PENDAHULUAN
I. ANATOMI TELINGA
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 70% dari semua anak mengalami OMA pada
usia 1-2 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pittsburgh
yang secara prospektif mengikuti anak-anak perkotaan dan pedesaan
selama 2 tahun pertama kehidupan, dapat ditentukan bahwa kejadian
episode efusi telinga tengah sekitar 48% pada usia 6 bulan, 79% pada usia
1 tahun, dan 91% pada usia 2 tahun (Donaldson, 2019).
C. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin,
ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu
ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak
lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi
bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius,
inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2009).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan
insidens OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh
struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu,
sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah.
Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding
dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan
Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi
dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status
sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk,
fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan
pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-
anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu,
anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA.
Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang
lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat
kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-
anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas
kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba
Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga
tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat
infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2009).
D. Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering.
Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis
bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau
efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik
karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis
bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus
pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%)
dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai
patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A
beta-hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif.
Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak ditemukan
pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit.
Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis
mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan
yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2009).
Infeksi Saluran Pernapasan Atas juga merupakan salah satu faktor
penyebab yang paling sering. Kuman penyebab OMA adalah bakteri
piogenik, seperti Streptococcus hemoliticus, Haemophilus Influenzae
(27%), Staphylococcus aureus (2%), Streptococcus Pneumoniae
(38%), Pneumococcus. Pada anak-anak, makin sering terserang ISPA,
makin besar kemungkinan terjadinya otitis media akut (OMA). Pada
bayi, OMA dipermudah karena tuba Eustachiusnya pendek, lebar, dan
letaknya agak horisontal.
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai
tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus
yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory
syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-
40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau
enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba
Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi
bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu
mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2009). Dengan
menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus
specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus
dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita
OMA pada 75% kasus (Marom, et. al, 2012)
3. Sumbatan pada tuba Eustachius
Pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba Eustachius terganggu,
sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah terganggu
juga sehingga terjadi peradangan. Hal-hal yang menyebabkan
sumbatan pada muara tuba antara lain, infeksi saluran pernafasan,
alergi, perubahan tekanan udara tiba-tiba, tumor, dan pemasangan
tampon yang menyumbat muara tuba.
E. Patogenesis
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti
radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat
saluran Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat
menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan
di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih
untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri
dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah
nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar
saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga
tengah terkumpul di belakang gendang telinga. Jika lendir dan nanah
bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga
dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ
pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan
pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus).
Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan
pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu
telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu
banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena
tekanannya. OMA dapat berkembang menjadi otitis media supuratif
kronis apabila gejala berlangsung lebih dari 2 bulan, hal ini berkaitan
dengan beberapa faktor antara lain higiene, terapi yang terlambat,
pengobatan yang tidak adekuat, dan daya tahan tubuh yang kurang baik
(Efiaty et. al, 2007).
F. Stadium
OMA memiliki beberapa stadium berdasarkan pada gambaran
membran timpani yang diamati melalui liang telinga luar yaitu stadium
oklusi, stadium hiperemis, stadium supurasi, stadium perforasi dan
stadium resolusi.
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai
oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani
negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara.
Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih
horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada
tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi,
membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan,
atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi
tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari
otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi
demam pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Gambar 5. Membran timpani hiperemis
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran
timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis,
edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.
Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga
terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi
berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti.
Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari
cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara
yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua
belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
3. Stadium Supurasi
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa
nyeri di dalam telinga, keluhan disamping suhu tubuh yang tinggi.
Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang
lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula
gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas OMA ialah suhu tubuh
tinggi dapat sampai 39,5oC (pada stadium supurasi), anak gelisah dan
sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang dan
terkadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur
membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga luar, suhu
tubuh turun dan anak mulai tertidur dengan tenang.
Pada penelitian dikatakan bahwa anak-anak dengan OMA biasanya
hadir dengan riwayat onset yang cepat dan gejala seperti otalgia, rewel
pada bayi atau balita, otorrhea, dan/atau demam (Venekamp, 2013).
Dalam sebuah survei di antara 354 anak-anak yang mengunjungi
dokter untuk penyakit pernapasan, demam, sakit telinga, dan
menangis yang berlebihan sering didapatkan dengan OMA (90%).
Namun, gejala ini juga terdapat pada anak tanpa OMA (72%). Gejala
lain dari infeksi virus pernapasan atas, seperti batuk dan hidung
tersumbat, sering mendahului atau menyertai OMA dan tidak spesifik
juga. Dengan demikian, sejarah klinis saja tidak bisa untuk menilai
adanya OMA, terutama pada anak muda (Venekamp, 2013).
2. Pemeriksaan Fisik
Visualisasi dari membran timpani dengan identifikasi dari
perubahan dan inflamasi diperlukan untuk menegakkan diagnosis
dengan pasti. Untuk melihat membran timpani dengan baik adalah
penting bahwa serumen yang menutupi membran timpani harus
dibersihkan dan dengan pencahayaan yang memadai. Temuan pada
otoskop menunjukkan adanya peradangan yang terkait dengan OMA
telah didefinisikan dengan baik. Penonjolan (bulging) dari membran
timpani sering terlihat dan memiliki nilai prediktif tertinggi untuk
kehadiran OMA. Penonjolan (bulging) juga merupakan prediktor
terbaik dari OMA.
Kekeruhan juga merupakan temuan yang konsisten dan disebabkan
oleh edema dari membran timpani. Kemerahan dari membran timpani
yang disebabkan oleh peradangan mungkin hadir dan harus dibedakan
dari eritematosa ditimbulkan oleh demam tinggi. Ketika kehadiran
cairan telinga bagian tengah sulit untuk menentukan, penggunaan
timpanometri dapat membantu dalam membangun diagnosis (Brinker,
et. al., 2018).
3. Pemeriksaan Penunjang
Efusi telinga tengah juga dapat dibuktikan dengan timpanosentesis
(penusukan terhadap gendang telinga). Namun pemeriksaan ini tidak
dilakukan pada sembarang anak. Indikasi perlunya timpanosentesis
anatara lain OMA pada bayi berumur di bawah 6 minggu dengan
riwayat perawatan intensif di rumah sakit, anak dengan gangguan
kekebalan tubuh, anak yang tidak member respon pada beberapa
pemberian antibiotik atau dengan gejala sangat berat dan komplikasi.
Untuk menilai keadaan adanya cairan di telinga tengah juga
diperlukan pemeriksaan timpanometeri pada pasien.
H. Tatalaksana
Pengobatan OMA tergantung stadium penyakitnya. Pada stadium
oklusi, penggobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba
eustachius, sehingga tekanan negatif pada telinga tengah hilang, sehingga
diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik
untuk anak <12 tahun, atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologik
untuk anak > 12 tahun dan pada orang dewasa. Sumber infeksi harus
diobati antibiotik diberikan jika penyebabnya kuman, bukan oleh virus
atau alergi.
Stadium Presupurasi adalah antibiotika, obat tetes hidung dan
analgetika. Bila membran timpani sudah terlihat hiperemis difus,
sebaiknya dilakukan miringotomi. Antibiotik yang dianjurkan ialah dari
golongan penisilin atau ampicilin. Terapi awal diberikan penicillin
intramuscular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di dalam darah,
sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung. Gangguan
pendengaran sebagai gejala sisa dan kkekambuhan. Pemberian antibiotika
dianjurkan minimal 7 hari . Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka
diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50 –
100 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40
mb/kgBB dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari.
Pada stadium supurasi disamping diberikan antibiotik, idealnya
harus disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh.
Dengan miringotomi gejal – gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur
dapat dihindari.
Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan
kadang terlihat keluarnya sekret secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan
yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3 – 5 bhari serta
antibiotik yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat
menutup kembali dalam waktu 7 – 10 hari.
Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal
kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup.
Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang
telinga luar melalui perforasi membran timpani. Keadaan ini dapat
disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa teling tengah. Pada
keadaan demikian, antibiotika dapat dilajutkan sampai 3 minggu. Bila 3
minggu setrelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan
telah terjadi mastoiditis.
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani
OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis,
dan adenoidektomi (Marom, et. al, 2012).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran
timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga
luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak
harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi
miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan
sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat
pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak
dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis
nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami
kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA.
Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap
anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line,
untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2009).
2. Timpanosintesis
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan
analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan.
Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan,
terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem
imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat
menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga
penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis
media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah
menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil
masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak
pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi,
kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren
(Kerschner, 2009).
I. Komplikasi
Sebelum ada antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi
yaitu abses sub-periosteal sampai komplikasi yang berat seperti
meningitis dan abses otak. Namun, sekarang setelah adanya antibiotik
semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari
OMSK jika perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu
setengah bulan atau dua bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Balram, Rani, Mansour, Jafar. (2001). Medical management of otitis media with
effusion. Kuwait Med J. pp; 33 (4): 317.
Brinker, D. L., MacGeorge, E. L., & Hackman, N. (2018). Diagnostic Accuracy,
Prescription Behavior, and Watchful Waiting Efficacy for Pediatric Acute
Otitis Media. Clinical Pediatrics.
Dhingra PL, Dhingra S. (2007). Diseases of ear, nose and throat, 4 th ed, India:
Elsevier.
Djaafar ZA. (2007). Kelainan Telinga Tengah dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi Kelima. Jakarta: FKUI.
Donaldson, JD. (2019). Acute otitis media. Medscape: Otolaryngology and
Facial Plastic Surgery. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2732519
Efiaty AS, Nurbaiti, Jenny B, Ratna DR. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan :
Telinga, Hidung, Tenggorokan Kepala Leher. Edisi Keenam. Jakarta:
FKUI.
Khayat FJ, Sh. Dabbagh L. (2011). Incidence of otitis media with effusion in
children with adenoid hypertrophy. Department of otolaryngology head &
neck surgery, college of medicine,, Hawler Medical University, Erbil,
Iraq.; 15(2):57-63.
Marom ,T., Nokso-Koivisto, J., Chonmaitree, T. (2012). Viral–bacterial
interactions in acute otitis media. Curr Allergy Asthma Rep. 2012
December ; 12(6): 551–558.
Post, J. C., Kerschner, J. E. (2009). Otitis Media and Middle-Ear Effusions.
Dalam: Snow Jr JB, Wackym PA, editor. Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-17. Shelton: BC
Decker Inc.
Venekamp, R.P., Damoiseaux R.A.M.J., Schilder A.G.M. (2013). Acute otitis
media in children. BMJ Publishing Group Ltd 2014.