Anda di halaman 1dari 46

PENERAPAN ALGORITMA GENETIKA UNTUK OPTIMASI

PENGELOLAAN AIR LAHAN PADI SAWAH


RENDAH EMISI GAS METANA (CH4)

YULVIN MARHAMAH PUTRI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Algoritma


Genetika untuk Optimasi Pengelolaan Air Lahan Padi Sawah Rendah Emisi Gas
Metana (CH4) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2018

Yulvin Marhamah Putri


NIM F44140024
i

ABSTRAK

YULVIN MARHAMAH PUTRI. Penerapan Algoritma Genetika untuk Optimasi


Pengelolaan Air Lahan Padi Sawah Rendah Emisi Gas Metana (CH4). Dibimbing
oleh CHUSNUL ARIF.

Budidaya padi sawah secara konvensional dengan sistem genangan


menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang cukup besar khususnya gas
metana (CH4). Penurunan emisi gas metana dari lahan padi sawah dapat dilakukan
dengan menentukan pengelolaan air yang efektif. Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan tinggi muka air dan kelembaban tanah optimum pada masing-masing
fase pertumbuhan tanaman menggunakan algoritma genetika (AG) dengan
budidaya padi system of rice intensification (SRI). Penelitian dilakukan dengan tiga
perlakuan irigasi yaitu rezim air tergenang (RT), rezim air basah (RB), dan rezim
air kering (RK). Data pengamatan kemudian digunakan untuk simulasi penentuan
tinggi muka air dan kelembaban tanah yang optimum. Berdasarkan hasil optimasi
tinggi muka air dengan model AG dapat diturunkan emisi gas metana sebesar
63.54% dan dengan kelembaban tanah optimal dapat diturunkan emisi gas metana
sebesar 58.12%.

Kata kunci: algoritma genetika, gas rumah kaca, kelembaban tanah, SRI, tinggi
muka air

ABSTRACT

YULVIN MARHAMAH PUTRI. Application of Genetic Algorithms for Water


Management Optimization of Low Methane Gas Emission (CH4) from Paddy
Fields. Supervised by CHUSNUL ARIF.

Conventional paddy field with continuous flooding irrigation produces a lot


of greenhouse gases (GHG) emissions, especially methane gas (CH4). Effective
water management is important to reduce methane gas emissions from paddy fields.
This study aimed to determine optimum water level and soil moisture in each plant
growth stage by genetic algorithms (GA) with system of rice intensification (SRI)
practices. Research was conducted with three irrigation regimes i.e, continuous
flooding regime (FR), moderate regime (MR), and dry regime (DR). Observation
data were used to simulate the optimum water level and soil moisture. Based on the
optimum water level scenario of the GA model, methane gas emissions could
reduce 63.54% and optimum soil moisture can reduce methane gas emission up to
58.12%.

Keywords: genetic algorithms, greenhouse gases, soil moisture, SRI, water level
ii

PENERAPAN ALGORITMA GENETIKA UNTUK OPTIMASI


PENGELOLAAN AIR LAHAN PADI SAWAH
RENDAH EMISI GAS METANA (CH4)

YULVIN MARHAMAH PUTRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
iv

PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul Penerapan Algoritma Genetika untuk
Optimasi Pengelolaan Air Lahan Padi Sawah Rendah Emisi Gas Metana (CH4)
dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
dari bulan Januari sampai Mei 2018 dan merupakan salah satu syarat untuk
kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Teknik di Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih diucapkan kepada Dr. Chusnul Arif, S.TP, M.Si selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing dan memberikan arahan dalam penyusunan
skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada:
1. Ibu Joana Febrita, S.T., M.T dan Ibu Titiek Ujianti Karunia, S.T., M.T selaku
dosen penguji skripsi yang telah memberikan arahan selama penulisan skripsi
ini.
2. Bapak Saepul Mikdar dan Ibu Cucu Yuharningsih serta seluruh keluarga atas
doa dan kasih sayangnya.
3. Pak Pandi yang telah membantu dalam pembuatan peralatan penelitian dan
panen serta Dr. Nur Aini Iswati Hasanah, S.T., M.Si yang telah mendampingi
selama penelitian berlangsung.
4. Fitriani, Raidah, Ricky, Ridho Aarasy, dan Suwardi sebagai rekan satu
bimbingan yang telah membantu dan mendukung penyelesaian karya ilmiah
ini.
5. Rekan-rekan SIL 51 atas segala bantuan, doa, semangat, dan kebersamaannya
selama ini.
Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan karya
ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Bogor, Agustus 2018

Yulvin Marhamah Putri


v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
System of Rice Intensification (SRI) 3
Emisi Gas Metana (CH4) pada Lahan Pertanian 3
Algoritma Genetika 3
METODE PENELITIAN 4
Waktu dan Lokasi 4
Alat dan Bahan 4
Prosedur Penelitian 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Sifat Kimia dan Fisika Tanah 11
Fluks Gas Metana (CH4) 12
Pengaruh Lingkungan Mikro terhadap Fluks Gas Metana (CH4) 13
Pengelolaan Air Optimum dengan Model Algoritma Genetika 17
SIMPULAN DAN SARAN 21
Simpulan 21
Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 22
LAMPIRAN 25
RIWAYAT HIDUP 32
vi

DAFTAR TABEL

1 Hasil analisis sifat fisika tanah 11


2 Hasil analisis sifat kimia tanah 11
3 Tinggi muka air dan fluks gas metana selama satu musim tanam 14
4 Kelembaban tanah dan fluks gas metana selama satu musim tanam 16
5 Hasil optimasi tinggi muka air dan kelembaban tanah dengan algoritma
genetika 20

DAFTAR GAMBAR

1 Pola irigasi rezim air tergenang (RT) 5


2 Pola irigasi rezim air basah (RB) 5
3 Pola irigasi rezim air kering (RK) 5
4 Kerangka model JST untuk optimasi tinggi muka air 7
5 Kerangka model JST untuk optimasi kelembaban tanah 8
6 Proses optimasi dengan algoritma genetika 9
7 Diagram alir penelitian 10
8 Fluks gas metana pada ketiga rezim air selama satu musim tanam 12
9 Perubahan tinggi muka air selama satu musim tanam 14
10 Hubungan tinggi muka air dengan emisi gas metana 15
11 Perubahan kelembaban tanah selama satu musim tanam 16
12 Hubungan kelembaban tanah dengan emisi gas metana 17
13 Hasil validasi model JST 18
14 Hasil prediksi gas metana berdasarkan model JST 18
15 Hasil optimasi tinggi muka air dengan algoritma genetika 19
16 Hasil optimasi kelembaban tanah dengan algoritma genetika 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 25


2 Tampilan program algoritma genetika untuk optimasi tinggi muka air 26
3 Tampilan program algoritma genetika untuk optimasi kelembaban tanah 27
4 Kode pemrograman model algoritma genetika (Arif 2013) 28
5 Kegiatan penelitian 31
1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mayoritas penduduk di Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan


pokok. Kebutuhan beras sebagai bahan pangan utama terus meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk. Peningkatan produksi beras sebagai bahan
pangan utama dapat meningkatkan produksi pangan nasional. Menurut Arsana
(2003), peluang peningkatan produksi padi sawah dapat dilakukan melalui
penggenangan. Penggenangan pada budidaya padi sawah berperan mempercepat
proses dekomposisi mulsa atau jerami dan melunakan tanah sebelum penanaman.
Namun di sisi lain penggenangan menyebabkan dampak negatif terhadap
lingkungan seperti aplikasi pestisida secara berlebihan, pencemaran air, tanah, serta
sebagai penghasil gas rumah kaca (GRK) (Isminingsih 2009).
Gas alam yang dihasilkan secara alami oleh makhluk hidup, baik hewan
maupun tumbuhan disebut gas rumah kaca (Lintangrino dan Boedisantoso 2016).
Salah satu sektor penyumbang emisi gas rumah kaca adalah sektor pertanian. Gas
rumah kaca yang di lepaskan ke atmosfer berupa CO2, CH4, dan N2O (Paustian et
al. 2004). Pembakaran serasah tanaman, pembusukan oleh mikroba, dan bahan
organik tanah menghasilkan gas CO2 (Janzen 2004). Transformasi mikroba pada
tanah menghasilkan N2O dan meningkat apabila ketersediaan nitrogen melebihi
jumlah yang dibutuhkan tanaman (Smith dan Conen 2004). Sedangkan CH4
dihasilkan apabila dekomposisi bahan organik terjadi pada kondisi kekurangan
oksigen (anaerobik), terutama dari lahan sawah (Mosier 2001).
Peningkatan emisi gas rumah kaca diprediksi terus bertambah pada masa
yang akan datang karena meningkatnya kebutuhan pangan yang disebabkan
penggunaan lahan marginal (Lintangrino dan Boedisantoso 2016). Menurut Snyder
et al. (2007), budidaya padi sawah dengan pola irigasi tergenang menyumbangkan
emisi gas rumah kaca yang cukup besar terutama gas metana (CH4) yang
merupakan salah satu gas rumah kaca yang memiliki potensi 23 kali lebih besar dari
gas CO2. Salah satu alternatif strategi mitigasi gas rumah kaca dari lahan sawah
adalah dengan budidaya padi system of rice intensification (SRI) (Arif et al. 2016).
Metode SRI telah dikenal sebagai sekumpulan cara sebagai upaya
peningkatan produktivitas lahan sawah irigasi dengan merubah manajemen
tanaman, tanah, dan pupuk/nutrisi (Arif et al. 2014). Menurut Simarmata (2016),
proses manajemen sistem perakaran budidaya SRI berbasis pada pengelolaan air,
tanah, dan tanaman yang intensif dan efisien. Budidaya padi SRI hanya
menggunakan air untuk menjaga kelembaban tanah agar suplai oksigen ke akar
cukup sehingga padi dapat tumbuh dengan baik (Rufako 2015). Selain itu,
pengelolaan air yang optimal untuk lahan padi sawah rendah emisi gas metana perlu
dilakukan. Pengelolaan air yang optimal merupakan kondisi dimana jumlah
pemberian air sesuai yang dibutuhkan, dilakukan secara tepat waktu, dan tepat
sasaran. Permasalahan suatu pencarian nilai optimasi memerlukan bantuan suatu
model untuk memudahkan prosesnya. Oleh karena itu, model algoritma genetika
(AG) digunakan sebagai cara untuk mencari solusi pengelolaan air yang optimal
dengan cara mencari berbagai macam kombinasi dengan fungsi tujuan tertentu
(Arif et al. 2014).
2

Perumusan Masalah

Gas metana dapat menyebabkan efek rumah kaca yang berdampak bagi
kehidupan manusia dan lingkungan. Berbagai kondisi lingkungan biofisik sawah
yang dinamis mengakibatkan emisi gas metana juga dinamis, sehingga
pengambilan gas di siang hari tidak dapat mewakili kondisi malam hari. Hal ini
mengindikasikan terdapat potensi kesalahan perhitungan akumulasi gas metana
harian disebabkan pengambilan gas yang tidak kontinu tersebut. Penelitian untuk
mengetahui emisi gas metana pada lahan sawah harus menggunakan metode yang
kompleks, memakan waktu yang lama, serta biaya yang tidak sedikit. Oleh karena
itu, diperlukan metode yang dapat membantu peneliti untuk memprediksi emisi gas
metana secara terukur sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik yang dikehendaki
serta melakukan optimasi pengelolaan air yang optimal untuk mereduksi gas
metana.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Menganalisis pengaruh pola irigasi yang berbeda terhadap emisi gas metana
yang dihasilkan dari lahan sawah.
2. Menganalisis hubungan antara tinggi muka air dan kelembaban tanah
terhadap emisi gas metana yang dihasilkan dari lahan sawah.
3. Mengembangkan model algoritma genetika untuk menentukan tinggi muka
air dan kelembaban tanah optimum pada masing-masing fase pertumbuhan
tanaman selama satu musim tanam.

Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian ini adalah memberikan informasi kepada pengelola


lahan mengenai besarnya pengaruh rezim air terhadap emisi gas metana yang
diproduksi oleh lahan padi sawah, serta sebagai salah satu cara untuk optimasi
pengelolaan air pada lahan persawahan dalam upaya mitigasi emisi gas rumah kaca.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini dideskripsikan secara singkat sebagai


berikut:
1. Penelitian ini menghitung dan menganalisis karakteristik dari laju perubahan
gas metana yang dihasilkan pada lahan sawah.
2. Budidaya dilakukan dengan menggunakan metode konvensional dan system
of rice intensification (SRI). Metode SRI yang dimaksud dibagi ke dalam dua
pembagian rezim air, yaitu rezim air basah dan rezim air kering.
3. Pengembangan model optimasi didasarkan pada data empirik selama satu
musim tanam budidaya padi SRI. Parameter yang diukur pada model tersebut
adalah pengelolaan air optimum (tinggi muka air dan kelembaban tanah) pada
empat fase pertumbuhan tanaman.
3
TINJAUAN PUSTAKA

System of Rice Intensification (SRI)

Proses manajemen budidaya padi dalam pengelolaan tanah, tanaman, dan air
pada lahan sawah dilakukan secara intensif dan efisien melalui pemberdayaan
kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan disebut
system of rice intensification (SRI) (Ditjen PSP 2014). Menurut Anugrah et al.
(2008), pemberian kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman padi
dilakukan untuk mengembangkan semua potensi yang ada pada tanaman tersebut.
Sehingga hasil yang didapatkan secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah
masing-masing bagiannya. Penerapan metode SRI minimal mendapatkan hasil
panen dua kali lipat dibandingkan metode penanaman konvensional. Selain itu,
penggunaan varietas padi rendah emisi gas metana diharapkan tidak hanya berdaya
hasil tinggi, namun juga dapat mengurangi emisi gas metana (Setyanto 2006).

Emisi Gas Metana (CH4) pada Lahan Pertanian

Gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan
terjadinya pemanasan global. Gas metana dihasilkan apabila dekomposisi bahan
organik terjadi pada kondisi kekurangan oksigen (anaerobik), terutama dari lahan
sawah (Mosier 2001). Dekomposisi bahan organik pada kondisi kekurangan
oksigen (anaerobik) inilah yang menyebabkan lahan sawah menjadi salah satu
penyumbang emisi gas metana ke atmosfer. Jumlah gas metana yang diemisikan ke
atmosfer sangat dipengaruhi oleh aktivitas bakteri metanogenik, yaitu
mikroorganisme anaerobik yang mampu mereduksi karbon dioksida menjadi
metana (Setyanto 2008). Kondisi tanah tergenang menyebabkan oksidan semakin
berkurang sehingga gas metana semakin cepat dan banyak terbentuknya dalam
tanah. Oleh karena itu, sistem irigasi berperan sangat penting dalam upaya
mereduksi pembentukan gas metana dalam tanah (Arif et al. 2016).

Algoritma Genetika

Metode adaptif yang digunakan untuk memecahkan suatu pencarian nilai


dalam suatu masalah optimasi disebut algoritma genetika. Algoritma genetika
bekerja berdasarkan teori evolusi Darwin dengan mengikuti prinsip genetika
dimana individu dalam suatu populasi dengan sifat yang sesuai dengan
lingkungannya akan dipilih sebagai generasi terbaik (Arif et al. 2014). Menurut Arif
et al. (2006), algoritma genetika memiliki kemampuan untuk mengoptimasi
permasalahan pencarian nilai dengan mencari nilai optimum dari sekumpulan solusi
secara parallel. Algoritma genetika digunakan untuk mengoptimalkan parameter
dan untuk lebih menemukan parameter yang dioptimalkan (Wang et al. 2014).
Namun pemilihan parameter yang salah dapat mengurangi akurasi yang dihasilkan
(Ispandi 2015). Algoritma genetika terdiri dari tiga operasi utama yang meliputi
seleksi, persilangan (crossover), dan mutasi (mutation) (Sihombing 2011).
4
METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2018, atau
selama satu masa tanam padi. Penanaman dilaksanakan pada 20 Januari dan panen
pada 13 Mei 2018. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Departemen
Teknik Sipil dan Lingkungan yang terletak pada 60 35’ 35.36” LS dan 1060 46’
17.95” BT untuk penanaman budidaya padi. Peta lokasi dari Laboratorium Lapang
dapat dilihat pada Lampiran 1. Analisis gas dilakukan di Laboratorium Gas Rumah
Kaca di Jakenan, Pati, Jawa Tengah.

Alat dan Bahan

Penelitian ini meliputi uji analisis gas metana dan penerapan algoritma
genetika untuk optimasi pengelolaan air (tinggi muka air dan kelembaban tanah)
lahan padi sawah. Alat yang digunakan untuk pengambilan contoh gas metana
adalah kotak tertutup (chamber) berukuran 30 cm x 30 cm x 120 cm disertai
chamber base berukuran 30 cm x 30 cm x 20 cm, kantong tedlar 200 ml, botol vial
coklat 10 ml dilengkapi dengan klep karet. Alat yang digunakan untuk penerapan
model algoritma genetika adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan
perangkat lunak Microsoft Excel 2016.
Bahan yang digunakan dalam penanaman budidaya padi adalah varietas padi
Pertiwi. Pemupukan dilakukan tiga kali selama budidaya padi berlangsung. Jenis
dan jumlah pupuk yang diberikan untuk varietas padi Pertiwi berdasarkan anjuran
yang ada pada kemasan varietas padi tersebut. Pupuk yang diberikan meliputi
pupuk urea, SP-36, dan KCl. Jumlah pupuk urea yang diberikan adalah 100 kg/ha
(5 hari setelah tanam), 100 kg/ha (25 hari setelah tanam) dan 75 kg/ha (40 hari
setelah tanam). Jumlah SP-36 yang diberikan adalah 100 kg/ha (5 hari setelah
tanam), sedangkan KCl yang diberikan adalah 75 kg/ha (5 hari setelah tanam) dan
75 kg/ha (40 hari setelah tanam). Alat yang digunakan untuk melihat kondisi
lingkungan mikro (sekitar lahan budidaya) adalah sensor tinggi muka air (eTape),
sensor suhu dan kelembaban tanah (5TE Moisture/Temp/EC), data logger EM50
untuk menyimpan data, serta software ECH2O Utility untuk mengunduh data.

Prosedur Penelitian

Pola Irigasi
Pola irigasi pada penelitian ini terbagi menjadi tiga rezim air yang berbeda
yaitu rezim air tergenang (Gambar 1), rezim air basah (Gambar 2), dan rezim air
kering (Gambar 3). Pola irigasi rezim air tergenang (RT) diterapkan untuk budidaya
padi konvensional, sedangkan rezim air basah (RB) dan rezim air kering (RK) untuk
budidaya padi SRI (Sujono 2011). Prinsip budidaya padi SRI yang diterapkan
mengikuti tahapan yang telah dirangkum (Hasanah et al. 2017). Setiap perlakuan
dilakukan satu kali pengulangan sehingga dibutuhkan tiga plot lahan berukuran 2
m x 2 m x 0.5 m untuk masing-masing plot budidaya padi. Berdasarkan Gambar 1,
tinggi muka air pada rezim air tergenang adalah 2 cm (0-70 hari setelah tanam) dan
5
0 cm (71-113 hari setelah tanam) di atas permukaan tanah. Gambar 2 menunjukkan
tinggi muka air rezim air basah adalah 1 cm (0-20 hari setelah tanam) dan 0 cm (21-
113 hari setelah tanam) di atas permukaan tanah. Gambar 3 menunjukkan tinggi
muka air rezim air kering adalah 1 cm (0-20 hari setelah tanam), 0 cm (21-30 hari
setelah tanam), dan -5 cm (31-113 hari setelah tanam) di atas permukaan tanah.

3
Tinggi muka air (cm)

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Hari setelah tanam (HST)
Gambar 1 Pola irigasi rezim air tergenang (RT)

3
Tinggi muka air (cm)

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Hari setelah tanam (HST)
Gambar 2 Pola irigasi rezim air basah (RB)

2
Tinggi muka air (cm)

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
-2

-4

-6
Hari setelah tanam (HST)

Gambar 3 Pola irigasi rezim air kering (RK)


6
Pengambilan Contoh Gas Uji
Prosedur pengambilan gas uji mengikuti standar Manual on Measurement of
Methane and Nitrous Oxide Emissions from Agriculture, IAEA 1993. Pengambilan
gas uji dilakukan satu kali dalam seminggu. Sebelum pengambilan gas uji
dilakukan, kipas diaktifkan dan chamber diletakkan pada chamber base. Melalui
selang transparan yang terhubung dengan kran tiga arah pada chamber, kantong
tedlar dan suntikan dipasang sehingga pengambilan gas uji dapat dilakukan.
Pengambilan gas uji dilakukan sebanyak empat kali dari menit ke-0 sampai menit
ke-30. Selanjutnya, gas uji pada kantong tedlar untuk tiap menit pengambilan gas
uji dipindahkan ke dalam satu buah botol vial ukuran 10 ml dengan menggunakan
suntikan melalui klep karet botol vial. Kemudian botol ditutup dengan cat kuku dan
dibungkus dengan plastik wrap. Selanjutnya, gas uji di masukan ke dalam box
pengiriman untuk di kirim ke Laboratorium Gas Rumah Kaca.

Perhitungan dan Analisis Emisi Gas Metana


Analisis dilakukan dengan menggunakan peralatan gas chromatography
(GC) yang terkalibrasi. Hasil analisis yang didapat berupa konsentrasi gas (ppm).
Laju perubahan konsentrasi gas per satuan waktu digunakan dalam penentuan besar
fluks gas. Penentuan fluks gas metana dilakukan dengan menggunakan persamaan
(1) (IAEA 1993).

δC V mW 273.2
E= x x x ............................................................................... (1)
δt A mV 273.2+T

Keterangan :
E = fluks gas CH4 (mg/m2/menit)
δC
= perbedaan konsentrasi gas CH4 per waktu pengambilan (ppm/menit)
δt
Vch = volume chamber (m3)
Ach = luas chamber (m2)
mV = volume molekul gas CH4 (22.41 liter pada suhu dan tekanan standar)
mW = berat molekul gas CH4 (16.04 g/mol)
T = suhu selama sampling (°C)

Total fluks selama satu musim tanam dihitung dengan mengintegralkan nilai
fluks tersebut menggunakan metode numerik Simpson (Arif 2013). Penentuan total
dihitung dengan menggunakan persamaan (2).

b b−a a+b
∫a f (x)dx ≈ 6
[f(a) + 4 f (
2
) + f(b)] ........................................................ (2)

Keterangan :
f (x) = total emisi gas rumah kaca per parameter (mg/m2/musim)
a = waktu pengukuran ke-a (hari)
b = waktu pengukuran ke-b (hari)
f(a) = nilai emisi gas rumah kaca pada waktu ke-a (mg/m2/hari)
f(b) = nilai emisi gas rumah kaca pada waktu ke-b (mg/m2/hari)

Apabila terdapat pencilan (outlier) dalam data yang didapatkan, maka terlebih
dahulu dilakukan analisis dengan metode boxplot. Menurut Paludi (2009), metode
7
ini menggunakan nilai jangkauan dan kuartil, dimana kuartil pertama (Q1), kedua
(Q2), dan ketiga (Q3) akan membagi sebuah urutan data menjadi empat bagian.
Jangkauan (IQR, Interquartile Range) merupakan selisih Q1 terhadap Q3. Data
dianggap sebagai pencilan apabila nilai kurang dari selisih Q1 terhadap 1.5 IQR
serta nilai lebih dari penjumlahan Q3 dan 1.5 IQR.

Pengembangan Model Identifikasi


Proses identifikasi dilakukan untuk mencari hubungan antara parameter yang
akan di optimasi seperti tinggi muka air dan kelembaban tanah dengan produksi gas
metana yang dihasilkan. Proses tersebut dilakukan sebelum melakukan optimasi
untuk menentukan pengelolaan air (tinggi muka air dan kelembaban tanah)
optimum. Berikut ini adalah persamaan dasar yang digunakan.

Y = f(WL1, WL2, WL3, WL4) ........................................................................... (3)

Y = f(SM1, SM2, SM3, SM4) ............................................................................. (4)

Keterangan :
Y = estimasi produksi gas metana (kg/ha/musim)
WL1 = rata-rata tinggi muka air fase awal (cm)
WL2 = rata-rata tinggi muka air fase vegetatif (cm)
WL3 = rata-rata tinggi muka air fase tengah musim (cm)
WL4 = rata-rata tinggi muka air fase akhir musim (cm)
SM1 = rata-rata kelembaban tanah fase awal (m3/m3)
SM2 = rata-rata kelembaban tanah fase vegetatif (m3/m3)
SM3 = rata-rata kelembaban tanah fase tengah musim (m3/m3)
SM4 = rata-rata kelembaban tanah fase akhir musim (m3/m3)

Model identifikasi yang digunakan adalah model jaringan syaraf tiruan (JST).
Model JST yang dikembangkan untuk optimasi tinggi muka air disajikan pada
Gambar 4, sedangkan model untuk optimasi kelembaban tanah disajikan pada
Gambar 5.

Input Hidden Output


layer layer layer

WL1

WL2
Y

WL3

WL4

Gambar 4 Kerangka model JST untuk optimasi tinggi muka air


8
Input Hidden Output
layer layer layer

SM1

SM2
Y

SM3

SM4

Gambar 5 Kerangka model JST untuk optimasi kelembaban tanah

Menurut Hashimoto (1997), model JST digunakan untuk memecahkan


permasalahan kompleks yang sering dijumpai pada bidang pertanian. Model JST
yang digunakan adalah backpropagation dimana hubungan antara input dan output
direpresentasikan dengan pembobot (weights). Menurut Arif et al. (2014),
algoritma ini terdiri dari dua fase yaitu perhitungan forward dan backward
propagation serta update pembobot. Model JST yang dikembangkan terdiri dari
tiga layer, yaitu input layer, hidden layer, dan output layer. Masing-masing layer
terhubung dengan nilai pembobot (weights) yang berperan sebagai penghubung
antara layer tersebut.

Pengembangan Model Algoritma Genetika


Pengembangan model optimasi dilakukan dengan model algoritma genetika.
Proses optimasi dalam menentukan tinggi muka air dan kelembaban tanah optimum
didasarkan pada satu fungsi tujuan yang dapat dilihat pada persamaan (5).

F = a1Y ................................................................................................................ (5)

Maksimasi F (fungsi tujuan) untuk optimasi tinggi muka air dengan batasan
yang disajikan pada persamaan (6). Sedangkan batasan untuk optimasi kelembaban
tanah disajikan pada persamaan (7).

