Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHALUAN

APENDIKTOMI

Oleh :

Fransisca Gandi Ismail 201710300511105

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN

I. DEFINISI
Apendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks yang dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi akibat pecahnya bagian dari
appendix (umbai cacing). Tindakan operasi apendiktomi merupakan tindakan
yang dilakukan untuk mencegah komplikasi, dan obstruksi pada apendiks lebih
lanjut (Riyadi, 2010).
Apendiktomi adalah pembedahan atau operasi pengangkatan apendiks
(Haryono, 2012). Apendiktomi merupakan pengobatan melalui prosedur tindakan
operasi hanya untuk penyakit apendisitis atau penyingkiran/pengangkatan usus
buntu yang terinfeksi. Apendiktomi dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan risiko perforasi lebih lanjut seperti peritonitis atau abses (Marijata
dalam Pristahayuningtyas, 2015)
II. ETIOLOGI
Etiologi dilakukannya tindakan pembedahan pada penderita apendiksitis
dikarenakan apendik mengalami peradangan. Apendiks yang meradang dapat
menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidak dilakukan tindakan pembedahan.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hiperplasia
jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.histolytica
(Sjamsuhidayat, 2011).
III. PATOFISIOLOGI
Obstruksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
terbendung, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan
dinding appendiks oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral.
Oleh karena itu persarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka
rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar umblikus.
Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah,
kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu,
peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium parietal setempat,
sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan
appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut
dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah,
dinamakan appendisitis perforasi.
Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang
meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut sebagai
appendisitis abses. Pada anak – anak karena omentum masih pendek dan tipis,
apendiks yang relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya
tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada
gangguan pembuluh darah, maka perforasi terjadi lebih cepat. Bila appendisitis
infiltrat ini menyembuh dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari
maka terjadi appendisitis kronis. (Syamsuhidayat, et.al, 2015)
IV. PATHWAY
V. MANIFESTASI KLINIS
Pada kasus apendiksitis akut klasik, gejala awal adalah nyeri atau rasa tidak
enak di sekitar umbilikus. Gejala ini umunya berlangsung lebih dari satu atau dua
hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah dengan disertai
oleh anoreksia, mual, dan muntah. Dapat juga terjadi nyeri tekan di sekitar titik
Mc Burney. Kemudian, dapat timbul spasme otot dan nyeri tekan lepas. Biasanya
ditemukan demam ringan dan leukositosis sedang ((FKUI, 2017).
Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual,
muntah, dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc Burney bila
dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi nyeri bila tekanan
dilepaskan) mungkin dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah
terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnta infeksi dan lokasi
appendiks. Bila apendisitis melingkar di belakang sekum, nyeri tekan dapat terasa
di daerah lumbal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung appendiks berada dekat
rektum. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa appendiks dekat dengan
kandung kemih atau ureter.
Gambaran klinik apendisitis:
a. Tanda awal
Nyeri mulai di episgastrium atau regiomilikus disertai mual dan anoreksia.
b. Nyeri rangsang peritonium tidak langsung
Nyeri rangsang peritonium tidak langsung meliputi nyeri kanan bawah pada
tekanan kiri (Rovsing), nyeri tekanan bawah bila tekanan di sebelah kiri
dilepaskan (Blumberg), nyeri tekanan bawah bila peritoneum bergerak
seperti nafas dalam berjalan, batuk, atau mengedan. (FKUI, 2017).
VI. KOMPLIKASI
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks, yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 10% sampai
32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Peforasi secara umum terjadi
24 jam setelah nyeri (gejala-gejalanya termasuk demam, penampilan toksik dan
nyeri berlanjut). (Syamsuhidayat, et.al, 2002).
VII. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pembedahan di indikasikan bila diagnosa apendiksitis telah ditegakkan,
antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat
diberikan setelah diagnosa di tegakan .
Apendektomi dilakukan sesegara mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendektomi dapat dilakukan dengan anastesi umum spinal dengan insisi
abdomen bawah dengan laparaskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat
efektif (Smeltzer & Bare, 2013).
1. Pra Operatif
A. Observasi
Dalam 8 – 12 jam setelah kaluhan tanda dan gejala apendiksitis
seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu di
lakukan. Pasien diminta untuk tirah baring dan dipuasakan, laksatif tidak
di berikan. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah di
ulang secara periodik, foto thoraks dan abdomen dilakukan untuk mencari
kemungkinan ada penyulit lain.
B. Infus intravena di gunakan untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat dan
menggantikan cairan yang telah hilang.
C. Terapi Antibiotik dapat di berikan untuk mencegah infeksi
2. Pasca Operasi
Perlu dilakukan obsevasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syock, hipertermi, atau gangguan pernafasan. Baringkan
pasien dalam posisi semi fowler. Posisi ini mengurangi tegangan pada insisi dan
organ abdomen. Pasien di katakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi
gangguan. Pasien dipuasakan, bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada
perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali
normal.
Berikan minum mulai dari 15 ml/jam selama 4 - 5 jam lalu naikan menjadi 30
ml/jam. Keesokan hari nya di berikan makanan saring, dan hari berikutnya di
berikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi di anjurakan untuk duduk tegak
di tempat tidur selama 2x30 menit. Pada hari berikutnya pasien boleh berdiri dan
duduk di luar kamar. Pada hari ke 5 atau 7 jahitan dapat di buka di angkat dan
pasien diperbolehkan pulang.
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Jumlah leukosit lebih tinggi dari 10.000 /mm3, normalnya 5.000-10.000/mm3
2. Jumlah netrofil lebih tinggi dari 75%
3. Pemeriksaan urin rutin, urinalisis normal, tetapi eritrosit atau lekosit mungkin
ada.
4. Pemeriksaan photo sinar x tidak tampak kelainan yang spesifik (Smeltzer &
Bare, 2013).
IX. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Menurut (Smeltzer & Bare, 2013).
Dasar data pengkajian pasien (pra operasi)
1. Aktivitas atau istirahat
Gejala : Malaise
2. Sirkulasi
Tanda : Takikardia
3. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal
Diare (kadang-kadang)
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan / nyeri lepas, kekakuan, penurunan
atau tidak ada bising usus
4. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia
Mual / muntah
5. Nyeri kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney.
Mc. Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan),
meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau nafas dalam (nyeri
berhenti tiba-tiba di duga perforasi atau infark pada appendiks)
keluhan berbagai rasa nyeri atau gejala tidak jelas (sehubungan
dengan lokasi appendiks, contoh retrosekal atau sebelah ureter).
Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang
dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan atau posisi duduk tegak
Nyeri lepas pada sisi kiri di duga inflamasi peritoneal.
6. Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah)
7. Pernafasan
Tanda : Takipnea, pernafasan dangkal
B. Diagnosa keperawatan
1. Infeksi, resiko tinggi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama, perforasi atau ruptur pada apendiks, peritonitis, pembentukan abses.
2. Kekurangan volume cairan, berhubungan dengan muntah pra operasi,
pembatasan pasca operasi.
3. Nyeri (akut) berhubungan dengan adanya insisi bedah.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perjalanan penyakit.
C. Intervensi keperawatan
Diagnosa I
1. Intervensi : Awasi tanda vital, perhatikan demam, menggigil, berkeringat,
perubahan mental, meningkatkan nyeri abdomen
Rasional: Dugaan adanya infeksi atau terjadinya sepsis, abses, peritonitis
2. Intervensi: Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka
aseptik
Rasional: Menurunkan resiko penyebaran penyakit atau bakteri
3. Intervensi: Lihat insisi dan balutan
Rasional: Memberikan deteksi dini terjadi nya proses infeksi dan pengawasan
penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya

Diagnosa II
1. Intervensi: Awasi tekanan darah dan nadi
Rasional: Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intra
vaskuler
2. Intervensi: Lihat membran mukosa, kaji turgor kulit dan pengisian kapiler
Rasional: Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
3. Intervensi: Awasi masukan dan haluaran; catat warna urin atau
konsentrasi, berat jenis
Rasional: Penurunan haluaran urin pekat dengan peningkatan berat jenis di
duga dehidrasi atau kebutuhan peningkatan cairan

Diagnosa III
1. Intervensi: Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik beratnya (skala 0-10)
Rasional: Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan
penyembuhan
2. Intervensi: Pertahankan istirahat dengan posisi semi-fowler
Rasional: Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau
pelvis, menghilang-kan tegangan abdomen
3. Intervensi: Dorong ambulasi dini
Rasional: Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh merangsang
peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan abdomen

Diagnosa IV
1. Intervensi: Kaji ulang pembatasan aktivitas pasca operasi
Rasional: Memberikan inflamasi pada pasien untuk merencanakan rutinitas
biasa tanpa menimbulkan masalah
2. Intervensi: Dorong aktivitas sesuai tolerasi dengan periode istirahat
periodik
Rasional: Mencegah kelemahan, meningkatkan penyembuhan dan perasaan
sehat
3. Intervensi: Anjurkan menggunakan laksatif atau pelembek feses ringan
bila perlu dan hindari enema
Rasional: Membantu kembali ke fungsi usus semula
D. Implementasi
Merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan, dimana rencana
perawatan dilaksanakan pada tahap ini perawat siap untuk menjelaskan dan
melaksanakan intervensi dan aktifitas yang telah dicatat dalam rencana
keperawatan klien, agar implementasi perencanaan ini tepat waktu dan efektif
terhadap biaya, perlu mengidentifikasi prioritas perawatan klien. Kemudian
bila telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap
intervensi dan mendokumentasikannya informasi ini kepada penyediaan
perawatan kesehatan keluarga. ( Doenges, 2002; hal. 105 )
Pelaksanaan keperawatan merupakan tindakan keperawatan yang
dilaksanakan untuk mencapai tujuan pada rencana tindakan keperawatan yang
telah disusun. Prinsip dalam memberikan tindakan kepeerawatan
menggunakan komunikasi terapeutik serta penjelasan setiap tindakan yang
diberikan pada pasien. Pendekatan yang digunakan adalah independen,
dependen dan interdependen.
1. Secara mandiri (independen)
Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu
pasien dalam mengatasi masalahnya atau menanggapi rekasi karena adanya
stressor (penyakit), misalnya :
a. Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
b. Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus.
c. Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
secara wajar.
d. Menciptakan lingkungan terapeutik.
2. Saling ketergantungan /kolaborasi (interdependen)
Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerjasama sesame tim perawatan atau
kesehatan lainnya seperti dokter, fisioterapi, analisis kesehatan, dll.
3. Rujukan / ketergantungan
Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya
dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisioterapi, dsb. Pada
penatalaksanaannya tindakan keperawatan dilakukan secara :
a. Langsung : ditangani sendiri oleh perawat
b. Delegasi : diserahkan kepada orang lain/perawat lain yang dapat
dipercaya.
Apabila tujuan, hasil dan intervensi telah diidentifikasi, perawat siap
untuk melakukan aktivitas pencatatan pada rencana perawatan klien. Dalam
mengaplikasikan rencana kedalam tindakan dan penggunaan biaya secara
efektif serta pemberian perawatan tersebut. Dalam menentukan prioritas saat
ini, perawat meninjau ulang sumber – sumber sambil berkonsultasi dan
mempertimbangkan keinginan klien. (Doengoes E. Marillyn,
“Rencana Askep”, hal. 21).
E. Evaluasi
Meskipun proses keperawatan mempunyai tahap-tahap, namun
evaluasi berlangsung terus menerus sepanjang pelaksanaan proses
keperawatan. Tahap evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan
lainnya. Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai
tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Langkah dari
evaluasi proses keperawatan adalah mengukur respon klien terhadap tindakan
keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Perawat
mengevaluasi apakah perilaku atau respon klien mencerminkan suatu
kemunduran atau kemajuan dalam diagnosa keperawatan atau pemeliharaan
status yang sehat. Selama evaluasi, perawat memutuskan apakah langkah
proses keperawatan sebelumnya telah efektif dengan menelaah respon klien
dan membandingkannya dengan perilaku yang disebutkan dalam hasil yang
diharapkan.
Sejalan dengan yang telah dievaluasi pada tujuan, penyesuaian
terhadap rencana asuhan dibuat sesuai dengan keperluan. Jika tujuan terpenuhi
dengan baik, perawat menghentikan rencana asuhan tersebut dan
mendokumentasikan analisa masalah teratasi. Tujuan yang tidak terpenuhi dan
tujuan yang sebagian terpenuhi mengharuskan perawat untuk melanjutkan
rencana atau memodifikasi rencana asuhan keperawatan.
Tujuan dari evaluasi antara lain:
1. Untuk menentukan perkembangan kesehatan klien.
2. Untuk menilai efektifitas, efisiensi, dan produktifitas dari tindakan
keperawatan yang telah diberikaUntuk menilai pelaksanaan asuhan
keperawatan.Mendapatkan umpan balik.
3. Sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat dalam pelaksanaan
pelayanan keperawatan.
4. Perawat menggunakan berbagai kemampuan dalam memutuskan efektif
atau tidaknya pelayanan keperawatan yang diberikan.
5. Untuk memutuskan hal tersebut dalam melakukan evaluasi seorang
perawat harus mempunyai pengetahuan tentang standar pelayanan, respon
klien yang normal, dan konsep model teori keperawatan.
Dalam melakukan proses evaluasi, ada beberapa kegiatan yang harus
diikuti oleh perawat, antara lain: mengkaji ulang tujuan klien dan kriteria hasil
yang telah ditetapkan, mengumpulkan data yang berhubungan dengan hasil
yang diharapkan, mengukur pencapaian tujuan, mencatat keputusan atau hasil
pengukuran pencapaian tujuan, dan melakukan revisi atau modifikasi terhadap
rencana keperawatan bila perlu.
Evaluasi terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Evaluasi struktur. Evaluasi struktur difokuskan pada kelengkapan tata cara
atau keadaan sekeliling tempat pelayanan keperawatan diberikan. Aspek
lingkungan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi dalam
pemberian pelayanan. Persediaan perlengkapan, fasilitas fisik, rasio perawat-
klien, dukungan administrasi, pemeliharaan dan pengembangan kompetensi
staf keperawatan dalam area yang diinginkan.
2. Evaluasi proses. Evaluasi proses berfokus pada penampilan kerja perawat
dan apakah perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan merasa cocok,
tanpa tekanan, dan sesuai wewenang. Area yang menjadi perhatian pada
evaluasi proses mencakup jenis informasi yang didapat pada saat wawancara
dan pemeriksaan fisik, validasi dari perumusan diagnosa keperawatan, dan
kemampuan teknikal perawat.
3. Evaluasi hasil. Evaluasi hasil berfokus pada respons dan fungsi klien.
Respons perilaku klien merupakan pengaruh dari intervensi keperawatan dan
akan terlihat pada pencapaian tujuan dan kriteria hasil.
Adapun ukuran pencapaian tujuan pada tahap evaluasi meliputi:
a. Masalah teratasi; jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengantujuan
dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
b. Masalah sebagian teratasi;jika klien menunjukkan perubahan sebahagian
dari kriteria hasil yang telah ditetapkan.
c. Masalah tidak teratasi; jika klien tidak menunjukkan perubahan dan
kemajuan sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah
ditetapkan dan atau bahkan timbul masalah/diagnosa keperawatan baru.
d. Untuk penentuan masalah teratasi, teratasi sebahagian, atau tidak teratasi
adalah dengan cara membandingkan antara SOAP dengan tujuan dan kriteria
hasil yang telah ditetapkan.
e. Subjektif adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari klien
setelah tindakan diberikan. Objektif adalah informasi yang didapat berupa
hasil pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah
tindakan dilakukan. Analisis adalah membandingkan antara informasi
subjektif dan objektif dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil
kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebahagian, atau tidak teratasi.
Planning adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa.
Adapun evaluasi keperawatan yang dapat dicapai pada klien post
appendiktomi adalah :
a. Tidak terjadi infeksi dan menunjukkan proses penyembuhan luka yang
optimal.
b. Mempertahankan keseimbangan cairan.
c. Nyeri dapat berkurang/hilang.
d. Menyatakan pemahaman, proses penyakit, pengobatan, dan potensi
komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Hartono, Andri. 2012. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit, edisi 2. Jakarta: EGC

Riyadi. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 4, jilid 3. Jakarta: EGC

Hidayat, A.A.2012. pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan. Jakarta :
Medika Selemba.
Mohan, H. 2013. Pathology practical book. Ed 3. Jaypee Replika press PVT
Manuaba, dkk. 2017. Pengantar kuliah obstetric. Cet . penerbit buku kedokteran EGC :
Jakarta
Wilkinson. 2012. Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan criteria hasil
NOC. Edisi 7. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai