunya dalam ritus sagi. Tidak ada korelasi koheren antara yang
satu dengan yang lain. Dengan kata lain, warisan budaya ritus sagi dan Ekaristi berdiri
terpisah dengan motif dan tujuan yang berbeda-beda tanpa adanya satupun kesamaan antara
keduanya. Menyikapi hal ini, kelompok hendak “Membandingkan Ritus Sagi pada
Masyarakat Soa dengan Perayaan Ekaristi sebagai Perayaan Rasa Syukur”. Kelompok juga
menyoroti ritus sagi sebagai salah satu warisan budaya yang ada dan bertumbuh dalam
masyarakat Soa dengan perayaan Ekaristi sebagai puncak iman Kristiani.
4
“Redemptoris Missio”, Marcel Beding (penterj.) (Ende: Nusa Indah, 1992).
2) Apa yang dimaksudkan dengan ritus sagi sebagai representasi rasa syukur masyarakat
Soa?
3) Apa unsur-unsur dasar perayaan Ekaristi?
4) Apa relevansi antara ritus sagi yang berkembang dalam kebudayaan masyarakat Soa
dengan perayaan Ekaristi?
BAB I PENDAHULUAN
BAB V PENUTUP
BAB II
KAJIAN TEORETIS
Kecamatan Soa memiliki luas wilayah kurang lebih seluas 91,14 Km2, yang terdiri
atas tiga belas desa. Adapun perincian tiga belas desa tersebut sebagai berikut:
2.2 Sagi
Ritual sagi merupakan sebuah hajatan tahunan yang tumbuh dalam kebudayaan
masyarakat Soa dan senantiasa dihidupi sebagai bagian dari kekayaan budaya masyarakat
Soa. Sagi merupakan warisan masa lalu yang telah menyatu dan mendarah daging dalam diri
dan kepribadian masyarakat Soa. Dalam pemahaman masyarakat setempat, sagi memiliki
peranan dan andil yang sangat besar bagi arah hidup mereka untuk bekerja dan
melangsungkan hidup. Sagi menjadi sarana untuk menginterpretasi dan mengekspresikan rasa
syukur dan pujian mereka kepada Yang Mahakuasa atas segala anugerah panen yang diterima
di musim yang lalu dan sekaligus memohon berkat baru untuk penggalakan usaha di musim
yang akan datang.
Kapan ritual sagi ini mulai dirintis? Jawaban atas pertanyaan ini tidak diketahui
dengan jelas dan pasti. Ketidakpastian ini terjadi karena ritual sagi itu sendiri merupakan
ritual warisan yang bersifat superorganik dan terus diwariskan dari generasi sebelumnya
sampai pada generasi masa kini. Namun, yang jelas bahwa ritual ini lazimnya dilaksanakan
mulai dari bulan Maret sampai bulan Juni. Waktu perhitungan pelaksanaannya masih
menggunakan perhitungan tradisional setempat, sehingga kadang-kadang waktu pelaksanaan
setiap tahun tidak tepat dan berubah-ubah.6
Dalam ritual tersebut, semua peralatan tinju menggunakan peralatan tradisional yang
terbuat dari bahan-bahan lokal setempat dengan motif dan karakteristik daerah setempat.
Beberapa peralatan tradisional itu akan diuraikan di bawah ini.
Pertama, loka melo.7 Loka melo merupakan nama lain dari arena tinju. Arena tinju
ini, biasanya terbuat dari pagar kayu bambu yang diikat dengan tali ijuk. Pada kedua sisi yang
berlawanan, didirikan dua buah pondok sederhana yang dilengkapi dengan beberapa
perlengkapan melo (alat-alat musik). Perlengkapan melo ini biasanya terbuat dari batang
6
Hasil wawancara dengan Bapak Yoseph Ngago Keo, pada 20 Juni 2018 di Soa.
7
Hasil wawancara dengan Bapak Yohanes Lado, pada 26 Juni 2018 di Soa.
bambu yang dipotong sesuai dengan ukuran loka melo. Kemudian, alat musik melo
diletakkan di bagian depan loka melo. Selain itu, disediakan pula tongkat pemukul melo yang
disebut dhomelo. Tongkat pemukul alat musik melo biasanya terbuat dari bambu atau damar
yang dibentuk dengan berbagai motif.
Kedua, woe. Woe merupakan perlengkapan sagi yang paling urgen dari semua
perlengkapan yang ada di dalam ritus sagi. Woe merupakan nama lain dari sabuk tinju, yang
terbuat dari pintalan tali ijuk yang dilapisi dengan pecahan botol atau tanduk kerbau serta
direkat dengan perekat yang terbuat dari getah tumbuhan ara. Woe digunakan oleh petinju
sebagai senjata utama untuk melukai lawan tinju.
Ketiga, boku dan bae kasa. Boku merupakan secarik kain berwarna merah atau coklat
yang diikat pada bagian kepala para petinju. Boku berfungsi sebagai pelindung kepala petinju
dari pukulan lawan tinju. Selain itu, Boku juga menyimbolkan keberanian dan keperkasaan
seseorang. Sedangkan bae kasa adalah kain berwarna merah dan berukuran panjang yang
diikat pada dada para petinju. Bae kasa berfungsi untuk melindungi dada para petinju dari
pukulan lawan tinju.
Ada beberapa tempat atau wilayah, baik di dalam maupun di luar Soa yang
menghidupi dan melangsungkan ritus sagi.
Soa sebagai wilayah ritus sagi memiliki tujuh kampung yang melaksanakan ritus sagi
Kedua, kampung Piga (wulamanu). Pelaksanaan ritus sagi pada kampung ini terjadi
sekitar bulan April atau Mei. Biasanya setelah kampung Menge.
Ketiga, kampung Wuli Lade (lade). Pelaksanaan ritus sagi di kampung ini biasaanya
terjadi pada bulan Mei atau Juni.
Keempat, kampung Libunio (Nio Waru). Pelaksanaan ritus sagi di kampung ini biasa
terjadi pada bulan Juni.
Kelima, kampung Masu (Wula Mana). Pelaksanan ritus sagi ditempat ini biasanya
terjadi pada bulan Juli.
Keenam, kampung Loa (Dheli). Pelaksanaan ritus sagi di tempat ini biasanya terjadi
pada bulan antara akhir Juni atau pada awal Juli.
Ketujuh, kampung Boamuzi. Kampung Boamuzi merupakan kampung terakhir yang
menjalakan ritus sagi. Pelaksanaan ritus sagi pada kampung ini biasanya terjadi pada bulan
Juli.
Selain daerah Soa ada juga beberapa daerah di luar daerah Soa yang menghidupi ritus
sagi. Penyebaran ini terjadi karena beberapa tempat yang menghidupi ritus ini pada awalnya
adalah satu suku yang kemudian dipisahkan oleh pembagian wilayah pemerintahan. Namun
demikian, motif dan sebutan ritual ini hampir tidak sama untuk setiap daerah. Ada yang
menyebutnya sagi, ada yang menyebutnya sudu, dan ada juga yang menyebutnya etu.
Daerah-daerah itu antara lain, kampung Zepe, kampung Koli, kampung Taka, kampung
Boawae, kampung Rawe, kampung Tutubhada Mbay-Aesesa, dan kampung Boanio.
Sagi merupakan sebuah ritual. Sebagai sebuah ritual, sagi memiliki beberapa tahapan
atau proses pelaksanaannya yang rapi sejak awal hingga akhir ritual. Semua tahapan ini akan
dijalankan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
Zia lika atau kafange8 merupakan tahap peracikan darah ayam yang sudah disembelih
ke benda-benda vital dan keramat, seperti atatagi, sui, hazo, haza api, dan padi ladang.
1. Ata tagi adalah patung mungil mirip dengan manusia dalam ukuran mini. Patung ini
terbuat dari bahan pahatan batu atau kayu. Ata tagi ini biasanya diletakkan di depan pintu
rumah. Namun, tidak semua rumah yang bisa memajangkan Ata tagi ini, tetapi Ata tagi
ini hanya boleh dipajangkan di rumah-rumah tertentu sebagai rumah pokok (ata sao
pu’u).
2. Sui adalah tempat penyimpanan tradisional yang digunakan untuk menyimpan kayu
bakar. Sui ini biasanya terbuat dari tiang kayu bambu dan diletakkan di atas tungku api.
8
Hasil wawancara dengan Bapak Yhosep Ngago Keo, pada 20 Juni 2018 di Soa.
3. Hazo adalah tempat yang dipandang keramat yang dirancang khusus untuk menyimpan
barang-barang pusaka atau yang dianggap sakral, seperti keris, parang, dan tombak.
4. Haza api adalah tungku api tradisional khas masyarakat Ngada. Tungku api ini terbuat
dari tiga buah batu berukuran sedang yang disusun dalam bentuk segi tiga.
5. Padi ladang yang digunakan adalah padi ladang yang baru dipanen (mama muzi). Dalam
kebudayaan masyarakat Soa, padi ladang (mama muzi) ini tidak boleh langsung dimakan
sebab harus terlebih dahulu dilakukan pemberkatan.
2.2.4.2 Weti
Tahap weti biasanya dilaksanakan pada saat memasuki bulan baru, yaitu sekitar bulan
Mei. Dalam tahap ini para tua adat dan anak-anak kampung dikerahkan untuk mencari buah-
buahan, seperti buah kelapa, sirih, pinang, moke, halia tanpa harus terlebih dahulu meminta
izin kepada para pemiliknya. Kegiatan mencari makanan dan buah-buahan ini dikenal dengan
sebutan soe. Semua bahan itu diarak oleh banyak orang dan dikumpulkan pada salah seorang
tua adat. Di rumah tua adat, semua bahan itu dipisahkan sesuai dengan jenisnya. Bahan
kelapa dan halia diperlakukan secara khusus. Kedua bahan itu diparut, dicampur, lalu
dibagikan oleh para tua adat setempat kepada semua orang yang telah berpartisipasi aktif
mencari buah-buahan dan makanan. Ketua adat akan mengatakan kou (yang berarti
terimalah) ketika membagikan bahan parutan itu. Setelah menerima parutan itu, semua orang
yang hadir diminta untuk menyantapnya tanpa dicampur dengan nasi atau makanan lain yang
dibawa dari rumah masing-masing. Selain itu, semua yang hadir, baik pria maupun wanita
hanya diperbolehkan untuk minum tuak putih (moke).
Setelah makan, kegiatan pati weti dimulai. Pati weti adalah kegiatan membagikan
sirih pinang mentah kepada semua orang yang datang ke tempat ritus itu. Namun, proses
pembagian sirih pinang itu tidak dilakukan seperti lazimnya yakni dibagikan, tetapi dilakukan
dengan cara menghamburkan sirih pinang mentah ke hadapan orang banyak. Kemudian,
mereka diminta mengumpulkan bersama-sama sirih dan pinang mentah yang dihamburkan itu
untuk dijadikan sebagai milik pribadi.
2.2.4.3 Oro
Oro adalah nyanyian yang didaraskan oleh seorang tua adat, lalu dibalas oleh
masyarakat sambil menari dengan gerakan kaki kanan yang dihentikan sesuai dengan
nyanyian yang didaraskan. Biasanya, nyanyian yang didaraskan itu berisikan puji-pujian dan
permohonan agar diberi kesuburan tanah dan berkat terhadap segala usaha yang dirintis
dalam kurun waktu satu tahun. Setelah proses oro, para tua adat akan berkumpul untuk
menentukan hari jadi pelaksanaan ritus puncak.
Gete hepa adalah tahap memasak sebanyak mungkin makanan berupa nasi, daging
ayam, daging babi, daging kerbau, daging sapi dengan menggunakan daun tuak. Kegiatan
gete hepa ini baru dilakukan apabila ketua adat sudah meletakkan daun moke pada Ngadhu.
Ngadhu adalah benda kultus yang paling menarik dan memiliki peranan yang paling penting
dari antara semua benda yang ada di dalam kampung. Ngadhu merupakan sebuah tiang
persembahan, yang terbuat dari kayu berukuran besar. Alasan utama mendirikan Ngadhu
adalah kesaktian orang yang hendak mendirikannya. Dengan Ngadhu, ia hendak
mempertahankan kenangan akan seorang leluhur dan mengharapkan bantuannya secara
tetap.9 Di beberapa tempat, Ngadhu diukir dengan pahatan motif khas daerah setempat.
Dalam tahap gete hepa, masakan harus dibagikan kepada para tetangga, orang-orang
sakit, orang-orang jompo, dan para anak yatim. Makanan yang tersisa disimpan untuk
dihidangkan kepada para tamu yang datang untuk menyaksikan ritus tinju adat pada keesokan
harinya. Kegiatan gete hepa pada awalnya merupakan tahapan wajib, yang harus dilakukan
setiap kali ritus sagi diadakan. Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan seperti ini
mulai ditinggalkan dan diganti dengan jenis masakan modern dengan bahan daging babi,
anjing, ayam, kambing, dan masih banyak lagi makanan yang biasa dihidangkan.
Diperkirakan kegiatan gete hepa ini mulai ditinggalkan sejak tahun 70-an.
2.2.4.5 Dero
Pada malam hari setelah penetapan waktu pelaksanaan sagi dilakukan, kegiatan dero
(nyanyian yang disertai tarian) dilakukan dalam formasi lingkaran mengelilingi api unggun.
Pada dasarnya, dero mempunyai kesamaan dengan oro, yaitu nyanyian yang dibalas oleh
massa. Namun syair yang didaraskan dalam ritus oro berbeda dengan syair yang didaraskan
pada kegiatan dero. Hal lain yang membedakan tahap dero dengan oro adalah orang yang
hadir dalam ritus sagi. Semua orang diundang untuk mengikuti kegiatan dero tanpa ada
pemisahan, sedangkan pada kegiatan oro yang diperbolehkan hanyalah orang-orang yang ikut
9
Paul Arndt, Agama Orang Ngadha (Ende: Arnoldus, 2007), hlm. 98.
untuk menjalankan kegiatan weti. Selain itu, dalam kegiatan dero, semua orang yang datang
diharapkan membawa kayu bakar dari rumah masing-masing untuk keperluan api unggun.
Dero biasanya dilaksanakan di halaman kampung. Setiap orang yang ada biasanya
membentuk kelompoknya masing-masing. Syair-syair dero biasanya berupa pantun-pantun
muda-mudi, sindiran terhadap kekeliruan dalam kehidupan, nasihat, atau puji-pujian kepada
kekasih. Biasanya, dero berlangsung semalam suntuk. Pada masa lampau, dero berlangsung
tiga malam berturut-turut menjelang sagi. Pada masa sekarang, dero dilaksanakan satu malam
saja. Saat menjelang sagi, masyarakat adat, khususnya para lelaki juga memanfaatkan momen
ini untuk meminang gadis (idi weti). Pada umumnya, syair yang dinyanyikan dalam kegiatan
dero lebih diarahkan kepada hal-hal praktis, berkenaan dengan kegiatan para petani.
1. Riwue .... riwu mai moni (panggilan untuk masyarakat kampung supaya datang menonton
acara dero)
2. Titi dhizirotamoa (membuka lahan baru untuk dijadikan ladang baru)
3. Sa’asu'una’anepeana (menurunkan bajak untuk mengerjakan kebun baru)
4. Uzamai (memanggil hujan untuk membasahi tanah dan pematangan agar tanah tetap
subur)
5. Pale balezeIe (permintaan untuk merapikan tanah agar humus-humus tanah tidak terbawa
oleh air hujan)
6. Ine pare (mempersiapkan bibit padi)
7. Pare lolo repeloge (bibit padi yang baru ditanam mulai memunculkan tunas -tunasnya)
8. Puirazirotamui (mulai membersihkan dan mencabut rumput padi)
9. Ana bosipeine (padi-padi mulai berkembang dan mulai bertunas dari induknya)
10.Wunu mara debadere (padi-padi itu mulai tumbuh dengan sangat subur dan daun-daunnya
menjadi hijau)
11. Kobamakoriloralo (anak-anak padi yang baru tunas itu mulai tumbuh dan berkembang
dengan subur).
12.Paba pu'ugae zeta (rumput padi seperti sapu lidi yang tumbuh di dekat padi-padi).
13.Toko bhokowole (batang padi pendek, tetapi memiliki bulir yang sangat banyak dan berat).
14.Sereku benuebu (dipetik hanya segenggam, tetapi diisi penuh sole (salah satu keranjang
tradisional yang digunakan untuk menyimpan makanan).
15.Su’usa’adatemema (biar padinya berat, tetapi padi itu dipikul sampai ke lumbung
penyimpanan padi)
16.Tubowututengazua (lubung penyimpanan padi itu memiliki dua pasak empat tiang)
17.Leda bepatengadego (terkadang karena padi terlalu berat maka alas tenda itu patah).
18.Se'e sodu laga gara (tinggi padi dapat melampaui atap lumbung).
19.Ruse wai gawi lawa (karena lumbung penuh maka ikatan padi dikencangkan agar tempat
penyimpanan berisi padat).
20.Poru lodukoba tawa (mulai mengambil padi pertama untuk dijemur).
21.Wazugezutu-te (padi yang dijemur itu mulai ditumbuk dengan lesung dan alu).
22.Kora dolakagesina (padi yang ditumbuk itu mulai dimasak) Akhirnya, dero dibubarkan
jika hari sudah pagi, kira-kira pukul 06.00.
Tahap puncak biasanya dimulai pada pukul 12.00 siang. Pada jam ini, biasanya
banyak orang berkumpul di lapangan tinju untuk menyaksikan tinju adat. Pada saat yang
bersamaan ketua adat datang ke arena tinju sambil membawa woe (sabuk tinju). Woe itu
diberi kepada ketua adat lain yang ditugasi secara khusus untuk memegang woe. Setelah
semua tua adat duduk, para seksi tiap pondok timur dan barat mulai mencari para petinju dari
antara penonton. Setelah para petinju ditemukan, mereka akan membawa para petinju itu
menuju pondok masing-masing untuk mengenakan atribut-atribut sagi. Sagi akan
dilaksanakan di tengah kampung (Kisanata).
