Anda di halaman 1dari 4

A.

Pengertian Kebenaran
Susahnya mendefinisikan kebenaran, orang yang telah diuraikan pada pejelasan
terdahulu, ibarat orang buta menjelaskan gajah. Ada orang buta yang mengatakan gajah
itu panjang, karena yang ia sentuh adalah belalai gajah. Sementara itu juga mengatakan
bahwa gajah itu tipis dan lebar (menunjuk pada telinga gajah), bahkan ada pula orang
buta yang menentukan gajah itu lembek (termasuk pada kotoran gajah). 1 Tentu masing-
masing definisi tidak salah, namun juga tidak bisa dikatakan benar seratus persen. Tiap
ahli yang memaparkan ide tentang sudut pandang kebenaran termasuk bagaimana
membuktikan- nya.
Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu?” lalu pada waktu yang tak
bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah
kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos
sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan).
Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu
pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran).2

Secara etimologi (Bahasa) kata “benar” mempunyai arti :

1. Tidak salah, lurus, dan adil. Contohnya dalam kalimat, “hitungannya


benar”.
2. Sungguh-sungguh, tidak bohong. Contohnya dalam kalimat, “kabar itu
benar”.
3. Sesungguhnya dalam kalimat, “benar ia tidak bersalah, tetapi ia terlibat
perbuatan ini”.
4. Sangat, sekali. Contohnya dalam kalimat, “enak benar manga ini”.3

Sedangkan secara epistemologi (istilah), pengertian kebenaran dapat dilihat dari


berbagai teori mengenai kebeneran, antara lain :

1. Teori Koherensi, menurut teori ini suatu pengetahuan, teori, pernyataan,


proposisi atau hipotesis dianggap benar bila ia sejalan dengan
pengetahuan, teori, proposisi aau hipotesis lainnya, yakni kalua proposisi
1
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 67.
2
Ibnu Kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
3
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 68.
itu meneguhkan dan konsisten dengan sebelumnya. Jika “semua manusia
pasti akan mati” adalah benar, maka “si A akan mati” adalah benar.
2. Teori Korespodensi, suatu pernyataan adalah benar jika ia berhubungan
dengan objek yang dituju oleh pernyataan itu. Contoh, “Jakarta adalah Ibu
Kota Indonesia” adalah benar karena sesuai dengan fakta.4
3. Teori Inherensi/Pragmatis, berpandangan bahwa sesuatu dianggap benar
apabila berguna. Artinya, kebenaran suatu  pernyataan bersifat fungsional
dalam kehidupan praktis. Ajaran pragmatisme memang memiliki banyak
corak (variasi). Tetapi, yang menyamakan di antara mereka adalah bahwa
ukuran kebenaran diletakkan dalam salah satu konsenkuensi. William
James, misalnya, mengatakan, “Tuhan ada.” Benar bagi seorang yang
hidupnya mengalami perubahan karena percaya adanya Tuhan. Artinya,
proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-
penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman kita
adalah benar.
Teori pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914)
dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to
Make Our Ideas Clear”. Teori ini lalu dikembangkan oleh beberapa
filafaat yang kebanyakan adalah orang Amerika, karena itulah filsafaat
Amerika identik dengan aliran pragmatisme ini.5
4. Teori Koherensi, sesuatu diangggap benar apabila ia berkaitan dengan
pernyataan sebelumnya yang sudah pasti benar. Misalnya, pernyataan
bahwa “Presiden di Indonesia tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen”
adalah benar karena bertalian dengan pernyataan sebelumnya, yakni
“Indonesia menganut system pemerintah presidensial”.

Dalam kajian filsafat ilmu, kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis menurut
telaah dalam filsafat ilmu, yaitu sebagai berikut :

 Kebenaran Epistemologikal : kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan


manusia, yang berkaitan antara subjek dan objek (kenyataan).
4
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan. (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 93.
5
Nurani Soyomukti, Pemgantar Filsafat Umum, (Depok: Ar Ruzz Media. 2011), hlm: 174-176.
 Kebenaran Ontologikal : kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada
segala sesuatu yang ada maupun diadakan.
 Kebenaran semantikal : kebenaran yang terdapat serta melekat didalam tutur kata
dan bahasa.

B. Makna Penting Kebenaran


Dalam teori interaksi simbolis, hakikat manusia adalah mahluk relasional. Setiap
individu pasti terlibat relasi dengan sesamanya. Tidaklah mengherankan bila kemudian
teori interaksi simbolik segera mengedepan bila dibandingkan dengan teori-teori social
lainnya. Alasannya ialah diri manusia muncul dalam dan melalui interaksi dengan yang
di luar dirinya. Interaksi itu sendiri membutuhkan symbol-simbol tertentu. Symbol itu
biasanya disepakati bersama dalam skala kecil maupun skala besar. Symbol misalnya
bahasa, tulisan, dan symbol lainnya yang dipakai bersifat dinamis dan unik.
Sehingga dengan demikian, kebenaran pun sejatinya merupakan rumusan bersama
sebagai hasil interaksi social. Dalam konteks interaksi social inilah, terdapat sejumlah hal
sehingga kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam sebuah peradaban.
Pertama, ketiadaan integritas dalam komunikasi antar manusia akan berbuntut pada
penggusuran otonomi individu. Manusia sangat bergantung pada kebenaran dan akurasi
dari informasi yang kita peroleh. Manusia menggunakan kebebasannya dalam hal
memilih.
Alasan kedua, kebenaran menunjukkan rasa menghargai orang lain sebagai
tujuan, bukan sebagai alat. Kebenaran sebagai bagan dari penghargaan terhadap orang
lain pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan antar individu. Terakhir, kebenaran
merupakan unsur yang esensial bagi kelancaran proses demokrasi. Menurut Habermas,
negara hukum modern berciri demokratis jika terjadi komunikasi politis intens antara
ruang publik dan sistem politik.6

Daftar Pustaka
Mufid, M. (2012). Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

6
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 75.
Soyomukti, N. (2011). Pengantar Filsafat Umum. Depok: Ar-Ruzz Media.

Suhartono, S. (2007). Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Syafi'i, I. K. (1995). Filsafat Kehidupan. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai