Anda di halaman 1dari 6

Illyassa Fa’iz fachrudin

F0319059

Ekonomi Islam A

Institusi Sosial dalam Ekonomi Syaraih dan Perkembangannya

Lembaga Amil Zakat

Di Indonesia sendiri, tugas mengelola, mengumpulkan, mendistribusikan, serta mengatur


segala urusan zakat dan sedekah ditangani oleh Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil
Zakat (LAZ). Secara singkat, BAZ didirikan oleh pemerintah lewat usulan Kementerian Agama.
Sedangkan LAZ adalah lembaga pengelola zakat berstatus swasta.

Secara umum, baik BAZ maupun LAZ memiliki fungsi dan peranan yang sama, yakni:
 Mendata orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki)
 Mendata orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq)
 Mengambil dan mengumpulkan zakat dari para muzakki—perorangan atau badan
 Mencatat zakat masuk dan keluar
 Menjaga harta zakat
 Membagikan zakat kepada mustahiq

Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan


bahwa Lembaga Amil Zakat didirikan dengan tujuan membantu BAZNAS dalam proses
pengumpulan, pencatatan, sampai pendistribusian zakat kepada mustahiq.
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama dengan orang-orang yang ruku’.”
(QS. Al-Baqarah: 43)
Selain itu, baik BAZNAS maupun Lembaga Amil Zakat sama-sama memiliki peran
penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat, menaikkan fungsi
pranata keagamaan guna mencapai kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta
menaikkan nilai dan daya guna zakat.
Tidak seperti panitia pengumpulan zakat tradisional, BAZNAS maupun LAS terdiri dari
SDM yang profesional, dan oleh karena itu memiliki program evaluasi serta peraturan yang lebih
jelas. Dalam bahasa yang lebih sederhana, tugas Lembaga Amil Zakat adalah memastikan
pengelolaan zakat lebih transparan dan profesional. 
Nah, hadirnya Lembaga Amil Zakat ini makin memudahkan masyarakat dalam
menyalurkan zakatnya. Terlebih sekarang masing-masing LAZ sudah menyediakan layanan
pembayaran zakat online. Jadi, kamu bisa menunaikan kewajiban zakat kapan saja dan di mana
saja dengan proses yang sangat gampang.

Sejarah Lembaga Amil Zakat

Pengelolaan zakat oleh lembaga awalnya hanya diatur oleh Keppres No


07/POIN/10/1968 tertanggal 31 Oktober 1968 tentang pengelolaan zakat nasional. Lembaga
pengelola zakat saat itu hanya dilakukan terbatas di beberapa daerah saja seperti BAZIS DKI
(1968), BAZIS Kaltim (1972), BAZIS Jawa Barat (1974) dan beberapa BUMN mendirikan
lembaga zakat seperti BAMUIS BNI (1968). Lahirnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat merupakan langkah awal pengelolaan zakat yang berlaku secara
Nasional. Sebagai implementasi UU Nomor 38 Tahun 1999 dibentuklah Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2001. Dalam Surat Keputusan ini disebutkan tugas dan fungsi BAZNAS yaitu untuk melakukan
penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Dalam Undang-Undang tersebut diakui adanya dua
jenis organisasi pengelola zakat yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. 
Adapun BAZ terdiri dari BAZNAS pusat, BAZ Propinsi, BAZ kota, BAZ Kecamatan. 

Terbentuknya lembaga zakat yang berbadan hukum dan didukung dengan sosialisasi
zakat yang dilakukan oleh lembaga zakat di berbagai media berdampak pada peningkatan
kesadaran masyarakat untuk berzakat melalui amil zakat. Sejak tahun  2002 total dana zakat
yang berhasil dihimpun BAZNAS dan LAZ mengalami peningkatanpada tiap tahunnya. Selain
itu, pendayagunaan zakat juga semakin bertambah luas dan bahkan menjangkau sampai ke
pelosok-pelosok negeri. Pendayagunaan zakat mulai dilaksanakan pada lima program yaitu
kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan dakwah.

Pada tanggal 27 Oktober 2011, DPR RI menyetujui undang-undang pengelolaan zakat


pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang kemudian diundangkan sebagai UU
Nomor 23 Tahun 2011 pada tanggal 25 November 2011. UU ini menetapkan bahwa pengelolaan
zakat bertujuan (1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat
dan (2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan dimaksud, UU mengatur bahwa
kelembagaan pengelola zakat harus terintegrasi dengan BAZNAS sebagai koordinator seluruh
pengelola zakat, baik BAZNAS daerah maupun LAZ.

Potensi dan Perkembangan Zakat di Indonesia

Pada awal masuknya agama islam ke Indonesia, zakat merupakan salah satu sumber dana
untuk pengembangan ajaran islam serta sebagai pendanaan dalam perjuangan bangsa indonesia
melawan penjajahan Belanda. Zakat pada masa tersebut tidak mempunyai masalah sama sekali,
banyak kemajuan yang telah dicapai dengan dana zakat tersebut seperti pembangunan masjid,
musholla, pesantren, gedung Universitas dan rumah sakit.

Hanya saja hal tersebut masih amat kecil bila dibandingkan dengan potensi yang
demikian besar. Mungkin apabila potensi yang tergarap dapat lebih optimal, maka infrastrutur
dan segala fasilitas serta sarana dan prasarana umat akan semakin lengkap dan umat akan
menjadi lebih maju.

Pengelolaan zakat yang profesional, di harapkan pendistribusiannya lebih produktif,


pemberian pinjaman modal misalnya, dalam rangaka peningkatan prekonomia masyarakat.
Persoalan kemudian adalah bagaimana harta zakat itu dapat dikumpulkan untuk kemudian
didistribusikan dan didayagunakan untuk kepentingan penerima zakat (mustahik). Para
pemerhati zakat sepakat bahwa untuk dapat mengumpulkan, mendistribusikan, dan
mendayagunakan zakat secara optimal, maka zakat harus dikelolah melalui lembaga.

Perkembangannya Zakat di Indonesia


Perkembangan zakat semakin menunjukkan arah yang menggembirakan. Keputusan
Komisi VIII DPR untuk menjadikan Badan Amil Zakat Nasional sebagai mitra resmi komisi
tersebut, menjadikan dukungan terhadap pengembangan zakat menjadi semakin besar. Apalagi,
hal itu didukung oleh janji komisi tersebut yang akan menuntaskan amandemen UU Zakat pada
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Dukungan politik yang lebih besar ini diharapkan
dapat dioptimalkan oleh Baznas dan para stakeholder zakat lainnya, termasuk BAZ/LAZ yang
ada, sehingga peran zakat dalam pembangunan masyarakat dapat meningkat secara signifikan,
terutama dalam mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.

Masuknya zakat ke dalam ruang politik yang lebih besar sesungguhnya telah menjadi
sebuah kebutuhan. Selama ini zakat lebih banyak bermain pada ranah sosial kemasyarakatan
lainya dunia LSM. Pada tahap awal perkembangan zakat, hal tersebut dapat dipahami, mengingat
inisiator yang menggerakkan dunia perzakatan selama ini adalah masyarakat. Harus diingat
bahwa sejarah perzakatan di Indonesia sedikit berbeda bila dibandingkan dengan negara-negara
lain.

Jika mengamati perkembangan zakat selama dua dekade terakhir, di mana era 1990-an
merupakan tonggak awal modernisasi zakat, baik dari sisi manajemennya maupun dari sisi
perluasan cakupan harta objek zakat, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perjalanan zakat
masih belum optimal. Meski pertumbuhan penghimpunan zakat maupun program
pendayagunaan zakat sangat luar biasa, terutama dalam 5 tahun terakhir, namun ternyata semua
hal tersebut belum mampu mendongkrak peran zakat yang lebih besar lagi terhadap bangsa dan
negara. Apalagi menjadikannya sebagai bagian integral dari kebijakan ekonomi negara.

Bahkan dalam forum National Summit yang dilaksanakan pada 29-31 Oktober 2009 lalu,
isu zakat sama sekali tidak dibahas. Begitu pula dalam program 100 hari pemerintah yang akan
dijadikan sebagai acuan kebijakan pemerintah hingga 2014. Ada beberapa kemungkinan
mengapa pemerintah tidak memasukkan isu zakat dan juga isu ekonomi syariah lainnya.
Pertama, kesadaran para pengambil kebijakan untuk mengikut sertakan zakat sebagai bagian
integral kebijakan ekonomi negara masih sangat rendah.

Kedua, zakat masih dianggap belum terlalu penting untuk dimasukkan sebagai bagian
dari kebijakan utama ekonomi nasional. Ketiga, sebagian penguasa melihat zakat dan instrumen
ekonomi syariah lainnya masih dari perspektif ideologis religius semata, sehingga dianggap
berpotensi mengancam prinsip kebhinekaan bangsa Indonesia, sebagaimana yang pernah terjadi
dalam pembahasan RUU SBSN dan Perbankan Syariah pada 2008 di mana sekelompok kecil
politisi menolak kedua RUU tersebut karena dianggap bertentangan dengan kemajemukan
bangsa.

Tentu saja, yang menjadi alasan utamanya adalah pada poin kemungkinan pertama.
Artinya, kondisi ini lebih disebabkan oleh kurangnya kesadaran elite penguasa untuk
mengintegrasikan zakat ke dalam kebijakan ekonomi nasional sehingga ruang yang diberikan
kepada zakat saat ini masih sangat sempit. Untuk itu, komunikasi dan sosialisasi kepada elite
penguasa harus terus-menerus ditingkatkan.

Memang jika melihat sejarah Islam, jatuh bangunnya pengelolaan zakat sangat
dipengaruhi oleh kondisi dan keputusan politik penguasa. Sebagai salah satu rukun Islam,
kewajiban berzakat bersifat kekal abadi. Sehingga, aspek ritualitas zakat akan selalu terjaga oleh
perintah Alquran dan Sunah yang bersifat mutlak, pasti, dan tidak dapat diubah.

Namun yang sering terlupakan, bahkan oleh umat Islam sendiri, adalah karakter politik
zakat. Karakter politik inilah yang kemudian menjadikan instrumen zakat sebagai bagian
fundamental dari sistem keuangan publik Islam. Zakat, bersama-sama dengan berbagai jenis
pajak lainnya, telah menghiasi kebijakan perekonomian dunia Islam selama berabad-abad.
Sehingga, dimensi ibadah al-maaliyah al-ijtimai’yyah zakat dalam menciptakan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat benar-benar dapat diwujudkan. Untuk menjaga karakter politik zakat
tersebut, peran penguasa menjadi sangat mutlak. Jika karakter politik zakat ini tercerabut, zakat
hanya akan menjadi ritual ibadah mahdlah yang bersifat pribadi semata, yang pelaksanannya
diserahkan pada setiap individu. Karena itu, kesadaran akan karakter politik zakat inilah yang
membuat khalifah Abu Bakar RA mendeklarasikan perang terhadap beberapa suku Badui yang
tidak mau membayar zakat kepada pemerintah pascawafatnya Rasulullah SAW.

Pentingnya Zakat dalam Kehidupan


Mengingat pentingnya instrumen zakat, baik dari sisi ibadah mahdlah maupun dari sisi
muamalahnya, sudah sewajarnya jika kita mencoba membangun kekuatan politik zakat yang kuat
di negeri ini. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, menjadikan amandemen UU
zakat sebagai pintu masuk integrasi ke dalam kebijakan ekonomi negara secara lebih mendalam.
Kedua, Baznas harus bisa memanfaatkan posisinya sebagai mitra resmi DPR maupun sebagai
institusi yang juga berada di bawah pemerintah dalam mempercepat proses integrasi zakat dalam
kebijakan nasional. Ketiga, perlu peningkatan peran FOZ sebagai kelompok lobi sekaligus
sparing partner pemerintah dan DPR yang lebih efektif. Komunikasi dengan parpol juga harus
secara intensif dilakukan.

Keempat, peran kampus sebagai pusat riset zakat perlu ditingkatkan. Ini sangat penting di
dalam menyuplai data dan argumentasi akademik yang akan memperkuat kinerja zakat nasional.
Dan yang kelima, sosialisasi secara intensif kepada seluruh komponen masyarakat harus terus-
menerus dilakukan. Insya Allah melalui proses yang berkesinambungan ini, maka peran zakat
sebagai institusi politik dan ekonomi umat dan bangsa akan semakin kuat.

Anda mungkin juga menyukai