Anda di halaman 1dari 32

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU KEBIDANAN
RUMAH SAKIT SIMPANGAN DEPOK

Nama Mahasiswa : Debbie Cinthia Dewi Tanda Tangan


NIM : 11.2014.194
Dr.Pembimbing : dr. Adi Guritno, Sp.OG

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 28th
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SI
Pekerjaan : Karyawan Honorer
Alamat : Cilodong RT 04/ RW 03 – Depok
Masuk RS : 08 Juni 2016, pukul 10.30WIB

IDENTITAS SUAMI PASIEN


Nama : Tn. H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 33th
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Cilodong RT 04/ RW 03 – Depok
II. ANAMNESIS

1
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 08 juni 2016, pukul 11.15
A. Keluhan Utama
Os datang dengan rujukantekanan darah tinggi dan perkembangan janin terhambat

B. Keluhan Tambahan
Tidak ada

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dirujuk Klinik Rumah Bersalin Syifaul Husna Pabuaran Cibinongdengan


keluhan darah tinggi dan perkembangan janin terhambat. Pasien tidak mengeluh
adanya perut kenceng-kenceng, riwayat keluar darahdan lendirdari jalan lahir
sebelumnya, ataupunair ketuban keluar dari jalan lahir. Pasien hanyamengeluh
adanya kaki bengkak. Pasien tidak mengeluh adanya sakit kepala, pasien juga tidak
mengatakan adanya sesak, pandangan kabur, mual, ataupun muntah. Pasien tidak
pernah memiliki riwayat kejang. BAK pasien juga dalam batas normal; volume
cukup, tidak nyeri, warna kuning jernih, dan tidak ada darah.
Pada kehamilan ke-1 ini, pasien menyadari tekanan darah pasien mulai tinggi dari
batas normal sejak satu minggu yang lalu. Pasien juga mengaku bahwa selama hamil
tekanan darah pasien selalu dalam batas normal sebelum hamil atau pun selama hamil.
Kedua kaki bengkak dirasakan oleh pasien saat kehamilan 4 bulan. Pasien selalu rutin
kontrol setiap bulan kehamilan pasien tersebut di Klinik Rumah Bersalin Syifaul
Husna.Pasien juga pernah di USG 3 kali oleh dokter SpOG USG yang pertama dibulan
November, kedua bulan Maret dan yang terakhir dibulan Juni hari dimana pasien
tersebut dirujuk.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi sejak +1 minggu SMRS
Riwayat penyakit jantung, DM, kolesterol, alergi dan asma disangkal oleh pasien.

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit jantung, DM, dan asma disangkal oleh pasien.

2
F. Riwayat Menstruasi
Menarche : lupa (kira-kira waktu SMP)
Siklus : 28 hari
Lamanya : + 7 hari
Banyaknya : 2-3 kali ganti pembalut/hari
Dismenore : (-)
Hari Pertama Haid Terakhir : 10 September 2015
Taksiran Persalinan : 17 juni 2016
Umur Kehamilan Sekarang : 37 Minggu

G. Status Pernikahan
Status : Menikah
Pernikahan : 1 kali
Menikah umur: 27 tahun
Dengan suami sekarang sudah 1 tahun

H. Riwayat Obstetri
G1P0A0 Hidup : 1

Anak Tahun Jenis Jenis Berat Penolong Hidup/


ke Persalinan Kelamin Persalinan Badan mati
Lahir
1 Hamil ini - - - - -

I. Riwayat KB
Tidak KB
J. Riwayat Operasi
(-)

3
K. Riwayat Kebiasaan dan Psikososial
Merokok (-), alkohol (-), narkotika (-), pemakaian obat-obatan (-), jamu (-).

L. Riwayat Pemeriksaan Antenatal


Pasien melakukan pemeriksaan antenatal:
- Klinik Rumah Bersalin Syifaul Husna setiap bulan

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sehat
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tensi : 160/100 mmHg
Nadi : 76 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7 °C
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 69 kg
Kepala : normocephal, rambut hitam, distribusi merata
Wajah : simetris, pucat (-), sianosis (-),Chloasma gravidarum (+)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, edema palpebra -
Telinga : normotia
Hidung : septum deviasi (-)
Mulut : bibir sianosis (-), lidah kotor (-)
Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks
Cor :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas atas jantung ICS III linea sternalis sinistra

4
Batas kiri jantung ICS V 1 jari medial linea midclavicularis sinistra
Batas kanan jantung ICS III linea sternalis dekstra
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
- Inspeksi : Kedua hemithoraks simetris dekstra dan sinistra
- Palpasi : Vokal fremitus sama dekstra dan sinistra
- Perkusi : Sonor di kedua hemithoraks
- Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : lihat status obstetrik
Anogenital : lihat status obstetrik
Ekstremitas : akral hangat, edema (+/+), deformitas (-)
Pertumbuhan rambut : Merata

B. Payudara
Pembesaran payudara (+), pengeluaran ASI(-), hiperpigmentasi areola mammae
(+), Puting susu menonjol.

C. Pemeriksaan Obsetrik

Pemeriksaan Luar

 Inspeksi : Membuncit membujur linea nigrae (+),striae livide (+ ), striae


albicans (-).

 Palpasi :

Leopold I : TFU 5 jari di bawah processus xyphoideus (27cm). Teraba


bagian bulat dan lunak.
Leopold II : Teraba bagian-bagian kecil di kiri, bagian melengkung dan
memanjang di kanan.
Leopold III : Teraba bagian bulat keras, belummasuk PAP
Leopold IV : Tidak dilakukan

5
 HIS : Tidak ada
 Auskultasi : Denyut jantung janin (+), 122 x/menit
 TBJ : 122x (TFU-11) = 1952 gram

Pemeriksaan dalam
 Anogenital :
Inspeksi : Vagina / Vulva / Uretra : Tidak edema (Normal)
Inspekulo : Tidak dilakukan

 Vagina Toucher : Portio teraba tebal dan lunak


Pembukaan : 0 cm
Kulit ketuban : tidak teraba
Bagian terendah : Kepala
Turunnya bagian terendah : Hodge 0
Point of Direction : -
Tidak ada bagian kecil janin yang menumbung keluar

 Pemeriksaan panggul : Promontorium : teraba


Spina isiadika : tidak menonjol
Arcus pubis > 90 derajat
Kelengkungan sacrum cukup
Os cocygea mobilitas baik

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Dilakukan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 08 juni2016, pukul 11.06 wib

Hematologi

Hemoglobin 13.3 g% 12-16


Leukosit 11.800 mm3 5000-10000
Hematokrit 39 % 37-47
Trombosit 193.000 mm3 150.000-400.000

6
Cloting time 8’ 11” 6-10
Bleeding time 2’ 22” 1-3

Kimia Darah

SGOT 18 u/l <31


SGPT 13 u/l <32
Ureum 26 mg/dl 15-40
Kreatinin 0,7 mg/dl 0,6-1,2

Urinalisis

Protein Urin +++ Negative

E. PEMERIKSAAN ANJURAN
Darah rutin
Urin rutin
USG
CardioTocoGraphy (CTG)

F. RESUME
Pasien wanita hamil 37 minggu dirujuk Klinik Rumah Bersalin Syifaul Husna ke RS
Simpangan Depok dengan keluhan tekanan darah tinggi semenjak 1 Minggu SMRS dan
perkembangan janin terhambat. Ini merupakankehamilan yang pertama. Dari
pemeriksaan fisik didapatkanTD: 160/100mmHg, edema kedua tungkai kaki, letak
kepala, belum ada pembukaan,kepala belum masuk PAP.Pemeriksaan laboratorium,
protein urin positif 3 (3+).