Area ini akan dibagi untuk dua kelompok, yaitu kelompok timur dan kelompok barat
sesuai dengan penempatan posisi kampung (ulu-eko).10 Lokasi ini biasa disebut melo atau
eiye. Dari tempat ini para petinju akan keluar untuk mengenakan pakaian khusus yang
diterima dari pemangku tinju. Sebelum bertinju, petinju harus duduk pada lesung yang telah
disiapkan. Kaum perempuan tidak boleh melewati tempat ini. Ketika para petinju itu
dikenakan atribut sagi, masing-masing anggota setiap pondok mulai menyanyikan lagu
sambil menari-nari di depan pondok sambil mengejek lawan tinju yang berada di pondok
tetangga. Berikut adalah nyanyian pada saat mengenakan atribut sagi.
1. Ebu taru lima olo koba mae nenga reko poso: Ebu taru telah terbiasa umuk mengatasi
masalah yang datang walaupun masalah itu bagaikan gunung dan bukit yang datang
silih berganti.
2. Lau sei zele sei fara nengha riwu kita: tidak ada suatu perbedaan di antara kita semua
baik yang berasal dari timur maupun barat kita semua adalah satu dan bersaudara.
10
Satu ujungnya disebut ulu (kepala, di atas, bagian yang paling penting), dan yang di bawah yang disebut e’ko
(ekor). Ulu–e’ko sering juga dipakai untuk seluru kampung, atau juga untuk seluruh penghuni kampung itu.
Bdk. Punu Nang’e cerita dari So’a Flores (Jakarta: Obor, 1999), hlm. 16.
3. Kedhi-kedhi ana solo dhoma kaka kazu mezae: dari segi fisik ia terlihat kecil dan
lemah, tetapi sebetulnya ia mampu melakukan hal-hal yang besar dan luar biasa.
4. Wunu nata beke meze tuka nenga mae bhale logo: janganlah kita mencoba untuk
membalik-balikkan fakta yang telah ada.
Ketika para petinju selesai mengenakan atribut sagi, para anggota pondok yang
bertugas untuk menari berhenti, lalu mempersilahkan para petinju untuk memasuki arena
tinju. Kemudian, para seka tiap pasang mengambil woe dan menyerahkannya kepada para
petinju. Setelah para petinju selesai mengenakan woe, sike mulai memegang tangan kedua
petinju dengan mengatakan mulai. Dengan demikian, sagi pun dimulai. Durasi tinju setiap
partai tergantung dari kedua petinju itu sendiri. Apabila salah satu dari antara kedua petinju
itu mengatakan cukup atau damai maka sagi diberhentikan. Begitu pula dengan perdamaian
bisa terjadi pada saat itu juga atau kedua petinju tidak akan berdamai dan akan bertarung lagi
pada kesempatan lain di kampung yang berbeda. Apabila partai yang bertarung itu dinyatakan
damai, maka akan diganti dengan partai berikutnya hingga selesai, yaitu kira-kira pukul 18.00
sore. Luka akibat pukulan lawan tidak diobati, tetapi dioles dengan parutan halia dan
dibiarkan sampai keesokan paginya hingga luka itu sembuh.
1. Sike atau zo, terdiri atas dua orang, yaitu yang bertugas mendampingi masing-masing
kedua orang yang bertinju serta memberikan perlindungan bagi petinju. Seseorang yang
dipilih atau dipercayakan sebagai sike atau zo ini haruslah orang yang berpengalaman dan
lincah sehingga bisa mengimbangi petinju. Gerakan kaki seorang sike harus seirama atau
paling tidak mengimbangi petinju. Begitu pun kecepatan mata. Tangan sike bisa
dimanfaatkan untuk melindungi dada petinju serta menarik petinju apabila dalam keadaan
bahaya. Kalah menang pertarungan juga tergantung pada pendamping atau sike.
2. Dheo woe (wasit) adalah seorang yang bertugas melerai para petinju apabila dalam
keadaan bahaya atau posisi kacau.
3. Dheo haro bertugas menjaga keamanan dengan berdiri membuat pagar betis agar orang
yang menonton tidak masuk ke arena tinju. Pada masa lalu, personil ini dilengkapi dengan
ranting bambu kecil untuk menghalau penonton yang masuk ke area tinju.
Apabila ritus tinju selesai, semua orang yang datang untuk menyaksikan ritus sagi
diundang untuk pergi ke rumah-rumah teman, keluarga atau rumah-rumah terdekat untuk
nalo, yaitu istilah khas bagi orang Ngada untuk mengatakan makan bersama. Makan yang
dihidangkan pada awalnya adalah daging bagi, yaitu daging babi yang dicampur dengan
tepung jagung, kemudian disimpan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Seiring dengan
perkembangan zaman, makanan seperti ini mulai ditinggalkan dan diganti dengan masakan-
masakan yang populer pada setiap generasi. Bagi masyarakat Ngada, nalo merupakan
kegiatan yang sangat penting karena biasanya para orang tua yang datang membawa anak-
anaknya dan saat nalo orang tua akan memperkenalkan anak-anak mereka. Dengan demikian
anak-anak mereka dapat mengenal keluarganya dan bisa mengetahui latar belakang keluarga
besarnya. Selain itu, sagi bermanfaat bagi orang-orang yang bermusuhan agar saling
berdamai, saling meminta maaf. Singkatnya ritus sagi menjadi momen untuk berekonsiliasi.
Kela nio merupakan kegiatan membelah buah kelapa muda di tengah kampung
sebagai tanda bahwa ritus sagi sudah selesai. Kela nio juga merupakan media spiritual bagi
masyarakat Soa untuk mengetahui keadaan dan hasil panen yang akan diperoleh tahun
berikutnya. Ketika tua adat hendak membelah kelapa, ketua adat harus mendaraskan
beberapa syair.
Tana kau nio dia, kau tebu zili kisa bata, kau keghu di kisa bata, kau leghu dia tanamaza,
kami dia wali hiwa, tu wai bulipake wai ngasu, peni wi desi, loka wilowa, kau nio gubhu
sewunga lenga sewung, esa, zua, telu, wutu, lima, lima sa bhisabhisa, wae sawake, yang
berarti: “Wahai engkau kelapa yang penuh dengan kegembiraan. Engkau tumbuh ditengah
laut. Engkau condong ke tanah yang kering dengan buah yang berlimpah. Tahun depan kami
akan kelimpahan panen, panen hasil ladang maupun ternak. Dengan ini kami akan
menyaksikan belahan kelapa, satu belahan terbuka satu belahan tertutup, maka tahun depan
kami akan memperoleh kelimpahan hasil panen. Namun apabila tidak demikian maka di
tahun depan kami akan memperoleh kemalangan dan gagal panen. Satu, dua, tiga, empat,
lima, dan enam sempurna.” Setelah kelapa merah itu dibelah, airnya direcikkan ke tengah
kampung dan belahannya di simpan di tengah kampung. Dengan berakhirnya ritus kela nio
maka berakhir juga seluruh rangkaian ritus sagi.
Kela Nio. Kela berarti membelah; Nio berati buah kelapa. Sehingga secara harafiah term kela nio dapat
11
didefenisikan sebagai aktivitas membelah buah kelapa muda (kelapa merah) di tengah kampung. Hal ini
dilakukan sebagai tanda bahwa upacara ritus sagi sudah selesai, serta sebagai media untuk mengetahui keadaan
dan hasil panen yang akan diperoleh di musim berikutnya. Untuk membaca peramalan itu biasanya dilihat dari
bentuk belahan kelapa yang ada, apabila belahannya sama-sama terbuka atau sama-sama tertutup artinya hasil
panen di tahun depan tidak memuaskan atau akan mengalami gagal panen. Namun apabila belahan kelapa itu
satu tertutup dan satunya terbuka, maka hasil panen di musim berikutnya akan berlimpah ruah.
BAB III
PERAYAAN EKARISTI
3.1.1 Yesus Meneruskan Syukur dan Pujian Umat Israel atas Karya Agung Allah
Mewarisi budaya tradisional Yahudi yang senantiasa bersyukur kepada Allah, Yesus
pun selalu memuji kebesaran Allah dalam hidup-Nya. Penginjil memberikan beberapa contoh
bagaimana Yesus mendaraskan doa pujian kepada Allah, Bapa-Nya untuk berbagai alasan,
seperti untuk anugerah kebijaksanaan yang dinyatakan kepada orang kecil (Luk 10:21-22),
atas penyelenggaraan, kekuatan dan hiburan (Mrk 14:36), atas orang-orang yang
dipercayakan kepada-Nya (Yoh 17:1-26) dan sebagainya. Tindakan Yesus demikian yang
paling khas ialah ketika Ia memperbanyakkan roti (bdk. Luk 9:10-17). Ia selalu mengucapkan
syukur atas roti sebelum memecah-mecahkan dan memberikannya kepada para murid untuk
dibagikan kepada orang banyak. Di sini Yesus menjadikan diri-Nya sungguh-sungguh sebagai
seorang Israel sejati, yang mampu menghayati religiositas orang Israel. Perjamuan terakhir
Yesus bersama para murid-Nya yang senantiasa dibaharui dalam perayaan Ekaristi,
merupakan ungkapan religiositas yang diwarisi kepada umat beriman dewasa ini dalam
menyampaikan syukur dan pujian atas karya agung Allah.
3.2.1 Ekaristi: Puji Syukur Umat Kristen atas Karya Agung Allah dalam Diri Yesus
Peristiwa penyerahan diri Yesus pada malam perjamuan terakhir merupakan suatu
momen di mana Yesus mewartakan kematian-Nya demi penebusan. Kesekian kalinya Allah
berinisiatif untuk menyelamatkan umat-Nya, jika dahulu Ia menyampaikan inisiatif-Nya
dengan perantaraan para nabi, maka kini insiatif dijalankan oleh Putera-Nya terkasih. Allah
setia pada janji-Nya dan menghendaki supaya semua manusia selamat. Inilah karya agung
Allah (magnalia Dei) sepanjang sejarah. Di hadapan kenyataan sejarah seperti ini, sikap yang
patut adalah bersyukur dan berterima kasih.
12
Cristologus Dhogo, Su’i Uwi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009), hlm. 139.
Yesus meninggalkakn satu model “pengenangan” akan diri-Nya dengan merayakan
Ekaristi. Ekaristi memang harus dimengerti sebagai “anamnesis”, yaitu “mengenangkan”
karya penyelamatan Tuhan.13 Ekaristi merupakan kesempatan untuk menyatukan seluruh
pujian dan syukur umat beriman atas karya agung Allah tersebut. Umat beriman
mempersatukan semua pujian dan syukurnya dengan korban puji syukur Yesus, Imam Agung
dan korban Anak Domba itu sendiri.14 Dengan kata lain, dalam merayakan Ekaristi, umat
beriman berpartisipasi dalam korban Yesus dan bersama Yesus umat beriman memuji karya
penyelamatan Allah atas kehidupannya. Bersyukur berarti mengakui Allah sebagai Allah,
khususnya dalam kebaikan-Nya sebagaimana dinyatakan dalam sejarah keselamatan, yang
berlangsung hingga saat ini.15 Inilah makna dasar dari “anamnesis”, mengalami kebaikan
Allah yang sudah berlangsung di masa lampau pada masa kini, dan yang akan tetap
berlangsung di masa mendatang.
Ungkapan puji syukur perayaan Ekaristi secara nyata terdapat pada beberapa bagian
liturgi. Kemuliaan (gloria) merupakan kesempatan pertama dalam liturgi Ekaristi yang
mnegungkapkan pujian kepada Allah karena kemuliaan dan damai-Nya yang diwartakan
kepada semua makhluk hidup. Kemuliaan merupakan suatu madah Kristen purba yang
disusun berdasarkan Mazmur dan Kidung Kitab Suci. Allah dimuliakan karena Ia memang
pantas dimuliakan; Ia pantas dipuji karena segala karya-Nya yang mengagumkan demi
menyelamatkan manusia. Singkatnya, lewat madah ini “Gereja yang berkumpul atas
dorongan Roh Kudus memuji Allah Bapa dan Anak Domba Allah, serta memohon
belaskasihan-Nya”.16
Puji syukur Gereja dilanjutkan pada bagian liturgi Ekaristi. Pada bagian ini, Gereja
membuat persiapan dan perarakan persembahan yang bertujuan untuk memperlihatkan rasa
syukur atas anugerah ciptaan Tuhan. Puji syukur mencapai puncaknya pada doa Syukur
Agung yang meliputi prefasi, aklamasi (Kudus), epiklesis, kisah institusi dan konsekrasi,
anamnesis, persembahan, permohonan, dan doksologi penutup. Doa Syukur Agung memang
bernada syukur, tetapi secara istimewah nada itu terdapat dalam prefasi. Sesudah bagian
prefasi tersebut, pujian dilanjutkan dengan melambungkan nyanyian Kudus. Pada penutupan
13
J.B. Banawiratma, Baptis, Krisma, Ekaristi (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 173.
