Anda di halaman 1dari 2

Nama : Muhammad Mahfud Mas’ud

NIM ; I011201036
Suku Bajau
Di masa lalu Indonesia dikenal sebagai negeri kepulauan yang memiliki tradisi maritim
yang kuat. Bukti dari tradisi laut ini adalah banyaknya suku-suku yang hidup dari hasil laut.
Bahkan ada suku yang tinggal di laut, mengapung di atas perahu, menjelajah dari satu laut ke
laut lainnya seperti yang dilakukan suku Bajo dari generasi ke generasi. Dalam film berdurasi 80
menit itu, dikisahkan kehidupan suku Bajo di era kekinian.
Jika dahulu suku Bajo dikenal sebagai penjelajah lautan dan menyandang julukan “sea
gypsies”, namun kini suku Bajo yang hidup di perairan Indonesia menjalani nasib yang berbeda-
beda. Film yang pernah ikut festival budaya Pasar Hamburg Jerman ini memotret kehidupan
keluarga suku Bajo yang hidup di perairan Torosiaje, Provinsi Gorontalo, dan Morombo,
Sulawesi Utara.
Suku Bajo di Gorontalo relatif lebih baik dibandingkan saudaranya yang hidup di
Sulawesi Utara. Di Gorontalo, mereka masih bisa melaut di perairan berair jernih yang banyak
dihuni habitat ikan dan terumbu karang. Tangkapan ikan mereka melimpah.
Namun suku Bajo yang hidup di Sulawesi Utara, kondisinya sangat memprihatinkan.
Mereka harus melaut di perairan dangkal yang sudah tercemar tambang nikel. Terumbu karang
di sana rusak parah, ikan-ikan pun menjauh. Padahal kehidupan suku Bajo sangat tergantung
pada hasil tangkapan ikan untuk dikonsumsi dan dijual.
Masalah lain, suku Bajo menghadapi krisis identitas. Mereka mengikuti program
pemerintah untuk tinggal di darat, membangun rumah, bahkan ada yang dilatih bertani. Mereka
diminta tinggal di darat agar terdata sebagai warga negara, mendapat identitas, mendapat
bantuan perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Tetapi masalahnya suku Bajo sendiri sudah punya identitas yang diwarisi dari nenek
moyangnya ratusan tahun lalu. Identitas mereka hidup di laut, tinggal di atas perahu dari satu
perairan ke perairan lainnya. Mereka menghadapi kesulitan mendasar jika harus menjalani
kehidupan di darat.
Film The Bajau merekam percakapan suku Bajo tentang pandangannya pada laut. Bagi
mereka, laut sebagai rumah sekaligus tempat mencari nafkah. Mereka lahir, tumbuh, dan
meninggal di laut.. Jika mereka disuruh memilih tinggal di darat atau di laut, pilihan mereka
akan jatuh pada laut. “Orang Bajo biasa di laut dan harus tetap di laut,” kata seorang suku Bajo.
WatchDoc mengungkap, suku Bajo hidup tersebar di perairan Filipina, Malaysia, dan
Indonesia. Sejak dahulu kala mereka sudah terampil membaca navigasi lewat bintang untuk
menjelajah lautan tanpa batasan negara. Namun tradisi mereka kini penuh dilema, bahkan bisa
berujung kasus hukum. Mereka pernah ditangkap dengan tudingan pencuri ikan.
Sebenarnya, identitas maritim suku Bajo ditampilkan WatchDoc sejak awal pembukaan
film yang menayangkan sebuah ritual di laut, yakni penyajian daging penyu dan nasi yang
kemudian dihanyutkan di laut. Upacara tersebut dilakukan para tetua yang tak henti-henti berdoa
dalam bahasa Bajo maupun Arab.
Ritual “kurban” penyu yang dilarung ke laut menunjukkan mereka sebagai orang-orang
laut. Di daratan, kurban biasa dilakukan dengan media hewan yang hidup didarat seperti
kambing, sapi atau kerbau.

Anda mungkin juga menyukai