Anda di halaman 1dari 164

Dr. Mustari Mustafa, M.

Pd

NATION STATE
DAN
I<EJATUHAN
NASIONALISME
(Kajian atas Pemikiran Driyarkara)

1:1P
Alauddin University Press
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang:
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau
seluruh isl buku ini ke dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis
dari penerbit

All Rights Reserved

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASl0NALISME


(Kajian atas Pemikiran Driyarkara)

Penulis:
Dr. Mustari Mustafa, M. Pd

Editor:
Mukhtar Lutfi

Cetakan: I 2013
x - 152 halaman, 14 cm x 21 cm

ISBN : 978-602-237-657-6

Alauddin University Press


Kampus I : Jalan Sultan Alauddin No. 63 Makassar
Kampus II : Jalan Sultan Alauddin No. 36 Samata - Gowa

ii I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


SAMBUTAN REKTOR
UIN ALAUDDIN MAKASSAR

Perubahan tidak selamanya membmoa perbaikan. Akan tetapi,


setiap perbaikan pasti memerlukan perubahan.
Demikian ungkapan bijak Sang Motivator
Mario Teguh dalam Mario Teguh's Qoutes.

Perubahan dan perbaikan merupakan dua frase


yang menjadi core tutlues bagi siapa saja yang ingin
mendapatkan . hasil terbaik. ltulah sebabnya Nabi
Muhammad saw. menyatakan "Siapa yang hari ini sama
dengan hari kemarin, maka ia rugi/ tertipu".
Perubahan merupakan sebuah keniscayaan
dalam siklus kehidupan. Manusia yang tidak mau
berubah mengikuti perkembangan arus zaman, akan
digilas oleh roda perubahan yang terus menggelinding
mengitari perputaran waktu.
Semangat perubahan yang digagas oleh Rektor
dilandasi oleh visi dan misi mulia untuk menjadikan
UIN Alauddin sebagai kampus peradaban melalui
transformasi ipteks dan pengembangan capacihJ building.
UIN Alauddin ingin membuktikan dirinya sebagai
sebuah lembaga pendidikan tinggi yang tidak saja

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I iii


menggali doktrin-doktrin agama yang normatif tetapi
berusaha menarik wilayah dogmatis itu ke dalam ranah
praktis aktual, membumi dan dapat dirasakan
manfaatnya untuk kepentingan masyarakat.
Rektor sangat menyadari bahwa di era
postm.odernisme ini, masyarakat mulai kritis
mempertanyakan jaminan bagi output lembaga
pendidikan tinggi. Perkembangan zaman yang semakin
maju memicu dan memacu lahirnya semangat
kompetetif di tengah masyarakat, tidak terkecuali dunia
perguruan tinggi. Lembaga pendidikan yang tidak
sanggup menghadapi perubahan dan persaingan,
perlahan namun pasti akan ditinggalkan masyarakat.
Saya hanya khawatir jika lembaga pendidikan Islam
tidak berubah dan tidak mampu membaca arah
perubahan, maka ia hanya akan menjadi lembaga
pendidikan kelas dua di tengah masyarakat yang
mayoritas muslim atau menjadi lembaga alternatif
terakhir bagi mereka yang menemui jalan buntu masuk
ke perguruan tinggi pilihan utama.
Atas dasar itu, Rektor berupaya melakukan
sejumlah terobosan dan strategi untuk memperkokoh
jatidiri almamater melalui sejumlah gerakan perubahan,
baik perubahan mental ( dari analog ke mental digital)
maupun perubahan fisik.
Hadirnya buku dari program GSB pada tahun
ketiga kali ini merupakan realisasi dari visi-misi Rektor,
sekaligus respon atas fenomena perkembangan
masyarakat saat ini. Oleh karena itu, saya sangat
berharap bahwa kesadaran akan pentingnya perubahan
dan perbaikan ini tidak saja dipandang sebagai sebuah
doktrin institusional, tetap.i sebagai sebuah ladang amal

iv I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


saleh sebagai implikasi dari pengamalan firman Allah
dan sunnah Rasulullah saw.
Akhirnya, saya mengucapkan selamat atas
terbitnya buku GSB kali ini, semoga program ini menjadi
pioner dan Institutional branding bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi maupun penguatan
inner capacihJ bagi civitas akademika UIN Alauddin.

Samata, November 2013


Rektor

Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing HT, MS.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I v


vi I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas


kehadirat Allah swt, karena hanya dengan segala
rahmat, nikmat dan hidayah-Nya berupa kesehatan, dan
juga ilmu pengetahuan, sehingga penulisan buku ini
dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tentunya
tercurah pula kepada Rasulullah Muihammad saw
sebagai Rasul yang bukan hanya mengembang risalah
kerasulan namun juga risalah kemanusiaan, sehingga
beliau disebut sebagai rahmatan 1il alamin.
Selesainya penulisan buku ini berkat banyak
pihak yang betjasa, baik langsung maupun tidak
langsung selama proses penulisan ini. Karenanya
dengan segala kerendahan hati penulis bermaksud
menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan tak
terhingga kepada:Prof. Dr. H. Abd. Qadir Gassing, HT,.
MS., selaku Rektor UIN Alauddin Makassar, yang
dengan segala kebijakannya membawa UIN Alauddin
Makassar ini terus berkembang. Selanjutnya kepada Dr.
Hj. Muliaty Amin selaku Dekan Fakultas Dakwah dan
Komunikasi bimbingannya kepada penulis selama ini.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I vii


Ucapan terima kasih yang tak terhingga pula
penulis sampaikan kepada rekan-rekan sejawat di
Fakultas Dakwah dan Komunikasi serta semua pihak
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah
berkontribusi terhadap penulis selama ini.
I
Tulisan ini merupakan kajian filosofis atas
pandangan Driyarkara tentang negara bangsa. Artinya
bahwa banyak hal yang akan dibicarkan sekaitan dengan
itu.'Maka segala daya serta upaya penulis curahkan
untuk mengkaji lebih dalam, lebih luas serta lebih ilmiah
pemikarannya. Namun penulis yakin jika masih terdapat
banyak kekurangan di dalamnya. Karenanya kritikan
dan solusi penulis amat nantikan, sehingga karya ini
menjadi lebih baik lagi. Akhirnya, atas bantuan dan
dukungan dari semua pihak semoga mendapat ridha
dan dinilai sebagai pahala yang pantas mendapat
balasan dari Allah. Amiin.

Makassar, September 2013

Penulis

viii I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


DAFTARISI

SAMBUTAN REKTOR iii


KATA PENGANTAR vii
DAFTAR 151 ix

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Fokus Penelitian 5
C. Tinjauan Pustaka . 8
D. Landasan Teori 14
E. Metode Penelitian 16

BAB II RELEVANSI KETOKOHAN


DRIY ARKARA 19
A. Biografi Sang Tokoh 19
B. Tinjauan Umum Karya-Karya
Driyakara .. 25
C. Selayang Pandang tentang Filsafat
Fenomenologis 52

BAB III NATION STATE 67


A. Hakikat Negara Bangsa 67
B. Bagaimana Artikulasinya 74
C. Relevansi dengan Gagasan Driyarkara 77

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I ix


BAB IV KEJATUHAN NASIONALISME 87
A. Hidup Menegara .. .. .. 87
B. Makna Kebangkitan dan Kejatuhan
Nasionalisme 91
C. Relevansinya dengan Gagasan
Driyarkara . 103

BAB V REFLEKSI KRITIS 111


A. Pancasila dan Fenomena Kebangsaan 114
B. Membangun Etika Menegara . 126
C. Kesimpulan 140

DAFTAR PUSTAKA..................................................... 143


BIODATA PENULIS 151

x I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Pendahu/uan

BABI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penulisan buku ini dilatarbelakangi oleh krisis
kebangsaan sekarang ini, yang sering ditengarai karena
nilai-nilai falsafah dan pandangan hidup kebangsaan
mengalami apa yang disebut kejatuhan atau
kebangkrutan secara mendasar.1 Khususnya ketika
bangsa Indonesia belakangan ini memperlihatkan

1
Oalam penelitian, Mustari (2009} tentang Agama D
a/am Bayang-Bayang Etis Syekh Yusuf al Makassary, krisis ini
disebut sebagai krisis Epistemologis. Penelitian ini dapat lebih jauh
memberikan pemaknaan sebagai krisis Ontologis, krisis yang mana segi-segi
paradigma bernegara dan berbangsa mengalami masalah, atau
mengalami ketidaksesuaian dengan sejarah (a historis) dll.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 1


Pendahu/uan

kemunduran dalam menghargai Pancasila,' Ditengarai


bahwa hal ini tetjadi bukan hanya karena faktor
ambruknya tatanan ekonomi global, sehingga Indonesia
menjadi bangsa yang lemah di bidang sosial, ekonomi
dan politik, tetapi juga secara internal, euforia reformasi
yang kebablasan, prilaku kepemimpinan semua level
telah menyebabkan krisis ini berubah menjadi ancaman
serius yang menjerumuskan sendi-sendi kehidupan yang
paling utama, yaitu nilai-nilai falsafah bangsa.
Permasalahan ini bertolak belakang dengan
rumusan untuk apa mendirikan negara. Negara bangsa
adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan
untuk seluruh bangsa atau untuk seluruh umat,
berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan
hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara
pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu. Negara
Bangsa merupakan basil sejarah alamiah yang semi
kontraktual dimana nasionalisme merupakan landasan
bangunannya yang paling kuat.
Bahwa setiap orang dalam negaranya masing-
masing memiliki nasionalitas yang sama, dan demikian
juga bahasa yang sama, dan dapat berperan serta dalam
perdebatan yang bermakna mengenai kebudayaan, akan
tetapi kebanyakan negara adalah multi-kebangs=an yang
terdiri dari dua atau lebih komunitas bahasa. Dengan
demikian bangsa (nation) merupakan suatu badan atau
wadah yang didalamnya terhimpun orang-orang yang
memiliki persamaan keyakinan dan unsur-unsur lain
seperti ras, etnis, agama, bahasa dan budaya. Gabungan

2Lihat,
Prakata, Karya Lengkap Driyarkara, yang ditulis oleh
Penerbitnya(Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. vii

2 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Pendahu/uan

dari dua ide tentang bangsa (nation) dan negara (state)


tersebut terwujud dalam sebuah konsep tentang negara
bangsa atau lebih dikenal dengan Nation-State dengan
pengertian yang lebih luas dari sekedar sebuah negara
dalam pengertian state.
Dengan demikian, negara bangsa mutlak
memerlukan good governance, tata pengelolaan yang baik,
yang bertumpu kepada kemutlakan adanya
transparansi, partisipasi terbuka, dan pertanggung
jawaban di dalam semua kegiatan kenegaraan di setiap
jenjang pengelolaan negara sehingga terbentuk
pemerintahan yang bersih. Sehingga merupakan sebuah
bangsa yang memiliki bangunan politik (political
building), seperti ketentuan-ketentuan perbatasan
teritorial, pemerintahan yang sah, pengakuan luar negeri
dan merupakan akibat langsung dari gerakan
nasionalisme yang sekaligus telah melahirkan perbedaan
pengertian tentang kewarganegaraan dari masa sebelum
kemerdekaan.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan
utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische
grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang
terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap
sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia
yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut
Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d'etre
ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat
diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah
kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 3


Pendahuluan

nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan


lapisan masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakan intelligent choice
karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat
Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya
perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak
hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi
merangkum. semuanya dalam satu semboyan empiris
khas Indonesia yang dinyatakan dalam "Bhinneka
Tunggal Ika".
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat
Prof. Dr. Supomo: "Jika kita hendak mendirikan Negara
Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan
corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus
berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside)
integralistik. Negara tidak mempersatukan diri dengan
golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak
mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat,
melainkan mengatasi segala golongan dan segala
perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan
rakyatnya" .3
Berbagai pendekatan atau ikhtiar untuk
memperbaiki situasi ini dapat digali dari berbagai
sumber khususnya yang bersumber dari para pemikir
atau tokoh. Penelitian ini membahas tentang pemikiran
atau ajaran-ajaran dari seorang tokoh yaitu Driyarkara,
seorang filosof terkemuka yang pemah berkiprah dalam
sejarah Indonesia, dan selanjutnya bagaimana
refleksinya dengan fenomena kebangsaan kekinian.
Fokus refleksinya diarahkan pada bagaimana realitas

4 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Pendahuluan

kepemimpinan khususnya kepemimpinan di tingkat


pusat yang memberi efek langsung kepada
kepemimpinan di bawahnya. Pemilihan tokoh
Driyarkara dipandang relevan karena gagasan
kebangsaannya sangat kuat dan konsisten dengan
sejarah. Di samping itu jejak pemikirannyanya meliputi
spektrum yang sangat luas, mulai dari persoalan
kenegaraan, keagamaan, sampai pada persoalan politik.
Beliau adalah tokoh hisioris yang sangat menarik untuk
menjadi objek kajian, bukan hanya karena beliau dikenal
sebagai filosof tetapi juga ia tampil dalam peran sosial
politik, sekaligus berpengaruh di berbagai negara. Oleh
karena itu ajararr- .dan kepribadiannya amat relevan
untuk diteliti dan dikaji kembali.

B. Fokus Penulisan
Pancasila seperti yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman
sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun
1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila
(dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat
dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga
tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan
mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah
tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh,
yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan
sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari
Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan
esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh
ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 5


Pendahu/uan

diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam


Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro
melukiskan sifat hirarkis-Piramida Pancasila dengan
menempatkan sila "Ketuhanan Yang Mahaesa" sebagai
basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian
keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila
"Ketuhanan Yang Maha Esa". Secara tegas, Dr. Hamka
mengatakan: "Tiap-tiap orang beragama atau percaya
pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu
yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari
Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila
pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa" 4
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa
Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
1. Keiuhanan yang maha esa, yang ber-Kemanusiaan
yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan
Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-
Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan
Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
3. Persaiuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang
mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan
beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

4
Lihat, Filsafat Pancasila, Tim Dasen Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, (dalam Mustari, 2010) h. 12

6 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Pendahu/uan

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/


perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
4. KeraktJatan yang dipimpin oleh hikmai kebijaksanaan
dalam permuS1Jawaratan/ penoakilan, yang ber-
Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan
yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan
Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi. selurub rakt1at Indonesia, yang ber-
Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan
yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan
Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan.

Berdasarkan latar belakang dan sejumlah


fenomena problematis dan kontradiktual di atas maka
penting maknanya untuk mengungkap dasar-dasar
muncul serta model penjelasan untuk memahami
kondisi ini. Peketjaan ini tidak mudah sehingga
dibutuhkan suatu perspektif analisis yang kemudian
dapat mempertajam basis pemaknaan. Penelitian ini
fokus pada bagaimana memahami fenomena nation state
dan kejatuhan nasionalisme itu tetjadi serta bagaimana
permasalahan seperti ini dapat diselesaikan, maka ada
sejumlah gagasan historis filosofis yang pemah muncul.
Di antaranya ialah gagasan Prof Dr. Driyarkara.
Adapun rumusan masalah yang akan dijawab
adalah sebagai berikut:
1. Apa hakikat konsep nation state menurut
Driyarkara?

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 7


Pendahu/uan

2. Apa hakikat nasionalisme, dan bagaimana


kejatuhan nasionalisme itu tetjadi?
3. Apa refleksi filsafat fenomenologis Driyarkara
dalam fenomena kebangsaan khususnya dalam
kepemimpinan kekinian?

C. Tinjauan Pustaka
1. Negara dan Nation State
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya negara
bangsa adalah suatu gagasan tentang negara yang
didirikan untuk seluruh bangsa atau untuk seluruh
umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang
menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional
terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan
kesepakatan itu. Negara Bangsa merupakan hasil sejarah
alamiah yang semi kontraktual dimana nasionalisme
merupakan landasan bangunannya yang paling kuat.
Nasionalisme dapat dikatakakan sebagai sebuah situasi
kejiwaan di mana kesetiaan seseorang secara total
diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama
sebuah bangsa. Dalam situasi perjuangan kemerdekaan,
di butuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran
rasional dari tuntunan terhadap penentuan nasib sendiri
yang dapat mengikat ke-ikutsertaan semua orang atas
nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran tersebut,
selanjutnya mengkristal dalam konsep paham ideologi
kebangsaan yang biasa disebut dengan nasionalisme.
Dari sinilah kemudian lahir konsep-konsep turunannya
seperti bangsa (nation), negara (state) dan gabungan
keduanya menjadi konsep negara bangsa (nation state)
sebagai komponen-komponen yang membentuk
identitas nasional atau kabangsaan.

8 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Pendahuluan

Bahwa setiap orang dalam negaranya masing-


masing memiliki nasionalitas yang sama, dan demikian
juga bahasa yang sama, dan dapat berperan serta dalam
perdebatan yang bermakna mengenai kebudayaan, akan
tetapi kebanyakan negara adalah multi-kebangsaan yang
terdiri dari dua atau lebih komunitas bahasa. Dengan
demikian bangsa (nation) merupakan suatu badan atau
wadah yang didalamnya terhimpun orang-orang yang
memiliki persamaan keyakinan yang mereka miliki
seperti ras, etnis, agama, bahasa dan budaya. Dan
gabungan dari dua ide ten tang bangsa (nation) dan
negara (state) tersebut terwujud dalam sebuah konsep
tentang negara bangsa atau lebih dikenal dengan Nation-
State dengan pengertian yang lebih luas dari sekedar
sebuah negara dalam pengertian state.
Negara bangsa dalam bingkai Pancasila secara
substansial memiliki sejarah yang panjang. Pengertian
Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana
tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang
menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh
PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara
Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu
disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan
No.XX/MPRS/1966.
Ketetapan MPR No.V /MPR/1973 dan Ketetapan
MPR No.lX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan
utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische
grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 9


Pendahuluan

terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD


1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap
sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia
yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut
Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d'etre
ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat
diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah
kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-
nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan
lapisan masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan
intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman
dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran
terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila
sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan
perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya
dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang
dinyatakan dalam "Bhinneka Tunggal Ika".
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu
memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah
Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa
negara harus tunduk kepadanya, membela dan
melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan.
Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo menjelaskan: "Negara
Pancasila adalah suatu negara yang didirikan,
dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk
melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak
azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang
adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup
layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan
mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap
mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu

10 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Pendahu/uan

kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan


mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial)."S

2. Konsep Nasionalisme
Nasionalisme adalah satu ideologi yang mencipta
dan mempertahankan kedaulatan sesebuah negara
( dalam bahasa Inggeris "nation") dengan mewujudkan
satu konsep identiti bersama untuk sekumpulan
manusia. � Dalam zaman moden ini, nasionalisme
merujuk kepada amalan politik dan kesejahteraan yang
berlandaskan nasionalisme secara etnik serta
keagamaan.
ldealogi merupakan sistem kepercayaan yang
menjadi asas kepada tingkah laku seseorang. Pada
lazimnya ia merujuk kepada seperangkat kepercayaan
yang menggerakkan suatu pergerakkan politik dan
sosial.
Menurut Ensiklopedia Brittanica, ideologi
dimaksudkan sebagai "salah satu item yang membentuk
keperluan mental dan jasmani individu yang
membentuk sesebuah masyarakat serta meliputi
permasalahan politik, sosial, ekonomi dan perkara yang
bersangkut paut dengan sejarah dan sosio-geografi
manusia". Ideologi adalah "faham (ajaran) yang dipakai
atau dicita-citakan untuk dasar pemerintahan dan lain-
lain tujuan".
Pengertian ideologi menurut para tokoh dan
sarjana adalah sebagai berikut :

5
Gagasan seperti ini banyak ditemukan dalam karya Driyarkara,
khususnya dalam karya lengkapnya yang disunting oleh A. Sudiarrja, dkk
yang diterbitkan oleh Kompas. lihat juga, makalahnya, Negara Pancasi/a
(tidak diterbitkan), Yogyakarta (2011) h. 3.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 11


Pendahu/uan

Destertt de Tracy : Ideologi adalah pembelajaran


terhadap idea-idea (pemikiran tertentu).
Machiavelli: ldeologi adalah sistem perlindungan
kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa.
Thomas H : Ideologi adalah suatu cara untuk
melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan
dan mengatur rakyatnya.
Karl Marx : Ideologi merupakan alat untuk
mencapai kesamarataan dan kesejahteraan bersama
dalam masyarakat.

3. Beberapa bentuk Nasionalisme


Nasionalisme pada dasarnya sebuah istilah untuk
beberapa konteks yang sejatinya didasari oleh loyalitas
pada negara dan bangsa. Beberapa pandangan yang
membangun pengertian katagoris juga pada dasarnya
merujuk pada konteks kehidupan bemegara. Kategori
tersebut lazimnya saling kait-mengait dan kebanyakan
teori nasionalisme saling terkait antara satu dengan yang
lainnya. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa
bentuk nasionalisme yang dielaborasi dari berbagai
sumber.s
a. Nasionalisme civik (atau nasionalisme sivil) adalah
sejenis nasionalisme dimana negara mempunyai
kesahihan politik dari partisipasi aktif rakyatnya,
"kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini
mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dalam

6
Dalam berbagai tulisan Driyarkara, konsep nasionalisme ini
banyak ditemukan. Penelitian ini juga mencari sumber on line yang dapat
memperkuat konsep yang digali dari karya Driyarkara

12 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Pendahuluan

bukunya yang terkenal On the Social Contract (Kontrak


Sosial)7•
b. N asionalisme etnik adalah sejenis nasionalisme
dimana negara mempunyai kesahihan politik dari
budaya asal atau etnik sebuah masyarakat. Teori ini
dibangun oleh Tohann Gottfried von Herder, yang
memperkenalkan konsep Volk (bahasa German untuk
"rakyat").
c. Nasionalisme Budaya, adalah sejenis nasionalisme
dimana negara mempunyai kesahihan politik dari
budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan"
seperti. wama kulit, ras dan sebagainya.
d. Nasionalisme kebangsaan, ialah nasionalisme dimana
negara mempunyai kekuatan untuk memperoleh
loyalitas partisipatif dari rakyatnya. Nasionalisme ini
pada dasamya merupakan gabungan nasionalisme
sivik dengan nasionalisme etnik. Dalam konteks
bemegara persoalan nasionalisme mem.iliki posisi
tersendiri dan cenderung menjadi identitas konsep
negara dan bangsa.
e. Nasionalisme keagamaan ialah sejenis nasionalisme
dimana negara memperoleh "political legitimacy" dari
kekuatan agama baik secara simbolik maupun secara
artikulatif. Namun demikian, bagi kebanyakan
kumpulan nasionalis agama hanya merupakan
simbol dan bukannya motivasi utama bagi mereka.
Gerakan nasionalis di beberapa negara bukannya
berjuang untuk memperkuat teologi semata-mata

7
Lihat, Shaleh Tajuddin, Konsep Negara dan Civil Society dalam
Pandangan Thomas Hobbes dan Muhammad Iqbal: Studi Perbandingan
Analisis Fi/safat Politik, (Disertasi PPs UIN Alauddin, 2012).

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 13


Pendahuluan

tetapi juga sering beriringan dengan aspek lain


misalnya politik, ekonomi, dan Iain-lain.ss

D. Landasan Teori
1. Aku menurut Driyarkara
Manusia itulah berdiri sendiri, secara berdaulat,
swadiri, merupakan pribadi atau persona.? Akan tetapi
ia masih harus mempribadikan diri. Berkat
kerohaniannya manusia sejak adanya sudah merupakan
pribadi. Akan tetapi, karena kejasmaniannya manusia itu
bersifat evolutif. Artinya, kedewasaan sebagai pribadi
harus dicapai taraf demi taraf, masih harus diisi. Bagi
hewan, isi itu sudah tertulis, sudah tetap, semua sudah
dipastikan oleh dan dalam kodratnya.
Manusia juga mempunyai kodrat. Ia adalah
kodrat yang harus menentukan. Jadi, terletaklah dalam
kodratnya bahwa ia harus menjadi swadiri dan
berdaulat. Pada dirinya terdapat dorongan-dorongan ke
arah itu. ltulah suatu kepastian. Di samping itu, ada juga
ketentuan lain. Ketentuan dan kepastian yang dibawa
oleh berbagai macam keadaan, baik dalam diri sendiri
maupun dari sekitamya. Untuk menyelami apa yang
disebut kepribadian, ingatlah bahwa di antara berbagai
macam ketentuan dan keadaan yang melekat pada diri
manusia terdapat dorongan-dorongan yang akan kita
sebut 'anarkis', perusak. Jika ada pada diri manusia

8
Shaleh Tajuddin, Ibid
9
Konsep manusia berdiri sendiri ini bersifat persona artinya bebas
secara jasad. Lain halnya dengan konsep Aristoteles manusia sebagai zoon
politikon atau konsep homo homoni lupus Thomas Hobbes yang bersifat
sosiologis. Teori Aku menurut Driyarkara ini dielaborasi dari karya
Driyarkara sendiri (2006)

14 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Pendahu/uan

terdapat dorongan untuk melaksanakan Pancasila, di


samping itu terdapat juga dorongan anti-Pancasila.
Manusia dapat juga menyerah pada dorongan-
dorongan itu. Jika itu yang terjadi, ia menyerahkan
kedaulatannya, mengkhianati takhtanya, memper-budak
dirinya. Pribadinya tidak menjadi kepribadian,
melainkan pribadi yang terjerumus. Dengan demikian, ia
betul-betul berdaulat. Ia memiliki dan menguasai
dirinya sendiri secara sintetis sehingga dririnya
merupakan harmonia, keselarasan. Akan tetapi, untuk
menjadi kepribadian, manusia harus mencapai puncak
yang tertinggi, yang memang tidak akan tercapai selama
manusia hidup dalam alam yang fana ini. Jadi, apakah
yang disebut kepribadian (ke-aku-an)? Status
perkembangan diri yang sedemikian rupa sehingga
manusia menjadi keseluruhan yang tetap, sentosa, dan
harmonis
Konsep yang telah disebutkan oleh Driyarkara
diyakini sebagai permulaan dari apa yang dalam
perkembangan selanjutnya menjadi Negara. Tidak
mungkin di sini ditunjuk faktor-faktor perkembangan
tersebut. Ketunggalan darah (ras) dan keadaan geografis
dalam hal ini mempunyai peranan yang sangat penting,
tetapi bukan satu-satunya faktor. Driyarkara
menambahkan, yang perlu dikemukakan di sini ialah
bahwa semua faktor mana pun hanya merupakan bakat
dan persediaan. Yang menyebabkan lahirnya Negara
adalah bukanlah faktor-faktor melainkan aktivitas
manusia yang membangun.

2. Kepribadian dan Kebangsaan


Dalam buku "Karya Lengkap Driyarkara" (2006),
kita akan menemukan dua tulisan yang menarik

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 15


Pendahuluan

mengenai penalaran sebuah negara dan bangsa.


Driyarkara, seorang pastor ordo Jesuit, mencoba menalar
bagaimana negara terbentuk dari proses yang bersifat
individual hingga sosial. Tampak dalam sebuah
tulisannya yang betjudul:"Mencari Kehidupan Negara"
dan "filsafat kehidupan negara," Driyarkara
menitikberatkan kebersamaan dan sosialitas sebagai sifat
asal manusia (homo hominisocius ).10

E. Metode Penulisan
1. Materi Penelitian
Penulisan buku ini merupakan penelitian
kepustakaan dan lapangan yang bersifat kualitatif
filsafati. Oleh karena itu sumber-sumber yang
digunakan sebagai objek material penelitian ini adalah
literatur-literatur, fenomena kebangsaan melalui
pemberitaan baik yang diterbitkan ataupun tulisan-
tulisan dalam jumal, majalah, bulletin dan manuskrip
atau naskah yang memuat atau relevan dengan konteks
penelitian ini. Suatu manuskrip atau naskah dapat
menjadi sumber referensi baik berupa naskah asli
maupun naskah terjemahan selama itu dapat
dipertanggungjawabkan.11. Sumber-sumber primer
adalah literatur-literatur yang berisi pemikiran,
pandangan atau ajaran tentang kebangsaan atau
kenegaraan Driyarkara.
Penelitian kepustakaan dengan mengambil
pemikiran atau ajaran tokoh menempatkan sumber-

1
° Konsep ini sebenarnya diilhami juga oleh Thomas Hobbes (homo
homoni lupus)
11
Kaelan, MS., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsajat,
Paradigma, Yogyakarta, (2005) h. 60

16 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Pendahu/uan

sumber sekunder sebagai sumber bermanfaat, dengan


demikian penulisan ini akan bersifat deskriptif analisis
yang mendalam dan padat atau thick description. 12

2. Langkah Penelitian
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengumpulkan sumber data berupa literatur atau
buku-buku, naskah, serta karya-karya penting yang
terkait, termasuk majalah atau jumal, buletin, surat
kabar, makalah, dan artikel yang berhubungan
dengan penelitian, sambil melakukan diskusi,
mencatat informasi, dan lain-lain baik yang
berkenaan dengan Driyarkara maupun aspek lain
yang dimungkinkan bermanfaat dan relevan.
b. Menganalisis data yang dilakukan sejak tahapan
pengumpulan data maupun pada tahap setelah
pengumpulan data.

Ada beberapa pendekatan atau metode yang


akan digunakan. Metode-metode tersebut adalah:
metode historis untuk analisis sejarah, dalam hal ini
untuk menganalisa sejarah kelahiran, pendidikan dan
kepribadian Driyarkara. Kedua, metode tiersiehen untuk
memahami data berdasarkan karakteristik masing-
masing, terutama konsep-konsep karya Driyarkara.
Ketiga, metode interpretasi untuk menunjukkan arti,
serta mengungkapkan pemikiran filosofis secara objektif.