WLmin ≤ WL1, WL2, WL3, WL4 ≤ WLmax ................................................... (6)

SMmin ≤ SM1, SM2, SM3, SM4 ≤ SMmax ...................................................... (7)

Keterangan :
Y = estimasi produksi gas metana (kg/ha/musim)
a1 = konstanta produksi gas metana (a1 = 1)
WLmin = nilai minimum tinggi muka air (cm)
WLmax = nilai maksimum tinggi muka air (cm)
SMmin = nilai minimum kelembaban tanah (m3/m3)
SMmax = nilai maksimum kelembaban tanah (m3/m3)
9
Prosedur optimasi dengan algoritma genetika mengikuti diagram alir pada
Gambar 6 (Arif et al. 2014). Model algoritma genetika dibuat dengan pemrograman
visual basic yang ada pada Microsoft Excel 2016. Kode pemrograman dapat dilihat
pada Lampiran 4 (Arif 2013). Model dikembangkan dengan data empirik selama
satu musim tanam budidaya padi SRI. Parameter yang dicari pada model tersebut
adalah pengelolaan air optimum (tinggi muka air dan kelembaban tanah) pada
empat fase pertumbuhan tanaman. Menurut Arif et al. (2014), dalam satu musim
tanam, fase pertumbuhan tanaman dibagi menjadi empat fase, yaitu fase awal
(initial), vegetatif (crop development), tengah musim (mid-season), dan akhir
musim (late season). Fase awal dari 0-27 hari setelah tanam, fase vegetatif dari 28-
72 hari setelah tanam, fase tengah dari 73-96 hari setelah tanam, dan fase akhir dari
97-112 hari setelah tanam.

Mulai

Pembangkitan populasi awal

Estimasi produksi gas metana


(CH4) dengan JST

Perhitungan fungsi tujuan

Seleksi

Penyilangan

Mutasi

Populasi baru

Tidak
Generasi 100

Ya
Selesai
Gambar 6 Proses optimasi dengan algoritma genetika

Detail proses optimasi dari diagram alir antara lain pembangkitan populasi
awal secara acak, dalam satu populasi terdapat 10 individu dan disebut sebagai
generasi pertama. Jumlah produksi gas metana diperkirakan menggunakan model
JST dari data tiap individu tersebut. Kemudian, hitung fungsi tujuannya dengan
persamaan (5). Performansi masing-masing individu tersebut dievaluasi dengan
cara mengurutkan besarnya nilai fungsi tujuan. Dipilih 60% individu terbaik nilai
10
fungsi tujuannya untuk mengikuti proses selanjutnya, sedangkan sisanya
dieliminasi. Proses penyilangan dan mutasi dilakukan untuk individu terpilih.
Berdasarkan proses tersebut didapatkan populasi baru dengan performansi yang
lebih bagus. Ulangi tahapan memperkirakan estimasi produksi gas metana sampai
generasi ke-100. Tinggi muka air dan kelembaban tanah optimal diperoleh dari
generasi yang memiliki nilai fungsi tujuan paling baik. Gambar 6 menunjukkan
bahwa algoritma genetika bekerja berdasarkan pada proses genetik dengan prinsip
siapa yang paling kuat akan bertahan dan dipilih sebagai generasi terbaik. Tahapan
penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 7.

Mulai

Penanaman padi dengan:


1. Rezim air tergenang (RT)
2. Rezim air basah (RB)
3. Rezim air kering (RK)

Pengambilan contoh uji emisi gas


metana (CH4)

Tinggi muka air


Total emisi gas
dan kelembaban
CH4
tanah
Pengembangan model jaringan syaraf
tiruan (JST) untuk prediksi emisi gas
metana (CH4)

Tidak
Validasi model JST
R2 > 0.7

Ya
Pengembangan model algoritma
genetika (AG) untuk optimasi
pengelolaan air

Selesai

Gambar 7 Diagram alir penelitian

Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengendalikan tingkat


keakuratan hasil prediksi dari suatu model yang dikembangkan (Ennouri et al.
2017). Menurut Olori et al. (1999), nilai R2 > 0.7 menyatakan bahwa suatu model
sangat baik, namun apabila nilai R2 < 0.4 maka model prediksi tersebut sebaiknya
tidak digunakan.
11
HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Kimia dan Fisika Tanah

Sampel tanah di lokasi penelitian diuji terlebih dahulu di laboratorium milik


Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hasil uji terhadap sifat fisika tanah
disajikan pada Tabel 1 dan terhadap sifat kimia tanah disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Hasil analisis sifat fisika tanah


Komponen Nilai
Kadar air (% volume) 52.6
Bobot isi (g/cc) 0.68
Bobot jenis (g/cc) 1.96
Ruang pori total (% volume) 65.3
Kadar air (% volume)
pF 1 63.3
pF 2 46.9
pF 2.54 40.3
pF 4.2 19.6
Permeabilitas (cm/jam) 8.17
Air tersedia (% volume) 20.7
Pori drainase (% volume)
Cepat 18.4
Lambat 6.6
Tekstur (%)
Pasir 23
Debu 34
Liat 43
Perkolasi (cm/jam)
F (6) 1.56
F (u) 0.91

Tabel 2 Hasil analisis sifat kimia tanah


Komponen Nilai
pH
H2O 7.5
KCl 6.7
Bahan organik (%)
C 3.84
N 0.2
C/N 19
NH4 (ppm) 71
NO2 (ppm) 33
12
Berdasarkan Tabel 1, tanah sebelum budidaya memiliki tekstur liat dengan
masing-masing fraksi yang terdiri dari pasir 23%, debu 34%, dan liat 43% dengan
tingkat permeabilitas sebesar 8.17 cm/jam yang tergolong agak cepat (Sitanala
1989). Berat jenis sebesar 1.96 g/cc dengan ruang pori tanah sebesar 65.3%.
Berdasarkan Tabel 2, kondisi pH tergolong netral dimana pH H2O sebesar 7.5 dan
pH KCl sebesar 6.7. Kandungan bahan organik yang terdapat pada tanah adalah C
sebesar 3.84% dan N sebesar 0.20% dengan C/N ratio sebesar 19. Kandungan NH4
dan NO2 secara berurutan sebesar 71 ppm dan 33 ppm.

Fluks Gas Metana (CH4)

Fluks gas metana dari ketiga pola irigasi, yaitu rezim ari tergenang, rezim air
basah, dan rezim air kering selama satu musim tanam disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 menunjukkan perubahan dinamika fluks gas metana dari masing-masing
rezim air. Terdapat data-data outlier dari ketiga rezim air selama beberapa minggu,
sehingga data tersebut tidak disajikan pada Gambar 8.

200
Fluks CH4 (mg/m2/hari)

150
100
50
Emisi
0
Absorbsi
-50
-100
-150
-200
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Minggu setelah tanam
Rezim air tergenang Rezim air basah Rezim air kering
Gambar 8 Fluks gas metana pada ketiga rezim air selama satu musim tanam

Fluks gas metana pada masing-masing rezim air memiliki nilai yang
berfluktuatif dari 0 sampai 16 minggu setelah tanam. Berdasarkan Gambar 8,
menunjukkan bahwa pada rezim air basah memiliki nilai fluks negatif untuk
beberapa minggu meliputi, minggu ke-0, 1, 2, 7, 12, dan minggu ke-14. Sedangkan
pada rezim air kering memiliki nilai fluks negatif dari minggu ke-4, 6, 7, dan
minggu ke-9 sampai minggu ke-15. Perbedaan konsentrasi gas metana per waktu
pengambilan (δC/δt) pada beberapa minggu tersebut menunjukkan nilai slope
yang negatif sehingga mengindikasikan nilai fluksnya negatif (Bogner et al. 1995).
Menurut Whalen dan Reeburgh (1990), fluks negatif ini merupakan laju oksidasi
gas metana pada tanah oleh bakteri metanotrof di bawah chamber.
Peningkatan fluks gas metana pada rezim air tergenang terjadi pada minggu
ke-1 sampai minggu ke-4 dan selanjutnya terjadi fluktuatif sampai minggu ke-16.
13
Pada rezim air basah nilai fluks gas metana berfluktuatif mengalami peningkatan
dan penurunan secara periodik 1-3 minggu sekali. Pada rezim air basah, penurunan
fluks gas metana yang bernilai negatif secara drastis terjadi pada minggu ke-1. Hal
ini disebabkan oleh fluktuatifnya konsentrasi gas saat pengambilan seperti
tingginya perubahan peningkatan konsentrasi gas waktu pengambilan menit ke-0
sampai menit ke-10 dengan nilai konsentrasi gas sebesar 6.42 ppm di menit ke-0
dan 17.94 ppm di menit ke-10 dan selanjutnya terjadi penurunan di menit ke-20
dengan konsentrasi sebesar 3.29 ppm. Nilai slope negatif yang didapatkan tersebut
cukup tinggi, sehingga fluks gas metana bernilai negatif yang dihasilkan tinggi pula.
Sedangkan pada rezim air kering, nilai fluks gas metana yang dihasilkan paling
rendah dibandingkan dengan kedua rezim yang lain. Tingginya nilai fluks gas
metana yang bernilai positif pada rezim air tergenang dan rezim air basah
mengindikasikan emisi gas metana yang dilepaskan tinggi. Hal ini disebabkan oleh
kondisi lahan tergenang selama beberapa minggu. Kondisi tergenang
memungkinkan aktivitas bakteri metanogenik meningkat sehingga emisi gas
metana pun meningkat (Arif et al. 2016).
Total fluks gas metana selama satu musim tanam pada rezim air tergenang,
rezim air basah, dan rezim air kering secara berurutan sebesar 48.47 kg
CH4/ha/musim, 3.59 kg CH4/ha/musim, dan -5.40 kg CH4/ha/musim. Maka total
fluks gas metana dari ketiga rezim air sebesar 46.66 kg CH4/ha/musim. Berdasarkan
nilai total fluks dari ketiga rezim tersebut, dapat diketahui bahwa budidaya rezim
air tergenang memiliki nilai tertinggi, dilanjutkan rezim air basah, sedangkan rezim
air kering memiliki nilai terendah. Hal ini menunjukkan bahwa rezim air untuk padi
sawah melalui budidaya SRI (rezim air basah dan rezim air kering) dapat
mengurangi emisi gas metana dalam upaya mitigasi emisi gas rumah kaca dari lahan
sawah.
Penelitian pengaruh pengelolaan air terhadap emisi gas metana yang
dilakukan oleh Suharsih et al. (1999, 2001) dalam Wihardjaka (2015) yang
dilakukan di Jakenan, Jawa Tengah, menghasilkan total fluks gas metana sebesar
203 kg CH4/ha/musim. Total fluks gas metana yang dihasilkan menurut pola irigasi
tergenang, macak-macak, dan berselang secara berurutan sebesar 92 kg
CH4/ha/musim, 65 kg CH4/ha/musim, dan 46 kg CH4/ha/musim. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, pola irigasi berselang menghasilkan emisi gas metana terendah.
Oleh karena itu, pemberian air yang hanya untuk menjaga kelembaban tanah dapat
menurunkan emisi gas metana tanpa mempengaruhi pertumbuhan tanaman selama
musim tanam.

Pengaruh Lingkungan Mikro terhadap Fluks Gas Metana (CH4)

Fluks gas metana dari lahan padi sawah bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti kondisi lingkungan mikro. Parameter lingkungan mikro
yang mempengaruhi fluks gas CH4 meliputi tinggi muka air dan kelembaban tanah.

Tinggi Muka Air


Menurut Wihardjaka (2015), bakteri metanogen aktif dalam memproduksi
gas metana pada sistem irigasi tergenang. Kondisi tanah sawah yang tergenang
secara terus menerus menghasilkan emisi gas metana yang tinggi. Oleh karena itu,
perlu pengendalian tinggi muka air untuk mengurangi emisi gas metana. Tinggi
14
muka air dikendalikan dengan sistem irigasi dan drainase yang terdapat pada
masing-masing media tanam. Hasil perubahan tinggi muka air masing-masing
rezim air selama satu musim tanam disajikan pada Gambar 9.

6
3
Tinggi muka air (cm)

Permukaan tanah
0
-3
-6
-9
-12
-15
-18
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Minggu setelah tanam
Rezim air tergenang Rezim air basah Rezim air kering
Gambar 9 Perubahan tinggi muka air selama satu musim tanam

Berdasarkan Gambar 9, menunjukkan bahwa tinggi muka air pada minggu


ke-0 dan beberapa minggu selanjutnya dari ketiga rezim air tidak sama dengan
pengaturan tinggi muka air yang diinginkan seperti yang disajikan pada Gambar 1,
2, dan 3. Hal ini disebabkan tidak dilakukannya pengukuran secara manual
menggunakan penggaris, sehingga tidak ada pembanding dengan data yang didapat
dari sensor eTape. Data yang didapat merupakan hasil rekaman dari sensor tinggi
muka air (eTape). Selain itu, sistem drainase dan irigasi yang tidak bekerja optimal
menyebabkan tinggi muka air sukar untuk dikendalikan. Saat terjadi hujan deras
apabila sistem drainase tidak bekerja dengan baik maka lahan akan tergenang,
namun apabila sistem drainase bekerja terus-menerus dapat menyebabkan lahan
kering. Oleh karena itu diperlukan pengawasan secara periodik. Menurut Tyagi et
al. (2010), pengaturan irigasi dan drainase menjadi kunci penting untuk
meminimalkan gas rumah kaca dari lahan sawah. Nilai tinggi muka air dan fluks
gas metana pada masing-masing fase pertumbuhan selama satu musim tanam
disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Tinggi muka air dan fluks gas metana selama satu musim tanam
Tinggi muka air (cm) Fluks CH4 (kg/ha)
Fase
pertumbuhan Rezim Rezim Rezim Rezim Rezim Rezim
tergenang basah kering tergenang basah kering
Awal 0.10 -2.89 -5.88 31.63 -3.53 -3.30
Vegetatif -0.27 -10.75 -13.80 13.99 4.87 -0.77
Tengah musim -10.44 -7.96 -14.65 2.13 1.43 -1.39
Akhir musim -13.08 -11.40 -15.73 0.72 0.82 0.06
Total 48.47 3.59 -5.40
15

Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa fluks gas metana tertinggi


sebesar 31.63 kg/ha terdapat pada fase awal rezim air tergenang dengan tinggi muka
air rata-rata sebesar 0.10 cm. Dari ketiga rezim air pada fase awal terlihat bahwa
tinggi muka air tertinggi atau keadaan tergenang menghasilkan emisi gas metana
tertinggi dari ketiga rezim air tersebut. Penggenangan menyebabkan turunnya nilai
potensial redoks (Eh) yang diindikasikan oleh turunnya jumlah oksigen dalam tanah
sehingga terjadi kondisi anaerobik. Kondisi tersebut menyebabkan bakteri
metanogen dapat bekerja secara optimal memproduksi gas metana (Wihardjaka
2015). Tinggi muka air yang menghasilkan gas metana terendah terdapat pada fase
awal pertumbuhan rezim air basah dengan tinggi muka air rata-rata sebesar –2.89
cm. Pada fase berikutnya yaitu fase vegetatif, tengah musim, dan akhir musim,
tinggi muka air yang menghasilkan gas metana terendah terdapat pada rezim air
kering dengan tinggi muka air rata-rata berturut-turut sebesar -13.80 cm, -14.65 cm,
dan -15.73 cm. Hubungan tinggi muka air dengan emisi gas metana disajikan pada
Gambar 10. Data yang digunakan untuk grafik pada Gambar 10 merupakan data
tinggi muka air dan fluks gas metana dari ketiga rezim air.

200
150 y = 1.1894x + 16.419
Fluks CH4 (mg/m2/hari)

R² = 0.029
100
50
0
-50
-100
-150
-200
-18 -16 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6
Tinggi muka air (cm)
Gambar 10 Hubungan tinggi muka air dengan emisi gas metana

Gambar 10 menunjukkan bahwa tinggi muka air berkorelasi positif terhadap


gas metana yang dihasilkan (R2 = 0.029). Angka koefisien determinasi sebesar
0.029 (R2 = 0.029) menunjukkan kontribusi variabel tinggi muka air dalam
menjelaskan variabel fluks gas metana sebesar 2.9%, sedangkan sisanya dijelaskan
variabel lain diluar variabel yang diuji. Tinggi muka air yang semakin tinggi
menyebabkan gas metana yang dihasilkan pun semakin tinggi. Gas metana tertinggi
dihasilkan ketika tinggi muka air bernilai 1.20 cm. Gas metana terendah dihasilkan
ketika tinggi muka air bernilai sebesar -2.95 cm.

Kelembaban Tanah
Kelembaban tanah merupakan parameter yang dapat mempengaruhi fluks gas
metana. Hasil perubahan kelembaban tanah masing-masing rezim air selama satu
musim tanam disajikan pada Gambar 11.
16

Kelembaban tanah (m3/m3) 0.80

0.75

0.70

0.65

0.60

0.55
0 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Minggu setelah tanam
Rezim air tergenang Rezim air basah Rezim air kering
Gambar 11 Perubahan kelembaban tanah selama satu musim tanam

Berdasarkan Gambar 11, menunjukkan bahwa rezim air tergenang memiliki


kelembaban tanah tertinggi dibandingkan dengan rezim air basah dan rezim air
kering. Hal tersebut mengindikasikan bahwa rezim air tergenang memiliki kondisi
tanah paling jenuh. Kondisi sawah tergenang dengan kelembaban tanah jenuh
berpotensi besar menghasilkan emisi gas metana (Arif et al. 2015). Nilai
kelembaban tanah dan fluks gas metana pada masing-masing fase pertumbuhan
selama satu musim tanam disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kelembaban tanah dan fluks gas metana selama satu musim tanam
Kelembaban tanah (m3/m3) Fluks CH4 (kg/ha)
Fase
pertumbuhan Rezim Rezim Rezim Rezim Rezim Rezim
tergenang basah kering tergenang basah kering
Awal 0.72 0.66 0.63 31.63 -3.53 -3.30
Vegetatif 0.69 0.65 0.65 13.99 4.87 -0.77
Tengah musim 0.71 0.66 0.64 2.13 1.43 -1.39
Akhir musim 0.62 0.65 0.64 0.72 0.82 0.06
Total 48.47 3.59 -5.40

Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa fluks gas metana tertinggi


sebesar 31.63 kg/ha terdapat pada fase awal rezim air tergenang dengan kelembaban
tanah rata-rata sebesar 0.72 m3/m3. Kelembaban tanah yang menghasilkan gas
metana terendah terdapat pada fase awal pertumbuhan rezim air basah dengan
kelembaban tanah rata-rata sebesar 0.66 m3/m3. Pada fase berikutnya yaitu fase
vegetatif, tengah musim, dan akhir musim, kelembaban tanah yang menghasilkan
gas metana terendah terdapat pada rezim air kering dengan kelembaban tanah rata-
rata berturut-turut sebesar 0.65 m3/m3, 0.64 m3/m3, dan 0.64 m3/m3. Hubungan
kelembaban tanah rezim air dengan emisi gas metana disajikan pada Gambar 12.
17
Data yang digunakan untuk grafik pada Gambar 12 merupakan data kelembaban
tanah dan fluks gas metana dari ketiga rezim air.

200
150 y = 367.21x - 237.09
R² = 0.085
Fluks CH4 (mg/m2/hari)

100
50
0
-50
-100
-150
-200
0.55 0.60 0.65 0.70 0.75
3 3
Kelembaban tanah (m /m )
Gambar 12 Hubungan kelembaban tanah dengan emisi gas metana

Gambar 12 menunjukkan bahwa kelembaban tanah berkorelasi positif


terhadap gas metana yang dihasilkan (R2 = 0.085). Angka koefisien determinasi
sebesar 0.085 (R2 = 0.085) menunjukkan kontribusi variabel kelembaban tanah
dalam menjelaskan variabel fluks gas metana sebesar 8.5%, sedangkan sisanya
dijelaskan variabel lain diluar variabel yang diuji. Semakin tinggi kelembaban tanah
maka semakin tinggi pula gas metana yang dihasilkan. Emisi gas metana tinggi
ketika nilai kelembaban tanah berkisar antara 0.65-0.74 m3/m3. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi sawah tergenang dengan kelembaban kondisi tanah
jenuh memiliki potensi besar untuk mengemisikan gas metana (Arif et al. 2015).
Peningkatan kelembaban tanah biasanya diikuti dengan pengurangan oksigen di
dalam tanah yang diindikasikan dengan berkurangnya nilai potensial redoks tanah
(Eh) (Setyanto et al. 2000).

Pengelolaan Air Optimum dengan Model Algoritma Genetika

Sebelum melakukan optimasi dengan model algoritma genetika, terlebih


dahulu dilakukan prediksi gas metana dengan model JST. Hasil dari JST ini adalah
nilai pembobot yang menghubungkan antara parameter input dan parameter output.
Jumlah pembobot yang dihasilkan pada model ini adalah 20 pembobot. Hasil
validasi model JST disajikan pada Gambar 13. Berdasarkan Gambar 13, terlihat
bahwa model JST mampu memprediksi gas metana selama satu musim tanam
dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0.99 (R2 = 0.99) untuk prediksi gas
metana berdasarkan tinggi muka air dan kelembaban tanah. Nilai koefisien
determinasi (R2) yang mendekati angka satu menunjukkan bahwa model prediksi
tersebut akurat dalam memprediksi besarnya fluks gas metana (Arif et al. 2015).
Persamaan yang didapat dari grafik adalah y = 1.0033x untuk prediksi gas metana
18
berdasarkan parameter input tinggi muka air. Sedangkan persamaan y = 1.0035x
untuk prediksi gas metana berdasarkan parameter input kelembaban tanah. Hasil
prediksi gas metana berdasarkan model JST disajikan pada Gambar 14.

60
Pengukuran CH4 (kg/ha/musim)

50 y = 1.0033x
R² = 0.99
40
Tinggi muka air
30
Kelembaban tanah
20

10
y = 1.0035x
0 R² = 0.99

-10
-20 0 20 40 60
Prediksi CH4 (kg/ha/musim)
Gambar 13 Hasil validasi model JST

60
Pengukuran
48.47 48.39 Model JST (Tinggi muka air)
50 48.25
Fluks CH4 (kg/ha/musim)

Model JST (Kelembaban tanah)


40

30

20

10
3.59 3.86 3.25
0 -5.40 -5.69 -4.74

-10
Rezim air tergenang Rezim air basah Rezim air kering
Gambar 14 Hasil prediksi gas metana berdasarkan model JST

Gambar 14 menunjukkan nilai gas metana berdasarkan pengukuran selama


satu musim tanam dan prediksi berdasarkan model JST. Total gas metana yang
dihasilkan dari pengukuran dan prediksi model JST untuk rezim air tergenang,
rezim air basah, dan rezim air kering menunjukkan nilai yang hampir sama. Hasil
optimasi tinggi muka air dengan algoritma genetika disajikan pada Gambar 15,
sedangkan optimasi kelembaban tanah disajikan pada Gambar 16. Tampilan
19
program algoritma genetika untuk optimasi tinggi muka air dan kelembaban tanah
dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0
-2
Tinggi muka air (cm)

-4
-6
-8
-10
-12
-14
-16
-18
Generasi ke-
WL1 WL2 WL3 WL4
Gambar 15 Hasil optimasi tinggi muka air dengan algoritma genetika

0.73
0.72
0.71
Kelembaban tanah (m3/m3)

0.70
0.69
0.68
0.67
0.66
0.65
0.64
0.63
0.62
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Generasi ke-
SM1 SM2 SM3 SM4
Gambar 16 Hasil optimasi kelembaban tanah dengan algoritma genetika

Berdasarkan Gambar 15 dan 16, terlihat bahwa model algoritma genetika


telah mampu mencari nilai tinggi muka air dan kelembaban tanah optimum pada
20
masing-masing fase pertumbuhan tanaman. Dari Gambar 15 dan 16 menunjukkan
bahwa pencarian tinggi muka air pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman
menunjukkan satu angka yang konvergen. Pada fase vegetatif (WL2) untuk
parameter tinggi muka air, nilai tinggi muka air optimum mencapai satu angka
konvergen lebih cepat daripada fase awal (WL1), fase tengah musim (WL3), dan
fase akhir musim (WL4). Sedangkan untuk parameter kelembaban tanah, nilai
kelembaban tanah optimum pada fase awal (SM1) dan fase vegetatif (SM2)
mencapai satu angka konvergen lebih cepat daripada fase tengah musim (SM3) dan
fase akhir musim (SM4). Hasil optimasi pengelolaan air dengan algoritma genetika
selama satu musim tanam disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil optimasi tinggi muka air dan kelembaban tanah dengan algoritma
genetika
Tinggi muka air Kelembaban tanah
Fase pertumbuhan
(cm) (m3/m3)
Fase awal -5.88 0.63
Fase vegetatif -13.80 0.65
Fase tengah musim -7.96 0.64
Fase akhir musim -11.40 0.65
Prediksi total fluks CH4 (kg/ha/musim) -15.07 -9.65

Tabel 5 menunjukkan tinggi muka air dan kelembaban tanah optimum pada
masing-masing fase pertumbuhan tanaman dan hasil prediksi total fluks gas metana
selama satu musim tanam. Tinggi muka air optimum yang didapatkan model pada
empat fase secara berurutan adalah -5.88 cm, -13.80 cm, -7.96 cm, dan -11.40 cm.
Kelembaban tanah optimum yang didapatkan model pada empat fase secara
berurutan adalah 0.63 m3/m3, 0.65 m3/m3, 0.64 m3/m3, dan 0.65 m3/m3. Berdasarkan
skenario optimasi dengan algoritma genetika tersebut, maka didapatkan prediksi
total fluks gas metana untuk optimasi tinggi muka air dan kelembaban tanah sebesar
-15.07 kg/ha/musim dan -9.65 kg/ha/musim. Nilai tinggi muka air optimum yang
didapatkan dari model bernilai negatif disebabkan oleh data input pengukuran rata-
rata tinggi muka air maksimum dan minimum yang digunakan sebagai fungsi
pembatas dalam model algoritma genetika setiap fase pertumbuhan tanaman
sebagian besar bernilai negatif terutama pada fase vegetatif, tengah musim, dan
akhir musim. Namun pada fase awal masih memungkinkan nilai optimasi tinggi
muka air dari model bernilai positif karena salah satu input data untuk fase awal
yaitu nilai rata-rata tinggi muka air maksimum bernilai positif.
Tanaman selalu membutuhkkan air untuk keberlangsungan pertumbuhannya.
Proses metabolisme dalam suatu siklus hidup tanaman berlangsung karena adanya
air, mulai dari perkecambahan sampai panen. Penyerapan air oleh akar digunakan
untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman (Ai et al. 2010). Kemampuan partikel tanah
untuk menahan air dan kemampuan akar untuk menyerapnya tergantung dari kadar
air dalam tanah yang digunakan sebagai penentu besarnya air yang dapat diserap
oleh akar tanaman (Jumin 1992). Berdasarkan hasil optimasi kelembaban tanah dari
model, kelembaban tanah pada keempat fase tersebut dapat dijaga pada kondisi
basah untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Oleh karena itu, kebutuhan
21
penyerapan air oleh akar tanaman, mulai dari perkecambahan sampai panen dapat
terpenuhi sehingga tanaman tidak mengalami kekurangan air.
Prediksi total fluks gas metana yang didapatkan dari optimasi tinggi muka air
dan kelembaban tanah dari model algoritma genetika menghasilkan nilai negatif.
Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai prediksi total fluks gas metana optimum
diperoleh dari generasi yang memiliki nilai fungsi tujuan paling baik setelah
dilakukannya iterasi 100 kali. Hasil optimasi tinggi muka air dengan model dapat
menurunkan emisi gas metana pada rezim air tergenang, rezim air basah, dan rezim
air kering secara berurutan sebesar 63.54%, 18.66%, dan 9.67%. Hasil optimasi
kelembaban tanah dapat menurunkan emisi gas metana pada rezim air tergenang,
rezim air basah, dan rezim air kering secara berurutan sebesar 58.12%, 13.24%, dan
4.25%. Validasi hasil optimasi dari model algoritma genetika dilakukan pada
penelitian lebih lanjut untuk membuktikan prediksi total fluks gas metana yang
dihasilkan selama satu musim tanam.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka simpulan yang dapat


diambil adalah:
1. Total fluks gas metana yang dihasilkan berdasarkan pola irigasi rezim air
tergenang (RT), rezim air basah (RB), dan rezim air kering (RK) secara
berurutan sebesar 48.47 kg CH4/ha/musim, 3.59 kg CH4/ha/musim, dan -5.40
kg CH4/ha/musim. Hal ini menunjukkan bahwa rezim air untuk padi sawah
melalui budidaya SRI (rezim air basah dan rezim air kering) dapat
menurunkan emisi gas metana dari lahan sawah.
2. Tinggi muka air dan kelembaban tanah berkorelasi positif terhadap emisi gas
metana (CH4) yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sawah
tergenang dengan kelembaban tanah jenuh berpotensi besar untuk
menghasilkan gas metana karena pada kondisi itu terjadi pengurangan
oksigen di dalam tanah dan tercipta kondisi anaerobik sehingga bakteri
metanogen dapat bekerja secara optimal memproduksi gas metana.
3. Dengan pengembangan model algoritma genetika maka tinggi muka air
optimum pada keempat fase pertumbuhan secara berurutan adalah -5.88 cm,
-13.80 cm, -7.96 cm, dan -11.40 cm dan prediksi emisi total gas metana
sebesar -15.07 kg/ha/musim serta diperoleh nilai kelembaban tanah optimum
secara berurutan sebesar 0.63 m3/m3, 0.65 m3/m3, 0.64 m3/m3, dan 0.65 m3/m3
dengan prediksi emisi total gas metana sebesar -9.65 kg/ha/musim. Model
algoritma genetika untuk optimasi tinggi muka air dapat menurunkan emisi
gas metana pada ketiga pola irigasi RT, RB, dan RK secara berurutan sebesar
63.54%, 18.66%, dan 9.67% serta untuk optimasi kelembaban tanah sebesar
58.12%, 13.24%, dan 4.25%.
22
Saran

Penelitian sebaiknya dilengkapi dengan mengidentifikasi parameter


produktivitas lahan. Produksi gas metana dan produktivitas lahan terdapat dalam
satu fungsi tujuan dengan meminimalkan produksi gas metana dan memaksimalkan
produktivitas lahan. Oleh karena itu, dapat diketahui pengelolaan air yang optimal
untuk mitigasi gas metana dari lahan sawah tanpa menurunkan produktivitas lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Ai NS, Tondais SM, Butarbutar R. 2010. Evaluasi indikator toleransi cekaman


kekeringan pada fase perkecambahan padi (Oryza sativa L.). Jurnal Biologi.
14(2):50-54.
Anugrah IS, Sumedi, Wardana IP. 2008. Gagasan dan implementasi system of rice
intensification (SRI) dalam kegiatan budidaya padi ekologis (BPE). Analisa
Kebijakan Pertanian. 6(1):75-99.
Arif C. 2013. Optimizing water management in system of rice intensification paddy
fields by field monitoring technology [disertasi]. Tokyo (JP): The University
of Tokyo.
Arif C, Setiawan BI, Mizoguchi M. 2014. Penentuan kelembaban tanah optimum
untuk budidaya padi (system of rice intensification) menggunakan algoritma
genetika. Jurnal Irigasi. 9(1):29-40.
Arif C, Setiawan BI, Munarso DT, Nugraha MD, Simarmata PW, Ardiansyah,
Mizoguchi M. 2016. Potensi pemanasan global dari padi sawah system of rice
intensification (SRI) dengan berbagai ketinggian muka air. Jurnal Irigasi.
11(2):81-90.
Arif C, Setiawan BI, Widodo S, Rudiyanto, Hasanah NAI, Mizoguchi M. 2015.
Pengembangan model jaringan syaraf tiruan untuk meduga emisi gas rumah
kaca dari lahan sawah dengan berbagai rejim air. Jurnal Irigasi. 10(1):1-10.
Arif C, Suhardiyanto H, Suroso. 2006. Penerapan jaringan syaraf tiruan dan
algoritma genetika untuk optimasi pemberian air dan unsur hara pada
pertumbuhan tanaman dalam rumah kaca. Proceeding of The 7th Seminar on
Intelligent Technology and Its Applications (SITIA); 2006 Mei 2; Surabaya,
Indonesia.
Arsana D, Yahya S, Lontoh AP, Pane H. 2003. Hubungan antara penggenangan
dini dan potensi redoks, produksi etilen dan pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan hasil padi (Oryza sativa) sistem tabela. Jurnal Agronomi.
31(2):37-41.
Bogner J, Spokas K, Burton E, Sweeney R, Corona V. 1995. Landfills as
atmospheric methane sources and sinks. Chemosphere. 31(9):4119-4130.
[Ditjen PSP] Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian. 2014. Pedoman Teknis
Pengembangan System of Rice Intensification. Jakarta (ID): Ditjen PSP.
Ennouri K, Ayed RB, Triki MA, Ottaviani E, Mazzarello M, Hertelli F, Zouari N.
2017. Multiple linear regression and artificial neural networks for delta-
endotoxin and protease yields modelling of Bacillus thuringiensis. 3 Biotech.
7(3):187.
23
Hasanah NAI, Setiawan BI, Arif C, Widodo S. 2017. Muka air optimum pada
system of rice intensification (SRI). Jurnal Irigasi. 12(1):55-64.
Hashimoto Y. 1997. Applications of artificial neural networks and genetic
algorithms to agricultural systems. Comput Electron Agr. 18:71-72.
[IAEA] International Atomic Energy Agency. 1993. Manual on Measurement of
Methane and Nitrous Oxide Emission from Agriculture. Vienna (AUT):
IAEA.
Isminingsih. 2009. Studi kecenderungan emisi gas rumah kaca (GRK) dan neraca
karbon pada berbagai sistem pengelolaan tanaman padi [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Ispandi. 2015. Penerapan algoritma genetika untuk optimasi parameter pada
support vector machine untuk meningkatkan prediksi pemasaran langsung.
Journal of Intelligent Systems. 1(2):115-119.
Janzen H. 2004. Carbon cycling: a measure of ecosystem – a soil science
perspective. Agricultural Ecosystem Environment. 104:399-417.
Jumin HB. 1992. Ekologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologi. Jakarta (ID):
Rajawali Press.
Lintangrino MC, Boedisantoso R. 2016. Inventarisasi emisi gas rumah kaca pada
sektor pertanian dan peternakan di kota Surabaya. Jurnal Teknik ITS. 5(2):53-
57.
Mosier AR. 2001. Exchange of gaseous nitrogen compound between agricultural
system and the atmosphere. Plant Soil. 228:17-27.
Olori VE, Brotherstone S, Hill WG, McGuirk BJ. 1999. Fit of standard models of
the lactation curve to weekly records of milk production of cows in a single
herd. Livestock Production Science. 58(1):55-63.
Paludi S. 2009. Identifikasi dan pengaruh keberadaan data pencilan (outlier) (studi
kasus jumlah kunjungan wisman dan pengunjung asing ke Indonesia melalui
pintu masuk Makasar antara bulan januari 2007 s.d. juli 2008). Panorama
Nusantara. 6:56-62.
Paustian K, Babcock B, Kling C, Hatfield J, Lal R, McCarl B, Maclaughin S, Post
WM, Mosier A, Rice C, Robertson GP, Rosenberg NJ, Rosenzweig C,
Schlesinger WH, Zilberman D. 2004. Agricultural mitigation of greenhouses
gases: science and policy options. CAST Report. 141:3-18.
Rufako U. 2015. Produktivitas lahan dan air pada padi sawah dengan berbagai
sistem irigasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Setyanto P. 2006. Varietas padi rendah emisi gas rumah kaca. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Indonesia. 28(4):12-13.
Setyanto P. 2008. Teknologi mengurangi emisi gas rumah kaca dari lahan sawah.
Buletin Iptek Tanaman Pangan. 3(2):205-214.
Setyanto P, Makarim AK, Fagi AM, Wassman R, Buendia LV. 2000. Crop
management affecting methane emissions from irrigated and rainfed rice in
Central Java (Indonesia). Nutrient Cycling in Agroecosystems. 58:85-93.
Sihombing B. 2011. Jaringan syaraf tiruan dan algoritma genetika dalam
pemodelan kalibrasi (studi kasus: tanaman obat temulawak) [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Simarmata PW. 2016. Penentuan air irigasi optimal untuk mitigasi emisi gas rumah
kaca dari padi sawah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sitanala A. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press.
24
Smith KA, Conen F. 2004. Impact of land management on fluxes of trace
greenhouse gases. Soil Use Manag. 20:255-263.
Snyder CS, Bruulsema TW, Jensen TL. 2007. Best management practices to
minimize greenhouse gas emissions associated with fertilizer use. Better
Crops. 91(4):16-18.
Sujono J. 2011. Koefisien tanaman padi sawah pada sistem irigasi hemat air.
AGRITECH. 31(4):344-351.
Tyagi L, Kumari B, Singh SN. 2010. Water management – A tool for methane
mitigation from irrigated paddy fields. Sci Total Environ. 408:1085-1090.
Wang Y, Li Y, Wang Q, Lv Y, Wang S, Chen X, Yu X, Jiang W, Li X. 2014.
Computational identification of human long intergenic non-coding RNAs
using a GA-SVM algorithm. Gene. 533(1):94-9.
Whalen SC, Reeburgh WS. 1990. Consumption of atmospheric methane by tundra
soils. Nature. 346:160-162.
Wihardjaka A. 2015. Mitgasi emisi gas metana melalui pengelolaan lahan sawah.
Jurnal Litbang Pertanian. 34(3):95-104.
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
LAMPIRAN
25
26
Lampiran 2 Tampilan program algoritma genetika untuk optimasi tinggi muka air
Lampiran 3 Tampilan program algoritma genetika untuk optimasi kelembaban tanah
27
28
Lampiran 4 Kode pemrograman model algoritma genetika (Arif 2013)

