F0319059
Ekonomi Islam A
Secara umum, baik BAZ maupun LAZ memiliki fungsi dan peranan yang sama, yakni:
Mendata orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki)
Mendata orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq)
Mengambil dan mengumpulkan zakat dari para muzakki—perorangan atau badan
Mencatat zakat masuk dan keluar
Menjaga harta zakat
Membagikan zakat kepada mustahiq
Terbentuknya lembaga zakat yang berbadan hukum dan didukung dengan sosialisasi
zakat yang dilakukan oleh lembaga zakat di berbagai media berdampak pada peningkatan
kesadaran masyarakat untuk berzakat melalui amil zakat. Sejak tahun 2002 total dana zakat
yang berhasil dihimpun BAZNAS dan LAZ mengalami peningkatanpada tiap tahunnya. Selain
itu, pendayagunaan zakat juga semakin bertambah luas dan bahkan menjangkau sampai ke
pelosok-pelosok negeri. Pendayagunaan zakat mulai dilaksanakan pada lima program yaitu
kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan dakwah.
Pada awal masuknya agama islam ke Indonesia, zakat merupakan salah satu sumber dana
untuk pengembangan ajaran islam serta sebagai pendanaan dalam perjuangan bangsa indonesia
melawan penjajahan Belanda. Zakat pada masa tersebut tidak mempunyai masalah sama sekali,
banyak kemajuan yang telah dicapai dengan dana zakat tersebut seperti pembangunan masjid,
musholla, pesantren, gedung Universitas dan rumah sakit.
Hanya saja hal tersebut masih amat kecil bila dibandingkan dengan potensi yang
demikian besar. Mungkin apabila potensi yang tergarap dapat lebih optimal, maka infrastrutur
dan segala fasilitas serta sarana dan prasarana umat akan semakin lengkap dan umat akan
menjadi lebih maju.
Masuknya zakat ke dalam ruang politik yang lebih besar sesungguhnya telah menjadi
sebuah kebutuhan. Selama ini zakat lebih banyak bermain pada ranah sosial kemasyarakatan
lainya dunia LSM. Pada tahap awal perkembangan zakat, hal tersebut dapat dipahami, mengingat
inisiator yang menggerakkan dunia perzakatan selama ini adalah masyarakat. Harus diingat
bahwa sejarah perzakatan di Indonesia sedikit berbeda bila dibandingkan dengan negara-negara
lain.
Jika mengamati perkembangan zakat selama dua dekade terakhir, di mana era 1990-an
merupakan tonggak awal modernisasi zakat, baik dari sisi manajemennya maupun dari sisi
perluasan cakupan harta objek zakat, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perjalanan zakat
masih belum optimal. Meski pertumbuhan penghimpunan zakat maupun program
pendayagunaan zakat sangat luar biasa, terutama dalam 5 tahun terakhir, namun ternyata semua
hal tersebut belum mampu mendongkrak peran zakat yang lebih besar lagi terhadap bangsa dan
negara. Apalagi menjadikannya sebagai bagian integral dari kebijakan ekonomi negara.
Bahkan dalam forum National Summit yang dilaksanakan pada 29-31 Oktober 2009 lalu,
isu zakat sama sekali tidak dibahas. Begitu pula dalam program 100 hari pemerintah yang akan
dijadikan sebagai acuan kebijakan pemerintah hingga 2014. Ada beberapa kemungkinan
mengapa pemerintah tidak memasukkan isu zakat dan juga isu ekonomi syariah lainnya.
Pertama, kesadaran para pengambil kebijakan untuk mengikut sertakan zakat sebagai bagian
integral kebijakan ekonomi negara masih sangat rendah.
Kedua, zakat masih dianggap belum terlalu penting untuk dimasukkan sebagai bagian
dari kebijakan utama ekonomi nasional. Ketiga, sebagian penguasa melihat zakat dan instrumen
ekonomi syariah lainnya masih dari perspektif ideologis religius semata, sehingga dianggap
berpotensi mengancam prinsip kebhinekaan bangsa Indonesia, sebagaimana yang pernah terjadi
dalam pembahasan RUU SBSN dan Perbankan Syariah pada 2008 di mana sekelompok kecil
politisi menolak kedua RUU tersebut karena dianggap bertentangan dengan kemajemukan
bangsa.
Tentu saja, yang menjadi alasan utamanya adalah pada poin kemungkinan pertama.
Artinya, kondisi ini lebih disebabkan oleh kurangnya kesadaran elite penguasa untuk
mengintegrasikan zakat ke dalam kebijakan ekonomi nasional sehingga ruang yang diberikan
kepada zakat saat ini masih sangat sempit. Untuk itu, komunikasi dan sosialisasi kepada elite
penguasa harus terus-menerus ditingkatkan.
Memang jika melihat sejarah Islam, jatuh bangunnya pengelolaan zakat sangat
dipengaruhi oleh kondisi dan keputusan politik penguasa. Sebagai salah satu rukun Islam,
kewajiban berzakat bersifat kekal abadi. Sehingga, aspek ritualitas zakat akan selalu terjaga oleh
perintah Alquran dan Sunah yang bersifat mutlak, pasti, dan tidak dapat diubah.
Namun yang sering terlupakan, bahkan oleh umat Islam sendiri, adalah karakter politik
zakat. Karakter politik inilah yang kemudian menjadikan instrumen zakat sebagai bagian
fundamental dari sistem keuangan publik Islam. Zakat, bersama-sama dengan berbagai jenis
pajak lainnya, telah menghiasi kebijakan perekonomian dunia Islam selama berabad-abad.
Sehingga, dimensi ibadah al-maaliyah al-ijtimai’yyah zakat dalam menciptakan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat benar-benar dapat diwujudkan. Untuk menjaga karakter politik zakat
tersebut, peran penguasa menjadi sangat mutlak. Jika karakter politik zakat ini tercerabut, zakat
hanya akan menjadi ritual ibadah mahdlah yang bersifat pribadi semata, yang pelaksanannya
diserahkan pada setiap individu. Karena itu, kesadaran akan karakter politik zakat inilah yang
membuat khalifah Abu Bakar RA mendeklarasikan perang terhadap beberapa suku Badui yang
tidak mau membayar zakat kepada pemerintah pascawafatnya Rasulullah SAW.
Keempat, peran kampus sebagai pusat riset zakat perlu ditingkatkan. Ini sangat penting di
dalam menyuplai data dan argumentasi akademik yang akan memperkuat kinerja zakat nasional.
Dan yang kelima, sosialisasi secara intensif kepada seluruh komponen masyarakat harus terus-
menerus dilakukan. Insya Allah melalui proses yang berkesinambungan ini, maka peran zakat
sebagai institusi politik dan ekonomi umat dan bangsa akan semakin kuat.