12
Geertz, Clifford., The Interpretation of Cultures, Selected Essays
by Clifford Geertz, Basic Books, New York, (1975), h. 3-30

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 17


Pendahu/uan

Keempat, metode hermeneutik untuk menangkap


makna sesuai dengan konteksnya. Kellina, metode
analitika bahasa untuk menganalisa konsep pemikiran
dalam teks yang sifatnya terminologis. Keenam, metode
abstraksi untuk melakukan analisis untuk menangkap
makna sampai pada tingkat hakikat. Terakhir, metode
intuitif dan metode heuristik untuk menemukan suatu
jalan baru yang merupakan suatu pemikiran baru setelah
melakukan penyimpulan, kritik atau menemukan suatu
metode baru.n

13Kaelan,
Ibid, h. 250-254; Surya, Joko., Sumber-Sumber Sejarah:
Untuk Penelitian Sejarah Indonesia, Sebuah Pengantar, Perpustakaan
Nasional RI, Penyajian Materi Metode Penelitian Sejarah di Jurusan Sejarah
Universitas Airlangga, Surabaya, (2006), h. 1-3

18 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

BAB II
RELEVANSI
KETO KOHAN
DRIYARKARA

A. Biografi Sang Tokoh


Nicolaus Driyarkara dilahirkan di Pegunungan
Menoreh, tepatnya di Desa Kedunggubah (kurang lebih
8 km sebelah timur Purworejo, Kedu), Jawa Tengah,
pada 13 Juni 1913. Ia memiliki nama masa kecil
Soehirman, namun biasa dipanggil Djenthu yang berarti
kekar dan gemuk. Nama Driyarkara diambil ketika
masuk Girisonta tahun 1935, sebuah serikat Jesus. Dalam
urutan kelahiran, ia dilahirkan sebagai anak bungsu dari
empat bersaudara di keluarga Atmasendjaja. Driyarkara
memiliki seorang kakak laki-laki dan dua orang kakak
perempuan. Darai status sosial keluarganya hidup
sederhana dengan corak kedaerahan yang sangat kental.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 19


Relevansi Ketokohan Driyarkara

Status sosial yang ada dalam keluarga Driyarkara


memang umumnya dimiliki oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia, ini disebabkan oleh kondisi
negara ini yang masih dalam cengkeraman kolonial.
Namun demikian, Driyarkara merupakan salah satu
anak yang cukup beruntung karena masih bisa
mengenyam pendidikan di masa kecilnya dibandingkan
dengan anak-anak sebayanya, ini dimungkinkan karena
jasa pamannya yang bekerja sebagai Lurah Desa
Kedunggubah sehingga kesempatan lanka ini ia tidak
sia-siakan. t4
Pendidikan Driyarkara dimulai ketika ia masuk
Yolksschool dan Yeroolgschoot di Cangkrep. Setamat dari
sekolah ini, ia melanjutkan pendidikannya di HIS
(Hollandsch Inlandsche School) di Purwurejo dan Malang.
Tahun 1929 ia masuk Seminari, sekolah menengah
khusus untuk calon imam Katolik yang setingkat SMP
dan SMA dengan program humaniora Gymnasium di
Belanda. Setelah tamat sekolah menengah ini ia mulai
menempuh pendidikan tinggi untuk para calon imam
dengan bergabung pada tarekat religius Serikat Jesus
yang anggotanya sering disebut Jesuit dengan gelar SJ.
Pada saat itu Driyarkara menjalani dua tahun sekolah
ascetika (kehidupan rohani), satu tahun humaniora
(bahasa Latin, Yunani kuno serta sejarah kebudayaan
Timur dan Barat) sebagai propedeusis untuk studi filsafat
di Girisonta. Sesudah itu, selama tiga tahun Driyarkara
menambah track record pendidikannya dengan belajar

14Mohammad
Indra," Relasi antara Pendidikan dan Kebudayaan
Untuk Pembentukan Karakter Bangsa Kajian Filsafat Pendidikan Nicolaus
Driyarkara", Skripsi (Universitas Indonesia; 2009), h. 24-25

20 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

filsafat_pada Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta yang


waktu itu disebut Ignatius College. Semua ini dijalani
antara tahun 1935-1941. Selama masa-masa ini, pola
pemikiran Driyarkara sudah tampak sebagai seorang
yang kritis, sekaligus menjadi ciri khas sebagai seorang
pemikir terutama bagi para filosof-filosof sebelumnya.
Kecintaanya pada pengetahuan membuat ia mengambil
sikap dengan menciptakan majalah seminari yang diberi
nama Aquila, yang berarti Rajawali. Di masa-masa ini
pulalah Driyarkara banyak memenangkan perlombaan
menafsirkan naskah latin ke dalam bahasa Jawa.ts
Sesudah menyelesaikan petualangan studinya,
khususnya di bidang filsafatnya, Driyarkara'e menjadi
guru bahasa Latin dalam program humaniora di
Girisonta selama satu tahun. saat di Girisonta inilah
dalam bulan Maret 1942, penyerahan tanpa syarat
pemerintah Hindia Belanda kepada Tentara Jepang
tetjadi. Antara Tahun 1942-1943 ia belajar teologi di
Kolese Muntilan bersama beberapa rekannya sesama
Jesuit. Juli 1943 Kolese Muntilan ditutup oleh Tentara
Jepang. Driyarkara sempat tinggal beberapa waktu di
Mendut dekat candi Borobudur. Dari situ ia dipanggil ke
Yogyakarta berhubung para misionaris Belanda
termasuk dosen-dosen filsafat, harus masuk interniran.

15Yanci
da Rato, http://agoradriyarkara.weebly.com. (akses
tanggal 12/09/2013).
16Penjelasan
lebih jauh mengenai riwayat hidupt Driyarkara
berikut disarikan dari "Kata Pengantar'' dalam buku Karya lengkap
Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dolam Perjuangan
Bangsanya, oleh F. Danuwinanta, SJ. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006}, h. xix-xxiil.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 21


Re/evansi Ketakohan Driyarkara

Driyarkara diberikan tugas mengajar Filsafat Selama


pendudukan Jepang dan kemudian dilanjutkan dua
tahun Iagi, yaitu sampai pertengahan tahun 1947, ia
menjadi dosen filsafat pada Seminari Tinggi, Yogyakarta.
Sebuah Pendidikan Tinggi untuk imam Katolik, dimana
mereka belajar filsafat dua tahun dan teologi empat
tahun setelah mereka menyelesaikan pendidikan
setingkat Gymnasium. Sementara itu ia banyak belajar
sendiri teologi sebagai persiapan untuk ditahbiskan
menjadi imam Katolik. Driyarkara di tahbis sebagai
imam pada tanggal 6 Januari 1947 oleh Mgr.
Soegijapranata SJ, yang berkedudukan di Semarang dan
membawahi umat Katolik di sebagian Jawa Tengah dan
seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta.
Disepakatinya Petjanjian Linggatjati, 15
November 1946, menyebabkan Mgr. Soegijapranata
berkesimpulan bahwa sengketa antara Republik
Indonesia dan Kerajaan Belanda pada prinsipnya sudah
dapat diatasi sehingga ia bersama pimpinan Serikat
Jesus di Indonesia menugaskan Driyarkara untuk
menyelesaikan studi teologinya di Maastricht, Belanda.
Dengan berat hati, namun demi ketaatan, ia berangkat
ke Belanda pada tanggal 24 Juli 1947. Setelah tamat
teologi di Maastricht 1949, ia meneruskan
pendidikannya tentang kehidupan rohani di Drongen
(dekat Gent), Belgia. Kemudian pada tahun 1950-1952 ia
melanjutkan studi filsafat program doktoral di Roma
pada Universitas Gregoriana. Studi ini diakhiri dengan
gelar doktor setelah ia mempertahankan disertasinya
yang mengulas ajaran seorang filsuf Prancis, Nicolas
Malebranche (1630-1715) dengan judul Participationis
Cognitio In Existensia Dei Percipienda Secundum
MalebranceUtrum Pairem Habeat yang dalam bahasa

22 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

..
Indonesia oleh Driyarakara' · ... sendiri diterjemahkan:
"Peranan Pengertian partisipasi dalam pengertian
tentang Tuhan menurut Malebranche".
Selama masa penyelesaian disertasinya, ia masih
meluangkan diri mengirim tulisan-tulisan ringan, tetapi
masih dengan makna yang dalam, kepada salah satu
majalah yang terbit dengan bahasa Jawa di Yogyakarta,
yakni Praba dengan seri "Serat Saking Rome". Dari tuli-
sannya dalam Praba yang terbit tanggal 11 November
1951, ia terbukti layak mendapat sebutan Djenthu.
Dengan judul "Napels pralambanging kadojan sing
larut" yang berarti "Napels simbol keduniawian yang
lenyap", yang mengisahkan bagaimana seorang
Driyarkara betul-betul menikmati pendakian gunung
berapi tersohor di Italia yaitu Visuvio. Sewaktu
mudanya Driyarkara memang termasuk seorang yang
memiliki fisik yang kuat untuk naik-turun-gunung, dan
ini diakui oleh Teman-temannya.
Sekembalinya ke tanah air, Driyarkara ditunjuk
sebagai pengajar filsafat pada Ignatius College di
Yogyakarta. Waktu PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan
Guru) Sanata Dharma, Yogyakarta didirikan nasib status
sosial Driyarkara berubah di tengah-tengah masyarakat,
karena pada awal tahun ajaran 1955-1956, Driyarkara
diangkat manjadi pimpinannya. PTPG ini kemudian
berubah menjadi FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan), dan ia tetap menjadi dekannya. Kemudian
waktu FKIP berubah menjadi IKIP (Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan), Driyarkara menjabat sebagai
rektor sampai saat ia meninggal. Sejak tahun 1960 ia
merangkap menjadi Guru Besar Luar Biasa pada
Universitas Indonesia dan Hassanuddin. Kesibukannya
sebagai rektor sekaligus guru besar tidak membebaninya

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 23


Re/evansi Ketokohan Driyarkara

untuk menuangkan 1-pemikiran-pemikirannya dalam


berbagai tulisan,
Tahun 1963-1964 ia mengajar sebagai Guru Besar
tamu pada St. Louis University di kota St. Louis,
Missouri, USA. Ini berawal dengan peranannya dalam
simposium "Kebangkitan Angkatan 66" di Universitas
Indonesia, Mei 1966, tulisan-tulisannya yang lahir dalam
bentuk prasaran dimuat dalam majalah Basis.17 Sejak itu
bersama Prof. Dr. Slamet Iman Santoso dan Porf. Dr.
Fuad Hassan, ia sering mengisi forum-forum diskusi
tentang Pancasila. Dari aktivitasnya yang sering mengisi
forum diskusi Pancasila ini, dan juga sebagai selaku
anggota Tim Ideologi ia juga diminta mengajar pada
SESKOAD di Bandung dan SESKOAL di Cipulir. Pada
bulan Desember 1966 diselenggarakan Praseminar
Pancasila di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
yang merupakan awal kristalisasi kegiatan-kegiatan
sebelumnya. Tanggal 22 November 1966 ia diusulkan
menjadi Guru Besar Tetap pada Universitas Indonesia.
Sejak tahun 1960, Driyarkara juga menjadi anggota
MPRS. Tahun 1965 ia diangkat menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), tetapi lembaga negara ini
sudah sejak bulan Januari 1965 tidak pernah
mengadakan rapat. Setelah kejadian-kejadian sekitar 11
Maret 1966, Presiden membentuk DPA(S) baru. Ia
termasuk 18 orang yang menolak secara resmi
pengangkatannya, dengan alasan bahwa selama menjadi

17
Adapun tulisan-tulisan Diyarkara di majalah ini bertema
"Kembali ke Pantjasila" yang di muat dalam volume XV antara tahun 1965-
1966. Tulisan-tulisannya ini mengantar ia dipandang sebagai tokoh bangsa
yang memahami Pancasila sebagai ideologi negara, sehingga ia pun
dipanggil sebagai pengajar di SESKOAD dan SESKOAL.

24 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


vansi
Ketokohan Driyarkara

anggota DPA tidak pe nasihat, ditambah


pertimbangan bahwa proses pengangkatan DP A(S) baru
ini dinilainya betjalan di luar ketentuan-ketentuan yang
berlaku.P
Pada 11 Februari 1967, Driyarkara dipanggil
Tuhan untuk selama-lamanya dan dimakamkan di
Tanah Abang, Jakarta. Beberapa tahun kemudian jasad
Driyarkara dipindahkan ke Girisonta di Desa Karangjati
dekat kota kecil Ungaran, di Jawa Tengah dan
dimakamkan kembali di antara-rekan-rekan Jesuit
lainnya. Di sana pada tahun 1935, ia memulai hidupnya
sebagai noois atau semacam canirik selama dua tahun,
menjalani latihan-latihan dan mengalami tempaan-
tempaan. Setelah lulus dari latihan dan tempaan ini ia
secara resmi dinyatakan menjadi anggota Serikat Jesus
atau Jesuit. Di sana pulalah ia akhirnya dirnakamkan. Ia
datang dalam kesederhanaan dan kembali untuk
menetap selama-lamanya dalam kesederhanaan pula.

B. Tinjauan Umurn Karya-Karya Driyarkara.


Driyarkara adalah seorang tokoh pemikir
Indonesia, juga nasionalis yang pokok-pokok
pemikirannya masih sangat relevan untuk keadaan
Indonesia saat ini. Gagasan inspiratif dari Profesor
Driyarkara pada zamannya masih relevan untuk
dijadikan bahan diskusi atau kajian dan inspirasi untuk
kehidupan zaman sekarang. Khususnya ketika bangsa
Indonesia belakangan ini memperlihatkan kemunduran
dalam segala aspek kehidupannya: termasuk

18Soedjatmiko, "In Memorian Prof. Dr. N. Drijarkara" dalam

Mohammad Indra, op. cit., h. 27.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 25


Relevansi Ketokohan Driyorkara

kemunduran dalam hargai Pancasila. Karena itu,


sangat patut mengedepankan kembali para pemikir
negara ini khususnya tentang Pancasila, dan salah
satunya adalah Profesor N. Driyarkara.
Dalam tulisan-tulisannya, Driyarkara mengajak
pembaca untuk menyelami lebih dalam serta menyimak
dengan lebih teliti persoalan yang diuraikannya. Dengan
gayanya yang khas sebagai seorang guru yang tanpa
maksud menggurui, Driyarkara menuntun pembaca
untuk memasuki kedalaman berbagai persoalan
manusia; masalah pendidikan, masalah religi dan
budaya, kehidupan bersama dalam Negara Pancasila,
dan lain sebagainya. Metode atau cara pendekatan
Driyarkara dalam berfilsafat kiranya perlu mendapat
catatan penjelasan. Ini mudah dilihat bahwa metode
penulisan Driyarkara adalah fenomenologis, suatu
metode berfilsafat yang cukup lazim pada waktu itu.
Secara perlahan-lahan, langkah demi langkah Driyarkara
memperlihatkan permasalahan inti dalam sebuah
karangan, dengan banyak contoh yang mudah dipahami
sampai akhirnya persoalan menjadi jelas. Akan tetapi,
seringkali Driyarkara berputar-putar dalam
penjelasannya dengan maksud menjelajahi skop
pembicaraan dan memperluas wawasan agar
persoalannya menjadi lebih jelas. Akan tetapi, bagi
pembaca hal iru bisa juga justru mempersulit
pemahamannya karena persoalannya menjadi lebih luas
dan kompleks.
Dari satu segi, pendekatan fenomenologis
merupakan cara didaktis untuk membantu pembaca
memahami persoalan yang rumit atau mendalam. Maka,
Driyarkara mengajak pembaca untuk menyimak dengan
lebih teliti persoalan yang dijelaskannya. Dengan

26 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Re/evansi Ketokohan Driyarkara

gayanya itu, Driyarkara menuntun pembaca memasuki


kedalaman persoalan-persoalan yang dibahansnya. Gaya
bahasa penulisan semacam ini membuat karangan terasa
lebih menyapa karena bersifat lebih kolokuial daripada
analitis. Maka, daripada membicarakan karya-karya
filsafat yang besar atau membahas konsep-konsep,
aliran-aliran filsafat secara habis-habisan, Driyarkara
lebih banyak menulis karangan yang bersifat introduktif
atau pengantar yang lebih berguna untuk bisa
dikembangkan sendiri bagi kepentingan masyarakat kita
maupun akademisi. Untuk itu, dalam ulasannya
Driyarkara banyak menggunakan ungkapan yang
bemada minta maaf dan membatasi diri seperti:
" ... hanya akan disentuh sedikit ... ", "untuk sekarang
cukuplah ... ",11...
tidak cukup kesempatan untuk ... ",
sekarang kita akan melihat sedikit ", dalam
II 11

karangan singkat ini tidaklah mungkin ", dan lain


sebagainya. Bahkan buku kumpulan karangannya pun ia
beri judul Pertjikan Filsafat (1962)? "Pertjikan" memang
bukan sesuatu yang besar yang bisa mengobarkan nyala
ataupun membakar nyali, tetapi cukup untuk merintis
cara berpikir yang jelas dan benar bagi masyarakat di
masaitu.
Status akademik yang diperoleh Driyarkara serta
pengakuan sebagai salah satu cendekiawan bangsa ini,
tidak lepas dari rekam jejak kehidupan yang pemah
dilaluinya. Driyarkara kecil adalah seorang yang sudah
menunjukkan potensi dengan melahirkan beberapa
karya tulis, hal ini terlihat ketika ia berinisiatif
mendirikan majalah seminari Aquila. Sebuah inisiatif
yang sangat produktif bagi seorang anak yang baru
duduk di seminari menengah kelas 4. Melalui majalah
ini, Driyarkara memulai karya-karyanya dengan

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 27


Relevansi Ketakahan Driyarkara

membuat catatan-catatan kecil sebagai respon atas


kondisi Indonesia saat itu. salah satu kondisi yang cukup
mendapat perhatiannya adalah catatannya mengenai
Perang Dunia ke II, yang imbasnya hingga ke Indonesia
karena status tawanan Indonesia oleh kolonial Belanda
beralih ke J epang.
Pemikiran-pemikiran Driyarkara kian tampak
ketika secara intens ia mengirimkannya ke media massa
yang berbahasa Jawa, yakni pada koran Praba di
Yogyakarta. Tulisan-tulisan itu dikirim dari Roma,
karena itu ia beri judul "Serat Saking Rome" yang berarti
Surat dari Roma, yang dikirim sejak dari tahun 1951-
1952 saat ia sedang menyelesaikan disertasinya di
Universitas Gregoriana-Italia, yang jumlahnya sekitar 12
tulisan dengan tema seputar kehidupan gereja di Roma,
serta beberapa tulsan yang berisi maslah-masalah sosial
dan budaya.
Secara umum, tulisan-tulisan Driyarkara
memiliki gaya dan ciri khas tersendiri. Kadangkala
sembrono dengan tipikal perbincangan ala kedai kopi
yang diselingi dengan canda, namun tetap lugas dan
berani. Di masa-masa awal ia menuangkan ide-idenya,
sebenamya hanyalah berupa percikan-percikan
kegelisahan hati. Karena itu luapan kegelisahan tersebut
lebih banyak di temukan dalam diarium, namun
demikian nilai-nilai kritis tetap hadir dalam tulisan-
tulisan itu karena yang ia tuangkan adalah kitik atas
fenomena yang ada, khususnya terhadap kolonial yang
telah banyak membuat kesusahan rakyat Indonesia.
Selain itu, Driyarkara juga mengamati fenomena
masyarakat ini yang cenderung dan mudah larut dalam
suka cita dengan melupakan kesensaraan yang
menimpa, seperti fenomena tahun baru yang selalu

28 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

disambut oleh masyarakat dengan haru-biru. Dalam hal


ini Driyarkara melihat jika rakyat ini sedang berada
dalam problem eksistensi manusia.t?
Kepekaan sosial, kemampuan serta kebrilianan
Driyarkara dalam membaca dan memahami persoalan
eksistensi manusia merupakan hasil dari
pemahamannya terhadap karya-karya filosof yang
pemah ia baca. Driyarkara mampu menguasai beberapa
pemikiran-pemikiran baru yang muncul di zaman itu,
seperti pemikiran Martin Buber, Martin Heidegger,
Edmund Husserl, William James, Gabriel Marcel, J. P.
Sartre, dan juga ia mampu menguasai pemikiran-
pemikiran yang ada di Indonesia seperti pemikiran
Soekamo, Mohammad Hatta, Roeslan Abdul Gani, dan
lain sebagainya. Dari track record penguasaan keilmuan
yang dimiliki Driyarkara, tentu memberikan andil yang
besar dalam membentuk proses berpikir kritis yang
dimilikinya, terutama bila di lihat metode yang
dikembangkan yaitu fenomenologi-eksistensialisme,
yang mana masalah eksistensi dibahas melalui
pengamatan yang cermat lagi radikal. Kemampuan
Driyarkara ini pun diakui oleh para kolega-koleganya,
terutama saat ia masih mengajar di Ignatius College.
Adapun beberapa pemikiran Driyarkara yang
telah di bukukan akan diulas secara singkat berikut ini:
a. Pertjikan Filsafat.
Buku ini beredar di lingkunga akademis dan juga
sebagai referensi bahan kuliah. Kerja keras
memperkenalkan filsafat yang telah dirintis melalui
majalah Basis kemudian dilanjutkan oleh Driyarkara

19
Ibid., h. 29.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 29


Re/evansi Ketokohan Driyarkara

lewat siaran RRI Yogyakarta dan Jakarta. Buku yang


diterbitkan oleh PT. Pembangunan pada tahun 1964,
merupakan kumpulan kuliah, seminar, ceramah dan
simposium yang menunjukkan betapa filsafat telah
mendarah daging dalam tubuh Driyarkara. Lewat
sarana-sarana yang disebutkan di atas, ia menemukan
kendaraan yang pas untuk menuangkan pikiran-
pikirannya yang encer. Ia menciptakan neologisme
untuk menyalurkan muatan-muatan pikirannya, yang
kala dilihat sepintas seolah-olah merupakan kegenitan.
Namun Frans Magnis Suseno membantah dengan
mengatakan bahwa: "Driyarkara menulis tentang
banyak hal. Yang paling mencolok ada dua, Pertama,
apapun yang . dibahas oleh Driyarkara tidak pemah
berbasa-basi, tidak pernah memakai kata-kata besar
tetapi kososng, sebagaimana banayak orang kita
temukan dalam buku-buku yang menamakan diri
filsafat. Tulisan Driyarkara selalu eksak, menembus ke
inti permasalahan atau memunculkan segi penting yang
belum diperhatikan. Bahasanya selalu seimbang, tetapi
tanpa pernah menjadi tawar. Kedua, apapun yang ditulis
masih tetap aktual, orisinal dan mendalam. Tulisan-
tulisan itu merupakan sumbangan penting bagi
khazanah pustaka filsafat Indonesia asli Modern"20
Driyarkara seperti diungkapkan oleh
Soedjatmoko bukanlah pembawa sistem filsafat baru,
dan memang bukan itu yang diusahakannya. Akan

2
°F. Danuwinata, Kata Pengantar dalam "Karya Lengkap
Driyarkara, Esai-Esai Filasafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya" (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. xxv-xxvi. Dikutip
dari Frans Magnis Suseno dalam Bunga Rampai Mengenang Prof. Dr. N.
Driyarkara, SJ dan pemikiran filosofnya.

30 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

tetapi yang selalu ditekankan adalah cara berpikir, suatu


metode berfilsafat sebagi suatu keaktifan manusia yang
hakiki, yang tidak akan pemah selesai. Bagi Driyarkara,
filsafat merupakan usaha menyelami realitas, yakni
manusia, alam serta Tuhan sebagai hakikat dan dasar
dari segala sesuatunya. Dengan caranya berfilsafat ini
dan juga ditopang oleh kesungguhan hati serta
kadangkala naivitasnya yang mengharukan, telah
dibawa langsung ketengah-tengah pergolakan dan
petjuanagn bangsa ini di dalam usaha mendudukkan
identitas di dalam dunia dan sejarah. Dalam Pertjikan
Filsafat, Driyarkara mengurai dua hal yang sangat
signifikan yang terkait dengan masalah-masalah
manusia dan kemanusiaan. Pertama, penempatan
manusia dalam kebebasan yang bertanggung jawab
sebagai landasan dan bagian dari kehidupannya. Karena
hanya dengan demikian manusia dapat menangkap dan
memahami dirinya dalam momen metafisikanya. Kedua,
melahirkan sikap kritis terhadap diri manusia sendiri,
sebagai prasyarat mutlak bagi pertumbuhan dan
perkembangan kedewasaan manusia. Karenanya,
manusia manakala mengembangkan dua sikap ini akan
melahirkan manusia yang selalu terus-menerus
menjelang, yang terus-menerus membelum atau
berproses, namun memiliki satu kepastian, yaitu
meleburkan diri dengan Tuhan sebagai sumber
kebenaran. Dalam tulisan ini tampak betul jiwa
penjelajah dari seorang Driyarkara, yang melihat
kehidupan ini sebagai suatu simfoni universal, dimana
segala sesuatunya bermain dalam irama yang demikian
menakjubkan, dan hanya dapat dipahami oleh manusia
yang membuka diri secara universal pula.
b. Sosialitas Sebagai Eksistensial.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 31


Relevansi Ketokohan Driyarkara

Buku ini merupakan isi pidato inaugurasi yang


disampaikan pada peresmiannya sebagai Guru Besar
Luar Biasa di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
sebagai dosen filsafat, yang kemudian diterbitkan pada
tahun 1962 oleh PT. Pembangunan, Djakarta. Pokok
pemikiran Driyarkara adalah tentang manusia. Manusia
yang bereksistensi, yang mampu menyadari tujuan
hidupnya, potensi apa saja yang bisa dimaksimalkan
serta dihasilkan, dan apa saja yang harus diperbuat oleh
mansuia. Pokok pikiran ini bila dikembangkan tentu
akan ada banyak manusia yang mencoba hidup dan
berpikiran secara positif, lalu dengan secara sadar hidup
dan berdampingan dengan orang lain, demi
menciptakan kehidupan sosial sebagai hasil interaksi
antar individu yang dibangun atas dasar kesadaran
sebagai manusia. Semakin individu sering melakukan
interaksi, maka akan semakin melahirkan rutinitas yang
seragam, dan pada kondisi yang diinginkan akan
berpotensi melahirkan dan menciptakan beberapa
penemuan baru, seiring dengan usaha manusia untuk
menaklukkan alam. Dengan kata lain, tindakan dan
aktivitas seragam ini sering disebut sebagai budaya.
Pandangan Driyarkara mengenai manusia amat
dipengaruhi oleh pikiran-pikiran filosof pada zamannya,
seperti Martin Heidegger atau pun Sartre.s! Ia
memandang permasalahn manusia dengan setiap
geraknya selalu bertujuan mencari kebahagiaan, bahkan
dalam upaya manusia menemukan jati diri, tersembunyi

21A.
Sudiarja, SJ, dkk., peny., Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 273.

32 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

hajat atau ambisi untuk sampai pada kebahagiaan. Motif


kebahagiaan ini menjadi alasan manusia untuk
melakukan kesatuan gerak serta tindakan. Pada titik
tertentu, Driyarkara memandang bahwa sesungguhnya
bahagai kodrati dan abadi adalah ketika manusia
mengalami persatuan dengan Tuhannya. Dalam hal ini,
Driyarkara selalu mengarahkan manusia untuk bergerak
mencapai tingkat kesalehan yang paling tinggi, tanpa
melepaskan sosialitas sebagai sebuah eksintensi.
Salah satu contoh yang sering diungkapkan
Driyarkara untuk menjelaskan permasalahan ini adalah
ketika ia mengomentari .perayaan tahun baru. hampir
semua orang bergembira dengan tawa dan suasana yang
haru biru, seolah melengkapi sebagai ornamen dalam
perayaan tahun baru itu. Di tambah lagi dengan
kebiasaan mengucapkan selamat tahun baru yang entah
disadari atau tidak oleh mereka yang merayakannya,
bagi Driyarkara memiliki nilai-nilai eksistensialisme
yang tinggi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa
seharusnya muncul pula kesadaran bila momen tahun
baru merupakan momen berputamya bumi pada
porosnya selama 365 hari, karena itu seharusnya
dijadikan refleksi terhadap masa lalu manusia dan
mempersiapkan diri menghadapai masa yanga akan
datang. Dalam hal ini ia mengungkapakan bahwa setiap
orang selalu mengalami pertautan antara eksistensi
sebagai manusia dengan waktu, dimana waktu dapat
mengatur manusia untuk melakukan ritual pada saat-
saat tertentu saja, atau mungkin sebaliknya momen
"baru" ini dapat menyentuh kalbu sehingga melahirkan
sebuag tindakan bersama. Disinilah nilai lebih manusia
bila dibandingkan dengan makrhluk lainnya, dimana
manusia masih memiliki peran, meskipun berada dalam

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONAUSME I 33


Relevansi Ketokohan Driyarkara

waktu atau terkurung dalam waktu, tetapi juga memiliki


potensi dan kemampuan untuk mengatasi waktu.
Secara lebih luas, Driyarkara memandang
manusia dari dua unsur, yakni unsur roh dan jasmani,
dimana roh bisa dan mampu menguasai dirinya sendiri,
dapat mengalami dirinya dan sadar akan dirinya sendiri.
Sementara jasmani tidak berada dalam tataran itu,
karena menurutnya mau tidak mau ada pertumbuhan
yang tidak dikehendaki atau tidak dapat dikontrol
seperti penyakit. Karenannya, untuk mencapai
kebahagian kodrati, kedua unsur ini hams menyatu
untuk kemudian bergerak menuju dan berintegrasi
dengan Tuhan, meskipun dalam perjalanannya akan
menempuh ujian. Karena sesungguhnya hidup yang
bermakna adalah hidup yang selalu diuji atau pun
dipertanyakan, seperti ungkapan Socrates Tire
unexamined life is not worth living, kehidupan yang tidak
pemah dipertanyakan merupakan kehidupan yang tidak
berharga sama sekali.22
c. Pandagan Driyarkara tentang Manusia.
Topik filsafat dan ilmu pengetahuan dalam
membicarakan hal yang berkenaan dengan manusia
sudah dimulai sejak awal-awal perkembangan filsafat
Yunani kuno, yakni pada masa keemasan sekitar tahun
200 Masehi, dimana Protagoras memusatkan
perhatiannya tentang relativisme, yang berpikiran
bahwa kebenaran tidak ada yang definitif melainkan
bersifat relatif. Benar, baik dan bagus selalu dalam
hubungan dengan manusia dan tidak berdiri sendiri

22
Zaprulkhan, Filsafat Umun, Sebuah Pendekatan Tematik{Cet. I;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), h. 14.

34 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

sebagai kebenaran yang mutlak.P yang kemudian


kembali dirumuskan oleh beberapa filsuf modem seperti
J. P. Sartre dan M. Heidegger.
Filsafat manusia atau pltilosoplty of man menjadi
bagian dari filsafat yang bertupaya menelisik eksistensi
seorang manusia, atau berupaya memberikan gambaran
mengenai siapa sebenamya makhluk yang disebut
manusia itu secara totalitas.e Filsafat manusia mencobak
menyibak misteri dari manusia dalam segenap dimensi
yang dimilikinya, esensi kemanusiaannya, motif-motif
yang mendasari setiap tingkah lakunya, tujuan, n:ilai dan
makna hidup, atau singkatnya segala sesuatu yang
terkait dengan eksistensi manusia itu sepanjang
hayatnya.
Driyarkara yang banyak terpengaruh oleh aliran
eksistensialisme memandang permasalahan manusia
dengan setiap geraknya selalu bertujuan mencari
kebahagiaan, bahkan dalam upaya manusia mencari jati
diri menurut Driyarkara selalu tersembunyi niat untuk
sampai pada titik tertinggi yakni kebahagiaan. Motif
kebahagiaan ini menjadi dasar dari kesatuan gerak serta
tindakan manusia. Dalam proses pencarian-pendambaan
kebahagiaan ini, manusia selalu berusaha untuk sampai
pada kebahagiaan kodrati, dan itu hanya bisa digapai
manakala manusia mengalami penyatuan dengan
Tuhannya. Dalam hal rm Driyarkara berusaha
mengarahkan manusia pada derajat kesalehan atau
paling tidak mengarahkan pemikiran manusia untuk

23Sutardjo
A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat; Sistematika dan
Sejarah Filsafat logika, Filsafat I/mu, Metafisika dan Filsafat Manusia (Cet.
Ill edisi revisi; Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 60.
24Louis
Leahy dalam Zaprulkhan, op. cit., h. 133.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 35


Relevansi Ketokohan Driyarkara

selalu mengarah dan mendekati. Tuhan. Adanya sikap


manusia yang kerap menjauhkan pemikiran dan
geraknya dari Tuhan menurut Driyarkara karena
manusia terjebak pada pola pikir rasionalisme ataupun
irrasionalisme. Pada posisi rasionalisme, manusia terlalu
menjunjung tinggi aka! dan menjadikannya sebagai
hakim yang mutlak kebenarannya atas segala sesuatu,
dimana setiap kebenaran diukur dengan pembuktian
Iogika, serta analisis rasional atas suatu fakta. Pada sisi
irrasionalisme, manusia lebih mengutamakan ego serta
rasa sentimen. Pertentangan dari dua pola pikir ini kerap
melahirkan konflik intelektual yang bermuara pada
keangkuhan serta kepongahan dalam membela
pendirian masing-masing, sehingga di pandang oleh
Driyarkara sebagai suatu ketimpangan dari
pertumbuhan yang salah.
Karena itu, Driyarkara kemudian mengajak
setiap orang untuk tidak terjebak pada salah satu dari
dua kelompok ini,2s terutama keti.ka membicarakan
wacana yang bersifat abstrak. Ia mengharapakan agar
topik-topik seperti itu dapat dibicarakan dengan sikap
yang dewasa, yakni dengan mengajak dan membawa
pemikiran filsafat dewasa ini untuk lebih perhatian
terhadap isu-isu kehidupan sehari-hari, atau dengan
kata lain menurunkan tema filsafat dari langit ke bumi.
Manusia harus menyadari bahwa masih banyak
persoalan-persoalan kehidupan yang belum bisa

25Hendaknya
bagi setiap orang yang menganggap dirinya sebagai
pencari kebenaran, maka ia melengkapinya dengan 'compound eye' horizon
penglihatan yang kaya terhadap realitas sehingga terbebas dari perangkap
lingkaran fanatisme palsu. Lihat Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris
(Yaogyakarta: Kanisiusm, 2007), h. 19. Lihat pula Zaprulkhan, op. cit., h. 31.

36 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

dibuktikan oleh manusia melalui metode-metode ilmiah.


Namun bisa jadi di kemudian hari seiring dengan
kemajuan pemikiran misteri-misteri itu dapat tetjawab.
Hasil dari sikap ini adalah manusia akan menaruh
hormat terhadap realitas dan kebenaran, serta
menanggalkan pandangan-pandangan ekstrim yang
membutakannya dari niat untuk mencari kebenaran.
Pandangan Driyarkara yang cukup menarik
mengenai manusia adalah ketika ia mengomentari
momen perayaan tahun baru. Driyarkara melihat bahwa
orang-orang larut dalam kegembiraan dan suasana yang
mengharu biru sebagai penghias dan pemak-pernik atas
momen tersebut. Belum lagi dengan budaya
mengucapkan "selamat tahun barua" yang entah
disadari atau pun tidak, bagi Driyarkara memiliki nilai-
nilai eksistensialisme yang tinggi. Pada momen ini,
manusia hendaknya menyadari dan memaknai sebagai
momen berputarnya bumi pada porosnya sebanyak 365
kali yang diiringi dengan perputarannya pada matahari.
Manusia hendaknya menjadikan momen tersebut
sebagai refleksi terhadap masa lalunya dan masa yang
datang. Dalam konsep Driyarkara disebut sebagai
pertautan antara eksistensi manusia dengan waktu,26
yang mana waktu mampu mengatur manusia untuk
melakukan suatu ritual di saat-saat tertentu, atau
mungkin sebaliknya, manusia menaklukkan atau
mengatur waktu untuk melakukan suatu kebiasaan.
Di sinilah letak perbedaan manusia dengan
makhluk lainnya. Manusia terkurung dalam waktu atau
berada dalam waktu. Namun manusia memiliki

26A.
Sudiarja, SJ, dkk, op. cit., h. 32

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 37


Relevansi Ketokohan Driyarkara

kemampuan untuk mengatasi waktu. Karena manusia


memiliki daya untuk mengatasi waktu maka ia dapat
merenung tentang waktu itu sendiri, sehingga manusia
mengalami dirinya sendiri dirinya sendiri dalam waktu
yang dapat pula mengarahkan segala usahanya untuk
sampai pada kebahagiaan yang kondrati, yakni
kebahagiaan rohani. Karena komponen manusia adalah
roh dan badan, namun hanya roh yang dapat menguasai
dirinya sendiri, mampu mengalami dirinya dan sadar
akan dirinya sendiri, sementar jasad tidak dapat
melakukan hal itu.27
Keterbatasan-keterbatasan itu merupakan suatu
fakta yang tidak dapat dimungkiri adanya, dan
melingkupi kehidupan manusia, baik itu menjadi milik
fisik maupun bagian dari pikiran. Terdapat hal-hal yang
tidak bisa dikendalikan oleh manusia sekalipun ia
mengerahkan segala kemampuan untuk
mengendalikannya, seperti partum-buhan dan kematian
yang notabenenya tidak dapat dicegah adanya, ini yang
sering disebut sebagai kodrat atau takdir. Bagi
Driyarkara, sesungguhnya kodrat ataupun takdir
manusia merupakan bentuk dorongan manusia untuk
mencapai kodrat abadi. Kodrat ini dapat saja dilanggar
namun tidak dapat dihapuskan atau dipadamkan.
Banyak sikap yang membuat manusia menapikan
kebahagiaan yang sudah menjadi kodrat rohani mereka
dengan melakukan tindakan-tindakan yang dapat
merugikan orang lain, namun kerap pula manusia
melakukan aktifitas yang baik dan bermanfaat bagi

27/bid.
pembahasan tentang masalah ini pernah di muat dalam
majalah Basis tahun Ill Pebruari 1954 halaman 109-113.

38 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

banyak orang. Inilah dikatakan bahwa kodrat atau takdir


azali tidak dapat dipadamkan, karena ia merupakan
sesuatu yang sudah ada sebagai penyeimbang
kehidupan.
Dengan meyakini itu semua, akan membangkit-
kan kesadaran bahwa ada kekuatan yang lebih besar dan
absolut yang mengendalikan segala 'tindakan manusia.
Dengan kata lain manusia dipaksa atau ditarik oleh
suatu kekuatan gravitasi untuk melakukan tindakan-
tindakan itu, meskipun demikian tindakan yang
terpaksa tersebut kerap melahirkan rasa bangga atau
bahagia kareng istri yang setia misalnya, meskipun
dalam kondisi yang paling sulit sekalipun akan selalu
berupaya menjalankan kewajibannya, yang pada
akhirnya akan menimbulkan rasa bangga dari apa yang
telah ia tunaikan. Manakala kewajiban itu tidak mampu
ia laksanakan maka akan muncul rasa malu atau rendah
diri, karena menganggap dirinya telah gaga! menjadi
istri yang baik bagi suami dan keluarganya. Pada titik
inilah perlu dipahami bahwa kesempurnaan manusia
terletak dalam kesempurnaan pribadi sebagai pribadi.
Manusia memiliki aset dan potensi kesempurnaan yang
dapat ia raih, hal itu dapat terwujud manakala manusia
memiliki harapan yang besar ke arah itu. namun di sisi
lain, manusia dapa pula menghancurkan kesempurnaan-
nya apabila ia selalu berupaya memadamkan hasrat
serta dorongan-dorongan yang dipaksakan padanya.
Karena itu sebagai yang ber-eksistensi, manusia harus
'memaksa' dirinya untuk menumbuhkan harapan-
harapan positif dalam dirinya agar ia dapat disebut
sebagai manusia.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 39


Relevansi Ketokohan Driyarkara

d. Pandagan Driyarkara tentang Sosial dan


Budaya.
Pandangan Driyarkara yentang manusia
merupakan kritik atas pandangan Thomas Hobbes.
Baginya manusia merupakan homo homini socius, bukan
sebagai serigala atas manusia lainnya. Tatkala manusia
mampu menempatkan diri sebagai manusia sosial,
tentunya yang akan terwujud adalah tatanan masyarakat
yang berwibawa, karena wujud sebagai imbas dari
persaudaraan adalah terciptanya suasana saling
membutuhkan sesama manusia tanpa harus salah satu
pihak merasa mengasai atau dukuasai oleh manusia
lainnya. Gejala ini akan membuka ruang sosial sebagai
wujud eksistensi manusia di alam ini. Dalam lingkup
atau skala sosial , struktur eksistensi manusia terwujud
dalam konteks komunikasi yang dibangun atas dasar
kesadaran kemanusiaan, dengan demikian ia sudah
bersifat sosial. Struktur komunikatif ini diperlukan
untuk menghindari keterasingan serta sikap kepura-
puraan. Dalam hal ini Driyarkara menyinggung peran
lembaga struktural sebagai acuan atau paradigma dalam
masyarakat melakukan suatu tindakan.
Sehubungan dengan ini, Driyarkara mengangkat
beberapa topik yang berkenaan dengan sosial dan
budaya yakni:
Periama, tentang negara.2a Dalam pandangannya
negara merupakan milik warga negara. Semboyang
"akulah negara itu" merupakan ungkapan yang keliru
karena setiap orang memiliki hak yang sama untuk

28Driyarkara,
Tentang Negara dan Bangsa (Yogyakarta: Kanisius,
1990), h. 7-15

40 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Re/evansl Ketokohan Drlyarkara

mengakui kepemilikannya terhadap negara tersebut,


dalam pengertia turut membantu dalam menjaga
stabilitas dan eksistensi negara. Sikap ini ditunjukkan
oleh Driyarkara sebagai kritik atas penyelewengan
tujuan bemegara oleh sebagian oknum, serta sindiran
atas penguasaan negara untuk kepentingan politik
segilintir orang. Karena pada dasarnya negara terbentuk
dari hasil kerja keras keberpaduan dan kesatuan
manusia, terdiri dari banyak bangunan, komunitas
manusia, ragam budaya dan berbagai macam institusi.
Semua itu merupakan wadah pengembangan karakter
manusia, yang akan medmberikan pola kebiasaan pada
manusia sebagai komunitas.
Kedua, tentang kebudayaan.29 Adanya ungkapan
membentuk kepribadian nasioanal mengandung dua
makna yakni manusia sebagai warga suatu bangsa dan
kepribadian suatu ban�sa sebagai warga keseluruhan.
Artinya manusia harus mampu mengeluarkan
kepribadiannya yang mewakili identitas suatu bangsa.
Ini dapat dilakukan dengan berada bersama dan
membangun diri pada konteks alam jasmani.
Kepribadian nasional tentunya dapat dimulai dengan
membentuk kebudayaan nasioanl, dimana kebudayaan
diakui sebagai karasteristik masyarakat. Kebudayaan
nasional ini dapat dimaknai sebagai kebudayaan yang
merupakan milik sendiri dari suatu kebangsaan. Dengan
kata lain kebudayaan dan kebangsaan yang memberikan
wama dan membentuk kepribadian nasional. Karenanya
yang terpenting disadari adalah kebudayaan merupakan

29Driyarkara,
Tentang Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h.
7-10.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 41


Relevansi Ketokohan Driyarkara

adaptasi antara manusia denga alam, yakni dengan


memelihara harmonisasi hubungan manusia dengan
alamitu.
Lebih dalam Driyarkara berpandangan jika
kebudayaan merupakan nilai-nilai humanisme yang di
dalamnya terkandung kebebasan. Humanisme sebagai
gerakan menganjurkan dan berusaha memajukan situasi
yang sesuai denga tuntutan-tuntutan dari human
structure. Karenanya pelaksanaan humanisme bermakna
bahwa manusia mendapat penghidupan sedemikian
rupa sehingga ia bebas dari kesengsaraan, kekangan,
dan paksaan dari luar, baik itu dari alam ataupun yang
lainnya. Di sinilah pentingnya pengakuan hak asasi
dalam hidup bersama. Artinya, humanisme
menganjurkan agar manusia melaksanakan pengajaran
sehingga manusia itu paling tidak dapat lepas dari hal-
hal yang kurang ia pahami, tidak buta huruf, sehingga
memiliki ilmu dan pengetahuan yang cukup sebagai
kekayaan yang khas insani. Dengan corak humanisme
yang demikian ini, sudah tentu humanisme akan
membentuk dan memiliki hubungan dengan
kebudayaan. Dengan kata lain humanisme hanya bisa
dicapai dengan kebudayaa. Yakni ketika menempatkan
mansia sebagai pembangun struktur agar hidupnya
menjadi teratur, maka secara teropong materialnya
kemampuan manusia membentuk situasi itu serba
teratur merupakan sifat dasar human (manusiawi) dan
itu merupakan kebudayaan, yang mana kesemuanya itu
hanya dapat terbentuk jika terdapat kebebasan berkreasi

42 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

bagi manusia itu.30 hanya saja perlu disadari pula bahwa


ber-kebudayaan merupakan proses hominisasi antara
dua arah yakni manusia dan alam serta begitu pula
sebaliknya.
e. Pandangan Driyarkara tentang Pendidikan.
Driyarkara selain sebagai konseptor pendidikan
ia juga sebagai praktisi. Keaktifannya dalam
menuangkan pemikirannya mengenai pendidikan
dimulai saat ia berpidato sebagai dekan PTPG Sanata
Dharma pada tanggal 17 Desember 1955, yang menuai
banyak pujian, dan mulai dikenal sebagai filsuf
pendidikan. Secara umum ia memandang pendidikan
dalam tiga hal, yakni:
1. Pendidikan sebagai faktor perubah zaman yang
berpengaruh bagi pendidikan anak muda.
Driyarkara meyakini adanya perbedaan sudut
pandang dari kaum muda dengan kaum tua, yang
mungkin saja dapat berpotensi menghadirkan
konflik.
2. Perlunya pendidikan guru sekolah. Guru
digaharapkan sebagai ujung tombak dan sekaligus
sebagai pemain kunci dalam pendidikan formal, dan
seyogyanya mampu membekali diri dengan
berbagai macam skill melalui pelatihan-pelatihan
mengajar.
3. Pembentukan sikap berbangsa melalui pendidikan
nasional. Karenanya pemerintah harus mengambil
peran aktif dalam mengkader sikap berbangsa
khususnya pada generasi muda. Untuk mencapai itu

30Driyarkara,
Budaya, Seni don Religi, dalam buku kelima A.
Sudiarja, SJ dkk, op. cit., h. 708-710.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 43


Relevansi Ketokohan Driyarkara

pendidikan merupakan salah satu jalan yang paling


efektif.»

Pandangan Driyarkara di atas adalah pandangan


filsafat pendidikan, dimana ia mengharapkan agar
momen mendidik itu digunakan sebagai media
memanusiakan manusia". Pendidikan adalah fenomena
II

insani yang sangat padat. Itu dapat dilihat dari berbagai


macam sudut dan dengan berbagai macam titik tolak,
yaitu:
Periama, Pendidikan tidak boleh bersifat
individualistis atau state sentris, tapi musti bersifat
personalistis. Kesalahn yang kerap tetjadi dalam dunia
pendidikan adalah munculnya pelaksnaan yang bersifat
individualistis. Ini dapat dijelaskan bahwa banyak orang
memberikan pendidikan dengan hanya mengikuti
kehendak anak, si anak dimanjakan atau diberikan apa
yang ia sukai tanpa menganalisis dampak-dampak
lainnya. Bahaya yang lebih mengerikan adalah ketika
pendidikan itu berlangsung dalam sifatnya yang siaio
sentris, yaitu pendidikan yang biasanya dilakukakan
oleh dan dalam negara totaliter, dimana negara menjadi
II
tuhan'' yang memaksakan setiap arah kebijakan
pendidikan, berdasarkan pada kepentingan pribadi atau
kelompok. Yang paling ideal adalah pendidikan harus
bersifat personalistis. Artinya, pendidikan diarahkan dan
ditujukan pada perkembangan manusia sebagai persona.

31Mohammad
Indra, op. cit., h. 41. Lihat pula pada Driyar-kara
tentang Pendidikan (Yogyakarta, Kanisius, 1980), h. 32-34

44 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansl Ketokohan Drlyarkara

Dengan kata lain, pendidikan harus menanamkan rasa


tanggung jawab, rasa kehormatan serta kemandirian.ss
Kedua, mendidik merupakan hak dan kewajiban
para orang tua. Pendidikan merupakan suatu aspek dari
propagasi dan kontinuasi manusia yang tidak dibatasi
oleh lingkungan fisik, dengan ungkapan lain setelah
manusia dilahirkan secara fisik, maka ia harus dilahirkan
kembali secara rohani. Ini merupakan proses kelahiran
yang lebih lama, lebih penting dan lebih sulit. Manusia
harus dibangun sedikit demi sedikit sehingga menjadi
manusia yang patut disebut pribadi. Hak mendidik
merupakan hak yang fundamental atau asasi.v Menurut
Driyarkara sama tingkatannya dengan hak-hak
kemerdekaan, berpikir bebas, hak beragama keyakinan
sendiri, dan lain sebagainya. Karenanya pengurangan
hak ini merupakan pelanggaran kemanusiaan serta
pelecehan terhadap demokrasi.
Ketiga, pendidikan sebaiknya tidak bersifat
pragmatis melainkan inkulturatif-progresif. Akan
Artinya, pendidikan haruslah berpadu dengan
kebudayaan agar termuat pengertian "mendidik dan
mengajar" ,34 yang pada akhirnya akan menghasilakan
nilai-nilai luhur yang abadi. Karena bila pendidikan
bersifat pragmatis maka orientasi yang akan dituju pun
bersifat singkat, dan itu artinya akan dibuat lagi
rumusan pendidikan yang baru, yang belum tentu
pelaksanaanya sejalan dengan nilai-nilai masyarakat itu
sendiri. Karena pada dasarnya pandangan pragmatis

32Driyarkara, Hominlsasl dan Humanisasi, dalam buku kedua A.


Sudiarja, SJ dkk, op. cit., h. 420-422.
33/bid.,
h. 423
34
/bid., h. 425-426.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 45


Relevansi Ketokohan Driyarkara

hanya melihat nilai guna yang langsung dan konkret


dari sesuatu. Misalnya bangsa-bangsa terdahulu hanya
lebih menitikberatkan pendidikan hanya pada
pembangunan kekuatan militer, sehingga nampak bila
pendidikan itu lebih berat sebelah dan hasinya pun
hanya sementara. Karena ketika dunia memasuki
perubahan yang demikian cepat dan militer kemudian
hanya menjadi pelengkap negara, maka pihak-pihak
tertentu mulai merasakan bila kehidupan ini berjalan
bukan hanya sepihak.
Dari ketiga hal di atas, Driyarkara mengharapkan
lahirnya pendidikan dalam fungsinya sebagai edukatif,
yakni membantu manusia dalam menyelami dunianya
dan dengan demikian membantu dalam menjadi
manusia.
f. Pandangan Driyarkara tentang Pancasila
Bagi Driyarkara Pancasila yang merupakan
rumusan dari kodrat manusiawi (human nature)
dipandang secara lengkap, artinya dipandang menurut
semua hubungan karena kodrat manusia memang serba
terhubung. Jadi, hidup berarti menjalankan,
merealisasikan kesaling-terhubungan dalam kesatuan.
Hal tersebut berarti membu-daya dan membudayakan,
menciptakan barang yang berguna, menciptakan syarat-
syarat dan perlengkapan, atau "berada-bersama-dengan-
sesama-manusia". Jika tidak demi-kian, maka manusia
tidak hidup menurut kodratnya, melanggar moral.
Kedua itu (ialah:menjasmani dan meng-Kita) sebetulnya
bukanlah dua; kedua itu adalah kesatuan, ialah manusia
itu dengan caranya berada. Jadi, cara manusia berada itu
dapat disebut: menjasmani-meng-Aku-meng-Kita, yang

46 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

dalam bahasa Driyarkara dirumuskan dalam satu kata


"Perikemanusiaan":» Kemanusiaan dapat dimaknai
bahwa masyarakat Indonesia menempatkan diri sebagai
manusia sesuai dengan harkatnya sebagai makhluk
Tuhan.> Tidak-sewenang-wenang pada orang lain serta
tidak menyalahgunakan wewenang, tidak korupsi dan
sebagainya. Melaksanakan perikemanusiaan tidak
berarti lemah, karena ada kata keadialan dan peraban
yang menuntut suatu tindakan tegas.
Perikemanusiaan berarti menghormati,
menjunjung tinggi sesama manusia, setiap manusia,
segala manusia. Sebab cinta kasih tanpa hormat, tanpa
menjunjung tinggi, bagi Driyarkara itu tidak mungkin.
Karena Barang siapa mengaku dan merasakan cinta,
tetapi memperalat yang dicintai untuk kepentingan diri
sendiri, maka itu bukanlah cinta yang sebetulnya,
melainkan egoisme. Karena cinta berarti mengakui dan
menghormati sesama manusia sebagai pribadi (persona),
dan persona tidak boleh dijadikan objek, tidak boleh
disamakan dengan barang. lni dapat pula bermakna bila
Perikemanusiaan berarti menolak perbudakkan,
menolak penghisapan dan sebagainya, dari sesama
manusia. Apa yang tidak diinginkan untuk dirimu
sendiri, perlakukanlah kepadanya apa yang kamu
inginkan untuk diri sendiri, demikianlah yang
seharusnya sebagai suatu tindakan atau rumusan
positifnya. Lebih lanjut Driyarkara menyatakan bahwa
jika manusia taat kepada prinsip ini, maka hidup

35
Ibid., h.840
36ream
CSIS, Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasi/a (ed.
II, Cet. I; Jakarta: CSIS, 1976}, h. 39.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 47


Relevansi Ketokohan Driyarkara

bersama merupakan persaudaman. Hanya saja ia sangat


menyayangkan tabiat kita itu sekarang dirongrong oleh
egoisme kepartaian.v
Bila merujuk pada petunjuk al Qur' an, maka
tentu akan ditemukan beberapa ayat yang menjadi
pedoman akan pentingnya perintah melaksanakan
perikemanusiaan, seperti pada QS. Ali Imran/3:104
J\, a.:\
J�0 J

J
, J�
o.,,:
.>!� tL, 0
. J..,-4 ..J
JJ�.,,
o.,,
�'il_ \
p--
.,,,
0&..lJ
0

.T ..
..- ... �oJ
0 •
.,,
� :: .,,

.,, .,, &

o0 .,,{�o0'" .,, o
1)-Ll��t\ �
�J
>>� \"' ·' \ .j:. 0°'•"'"'
� ... �� , CJ
.,,
"Dan hendaklan ada diantara kamu segolongan umai
yang menyeru kepada kebaikan, menyeru kepada yang
ma'ruf dan mencegab dari yang mungkar, mereka itulan
orang-orang yang beruntung'w

Di dalam QS. Al Qashas/28:77 Allah swt


berfirman:

���\cf �l
0 .,, jj;j � .,, �

'lj W\ �' � W�···


.: �\ LJ '' ilH 0\ '-f'.J)
� ... , · c.'\
• .> l �
0

" ... dan berbuat baiklan (kepada orang lain) sebagaimana


Allah telalt berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di muka bumi. Sesunggulmya Allah
tidak menuukai orang-orang yang berbuat kerusakan ",39

37
A. Sudiarja, SJ dkk, op. cit., h. 841
38Departemen
Agama RI. Alqur'an don Terjemahnya (Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alqur'an, 1989), h. 847.
39/bid.,
h. 623

48 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

Dua ayat di atas merupakan perintah untuk


merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan juga
dengan alam. Karena hanya manusia yang memiliki
potensi untu menjadi pemandu khalifah atas
kemanusiaan itu sendiriw dan itu merupakan tugas
utama manusia sejak dari awal penciptaannya.
Kemanusiaan yang merupakan penjabaran dari
nilai-nilai ketuhanan dan dalam Pancasila ditempatkan
pada sila kedua, merupakan konsep yang paling ampuh
untuk menghadapi dinamika dunia modern serta untuk
mengantisipasi aspek-aspek negatifnya. Persudaraan itu
harus dijalankan baik dalam lingkungan yang kecil
maupun dalam lingkungan yang besar bahkan untuk
seluruh bangsa. Dalam hal ini Driyarkara berujar "Kita
bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka,
tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan
bangsa-bangsa" ,4t Di sini Perikemanusiaan mempunyai
arti yang khusus, makna yang lebih luas dari yang
climaksudkan. Jika selama ini yang dimaksudkan adalah
untuk masyarakat Indonesia sendiri, maka dalam tataran
ini Pancasila menjadi ruh kehidupan bagi siapa saja, Jika
memandang eksistensi manusia maka Perikemanusiaan
sebetulnya merupakan rumusan yang umum, artinya
memuat segala kebajikan yang harus dilakukan oleh
manusia menurut hakikat atau kodratnya. Di situ belum
ditunjuk suatu lapangan, belum terlihat suatu
pengkhususan. Pengkhususan itu segera tampak jika
memandang lebih jauh. Ingatlah bahwa hidup itu

40
Muhammad Qutub, Al Tathowur wa Al Tsabat Ji Hayah Al
Nasyariyah. Diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dan Marwan,
Evo/usi Moral (cet. I; surabaya, Al lkhlas, 1995), h. 359.
41A.
Sudiarja, SJ dkk, Joe. cit.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 49


Relevansi Ketokohan Driyarkara

dinamis, artinya memperkembangkan diri. Dengan


perkembangan muncullah apa yang disebut diferensiasi
atau pencabangan. Sedang pencabangan dari peri
kemanusiaan ialah Keadilan Sosial. Cabang ini muncul
bila kita memandang manusia sebagai berhadapan
dengan alam jasmani, yang dikerjakan, dibangun,
dijadikan perlengkapan, dan syarat hidup.42
Dalam semuanya itu manusia harus menjalankan
hidupnya (eksistensinya) sebagai Mit-sein (ada bersama).
Jadi, ia hams memanusia bersama, ia harus
mempribadikan diri bersama, ia hams memanusiakan
dan mempribadikan orang lain. Oleh sebab itu menurut
Driyarkara, demi Perikemanusiaan maka setipa pribadi
tidak boleh bertindak sedemikian mpa sehingga
manusia lain tidak mempunyai perlengkapan dan syarat
hidup yang cukup. Karena ada bersama itu juga
fundamental seperti ada sendiri, maka juga
membudayakan alam jasmani, menciptakan
perlengkapan dan syarat-syarat hidup itu harus juga
langsung ditujukan untuk Mit-sein. Hasil-hasil
kebudayaan, hasil-hasil teknik, hasil-hasil ekonomi,
semua itu tidak untuk beberapa gelintir manusia saja.
Karena manusia itu menurut kodratnya ada bersama,
jadi dengan sendirinya timbullah masyarakat.
Ulasan Driyarkara di atas mengenai manusia
merupakan pandangannya tentang "gambaran manusia
Pancasila yang diulas dengan menggunakan metode dan
pendekatan fenomenologis yang bertolak dari pemikiran
dasar tentang manusia. Ulasannya mencoba
menggambarkan sebuah commond ground namun dengan

42/bid.

SO I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

jeli memperlihatkan titik-titik temu Pancasila dan


manusia dengan unsur-unsur kemanusiaan secara
umum. Melalui sudut pandang fenomenologis, ia
memperlihatkan bagaimana sila-sila dalam pancasila
saling terkait satu sama lain.
Sebagai telaah filosofis, Driyarkara tidak
bermaksud mengurai secara kongkret, sebab
menurutnya filsafat hanya berkaitan dengan masalah-
masalah yang mendasar dan prinsipil. Adapun
diulasnya berulangkali persoalan Pancasila dalam
banyak tulisannya hanya bertujuan agar Pancasila
sebagai ideologi negara dapat diselami dan diamalkan.
Dengan kata lain bahwa ia tidak bermaksud ( dalam
beberapa uraiannya itu) mengurut untuk membahas
sila-sila itu sesuai dengan urutannya, melainkan ia
terkadang melangkahi satu sila seperti pada
pembahasan di atas, ia langsung ke sila kedua, sebagai
wilayah horisontal dan transendensi diri manusia. Baru
kemudian bermuara pada sila Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dengan ini Driyarkara bermaksud menjelaskan
tentang manusia sebagai pusat atau "yang berada"
dengan segala aspek yang dimilikinya dalam kehidupan
dan berakhir dalam transendensi diri dalam arah
vertikal. Artinya, sekalipun Pancasila hanya merupakan
rangkaian ide-ide dari para founding father, namun ia
menjadi norma dalam kehidupan menegara atau
menjadi dasar bagi tindakan manusia. Karena Pancasila
sebagai ideologi dapat memberi makna atas tindakan-
tindakan warga negara; Pancasila memberi implikasi etis
dan moral dalam hidup menegara, yang berarti juga
mengandung potensi untuk diselewengkan.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 51


Relevansi Ketokohan Driyarkara

C. Selayang Pandang tentang Filsafat Fenomenologis


Sebagai studi filsafat, fenomenologi dikembang-
kan di Universitas-universitas Jerman sebelum Perang
Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl; kemudian
dilanjutkan oleh Martin Heidegger, Max Scheler dan
yang lainnya. Bahkan Jean-Paul Sartre pun memasukkan
fenomenologi dalam eksistensialisme-nya.
Istilah "Fenomenologi" pertama kali digunakan
oleh J. H. Lambert (1728 - 1777). Kemudian istilah itu
juga digunakan oleh Immanuel Kant, Hegel serta
sejumlah filosof lain. Namun semuanya mengartikan
istilah fenomenologi secara berbeda. Baru Edmund
Husserl yang memakai istilah fenomenologi secara
khusus dengan menunjukkan metode berpikir secara
tepat. Conteh misalnya, dalam karya Hegel yang
berjudul "Pltenomenolgtj of Spirit". Pemaknaan Hegel
terhadap teori fenomena" dalam buku ini berbeda
II

dengan "fenomena" menurut Husserl. Menurut Hegel,


fenomena" yang kita alami dan tampak pada kita
II

merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan


runtutan konsep kesadaran manusia serta bersifat relatif
terhadap budaya dan sejarah. Husserl menolak
pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena
budaya dan sejarah, namun dia menerima konsep formal
fenomenologi Hegel serta menjadikannya prinsip dasar
untuk perkembangan semua tipe fenomenologi:
fenomenologi pengalaman adalah apa yang dihasilkan
oleh kegiatan dan susunan kesadaran kita.
Menurut Husserl, fenomena adalah realitas
sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang
memleahkan subyek dengan realitas, karena realitas itu
5tmdiri yang tampak bagi subyek, D�ngan pandangan
seperti ini, Husserl mencoba mengadakan semacam

52 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

revolusi dalam filsafat Barat. Hal demikian dikarenakan


sejak Descartes, kesadaran selalu dipahami sebagai
kesadaran tertutup (cogito tertutup), artinya kesadaran
mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan itu dapat
mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat
bahwa kesadaran terarah pada realitas, dimana
kesadaran bersifat "intensional", yakni realitas yang
menampakkan diri.
Sebagai seorang ah1i fenomenologi, Husserl
mencoba menunjukkan bahwa melalui metode
fenomenologi mengenai penganmgan pengalaman biasa
menuju pengalaman murni, kita bisa mengetahui
kepastian absolut dengan susunan penting aksi-aksi
sadar kita, seperti berpikir dan mengingat, dan pada sisi
lain, susunan penting obyek-obyek merupakan tujuan
aksi-aksi tersebut. Dengan demikian filsafat akan
menjadi sebuah ilm.u setepat-tepatnya" dan pada
II

akhirnya kepastian akan diraih.


Lebih jauh lagi Husserl berpendapat bahwa ada
kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat
mencapainya. Dan untuk menemukan kebenaran ini,
seseorang harus kembali kepada realitas" sendiri.
II

Dalam bentuk slogan, Husserl menyatakan "Zuruck zu


den sachen selbst" - kembali kepada benda-benda itu
sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai
untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu
berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada
gejala-gejala yang kita terima. I<alau kita mengambil jarak
dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh
pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita
cermati, maka obyek itu "berbicara" sendiri mengenai

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 53


Relevansi Ketokohan Driyarkara

hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam


diri kita.
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah
bahwa benda, realitas, ataupun obyek tidaklah secara
langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang
kita temui pada "benda-benda" itu dalam pemikiran
biasa bukanlah hakekat. Hakekat benda itu ada di balik
yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look)
tidak membuka tabir yang menutupi hakekat, maka
diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang
digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini
adalah intuisi dalam menemukan hakekat, yang disebut
dengan ioesenchau, melihat (secara intuitif) hakekat
gejala-gejala.
Dalam melihat hakekat dengan intuisi ini,
Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yakni
penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek
sebelum pengamatan itu dilakukan.o Reduksi ini juga
dapat diartikan sebagai penyaringan atau pengecilan.
Reduksi ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap
fenomenologis, dimana untuk mengetahui sesuatu,
seorang fenomenolog bersikap netral dengan tidak
menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian
yang telah ada sehingga obyek diberi kesempatan untuk
"berbicara tentang dirinya sendiri".
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena
dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu
"menunjuk ke luar" a tau berhubungan dengan realitas

43K.
Bertens, , Filsafat Barat Abad XX: lnggris-lerman (Jakarta:
Gramedia, 1981), h. 90

54 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Re/evansi Ketokohan Driyarkara

di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran


Kita, karena selalu berada dalam kesadaran Kita. Maka
dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu
melihat "penyaringan" (ratio), sehingga mendapatkan
kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki
ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk
memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis
lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan
lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum
di luar substansi sesungguhnya.44
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi
kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai
korelasi kesadaran, Pertanyaannya adalah bagaimana
caranya agar esensi-esensi tersebut tetap pada
kemurniannya, karena sesungguhmya Fenomenologi
menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar
mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu
tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman
yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar
untuk suatu teori umum di luar substansi
sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi
kecenderungan psikologisme dan naturalisme. Husserl
mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche
(penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi
memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi
naturalisme dan psikolgisme, Kita akan terjebak pada
dikotomi (subyek-obyek yang menyesatkan atau
bertentangan satu sama lain).

44Bernard
Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Alih Bahasa Soejono
Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), h. 12.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 55


Relevansi Ketokohan Driyarkara

Contohnya, saat mengambil gelas, Kita tidak


memikirkan secara teoritis (tinggi, berat, dan lebar)
melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung
air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman
Kita kalau Kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini
yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis
fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya,
Franz Brentano. Dari Brentano-lab Husserl mengambil
konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris (sikap pikiran
di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh
tidaknya suatu tindakan a tau bersikeras
mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat).
Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi
dan bukan penjelasan kausal. Karena baginya
fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga
sebagai metode, karena dalam fenomenologi Kita
memperoleh langkah-langkah dalam menuju suatu
fenomena yang mumi.
Menurut Husserl prinsip segala prinsip" ialah
II

bahwa hanya intuisi langsung ( dengan tidak


menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai
sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya saja
apa yang secara langsung diberikan kepada Kita dalam
pengalaman dapat dianggap benar "sejault diberikan ".
Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus
menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya
kesadaran yang diberikan secara langsung kepada Kita
sebagai subjek.
Fenomen" merupakan realitas sendiri yang
II

tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas


dari Kita .Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada
realitas. Kesadaran selalu berarti. kesadaran akan
sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat

56 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Re/evansi Ketokohan Driyarkara

intensionalitas, karena intensionalitas merupakan unsur


hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai
oleh intensionalitas, fenomen hams dimengerti sebagai
sesuatu hal yang menampakkan diri.
Maka sebagai basil dari metode fenomenologi
Husserl ialah perhatian baru untuk intensionalitas
kesadaran. Kesadaran Kita tidak dapat dibayangkan
tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran,
diandalkan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang
terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa
kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek disebut
intensionalitas, Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa
kesadaran mempunyai "intensionalitas", karena
kesadaran itu justru adalah intensionalitas itu sendiri.
Entah Kita sungguh-sungguh melihat suatu
pemandangan itu atau tidak, tetapi bila Kita masih
menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini
maka Kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran tidak
pemah pasif. Karena menyadari sesuatu berarti
mengubah sesuatu. Kesadaran itu bukan berarti suatu
cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya
terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan
obyek kesadaran. N amun interaksi ini tidak boleh
dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama
penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek
yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.v
Pengalaman subyek harus selalu dipandang
sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan
dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu
menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh

45
Ibid

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 57


Relevansi Ketokohan Driyarkara

karena itu Kita tidak boleh memikirkan pengalaman


dalam kesadaran manusia seperti obyek II
dalam
kardus".
Pengalaman bukanlah sebuah "celah" yang
mana, dunia hadir terpisah darinya, menerobos masuk.
Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang
asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah
pagelaran, yang mana bagi Kita, sosok yang mengalami.
Wujud yang dialami 'ada di sana' dan di sana
sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan
modus berada di mana pengalaman sendiri, Lewat
intensionalitas, yang melekatkannya.
Ada beberapa aspek yang penting dalam
intensionalitas Husserl, yakni:
1. Lewat intensionalitas terjadi objektivikasi. Artinya
bahwa unsur-unsur dalam arus kesadaran
menunjuk kepada suatu objek, terhimpun pada
suatu objek tertentu.
2. Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini
merupakan akibat objektivikasi tadi, dalam arti
bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa-
peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun
pada objek sebagai basil objektivikasi tersebut.
3. Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-
segi suatu objek dengan segi-segi yang
mendampinginya.
4. Intensionalitas mengadakan pula konstitusi.

"Konstitusi" merupakan proses munculnya


fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen
mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat
korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat
dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang

58 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada


kebenaran pada dirinya yang lepas dari kesadaran.
Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan
kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak
lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka
realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini
berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami
oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran
intensional.w
Sebagai contoh dari konstitusi: "Kita melihat
suatu gelas, tetapi sebenarnya yang Kita lihat
merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, Kita
melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas,
dan seterusnya". Tetapi bagi persepsi, gelas adalah
sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek
telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu
mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan
dalam realita. Suatu fenomen tidak pernah merupakan
sesuatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada
sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat
manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat
manusia. Sejarah Kita selalu hadir dalam cara Kita
menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat
Husserl selalu diartikan sebagai "konstitusi genetis".
Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi
nyata dalam kesadaran, adalah merupakan suatu aspek
historis.
Dalam melihat hakekat dengan intuisi ini,
Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yakni
penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek

46
Ibid

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 59


Relevansi Ketokohan Driyarkara

sebelum pengamatan itu dilakukan. Reduksi ini juga


dapat diartikan sebagai penyaringan atau pengecilan.
Reduksi ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap
fenomenologis, dimana untuk mengetahui sesuatu,
seorang fenomenolog bersikap netral dengan tidak
menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian
yang telah ada sehingga obyek diberi kesempatan untuk
"berbicara tentang dirinya sendiri".
Istilah lain yang digunakan oleh Husserl adalah
epoche, yang artinya melupakan pengertian-pengertian
tentang obyek untuk sementara dan berusaha melihat
obyek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan
pengertian-pengertian yang ada sebelumnya.
Menurut husserl, benda-benada tidaklah secara
langsung memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang
Kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa
bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang
kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak
membuka tabir yang menutupi hakikat, maka
diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang
digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran
kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha untuk melihat
hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan
pendekatan Reduksi, yaitu penundaan segala ilmu
pengetahuan yang ada tentang objek, sebelum
pengamatan intuitif dilakukan.
Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau
pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah
epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu di
antara dua kurung (metode bracketing). Maksudnya
adalah melupakan pengertian-pengertian tentang objek
untuk sementara, dan berusaha melihat objek secara
langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-

60 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

pengertian yang ada sebelumnya. Dengan kata lain


reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman.
Pengalaman adalah tanah dari mana dapat tumbuh
segala makna dan kebenaran. Ada 3 macam reduksi
yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam
pendekatan fenomenologi itu, yaitu Reduksi
Fenomenologis, Reduksi Eidetis, dan Reduksi
Fenomenologi Transedental.s? Reduksi Fenomenologis
adalah Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif.48
Sikap Kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala
yang harus "diajak bicara". Walaupun demikian,
fenomen itu memang merupakan data, sebab sama sekali
tidak disangkal eksistensinya, hanya tidak diperhatikan.
Namun obyek yang diteliti hanya yang sejauh Kita
sadari.
Hal yang dilakukan oleh Husserl dalam Reduksi
Fenomenologis ini adalah:
1. Dengan "mengurung" atau bracketing yaitu
meminggirkan keyakinan Kita akan totalitas obyek-
obyek dan segala hal yang Kita terlibat dengannya
dari pendirian alamiah ataupun bahkan pengalaman
Kita tentangnya.
2. Menjelaskan struktur dari apa yang tetap ada
setelah dilakukan "pengurungan''.

4 7Lorens Bagus, "Edmund Husserl: Kembali pada Benda-benda ltu


Sendiri", Para Filosof Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h.
90.
48Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), h. 143

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 61


Relevansi Ketokohan Driyarkara

Adapun yang dimaksud sebagai reduksi Eidetis


adalah.e' menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang
obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain.
Maksud reduksi ini ingin menemukan eidos (intisari),
atau sampai kepada weseu-nya (hakikat). Karena itu,
reduksi ini juga disebut toesenchau, artinya di sini, Kita
melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud
Husserl bukan dalam arti umum, misalnya, "manusia
adalah hakikatnya dapat mati", bukan suatu inti yang
tersembunyi, misalnya, "hakikat hidup", bukan pula
hakikat seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti,
"manusia adalah binatang yang berakal". Hakikat yang
dimaksud Husserl adalah struktur dasariah, yang
meliputi isi fundamental, ditambah semua sifat hakiki,
lalu ditambah pula semua relasi hakiki dengan
kesadaran serta objek lain yang disadari. Tujuan
sebenarnya dari reduksi adalah untuk mengungkap
struktur dasar ( esensi, eidos, a tau hakikat) dari suatu
fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan.
Oleh karena itu, dalam reduksi eidetis yang harus
dilakukan adalah jangan dulu mempertimbangkan atau
mengindahkan apa yang sifatnya aksidental atau
eksistensial. Dan caranya adalah dengan "menunda
dalam tanda kurung". Dengan reduksi eidetis ini,
dimana dalam khayalan semua perbedaan-perbedaan
dari sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal suatu
esensi saja.

49N.
Drijarkara, SJ., Percikan Filsafat (Jakarta: PT Pembangunan,
1981), h. 120-121.

62 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

Sementara reduksi Fenomenologis Transedentalsi


adalah dengan menyingkirkan seluruh reduksi
pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh
orang lain harus untuk sementara dilupakan. Kalau
reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala tersebut dapat
memperlihatkan diri menjadi fenomen. Dalam reduksi
yang ketiga ini sudah bukan lagi mengenai objek atau
fenomen, tetapi khusus pengarahan intensionalitas ke
subjek mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai
kesadaran sendiri yang bersifat transedental.
Fenomenologi harus menganalisis dan menggambarkan
cara betjalannya kesadaran transedental.
Disamping Husserl, filsuf lain yang juga terlibat
dalam filsafat fenomenologi adalah Max Scheler. Scheler
juga menggunakan metode Husserl dan tidak berusaha
untuk menganalisa dan menerangkan lebih jauh tentang
suatu obyek dan gejala-gejalanya. Bagi Scheler,
fenomenologi merupakan "jalan keluar" ketidakpuasan-
nya atas logisisme-transendentalis Immanuel Kant dan
Psikologisme Empiris. Dan pemikiran yang paling
utama Scheler adalah tentang fenomenologi etika.
Dalam pandangan Scheler tentang fenomenologi
etis, benda dianggap sebagai "sesuatu" yang bernilai;
oleh karena itu, adalah keliru menginginkan inti nilai
dari benda-benda, atau memandang keduanya dengan
tempat berpijak yang sama. Dunia benda-benda terdiri
atas segala sesuatu, maka dapat dihancurkan oleh
kekuatan alam dan sejarah. Dan jika nilai moral
kehendak kita tergantung pada benda-benda, maka
kehancuran tersebut akan mempengaruhinya.

so Ibid

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 63


Relevansi Ketokohan Driyarkara

Sebaliknya benda itu memiliki nilai empiris, induktif,


dan prinsip yang didasarkan diatasnya bersifat relatif.s]
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana
sebuah prinsip yang universal dan pasti dapat
diturunkan dari realitas yang berubah, yang tidak stabil?
Jika etika benda-benda diterima, prinsip-prinsip moral
akan tertinggal di belakang evolusi sejarah, dan, kata
Scheler, adalah tidak mungkin untuk mengkritik dunia
benda-benda yang ada pada satu jaman tertentu, karena
etika pasti didasarkan pada benda-benda tersebut.
Juga salah, bahwa setiap prinsip etis yang
berusaha untuk menetapkan tujuan yang berkaitan
dengan nilai moral dari hasrat yang terukur. Sebab
tujuan, sebagaimana adanya, tidak pemah baik ataupun
buruk, sebab benda-benda itu bebas dari nilai yang
harus direalisasikan. Dengan model pemikiran seperti
ini, maka menurut Scheler, perilaku yang baik dan yang
buruk tidak dapat diukur dengan menghubungkannya
dengan tujuan karena konsep tentang baik dan buruk
tidak dapat disarikan dari isi empiris tujuan.s2 Jelasnya,
Scheler ingin mengatakan bahwa nilai itu berasal dari
benda-benda, namun tidak tergantung pada mereka.
Dan dari ketidaktergantungan tersebut memungkinkan
benda itu untuk "menyusun" sebuah etika aksiologis
yang sekaligus material dan a priori.
Lebih jelasnya lagi, Scheler mengilustrasikannya
dengan membandingkan "nilai" dengan "warna" untuk
menunjukkan bahwa didalam kasus keduanya terdapat

51Risieri
Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, dialihbahasakan oleh
Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 109
52/bid

64 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Relevansi Ketokohan Driyarkara

persoalan tentang kualitas yang keberadaannya tidak


tergantung pada benda. Scheler mengatakan bahwa
"merah" sebagai kualitas murni dalam spektrum, tanpa
mengalami perlunya untuk mengkonsepsikannya
sebagai yang meliputi permukaan yang berbadan.
Dengan cara yang sama, "nilai" yang terkandung
didalam benda serta pembentukan atas suatu
"kebaikan" tidak tergantung pada benda tersebut.
Menurut Scheler, kita tidak memahami, misalnya nilai
kenikmatan atau estetik melalui induksi yang umum.
Dalam kasus tertentu, satu obyek atau perbuatan
tunggal cukup memadai bagi kita untuk menangkap
nilai yang terkandung didalamnya. Sebaliknya,
kehadiran nilai yang menyertai obyek yang bernilai
memiliki hakekat "baik". Dengan cara ini, kita tidak
memeras keindahan dari benda yang indah; karena
keindahan mendahului bendanya,53 bila dikaitkan
dengan perbuatan manusia, maka menurut Scheler,
manusia bukanlah pencipta nilai tingkah laku karena
nilai-nilai itu berada diluar diri manusia. Lebih lanjut
Scheler mengatakan bahwa tugas manusia adalah
mengakui nilai-nilai itu serta mengikutinya dalam
hidup.

53
Ibid., h. 110

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 65


Relevansi Ketokohan Driyarkara

66 I NATION STA"tE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Nation State

BAB III
NATION STATE

A. Hakikat Negara Bangsa


Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat,
setiap individu maupun kelompok tidak akan pernah
bisa lepas dari hubungannya dengan negara. Negara
selaku lembaga tertinggi dari suatu masyarakat yang
mempunyai hukum legal mempunyai otoritas yang kuat
untuk membuat dan memutuskan kebijakan serta
mengarahkan tindakan dan mengatur rakyatnya.
Namun, meski negara adalah lembaga yang dapat
mengatur dan memutuskan suatu kebijakan yang
ditujukan kepada rakyatnya, dalam hal ini negara
sendiri merupakan hasil "buatan tangan" dari rakyatnya
itu. Negara menjadi semacam alat yang muncul karena
konsensus terteritu sekumpulan masyarakat yang
menghendaki suatu tujuan. Hal senada dilontarkan oleh
Roger H. Soltau bahwa negara adalah alat dan
kekuasaan (wewenang, otoritas) yang dapat

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 67


Nation State

mengendalikan suatu permasalahan atas nama


masyarakatss
Sedangkan pengertian negara bagi Abdurrahman
Wahid adalah sebagaimana pemahaman Ibn Khaldun,
yaitu sebagai setiap bentuk pemerintahan manusia, yang
berdiri dengan ikatan solidaritas (asluzbialt.), yang
penting, suatu negara harus clitegaskan atas banyak pilar
yang mengindahkan keagamaan masyarakat dimana
negara itu dibangun. Fungsi negara adalah sebagai
penyerap heterogenitas masyarakat dan
kepentingannya.ss Negara mestinya menjadi ruang
bertemu antar berbagai heteroginitas kemauan, harapan,
keyakinan bahkan agama dari masing-masing
penduduknya. Semuanya merasa nyaman dengan
pranata-pranata kenegaraan yang clibuatnya.
Oleh sebab itu, negara menjacli means (cara
pencapaian) untuk memperoleh suatu tujuan bersama,
yaitu sebuah kesejahteraan umum dalam masyarakatnya
dengan aturan-aturan dan pengaruh (kekuatan dan
kekuasaan) yang mengikat. Dengan pengertian seperti
itu, maka kedudukan dan hubungan negara atas rakyat
idealnya adalah sebagai tempat di mana terjadi pola
interaksi aktif antarkeduanya untuk menghasilkan
keputusan yang sanggup merepresentasikan semua
golongan. Hal terakhir yang clisebutkan inilah yang

54Miriam
Budiarjo, Dasar-Dasar I/mu Politik (Cet. ke-29;Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 39. lihat pula Sufyanto dan Imam
Musbikin (eds), Fazlurrahman, Cito-Cito Islam, dalam bab "Konsep Negara
Islam: Menumbuhkan sikap Demokrasi Rakyat," (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), h. 129.
55
A. Gafar Karim, Metamorfosis NU don Politisasi Islam Indonesia,
(Jogjakarta: LKIS, 1992), h. 105.

68 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Nation State

membutuhkan sifat "negara kuat" untuk


mewujudkannya. Karena di dalam negara yang
terbentuk, mengandung bermacam-macam kelompok
(golongan) yang masing-masing dari mereka itu
mempunyai suatu pemikiran dan kepentingan yang
berbeda pula.
Perlu diingat bahwa pembentukan negara dapat
terjadi atas dasar persamaan ideologi, cara hidup,
kondisi geografis, adat, maupun budayanya serta faktor-
faktor lain yang mempengaruhi kelompok masyarakat
secara masif. Yang cukup menarik di sini adalah,
bagaimana Nusantara yang pada masa lalu berupa
ratusan kerajaan dengan budaya dan keadaan geografis
yang amat berbeda satu sama lain bisa bersatu
membentuk satu kesatuan. Hal tersebut tentu sangat
berbeda dengan proses pembentukan negara lain, yang
dengan latar budaya, keadaan geografis, maupun
ideologi seperti Pakistan dan India, akan memilih suatu
pilihan mudah untuk membentuk negara yang berbeda.
Karenanya, untuk konteks Indonesia para founding father
bangsa amat menyadari kelemahan sekaligus kelebihan
negara ini. Pembentukan semboyan "Bhinneka Tunggal
Ika" adalah hal yang mencerminkan bahwa betapa
meraka sadar bila pengakuan dan penerimaan terhadap
keragaman merupakan awal pembentukan negara
Indonesia. Semboyang itu pulalah yang mengikat
berbagai etnis dan agama yang ada di Nusantara untuk
tetap eksis dalam negara kesatuan Indonesia. Walaupun
tidak dapat dinafikan jika seringkali muncul gejolak dari
suatu suku untuk dapat lepas dan berdiri sendiri atau
merdeka.
Kembali keperbincangan awal tentang hakikat
dan makna negara dan bangsa. Belum ada kesepakatan

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 69


Nation State

di kalangan ilmuan (sosial) mengenai defenisinya.


Negara atau State dari defenisi yang beraneka itu paling
tidak memuat tiga unsur. Pertama, negara adalah
seperangkat institusi, yang mana intitusi itu diisi oleh
personel negara. Kedua, institusi dari sebuah negara
berada di pusat suatu teritorial yang biasa disebut
societsj. Dalam hal ini negara memiliki dua sisi yakni
memandang "ke dalam", pada kesejahteraan
masyarakatnya secara nasional; dan memandang "ke
luar" yakni pada konteks masyarakat-manusia yang
lebih besar atau yang biasa disebut the others.
Pada dua sisi ini, aktivitas suatu negara sering
kali hanya dapat dipahami dan dijelaskan berdasarkan
aktivitasnya di area lain. Ketiga, negara memonopoli
otoritas pembuatan hukum-hukum dan aturan-aturan di
dalam batas wilayahnya. Monopoli otoritas rm
cenderung mengarah ke penciptaan budaya politik
bersama yang (harus) dianut oleh semua warga negara.s6
Dapat ditekankan bahwa negara sering kali merupakan
sebuah aspirasi ketimbang penciptaan aktual. Ini karena
budaya politik yang dibangun berdiri di atas asumsi
atau kepentingan pribadi dan kelompok. Di sisi lain,
negara kerap tidak mampu memenuhi tujuan utamanya,
yakni bagaimana menciptakan rasa aman dan
kesejahteraan secara penuh, karena adanya kelompok
masyarakat yang memiliki privilage-privactJ serta
pengaruh yang dominan sehingga negara sebagai
institusi seolah tunduk di bawah kelompok ini.

56William
Outhwaite (ed), The Blackwell Dictionary of Modem
Social Thougt, dialibahasakan oleh Tri Wibowo B.S., Kamus Lengkap
Pemikiran Sosial Modern (Edisi 2. Cet. I; Jakarta: Prenada Media Group,
2008), h. 845.

70 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Nation State

Saat ini, konsep negara-bangsa telah menjadi


pengetahuan yang diterima secara apa adanya. apapun
negara yang di diaminya, apapun bangsanya, serta
macam apapun nasionalisme yang dimaksudkannya,
masyarakat di berbagai belahan dunia seolah bersama-
sama telah mengangguk setuju dan menyepakati bahwa
negara-bangsa lengkap dengan ideologi nasionalisme
menjadi bentuk yang 'universal dan satu-satunya' untuk
menyelenggarakan suatu perikehidupan bersama.
Tidak sukar untuk membuktikan hal tersebut.
Coba untuk dicermati, adakah wilayah tempat tinggal di
bumi ini yang belum menjadi klaim atau bagian dari
negara tertentu? Adakah individu manusia yang tidak
menjadi bagian dari golongan bangsa tertentu? Atau,
seberapa banyakkah orang yang berhasil melepas atribut
kebangsaannya dan mengatakan, "aku bukan warga
bangsa manapun, bukan warga negara manapun, sebut
aku 'manusia dunia' saja"? Dapatkah orang yang tidak
menjadi warga negara tertentu, secara sah memperoleh
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
kehidupannya? Adakah bentuk penyelenggaraan
perikehidupan bersama selain negara-bangsa yang
diakui kedaulatannya secara politis dalam kancah
pergaulan internasional? Dapatkah negara-bangsa
bertahan tanpa menganut suatu nasionalisme tertentu?
Mengingat hal-hal di atas, maka tidak berlebihan jika
pemikiran yang lebih diterima oleh khalayak luas saat
sekarang adalah: hidup di dunia ini tanpa negara-bangsa
maupun nasionalisme adalah mustahil dan tidak masuk
akal. Menarik untuk ditelusuri bagaimana hal tersebut
tetjadi; bagaimana konsep-konsep tersebut merasuk
menjadi suatu bentuk 'kenyataan' dan 'kebenaran' yang
diyakini sebagai sesuatu yang "memang sudah begitu

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 71


Nation State

dari awalnya" (taken for granted), sehingga tidak perlu


dipertanyakan ataupun diusik-usik lagi. Padahal,
menilik usia peradaban, secara jujur dapat diakui bahwa
konsep-konsep tersebut tergolong masih muda.
Menurut Anthony D. Smith, seorang ilmuwan
yang dikenal lewat pemikiran-pemikirannya tentang
nasiona-lisme, sejatinya negara-bangsa adalah bentukan
yang rawan, terutama terhadap isu etnisitas dan
disintegrasi. Hal ini sering dijumpai di negara-bangsa
bentukan kolonial atau sering disebut sebagai 'negara
dunia ketiga'. Dirasakan ada bias 'Barat' dalam
pembentukan negara-bangsa maupun konsep
nasionalisme negara dunia ketiga. Bentuk dan konsep
tersebut bagai diadopsi mentah-mentah oleh negara
dunia ketiga, tanpa pemah mempertimbangkan latar
belakang keragaman etnik. Ada juga sinyalemen bahwa
terjadi 'pencangkokan' oleh negara-negara penjajah
terhadap negara dunia ketiga.s7 Negara yang dihasilkan

57
Bandingkan dengan tulisan M. Nurkhoiron, ia memaparkan
mengenai berbagai bentuk kebijakan yang lahir terutama di awal-awal
kemerdekaan Indonesia merupakan wujud dari pengaruh kolonial. Lebih
jauh Nurkhoiron memaparkan bahwa bagi pemerintah kolonial seperti
Belanda selalu menekankan penerapan sistem birokrasl modern di
koloninya, pengelompokan dan pemisahan serta diversitas kultural, etnis
dan agama telah dijadikan sebagai modal kultural produktif bagi kuasa
kolonial. Setelah Indonesia merdeka, Soekarno pun nampaknya mencoba
mengontrol masyarakat meski dalam bingkai persatuan, namun kurang
memberikan perhatian terhadap perbedaan budaya dan etnis, sehingga
kerap muncul gesekan-gesekan kultural dan sosial di beberapa daerah.
Selain itu pemerintahan baru paska kolonial, bayangan masa lalu
nampaknya tidak mudah diretas bersamaan dengan proses perubahan yang
terjadi, seperti halnya pada ketidakmampuan merubah Undang-Undang
warisan kolonlal itu. Lihat M. Nurkhoiron, "Minoritas dan Agenda
Multikulturalisme di Indonesia, Sebuah Catatan Awai" dalam Hok Minoritas

72 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Nation State

pun memiliki karakteristik dan fungsi-fungsi yang


serupa; lembaga yang otonom dan terdeferensiasi untuk
kepentingan publik; memiliki kekuasaan terpusat yang
absah terhadap wilayahnya; serta memiliki monopoli
terhadap kekerasan dan ekstraksi (pengumpulan pajak).
Cara dan rumus yang digunakan untuk
pembentukannya pun berakar dan tidak jauh berbeda
dari 'Barat', antara lain melalui mobilisasi sosial,
asimilasi linguistik, penggunaan media massa dan
sistem pendidikan massal.
Dengan demikian, terbukti bahwa terbentuknya
negara-bangsa bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja.
Ia bukan merupakan suatu perkembangan-
perkembangan alamiah dari tahapan 'evolusi' bentuk-
bentuk penyelenggaraan perikehidupan bersama.
Sebelumnya telah dikenal bentuk komunitas
adat/kesukuan, negara-kota, kerajaan, ataupun dinasti
(imperium) yang kini tergeser. Oleh sebab itu, tidak
perlu taklid buta terhadap bentuk negara-bangsa seperti
yang kita kenal sekarang. sebagai contoh altematif,
misalnya, Smith menawarkan bentuk federasi atau
perserikatan.Saya pribadi memilih untuk
mengembalikan ke akar substansinya. Apapun bentuk
yang dipilih dalam menyelenggarakan perikehidupan
bersama, perlu diingat bahwa bentuk-bentuk tersebut
sekedar menjadi alat petjuangan untuk mencapai
kedaulatan dari para penyelenggaranya itu sendiri. Jika
bentuk-bentuk itu terbukti tidak memadai, jika tetjadi

Multikulturalisme, don Dilema Negara Bangsa, (Jakarta: Yayasan TIFA,


2007), h. 3-4.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 73


Nation State

pemaksaan untuk terlibat dalam bentuk-bentuk tersebut,


jika bentuk-bentuk tersebut justru merampas kedaulatan
dan mengeksploitasi rakyat, apalagi jika bentuk-bentuk
tersebut dijadikan kedok oleh kepentigan-kepentingan
yang menunggangi negara-bangsa kita (baik
kepentingan kapitalisme global maupun komprador-
komprador domestik), juga menghegemoni dan
mengebiri dinamika jiwa-jiwa yang merdeka, maka tidak
ada pilihan lain selain bahwa setiap pribadi perlu
merenung kembali akan arti kemerdekaan yang telah
diperjuangkan oleh para founding father itu.