Sub Pembangkitacak()
Randomize
For i = 1 To population
individu1(i) = ""
For j = 0 To Parameter
individuparameter1(i, j) = ""
For k = 1 To Cromsmax
r = Rnd
If r < 0.6 Then cromosom(i, j, k) = "[0]" Else cromosom(i, j, k) = "1"
individuparameter1(i, j) = individuparameter1(i, j) + cromosom(i, j, k)
Next k
individu1(i) = individu1(i) + individuparameter1(i, j)
Next j
'Sheet1.Cells(2 + i, 16) = individu1(i)
Next i
End Sub

Sub FungsiFitness()
For iii = 1 To population
WL1 = normalisasi(iii, 0)
WL2 = normalisasi(iii, 1)
WL3 = normalisasi(iii, 2)
WL4 = normalisasi(iii, 3)
CH4Updated = ANNCH4(WL1, WL2, WL3, WL4)
CH4Normal = (CH4Updated - MinCH4) / (MaxCH4 - MinCH4)

Fitness(iii) = CH4Updated

Sheet3.Cells(2 + iii, 3) = WL1


Sheet3.Cells(2 + iii, 4) = WL2
Sheet3.Cells(2 + iii, 5) = WL3
Sheet3.Cells(2 + iii, 6) = WL4
Sheet3.Cells(2 + iii, 7) = CH4Updated
Next iii
End Sub

Sub Pemilihanindividu()
For i = 1 To Terseleksi
For j = 0 To Parameter
individuparameter1(i, j) = ""
For k = 1 To Cromsmax
Cromosomseleksi(i, j, k) = cromosom(i, j, k)
individuparameter1(i, j) = individuparameter1(i, j) + Cromosomseleksi(i, j, k)
Next k
Next j
Next i
29
Lampiran 4 Kode pemrograman model algoritma genetika (Arif 2013) (lanjutan)

End Sub

Sub crossover()
For i = 1 + Round(population / 2) To Round(population / 2) + Round(Terseleksi /
2)
r = Rnd
'//rb:= round(r*kromsmax); {letak pemotongan random}
rb = 3
ind1 = (2 * i) - 1
ind2 = 2 * i
in1 = ind1 - population
in2 = ind2 - population
For j = 0 To Parameter
individuparameter1(ind1, j) = ""
individuparameter1(ind2, j) = ""
For k = 1 To Cromsmax
If k <= rb Then
cromosombaru(ind1, j, k) = Cromosomseleksi(in1, j, k)
individuparameter1(ind1, j) = individuparameter1(ind1, j) +
cromosombaru(ind1, j, k)
Else
cromosombaru(ind1, j, k) = Cromosomseleksi(in2, j, k)
individuparameter1(ind1, j) = individuparameter1(ind1, j) +
cromosombaru(ind1, j, k)
End If
If k <= rb Then
cromosombaru(ind2, j, k) = Cromosomseleksi(in2, j, k)
individuparameter1(ind2, j) = individuparameter1(ind2, j) +
cromosombaru(ind2, j, k)
Else
cromosombaru(ind2, j, k) = Cromosomseleksi(in1, j, k)
individuparameter1(ind2, j) = individuparameter1(ind2, j) +
cromosombaru(ind2, j, k)
End If
cromosom(ind1, j, k) = cromosombaru(ind1, j, k)
cromosom(ind2, j, k) = cromosombaru(ind2, j, k)
Next k
Next j
Next i
End Sub

Sub prosmutasi()
For i = 1 + Round(population / 2) To Round(population / 2) + Round(Terseleksi /
2)

ind1 = (2 * i) - 1
30
Lampiran 4 Kode pemrograman model algoritma genetika (Arif 2013) (lanjutan)

ind2 = 2 * i
For j = 0 To Parameter
individuparameter1(ind1, j) = ""
individuparameter1(ind2, j) = ""
For k = 1 To Cromsmax
If (Rnd < mutasi) And (cromosom(ind1, j, k) = "[0]") Then cromosom(ind1, j,
k) = "1"
If (Rnd < mutasi) And (cromosom(ind1, j, k) = "1") Then cromosom(ind1, j, k)
= "[0]"
If (Rnd < mutasi) And (cromosom(ind2, j, k) = "[0]") Then cromosom(ind2, j,
k) = "1"
If (Rnd < mutasi) And (cromosom(ind2, j, k) = "1") Then cromosom(ind2, j, k)
= "[0]"
individuparameter1(ind1, j) = individuparameter1(ind1, j) + cromosom(ind1, j,
k)
individuparameter1(ind2, j) = individuparameter1(ind2, j) + cromosom(ind2, j,
k)
Next k
Next j
Next i
End Sub

Sub hasil(gen)
Sheet1.Cells(2 + gen, 5) = gen
Sheet1.Cells(2 + gen, 6) = fitgenerasi
Sheet1.Cells(2 + gen, 7) = fitterjelek
Sheet1.Cells(2 + gen, 8) = fitrata
Sheet1.Cells(2 + gen, 10) = normalisasi(1, 0)
Sheet1.Cells(2 + gen, 11) = normalisasi(1, 1)
Sheet1.Cells(2 + gen, 12) = normalisasi(1, 2)
Sheet1.Cells(2 + gen, 13) = normalisasi(1, 3)
WL1 = normalisasi(1, 0)
WL2 = normalisasi(1, 1)
WL3 = normalisasi(1, 2)
WL4 = normalisasi(1, 3)
CH4Updated = ANNCH4(WL1, WL2, WL3, WL4)

Sheet1.Cells(2 + gen, 9) = CH4Updated

Sheet1.Cells(17, 2) = FormatNumber(fitgenerasi, 2)
Sheet1.Cells(18, 2) = FormatNumber(normalisasi(1, 0), 3)
Sheet1.Cells(19, 2) = FormatNumber(normalisasi(1, 1), 3)
Sheet1.Cells(20, 2) = FormatNumber(normalisasi(1, 2), 3)
Sheet1.Cells(21, 2) = FormatNumber(normalisasi(1, 3), 3)
Sheet1.Cells(23, 2) = FormatNumber(CH4Updated, 2)
End Sub
31
Lampiran 5 Kegiatan penelitian

Petakan budidaya Penyemaian

Penanaman benih Pengambilan gas

Pemindahan gas

Panen
32
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 29 Juli 1996


dari pasangan Bapak Saepul Mikdar dan Ibu Cucu
Yuharningsih. Penulis adalah putri ketiga dari tiga bersaudara.
Pendidikan formal dimulai dari SD Negeri Kersamenak III
Garut dan lulus pada tahun 2008. Kemudian dari tahun 2008
hingga 2011 penulis melanjutkan di SMP Negeri 1 Garut.
Tahun 2014 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Garut dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui jalur SNMPTN undangan dan diterima di
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas
Teknologi Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis aktif di organisasi
kemahasiswaan. Pada tahun 2015/2016 penulis menjadi pengurus di Himpunan
Teknik Sipil dan Lingkungan (HIMATESIL) sebagai anggota Communication and
Information Development (CID) dan pada tahun 2016/2017 anggota Digital,
Multimedia, Information (DMI).
Penulis melakukan Praktik Lapangan pada bulan Juli sampai Agustus 2017
di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Garut dan
menyusun laporan berjudul “Mempelajari Pengelolaan Drainase Perkotaan di Dinas
PUPR Kabupaten Garut”. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi
sebagai salah satu syarat kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Teknik pada
Fakultas Teknologi Pertanian, dengan judul “Penerapan Algoritma Genetika untuk
Optimasi Pengelolaan Air Lahan Padi Sawah Rendah Emisi Gas Metana (CH4)”
dibimbing oleh Dr. Chusnul Arif, S.TP, M.Si.

Anda mungkin juga menyukai