Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian media refraksi yang terletak di bagian anterior


mata. Sebuah kornea yang sehat, dengan lapisan air mata di atasnya, berperan
penting dalam menyediakan permukaan refraksi yang baik serta perlindungan
mata. Bentuk kornea lebih rata di tepi dan lebih terjal di bagian tengah, sehingga
membentuk sistem optik asferis(1)
Kornea memiliki mekanisme protektif terhadap lingkungan maupun
paparan patogen (bakteri, virus, dan jamur). Ketika patogen masuk dan membuat
defek epitelial di kornea, maka jaringan braditropik kornea akan merespon
patogen spesifik dengan peradangan pada kornea (keratitis).
Keratitis adalah keadaan peradangan kornea yang disebabkan oleh
bermacam-macam penyebab. Keratitis oleh karena infeksi dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, dan jamur. Keratitis juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lapisan
kornea yang terkena seperti keratitis superfisial dan profunda. Penyebab keratitis
90% disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri seperti Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Stapylococcus aeroginosa, dan Moarxella sp(2)
Gejala yang timbul pada keratitis adalah rasa sakit yang berat, karena
kornea memiliki serat sakit yang banyak. Rasa sakit juga diperparah oleh gerakan
kelopak mata sebab terjadinya gesekan antara kornea dan palpebral. Rasa silau
(fotofobia) juga dan penglihatan yang menurun terutama bila letak lesi di sentral
kornea juga dirasakan penderita. Keratitis juga menyebabkan mata merah dan rasa
mengganjal atau kelilipan(3)
Keratitis merupakan penyakit yang serius karena dapat mengancam
ketajaman penglihatan. Penanganan yang tidak sempurna atau terlambat akan
mengakibatkan gangguan penglihatan permanen berupa penglihatan yang kabur
ringan hingga kebutaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI DAN HISTOLOGI KORNEA


Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan,
berukuran 44-42 mm horizontal dan 40-44 mm vertikal, serta memiliki indeks
refraksi 4,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25
dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga
merupakan sumber astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea
bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi
melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari
sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas
ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 400 kali jika
dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris
terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V. Saraf siliar
longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause
ditemukan pada daerah limbus(4)
Lapisan dari kornea terdiri dari :
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel
tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng.
Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea.
Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media
penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya
dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden;
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier.
Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal
dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi(4)
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular. Terletak di bawah membran basal dari
epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma
dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai
daya generasi(4)
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan
tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan
lebar sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh
diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara
serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma(4)
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak
amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus
seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis
daripada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses
patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal
antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel
dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan
lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel
mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh
endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi
dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem
pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan
kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari
kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membran
semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada
kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema
kornea dan kekeruhan pada kornea.(4)

Gambar 1. Anatomi dan histologi kornea


II. FISIOLOGI KORNEA
Kornea mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai medium refraksi dan untuk
memproteksi lensa intraokular. Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan
jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya
disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi.
Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh
pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel.
Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan
kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada
kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan
hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan
edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah
beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan
hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain
dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan
keadaan dehidrasi. Kornea di jaga agar tetap berada pada keadaan “basah” dengan
kadar air sebanyak 78%(5,6)
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang
sangatlah penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25
dioptri dari total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74% dari
seluruh kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada kornea
dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi visus seseorang.
Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea sangat
sensitif. Saraf – saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui membran bowman
dan berakhir secara bebas diantara sel – sel epithelial serta sel – sel epithelial serta
tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2 – 3 mm dari limbus ke sentral kornea ,
sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea(5,6).
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.
Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap
kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis
ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens
disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan bola mata involunter. Trias yang
terdiri atas penutupan mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi
(epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera
kornea.
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan yang braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti
penyembuhannya juga lambat.
Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa) diperoleh dari 3 sumber, yaitu:
a. Difusi dari kapiler – kapiler disekitarnya
b. Difusi dari humor aquous
c. Difusi dari film air mata
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan
membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan
pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film
air mata juga melindungi mata dari infeksi(5,6)

III. KERATITIS
A. Definisi
Keratitis adalah peradangan pada kornea yang biasanya diklasifikasikan
menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila
mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis
(atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma(7)
B. Etiologi
Penyebab keratitis bermacam-macam. Bakteri, virus, dan jamur dapat
menyebabkan keratitis. Selain itu penyebab lain adalah kekeringan pada mata,
benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif
terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan
vitamin A dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik(2,8)

C. Klasifikasi
Menurut lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi:
1. Keratitis superfisialis, jika mengenai lapisan epitel dan membrane Bowman
a. Keratitis pungtata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan
oleh sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat
topical, sinar ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa
kontak. Selain itu juga disebabkan oleh virus seperti virus herpes, herpes
zoster(7)
b. Keratitis flikten
Benjolan putih yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan
untuk menyerang kornea (9)
c. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar
lakrimal atau sel goblet yang berada di konjungtiva (10)
d. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf,
disebut juga keratitis neuroparalitik(2)
e. Keratitis numularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multipel
dan banyak didapatkan pada petani(7)
2. Keratitis profunda, jika mengenai lapisan stroma
a. Keratitis interstisial luetik atau keratitis sifilis kongenital
b. Keratitis sklerotikans

IV. PATOFISIOLOGI KERATITIS


Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan
tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea(6,8,10)
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior)
pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris
yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada
ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan
timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia yang berat pada kebanyakan
penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada
penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata
dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata
kecuali pada ulkus bakteri purulen. Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi
mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan
penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat(6,8,10)
Beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi terjadinya inflamasi pada
kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea, dry eyes, penggunaan
lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan preparat
imunosupresif topikal maupun sistemik. Kornea mendapatkan paparan konstan dari
mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea
memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut
termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel
hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk
beregenerasi secara cepat dan lengkap(6,8,10)
Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
kedalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskular dan
lapisan Bowman mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme, termasuk
bakteri, amoeba dan jamur(6,8,10)

V. TANDA DAN GEJALA UMUM KERATITIS


Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat
dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan
keratitis. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan
pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan
leukoma. Adapun gejala umum adalah(7,9,11):
1. Keluar air mata yang berlebihan
2. Nyeri
3. Penurunan tajam penglihatan
4. Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
5. Mata merah
6. Sensitif terhadap cahaya.

VI. DIAGNOSA KERATITIS


Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan
adanya riwayat trauma. Kemudian benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang
umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga mempengaruhi. Keratitis
akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat
sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari
gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena
mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi
penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga
mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit - penyakit sistemik, seperti diabetes,
AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus(6,7).
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering
lebih mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulasan fluorescein dapat
memperjelas lesi epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak
dipulas. Pemakaian biomikroskop (slit lamp) penting untuk pemeriksaan kornea
dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan
terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di
atas kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara
ini(2)
Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi
empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur. Hapusan dan kultur sering
membantu dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang
terjadi di mata dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau
vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba
endophthalmitis(2)
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-
satunya cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat
membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang
tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan menyingkirkan obat-obatan
yang tidak perlu. Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon
klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun keterlambatan dalam
pemulihan patogen dapat terjadi(6,7).
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan
menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari
daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk
mendapatkan sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran slit lamp.
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap
pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis
yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika
infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak
terlibat(6,7).
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan slit
lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk
mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan
pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk
histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikan ke laboratorium secara tepat
waktu(6,7)..

VII. KERATITIS BAKTERIALIS


A. Definisi
Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri
khusus keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal
lengkap bisa terjadi dalam 24 – 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen.
Ulkus kornea, pembentukan abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen
anterior adalah karakteristik dari penyakit ini(2,3)
B. Etiologi
Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah
Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella,
Enterobacter, Serratia, and Proteus) dan golongan Staphylococcus. Lebih dari
20 kasus keratitis jamur (terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi
bakteri.
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi
dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan
bakteri oportunistik (misalnya Streptococcus alfa-hemolyticus, Staphylococcus
aureus, Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang
menimbulkan ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar perlahan dan
superficial(2,3)
C. Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang
intak dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana
akan terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat
menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu
proses infeksi. 1
Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan
struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama
stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat
terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal
dan menyebabkan nekrosis lamella stroma(2,3)
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior,
menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya
hypopyon. Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin
protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat
menyebabkan destruksi substansi kornea(2,3)
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinik dari keratitis bakterial yaitu: (2,3)
1) Nyeri sedang - berat
2) Fotofobia
3) Blefarospasme
4) Ulkus kornea , infiltrat
5) Penglihatan terganggu
6) Lakrimasi
7) Sekret purulen
Gambar 2. Keratitis bakterial
a) Keratitis Pneumokokus
Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi
pada kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus
berbatas tegas warna kelabu yang cenderung menyebar secara tak teratur
dari tempat infeksi ke sentral kornea. Batas yang maju menampakkan
ulserasi aktif dan infiltrasi sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh.
(Efek merambat ini menimbulkan istilah "ulkus serpiginosa akut".) Lapis
superfisial kornea adalah yang pertama terlibat, kemudian parenkim bagian
dalam. Kornea sekitar ulkus sering bening. Biasanya ada hipopion. Kerokan
dari tepian depan ulkus kornea pneumokokus mengandung diplokokus
berbentuk-lancet gram-positif.(6)

Gambar 3. Ulkus Pneumokokus


b) Keratitis Pseudomonas
Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di
tempat epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya.
Lesi ini cenderung cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim
protcolitik yang dihasilkan organisme ini. Meskipun pada awalnya
superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea. Umumnya terdapat
hipopion besar yang cenderung membesar dengan berkembangnya ulkus.
Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna hijau kebiruan. Ini akibat pigmen
yang dihasilkan organisme dan patognomonik untuk infeksi P aeruginosa.10
Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus
kornea Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan
lensa kontak lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang
disebabkan organisme ini bervariasi dari yang sangat jinak sampai yang
menghancurkan. Organisme itu ditemukan melekat pada permukaan lensa
kontak lunak. Beberapa kasus dilaporkan setelah penggunaan larutan
florescein atau obat tetes mata yang terkontaminasi (6)
c) Keratitis Streptokokus
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea
(serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram
dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan
menyebabkan perforasi kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh S.
pneumoniae (6)
E. Terapi
Pengobatan antibiotik dapat diberikan pada keratitis bacterial dini. Biasanya
pengobatan dengan dasar berikut:
1. Untuk bakteri gram negatif: tobramisin, gentamicin dan polimiksin
2. Untuk bakteri gram positif : cefazoin, vancomycin dan basitrasin
3. Antibiotik spectrum luas seperti : ofloxacin, norfloxacin, dan pulymyxin(6)
F. Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan
kornea, dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan
endophthalmitis dan hilangnya penglihatan(11)
G. Prognosis
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor dan dapat
mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat(11)
1. Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
2. Luas dan lokasi ulkus kornea
3. Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen
VIII. KERATITIS VIRUS
1. Keratitis Herpes Simplek
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang
paling sering ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes
simpleks, ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang & edema pada
lapisan kornea manapun. Pada mata, virus herpes simplek dapat diisolasi
dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes simpleks. Penularan
dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga
hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus(7)
a. Manifestasi Klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat
primer dan kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada
mata jarang ditemukan ditandai oleh adanya demam, malaise,
limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan
2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat
unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral
khususnya pada pasien-pasien atopik. Bentuk ini umumnya dapat
sembuh sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang
berarti. Terapi antivirus topikal dapat dipakai unutk profilaksis agar
kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea.
Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara
umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks
didominasi oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas(3,11)
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca
infeksi primer. Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi
inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini
ganglion servikalis superior, ganglion n.trigeminus, dan ganglion
siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir- akhir ini
dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat
berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan
terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran
nafas bagian atas, stres emosional, pemaparan sinar matahari atau
angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi imunosupresi(3,11)
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1
namun beberapa kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan
HSV tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat dibedakan(3,11)
b. Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila
kornea bagian pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan
penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal
infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang
berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi
herpes lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu
– satunya gejala infeksi herpes rekurens(3,11)
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan
luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas
kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang
juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster
oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna
lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik
pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-
fobia(3,11)
c. Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk
superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato
uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan
geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari
keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan
menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek
dengan gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan
gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas
dengan tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya.
Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit, namun
sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi
kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis
diferensial(3,11)
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu
sebentuk penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya
berbentuk lebih lebar. Hal ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan
demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki
cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi
kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel
kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial
”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa.
Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi
dendritik khas dalam satu dua hari(3,11)

Gambar 4. Lesi dendritik Gambar 5. Lesi geografik


Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling
umum pada infeksi HSV. Stroma didaerah pusat yang edema
berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan umumnya tanpa
vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk
lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan
keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula
diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis
anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang
imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri,
setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema
adalah tanda terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan
parut dan vaskularisasi minimal(3,11)
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal
yang sering disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan
replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat marginal
atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat
polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes
simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan
cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat
penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan
superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada
penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas
herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat
pula disebabkan oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus
mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat
hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi
sekunder(3,11)
Gambar 6 . Keratitis Diskiformis Gambar 7. Lesi dengan Wessely Ring
d. Patogenesis
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu
epitelial dan stromal. Kerusakan terjadi pada pembiakan
virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial
dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal
terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang
menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel
radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan
proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak
jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui
karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan
terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk
menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik
keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang
vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan
makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes
imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada
hospes yang secara imunologik tidak kompeten,
perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak(3,11)
e. Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea,
sambil memperkecil efek merusak akibat respon radang.
1) Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement
epitelial, karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement
juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma kornea.
Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi
mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak
manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat
siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan
kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan.
Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya
sampai defek korneanya sembuh umumnya adalah 72 jam.
Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat
pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel
pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu
ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai
keracunan obat(6,7)
2) Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes
adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan acyclovir.
Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif untuk penyakit
stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering
kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada manfaatnya
untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada
orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan
kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter terhadap
efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes
simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang
dilaksanakan ( herpes eye disease study) (6,7)
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila
terbatas pada epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan
pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan
kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat
merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah
perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi
kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid topikal
karena hebatnya respon peradangan, penting sekali
ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan
replikasi virus(6,7)
3) Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk
rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea
berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah
penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens
dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal
yang diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi
kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea
dari penyakit stroma rekurens(6,7)
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau
superinfeksi bakteri atau fungi mungkin memerlukan
keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat
dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan
graft “petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu.
Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding
keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi
penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau
tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel
yang terdapat padakeratitis herpes simplek(6,7)
4) Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali
infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira
sepertiga kasus dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat
ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah dengan teliti
mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat
dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam,
pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat
dihindari. Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan stres
psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum
menstruasi(6,7)
f. Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau
vaskularisasi pada kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini
berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa(6,7)
2. Keratitis Virus Varisela Zoster
Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella)
dan rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella
namun sering pada zoster ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada
kelopak dan tepian kelopak. Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer
dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau
tanpa pseudodendrite. Pernah dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis
yang lamanya bervariasi(6)
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster
ophthalmic relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang
bervariasi beratnya sesuai dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea
pada zoster ophthalmic dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di
daerah yang dipersarafi cabang-cabang Nervus Nasosiliaris(6)

Gambar 8. Keratitis Herpes Zoster pada cabang N Nasosiliaris


Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai
epithel, keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi
epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear
yang sedikit mirip dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan
oleh edema dan sedikit infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel.
Keadaan ini dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan
vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis disciformis dan mirip keratitis
disciformis HSV. Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok
dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah
sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai
bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada
penyakit VZV mata. (6)
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk
mengobati herpes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang
kekebalannya terganggu. Dosis oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-
14 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan.
Peranan antivirus topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin
diperlukan untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder.
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin
diindikasikan untuk mengurangi insidensi dan hebatnya neuralgia paska
herpes. Namun demikian keadaan ini sembuh sendiri(6)
3. Keratitis Fungi
a. Etiologi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada
kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan
menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur
telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur. Beberapa spesies yang dapat
menyebabkan keratitis jamur yaitu Aspergilus fusarium, Cefalosporium, dan
Candida albicans(8)
b. Manifestasi Klinik
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi
jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur
yang larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea,
peradangan akut, respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion,
dan uveitis yang berat(6)
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat
menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan
bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang
timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses
stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat
mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan
respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen
dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior
dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi
berwarna putih kekuningan(6)
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut: (6)
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan
tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh.
4) Plak endotel.
5) Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen

Gambar 9. Keratitis Aspergilus Gambar 10. Keratitis Candida


c. Diagnosa Laboratorik
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum
menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan
pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari
dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan
KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan
masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi
melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid
Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-
akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast
microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode
Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan
kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa(6)
d. Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam
improvisasi pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah
mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi(6):
1) Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
2) Jamur berfilamen.
3) Ragi (yeast).
4) Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
i. Untuk golongan I
Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),
Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
ii. Untuk golongan II
Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5%
(obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih)
iii. Untuk golongan III
Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,
Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 % . Untuk golongan IV : Golongan
Sulfa, berbagai jenis Antibiotik..
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi
awal. Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah
sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi;
kriteria penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan
(blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus,
menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di
sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya
tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit
menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil,
bahkan kadang- kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan.
Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan
ketelitian dari kita semua(6)
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. In: Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2010. p. 1–13.
2. Al-Mujaini A, Al-Kharusi N, Thakral A, Wali UK. Bacterial Keratitis:
Perspective on Epidemiology, Clinico-Pathogenesis, Diagnosis and Treatment.
Sultan Qaboos Univ Med J [Internet]. 2009;9(2):184–95. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3074777/
3. Riordan-Eva P, Cunningham ET. Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology. 18th editi. McGraw-Hill Education; 2017.
4. Cunningham ET, Riordan-Eva P. Kornea. In: Vaughhan dan Ashabury
Oftalmology Umum. Jakarta: EGC; 2009. p. 125–48.
5. Sherwood L. Eye:Vision. In: Fundamentals of Human Physiology. 9th editio.
Cengage Learning;
6. Austin A, Lietman T, Rose-Nussbaumer J. Update on the Management of
Infectious Keratitis. Ophthalmology [Internet]. 2017;124(11):1678–1689.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5710829/
7. Sharma S. Keratitis [Internet]. 2001. 419–444 p. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11900320
8. Castano G, Mada PK. Fungal Keratitis [Internet]. StatPearls [Internet].; 22019.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493192/
9. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. In: Ilmu Penyakit
Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. p. 147–8.
10. Upadhyay MP, Srinivasan M, Whitcher JP. Diagnosing and managing
microbial keratitis. Community Eye Heal [Internet]. 2015;28(89):3–6.
Available from: https://doi.org/10.1023/a:1017939725776
11. Austin A, Lietman T, Rose-Nussbaumer J. Update on the Management of
Infectious Keratitis. Ophthalmology. 2017;124(11):1678.

Anda mungkin juga menyukai