G. DIAGNOSIS
Diagnosa ibu : G1P0A0Hamil37 minggu dengan PreEklampsia Berat dan Perkembangan
Janin Terhambat.

Dasar diagnosis :

7
a. Pada saat pemeriksaan fisik, ditemukan tekanan darah pasien 160/100 mmHg.
Edema pada kedua tungkai kaki.
b. Pada pemeriksaan penunjang, protein urine pasien positif 3 (3+).
c. Tinggi Fundus Uteri 27 cm.

Diagnosa janin : Janin tunggal hidup intra uterine


Taksiran Berat Janin : 1952 gram
Letak Kepala O punggung kanan

H. SIKAP/TINDAKAN
1. Persiapan Operasi
- Infus RL 20 tetes per menit
-MgSO4 2 gr di bolus i.v pelan-pelan dalam 5-15 menit.
- Dower Cateter
- Cefotaxime 1 amp

2. Sectio Caesaria
- Pasien terlentang diatas meja operasi dalam keadaan spinal anestesi
- Dilakukan antiseptik abdomen disekitarnya
- Pasang duk steril kecuali daerah operasi
- Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas simfisis sampai dibawah
umbilikus lapis demi lapis sehingga kavum peritonei terbuka
- Dibuat bladder flap, yaitu dengan menggunting peritonium kandung kencing (plica
vesico uterina) didepan segmen bawah rahim (SBR) secara melintang. Plica vesiko
uterina ini disisihkan secara tumpul kearah samping dari bawah, kandung kencing
yang telah disishkan ke arah bawah dan samping dilindungi dengan spekulum
kandung kencing.
- Dibuat insisi pada segmen bawah rahim 1 cm dibawah irisan plica vesico uterina
tadi secara tajam dengan pisau bedah ± 2 cm, kemudian diperlebar melintang secara
tumpul dengan kedua jari telunjuk operator.

8
- Setelah cavum uteri terbuka, janin dilahirkan dengan bokong terlebih dahulu.
Kedua kaki di fleksikan pada lutut dan ditarik keluar. Posisi tangan mencengkram
bokong janin secara femuro-pelviks dan badan janin ditarik dengan posisi
punggung janin mendekati perut ibu sampai seluruh kepala janin lahir.
- Lahir bayi jam 12.00 tanggal 08 Juni 2016. Jenis kelamin laki-laki dengan
BBL1400gr, PB 40 cm.
- Tali pusat di klem pada dua tempat lalu digunting
- Luka dinding rahim dijahit
o Lapisan I : Dijahit jelujur pada endometrium dan miometrium
o Lapisan II : Dijahit jelujur hanya pada miometrium saja
o Lapisan III : Dijahit jelujur pada plika vesico uterina
- Setelah dinding rahim selesai dijahit kedua adneksa dieksplorasi
- Rongga perut dibersihkan dari sisa darah
- Peritonium dijahit dengan chromic secara simpul
- Fascia dijahit dengan Asscryl secara jelujur
- Subkutis dijahit dengan monisin secara simpul
- Kulit dijahit dengan monosin secara subkutikuler
- Luka operasi dibersihkan dengan alkohol 70 % ditutup dengan Soffratule, ditutup
dengan kasa, dan terakhir ditempel dengan Hypavix.
- Pasien diberi obat Ketoprofen 100 mg suppositoria
- Operasi selesai jam12.45
- Observasi keadaan pasca operasi selama 2 jam
JAM TEKANAN SUHU NADI RESPIRASI KES KETERANGAN
DARAH
13.00 140/90 36.0 82x 21x CM Uo : 600 cc
TFU : 2JR dibawah Pusat
13.15 140/90 36.0 80x 22x CM
13.30 140/90 36.0 80x 21x CM
13.45 140/90 36.1 82x 20x CM
14.00 140/90 36.0 84x 21x CM Uo : 1000 cc
TFU : 2JR dibawah Pusat
14.15 150/90 36.1 82x 21x CM
14.30 150/90 36.1 84x 21x CM
14.45 140/90 36.1 80x 24x CM

9
15.00 140/90 36.1 86x 24x CM Uo : 1200 cc
TFU : 2JR dibawah Pusat

3. Rencana terapi
- IVFD RL 20 tpm
- Cefotaxime 2 x 1 amp IV
- Pronalges 1 x 1 PR
- Nifedipine 1 x 10mg PO
- Asam Mefenamat 3 x 500mg PO
- Sangobion 1 x 1 PO
- Cefadroxil 2 x 500mg PO

4. Rencana Edukasi
- Tidak boleh mengangkat pasien selama 12 jam pasca operasi
- Dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tinggi protein seperti telur, daging,
susu, tahu, tempe.
- Istirahat yang cukup
- Memberi penjelasan mengenai PEB

I. PROGNOSIS

Prognosis (Ibu) :
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsional : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

Prognosis (bayi)
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsional : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

X. FOLLOW UP PASIEN

10
Tanggal Jam SOAP
09/06/2016 06.00 S: Mual (-), Sakit Kepala (-), Nyeri luka operasi (+)
O: TD : 120/80 MmHg, HR: 84x/menit, RR: 20x/menit,
Suhu:36,0oC, TFU 2 Jari dibawah pusat
A:

Tanggal Jam P1A0


SOAP dengan preeklamsia berat, post SC hari ke I
P:
10/06/2016 06.00 S: Nyeri bekas operasi
- IVFD RL 20 tpm
O: TD : 120/80, HR: 75x/menit, RR: 20x/menit,
- Cefotaxime 2 x 1 amp IV
Suhu: 36,5oC, TFU : 3 Jari dibawah pusat
- Pronalges 1 x 1 PR
A:
- Asam Mefenamat 3 x 1 PO
- P1A0 dengan1preeklamsia
Sangobion x 1 PO berat, post SC hari ke II

- PCefadroxil
: 3 x 1 PO
- Cefo stop
- Pronalges stop
- Th/lanjut
- Boleh pulang

XI. FOLLOW UP BAYI

Tanggal Jam SOAP


09/06/2016 06.00 S: Bayi aktif,menangis kuat, menyusu (+) ,bab (+), bak
(+). Sesak (-), retraksi (-), muntah (-).
O: HR: 146x/menit, RR: 48x/menit, Suhu:36,7oC
A:

Tanggal Jam NCB-KMK-BBLR


SOAP
P:S: Bayi aktif, menangis kuat, menyusu (+), bab (+), bak
10/06/2016 06.00
Rawat
- (+). tali(-),
Sesak pusat
retraksi (-), muntah (-).
o
- O:Pertahankan suhu 36,5-37,5
HR: 150x/menit, C
RR: 52x/menit, Suhu:36,6oC
- Asi ad lib

11
A:
NCB-KMK-BBLR
P:
- Rawat tali pusat
- Pertahankan suhu 36,5-37,5oC
- Asi ad lib

DISKUSI UMUM

Preeklampsia
Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi
(hipertensi), pembengkakan jaringan (edema anasarka), dan ditemukannya protein dalam urin
(proteinuria) yang timbul karena kehamilan.
Preeklampsia dan eklampsia adalah penyakit hipertensi dalam kehamilan dengan
gejala utama hipertensi akut pada wanita dengan usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan
wanita dalam masa nifas. Pada wanita tingkat tanpa kejang disebut preeklampsia dan pada
tingkat dengan kejang disebut eklampsia.Pada umumnya, preeklampsia dan eklampsia baru
timbul sesudah minggu ke-20, setelah persalinan gejala-gejalanya menghilang dengan
sendiri.Untuk diagnosis preeklampsia pada wanita yang hamil 20 minggu atau lebih,
ditemukan sekurang-kurangnya hipertensi dan proteinuria.Namun demikian proteinuria bisa
saja tidak ada apabila timbul hipertensi yang disertai dengan nyeri kepala, penglihatan
menjadi kabur, nyeri abdominal atau dari pemeriksaan laboratorium ditemukan gangguan
enzim hati, maka keadaan ini sangat dicurigai suatu preeklampsia (atypical preeclampsia).
Dikatakan hipertensi apabila tekanan sistolik dan diastolic ≥140/90
mmHg.Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4
jam.Kenaikan tekanan darah sistolik ≥30 mmHg dan kenaikan tekanan darah diastolik≥15
mmHg sebagai parameter hipertensi sudah tidak dipakai lagi.

12
Proteinuria adalah protein lebih dari 0,3gr/L dalam urin 24 jam atau lebih dari
1gr/L pada pemeriksaan urin sewaktu. Proteinuria ini harus ada dalam 2 hari berturut-turut
atau lebih.1,2
Dari gejala-gejala klinik preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat.
Pembagian preeklampsia menjadi berat dan ringan tidaklah berarti adanya dua
penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan penderita dengan preeklampsia
ringan dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam koma.
Preeklamsia berat merupakan salah satu jenis hipertensi dalam kehamilan yang sering
terjadi. Yang dimaksud dengan preeklamsia adalah sindrom spesifik-kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan diatas
20 minggu, paling banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul
kapan saja pada pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari preeklampsia
yang ringan sampai preeklampsia yang berat.1

Epidemiologi
Insiden
Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang
mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan
lain-lain. Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-10%, sedangkan di Amerika
Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan, yaitu
23,6 kasus per 1.000 kelahiran. Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila
dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda, Sudinaya (2000)
mendapatkan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di RSU Tarakan Kalimantan
Timur sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1431 persalinan selama periode 1 Januari 2000 sampai
31 Desember 2000, dengan preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan eklampsia 13 kasus
(0,9%). Dari kasus ini terutama dijumpai pada usia 20-24 tahun dengan primigravida
(17,5%). Diabetes melitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari
35 tahun dan obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia.

13
Peningkatan kejadian preeklampsia pada usia > 35 tahun mungkin disebabkan karena adanya
hipertensi kronik yang tidak terdiagnosa dengan superimposed PIH. 1-4
Di samping itu, preeklampsia juga dipengaruhi oleh paritas. Surjadi, dkk (1999)
mendapatkan angka kejadian dari 30 sampel pasien preeklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin
Bandung paling banyak terjadi pada ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga
paling banyak terjadi pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus. Wanita
dengan kehamilan kembar bila dibandingkan dengan kehamilan tunggal, maka
memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13 % : 6 %) dan preeklampsia (13 % : 5 %)
yang secara bermakna lebih tinggi. Selain itu, wanita dengan kehamilan kembar
memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk daripada wanita dengan kehamilan
tunggal.

Faktor Risiko
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya
preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi
terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi; 1-4
1) Riwayat preeklampsia. Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia atau riwayat
keluarga dengan preeklampsia maka akan meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia
2) Primigravida, karena pada primigravida pembentukan antibodi penghambat (blocking
antibodies) belum sempurna sehingga meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia.
Perkembangan preeklampsia semakin meningkat pada umur kehamilan pertama dan
kehamilan dengan umur yang ekstrem, seperti terlalu muda atau terlalu tua.
3) Kegemukan
4) Kehamilan ganda. Preeklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang mempuyai bayi
kembar atau lebih.
5) Riwayat penyakit tertentu. Wanita yang mempunyai riwayat penyakit tertentu
sebelumnya, memiliki risiko terjadinya preeklampsia. Penyakit tersebut meliputi hipertensi
kronik, diabetes, penyakit ginjal atau penyakit degeneratif seperti reumatik arthritis atau
lupus. 1-4