B. Bagaimana Artikulasinya.
Dalam kenyataan tidak satupun negara di dunia
ini yang tidak heterogen. ltu berarti bahwa mau tidak
mau setiap pribadi warga suatu negara harus mengakui
adanya perbedaan-perbedaan itu, baik perbedaan suku,
agama, budaya maupun ideologi; tanpa dibenarkan
adanya pemaksaan agar orang lain atau kelompok lain
menerima kebenaran yang ada dalam suatu kelompok
tertentu.
Bila di masa perjuangan kemerdekaan,
masyarakat Indonesia dipersatukan dalam semangat
nasionalisme dan patriotisme sebagai warga negara yang
hidup dalam kondisi yang sama, yakni sebagai
masyarakat terjajah, sehingga sama-sama bahu-
membahu untuk dapat lepas atau merdeka demi suatu
tatanan dalam sebuah negara yang bebas mengatur
tatanan normatif negaranya sendiri, maka untuk konteks
saat ini setiap warga negara dipersatuakan (dan
seharusnya memang demikian) oleh perbedaan-
perbedaan yang ada. Artinya, setiap warga negara harus

74 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Nation State

membangun kesadaran bahwa perbedaan merupakan


suatu yang kodrati-tidak dapat dinafikan adanya.
Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, sehingga
penolakan terhadap perbedaan (baca: pluralisme) berarti
pengingkaran terhadap inti dari setiap ajaran Tuhan
(agama) dan juga pengingkaran terhadap adanya
keragaman cuiptaan Ilahi. Islam sendiri mengajarkan
sebagaimana dalam QS. Al Baqarah/2: 62 dan Al
Maidah/ 5: 69, ditegaskan, "Sesungguhnya orang-orang
mukmin, orang-orang Y ahudi, Sabi' in dan orang-orang
Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal
shaleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak pula (mereka) bersedih hati". Ini merupakan
penegasan al-Qur' an terhadap perbedaan. Islam adalah
ungkapan yang memuat makna penyerahan diri kepada
Allah dengan sukarela dan damai. Sikap berserah diri
pada Tuhan dan kebenaran ajaran yang diyakini
mengasumsikan wujud kebebasan dan kemerdekaan,
bebas dari bentuk paksaan. Islam sangat menjunjung
tinggi kebebasan, tak ada paksaan dalam hal keyakinan
(la ikraha ft al-din), demikian ungkapan al-Quran.
Seseorang dikatakan muslim jika memilih dan
melaksanakan ajaran yang diyakininya dengan sukarela,
bebas dari tekanan, ancaman dan paksaan. Pada
awalnya memang pilihan beragama itu sangat
dipengaruhi kultur yang melingkupinya. Namun, pada
akhirnya keberagamaan seseorang mestilah hasil pilihan
sadar dan merdeka.
Sedemikian tingginya Tuhan menghargai
kemerde-kaan manusia yang merupakan puncak kreasi-
Nya, sehingga Dia membiarkan manusia tumbuh dan
menentukan jalan hidupnya tanpa banyak intervensi

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 75


Nation State

sepanjang usianya. Ini semua mengisyaratkan betapa


manusia diberi anugerah kemerdekaan untuk mengisi
dan memaknai jalan hidupnya berdasarkan pilihan
bebasnya dengan berbekal nurani, nalar sehat dan
bimbingan rasul-Nya.
Mengingat suatu pilihan memerlukan proses dan
ruang kebebasan, sangat logis kalau lahir perbedaan. Ini
merupakan konsekuensi dari kebebasan yang diberikan
Tuhan. Manusia diberi umur dan kesempatan memilih
jalan hidupnya namun kemerdekaan yang
dianugerahkan kelak akan diperhitungkan dan Dia
pulalah yang akan membalas amal seseorang
berdasarkan niat dan pilihan bebasnya di akhirat kelak.
Salah satu agenda besar kehidupan berbangsa
dan bernegara yang majemuk ipluralistik sociehJ) adalah
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan
membangun kesejahteraan hidup seluruh warga negara.
Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan hal
tersebut adalah masalah kerukunan. Persoalan ini
semakin krusial karena terdapat serangkaian kondisi
sosial yang menyuburkan konflik sehingga kebersamaan
membangun suatu komunitas terganggu dan
menimbulkan disintegrasi." Kecenderungan disintegrasi
disharmonisasi yang muncul belakangan ini sangat erat
kaitannya dengan faktor perbedaan ideologi dan
keyakinan agama.s9 Demikian halnya kefanatikan
terhadap suatu ideologi, suku, sehingga menganggap
yang lainnya sebagai suatu yang tidak sempurna.

58Said
Agil Husain AI-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Cet
Ill; Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 1.
59Dadang
Kahmad, Sosiologi Agama (Cet. V; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009), h. 147.

76 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Nation State

Kembali kepersoalan artikulasi negara bangsa


dan dengan berdasar pada pemaparan di atas, maka
yang dimaksudkan sebagai negara bangsa adalah suatu
negara yang terdiri dari berbagai macam suku, ras,
agama, budaya dan juga struktur sosial yang berbeda
yang kemudian dibangun, dijaga bersama keutuhannya
dengan mengedepankan persatuan, persaudaraan yang
bukan lagi karena adanya kondisi yang sama dirasakan
oleh setiap warga negara, melainkan perbedaan justeru
menjadi alasan untuk menumbuhkan persaudaraan itu.
Tentunya dengan dasar menumbuhkan kesadaran
kemanusiaan dan memangdang sama pada setiap
individu sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa; a tau adalam
ungkapam Driyarkara "menegara memasyarakat.

C. Relevansi dengan Gagasan Driyarkara.


1. Hominisasi dan Humanisasi
Pemikirannya tentang kemanusiaan dan keindo-
nesiaan masih relevan hingga sekarang. Kunci pokok
pandangan humanisme Driyarkara terletak pada konsep
homo homini socius sebagai titik pijak, proses, dan arah
pemikiran. Ada tiga hal yang mendasari filsafat manusia
ini. Pertama, pengaruh pandangan humanisme yang
tumbuh subur waktu itu. Kedua, keprihatinan akan
situasi historis dan sosiologis Indonesia dalam
kolonialisme dan peziarahan tak berujung untuk
menjadi sebuah bangsa. Ketiga, kecakapan dalam
mensintesiskan pemikiran Barat dan Timur untuk
keindonesiaan dan kemanusiaan. Konsep homo homini
socius ini ia pijakkan dalam konteks historis-kultural
Indonesia.
Pertama, manusia sebagai persona dan sekaligus
subyek. Manusia adalah makhluk yang berhadapan

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 77


Nation State

dengan diri dalam dunianya. Secara rohani, manusia


mampu mengobyektivikasi dan merefleksikan diri.
Melalui kejasmanian atau kebertubuhan, manusia
mampu berinteraksi dalam dunia berupa peradaban.
Oleh karena itu, subyektivitas dan obyektivitas melekat
pada kedirian manusia. Sebagai subyek, manusia
mampu betjarak dan mengevaluasi diri.
Kedua, manusia berdinamika dan menyejarah.
Driyarkara menyebutkan bahwa manusia sebagai
subyek mampu berkehendak dan berbuat. Intinya
adalah manusia berkemampuan (be able to), baik secara
individu maupun kolektif. Karena itu, manusia mencipta
sejarahnya sendiri. Bila ditempatkan dalam konteks
Indonesia, menjadi manusia sekaligus menjadi
Indonesia. Proyek kemanusiaan dan keindonesiaan
adalah proses yang tak pernah paripuma dan selalu
hadir dalam sejarah. lnilah jantung cita-cita Driyarkara.
Ketiga, manusia yang terus menjadi. Driyarkara
mendapat pengaruh besar dari filsafat eksistensialisme
yang memberi tekanan kepada manusia sebagai subyek.
Manusia bukan hanya sebagai makhluk "ada" (being),
melainkan juga makhluk yang "menjadi" (becoming).
Dalam konteks ini, Driyarkara menekankan pada proses
hominisasi, yakni menjadi manusia dalam kehidupan
yang maha luas ini. Karena hominisasi memungkinkan
manusia bebas dari dan bebas untuk. lni adalah
panggilan untuk menjadi subyek dan sekaligus menamai
dunia. Manusia hadir di dunia dikenal sebagai her'' ada"
dan bukan sebagai yang ada.60

60Sutardjo
a. Wiramihardja, Pengantar Filsafat (Cet. Ill; Bandung:
Refika Aditama, 2009), h. 80.

78 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Nation State

Adapun humanisasi adalah bentuk panggilan


altruis bahwa manusia wajib memanusiakan manusia
lain. Oleh karena itu, proses hominisasi dan humanisasi
tak lain adalah serangkaian aktivitas reflektif dalam
memaknai sejarah dan kebudayaannya. Proses menjadi
manusia adalah proyek terus-menerus dan tak pemah
usai. Menurut Driyarkara, menjadi manusia berarti
terlibat bagi orang lain. Kemenjadian ini mengarah pada
keterlibatan yang lebih luas, seperti mewarga,
memasyarakat, dan menegara.e-
Keempat, manusia yang mampu bertransendensi.
Bagi Driyarkara, menjadi manusia yang utuh bukanlah
menjadi superior dalam segala hal. Justru karena
kesanggupan berjarak dengan dirinya sendiri, manusia
mampu mengenali kerapuhan dan keterbatasan diri
sekaligus terarah kepada Tuhan atau Yang Mutlak
sebagai asal sekaligus tujuan. Pada intinya, ajaran
humanisme Driyarkara mengajak kita semua menjadi
subyek yang beriman, berpengertian, berbela rasa, dan
terlibat menjadi bagian dari orang lain dan bangsanya.
Pandangan kenegaraan dan kebangsaan
Driyarkara adalah pandangan yang dibangun atas
fenomena-humanis yang tak lepas dari Pancasila. Bagi
Driyarkara, Pancasila adalah sari pati filsafat manusia
Indonesia. Pancasila bukan hanya dasar negara,
melainkan juga panduan dan cita-cita keindonesiaan.
Indonesia mustahil ada tanpa Pancasila. Maka,
Driyarkara mendudukkan Pancasila justru pada esensi

61A.
Sudiarja, SJ, dkk. peny., Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 607.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 79


Nation State

kemanusiaan bukan sebagai filsafat politik kenegaraan.


Ia juga menempatkan "menjadi Indonesia" sebagai lokus
pemikiran sekaligus keprihatinan yang mendalam. Hal
ini ia tunjukkan dalam tulisan-tulisannya. Bayangan
keindonesiaan yang diprihatinkan Driyarkara juga
bagian dari keprihatinan generasi kekinian kita.
Memotret sebagian dari keindonesiaan ini, merujuk
Aloysius Pieris SJ kondisi Indonesia dan keindonesiaan
tak bisa dilepaskan dari konteks keduniaketigaan
sekaligus keasiaan. Inilah kodrat sosiologis dan historis
yang menuntut panggilan kemanusiaan kita.
Ciri keduniaketigaan. Masyarakat kita ditandai
dengan bukan saja kemiskinan yang bertumpah ruah
(overwhelming poverty), melainkan juga kesenjangan.
Sudah banyak angka statistik menunjukkan hal ini.
Kemiskinan bukan hanya malapetaka ekonomi,
melainkan juga tragedi kemanusiaan. Maka, dalam
konteks ini, panggilan kekinian kita adalah menjadi
subyek yang berbagi, berbela rasa (compassion) pada
penderitaan sesama. Sementara di sisi lain ciri keasiaan
ditandai dengan kereligiusan yang majemuk (multifaceted
religiousness) dan kebudayaan yang beragam (cultural
diversihJ). Kondisi ini dapat menjadi modal sosial
sekaligus berisiko disintegrasi. Indonesia masih
menderita penyakit eksklusivisme, intoleransi, dan
pengucilan.es Peristiwa-peristiwa tersebut melukai dan

62Dalam
bahasa Montgomery Watt bahwa munculnya atau masih
adanya penyakit seperti disebutgkan di atas disebabkan karena sebagian
besar kaum beragama masih terperangkap dalam krisis pencitraan. Lihat
Riaz Hassan, Keragaman Iman, Studi Komparatif Masyarakat Muslim.
Diterjamahkan dari buku asli Faitlines: Muslim Comception of Islam and

80 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Nation State

sekaligus mereduksi kodrat keberagaman dan


kemanusiaan. Maka, panggilan humanisme kita adalah
merekonstruksi dan menghidupi keberagaman sebagai
bagian integral proses mengindonesia.
Hal lain yang cukup merisaukan adalah
gelombang liberalisasi yang tak terbendung. Intinya,
hampir seluruh aspek kehidupan kita dipandu oleh dan
atas nama kebebasan pribadi dan mekanisme pasar.63
Akibatnya, tumbuhnya manusia dan masyarakat
predator. Pihak yang kuat memangsa yang lemah.
Ukurannya, kompetisi, daya beli, dan eksploitasi.
Keagungan pemikiran Driyarkara lahir dari
kesederhanaan hidup, kesahajaan sikap, dan kelugasan
pandangannya. Jalan Driyarkara adalah jalan kesunyian
dan laku tapa keotentikan. Lewat cara itulah, ia
berkontribusi mencerahkan kerisauan bangsanya yang
tidak pernah berhentin dirundung penderitaan, yang
bukan saja karena ketergantungan pada kebijakan-
kebijakan negara lain, tapi juga karena ulah
masyarakatnay sendiri yang tidak mampu hidup
memasyarakat dan menegara, padahal warga Indonesia
adalah warga negara bangsa yang majemuk.
Kebhinnekaan Tunggal lka hanya menjadi semboyang
kosong belaka; tercabik-cabik oleh egoisme
sekelompokm manusia, baik itu dalam kelompok
birokrasi ataupun politik.

Society oleh Jajang Jahroni dkk. (Jakarta: RajaGraf indo Persada, 2006), h.
13.
63M
Sumartono dalam http://print.kompas.com. Akses 9 Agustus
2013.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 81


Nation State

2. Tujuan Negara: Kemakmuran Llmum


Bagi Driyarkara persoalan ini dianalisis dengan
meninjau kedudukan sila Ketuhanan sebagai prinsip
menegara. Ketuhanan tidak bisa menjadi tujuan
langsung dari karya yang kita sebut menegara. Jadi,
sebagai prinsip bukanlah prinsip yang langsung. Dengan
kata lain, negara tidaklah untuk dengan langsung
melaksanakan Ketuhanan. Negara adalah dengan langsung
untuk melaksanakan kesejahteraan umum. Hal ini bisa
merupakan syarat dan alat untuk pelaksanaan sila
Ketuhanan.
Karena pelaksanaan sila Ketuhanan itu ada di
atas aturan negara, maka pelaksanaannya harus
diserahkan kepada religi, yang langsung merupakan
pelaksanaan itu. Jadi, harus diserahkan kepada
kesatuan-kesatuan religi dengan cara dan keyakinannya
masing-masing. Dalam hal ini Driyarkara mencoba
merujuk pada perkataan Bung Karno bahwa Bukan saja
bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan pada Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa al Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut
petunjuk nabi Muhammad saw.
Sekira saja setiap individu tidak terpengaruh
dengan kehendak bebas atau egoisme, maka menurut
Driyarkara kehidupan ini pasti akan berjalan dalam
ruang dan waktu yang dilingkupi kesenagan dan
kebahagian, karena ukuran kebahagiaan hidup tidak
dapat dari seberapa banyak harta yang dimiliki oleh
seseorang, melainkan dapat dilihat dari seberapa luas
seseorang itu dapat hidup dan bergaul dengan orang
lain.

82 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Nation State

3. Sila Kebangsaan dan Gambaran Manusia


Sila ini menurut Driyarkara temyata sukar
diterangkan. Karena istilah saja sudah tak begitu mudah,
karena biasanya prefiks dan sufiks ke-an dipadukan
dengan kata sifat. Namun pada kata kebangsaan ini
justeru dilekatkan pada kata benda (bangsa). Dalam
bahasa Melayu asli susunan itu menurutnya biasa
menunjuk pada tempat: kecamatan, kepastoran. Dalam
bahasa Indonesia, terjadi dengan cara modem sehingga
muncul kata-kata yang tidak biasa seperti: kewanitaan,
kepemimpinan, kewakil-presidenan; demikian juga:
kebangsaan. Bagi orang biasa tentunya sukar
menangkap perbedaan arti antara pimpinan,
pemimpin,dan kepemimpinan.
Lantas dalam kerangka pembentukan kata ini,
arti kebangsaan dinyatakan bahwa kebangsaan adalah
adanya suatu bangsa sebagai bangsa" jadi, keberdirian
II

dari suatu bangsa.


Kesadaran untuk mengikrarkan kebangsaan
orang berarti mengakui identittJ dari bangsa itu. Artinya,
orang mengakui bahwa sejumlah manusia merupakan
suatu kesatuan sosiologis, kebudayaan, sejarah, cita-cita,
dan sebagainya. Jika orang mengakui suatu bangsa
sebagai bangsanya, maka dia mengakui bahwa dia
adalah putra dari bangsa itu. Dia mengatakan: inilah
kebangsaanku, artinya: saya termasuk dalam adanya
sebagai bangsa thet volk zijn) dari bangsa ini.64 Secara
psikologis berarti memiliki keterikatan dengan tanah
bangsanya dimanapun ia berpijak, karena seorang putra
merupakan titisan ruh dari yang melahirkannya. Hal ini

64A.
Sudiarja, SJ, dkk., op. cit., h. 614.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 83


Nation State

tentu saja tidak berarti bahwa orang meniadakan


macam-macam ciri yang khas dari sukunya. Di seluruh
dunia ti.dak ada suatu bangsa yang homogen, artinya
yang di dalamnya ti.dak memuat aneka ragam golongan
atau suku. Jika kita mengingat sifat bhinneka-tunggal
dari negara kita, maka adanya aneka ragam itu sudah
semestinya. Tak mungkinlah saudara-saudara kita dari
Aceh tepat sama saja dengan saudara-saudara dari
Merauke.
Persolan ini dijelaskan oleh Driyarkara lebih
lanjut bahwa Kebangsaan tidak bisa dipisahkan dengan
tanah air. Hal ini bisa diterangkan dengan bermacam
cara, misalnya dengan menunjuk bahwa dalam
prakteknya suatu bangsa mempunyai daerah. Gantilah
sebentar kata tanah air dengan ibu pertiwi. Lihatlah,
dalam cara kita memandang, apa yang disebut tanah air
atau tanah tumpah darah kita anggap sebagai ibu. Kita
kenal kata Mataram, yang artinya sama juga. Sebab itu,
kata tanah air tanah tumpah darah, bisa juga kita ganti
dengan: tanah kandung.se
"Bagaimanakah anak negeri merasakan dirinya
terhadap tanah kandung itu! Tanah itu dipandang
sebagai tempat dia mengalami keamanan, keintiman,
bahagia. Tentu saja kesemuanya ini dicampuri dengan
duka cita sebab hidup manusia bukanlah hidup manusia
kalau tidak dicampuri hati sedih dan air mata. Tetapi,
mungkin justru karena itu orang lebih cinta kepada
tanah airnya. Meskipun selamanya suka dicampur duka,
namun orang bisa memandang dan mengalami tanah
kandungnya sebagai bentuk Geborgenheit, kepastian,

65
Ibid., h. 953.

84 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Nation State

kedamaian dan bahagia. Itulah sebabnya manusia rindu


kepada tanah air."66
Artinya, yang menyebabkan keamanan, dan
bahagia itu bukanlah hanya tanah dan air. Yang
menyebabkan tanah kandung menjadi tanah kandung
ialah bangsanya serta tanah kandung itu. Maka, itulah
sebabnya Driyarkara memandang bahwa Kebangsaan
tak bis a dipisahkan dari tanah air.
Dengan uraian di atas,maka ia menunjuk suatu
corak dari gambaran manusia yang dituntut oleh sila
Kebangsaan, yakni manusia yang mengakui Kebangsaan
sebagai dasar hidup kenegaraan dan melihat dirinya
sebagai suatu anggota dari keseluruhan yang berupa
bangsanya itu. dimana keseluruhan itu bersatu dalam
satu wilayah yang disebut tanah air. Menganggap diri
sebagai putra negara berarti merasa solider dengan
kesatuan bangsa serta wilayah itu. Karena wilayah tidak
bisa dipisahkan dari bangsa, maka dengan satu istilah
yaitu Kebangsaan kami menunjuk diri sebagai putra
bangsa sekaligus pengakuan terhadap teritorial.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana putra bangsa
memandang dirinya itu. tentunya dia harus merasa
bahwa Kebangsaan adalah pemberi daya hidupnya. Dia
dalam Kebangsaan itu laksana bayi yang masih tetap
seperti dalam kandungan. Tapi dalam bangsa itulah
manusia kemudian menjadi manusia. Dengan ungkapan
lain bahwa manusia tidak boleh melupakan bahwa ia
selalu dalam konteks bangsa dimana ia tidak bisa hidup
tanpa bangsa itu. sekalipun secara fakta pula bahwa
manusia dapat saja berpindah ke dalam bangsa lain.

66
/bid.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 85


Nation State

Tetapi, dalam kebang-saanku yang baru itu orang


pindahan juga masuk dalam konteks tersebut di atas.
Jika tidak, dia tidak akan bisa hidup di situ.67 ltu bearti
kemanapun manusia itu pindah maka ia akan selalu
terikat dengan bangsa dimana ia berpijak, dan tentu saja
harus pula menjunjung tinggi nilai-nilai yang
perpegangi oleh bangsa itu.
Dengan ini, kita sampai ke suatu sisi lain.
Driyarkara melihat jika putra bangsa tidak hanya berada
dalam konteks, dia harus juga melekatkan diri kepada
konteks itu dengan cinta yang menyebabkan dia
sungguh-sungguh ikut serta dalam semua
penyelenggaraan kebaikan dan perbaikan di negara itu
dalam semua lapangan yang mungkin untuk yang
bersangkutan.
Berhubung dengan dedication mustahillah
gagasan yang ingin mengharuskan supaya segala-
galanya, supaya semua suku diseragamkan, supaya
semua aktivitas diatur negara. Dalam pelaksanaan yang
membangun itu harus ada bhinneka tunggal. Warga
negara harus bisa dan boleh bekerja sebagai orang
dewasa, tanpa diikat-ikat atau dipaksa oleh bermacam
peraturan. Menurutnya ini terjadi mungkin karena
kurangnya kedewasaan dalam menegara, sehingga
penuh dengan bermacam peraturan, undang-undang,
dan sebagainya, yang musti mengikat namun tetap saja
dilanggar baik secara sadar maupun tidak sadar.

67/bid., h. 955-956.

86 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasionalisme

BAB IV
KEJATUHAN
NASIONALISME

A. Hidup Menegara
Dalam perbincangan kali ini bukan hendak
membicarakan tentang me-negara dalam kaintannya
dengan konsep negara hukum, karena ketika berbicara
dalam tataran ini berarti memperbincangkan negara
dengna segala aturan-aturan yang dijalankan dengan
mengutamakan unsur-unsur ketertiban hukum,
sekalipun harus dijalankan secara paksa sehingga
berpotensi untuk berbenturan dengan hak-hak dasar
manusia. Karena negara dalam arti rule of law, selain
memproteksi hak-hak dasar manusia juga membatasi
pelaksanaan hak dan kebebasan masyarakatnya.es

68Munir
Fuady, Konsep Negara Demokrasi (Cet. I; Bandung: Reflka
Aditama, 2010), h. 20.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONAUSME I 87


Kejatuhan Nasionalisme

Perbincangan dalam pembahasan ini adalah sebuah


perbincangan filosofis dengan melihat sisi lain dari
hidup yang dijalani secara bersama dalam suatu batas-
batas teritorial.
I
Dalam pandangan Driyarkara, negara adalah
kehidupan, gerak dan juga aksi. Dalam hal ini ia tidak
menggunakan istilah bemegara sebagai suatu istilah
yang paling sering digunakan, karena istilah bemegara
atau memiliki negara mengandung makna seolah-olah
negara itu merupakan sesuatu yang berdiri sendiri di
luar perbuatan manusia. Sementara yang dinginkan
adalah manusia sebagai bagian dari komunitas atau
masyarakat menegarakan diri sendiri, dengan sesama
manusia dan tanahnya dengan seluruh kondisinya.
Menegara adalah aksi bersama yang mengandung
makna kesatuan. Setiap orang atau warga terlibat dalam
memainkan peran yang sedang dilakonkan oleh negara;
setiap individu-sekalipun berbuat secara individu
namun-dalam kesatuan melakukan keaksian dalam dan
karena berbuat. Artinya, apapun tindakan individu itu
adalah tindakan menegara; setiap individu merupakan
bagian dari kita dan kita pun adalah bagian dari
individu itu.'
Dasar dari keaksian bersama itu ialah kesosialan
yang dijalankan dalam berbagai macam cara dan bentuk,
namun aneka cara itu tetap dalam batas nilai-nilai
kemanusiaan, bukan dalam tindakan sebebas-bebasnya.
Karena tindakan yang tidak terkontrol atau
memperturutkan nafsu kebebasan merupakan dasar

88 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasionalisme

lahimya kejahatan dan dosa.s? Dengan mengingat batas-


batas ini dapat dikatakan bahwa negara adalah
organisasi atau kesatuan kerja sama untuk
melaksanakan dan mewujudkan nilai-nilai manusia.
Menegara atau penegaraan adalah percakapan
antarmanusia, yakni dengan segenap kemampuannya
bersama untuk hidup bersama, memikul beban bersama,
melakukan kewajiban bersama, memperjuangkan hidup
dan kelansungan eksistensi negara secara bersama-sama.
Ini yang disebut Driyarkara dengan istilah percakapan
antarmanusia di atas, bahkan secara lebih luas ia
mengharapkan terbangunnya percakapan dengan alam.
Membangun percakapan dengan alam berarti
mengamati cara kita berada. Karena ada kita itu berupa
ada bersama, maka dengan sendirinnya manusia itu
membangun kelompok, yang dengan sendirinya menjadi
faktor-faktor yang menentukan pembangunan. Faktor
banyak yang tidak dapat ditentukan jumlah dan
pengaruhnya dengan jelas. Suku, keadaan geografis,
iklim, potensi dari tanah yang diduduki, berbagai
macam kejadian dalam sejarah, aksi dan reaksi bersama
yang terus-menerus terhadap bangsa-bangsa asing, nasib
bersama dan lain sebagainya. semua itu berlansung
dengan proses yang berjalan lama, dan menjadi
penyebab lahirnya organisasi manusia (besar atau kecil)
serta lembaga-lembaga struktural hingga menjadi satu
bangsa.

69
Menurut Agustinus {354-430 M), sumber kejahatan adalah dosa
yang lahir dari kehendak bebas. lihat Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar
Filsafat (Cet. Ill; Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 66.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 89


Kejatuhan Nasionalisme

Dalam hidup bersama yang lama dalam keadaan


dan kejadian-kejadian yang dialami bersama itu
timbullah cara menghadapi dan menerima tantangan
yang sama pula. Dengan demikian, timbulah
kebudayaan yang sama, kesadaran yang sama, perasaan
yang sama, cara-cara hidup yang sama. Dengan singkat,
semua itu disebut Tanah Tumpuh Darah, atau lbu
Pertiwi, yang mana manusia itu sangat ditentukan oleh
ibu pertiwinya. Karenanya, Driyarkara memandang
bahwa pengakuan terhadap Tanah air itu adalah prinsip
dari adaku. Berada selalu berarti berada sebagai putra
dari suatu tanah air. Dengan demikian, menegara pada
konkretnya berarti menegara pada suatu tanah air, yang
juga bermakna penegaraan dari suatu bangsa. Oleh
sebab itu, sudah sewajamya bahwa kebang-saan menjadi
prinsip penegaraan. Kebangsaan adalah suatu cara dari
ada bersama. Berada bersama sebagai bangsa belum
tentu berarti menegara, misalnya karena dijajah oleh
bangsa lain. Akan tetapi, jika bangsa itu merdeka dan
menegara sudah dengan sendirinyalah kebangsaan
menjadi dasar penegaraan itu. Bangsa berarti kesatuan
kultural, kesatuan ekonomis, kesatuan geografis,
kesatuan sejarah; menegara berarti memperkembangkan
kesemuannya itu.10
Untuk lebih menyelami timbulnya kebangsaan
dari eksistensi manusia, sekali lagi perlu diingat bahwa
ada kita itu berarti ada bersama. Hal ini tidak terbatas.
Kita ada bersama dengan seluruh jenis manusia. Karena

70A.
Sudiarja, SJ, dkk. peny., Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 845-846.

90 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasionalisme

itu, permasyarakatan kita itu juga de jure, meliputi


seluruh jenis manusia. Akan tetapi, karena terbatasnya
cara-cara memasyarakat, berhubung dengan keadaan
yang konkret, maka masyarakat yang umum itu
dilaksanakan dalam masyarakat yang lebih kecil, Oleh
karenanya, pelaksanaan itu berdasarkan perkelompokan
yang kita sebut Bangsa.
Namun jika kelompok itu kemudian berkembang
menjadi besar, dengan segala perangkat dan sistem yang
mengatur kehidupan serta diterima sebagai suatu
norma, maka timbullah bentuk masyarakat yang disebut
negara.?' Memasyarakat berarti menegara, yang berarti
pula ada bersama dengan cinta. Karenanya dengan
pandangan seperti rm yang diperlukan adalah
membangun sebuah prinsip demokrasi, dimana setiap
warga dipandang dan diterima sebagai person menurut
ketinggiannya sebagai person, dengan semua hak-hak
yang asasi dan melekat padanya. Namun, hak-hak itu
harus dijalankan dan digunakan untuk menegara
bersama dengan segala keragaman dan bangsa yang ada.

B. Makna Kebangkitan dan Kejatuhan Nasionalisme


Nasionalisme berasal dari kata nation yang
berarti bangsa. Kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan
orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan
sejarahnya serta pemerintahan sendiri; (2) golongan
manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang
mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang
sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang
biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan

"tu«, h. 843.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 91


Kejatuhan Nasionalisme

kebudayaan dalam arti. umum, dan yang biasanya


menempati. wilayah tertentu di muka bumi.72 Beberapa
makna kata bangsa diatas menunjukkan arti. bahwa
bangsa adalah kesatuan yang ti.mbul dari kesamaan
keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat.
Pengerti.an ini berkaitan dengan arti. kata suku yang
dalam kamus yang sama diarti.kan sebagai golongan
orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan
bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar.
Beberapa suku atau ras dapat menjadi
pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak
untuk bersatu yang diwujudkan dalam pembentukan
pemerintahan yang ditaati. bersama.Kata bangsa
mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis-
sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian
antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat
yang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri
sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut
merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan
adat istiadat. Pengerti.an ini memungkinkan adanya
beberapa bangsa dalam sebuah negara dan sebaliknya
satu bangsa tersebar pada lebih dari satu negara.
Sementara dalam pengertian politis, bangsa
adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan
mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai
suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa
(nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian
menjadi pokok pembahasan nasionalisme. lstilah

72
William Outhwaite (ed), The Blackwell Dictionary of Modem
Social Thougt, dialibahasakan oleh Tri Wibowo B.S., Kamus Lengkap
Pemikiran Sosial Modern (Edisi 2. Cet. I; Jakarta: Prenada Media Group,
2008), h. 544.

