ABSTRAK
Kata kunci: algoritma genetika, gas rumah kaca, kelembaban tanah, SRI, tinggi
muka air
ABSTRACT
Keywords: genetic algorithms, greenhouse gases, soil moisture, SRI, water level
ii
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul Penerapan Algoritma Genetika untuk
Optimasi Pengelolaan Air Lahan Padi Sawah Rendah Emisi Gas Metana (CH4)
dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
dari bulan Januari sampai Mei 2018 dan merupakan salah satu syarat untuk
kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Teknik di Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih diucapkan kepada Dr. Chusnul Arif, S.TP, M.Si selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing dan memberikan arahan dalam penyusunan
skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada:
1. Ibu Joana Febrita, S.T., M.T dan Ibu Titiek Ujianti Karunia, S.T., M.T selaku
dosen penguji skripsi yang telah memberikan arahan selama penulisan skripsi
ini.
2. Bapak Saepul Mikdar dan Ibu Cucu Yuharningsih serta seluruh keluarga atas
doa dan kasih sayangnya.
3. Pak Pandi yang telah membantu dalam pembuatan peralatan penelitian dan
panen serta Dr. Nur Aini Iswati Hasanah, S.T., M.Si yang telah mendampingi
selama penelitian berlangsung.
4. Fitriani, Raidah, Ricky, Ridho Aarasy, dan Suwardi sebagai rekan satu
bimbingan yang telah membantu dan mendukung penyelesaian karya ilmiah
ini.
5. Rekan-rekan SIL 51 atas segala bantuan, doa, semangat, dan kebersamaannya
selama ini.
Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan karya
ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
System of Rice Intensification (SRI) 3
Emisi Gas Metana (CH4) pada Lahan Pertanian 3
Algoritma Genetika 3
METODE PENELITIAN 4
Waktu dan Lokasi 4
Alat dan Bahan 4
Prosedur Penelitian 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Sifat Kimia dan Fisika Tanah 11
Fluks Gas Metana (CH4) 12
Pengaruh Lingkungan Mikro terhadap Fluks Gas Metana (CH4) 13
Pengelolaan Air Optimum dengan Model Algoritma Genetika 17
SIMPULAN DAN SARAN 21
Simpulan 21
Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 22
LAMPIRAN 25
RIWAYAT HIDUP 32
vi
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Gas metana dapat menyebabkan efek rumah kaca yang berdampak bagi
kehidupan manusia dan lingkungan. Berbagai kondisi lingkungan biofisik sawah
yang dinamis mengakibatkan emisi gas metana juga dinamis, sehingga
pengambilan gas di siang hari tidak dapat mewakili kondisi malam hari. Hal ini
mengindikasikan terdapat potensi kesalahan perhitungan akumulasi gas metana
harian disebabkan pengambilan gas yang tidak kontinu tersebut. Penelitian untuk
mengetahui emisi gas metana pada lahan sawah harus menggunakan metode yang
kompleks, memakan waktu yang lama, serta biaya yang tidak sedikit. Oleh karena
itu, diperlukan metode yang dapat membantu peneliti untuk memprediksi emisi gas
metana secara terukur sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik yang dikehendaki
serta melakukan optimasi pengelolaan air yang optimal untuk mereduksi gas
metana.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Proses manajemen budidaya padi dalam pengelolaan tanah, tanaman, dan air
pada lahan sawah dilakukan secara intensif dan efisien melalui pemberdayaan
kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan disebut
system of rice intensification (SRI) (Ditjen PSP 2014). Menurut Anugrah et al.
(2008), pemberian kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman padi
dilakukan untuk mengembangkan semua potensi yang ada pada tanaman tersebut.
Sehingga hasil yang didapatkan secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah
masing-masing bagiannya. Penerapan metode SRI minimal mendapatkan hasil
panen dua kali lipat dibandingkan metode penanaman konvensional. Selain itu,
penggunaan varietas padi rendah emisi gas metana diharapkan tidak hanya berdaya
hasil tinggi, namun juga dapat mengurangi emisi gas metana (Setyanto 2006).
Gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan
terjadinya pemanasan global. Gas metana dihasilkan apabila dekomposisi bahan
organik terjadi pada kondisi kekurangan oksigen (anaerobik), terutama dari lahan
sawah (Mosier 2001). Dekomposisi bahan organik pada kondisi kekurangan
oksigen (anaerobik) inilah yang menyebabkan lahan sawah menjadi salah satu
penyumbang emisi gas metana ke atmosfer. Jumlah gas metana yang diemisikan ke
atmosfer sangat dipengaruhi oleh aktivitas bakteri metanogenik, yaitu
mikroorganisme anaerobik yang mampu mereduksi karbon dioksida menjadi
metana (Setyanto 2008). Kondisi tanah tergenang menyebabkan oksidan semakin
berkurang sehingga gas metana semakin cepat dan banyak terbentuknya dalam
tanah. Oleh karena itu, sistem irigasi berperan sangat penting dalam upaya
mereduksi pembentukan gas metana dalam tanah (Arif et al. 2016).
Algoritma Genetika
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2018, atau
selama satu masa tanam padi. Penanaman dilaksanakan pada 20 Januari dan panen
pada 13 Mei 2018. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Departemen
Teknik Sipil dan Lingkungan yang terletak pada 60 35’ 35.36” LS dan 1060 46’
17.95” BT untuk penanaman budidaya padi. Peta lokasi dari Laboratorium Lapang
dapat dilihat pada Lampiran 1. Analisis gas dilakukan di Laboratorium Gas Rumah
Kaca di Jakenan, Pati, Jawa Tengah.
Penelitian ini meliputi uji analisis gas metana dan penerapan algoritma
genetika untuk optimasi pengelolaan air (tinggi muka air dan kelembaban tanah)
lahan padi sawah. Alat yang digunakan untuk pengambilan contoh gas metana
adalah kotak tertutup (chamber) berukuran 30 cm x 30 cm x 120 cm disertai
chamber base berukuran 30 cm x 30 cm x 20 cm, kantong tedlar 200 ml, botol vial
coklat 10 ml dilengkapi dengan klep karet. Alat yang digunakan untuk penerapan
model algoritma genetika adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan
perangkat lunak Microsoft Excel 2016.
Bahan yang digunakan dalam penanaman budidaya padi adalah varietas padi
Pertiwi. Pemupukan dilakukan tiga kali selama budidaya padi berlangsung. Jenis
dan jumlah pupuk yang diberikan untuk varietas padi Pertiwi berdasarkan anjuran
yang ada pada kemasan varietas padi tersebut. Pupuk yang diberikan meliputi
pupuk urea, SP-36, dan KCl. Jumlah pupuk urea yang diberikan adalah 100 kg/ha
(5 hari setelah tanam), 100 kg/ha (25 hari setelah tanam) dan 75 kg/ha (40 hari
setelah tanam). Jumlah SP-36 yang diberikan adalah 100 kg/ha (5 hari setelah
tanam), sedangkan KCl yang diberikan adalah 75 kg/ha (5 hari setelah tanam) dan
75 kg/ha (40 hari setelah tanam). Alat yang digunakan untuk melihat kondisi
lingkungan mikro (sekitar lahan budidaya) adalah sensor tinggi muka air (eTape),
sensor suhu dan kelembaban tanah (5TE Moisture/Temp/EC), data logger EM50
untuk menyimpan data, serta software ECH2O Utility untuk mengunduh data.
Prosedur Penelitian
Pola Irigasi
Pola irigasi pada penelitian ini terbagi menjadi tiga rezim air yang berbeda
yaitu rezim air tergenang (Gambar 1), rezim air basah (Gambar 2), dan rezim air
kering (Gambar 3). Pola irigasi rezim air tergenang (RT) diterapkan untuk budidaya
padi konvensional, sedangkan rezim air basah (RB) dan rezim air kering (RK) untuk
budidaya padi SRI (Sujono 2011). Prinsip budidaya padi SRI yang diterapkan
mengikuti tahapan yang telah dirangkum (Hasanah et al. 2017). Setiap perlakuan
dilakukan satu kali pengulangan sehingga dibutuhkan tiga plot lahan berukuran 2
m x 2 m x 0.5 m untuk masing-masing plot budidaya padi. Berdasarkan Gambar 1,
tinggi muka air pada rezim air tergenang adalah 2 cm (0-70 hari setelah tanam) dan
5
0 cm (71-113 hari setelah tanam) di atas permukaan tanah. Gambar 2 menunjukkan
tinggi muka air rezim air basah adalah 1 cm (0-20 hari setelah tanam) dan 0 cm (21-
113 hari setelah tanam) di atas permukaan tanah. Gambar 3 menunjukkan tinggi
muka air rezim air kering adalah 1 cm (0-20 hari setelah tanam), 0 cm (21-30 hari
setelah tanam), dan -5 cm (31-113 hari setelah tanam) di atas permukaan tanah.
3
Tinggi muka air (cm)
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Hari setelah tanam (HST)
Gambar 1 Pola irigasi rezim air tergenang (RT)
3
Tinggi muka air (cm)
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Hari setelah tanam (HST)
Gambar 2 Pola irigasi rezim air basah (RB)
2
Tinggi muka air (cm)
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
-2
-4
-6
Hari setelah tanam (HST)
δC V mW 273.2
E= x x x ............................................................................... (1)
δt A mV 273.2+T
Keterangan :
E = fluks gas CH4 (mg/m2/menit)
δC
= perbedaan konsentrasi gas CH4 per waktu pengambilan (ppm/menit)
δt
Vch = volume chamber (m3)
Ach = luas chamber (m2)
mV = volume molekul gas CH4 (22.41 liter pada suhu dan tekanan standar)
mW = berat molekul gas CH4 (16.04 g/mol)
T = suhu selama sampling (°C)
Total fluks selama satu musim tanam dihitung dengan mengintegralkan nilai
fluks tersebut menggunakan metode numerik Simpson (Arif 2013). Penentuan total
dihitung dengan menggunakan persamaan (2).
b b−a a+b
∫a f (x)dx ≈ 6
[f(a) + 4 f (
2
) + f(b)] ........................................................ (2)
Keterangan :
f (x) = total emisi gas rumah kaca per parameter (mg/m2/musim)
a = waktu pengukuran ke-a (hari)
b = waktu pengukuran ke-b (hari)
f(a) = nilai emisi gas rumah kaca pada waktu ke-a (mg/m2/hari)
f(b) = nilai emisi gas rumah kaca pada waktu ke-b (mg/m2/hari)
Apabila terdapat pencilan (outlier) dalam data yang didapatkan, maka terlebih
dahulu dilakukan analisis dengan metode boxplot. Menurut Paludi (2009), metode
7
ini menggunakan nilai jangkauan dan kuartil, dimana kuartil pertama (Q1), kedua
(Q2), dan ketiga (Q3) akan membagi sebuah urutan data menjadi empat bagian.
Jangkauan (IQR, Interquartile Range) merupakan selisih Q1 terhadap Q3. Data
dianggap sebagai pencilan apabila nilai kurang dari selisih Q1 terhadap 1.5 IQR
serta nilai lebih dari penjumlahan Q3 dan 1.5 IQR.
Keterangan :
Y = estimasi produksi gas metana (kg/ha/musim)
WL1 = rata-rata tinggi muka air fase awal (cm)
WL2 = rata-rata tinggi muka air fase vegetatif (cm)
WL3 = rata-rata tinggi muka air fase tengah musim (cm)
WL4 = rata-rata tinggi muka air fase akhir musim (cm)
SM1 = rata-rata kelembaban tanah fase awal (m3/m3)
SM2 = rata-rata kelembaban tanah fase vegetatif (m3/m3)
SM3 = rata-rata kelembaban tanah fase tengah musim (m3/m3)
SM4 = rata-rata kelembaban tanah fase akhir musim (m3/m3)
Model identifikasi yang digunakan adalah model jaringan syaraf tiruan (JST).
Model JST yang dikembangkan untuk optimasi tinggi muka air disajikan pada
Gambar 4, sedangkan model untuk optimasi kelembaban tanah disajikan pada
Gambar 5.
WL1
WL2
Y
WL3
WL4
SM1
SM2
Y
SM3
SM4
Maksimasi F (fungsi tujuan) untuk optimasi tinggi muka air dengan batasan
yang disajikan pada persamaan (6). Sedangkan batasan untuk optimasi kelembaban
tanah disajikan pada persamaan (7).
Keterangan :
Y = estimasi produksi gas metana (kg/ha/musim)
a1 = konstanta produksi gas metana (a1 = 1)
WLmin = nilai minimum tinggi muka air (cm)
WLmax = nilai maksimum tinggi muka air (cm)
SMmin = nilai minimum kelembaban tanah (m3/m3)
SMmax = nilai maksimum kelembaban tanah (m3/m3)
9
Prosedur optimasi dengan algoritma genetika mengikuti diagram alir pada
Gambar 6 (Arif et al. 2014). Model algoritma genetika dibuat dengan pemrograman
visual basic yang ada pada Microsoft Excel 2016. Kode pemrograman dapat dilihat
pada Lampiran 4 (Arif 2013). Model dikembangkan dengan data empirik selama
satu musim tanam budidaya padi SRI. Parameter yang dicari pada model tersebut
adalah pengelolaan air optimum (tinggi muka air dan kelembaban tanah) pada
empat fase pertumbuhan tanaman. Menurut Arif et al. (2014), dalam satu musim
tanam, fase pertumbuhan tanaman dibagi menjadi empat fase, yaitu fase awal
(initial), vegetatif (crop development), tengah musim (mid-season), dan akhir
musim (late season). Fase awal dari 0-27 hari setelah tanam, fase vegetatif dari 28-
72 hari setelah tanam, fase tengah dari 73-96 hari setelah tanam, dan fase akhir dari
97-112 hari setelah tanam.
Mulai
Seleksi
Penyilangan
Mutasi
Populasi baru
Tidak
Generasi 100
Ya
Selesai
Gambar 6 Proses optimasi dengan algoritma genetika
Detail proses optimasi dari diagram alir antara lain pembangkitan populasi
awal secara acak, dalam satu populasi terdapat 10 individu dan disebut sebagai
generasi pertama. Jumlah produksi gas metana diperkirakan menggunakan model
JST dari data tiap individu tersebut. Kemudian, hitung fungsi tujuannya dengan
persamaan (5). Performansi masing-masing individu tersebut dievaluasi dengan
cara mengurutkan besarnya nilai fungsi tujuan. Dipilih 60% individu terbaik nilai
10
fungsi tujuannya untuk mengikuti proses selanjutnya, sedangkan sisanya
dieliminasi. Proses penyilangan dan mutasi dilakukan untuk individu terpilih.
Berdasarkan proses tersebut didapatkan populasi baru dengan performansi yang
lebih bagus. Ulangi tahapan memperkirakan estimasi produksi gas metana sampai
generasi ke-100. Tinggi muka air dan kelembaban tanah optimal diperoleh dari
generasi yang memiliki nilai fungsi tujuan paling baik. Gambar 6 menunjukkan
bahwa algoritma genetika bekerja berdasarkan pada proses genetik dengan prinsip
siapa yang paling kuat akan bertahan dan dipilih sebagai generasi terbaik. Tahapan
penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 7.
Mulai
Tidak
Validasi model JST
R2 > 0.7
Ya
Pengembangan model algoritma
genetika (AG) untuk optimasi
pengelolaan air
Selesai
Fluks gas metana dari ketiga pola irigasi, yaitu rezim ari tergenang, rezim air
basah, dan rezim air kering selama satu musim tanam disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 menunjukkan perubahan dinamika fluks gas metana dari masing-masing
rezim air. Terdapat data-data outlier dari ketiga rezim air selama beberapa minggu,
sehingga data tersebut tidak disajikan pada Gambar 8.
200
Fluks CH4 (mg/m2/hari)
150
100
50
Emisi
0
Absorbsi
-50
-100
-150
-200
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Minggu setelah tanam
Rezim air tergenang Rezim air basah Rezim air kering
Gambar 8 Fluks gas metana pada ketiga rezim air selama satu musim tanam
Fluks gas metana pada masing-masing rezim air memiliki nilai yang
berfluktuatif dari 0 sampai 16 minggu setelah tanam. Berdasarkan Gambar 8,
menunjukkan bahwa pada rezim air basah memiliki nilai fluks negatif untuk
beberapa minggu meliputi, minggu ke-0, 1, 2, 7, 12, dan minggu ke-14. Sedangkan
pada rezim air kering memiliki nilai fluks negatif dari minggu ke-4, 6, 7, dan
minggu ke-9 sampai minggu ke-15. Perbedaan konsentrasi gas metana per waktu
pengambilan (δC/δt) pada beberapa minggu tersebut menunjukkan nilai slope
yang negatif sehingga mengindikasikan nilai fluksnya negatif (Bogner et al. 1995).
Menurut Whalen dan Reeburgh (1990), fluks negatif ini merupakan laju oksidasi
gas metana pada tanah oleh bakteri metanotrof di bawah chamber.
Peningkatan fluks gas metana pada rezim air tergenang terjadi pada minggu
ke-1 sampai minggu ke-4 dan selanjutnya terjadi fluktuatif sampai minggu ke-16.
13
Pada rezim air basah nilai fluks gas metana berfluktuatif mengalami peningkatan
dan penurunan secara periodik 1-3 minggu sekali. Pada rezim air basah, penurunan
fluks gas metana yang bernilai negatif secara drastis terjadi pada minggu ke-1. Hal
ini disebabkan oleh fluktuatifnya konsentrasi gas saat pengambilan seperti
tingginya perubahan peningkatan konsentrasi gas waktu pengambilan menit ke-0
sampai menit ke-10 dengan nilai konsentrasi gas sebesar 6.42 ppm di menit ke-0
dan 17.94 ppm di menit ke-10 dan selanjutnya terjadi penurunan di menit ke-20
dengan konsentrasi sebesar 3.29 ppm. Nilai slope negatif yang didapatkan tersebut
cukup tinggi, sehingga fluks gas metana bernilai negatif yang dihasilkan tinggi pula.
Sedangkan pada rezim air kering, nilai fluks gas metana yang dihasilkan paling
rendah dibandingkan dengan kedua rezim yang lain. Tingginya nilai fluks gas
metana yang bernilai positif pada rezim air tergenang dan rezim air basah
mengindikasikan emisi gas metana yang dilepaskan tinggi. Hal ini disebabkan oleh
kondisi lahan tergenang selama beberapa minggu. Kondisi tergenang
memungkinkan aktivitas bakteri metanogenik meningkat sehingga emisi gas
metana pun meningkat (Arif et al. 2016).
Total fluks gas metana selama satu musim tanam pada rezim air tergenang,
rezim air basah, dan rezim air kering secara berurutan sebesar 48.47 kg
CH4/ha/musim, 3.59 kg CH4/ha/musim, dan -5.40 kg CH4/ha/musim. Maka total
fluks gas metana dari ketiga rezim air sebesar 46.66 kg CH4/ha/musim. Berdasarkan
nilai total fluks dari ketiga rezim tersebut, dapat diketahui bahwa budidaya rezim
air tergenang memiliki nilai tertinggi, dilanjutkan rezim air basah, sedangkan rezim
air kering memiliki nilai terendah. Hal ini menunjukkan bahwa rezim air untuk padi
sawah melalui budidaya SRI (rezim air basah dan rezim air kering) dapat
mengurangi emisi gas metana dalam upaya mitigasi emisi gas rumah kaca dari lahan
sawah.
Penelitian pengaruh pengelolaan air terhadap emisi gas metana yang
dilakukan oleh Suharsih et al. (1999, 2001) dalam Wihardjaka (2015) yang
dilakukan di Jakenan, Jawa Tengah, menghasilkan total fluks gas metana sebesar
203 kg CH4/ha/musim. Total fluks gas metana yang dihasilkan menurut pola irigasi
tergenang, macak-macak, dan berselang secara berurutan sebesar 92 kg
CH4/ha/musim, 65 kg CH4/ha/musim, dan 46 kg CH4/ha/musim. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, pola irigasi berselang menghasilkan emisi gas metana terendah.
Oleh karena itu, pemberian air yang hanya untuk menjaga kelembaban tanah dapat
menurunkan emisi gas metana tanpa mempengaruhi pertumbuhan tanaman selama
musim tanam.
Fluks gas metana dari lahan padi sawah bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti kondisi lingkungan mikro. Parameter lingkungan mikro
yang mempengaruhi fluks gas CH4 meliputi tinggi muka air dan kelembaban tanah.
6
3
Tinggi muka air (cm)
Permukaan tanah
0
-3
-6
-9
-12
-15
-18
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Minggu setelah tanam
Rezim air tergenang Rezim air basah Rezim air kering
Gambar 9 Perubahan tinggi muka air selama satu musim tanam
Tabel 3 Tinggi muka air dan fluks gas metana selama satu musim tanam
Tinggi muka air (cm) Fluks CH4 (kg/ha)
Fase
pertumbuhan Rezim Rezim Rezim Rezim Rezim Rezim
tergenang basah kering tergenang basah kering
Awal 0.10 -2.89 -5.88 31.63 -3.53 -3.30
Vegetatif -0.27 -10.75 -13.80 13.99 4.87 -0.77
Tengah musim -10.44 -7.96 -14.65 2.13 1.43 -1.39
Akhir musim -13.08 -11.40 -15.73 0.72 0.82 0.06
Total 48.47 3.59 -5.40
15
200
150 y = 1.1894x + 16.419
Fluks CH4 (mg/m2/hari)
R² = 0.029
100
50
0
-50
-100
-150
-200
-18 -16 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6
Tinggi muka air (cm)
Gambar 10 Hubungan tinggi muka air dengan emisi gas metana
Kelembaban Tanah
Kelembaban tanah merupakan parameter yang dapat mempengaruhi fluks gas
metana. Hasil perubahan kelembaban tanah masing-masing rezim air selama satu
musim tanam disajikan pada Gambar 11.
16
0.75
0.70
0.65
0.60
0.55
0 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Minggu setelah tanam
Rezim air tergenang Rezim air basah Rezim air kering
Gambar 11 Perubahan kelembaban tanah selama satu musim tanam
Tabel 4 Kelembaban tanah dan fluks gas metana selama satu musim tanam
Kelembaban tanah (m3/m3) Fluks CH4 (kg/ha)
Fase
pertumbuhan Rezim Rezim Rezim Rezim Rezim Rezim
tergenang basah kering tergenang basah kering
Awal 0.72 0.66 0.63 31.63 -3.53 -3.30
Vegetatif 0.69 0.65 0.65 13.99 4.87 -0.77
Tengah musim 0.71 0.66 0.64 2.13 1.43 -1.39
Akhir musim 0.62 0.65 0.64 0.72 0.82 0.06
Total 48.47 3.59 -5.40
200
150 y = 367.21x - 237.09
R² = 0.085
Fluks CH4 (mg/m2/hari)
100
50
0
-50
-100
-150
-200
0.55 0.60 0.65 0.70 0.75
3 3
Kelembaban tanah (m /m )
Gambar 12 Hubungan kelembaban tanah dengan emisi gas metana
60
Pengukuran CH4 (kg/ha/musim)
50 y = 1.0033x
R² = 0.99
40
Tinggi muka air
30
Kelembaban tanah
20
10
y = 1.0035x
0 R² = 0.99
-10
-20 0 20 40 60
Prediksi CH4 (kg/ha/musim)
Gambar 13 Hasil validasi model JST
60
Pengukuran
48.47 48.39 Model JST (Tinggi muka air)
50 48.25
Fluks CH4 (kg/ha/musim)
30
20
10
3.59 3.86 3.25
0 -5.40 -5.69 -4.74
-10
Rezim air tergenang Rezim air basah Rezim air kering
Gambar 14 Hasil prediksi gas metana berdasarkan model JST
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0
-2
Tinggi muka air (cm)
-4
-6
-8
-10
-12
-14
-16
-18
Generasi ke-
WL1 WL2 WL3 WL4
Gambar 15 Hasil optimasi tinggi muka air dengan algoritma genetika
0.73
0.72
0.71
Kelembaban tanah (m3/m3)
0.70
0.69
0.68
0.67
0.66
0.65
0.64
0.63
0.62
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Generasi ke-
SM1 SM2 SM3 SM4
Gambar 16 Hasil optimasi kelembaban tanah dengan algoritma genetika
Tabel 5 Hasil optimasi tinggi muka air dan kelembaban tanah dengan algoritma
genetika
Tinggi muka air Kelembaban tanah
Fase pertumbuhan
(cm) (m3/m3)
Fase awal -5.88 0.63
Fase vegetatif -13.80 0.65
Fase tengah musim -7.96 0.64
Fase akhir musim -11.40 0.65
Prediksi total fluks CH4 (kg/ha/musim) -15.07 -9.65
Tabel 5 menunjukkan tinggi muka air dan kelembaban tanah optimum pada
masing-masing fase pertumbuhan tanaman dan hasil prediksi total fluks gas metana
selama satu musim tanam. Tinggi muka air optimum yang didapatkan model pada
empat fase secara berurutan adalah -5.88 cm, -13.80 cm, -7.96 cm, dan -11.40 cm.
Kelembaban tanah optimum yang didapatkan model pada empat fase secara
berurutan adalah 0.63 m3/m3, 0.65 m3/m3, 0.64 m3/m3, dan 0.65 m3/m3. Berdasarkan
skenario optimasi dengan algoritma genetika tersebut, maka didapatkan prediksi
total fluks gas metana untuk optimasi tinggi muka air dan kelembaban tanah sebesar
-15.07 kg/ha/musim dan -9.65 kg/ha/musim. Nilai tinggi muka air optimum yang
didapatkan dari model bernilai negatif disebabkan oleh data input pengukuran rata-
rata tinggi muka air maksimum dan minimum yang digunakan sebagai fungsi
pembatas dalam model algoritma genetika setiap fase pertumbuhan tanaman
sebagian besar bernilai negatif terutama pada fase vegetatif, tengah musim, dan
akhir musim. Namun pada fase awal masih memungkinkan nilai optimasi tinggi
muka air dari model bernilai positif karena salah satu input data untuk fase awal
yaitu nilai rata-rata tinggi muka air maksimum bernilai positif.
Tanaman selalu membutuhkkan air untuk keberlangsungan pertumbuhannya.
Proses metabolisme dalam suatu siklus hidup tanaman berlangsung karena adanya
air, mulai dari perkecambahan sampai panen. Penyerapan air oleh akar digunakan
untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman (Ai et al. 2010). Kemampuan partikel tanah
untuk menahan air dan kemampuan akar untuk menyerapnya tergantung dari kadar
air dalam tanah yang digunakan sebagai penentu besarnya air yang dapat diserap
oleh akar tanaman (Jumin 1992). Berdasarkan hasil optimasi kelembaban tanah dari
model, kelembaban tanah pada keempat fase tersebut dapat dijaga pada kondisi
basah untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Oleh karena itu, kebutuhan
21
penyerapan air oleh akar tanaman, mulai dari perkecambahan sampai panen dapat
terpenuhi sehingga tanaman tidak mengalami kekurangan air.
Prediksi total fluks gas metana yang didapatkan dari optimasi tinggi muka air
dan kelembaban tanah dari model algoritma genetika menghasilkan nilai negatif.
Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai prediksi total fluks gas metana optimum
diperoleh dari generasi yang memiliki nilai fungsi tujuan paling baik setelah
dilakukannya iterasi 100 kali. Hasil optimasi tinggi muka air dengan model dapat
menurunkan emisi gas metana pada rezim air tergenang, rezim air basah, dan rezim
air kering secara berurutan sebesar 63.54%, 18.66%, dan 9.67%. Hasil optimasi
kelembaban tanah dapat menurunkan emisi gas metana pada rezim air tergenang,
rezim air basah, dan rezim air kering secara berurutan sebesar 58.12%, 13.24%, dan
4.25%. Validasi hasil optimasi dari model algoritma genetika dilakukan pada
penelitian lebih lanjut untuk membuktikan prediksi total fluks gas metana yang
dihasilkan selama satu musim tanam.
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
Sub Pembangkitacak()
Randomize
For i = 1 To population
individu1(i) = ""
For j = 0 To Parameter
individuparameter1(i, j) = ""
For k = 1 To Cromsmax
r = Rnd
If r < 0.6 Then cromosom(i, j, k) = "[0]" Else cromosom(i, j, k) = "1"
individuparameter1(i, j) = individuparameter1(i, j) + cromosom(i, j, k)
Next k
individu1(i) = individu1(i) + individuparameter1(i, j)
Next j
'Sheet1.Cells(2 + i, 16) = individu1(i)
Next i
End Sub
Sub FungsiFitness()
For iii = 1 To population
WL1 = normalisasi(iii, 0)
WL2 = normalisasi(iii, 1)
WL3 = normalisasi(iii, 2)
WL4 = normalisasi(iii, 3)
CH4Updated = ANNCH4(WL1, WL2, WL3, WL4)
CH4Normal = (CH4Updated - MinCH4) / (MaxCH4 - MinCH4)
Fitness(iii) = CH4Updated
Sub Pemilihanindividu()
For i = 1 To Terseleksi
For j = 0 To Parameter
individuparameter1(i, j) = ""
For k = 1 To Cromsmax
Cromosomseleksi(i, j, k) = cromosom(i, j, k)
individuparameter1(i, j) = individuparameter1(i, j) + Cromosomseleksi(i, j, k)
Next k
Next j
Next i
29
Lampiran 4 Kode pemrograman model algoritma genetika (Arif 2013) (lanjutan)
End Sub
Sub crossover()
For i = 1 + Round(population / 2) To Round(population / 2) + Round(Terseleksi /
2)
r = Rnd
'//rb:= round(r*kromsmax); {letak pemotongan random}
rb = 3
ind1 = (2 * i) - 1
ind2 = 2 * i
in1 = ind1 - population
in2 = ind2 - population
For j = 0 To Parameter
individuparameter1(ind1, j) = ""
individuparameter1(ind2, j) = ""
For k = 1 To Cromsmax
If k <= rb Then
cromosombaru(ind1, j, k) = Cromosomseleksi(in1, j, k)
individuparameter1(ind1, j) = individuparameter1(ind1, j) +
cromosombaru(ind1, j, k)
Else
cromosombaru(ind1, j, k) = Cromosomseleksi(in2, j, k)
individuparameter1(ind1, j) = individuparameter1(ind1, j) +
cromosombaru(ind1, j, k)
End If
If k <= rb Then
cromosombaru(ind2, j, k) = Cromosomseleksi(in2, j, k)
individuparameter1(ind2, j) = individuparameter1(ind2, j) +
cromosombaru(ind2, j, k)
Else
cromosombaru(ind2, j, k) = Cromosomseleksi(in1, j, k)
individuparameter1(ind2, j) = individuparameter1(ind2, j) +
cromosombaru(ind2, j, k)
End If
cromosom(ind1, j, k) = cromosombaru(ind1, j, k)
cromosom(ind2, j, k) = cromosombaru(ind2, j, k)
Next k
Next j
Next i
End Sub
Sub prosmutasi()
For i = 1 + Round(population / 2) To Round(population / 2) + Round(Terseleksi /
2)
ind1 = (2 * i) - 1
30
Lampiran 4 Kode pemrograman model algoritma genetika (Arif 2013) (lanjutan)
ind2 = 2 * i
For j = 0 To Parameter
individuparameter1(ind1, j) = ""
individuparameter1(ind2, j) = ""
For k = 1 To Cromsmax
If (Rnd < mutasi) And (cromosom(ind1, j, k) = "[0]") Then cromosom(ind1, j,
k) = "1"
If (Rnd < mutasi) And (cromosom(ind1, j, k) = "1") Then cromosom(ind1, j, k)
= "[0]"
If (Rnd < mutasi) And (cromosom(ind2, j, k) = "[0]") Then cromosom(ind2, j,
k) = "1"
If (Rnd < mutasi) And (cromosom(ind2, j, k) = "1") Then cromosom(ind2, j, k)
= "[0]"
individuparameter1(ind1, j) = individuparameter1(ind1, j) + cromosom(ind1, j,
k)
individuparameter1(ind2, j) = individuparameter1(ind2, j) + cromosom(ind2, j,
k)
Next k
Next j
Next i
End Sub
Sub hasil(gen)
Sheet1.Cells(2 + gen, 5) = gen
Sheet1.Cells(2 + gen, 6) = fitgenerasi
Sheet1.Cells(2 + gen, 7) = fitterjelek
Sheet1.Cells(2 + gen, 8) = fitrata
Sheet1.Cells(2 + gen, 10) = normalisasi(1, 0)
Sheet1.Cells(2 + gen, 11) = normalisasi(1, 1)
Sheet1.Cells(2 + gen, 12) = normalisasi(1, 2)
Sheet1.Cells(2 + gen, 13) = normalisasi(1, 3)
WL1 = normalisasi(1, 0)
WL2 = normalisasi(1, 1)
WL3 = normalisasi(1, 2)
WL4 = normalisasi(1, 3)
CH4Updated = ANNCH4(WL1, WL2, WL3, WL4)
Sheet1.Cells(17, 2) = FormatNumber(fitgenerasi, 2)
Sheet1.Cells(18, 2) = FormatNumber(normalisasi(1, 0), 3)
Sheet1.Cells(19, 2) = FormatNumber(normalisasi(1, 1), 3)
Sheet1.Cells(20, 2) = FormatNumber(normalisasi(1, 2), 3)
Sheet1.Cells(21, 2) = FormatNumber(normalisasi(1, 3), 3)
Sheet1.Cells(23, 2) = FormatNumber(CH4Updated, 2)
End Sub
31
Lampiran 5 Kegiatan penelitian
Pemindahan gas
Panen
32
RIWAYAT HIDUP