14
Bernard Boli Ujan, Mendalami Bagian-Bagian Perayaan Ekaristi (Yogyakarta: Knisius, 1992), hlm. 59.
15
J.B. Banawiratma, Op. Cit., hlm. 160.
16
Cristologus Dhogo, Op Cit., hlm. 142.
doa Syukur Agung, sebuah doksologi didaraskan. Doksologi merupakan ungkapan pujian
kepada Allah Tritunggal. Doa ini merupakan rangkuman dari seluruh pujian selama doa
Syukur Agung.
Pujian kepada Allah yang mewarnai perayaan kurban Yesus ini menciptakan rasa
syukur berkelanjutan dalam diri setiap orang untuk mewartakan dan memberikan kesaksian
tentang betapa agungnya karya Allah.
BAB IV
Suatu ritual yang dijalankan oleh suatu persekutuan tentu memiliki makna tersendiri.
Demikian pun dengan ritual sagi yang tumbuh di dalam budaya masyarakat Soa. Secara
spiritual, sagi memiliki makna yang memberi warna yang tepat dan khusus bagi kehidupan
spiritual masyarakat Soa. Ada beberapa makna teologis di balik ritus sagi.
Pertama, ritual sagi sebagai entitas representasi dan ekspresi syukur masyarakat Soa
kepada Allah. Objek ungkapan syukur adalah nafas kehidupan yang masih mereka terima
terutama atas hasil panen di musim yang lalu. Ekspresi syukur ini secara simbolis termaktub
dari pujian-pujian dan lagu-lagu yang didaraskan dalam ritus sagi. Walaupun secara eksplisit
syair-syair lagu dan pantun-pantun yang didaraskan itu lebih ditunjukan dalam ritus sagi
sebagai ritus syukuran, secara implisit ungkapan itu sebenarnya ditunjukan kepada Sang
Pencipta.
Kedua, ritual sagi sebagai media untuk meramalkan keadaan alam. Ritual sagi
merupakan media spiritual yang membantu masyarakat Soa untuk memprediksi keadaan
alam yang mungkin terjadi dalam waktu-waktu usaha mendatang. Selain itu, masyarakat
dapat meramalkan kuantitas dan kualitas yang akan diperoleh pada usaha di musim
berikutnya melalui ritus kela nio. Hingga sekarang masyarakat Soa masih percaya dan yakin
akan kebenaran dari ramalan dari ritus tersebut.
Ketiga, ritual sagi adalah sarana untuk menyampaikan ujud dan permohonan. Ritual
sagi merupakan media spiritual bagi masyarakat Soa untuk menyampaikan ujud dan
permohonan mereka kepada para leluhur dan terutama kepada Yang Mahakuasa agar
senantiasa memberkati segala usaha yang akan mereka rintis. “Permohonan yang selalu
kembali dalam doa pada saat persembahan ialah agar tanaman yang ada di ladang bertumbuh
subur. Kegagalan dalam bertani dan usaha lain menimbulkan kecemasan masyarakat,
terutama penduduk asli. Mereka cemas akan berkurangnya rezeki sehari-hari. Karena itu, ada
sederetan persembahan dan kebiasaan religius lain yang perlu dilakukan untuk maksud itu.”17
Keempat, ritus sagi adalah media untuk mendoakan arwah para leluhur. Ritual sagi
merupakan media spiritual untuk mendoakan para arwah yang telah meninggal, khususnya
arwah para leluhur atau orang-orang yang meninggal di kampung tersebut. Sagi merupakan
media spritual yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang. Hal ini dipakai untuk
menampilkan apa yang dilakukan oleh para leluhur pada masa lalu dan kemudian dilanjutkan
di masa kini.
Kelima, ritual sagi sebagai mediator bagi masyarakat Soa untuk mempersembahkan
segala hasil usaha mereka kepada Sang Pemberi kehidupan yang telah membantu mereka
dalam menghadapi segala kompleksitas untuk melangsungkan usaha mereka di musim yang
lalu. Mereka menyadari bahwa segala keringanan dan kemudahan yang mereka alami
merupakan hasil dari bentuk campur tangan Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, perlu
dilakukan berbagai ritual syukuran. “Apabila semua hasil pertanian sudah dipetik, orang tidak
Baik ritus sagi maupun perayaan Ekaristi merupakan entitas representasi ekspresi jiwa
manusia akan pengakuan terhadap eksistensi dan peranan Allah dalam hidup mereka. Orang
Soa menyadari bahwa ada Allah yang berkuasa dalam hidup mereka. Allah itu adalah Allah
yang mereka kenal dengan sebutan “Dewa Zeta Nitu Zale”19 yang selalu menyertai hidup
mereka di dalam semua pengalaman keseharian mereka baik dalam pengalaman akan
kegagalan, keberhasilan, kemudahan, maupun hambatan pada saat musim tanam dan musim
panen yang dilewati oleh mereka. Bagi mereka, kehadiran Allah terrepresentasi dalam rupa
hujan yang membantu mereka dalam menyuburkan tanaman pangan yang mereka galakkan.
Untuk itu melalui ritual sagi, mereka mau secara penuh mengekspresikan ucapan syukur
mereka yang tak terkira kepada Allah pemberi kehidupan. Mereka mau mempersembahkan
kurban syukur kepada Allah, sekaligus memohon penyertaan-Nya di tahun dan musim yang
baru.
Di sisi lain, perayaan Ekaristi juga merupakan entitas syukuran umat Allah atas karya
penyelamatan agung-Nya yang telah membebaskan umat-Nya dari perbudakan di Mesir dan
pembebasan dari belenggu dosa. Untuk itu, Gereja secara khusus mengenangkanya kembali
lewat rupa perayaan Ekaristi Kudus. Dalam nada syukur tersebut, Gereja sebagai suatu
persekutuan kembali mengenangkan akan perjamuan akhir Yesus bersama murid-murid-Nya
dan sengsara-Nya di kayu salib lewat perayaan Ekaristi.
19
Dewa berarti Tuhan (berjenis kelamin laki-laki); Zeta berarti di atas (menunjuk ke langit); Nitu berarti dewi,
bidadari, peri; Zale berarti di bawah (menunjuk ke bumi). Secara harafiah ungkapan ini berarti Tuhan di atas,
bidadari di bawah. Namun Tuhan adalah penguasa langit dan penguasa bumi. Ia adalah bapak dengan sifat
kebapaanNya (Dewa) dan sekaligus ibu (Nitu). Bdk. Christologus Dhogo, op. cit., hal. 78.
Perayaan Ekaristi menjadi tanda perayaan syukur yang paling sempurna. Ekaristi
merepresentasikan ungkapan isi hati umat beriman atas karya penyertaan-Nya dalam hidup
mereka. Ekaristi menjadi satu-satunya wadah utama yang menyatukan seluruh pujian dan
syukur mereka kepada Yang Trensenden. Sebab Ia senantiasa tak henti-hentinya menyertai
hidup mereka, baik dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka. Dalamnya umat Allah
meggantungkan seluruh hidupnya dan bersyukur karena Allah dalam kemuliaan-Nya masih
tetap setia pada janji keselamatan yang diikrarkan-Nya.
Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa sebetulnya antara ritus sagi dan
perayaan Ekaristi sama-sama memiliki muatan yang sama. Bahwasanya masyarakat Soa telah
menyadari akan eksistensial dan campuran tangan Allah dalam hidup mereka. Mereka sadar
bahwa Allah dengan kasih kebapaan-Nya senantiasa menyertai hidup mereka dalam situasi
apapun. Ia tidak akan pernah membiarkan mereka sendirian dalam menggalakkan usaha, Ia
akan selalu ada bersama dengan mereka dan memberikan mereka berbagai kemudahan.
Dalam ritus sagi semua anggota keluarga akan kembali berkumpul di rumah pokok
(sao lado)20 baik yang berada di wilayah yang dekat maupun yang jauh. Dalam kebersamaan
sebagai satu keluarga, mereka akan kembali melihat identitas mereka, akan asal-usul mereka,
akan integritas mereka, akan harta warisan mereka, dan tentang berbagai silang sengketa
yang terjadi di antara mereka. Mereka akan kembali bersatu hati untuk memikirkan jalan
keluar dari masalah yang mereka hadapi. Mereka akan menyelenggarakan perdamaian
apabila dalam perjalanannya ditemukan adanya permasalahan di antara mereka sebagai
bentuk dari integritas antara satu keluarga besar. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa setiap
orang memiliki banyak kesalahan dan kekurangan, sehingga tidak ada alasan untuk
munculnya perpecahan di antara mereka. Oleh sebab itu, ritual sagi kembali hadir dalam
hidup mereka sebagai media dan sarana spiritual untuk membantu mereka agar tetap bersatu
dan sadar akan ikatan persaudaraan di antara mereka semua.
20
Sao berarti rumah; Lado berarti pokok. Sehingga secara harafiah dapat diartikan sao lado sebagai rumah
pokok. Sao lado biasanya di tempati oleh anak laki-laki bungsu.
Perayaan Ekaristi juga merupakan bentuk ikatan persatuan. Persatuan antara Allah
sebagai pencipta dan umat beriman sebagai makhluk ciptaan-Nya, serta persatuan di antara
sesama umat. Dalam kesehariannya, Gereja sebagai sebuah persekutuan umat senantiasa
berkumpul bersama dalam satu ikatan persatuan untuk merayakan Ekaristi Kudus. Dalam
Ekaristi kudus, umat beriman percaya dan yakin bahwa Allah hadir dan menyapa setiap hati
mereka. Mereka percaya bahwa Ekaristi kudus merupakan sebuah perjamuan persatuan yang
dapat mempersatukan manusia dengan Allah serta dengan sesama mereka, sehingga melalui
menghadiri Ekaristi Kudus ini, umat beriman diundang untuk masuk dalam perjamuan
bersama dengan Allah.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari uraian-uraian sebelumnya, dapat ditarik benang merah bahwa di antara ritual sagi
dan perayaan Ekaristi, terdapat beberap hal atau unsur yang kurang lebih sama antara satu
dengan yang lain. Bahwasanya keduanya merupakan sarana yang membantu untuk
mengungkapkan imam mereka kepada Yang Transenden, atas pengalaman keikutsertaan-Nya
dalam kehidupan harian mereka baik dalam suka maupun duka. Keduanya sama-sama
membawa persatuan bagi semua orang baik dalam lingkup lokal maupun dalam lingkup
universal untuk saling mengingatkasn, saling menguatkan, dan saling mengasihi di antara
mereka di hadapan Allah dan sesama.
5.2 Saran
Salah satu tanda nyata dari pembaharuan Gereja pada zaman sekarang adalah
keterbukaan dan interaksinya dengan agama, budaya, dan moralitas dari suatu masyarakat di
mana Gereja hadir serta terlibat aktif didalamnya. Konsili Vatikan II mendefenisikan budaya
sebagai “segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan
pelbagai bakat pembawaan jiwa raganya”. Budaya/adat istiadat melekat dalam sejarah
peradaban umat manusia di dunia. Hal ini tampak dalam kebiasaan-kebiasaan mereka seperti
berkumpul, menari-nari, dan membunyikan alat musik sederhana untuk mengadakan upacara
syukur atas sesuatu yang mereka terima. Kebiasaan dan adat istiadat dalam suatu masyarakat
mengandung didalamnya nilai-nilai dasar yang menjadi acuan dan pedoman dalam relasi.
Kebudayaan mencakup dan meliputi semua realitas keyakinan, sikap dan prinsip yang ada
dalam masyarakat yang meliputi realitas keyakinan, yang melahirkan dan masih menjadi
suatu kepercayaan dalam masyarakat.
Sudah menjadi lazim bahwa upacara yang bernama Sagi diterjemahkan dengan istilah
tinju. Ada beberapa sebutan tinju tradisional di wilayah Kabupaten Ngada, antara lain: desa
Rowa menyebutnya dengan nama Udu, kecamatan Mauponggo menyebutnya dengan nama
sudu, kecamatan Aesesa menyebutnya dengan nama mbelak, kecamatan Boawae
menyebutnya dengan nama etu, sedangkan kecamatan So’a sendiri menyebutnya dengan
nama sagi.21 Namun pemakalah sendiri masih memiliki keterbatasan dalam menjelaskan
secara jelas kapan ritus sagi ini dimulai dan dirintis? Penanggap mengutip sumber catatan
ASAL USUL SAGI berdasarkan cerita lisan yang hidup di tengah masyarakat Bajawa. 22 Pada
zaman dahulu kala terjadi kekeringan, tanah-tanah terlihat gersang, sehingga tidak bisa
ditanami tanaman apapun. Dalam kondisi seperti itu, hiduplah sebuah keluarga yang memiliki
anak laki-laki dan anak perempuan. Suatu malam, ayah dari keluarga tersebut bermimpi
bahwa ia didatangi oleh seorang lelaki tua. Lelaki itu menyarankan si ayah agar
mengorbankan anak laki-lakinya dengan cara mencincang tubuh anaknya dan ditanamkan di
setiap sudut ladangnya. Sang ayah pun menceritakan mimpinya kepada istri dan anak-
anaknya. Singkat kata, anak laki-laki tersebut bersedia dikorbankan dan pengorbanannya itu
membuahkan hasil. Tanah dan ladang mereka menjadi subur dan di setiap sudut ladang itu
tumbuh pelbagai tumbuhan, termasuk padi. Adapun pengorbanan anak laki-laki ini dianggap
sebagai pengorbanan dan penghormatan terhadap Dewi Ibu (Mother Goddes) sebagai dewi
kesuburan, maka dari kisah inilah, upacara Sagi muncul sebagai ungkapan dan ekspresi
syukur serta terima kasih atas pengorbanan yang telah dilakukan oleh seorang anak laki-laki,
khususnya atas kesediaannya melakukan tindakan mulia yakni menyelamatkan keluarganya
dari bencana kekeringan, kegersangan, dan kelaparan. Kemudian, upacara ini diwariskan
secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan diselenggarakan dengan
penuh hikmat, sehingga upacara Sagi menjadi salah satu ikon budaya yang menarik perhatian
banyak orang.
21
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pronvinsi Nusa Tenggara Timur, Upacara Tinju Tradisional (ETU) di
Kelurahan Natanage Kecamatan Boawae Kabupaten Ngada (Unit Pelaksana Teknis Dinas Arkeologi, Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional, 2004), hlm. 49-50.
22
Cerita ini diulas, diringkas, dan diparafrasekan dari tulisan karya Sastri Sunarti, “Fungsi Sosial dan
Transendental Tradisi Lisan Dero-Sagi Suku Bajawa-Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur,” dalam Jentera Vol.
5, Nomor 1, edisi Juni 2016, hlm. 95. Cerita ini juga menjadi representasi bagi suku-suku dan daerah lain di
Ngada (Adapun desa Masu merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Soa, kabupaten Ngada).
Dalam ritual ini, penanggap menambahkan beberapa peralatan tradisional sebagaimana
dikutip oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, hlm. 55-56.
Tentang Peralatan dan Perlengkapan Upacara23.
Setelah menetapkan tanggal pelaksaan tinju adat, acara persiapan pun segera dilakukan
dengan agenda khusus ditujukan pada penyelenggaraan teknis upacara dan penyambutan
tamu yang diundang. Pihak penyelenggara sebagai tuan rumah wajib mempersiapkan:
Loka melo (arena tinju): Dengan membuat pagar keliling, dengan catatan kedua sisi
harus lebar. Loka Melo didirikan pada sebuah pondok dengan perlengkapan Melo (alat
musik). Perlengkapan Melo terdiri dari bangku yang terbuat dari bambu. Perlu
diketahui bahwa Melo itu adalah sebatang bambu yang diletakkan di atas tanah dan
tongkat (Dho Melo).
Kepo/alat tinju yang dibuat dari ijuk dan dipintal pada bagian ujung. Biasanya diberi
benda keras seperti tanduk rusa (pada zaman dahulu) dan kulit kerbau.
Mubu/ikat kepala harus berwarna merah atau coklat.
Kau Kasa/Ikat Kuda harus berwarna merah atau coklat
Sada adalah kain yang dililitkan pada pinggang dan menjulur ke bawah, sebatas lutut
agar kedua petinju dapat bergerak dengan mudah.24
Arnoldus Janssen Ngai, “Menelisik Budaya Etu pada Masyarakat Agragris Etnis Nage-Boawae dan
24
Relevansinssya bagi Gereja sebagai Communio” (Skripsi Sarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero,
Maumere, 2012), hlm. 33.
sendiri. Yesus hadir secara substansial di dalam ekaristi yang mampu menyadarkan
kita untuk mengenang sengsara dan wafat-Nya lewat perjamuan keselamatan.
Berdasarkan materi yang sudah dipaparkan oleh kelompok, kami melihat bahwa
substansi dalam perayaaan ekaristi sendiri adalah puncak hidup iman kristiani di
mana Yesus Kristus yang riil dan substansial hadir dalam bentuk tubuh dan darah.
Sesi Informatif:
1. Jelaskan tentang superorganik
2. Kenapa ritus sagi di wilayah Ngada hanya terdapat di Soa, sedangkan yang lainnya
terdapat di wilayah Nagekeo?
Sesi Diskusi:
1. Kenapa luka akibat tinju tidak diobati tetapi diolesi dengan parutan halia?
2. Kenapa peralatan sagi harus diolesi dengan darah ayam?
3. Mengapa sirih pinang di hamburkan saja saat pati weti?
4. Apakah pada momen tertentu dilakukan ritual bersama antara ritus sagi dan Ekaristi?
5. Apakah masyarakat Soa mendogmatiskan ritus sagi?
Dari Dosen:
1. Judul yang ditawarkan oleh dosen yakni “Membandingkan Ritus Sagi pada Masyarakat
Soa dengan Perayaan Ekaristi sebagai Perayaan Rasa Syukur”
2. Weti dalam makalah dilihat sebagai tahapan bukan sebagai ritus.
3. Bisa ditambahkan mitologi munculnya ritus sagi
4. Bisa menyandingkan bagian perayaan Ekaristi dengan tahapan pada ritus sagi sehingga
dapat terjadinya inkulturasi.