92 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasionalisme

nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa


Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran)
untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan
kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara
potensial atau aktual bersama-sama mencapai,
mempertahankan, dan mengabadikan identitas,
integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.
Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan
keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan
atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah.73 Istilah
nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin
yang berarti "lahir di", kadangkala tumpang tindih
dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik.74
Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya
digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan
keturunan di luar konteks politik.
Di Indonesia, nasionalisme melahirkan Pancasila
sebagai ideologi negara. Perumusan Pancasila sebagai
ideologi negara terjadi dalam BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di
dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide yang
merupakan perkembangan dari pemi.kirannya tentang
persatuan tiga aliran besar: Nasionalisme.rs Islam, dan

"tu«, h. 552.
74Clifford
Geertz mendefinisikan bahwa etnik terbentuk dari faktor
primordial seperti keterikatan biologis, yang dapat dilihat dan dievaluasi
dari persamaan ciri fisik dan ciri kultural. Karenanya, ciri fisik menjadi bagian
dari ciri kultural. Lihat ibid., h. 283.
75Dominasi
kaum agamawan di Barat terhadap masyarakat
melahirkan gerakan dan prates di berbagai belahan dunia Barat itu.
sedangkan di dunia politik, dominasi kaum agamawan kemudian melahirkan
gagasan pembentukan nation-state, sebagai sikap antiagama di pihak kaum
politisi Barat. Gagasan kebangsaan itu kemudian menarik perhatian Bung

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 93


Kejatuhan Nasionalisme

Marxis. Pemahamannya tentang tiga hal ini berbeda


dengan pemahaman orang lain yang mengandaikan
ketiganya tidak dapat disatukan.
Bagi Soekarno menilai bahwa Islam telah
menebalkan rasa dan haluan nasionalisme. Cita-cita
Islam untuk mewujudkan persaudaraan umat manusia
dinilai Soekamo tidak bertentangan dengan konsep
nasiona-lismenya. Pemisahan itu tidak berarti
menghilangkan kemungkinan untuk memberlakukan
hukum-hukum Islam dalam negara, karena bila anggota
parlemen sebagian besar orang-orang yang berjiwa
Islam, mereka dapat mengusulkan dan memasukkan
peraturan agama dalam undang-undang negara. Itulah
cita ideal negara Islam menurut Soekamo. Dengan dasar
pemikiran itulah, Soekarno mengusulkan lima asas
untuk negara Indonesia merdeka. Kelima asas itu
adalah: (1 )Kebangsaan Indonesia, (2) Intemasionalisme
atau peri kemanusiaan, (3)Mufakat atau demokrasi,(4)
Kesejah-teraan sosial,(5) Ketuhanan.
Usulan ini menimbulkan perbedaan pendapat
antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam dan
mendorong pembentukan sub panitia yang terdiri dari
empat orang wakil nasionalis sekuler dan empat orang
wakil nasionalis Islam serta Soekamo sebagai ketua
sekaligus penengah. Pertemuan sub panitia iru
menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan
Piagam Jakarta. Usulan Soekamo menjadi inti dari

Karno dan sejumlah pemimpin lain di Indonesia, sehingga mengadopsi


gagasan tersebut sebagai gagasan perjuangan di Indonesia yang kemudian
dirumuskan menjadi nasionalisme Indonesia. Lihat Anwar Harjono,
Perjalanan Politik Bangsa: Meno/eh Ke Belakang Menatap Maso Depan (cet.
I; Jakarta: Gema lnsani Press, 1997), h. 28.

94 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasionalisme

Piagam Jakarta dengan beberapa perubaharuze urutan


kelima sila dan penambahan anak kalimat pada sila
ketuhanan. Akhirnya anak kalimat yang tercantum
dalam Piagam Jakarta diubah menjadi "Ketuhanan Yang
Maha Esa", yang kemudian menjadi bentuk akhir
Pancasila dasar bagi nasionalisme Indonesia yang
sekuler religius.

• Nasionalisme Pancasila
Pada prinsipnya nasionalisme Pancasila adalah
pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia
terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada
nilai-nilai Pancasila. Prinsip nasionalisme bangsa
Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan
agar bangsa Indonesia senantiasa:
1. menempatkan persatuan-kesatuan, kepentingan
dan keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau kepentingan golongan
2. menunjukkan sikap rela berkorban demi
kepentingan bangsa dan negara
3. bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air
Indonesia serta tidak merasa rendah diri
4. mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan
kewajiban antara sesama manusia dan sesama
bangsa
5. menumbuhkan sikap saling mencintai sesama
manusia
6. mengembangkan sikap tenggang rasa
7. tidak semena-mena terhadap orang lain
8. gemar melakukan kegiatan kemanusiaan

76/bid.,
h. 49.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 95


Kejatuhan Nasionalisme

9. senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan


10. berani membela kebenaran dan keadilan
11. merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian
dari seluruh umat manusia
12. menganggap pentingnya sikap saling menghormati
dan beketja sama dengan bangsa lain.

Dalam zaman modem ini, nasionalisme merujuk


kepada amalan politik dan ketentaraan yang
berlandaskan nasionalisme secara etnik serta
keagamaan. Para ilmuwan politik biasanya
menyandarkan penyelidikan mereka kepada
nasionalisme yang ekstrem seperti, nasional sosialisme,
pengasingan dan sebagainya. Nasionalisme dapat
menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara
atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan
pendapat warga negara, etnis, budaya, keagamaan dan
ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan
kebanyakan teori nasionalisme yang mencampuraduk-
kan sebahagian atau semua elemen tersebut, seperti
nasionalisme kenegaraan (nasionalisme sipil),
nasionalisme etnis, nsionalisme romanti/ identitas,
nasionalisme budaya, nasionalisme agama dan
kenegaraan.

• Strategi untuk menguatkan rasa Nasionalisme


Semangat nasionalisme sangat diperlukan dalam
pembangunan bangsa agar setiap elemen bangsa beketja
dan betjuang keras mencapai jati diri dan kepercayaan
diri sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Jati diri
dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa ini
merupakan modal yang kuat dalam menghadapi
berbagai tantangan dan hambatan di masa depan.

96 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasianalisme

Penguatan semangat nasionalisme dan dalam konteks


globalisasi saat ini harus lebih dititikberatkan pada
elemen-elemen strategis dalam percaturan global. Oleh
karena itu, strategi yang dapat dilakukan antara lain:
1. Penguatan peran lembaga-lembaga sosial
kemasyarakatan dalam ikut membangun semangat
nasionalisme, terutama di kalangan generasi muda.
Generasi muda adalah elemen strategis di masa
depan. Mereka sepertinya menyadari bahwa dalam
era globalisasi, generasi muda dapat berperan
sebagai subjek maupun objek.
2. Penguatan semangat nasionalisme pada masyarakat
yang tinggal di wilayah-wilayah yang dalam
perspektif kepentingan nasional dinilai strategis
3. Penguatan semangat nasionalisme pada masyarakat
yang hidup di daerah rawan pangan (miskin),
rawan konflik, dan rawan bencana alam.
4. Peningkatan apresiasi terhadap anggota atau
kelompok masyarakat yang berusaha melestarikan
dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa.
Demikian pula dengan anggota atau kelompok
masyarakat yang berhasil mencapai prestasi yang
membanggakan di dunia intemasional.
5. Peningkatan peran Pemerintah dan masyarakat RI
dalam ikut berperan aktif dalam penyelesaian
berbagai persoalan regional dan internasional,
seperti: penyelesaian konflik, kesehatan, lingkungan
hidup, dan lain-lain

• Membangkitkan Rasa Nasionalisme dalam Keragaman


Di Republik Indonesia kita ini tidak mengenal
adanya perbedaan etnis, siapakah dia dan dari rumpun
manakah dia berasal yang jelas itulah Indonesia, yang

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 97


Kejatuhan Nasionalisme

melalui Kongres Pemuda Tahun 1928 di Jakarta diikat


dengan semangat Sumpah Pemuda. Ber Tanah Air yang
Satu, Tanah Air Indonesia. Berbangsa yang Satu, Bangsa
Indonesia. Dan Berbahasa yang Satu, Bahasa Indonesia.
setiap kelompok bebas dari diskriminasi.'?
Berangkat dari itu semua, marilah untuk selalu
berpegang kepada semangat ber-Bhinneka Tunggal Ika
yang merupakan semboyan pemersatu bangsa sejak
dulu. Hilangkan pikiran-pikiran baru yang rusak dan
tidak bertanggungjawab atas upaya untuk melakukan
suatu pergeseran makna rasa kebersamaan dalam
Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Semua harus sadar bahwa ketika hak azasi seseorang
yang terlahir dan berasal-usul dari wilayah negeri yang
terbentang dari Sabang hingga Merauke ini juga
memiliki hak dan kewajiban serta tanggungjawab yang
sama atas bangsa dan negaranya. Oleh karena perlu
kiranya menghargai keragamanan, tentunya dimanapun
tetjadinya pesta demokrasi baik di pusat atau di daerah,
hendaknya menjadi ajang aspirasi yang paling
demokratis tanpa dibayangi atau dihantui serta diracuni
dengan pikiran-pikiran sempit dari sebagian atau
sekelompok orang tertentu yang hendak memudarkan
semangat Nasionalisme dalam konteks berbangsa dan
bemegara.
Dengan memegang semangat nasionalisme yang
tinggi atau menghargai sebuah keragaman seperti yang
dimaksudkan di atas, maka pada akhirnya nanti

771rfan Abubakar, "Pluralisme Indonesia mestinya diarah-kan oleh


nilai bukan oleh politik," dalam situs resmi \Kantor Berita Common Ground
(CG News); www.commonqroundnews.org. Akses tanggal 27 / 09/ 2013.

98 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasionalisme

masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi


benar-benar akan menikmati pesta demokrasi ini secara
lansung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil
sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

• Pengarub Globalisasi ierhadap Nilai-Nilai Nasionalisme


Kehadiran globalisasi tentunya membawa
pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk
Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi, yakni
pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh
globalisasi juga merasuk dalam berbagai bidang
kehidupan, termasuk kehidupan politik, ekonomi,
ideologi, sosial budaya dan lain sebagainya. Hal ini
tentunya akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme
terhadap bangsa. Teknologi informasi dan komunikasi
merupakan faktor pendukung utama dalam globalisasi.
Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat
sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan
kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh
karena itu globalisasi tidak dapat dihindari
kehadirannya, bahkan menjadi keharusan.
Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan
dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena
pemerintahan merupakan bagian dari suatu negara, jika
pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis
tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat.
Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme
terhadap negara menjadi meningkat. Dari aspek
globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional,
meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan
devisa negara. Semakin terbukanya pasar internasional
ini akan membuka peluang besar kerja sama dalam

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 99


Kejatuhan Nasionalisme

sektor perekonomian nasional. Dengan adanya hal


tersebut akan semakin meningkatkan kehidupan
ekonomi bangsa guna menunjang kehidupan nasional
bangsa dan Negara.
Pengaruh adanya globalisasi dalam sektor sosial
budaya, dapat dijadikan pola berpikir yang baik. Seperti
membangun etos kerja yang tinggi dan disiplin, serta
meniru Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dari
bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan
kemajuan bangsa. Pada akhirnya, akan membawa
kemajuan bangsa serta mempertebal rasa nasionalisme
terhadap bangsa.
Namun perlu disadari bahwa selain berdampak
positif, munculnya globalisasi juga berdampak negatif
yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan.
Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia
bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan
kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan
berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi
liberalisme. Jika hal tersebut terjadi akibatnya rasa
nasionalisme bangsa akan hilang.
Munculnya globalisasi juga berdampak pada
aspek ekonomi. Yakni, semakin hilangnya rasa cinta
terhadap produk dalam negeri. Sebab, sudah semakin
banyaknya produk luar negeri yang membanjiri dunia
pasar di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta
terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala
berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita
terhadap bangsa Indonesia. Masyarakat, khususnya
anak muda, banyak yang lupa dengan identitas diri

100 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasionalisme

sebagai bangsa Indonesia." Karena gaya hidupnya


cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat
dunia dianggap sebagai kiblat. Selain itu, globalisasi juga
mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam
antara orang kaya dan miskin. Ini disebabkan karena
adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi.
Pengaruh-pengaruh di atas memang tidak secara
langsung berdampak terhadap nasionalisme. Akan
tetapi, secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa
nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau
bahkan hilang. Sebab, globalisasi mampu membuka
cakrawala masyarakat secara global. Apapun yang ada
di luar negeri dianggap baik serta mampu memberi
aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di
negara kita. Berdasarkan analisa dan uraian di atas,
pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada
pengaruh positifnya. Oleh karena itu, diperlukan
langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif
globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
Pertanyaannya sekarang apakah
nasionalisme Indonesia pun akan segera berakhir?
Nasionalisme Indonesia, yakni sebuah penegasan akan
identitas diri versus kolonialisme-imperialisme.
Kesadaran sebagai bangsa yang adalah hasil konstruksi

78Globalisasi
dan modernisme memunculkan terma-terma konsep
internasionalisme dan kosmopolitanlsme sehingga mendobrak berbagai
batasan seperti budaya, tradisi, etnls dan bahkan pada tataran politis
meruntuhkan rasa nasionalisme. Dengan kata lain bahwa globalisasi dan
modernisasi adalah keunggulan global atas kebudayaan lokal. lihat Bryan S.
Turner, Runtuh Universalitas Sosio/ogi Barat: Bongkar Wacana Atos: Islam
Vis A Vis Barat, Orientalisme, Posmodernisme, dan G/oba/isme.( cet. I;
Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 248.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 101


Kejatuhan Nasionalisme

atau bentukan mengandung kelemahan internal yang


serius ketika kolonialisme dan imperialisme tidak Iagi
menjadi sebuah ancaman. Karena itu, nasionalisme kita
akan ikut lenyap jika berhenti mengkonstruksi atau
membentuknya- tanpa harus menyebutnya sebagai
sebuah nasionalisme baru. karenanya perlu dibangun
sikap seperti berikut Pertama, beberapa pengalaman
kolektif seharusnya menjadi "roh baru" pembangkit
semangat nasionalisme Indonesia. Kedua, negara
Indonesia sangat plural Identi.fikasi sebuah kelompok
etnis atau agama pada identitas kolektif sebagai bangsa
hanya mungkin terjadi kalau negara mengakui,
menerima, menghormati, dan menjamin hak hidup
mereka. Masyarakat akan merasa lebih aman dan
diterima dalam kelompok etnis atau agamanya ketika
negara gagal menjamin kebebasan beragama- termasuk
kebebasan beribadah dan mendirikan rumah ibadah,
persamaan di hadapan hukum, hak mendapatkan
pendidikan yang murah dan berkualitas, hak
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak,
dan sebagainya.
Tantangan bagi nasionalisme Indonesia ke depan
adalah bagaimana kita mewujudkan sebuah negara
kebangsaan yang bersifat liberal-demokratis di mana
hak-hak dasar setiap warga negara diakui, dihormati,
dan dijamin, di mana hukum ditegakkan secara pasti
dan adil, di mana negara mewujudkan kesejahteraan
umum, dan sebagainya. Itulah alasan dasar tekad para
pemuda ketika memproklamirkan Sumpah Pemuda,
yakni menjadi satu Indonesia demi mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur.

102 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasiona/isme

C. Relevansinya dengan Gagasan Driyarkara


1. Sikap Nasional atau Kebangsaan
Driyarkara memandang soal kebangsaan sebagai
sesuatu yang sangat berkomplikasi. Karena jika
berbicara tentang bangsa maka setiap ilmuan memeli.ki
persepsi yang berda-beda. Namun ia melihat bangsa
sebagai satu wilayah. Untuk praktisnya boleh kita
katakan bahwa semua orang di wilayah itu, yang bukan
orang asing, yang bukan frem Korper dimasukan dalam
nasion atau bangsa itu. Secara positif harus dikatakan
bahwa orang-orang yang bukan asing dan bukan frem
Karper (seperti batu dalam badan) itu mengintegrasikan
dan mengasimilasikan diri sehingga kesatuan, meskipun
mungkin masih mempunyai corak sendiri.
Bangsa dipandang dalam arti kultural, historis,
ekonomis (dan mungkin juga untuk sebagian besar ras).
Dalam arti luas, bangsa seperti Amerika merupakan satu
nasion, tetapi ada banyak negara di dalamnya.
Sebaliknya, negara seperti Indonesia memuat beberapa
nasion atau bangsa. Karena itu menurutnya, bangsa juga
dapat dilihat dalam arti kesatuan kenegaraan.
Lebih dalam ia mengupas ji.ka kebangsaan
sebagai dasar negara berarti kesatuan yang ada. Yang
didasarkan pada: hubungan darah, sejarah ekonomis,
geografis, kebudayaan, dan seterusnya. Kesatuan yang
ada itu dijadikan kesatuan negara. Untuk mengatakan
apa yang disebut sikap nasional, ia lebih senang
menyatakan bahwa kebangsaan itu merupakan bentuk
Perikemanusiaan yang konkret, yang terdekat, yang
tidak bisa dipisahkan dari sila Perikemanusiaan. Karena
secara de jure manusia itu terhubung dengan seluruh
bangsa Genis) manusia, tetapi bahwa secara de facto dia
tidak mungkin dihadapkan pada keseluruhan itu.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 10�


Kejatuhan Nasionalisme

Kenyataannya dia berhadapan dengan kelompok yang


lebih kecil.79
Lantas, apakah artinya sikap nasional? Ia
menerangkan bahwa sikap nasional atau nasionalisme
yakni menerima kesatuan yang ada. itu menjadi objek
dari kebaikan. Jadi, dengan sikap itu mausia sanggup
ikut serta menyelenggarakan, menyempurnakan
keselamatan dari apa yang disebut nasion itu. Artinya
seorang tidak menghadapi seluruh wilayah dan semua
orang dari wilayah itu. Tetapi secara de jure seorang bisa
memegang puncak pi.m.pinan yang sedemikian rupa
sehingga perbuatannya mengenal seluruh wilayah dan
seluruh nasion. Misalnya, seorang menteri berada dalam
posisi ini. Selain menteri, ada juga orang yang secara
normatif bisa ditempatkan dimana-mana, sebagai
pelaksana pemerintahan.so Yang paling penting dalam
soal ini, menurutnya ialah semua warga harus selalu
memandang seluruh kepentingan nasion. Dengan
demikian, sikap nasional menuntut bahwa setiap warga
negara harus memandang person atau orang lain sebagai
person dengan segenap hak-haknya, serta harus
mengutamakan keselamatan nasion, keselamatan
bangs a.
Tujuan yang hendak dicapai oleh Driyarkara
dengan ini semua adalah lahimya koreksi terhadap
pandangan orang-orang yang lebih melihat individu
daripada melihat kebangsaan, karena mungkin saja di
mata orang seperti ini kebangsaan tidak tampak secara
konkret. Lebih-lebih terhadap pelaksana pemerintahan

79
A. Sudiarja, SJ, dkk., op. cit., h. 897.
80
/bid.

104 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasionalisme

di level nasional, mereka perlu mempun seyogyanya


mempuyai visi yang sehat. Dalam politik bisa tetjadi
bahwa partai terus mempertahankan menterinya,
meskipun menteri itu terbukti tidak cakap, korupsi, dan
sebagainya. Sikap yang demikian itu bagi Driyarkara
merupakan sikap yang tidak nasional.
Untuk itu ia menyarankan agar orang sadar
bahwa dengan pekerjaan sehari-hari orang terebut, maka
ia turut serta mengayomi seluruh bangsa. Sebab,
selamat dan sejahteranya seluruh bangsa pada akhirnya
berbuah keselamatan bagi generasinya. Singkatnya,
bahwa setiap yang kita lakukan akhirnya merupakan
pengabdian kepada bangsa.

2. Nasionalisme-Internasionalisme
Tanggung jawab menyelamatkan generasi
merupakan yang asasi bagi setiap individu, dan bukan
hanya tanggung jawab lembaga seperti institusi
pendidikan, tanpa memandang untuk siapa dan dalam
kondisi bagaimana yang akan dihadapi generasi itu.
Karena secara de jure masyarakat manusia itu tidak
terbatas, melainkan meliputi seluruh jenis manusia,
maka setiap individu, bangsa-bangsa dan negara harus
berusaha untuk melaksanakan masyarakat yang besar
itu. ini mengindikasikan bahwa kodratnya, nasionalisme
itu menuju intemasionalisme, negara-negara menuju ke
kesatuan yang mondial (meliputi seluruh dunia).
Akan tetapi, menurut Driyarkara bahwa semua
itu harus merupakan pelaksanaan cinta kasih, jadi harus
merupakan pelaksanaan Perikemanusiaan, bukan
menjajah, memaksakan ideologinya, menginjak-injak
hak asasi dan sebagainya. Seperti yang telah dijelaskan
bahwa semua orang harus saling menerima dan

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 105


Kejatuhan Nasionalisme

menghormati hak-hak asasi, kemerdekan, kehidupan


nasional, dan hal-hal khusus lainnya. Dengan demikian,
akan timbullah "Bhinneka Tunggal Ika" internasional.
Karena dengan demikan, seluruh jenis manusia
melaksanakan diri, menjalankan Mit-sein-nya. Oleh
karenanya, cita-cita itu (bhinneka tunggal ika) disebut
juga Perikemanusiaan. Di siru Perikemanusiaan
mempunyai arti yang khusus, yang dianjurkan adalah
suatu kebajikan yang khusus, hubungan antar-bangsa
yang baik.Bt
Dalam uraian di atas maka sesuai dengan
Pancasila, tampaklah makna empat sila dari kodrat
manusia. Tampak juga bahwa empat itu sebetulnya
adalah pemerincian dari satu, yaitu ada-bersama-dengan-
cinia-kasih. Jika berefleksi tentang diri kita sendiri sebagai
manusia, maka itulah yang terlihat pertama. Yang
tampak itu bukanlah tontonan di depan kita, melainkan
melihat realitas kita sendiri, realitas manusia. Tampak di
sini dibarengi dengan membebankan, mewajibkan,
artinya itulah realitasku sebagai manusia, aku harus
hidup menurut realitasku itu. Kewajiban ini dapat
dirumuskan, lantas ti.mbullah rumusan yang pertama,
yang masih bersifat umum, yaitu Perikemanusiaan.e
Karena kita ada bersama, jadi kita memasyarakat.
Pemasyarakat pun harus berupa pelaksanaan
Perikemanusiaan.
Menurutnya, pemasyarakatan sebagai
perwujudan pelaksanaan Perikemanusiaan dalam
hubungannya dengan penciptaan perlengkapan dan

81/bid., h. 847.
82/bid.

106 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasionalisme

syarat-syarat hidup yang tertuang dalam sila "Keadilan


Sosial". Pemasyarakatan sebagai realisasi Prike-
manusiaan dapat dipandang dari sudut lain, yaitu
pemasyarakatan berarti penyatuan, pembentukkan suatu
strukture dengan Cara yang sewajamya, yakni melalui
demokrasi. Karena ada kita itu berupa ada bersama,
maka kita memasyarakat. Karena kita memasyarakat,
maka timbullah kelompok, yang kita sebut bangsa.
Dengan demikian, timbullah unsur Kebangsaan dalam
hidup bersama. Jika kita hidup bersama itu menjadi
negara, maka Kebangsaan dengan sendirinya menjadi
dasar atau sila. Tampaklah sekarang bahwa keempat sila
itu pada dasamya adalah satu, yaitu cinta kasih, atau
meminjam ungkapan Driyarkara sendir: Ada kita itu
berupa Liebendes Mit-Einander-Sein, Ada-bersama-dengan-
cinta-kasil: dan itu harus ditaati, dijalankans» Itulah
keempat sila kita sebagai satu sila.
Di sini pulalah arti penting Pancasila sebagai
ideologi. Jika kita hendak memandang Pancasila sebagai
ideologi atau Weltanschauung. Ideologi Pancasila harus
dipandang sebagai sesuatu yang baik. Bahwa ideologi
ialah pengertian yang fundamental tentang realitas,
bahwa ideologi adalah dari realitas dan ke realitas.
Sekalipun demikian, dalam sejarah tetap saja ada yang
beranggapan bahwa ideologi dianggap sebagai khayalan
yang tak berguna, yaitu pendapat yang mengatakan
bahwa ideologi itu tidak objektif, bahwa ideologi itu
suatu kebohongan menurut pendapat Marxisme.
Terlepas dari soal benar atau tidaknya, betul-
betul asasi atau tidaknya suatu pandangan yang

83
/bid.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 107


Kejatuhan Nasionalisme

dijadikan ideologi, maka dapat dirumuskan sebagai


berikut: yang disebut ideologi adalah suatu kompleks
idea-idea asasi tentang manusia dan dunia yang
dijadikan pedoman dan cita-cita hidup. Rumusan ini
berdasarkan fakta sejarah. Dalam sejarah kita
menyaksikan bahwa ideologi dianut karena manfaatnya,
karena efisiensinya. Tetapi, penganutan itu pada
prinsipnya juga berdasarkan keyakinan bahwa ideologi
yang dianut itu benar. Dalam keterangan ini termuat
juga pandangan tentang Tuhan, tentang manusia
sesama, tentang hidup dan mati, tentang masyarakat dan
negara, dan sebagainya. Singkatan manusia dan dunia
mengandung arti bahwa manusia itu mempunyai
tempat tertentu; mempuyai kedudukan berarti
mempunyai hubungan-hubungan atau relasi.
Dalam rumusan di atas kita akui bahwa ideologi
itu bukanlah hanya pengertian. Ideologi adalah prinsip
dinamika karena merupakan pedoman atau cita-cita
(ideal). Ideologi berupa pedoman, artinya menjadi pola
dan norma hidup, tetapi juga berupa ideal atau cita-cita,
artinya realisasi dari idea-idea yang menjadi ideologi itu
dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia.
Dengan melaksanakan ideologi, manusia tidak hanya
sekedar ingin melaksanakan apa yang harus; dengan
ideologi manusia juga mengejar keluhuran. Itulah
sebabnya manusia juga sanggup mengorbankan
hidupnya demi ideologi.
Tiap ideologi membawa gambaran manusia
sendiri. Di situ yang dipandang bukan hanya manusia
tersendiri secara statis, tetapi manusia dalam
hubungannya dengan sesama di masyarakat. Pada
pokoknya gambaran yang dituntut oleh Pancasila
menjalankan bahwa manusia itu merupakan kesatuan

108 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Kejatuhan Nasionalisme

dengan dunia material, tetapi juga dengan manusia


sesama; dan akhirnya . manusia Pancasila itu
berhubungan dengan Tuhan penciptanya. Dengan ini
tampaklah bahwa manusia itu adalah relasi atau relasi
vertikal ke Tuhan dan horisontal ke sesama manusia dan
dunia.
Kembali kepersoalan bagaimana relevansi
pemikiran Driyarkara sehubungan dengan negara
bangsa, ia secara luas melihat manusia sebagai warga
dan selaku bagian dari kehidupan sosial. Manusia yang
menegara adalah manusia yang menyadari eksistensinya
sebagai sosialitas, atau dalam ungkapan lain sebagai
"homo homini socius", yang memungkinkan lahirnya
sosialisme Indonesia dengan tata masyarakat yang adil
danmakmur.
Pembahasan yang coba diulas dengan
pandangan Driyarkara rm adalah negara dalam
kaitannya dengan aspek sosial-psikologis, dan bukan
dari aspek bentuk negara. Karena kehidupan negara
diibaratkan sebagai percakapan. Metafor percakapan ini
seirama dengan asumsi struktur eksistensial sebagai
komunikasi. Ini berarti manusia sebagai warga negara
mempribadikan diri bersama-sama dengan orang lain.
Dasarnya adalah kesosialan yang terletak pada struktur
manusia sendiri, yakni "dalam bagaimana manusia
berada".
Dalam mempribadikan bersama itu, manusia
membangun kesatuan yang disebut kebangsaan. Yang
bekerja sebagai suatu kelompok dan hidup bersama
menjadi suatu kesatuan. Menurut Driyarkara inilah
permulaan perkembangan menuju negara. Jadi bukan
hanya faktor ras ataupun kondisi geografis, karena
faktor itu hanya merupakan bakat dan persediaan. Tapi

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 109


Kejatuhan Nasionalisme

yang lebih urgen dari lahirnya sebuah negara adalah


aktivitas manusia yang membangun.s- Berbicara tentang
aktivitas itu artinya gerak kehidupan sekaligus
percakapan antarmanusia dengan manusia lain, antara
manusia dengan alam, antara manusia dengan budaya
atau pun dengan agama.
Untuk dua hal yang disebutkan terakhir ini dapat
menjadi dilema atau penyebab lahirnya chaos dalam
tataran negara bangsa, karena adanya individu atau
kelompok yang selalu mencoba meronrong keutuhan
sebuah negara bangsa seperti Indonesia, dengan dalih
agama. Pada hal sebenarnya yang mereka ingin capai
adalah kedudukan politis di tataran birokrasi. Karena
asumsi dasar dari sebuah gerakan politik adalah
kepentingan.

84/bid.,
h. 616.

110 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritls

BABV
REFLEKSI KRITIS

Bahwa negara ini sedang mengalami berbagai


persoalan, tentu semua sama-sama mahfum. Tidak
hanya pada sektor atau bidang tertentu saja, persoalan
telah muncul di hampir semua sendi kehidupan
berbangsa. Kecenderungan yang ada, persoalan itu
semakin hari bukannya semakin menyederhana tetapi
kian kompleks dan rumit. lni bisa tetjadi bukan karena
tidak ada upaya apapun untuk mengatasinya. Setiap
persoalan telah berusaha dihadapi dengan menerapkan
pendekatan-pendekatan tertentu. Pun demikian,
reformasi segala bidang sudah ditempuh untuk
melakukan perbaikan-perbaikan. Itu sebabnya, reformasi
pada 1998 dilakukan, dengan harapan kondisi segera
berubah dan lebih baik.
Sekarang, setelah lebih kurang 15 tahun
reformasi dilakukan, persoalan-persoalan itu tak juga
dapat tuntas diselesaikan. Ada beberapa bidang yang

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 111


Refleksi Kritis

mendapat klaim agak sedikit membaik, seperti bidang


ekonomi misalnya, namun tidak sedikit yang makin
terpuruk seperti bidang hukum, politik, dan sosial. Oulu,
reformasi dilakukan antara lain untuk memperbaiki
hukum dan politik yang kurang memberikan makna
bagi kemaslahatan rakyat. Setelah reformasi, bukannya
tambah baik, hukum dan politik tetap lebih sering
dibelokkan menjadi instrumen untuk mencapai atau
melanggengkan kekuasaan. Hukum dengan segenap
institusinya juga tak mampu meredam kecenderungan
penyalahgunaan kekuasaan, korupsi,85 dan praktik-
praktik kotor lainnya. Politik dipraktikkan dengan
perilaku yang minim kesantunan. Praktiknya, politik
direduksi untuk alasan kekuasaan bukan sebuah proses
mewujudkan kebaikan bersama.e' Politik identitas

85Bahkan
saat ini sedang terjadi proses pengelabuan atas akal dan
logika publik dengan menghadirkan bahasa-bahasa sandi dalam setiap kasus
korupsi yang mencuat sebagai upaya pengaburan identitas. Kasus yang
masih sangat baru seperti kasus suap kuota impor daging sapi (baca: Ahmad
Fathonah), banyak sekali memunculkan bahasa-bahasa atau kata-kata sandi
semisal "Bunda Putri, Engkong'', atau dengan angka saja seperti "40".
Modus untuk memisterikan pelaku korupsi dan orang-orang besar yang
diduga terlibat sengaja didesain untuk memengaruhi persepsi publik,
sehingga apapun yang mereka lakukan selalu dibentengi oleh asumsi
penciptaan asumsi defensif bahwa "itu bukan kerja koruptor''. Akal sehat
kita dikelabui, seolah olah setiap warga tidak punya nalar dan logika. Lebih
jelasnya lihat Marwan Mas, "Kesaksian dan Logika Publik" dalam kolom
opini Tribun Timur, kamis 12 September 2013, h. 13
86Sejarawan
sepertl Anhar Gonggong melihat politik bangsa
Indonesia saat ini tidak lebih sebagai politik untuk kepentingan pribadi atau
kelompok, bukan untuk kebaikan bersama. Buktinya adalah masyarakat
sebagai pemilih maupun calon yang akan dipilih sama bermain untuk
sebuah jabatan, sehingga yang lahir atau yang terpilih nantinya adalah para
pejabat bukan pemimpin. Dewasa ini yang banyak ditemukan adalah
pejabat. Padahal sejatinya yang harus ada adalah pemimpin, yakni orang-

112 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritis

semakin menguat mengalahkan v1S1 kebersamaan


sebagai bangsa seiring rasa saling percaya di antara
sesama warga bangsa yang memudar pelan-pelan.
Distrust itu telah menimbulkan disorientasi, tak ada
pegangan bagi rakyat mengenai hendak dibawa kemana
bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya, disorientasi itu
pun berpeluang mencetak pembangkangan
(disobedience), yang dalam skala kecil atau besar, sama-
sama membahayakan bagi integrasi bangsa dan negara
Setelah segala cara memperbaiki sistem, baik
hukum, sosial, politik, dan ekonomi dilakukan dan tak
juga menunjukkan hasil, maka banyak yang kemudian
meyakini bahwa problem sebenamya bukanlah soal
sistem belaka, melainkan berkait dengan soal etika
berbangsa dan bemegara yang meredup'". Betapapun
sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak
kunjung tuntas teratasi selama kita belum mampu
membenahi etika berbangsaan dan bemegara. J adi, inti
persoalannya sekarang ialah soal melemahnya etika
berbangsa dan bemegara atau menegara. Hal ini
mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi bangsa
ini haruslah memperhatikan fakta bahwak risis ini
bertalian erat dengan krisis etika dan moralitas. Untuk
itu, upaya menemukan solusi harus disertai upaya
mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip

orang yang mampu melampaui diri sendir. Lihat Philips Tangdilintin, "Pilih
Pemimpin atau Pejabat?" dalam opni Tribun Timur, terbit Kamis 19
September 2013, h. 13
87Mahfud
MD, Makalah pada Kuliah Perdana Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin, 17 September 2012 di
Gedung Graha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 113


Refleksi Kritis

fundamen etis-moral dan karakter bangsa berdasarkan


falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia
sebagaimana tertuang dalam konstitusi UUD 1945.

A. Pancasila dan Fenomena Kebangsaan


Terlepas dari masalah hari lahirnya Pancasila,
Pancasila yang tercipta dan lahir di tanah air yang kaya
ini sesungguhnya punya arti tersendiri bagi jiwa dan
raga bangsa Indonesia yang banyak memiliki perbedaan
budaya, ras, agama dan etnis lainnya. Pancasila tidak
dengan sendirinya tercipta dan terlahir dengan
sendirinya, akan tetapi bahwa kehadiran Pancasila itu
sendiri adalah kebutuhan pokok bagi bangsa Indonesia
yang baru mengeyam kemerdekaan saat masa perjuang
dan saat ini yang sebenarnya.
Sayangnya Pancasila yang semestinya dijadikan
pedoman berbangsa dan bemegara malah diperlakukan
hanya sebagai penghias etalase bangsa. Dengan kata
lain, wujud Pancasila hanya ada di tataran wacana
sementara aplikasinya jauh panggang dari api. Hari ini
kita dipertontonkan berbagai aksi yang memiriskan
seperti: terorisme, radikalisme, anarkisme dan berbagai
bentuk kekerasan lainnya silih berganti mengoyak-
ngoyak rasa kebersamaan kita. Boleh jadi satu dari
penyebabnya adalah semakin jauhnya kita dari nilai-
nilai Pancasila.
Dengan kata lain, semangat Pancasila sudah
mengalami proses degradasi sampai nyaris mencapai
titik nadir. Identitas bangsa yang selama ini dikenal
ramah, santun dan beradab telah bermetamorfosis
menjadi monster jahat yang mengedepankan
subyektifitas pribadi daripada kemaslahatan masyarakat
luas. Sebagai bukti tengoklah para penyelenggara negara

114 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritis

ini. Atas dasar ambisi, kerakusan dan kekuasaan, hampir


semua mereka tertular penyakit kronis Kolusi, Korupsi
dan Nepotisme.ss Sementara di sisi lain kebanggaan
terhadap kelompok, suku atau golongan tumbuh subur
di berbagai etnis.
Akibatnya rakyat menjadi terkotak-kotak.
Kelompok satu merasa lebih baik dan mulia dibanding
kelompok lainnya, demikian pula sebaliknya. Sehingga
tidak mengherankan ketika kemudian tetjadi benturan
kepentingan letupannya bisa meledak dengan dahsyat.
Tidak hanya kerugian materil yang diderita bahkan
nyawapun dengan mudahnya melayang percuma.
Kondisi carut-marut ini tentu tidak bisa dibiarkan
berlarut-larut. Upaya-upaya rehabilitasi harus dilakukan
sesegera dan sekeras mungkin. Mengangkat dan
menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila ke tempat
dan proporsi yang sebenarnya tentu merupakan
terobosan yang dipandang tepat dan berdaya guna.
Tidak ditinggalkan apalagi dicampakkan begitu saja
karena bisa berdampak pada rapuhnya rasa persatuan
yang pada gilirannya akan berujung pada ancaman
disintegrasi bangsa. Kita tidak ingin hal ini terjadi di
Indonesia. Karena itulah, warisan berharga rm
semestinya harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-
baiknya. Mari kita perbaiki etika moral kita bersama

88Hampir
setiap regenerasi pemerintahan dan kepemimpinan
nasional melahirkan pemimpin yang berwatak koruptor. Sjarifuddin Jurdi
menegaskan bahwa korupsi dan disintegrasi mengancam kesaktian
Pancasila. Tapi sesungguhnya apa yang diutarakan oleh Jurdi ini telah
melampau dari sekedar mengancam, namun telah nyata mencabik-cabik
nilai-nilai luhur itu. lihat "Masikah Pancasila Sakti" dalam Upsus Tribun
Timur Minggu 29 September 2013, h. 3.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 115


Ref/eksi Kritis

untuk memperbaiki karakter bangsa ini yang lebih baik


lagi, sehingga keinginan dan mimpi-mimpi para pejuang
bangsa ini benar-benar terwujud adanya yang lebih baik
lagi, karena Pancasila bukan sekadar penghias etalase
bangsa Indonesia.89
Pancasila merupakan suatu harta karun yang
sengaja di tinggalkan oleh para pahlawan-pahlawan
bangsa ini, agar menjadi ideologi yang mampu
membesarkan Negara ini. Karena dalam Pancasila
terkandung nilai-nilai luhur yang memberikan suatu
kedamaian untuk suatu Negara. Hanya negara-Negara
besar saja yang mempunyai ideologi, dan menjadi suatu
identitas untuk negara tersebut. Indonesia sepatutnya
harus bangga, karena para pahlawan mewariskan suatu
nilai yang menjadikan negara ini besar. "Negara ini akan
besar apabila Negara ini menjadikan Pancasila sebagai
pedoman dan menjungjung tinggi nilai-nilai yang
terkandung didalamnya
Pancasila yang lahir tanggal 1 Juni merupakan
hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, dimana pada
tanggal 1 Juni 1945 para pendiri bangsa ini berdebat
untuk melahirkan sebuah dasar bagi negara Indonesia
yang akan di Proklamirkan kelak. Setelah beberapa
orang dari peserta rapat BPUPKI berpidato tentang
dasar negara yang di antaranya adalah Supomo dan
M.Yammin, beliau berdua menyampaikan tentang dasar
negara yang relatif sama walau redaksi agak berbeda.
Soekamo pun menyampaikan pidatonya yang isinya

89Suryono
Brandoi, "Pancasila Penghias Etalase Bangsa", dalam
harian Medan Bisnis, 5 Juni 2013.

116 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Ref/eksi Kritis

juga relatif sama dengan pidato dua orang lainnya clan


beliau menamakan dasar negara itu adalah Pancasila.
Tidak bisa dipungkiri selama lebih dari setengah
abad, sejak diperkenalkan pertama kali, Pancasila seakan
menjadi bagian tak terpisahkan dari petjalanan historis
bangsa ini. Kehadirannya bagaikan lem perekat yang
mampu mempersatukan lebih dari 200 suku yang ada di
Indonesia dengan beragam perbedaan seperti : adat,
budaya, spiritual maupun sosio kultural.
Selain itu berdasarkan literatur-literatur yang ada
dapat diketahui bagaimana saktinya Pancasila dalam
menangkal upaya-upaya jahat yang berusaha
merongrong keberadaannya baik dari dalam maupun
luar negara IDI. Contoh paling anyar adalah
pemberontakan G-305 PKJ.90
Meski menyisakan sederet misteri yang belum
terurai sampai sekarang, namun sejarah mencatat
peristiwa tersebut sebagai catatan hitam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara kita sekaligus
menjadi momentum lahirnya hari kesaktian Pancasila
yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober setiap
tahunnya. Begitupula sebagai falsafah dan dasar negara,
Pancasila tak ubahnya "rnaha guru" yang menjadi

90Dalam
diskusi tentang Masikah Pancasila Sakti? yang
diselenggarakan oleh Forum Pembauran Kebangsaan Sulawesi Selatan, pada
peringatan hari kesaktian Pancasila 1 Oktober 2013, tergambar kerisauan
para pembicara seperti Ishak Ngeljaratan, Halilintar Latief dan Syarif uddin
Jurdi. Mereka sepaharn bahwa upaya pemerintah untuk meng-sakti-kan
Pancasila telah gaga!, karena kesaktian itu dipertanyakan ketika
diperhadapkan pada berbagai fenomena sosial dan kebangsaan. Bahkan
Ngejalratan menyatakan dengan sinis bahwa "bagaimana kalau 1 Oktober
bendera dikibarkan setengah ti<1ng dan kita semua tangisi Pancasila yang
tidak saktl lagi. Lipsus Tribun Timur, Joe. cit.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 117


Ref/eksi Kritis

sumber inspirasi bagi siapa saja yang ingin belajar


tentang pluralisme maupun toleransi dalam perspektif
budaya ketimuran. Nilai luhur yang terkandung dalam
ideologi ini seakan tak pemah kering untuk digali
karena sumbemya memang mengakar pada budaya
yang melekat sebagai warisan dari nenek moyang kita.
Pancasila yang tercipta dan terlahir di tanah air
yang kaya ini sesungguhnya punya arti tersendiri bagi
jiwa dan raga bangsa Indonesia yang banyak memiliki
perbedaan budaya, ras, agama dan eknis lainnya.
Pancasila tidak dengan sendirinya tercipta dan terlahir
dengan sendirinya, akan tetapi bahwa kehadiran
Pancasila itu sendiri adalah kebutuhan pokok bagi
bangsa Indonesia yang baru mengeyam kemerdekaan
saat masa berjuang dan saat ini yang sebenarnya.
Namun, Pancasila setelah hadir dan diterima di
tengah-tengah bangsa Indonesia yang mulai bangkit
untuk bisa keluar dari krisis setelah merdeka, Pancasila
lambat laun mulai dilencengkan arah jalannya yang
semula untuk menuju kemajuan, kemakmuran, keadilan
dan bahkan untuk keyakinan dalam kerukunan
beragama, menjadi milik pribadi atau kelompok. Pada
hal Pancasila pada hakikatnya bukanlah alat doktrinisasi
politik. Ideologi negara ini menjadi alat untuk
memperkokoh kehidupan berbangsa dan bemegara.
Penyelewengan yang bermula dari pemerintahan
orde baru yang biasa disebut pemerintah yang KKN
membuat nila-nilai Pancasila menjadi hilang. Bahkan
hingga saat ini wajah ibu pertiwi laksana permukaan
cermin yang bemoda dan retak. Pelencengan Pancasila
itu sendiri juga ditunjukannya oleh pihak-pihak
berwenang di negara ini pada pelencengan pelaksanaan,
penghayatan dan pengamalan Pancasila itu sendiri

118 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Rejleksi Kritis

ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara,


maka apa yang menjadi moto serta visi perjuangan
untuk penegakan sebuah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) tidak ada gunanya. Semua itu cuma
simbol-simbol semu yang tak bertuah. Pancasila yang
semestinya dijadikan pedoman berbangsa dan bemegara
telah terkooptasi oleh kepentingan penguasa.w
Hal lnilah yang membuat masyarakat pada
akhirnya menjadi jenuh dan muak karena merasa tidak
dipedulikan oleh pemimpinnya. Keputusasaan tersebut
pada gilirannya membawa mereka mencari jalannya
sendiri-sendiri. Dampaknya seperti yang dirasakan
sekarang. Hilangnya sikap saling menghargai,
merupISnya rasa kesetiakawanan, saling curiga-
mencurigai antar kelompok, merasa paling benar sendiri,
dan berbagai perilaku negatif lainnya.
Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-
larut. Karena muara cukup jelas yakni tidak berjalannya
semua sistem dengan baik. Karena itu, upaya-upaya
rehabilitasi harus dilakukan sesegera dan sekeras
mungkin. Mengang-kat dan menghidupkan kembali
nilai-nilai Pancasila ke tempat dan proporsi yang
sebenamya tentu merupakan terobosan yang dipandang
tepat dan berdaya guna.
Pancasila merupakan falsafah yang indah dengan
ke lima butimya, ia akan menjadi perekat yang efektif
bagi tujuan-tujuan bersama sebagaimana cita-cita luhur
para pendiri republik ini. Para pelaksana pemerintahan
setidaknya iharus kembali untuk mempertimbangkan

91Suryono
Brandoi, "Pusaka Sakti Bernama Pancasila", dalam
harian Analisa, 01 Juni 2013.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 119


Refleksi Kritis

setiap kebijakan yang digelontorkan, apakah sudah


sesuai dengan nilai luhur Pancasila atau tidak. Seandai
saja segenap komponen bangsa di negara ini menyadari
bahwa masyarakat Indonesia memiliki sebuah pusaka
sakti yang bemama Pancasila sebagai representasi yang
mengakomodir segala kemajemukan dan hidup
membaur di tengah-tengah masyarakat serta mau
mengaplikasikan nilai luhumya dalam kehidupan
sehari-hari, maka cita-cita nasional bukan suatu yang
mustahil. Sebaliknya, pengingkaran terhadap realita ini
hanya akan membawa ke jurang perpecahan,
kehancuran dan kesengsaraan.

Korupsi Antara Kejahatan dan Kebodohan


Negara ini sepertinya tidak henti-hentinya
terbelit oleh kebusukan para elitnya. Setiap hari media
cetak maupun elektronik, selalu menginformasikan
tentang korupsi yang menimpa para pejabat di republik
ini. Seakan Hukum bukan lagi panglima tertinggi.
Materi dan kuasalah yang saat ini berperan ganda
sebagai penegak hukum. Mafia pada akhimya adalah
alat yang paling berkuasa mengatur hukum negara.
Mungkin kita bisa berkata dengan meminjam ungkapan
Driyarkara bahwa ini juga merupakan efek dari
pendidikan yang lebih menitikberatkan pada apek
pragmatis belaka, bukan pada aspek moral.
Pancasila sekarang sudah dikhianati oleh para
pejabat negara. Bahkan simbol garuda yang disimpan di
setiap kantor pemerintah yang di situ melambangkan
Pancasila hanyalah formalitas belaka, sebab dalam
kenyataannya, mereka mengkhianati ideologi negara.
Maka tak heran, korupsi akan semakin menjadi-jadi di
setiap instansi karena menguntungkan semua pihak.

120 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritis

Maka jangan heran, kalau APBN digelontorkan bukan


untuk kepentingan rakyat tetapi dipergunakan untuk
memperkaya diri melalui korupsi secara sistematis.
Pejabat negara dan politikus mudah mempermainkan
uang negara, sebab mereka sama-sama mempunyai
kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan, yang
artinya merampok uang negara secara halus. Rakyat
hanyalalah penonton belaka yang mudah diperalat dan
cukup diberi harapan atau diberi tunjangan yang tidak
seberapa, selebihnya mereka memakan uang rakyat
serakus-rakusnya.
Saat ini krisis kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah telah sampai di tingkat paling akut. Rakyat
semakin membenci pemerintah karena perilakunya
sudah berkhianat pada rakyat. Apa yang dikatakan
pemerintah, akhirnya tidak lagi dapat dipercaya. Rakyat
semakin dididik untuk menjadi bangsa yang bermental
koruptor karena telah diajarkan oleh pemerintah. Ketika
ada rakyat terlibat dalam partai dan menjadi pejabat
maka yang terlintas adalah bagaimana mengembalikan
modal uang yang sudah keluar ratusan juta atau bahkan
milyaran rupiah. Acuan perilaku negatif dalam sebuah
masyarakat seringkali mengacu kepada sebuah
kebudayaan atau kebiasaan. Di dalam sebuah
kebudayaan, manusia menunjukkan tabiat dan
hakikatnya serta tujuan-tujuan hidup dan cita-citanya.
Sehingga dalam analisis antropologis sebuah kebiasaan
buruk pun akan senantiasa terwariskan kepada generasi

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 121


Refleksi Kritis

berikutnya, baik itu secara langsung atau pun tidak


langsug.92
Tanpa sadar kita berada diujung malapetaka dan
bencana yang sangat besar. Entah bagaimana nasib
generasi di masa yang akan datang bila sekarang saja
yang dirasakan, yang dilihat tidak lebih dari kebobrokan
melalui skandal korupsi.
Anehnya Iagi, semakin gencar upaya
pemberantasan dan pencegahan korupsi, makin gencar
pula pelaku korupsi melancarkan serangan balik dengan
berbagai modifikasi modus operandi yang semakin
rumit dan sistematis sehingga semakin mempersulit
proses investigasi, dan penyidikan. Berbagai peraturan
perundang-undangan telah dibuat, sebagai payung
hukum pemberantasan tindak pidana korupsi. Serta
telah dibentuk pula institusi yang menjalankan
peraturan perundang-undangan mengenai
pemberantasan tindakan pidana korupsi. Tindakan
nyata dari pemberantasan korupsi oleh institusi yang
berwenang, juga partisipasi aktif masyarakat untuk
mendukung pemberantasan korupsi semakin
meningkat. Namun berbarengan dengan itu pula para
koruptor semakin meningkatkan konsolidasi, dan
semakin gencar menyusun skenario dan strategi jahat
untuk memperlemah gerakan perlawanan terhadap
mereka, dalam bentuk jebakan, percobaan suap, dan
sederet cara lainnya yang berbau fitnah terhadap
institusi pemberantasan korupsi. Sehingga semakin

92
Ahmad Syafii Mufid, "Ketika Korupsi Menjadi Kebudayaan",
dalam editorial buku Munawar Fuad Noeh, Islam don Gerakan Moral Anti
Korupsi (Cet. I; Jakarta: Zikru'I-Hakim, 1997), h. 14.

122 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Ref/eksi Kritis

mempersulit penuntasan kasus dalam upaya


pemberantasan korupsi.
Mengapa bisa terjadi seperti itu. Bukankah sistem
pengawasan internal, eksternal dan penegakan hukum
telah dijalankan. Apa yang salah dalam pelaksanaan
semua proses itu. Banyak jawaban dan analisis yang
didapat, baik dari kaca mata hukum, politik, birokrasi,
sosiologi maupun yang lainnya. Yang pas ti, berbagai
jawaban dan analisis itu, mengandung kebenaran sesuai
sudut pandangnya. Namun temyata, itu semua belum
sepenuhnya memberikan solusi untuk penuntasan kasus
korupsi beserta upaya pencegahannya. Bahkan
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa
pemerintah mulai kompromi dan melunak dalam
menjalankan peran sebagai penyelenggara negara dalam
hal pemberantasan korupsi. Terkesan insitusi
pemberantasan korupsi diasingkan dari komunitas
penegakan hukum serta diposisikan ( difitnah) sebagai
lembaga yang mengkhianati tugas dan fungsinya. Sangat
mengenaskan dan memprihatinkan.93
Pada tahap tersebut, mafia dan konspirasi para
koruptor dalam melawan tindakan anti korupsi
membuahkan hasil. Sudah bisa diduga, mereka semakin
merajalela dan semakin banyak mendapatkan pengikut
untuk turut serta menjarah hak-hak rakyat. Ironisnya,
pengikut mafia koruptor, justru dari generasi mudaw

93Suryono
Brandoi dalam http://analisa-Pancasila-penghias-
etalase-bangsa.com. Akses tanggal 18 Oktober 2013.
94Saat
ini kita benar-benar merasakan suatu ketimpangan
moralitas dalam generasi. Ketimpangan atau ketidakseimbangan itu terjadi
karena kesalahan dan dosa-dosa masa lalu yang dilakukan oleh para
generasi pendahulu yang kemudian terwariskan dan kian diperparah pada

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 123


Refleksi Kritis

yang belum sempat merasakan pahit getirnya kehidupan


nyata setelah mereka selesai sekolah dan mulai menapak
ke dunia kerja khususnya di jajaran birokrasi
pemerintahan. 95
ldealisme Gerenasi muda seakan sudah dibeli
oleh pola hidup hedonisme yang gencar ditawarkan oleh
mafia koruptor yang ada di semua lini dan jajaran
birokrasi di negeri tercinta ini. Mafia koruptor itu, antara
lain adalah oknum-oknum pejabat mulai eselon
terbawah sampai dengan eselon tertinggi di unit-unit
struktur pemerintahan/ birokrasi. Juga tidak bisa
diingkari bahwa masih banyak aparat negara/

generasi masa kini dan (kemungkinan besar) tetap diwariskan pada generasi
anak-anak kita. Dalam ungkapan lain "masa /a/u membunuh masa kini dan
masa kini menghancurkan masa depan''. Di satu sisi kita mengharapkan
lahirnya generasi-generasi yang perfeksionis, generasi yang mampu eksis
dalam berbagai persaingan bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan,
tekhnologi, ekonomi, budaya dan sebagainya, namun di sisi lain kita
melupakan aspek moralitas-religiusnya. Sehingga yang tampak adalah
generasi yang cerdas secara intelektual tapi bobrok dalam hal moralitas;
cumlaude dari segi akademiknya tapi nol dalam bersikap; sehat akal fisiknya
namun sakit mentalitas ruhaniahnya. Yang implikasi terjauhnya adalah
lahirnya generasi-generasi yang mampu mendesain dan melakukan
pembangunan gedung-gedung pencakar langit tapi tidak mampu
membangun spiritualitas dalam dlrinya. Segala macam bentuk kebodohan
yang saat ini sedang terjadi merupakan akumulasi dari kebodohan-
kebodohan masa lalu. Jika di masa lalu saat di mana kemajuan tak
sekompleks masa kini, maka dapat dibaca dalam sejarah bila kebodohan itu
hanya terjadi pada suatu generasi dalam suatu kaum.
95Bila
bercermin terhadap beberapa kejadian/kasus korupsi yang
dipublikasikan media, maka di situ nampak jika para pelaku itu merupakan
kelompok intelektual birokrat muda yang diharapakan menjadi
aset/generasi yang akan memberi arah posistif bagi perkembangan bangsa.
Mereka adalah generasi yang memang kuran bahkan tidak merasakan pahlt
getirnya perjuangan bangsa meraih cita-cita kemerdekaan.

124 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritis

pemerintah yang masih mempunyai hati nurani dan


idealisme, tapi apa artinya idealisme dan profesional-
isme, jika dihadapkan pada ketidakberdayaan yang
dikondisikan oleh kelompok koruptor yang telah
terorganisir dan terkonsolidasi secara rapi, dengan cara
mensiasati celah-celah kelemahan peraturan perundang-
undangan.

Korupsi itu adalah Masalah Mental


Fakta-fakta yang di paparkan di atas, bisa terjadi
karena negeri tercinta ini dilanda krisis amanah,
khususnya yang menjangkiti hati nurani para pemimpin
dan penyelenggara negara di negeri yang gemah ripah Ioli
jinawi ini. Karena peraturan perundang-undangan dan
sistem ketatanegaraan sebaik apapun tidak akan berarti
apa-apa jika dijalankan oleh manusia bermental
munafik, khianat terhadap tugas dan peran yang
dibebankan / diamanahkan rakyat kepadanya.
Dalam Kasus Korupsi, sering ditanggapi dengan
cara yang sama. Orang berpikir praktis dengan
berkeyakinan bahwa jalan satu-satunya untuk
memberantasnya adalah melalui efek jera, misalnya
dikucilkan, dipenjara atau bahkan di hukum mati jika
perlu. Ini bagi peneliti adalah cara berpikir yang primitif.
Ada banyak cara untuk menanggantinya. Seorang anak
yang nakal tidak harus dibunuh untuk membuat jera
anak lain agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Tentu anda akan bertanya, ini adalah orang
dewasa, bukan anak kecil lagi, jadi bagaimana
solusinya? Bagi peneliti korupsi itu adalah masalah
mental. Karena masalah mental maka itu berhubungan
dengan kesadaran dan pola pikir. Jadi korupsi itu
bukanlah hanya kejahatan tapi lebih dari itu ia adalah

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 125


Ref/eksi Kritis

kebodohan. Seorang Koruptor adalah seorang yang


serakah, anti sosial yang kurang bisa bekerja sama.
Masalahnya hanya mereka tidak tahu menggunakan dan
mengalokasikan uang dengan baik dan tepat. Maka dari
itu untuk mengatasinya yang diperlukan adalah
melakukan penyadaran dan revolusi mental melalui
pendidikan.
Butuh waktu lama untuk mendidik para
koruptor untuk menjadi anak yang sholeh yang
mengerti arti ketjasama dan mencintai. Sama sulitnya
untuk mendidik masyarakat primitive untuk tidak
memilih tindakan praktis untuk menghakimi para
koruptor. Korupsi adalah masalah mental maka adalah
mustahil menanganinya dengan cara memberantas
orangnya. Korupsi adalah jiwa yang bodoh yang hanya
bisa ditumpas dengan pengertian dan kesadaran. Jadi
bangsa ini seharusnya lebih terfokus untuk membangun
pendidikan yang berbasis pada pembangunan karakter
positif generasinya, bukan hanya sekedar mengejar nilai-
nilai praktis.

B. Membangun Etika Menegara


Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus
merupakan cabang dari ilmu kemanusiaan (humaniora).
Etika sebagai cabang falsafah membahas sistem dan
pemikiran mendasar tentang ajaran dan pandangan
moral. Etika sebagai cabang ilmu membahas bagaimana
dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu.
Etika sosial meliputi cabang etika yang lebih khusus
seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika
lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika
jumalistik, etika seksual clan etika politik.

126 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Ref/eksi Kritis

Pancasila merupakan nilai dasar yang menjadi


rambu-rambu bagi politik hukum nasional. Nilai-nilai
dasar itu kemudian melahirkan empat kaidah penuntun
hukum yang harus dijadikan pedoman dalam
pembangunan hukum. Empat kaidah itu meliputi,
pertama hukum Indonesia harus bertujuan dan
menjarrrin integrasi bangsa, baik secara teritorial
maupun ideologis.96
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen
merupakan Grundnormn ataupun menurut Teori Hans
Nawiasky disebut sebagai Staatsfundamentalnorm. Dalam
hal ini menurut A. Hamid S. Attamimi secara eksplisit
bahwa Pancasila adalah norma fundamental negara
(Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia.e Pancasila
memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem
etika yang baik di negara ini. Di setiap saat dan dimana
saja berada maka menjadi kewajiban untuk beretika
disetiap tingkah laku. Seperti tercantum di sila ke dua
pada Pancasila, yaitu "Kemanusian yang adil dan beradab"
sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran
Pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat
berandil besar.

96Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. Pancasila Sebagai
Rambu Politik Hukum Nasional. http://www.-
mahkamahkonstitusl.go.id/index.php, diakses tanggal 8 Oktober 2013
97
Achmad Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory), Teori
Peradilan (Judicialprudence) Termasuk /nterpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), (Jakarta, Prenada Media Group:2009), h. 62.
98
Jazim Hamidi, Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus
1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jurnal Konstitusi
Volume 3 Nomor 1, Februari 2006, (Jakarta, Mahkamah Konstitusi: 2006), h.
100-124.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 127


Ref/eksi Kritis

Anclil atau nilai (value) adalah kemampuan yang


dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang
menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok.
Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong
dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku
manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah
satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan
karya. Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam
macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika,
nilai sosial, nilai politik dan nilai religi. Hierarkhi nilai
sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang
individu masyarakat terhadap sesuatu obyek.
Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan
dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga
merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan,
tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai
berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan
setiap manusia.
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan
suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di
setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia.w
Keterkaitan itu mutlak digarisbawahi bila seorang
individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki
fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna
menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila

99Jurnal
Universitas Negeri Malang. Pembe/ajaran Nilai, Norma,
dan Moral dalam PPKn. http://journal.-
um.ac.id/index.php/ppkn/article/view/1716, diakses pada tanggal 8
September 2013.

128 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritis

dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif


sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya
dalam aktivitas sehari-hari.
Sekalipun dengan nilai yang bersifat abstrak
yang tidak dapat diamati melalui panca indra manusia,
tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan
tingkah laku atau berbagai aspek kehidupan manusia,
maka setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa
hakikat, esensi, inti.sari atau makna yang dalam dari
nilai-nilai tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal
karena menyangkut kenyataan obyektif dari segala
sesuatu, contoh, hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk
lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat
Tuhan, maka nilai dasar itu bersifat mutlak karena
Tuhan adalah kausa prima (penyebab pertama). Segala
sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan.
Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa
Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila.
Di samping itu terdapat nilai instrumental
sebagai nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari
nilai dasar. Apabila nilai instrumental itu berkaitan
dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-
hari maka nilai itu akan menjadi norma moral. Namun
jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu
organisasi atau negara, maka nilai instrumental itu
merupakan suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang
bersumber pada nilai dasar sehingga dapat juga
dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu
eksplisitasi dari nilai dasar.
Berbeda dengan itu, nilai praktis merupakan
penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam
kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 129


Ref/eksi Kritls

praktis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-


nilai dasar dan nilai-nilai instrumental.. Undang-undang
organik adalah wujud dari nilai praktis, dengan kata
lain, semua perundang-undangan yang berada di bawah
UUD sampai kepada peraturan pelaksana yang dibuat
oleh pemerintah.100
Karenanya makala makna nilai dasar Pancasila
dikaji dalam perspektif filosofis yaitu, Pancasila sebagai
dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa
Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai yang
bersifat sistematis. Fungsi filsafat berkaitan dengan
Pancasila yaitu mempertanyakan dan menjawab apakah
dasar kehidupan berpolitik dalam berbangsa dan
bemegara. Lebih jauh, nilai-nilai sosial Pancasila menjadi
ukuran di dalam menilai tindakan yang berkaitan
dengan hubungan pada orang lain. Oleh Soedjito S.
dikatakan bahwa nilai-nilai sosial bertujuan untuk
mengadakan tata atau ketertiban.w-
Pengertian Pancasila harus dimaknai sebagai
kesatuan yang bulat, hirarkhis dan sistematis. Dalam
pengertian itu maka Pancasila merupakan suatu sistem
filsafat sehingga kelima silanya memiliki esensi makna
yang utuh. Dasar pemikiran filosofisnya yaitu Pancasila
sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia
mempunyai makna bahwa dalam setiap aspek

100Moh.
Mahfud MD, Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah
Mada. Penuangan Pancasila di Dalam Peraturan Perundang-Undangan.
http://www.psp.ugm.ac.id/pub/ikasi/artikel/53-penuangan-Pancasila-di-
dalam-peraturan-perundang-undangan. htm/, diakses tanggal 18 September
2013.
101soedjito
S., Transformasi Sosial Menuju Masyarakat lndustri
(Cet. II, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 3.

130 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritis

kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta


kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Titik
tolaknya pandangan itu adalah negara adalah suatu
persekutuan hidup manusia atau organisasi
kemasyarakatan manusia. Hal demkian dapat dijelaskan
sebagai berikut :102
• Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia
sehingga bangsa Indonesia sebagai kausa materialis.
Nilai-nilai itu sebagai hasil pemikiran, penilaian kritik
serta hasil refleksi filosofis bangsa Indonesia.
• Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan
hidup) bangsa Indonesia sehingga merupakan jati diri
bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas
kebenaran, kebaikan, keadilan dan kebijaksanaan
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bemegara.
• Nilai-nilai Pancasila didalamnya terkandung ketujuh
nilai-nilai kerohanian yaitu nilai-nilai kebenaran,
keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, estetis dan religius
yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani
bangsa Indonesia karena bersumber pada
kepribadian bangsa.

Oleh karena itu, Pancasila yang diambil dari


nilai-nilai luhur bangsa Indonesia pada dasamya bersifat
religius, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan

102sastrapratedja
dalam Mahkamah Konstitusi. Pancasi/a Sebagai
Dasar Negara, Asas Etika Politik, don Acuan Kritik ldeo/ogi, Kongres
Pancasi/a: Pancasila dalam Berbagai Perspektif, (Jakarta, Setjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2009), h. 66-67.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 131


Refleksi Kritis

keadilan. Disamping itu Pancasila bercirikan asas


kekeluargaan dan gotong royong serta pengakuan atas
hak-hak individu.
Nilai-nilai Pancasila bersifat universal yang
memperlihatkan nafas humanisme. Oleh karena itu,
Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja.
Meskipun Pancasila mempunyai nilai universal tetapi
tidak begitu saja dengan mudah diterima oleh semua
bangsa. Perbedaannya terletak pada fakta sejarah bahwa
nilai Pancasila secara sadar dirangkai dan disahkan
menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai basis
perilaku politik dan sikap moral bangsa.
Adapun Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya
memuat nilai-nilai Pancasila mengandung empat pokok
pikiran yang merupakan derivasi atau penjabaran dari
nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pokok pikiran pertama
menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara
persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi
segala paham golongan maupun perseorangan untuk
mewujudkan berhasilnya pembangunan nasional.103
Ketentuan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu,
" ..... maka disusunlalt kemerdekaan kebangsaan Indonesia
dalam suaiu Undang- Undang Dasar Negara Indonesia"
menunjukkan sebagai sumber hukum. Nilai dasar yang
fundamental dalam hukum mempunyai hakikat dan
kedudukan yang kuat dan tidak dapat berubah
mengingat pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita
negara (staatsidee) para pediri bangsa sekaligus perumus

103Soenoto,
Filsafot Sosial dan Politik Pancasila ( cet. I; Yogyakarta:
Andi Offset, 1989), h. 108.

132 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritis

konstitusi (tire framers of tire constitution). Di samping itu,


nilai-nilai Pancasila juga merupakan suatu landasan
moral etik dalam kehidupan kenegaraan yang
ditegaskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945
bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab.
Konsekuensinya dalam penyelenggaraan kenegaraan
antara lain operasional pemerintahan negara,
pembangunan negara, pertahanan-keamanan negara,
politik negara serta pelaksanaan demokrasi negara harus
senantiasa berdasarkan pada moral ketuhanan dan
kemanusiaan.
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan
Negara Republik Indonesia merupakan nilai yang tidak
dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing
silanya.104 Untuk lebih memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam masing-masing sila Pancasila,
makadapat diuraikan sebagai berikut
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai
keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai
bahwa negara yang didirikan adalah
pengejawantahan tujuan manusia sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha esa.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Kemanusian
berasal dari kata manusia yaitu mahluk yang
berbudaya dengan memiliki potensi pikir, rasa, karsa
dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan manusia

104
Agus Wahyudi dalam Mahkamah Konstitusi. Membangun
Negara Pancasila dengan Teori Kebaikan dan Teori Kebenaran, Kongres
Pancasila: Pancasila dalam Berbagai Perspektif, (Jakarta, Setjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi:2009), h. 120.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 133


Refleksi Kritis

pada tingkatan martabat yang tinggi yang menyadari


nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan terutama
berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia sesuai
dengan martabat.
3. Persatuan Indonesia. Persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang
beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan
Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan
dalam arti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya
dan keamanan. Persatuan Indonesia ialah persatuan
bangsa yang mendiami seluruh wilayah Indonesia.
Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis
dalam kehidupan.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksaaan dalam Per-musyawaratan/Perwakilan
Kerakyatan. Rakyat merupakan sekelompok manusia
yang berdiam dalam satu wilayah negara tertentu.
Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia
menganut sistem demokrasi yang menempatkan
rakyat di posisi tertinggi dalam hirarki kekuasaan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam
masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materiil
maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti
untuk setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia.

Adapun makna dan maksud istilah beradab pada


sila kedua, "Kemanusiaan yanga dil dan beradab" yaitu
terlaksananya penjelmaan unsur-unsur hakikat manusia,
jiwa raga, akal, rasa, kehendak, serta sifat kodrat
perseorangan dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa

134 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritis

sebagai causa prima dalam kesatuan majemuk-


tunggaI.tos Hal demikian dilaksanakan dalam upaya
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bemagara
yang bermartabat tinggi.
Selanjutnya, pencasila mengatur kehidupan
berdemokrasi dalam batang tubuh UUD 1945. Hal yang
perlu diperhatikan agar pelaksanaan pemilihan umum
yang demokratis yaitu harus senantiasa memegang
teguh prinsip konstitusionalisme sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (2) UUD 1945, yaitu "Kedaulatan
berada di tangan raktJat dan dilaksanakan menurui Undang-
Undang Dasar", Prinsip demikian merupakan wujud
penguatan berdemokrasi dan pembangunan sistem
etika, terutama dalam pelaksanaan pemilu. Artinya,
apabila pelaksanaan pemilu telah menyimpang dari
ketentuan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 maka
pelaksanaan hasil pemilu perlu ditinjau ulang sehingga
sesuai dengan prinsip berdemokrasi yang dibangun
dalam UUD 1945 sebagai generalisasi dari Pancasila
yang berkedudukan sebagai hukum tertinggi dalam
sistem hukum di Indonesia. Upaya untuk mengatasi
berbagai kecurangan dalam pemilu, UUD 1945 mengatur
pelaksanaan pemilu demokratis, yaitu untuk menjaga
konsistensi prinsip konstitusionalisme agar pelaksanaan
pemilu tetap berdasarkan pada koridor hukum yang
senantiasa menjunjung tinggi etika berpolitik, ditangani
oleh lembaga peradilan tata negara yaitu Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagai lembaga pengawal konstitusi
(lite guardian of the constitution). Implikasinya,

105Notonagoro.
Pancasila Secora 1/miah Populer, (Jakarta: Bumi
Aksara: 1971), h, 100.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 135


Ref/eksi Kritis

pelaksanaan pemilu mengarah pada prinsip


sebagaimana diatur dalam UUD 1945 termasuk
Pancasila.
Artinya, dalam kehidupan setiap warga akan
selalu berhadapan dengan istilah nilai dan norma dan
juga moral dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa yang
dimaksud dengan nilai sosial merupakan nilai yang
dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh
masyarakat. Sebagai contoh, orang menanggap
· menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri
bernilai buruk. Demikian pula, guru yang melihat
siswanya gagal dalam ujian akan merasa gagal dalam
mendidik anak tersebut. Bagi manusia, nilai berfungsi
sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segala
tingkah laku dan perbuatannya.
Nilai mencerminkan kualitas pilihan tindakan
dan pandangan hidup seseorang dalam masyarakat. Itu
adalah yang dimaksud dan juga contoh dari nilai. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa norma sosial
adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok
masyarakat tertentu. Karenya, norm.a menyangkut
perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam
menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam
masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu
kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial
yang telah terbentuk. Pada dasamya, norma disusun
agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat
dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Dengan demikian, sebagai akhir dari
pembahasan ini maka norma atau etika merupakan
dasar kehidupan berbangsa dan bemegara. Bahkan etika
adalah barometer peradaban bangsa. Suatu bangsa

136 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritis

dikatakan berperadaban tinggi ditentukan oleh


bagaimana warga bangsa bertindak sesuai dengan
aturan main yang disepakati bersama. Perilaku dan
sikap taat pada aturan main memungkinkan aktifitas
dan relasi antar sesama warga betjalan secara wajar,
efisien, dan tanpa hambatan berarti. Masyarakat Jawa
misalnya, dituntut dan diajarkan untuk memahami
benar tentang arti penting etika. Sebab, etika yang juga
sering disebut unggah-ungguh, tata krama, sopan
santun, dan budi pekerti membuatnya mampu secara
baik menempatkan diri dalam pergaulan sosial, dan itu
akan sangat menentukan keberhasilan dalam hidup
bermasyarakat. Begitu pula dalam kehidupan berbangsa
dan bemegara, etika akan menjelaskan mana ti.ngkah
laku yang baik, apa yang pantas, dan apa yang secara
substansi mengandung kebaikan dan sebaliknya.
Bagi bangsa timur seperti Indonesia, etika telah
mendarah daging dimiliki dan diterapkan dalam
kerangka penghormatan terhadap nilai kebaikan,
kemanusiaan, dan keadilan kolektif. Karena itu, kita
masih yakin dan percaya, · etika mengalir menjadi bagian
dari kultur sosial dan antropologis bangsa Indonesia.
Bahkan secara natural-genetis, di dalam diri anak bangsa
mengalir sifat-sifat luhur manusia, yang pada
perkembangannya dirumuskan oleh founding peopleske
dalam Pancasila, dan selanjutnya disepakati sebagai
dasar dan orientasi menegara. Melalui Pancasila inilah,
para pendiri negara menggariskan prinsip-prinsip dasar
etis menegara yang demikian jelas dan visioner. Prinsip-
prinsip dasar Pancasila yang dituangkan dalam UUD
1945 dan disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945, tidaklah
hadir hanya sebagai intuitif dan tiba-tiba jatuh dari
langit, melainkan melewati proses penggalian

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 137


Refleksi Kritis

mendalam. Meskipun baru dibahas dan dikemukakan


dalam sidang BPUPKI menjelang Indonesia merdeka,
pemikiran mengenai prinsip-prinsip dasar berbangsa
dan menegara sebenamya telah muncul dan
dipersiapkan jauh-jauh sebelumnya. Jauh sebelum
Indonesia merdeka, berbagai pemikiran yang mengarah
kepada kepada gagasan terciptanya konstruksi
kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia.
Beragam pemikiran dan gagasan mengenai
politik, fundamen etis dan moral bangsa, ideologi, dan
visi kebangsaan itu kemudian bersintesis dalam karakter
keindonesiaan. Akhirnya, para penyusun UUD berhasil
menggali dan mengakomodir nilai-nilai etika dan moral
dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa, baik di
bidang politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain untuk
dituangkan ke dalam UUD 1945. Di dalam Pembukaan
UUD 1945, nilai etika dan moral terdapat di seluruh
Pokok Pikiran, yang kemudian nilai-nilai itu dijabarkan
ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Itu sebabnya, UUD 1945
sejatinya merupakan sintesa nilai etika dan moral yang
diangkat dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang
dikenal religius, berperikemanusiaan, persatuan,
demokrasi, dan keadilan.106 Hal ini sangat simetris dan
sinergis dengan tujuan bemegara atau menegara dan
berkonstitusi yakni mengarahkan kepada moral
kehidupan berbangsa, menegara, dan bermasyarakat
yang lebih baik. Nilai-nilai luhur itu kemudian
disepakati untuk diformalisasi dengan sebutan
Pancasila. Di dalam Pancasila itu, nilai ketuhanan
ditempatkan sebagai Pembukaan UUD 1945 memuat 4

106
Mahfud MD, Makalah ... , /oc. cit.

138 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritis

(empat) pokok pikiran. Pokok pikiran pertama


menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara
persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi
segala paham golongan maupun perseorangan.
Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa negara
hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkewajiban
mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat
Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Pokok pikiran ketiga
menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat,
berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan/
perwakilan. Pokok pikiran ini menunjukkan bahwa
negara Indonesia demokrasi, yaitu kedaulatan ditangan
rakyat. Pokok pikiran keempat menyatakan bahwa
negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sumber etika dan spiritualitas pada posisi yang sangat
penting sebagai fundamen etik kehidupan berbangsa
dan bemegara. Penegasannya, Indonesia bukanlah
negara agama dan bukan pula negara sekuler, karena
Indonesia melindungi hidupnya semua agama dan
keyakinan serta mengembangkan agama untuk bisa
memainkan peran yang berkaitan dengan penguatan
etika sosial.
Dalam pemikiran Pancasila, nilai-nilai
kemanusiaan universal yang dari hukum Tuhan, hukum
alam, dan sifat-sifat sosial manusia juga meruapakan
fundamen penting bagi etika politik kehidupan
menegara. Pengakuan dan pemuliaan hak-hak dasar
warga negara secara adil dan beradab merupakan

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 139


Ref/eksi Kritis

prasyarat yang tak boleh diabaikan dalam


bernegara.Pancasila juga menekankan prinsip persatuan
kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan
perseorangan. Persatuan itu dikelola dalam konsepsi
kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam
keragaman dan keragaman dalam persatuan. Dalam
prinsip semacam ini, ada toleransi, ada ruang hidup
untuk bisa menerima dan menghormati perbedaan yang
ada. Perlu diketahui, negara Indonesia merdeka
dikonstruksi di atas perbedaan, sehingga perbedaan itu
bukanlah masalah tetapi justru menjadi sumber
kekuatan. Dalam Pancasila terkandung pula prinsip
bahwa nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan
tersebut diaktualisasikan dengan menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat melalui prinsip musyawarah mufakat.
Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan
demokrasi menjadi landasan etik bagi upaya
mewujudkan keadilan sosial dengan semangat
kekeluargaan.

C. Kesimpulan
Berdasarkan pada keseluruhan pembahasan yang
telah dikupas, dan dengan rumusan masalah yang ada
kiranya dapat disimpulkan bahwa konsep nation state
yang dirumuskan oleh Driyarkara adalah hidup
menegara dengan berbuat dalam kesatuan sebagi bentuk
aksi bersama. Kita menjadi kita tanpa mempersoalkan
adanya perbedaan. Karena perbedaan merupakan suatu
yang kodrati dan alami. Dengan perbedaan ini, kita tidak
saja menjadi persona tapi juga menjadi personasi, yakni
menjadi manusia yang merealisasikan diri dalam
keragaman.

140 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Refleksi Kritis

Dalam hal ini, dan sejalan dengan permasalahan


kedua bahwa nasionalisme yang dibangun atas dasar
persamaan kondisi dapat saja temafikan dalam konteks
kemoderenan. Karena masyarakat modem merupakan
masyarakat yang tergabung dalam sebuah sistem
kehidupan dengan tidak melihat latarbelakang
kesamaan, melainkan keragaman sebagai pemersatu.
Istilah yang mungkin tepat dipakai adalah masyarakat
modem merupakan masyarakat yang hidup dalam
perkampungan global. Kampung orang lain juga
menjadi kampung kita; budaya dan tradisi orang lain
menjadi budaya kita sekalipun itu bukan sesuatu yang
mengikat.
Di sinilah pentingnya etika sosial dibangun sebagai
acuan kehidupan dalam berbangsa dan bemegara atau
menegara. Karena secara fenomenologis-sosial
masyarakat Indonesia adalah lapisan masyarakat yang
terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama dan
budaya yang saling mendukung untuk kemajuan.
Karenanya politik dengan mengedepankan kepentingan
pribadi dan golongan sudah seharusnya tidak menjadi
acuan bagi setiap masyarakat maupun penyelenggara
pemerintahan, agar tidak terjadi chaos dalam kehidupan
menegara ini.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 141


Refleksi Kritis

142 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


DAFI' AR PUST AKA

Abubakar, Irfan "Pluralisme Indonesia mestinya


diarahkan oleh nilai bukan oleh politik," dalam
situs resmi \ Kantor Berita Common Ground (CG
News); unmo.commongroundnetos.org. Akses
tanggal 27 / 09/ 2013.
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theorf), Teori
Peradilan (judicialprudence) Termasuk Interpretasi
Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta, Prenada
Media Group, 2009
Bagus, Lorens, "Edmund Husserl: Kembali pada Benda-
benda Itu Sendiri", Para Filosof Penentu Gerak
Zaman . Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Brandoi, Suryono http://analisa-Pancasila-penghias-etalase-
bangsa.com. Akses tanggal 18 Oktober 2013.
____ ., Suryono, "Pancasila Penghias Etalase
Bangsa", dalam harian Medan Bisnis, 5 Juni 2013.
____ ., Suryono, "Pusaka Sak ti Bemama Pancasila",
dalam harian Analisa, 01 Juni 2013.
____ ., Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Jakarta:
Gramedia, 1981
Bertens, K., Etika, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, (2002)
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Delfgaauw, Bernard, Filsafat Abad 20, terj. Soejono
Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 143


Departemen Agama RI. Alqur'an dan Terjemahnsja,
Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Alqur' an, 1989.
Driyarkara., Karya Lengkap (Esai-esai Filsafat Pemikir
yang terlibat penuh dalam Perjuangan
Bangsanya), Kompas, Jakarta, (2006)
____., Percikan Filsafat, Jakarta: Pf Pembangunan,
1981
____., Tentang Kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius,
1980.
____.,Tentang Negara dan Bangsa, Yogyakarta,
Kanisius, 1990.
____ ., Ten tang Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius,
1980.
____ ., Pilsafat Manusia, Yogyakarta, Kanisisus, (1969
____ ., Persona dan Personisasi, Yogyakarta (tanpa
tahun
____ ., Kesesatan Epistemologi di Era Reformasi dan
Revitalisasi Nation State, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar pada Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, (2007)
Fuady, Munir, Konsep Negara Demokrasi, Bandung, Refika
Aditama, 2010.
Frondizi, Risieri, Pengantar Filsafat Nilai, Cuk Ananta
Wijaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Geertz, Clifford., Tire Interpretation of Cultures, Selected
Essays by Clifford Geertz, Basic Books, New
York, (1973)

144 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Hamidi, J azim, Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17
Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia. Jumal Konstitusi Volume 3 Nomor 1,
Februari 2006, Jakarta, Mahkamah Konstitusi:
2006.
Hardiman, Budi, Filsafat Fragmentaris, Yaogyakarta,
Kanisiusm, 2007.
Harjono, Anwar, Perjalanan Politik Bangsa: Menoleh Ke
Beiakang Menatap Masa Depan, Jakarta, Gema
Insani Press, 1997.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejnrah Filsafat Barat 2,
Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hassan, Riaz, Keragaman Iman, Studi Komparatif
Masyarakat Muslim. Diterjamahkan dari buku asli
Faitlines: Muslim Comception of Islam and SociehJ
oleh Jajang Jahroni dkk. Jakarta, RajaGraf indo
Persada, 2006 ..
Homby, AS, Wehmeir, Sally (ed)., Oxford Advanced
Learner's Dictionary of Current English, Oxford,
(2005)
Indra, Mohammad "Relasi antara Pendidikan dan
Kebudayaan Untuk Pembentukan Karakter
Bangsa Kajian Filsafat Pendidikan Nicolaus
Driyarkara", Skripsi, Universitas Indonesia, 2009
Jumal Online Universitas Negeri Malang. Pembelajaran
Nilai, Norma, clan Moral dalam PPKn.
http://journal.um.ac. id/index. php/ppkn/article/view/1. 7
16, diakses pada tanggal 8 September 2013.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 145


Kaelan, MS., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat,
Paradigma, Y ogyakarta, (2005)
Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2009.
Karim, A. Gafar, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam
Indonesia, Jogjakarta, LKIS, 1992.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. "Pancasila
Sebagai Rambu Politik Hukum Nasional".
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php,
diakses tanggal 8 Oktober 2013
Mas, Marwan, "Kesaksian dan Logika Publik" dalam
kolom opini Tribun Timur, kamis 12 September
2013,
MD, Mahfud, Makalah pada Kuliah Perdana Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin, 17
September 2012
____ ., Mahfud, Pusat Studi Pancasila Universitas
Gadjah Mada. Penuangan Pancasila di Dalam
Peraturan Perundang-Undangan.
http://www.psp.ugm.ac.id/publikasi/artikeV53-
penuangan-Pancasila-di-dalam-perah,ran-perundang-
undangan.html, diakses tanggal 18 September
2013.
Al-Munawar, Said Agil Husain, Fikih Hubungan Antar
Agama, Jakarta, Ciputat Press, 2005.
Mustari., Agama dalam bayang-Bayang Etis, LkiS,
Yogyakarta, (2010)
Noeh, Munawar Fuad, Islam clan Gerakan Moral Anti
Korupsi, Jakarta: Zikru'l-Hakim, 1997.

146 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Notonagoro. Pancasila Secora Ilmiali Populer, Jakarta, Bumi
Aksara, 1971.
Nursalim, Mashudi, dan M. Nurkhoiron, (ed), Hak
Minoritas Multikulturalisme, dan Dilema Negara
Bangsa, Jakarta, Yayasan TIFA, 2007.
Qutub, Muhammad, Al Tathotour toa Al Tsabat ft Hayah Al
Nasyariyah. Diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi
Asmin dan Marwan, Evolusi Moral, surabaya, Al
Ikhlas, 1995 ..
Rato, Yanci da, http://agoradriyarkara.weebly.com. (akses
tanggal 12/09/2013).
S., Soedjito, Transformasi Sosial Menuju Masyarakat
Industri Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Sastrapratedja, M., dalam Mahkamah Konstitusi.
Pancasila Sebagai Dasar Negara, Asas Etika Politik,
dan Acuan Kritik Ideologi, Kongres Pancasila:
Pancasila dalam Berbagai Perspektif, Jakarta, Setjen
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2009 ..
Soenoto, Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, Yogyakarta,
Andi Offset, 1989.
Sudiarja, A., peny., KanJa Lengkap Driyarkara: Esai-Esai
Filsafut Pemikir yang Terlibat Penun dalam
Perjuangan Bangsanya, Jakarta, PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Sufyanto dan Imam Musbikin (eds), Fazlurrahman, Cita-
Cita Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.
Sumartono, M., http://print.kompas.com. Akses 9 Agustus
2013.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 147


uryo, Joko., 2006, Sumber-Sumber Seiarah: Uniuk
Penelitian Sejarah Indonesia, Sebuah Pengantar,
Perpustakaan Nasional RI, Penyajian Materi
Metode Penelitian Sejarah di Jurusan Sejarah
Universitas Airlangga, Surabaya.
'ajuddin, Shaleh, Konsep Negara dan Civil SociehJ dalam
Pandangan Thomas Hobbes dan Muhammad Iqbal:
Studi Perbandingan Analisis Filsafat Politik,
Disertasi PPs UIN Alauddin, 2012).
'angdilintin, Philips, "Pilih Pemimpin atau Pejabat?"
dalam opni Tribun Timur, terbit Kamis 19
September 2013.
"im CSIS, Pandangan Presiden Soeharto ten tang Pancasila,
Jakarta, CSIS, 1976.
"im Lipsus Tribun Timur "Masikah Pancasila Sakti"
Minggu 29 September 2013.
"im Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Filsafat
Pancasila (2000)
"urner, Bryan S., Runtult Unioersalitas Sosiologi Barat:
Bongkar Wacana Atas: Islam Vis A Vis Barat,
Orientalisme, Posmodemisme, dan Globalisme,
Jakarta, Ar-Ruzz Media, 2008 ..
�ahyudi, Agus, dalam Mahkamah Konstitusi.
Membangun Negara Pancasila dengan Teori Kebaikan
dan Teori Kebenaran, Kongres Pancasila: Pancasila
dalam Berbagai Perspektif, Jakarta, Setjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi:2009 ..
,Villiam Outhwaite (ed), The Blackwell Dictionary of
Modern Social Thougt, dialibahasakan oleh Tri

.48 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME


Wibowo B.S., Kamus Lengkap Pemikiran Sosial
Modern, Jakarta, Prenada Media Group, 2008 ..
Wirarrrihardja, Sutardjo A., Pengantar Filsafat; Sistematika
dan Sejarah Filsafat Logika, Filsafat Ilmu, Metafisika
dan Filsafat Manusia, Bandung, Refika Aditama,
2009.
Zaprulkhan, Filsafat Umun Sebuah Pendekatan Temaiik,
Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2012.

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 149


150 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NAS.IONALISME
BIODATA PENULIS

Mustari Mustafa, lahir di Siru


Manggarai Barat NTT, tanggal 30
September 1971. Putra dari
bapak/ ibu H. Mustafa Ibrahim
dan Hj. Sernia. Penulis bertempat
tinggal di Anging Marniri
Residence GS-1, Hertasning Baru
Makassar. Merniliki isteri
bernama Diany Marganingsih,
S.Sos, M.P A, bekerja sebagai
pegawai Kementrian Kehutanan RI BKSDA Makassar
dan dianugerahi anak, Puteri Azizah, Aniq Shabrina Sri
Murnpuni dan Aileen Saskira Pararnadani.
Penulis menyelesaikan Pendidikan dasar dan
menengah pertarna di Manggarai Barat dan melanjutkan
pendidikan Madrasah Aliyah Negeri di Ende NTT.
Menyelesaikan pendidikan Sl Komunikasi dan
Penyiaran Islam di IAIN Alauddin Makassar tahun 1995.
Selanjutnya tahun 2000 menyelesaikan pendidikan
Magister jurusan Sosiologi di Universitas Negeri
Makassar dan Doktor filsafat Universitas Gadjah Mada
tahun 2009. Sejak tahun 1997 sampai sekarang menjadi
Dosen tetap Filsafat Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar dan mata kuliah lain yaitu: Filsafat Dakwah,
dan Metodologi Penelitian dan khusus pada Program
Pascasariana mengajar, Metode Penelitian Filsafat,

NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME I 151


Filsafat Ilmu, Filsafat Barat, Filsafat Agama, Sejarah
Pemikiran Islam dan Sejarah Perkembangan Sains Islam.
Karya ilmiah yang dihasilkan antara lain :
pertama, untuk meraih gelar akademik, yaitu : Studi
Metodologi Dakwah Paramadina Jakarta (skripsi th
1995), Pengaruh Dakwah Terhadap Kesadaran
Lingkungan Hidup Masyarakat, Makassar (tesis th 2000),
dan Etika Religius Syekh Yusuf Relevansinya Bagi
Dakwah Islam Di Indonesia ( disertasi th 2009). Kedua,
karya tulis sebagai editor buku, yaitu : Begawan Jadi
Presiden, catatan untuk pencapresan Nurcholish Madjid
(editor, th 2004), Pembaharuan Pemikiran Islam Di
Indonesia ( editor, th 2006), Syari' ah Demokratik (editor,
th 2006), Historiografi Haji Indonesia (editor th 2007) dan
sejumlah buku terbitan UIN Alauddin Press. Ketign,
buku yang telah terbit secara umum, yaitu : Dakwah
Sufisme Syekh Yusuf al Makassary (2010), Agama Dalam
Bayang-Bayang Etis (2011), Buku Daras Filsafat Nilai
(2011 ), Konstruksi Filsafat Nilai, antara normatifitas dan
historisitas (2011 ), Filsafat dan Ilmu Pengetauan, Pilar
Kaki Langit Peradaban (2012), Aku Ada Karena Mereka
Ada:serial Character Building Training UIN (2012), di
samping itu artikel, basil penelitian dan makalah di
antaranya telah dimuat dibeberapa Jumal, baik lokal,
nasional maupun Intemasional.

152 I NATION STATE DAN KEJATUHAN NASIONALISME

Anda mungkin juga menyukai