Etiologi

14
Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori
yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu
disebut “penyakit teori”; namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan.
Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori “iskemia plasenta”.
Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.
Adapun etiologi yang diperoleh dari teori-teori tersebut adalah ; 1-4
 Peran Prostasiklin dan Tromboksan. Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan
kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel
endotelial plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin
meningkat. Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi
generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan
pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume plasma.
 Peran Faktor Imunologis. Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena
pada kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen
plasenta tidak sempurna. Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi
komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria. 1-4
 Peran Faktor Genetik . Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. Preeklampsia
meningkat pada anak dari ibu yang menderita preeklampsia.
 Iskemik dari uterus. Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus 1-4
 Defisiensi kalsium. Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu mempertahankan
vasodilatasi dari pembuluh darah.
 Disfungsi dan aktivasi dari endotelial. Kerusakan sel endotel vaskuler maternal
memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin
dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan
dalam darah wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah
dimulai pada trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai
dengan kemajuan kehamilan.

Patofisiologi

15
Preeklamsia termasuk dalam hipertensi dalam kehamilan. Patofisiologi dari hipertensi
dalam kehamilan tidak dapat dijelaskan dalam satu teori saja. Teori-teori yang sekarang
banyak dianut adalah :

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta


Pada kehamilan normal, rahim, dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-
cabang arteri uterina dan erteria ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang arteria radialis.
Arteria radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi
cabang arteria spiralis.2
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke
dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut
sehingga terjadi dilatasi arteria spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar
arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri
spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini
memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin
cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin
pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan ‘remodeling arteri spiralis’.2
Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada laisan
otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi
tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami
distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan
terjadi kegagalan ‘remodeling arteri spiralis’, sehingga aliran darah uteroplasenta
menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan
menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis hipertensi
dalam kehamilan selanjutnya.2
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan
pada preeklamsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri
spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke uteroplasenta.2

16
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kegagalan ‘remodeling arteri spiralis’, dengan akibat plasenta
mengalami iskemia. Plasenta yang bebas mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidan atau sering disebut radikal bebas.2
Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau molekul yang
mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan
plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap
membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah
suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh.
Adanya radikal hidroksil dalam darah iungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin
yang beredar dialam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilah disebut “toksemia”.
Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh menjadi peroksia lemak. Peroksida lemak selain akan merusak
membran sel, juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel. Dalam kondisi normal,
produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh selalu diimbangi dengan produksi
antioksidan. 2
Pada hipertensi dalam kehamilan, telah terbukti bahwa kadar okasidan, khususnya
peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan menurun, sehingga terjadi dominasi
kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. 2
Peroksida lemak sebagai oksidan yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh
tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel.
Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak,
karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak
asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal
hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel
endotel yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel
endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur
sel endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel. Pada disfungsi endotel, terjadi
gangguan metabolisme prostaglandin, kerusakan agregasi sel trombosit yang

17
mengakibatkan vasokonstriksi, peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan produksi
bahan vasopresor seperti edotelin, dan peningkatan faktor koagulasi.

3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin


Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam
kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut :
 Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan
jika diibandingkan dengan multigravida. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi
mempunya risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan suami sebelumnya.
 Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini,
makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-
G), yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak
hasil konsepsi. Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis
oleh sel natural killer (NK) ibu. 2
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam
jaringan desidua ibu. Jadi, HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi
trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel NK. Pada
plasenta dipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya
HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofopbblas ke dalam desidua.
Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur
sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang
produksi sitikon, yang memudahkan terjadinya reaksi inflamasi.
Pada awal trimester kedua kehamiln, perempuan dengan kecenderungan terjadi
preeklamsia ternyata memiliki proporsi sel Helper yang lebih rendah dibanding pada
normotensif.

4. Teori adaptasi kardiovaskular

18
Pada hamil normal, pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopressor.
Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopresor, atau
dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon
vasokonstriksi. Pada kehamilan normal, terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap
bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel
endotel pembuluh darah. 2
Pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokonstriktor dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopressor.
Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga
pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor. Peningkatan kepekaan
pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan
pada kehamilan dua puluh minggu.

5. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan
dengan genotipe janin. telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklamsia, 26%
anak perempuannya akan mengalami preeklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak
menantu mengalami preeklamsia. 2

6. Teori defisiensi gizi


Penelitian yang dilakukan tentang pengaruh diet pada preeklamsia beberapa waktu
sebelum pecahnya Perang Dunia II menunjukkan bahwa suasana serba sulit mendapat
gizi yang cukup dalam masa persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi
dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan,
termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklamsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat
produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi
pembuluh darah.

7. Teori stimulus inflamasi

19
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas ke dalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal
plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik
trofoblas, akibat reaksi stress oksidatif. 2-6
Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses
inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar,
sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses
apoptosis pada preeklamsia. Pada preeklamsia terjadi peningkatan stress oksidatif
sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak
sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stress
oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin
meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi
jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respon inflamasi ini
akan mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula,
sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklamsia
pada ibu. 2-6

Manifestasi Klinis
Gejala subjektif. Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal,
skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-
muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun akan meningkat lebih
tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat. 2-6
Pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi;
peningkatan tekanan sistolik 30mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat
lebih dari 140/90mmHg. Tekanan darah pada preeklampsia berat meningkat lebih dari
160/110 mmHg dan disertai kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga akan menemukan
takikardia, takipnu, edema paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia,
pendarahan otak. 2-6

Diagnosis

20
Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan pemeriksaan
laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat diklasifikasikan menjadi dua
golongan yaitu; 2-6
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
• Tekanan darah 140/90 mmHg setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat tekanan
darah normal.
• Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter atau
midstream.
• Edema pada lengan, muka, perut, atau edema geralisata. Edema lokal tidak dimasukkan
dalam kriteria preeklamsia.

2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:


• Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg atau lebih.
Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan
sudah menjalani tirah baring.
• Proteinuria 2,0 gratau lebih perliter dalam 24 jam atau>2+.
• Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
• Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.
• Kenaikan kadar kreatinin plasma
• Terdapat edema paru dan sianosis
• Trombositopeni berat <100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.
• Gangguan fungsi hati : peningkatan kadar SGOT dan SGPT.
• Pertumbuhan janin terhambat.
• Sindrom HELLP 2-6

Sikap dan Tindakan pada Preeklamsi Berat


Penderita preeklamsi berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklamsia berat
adalah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia dan eklamsia mempunyai risiko tinggi

21
untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas,
tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah hipovolamia,
vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid/ pulmonary
capillary wedge pressure. 2-6
Oleh sebab itu, monitoring input cairan (melalui oral maupun infus) dan output cairan
(melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya, harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa
jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda-tanda edema
paru, segera lakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa 5% dekstrosa atau
cairan garam faali dengan jumlah 125 cc/jam atau infus 5% dekstrosa yang tiap 1 liternya
diselingi infus ringer laktat (60-125 cc/jam) sebanyak 500 cc. 2-6
Dipasang Foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi
urin <30 cc/jam dalam 2-3 jam atau <500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam
lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung. Diet
cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam. 2-6
Pada kasus preeklampsia yang berat dan eklampsia, magnesium sulfat yang diberikan
secara parenteral adalah obat anti kejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi susunan syaraf
pusat baik bagi ibu maupun janinnya. Obat ini dapat diberikan secara intravena melalui infus
kontinu atau intramuskular dengan injeksi intermiten. Infus intravena kontinu :
• Berikan dosis bolus 4 – 6 gram MgSO4 yang diencerkan dalam 100 ml cairan dan
diberikan dalam 15-20 menit.
• Mulai infus rumatan dengan dosis 2 g/jam dalam 100 ml cairan intravena selama 6 jam.
• Ukur kadar MgSO4 pada 4-6 jam setelah pemberian dan disesuaikan kecepatan infuse
untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEg/l (4,8-8,4 mg/l). 2-6

Injeksi intramuskular intermiten:


• Berikan 4 gram MgSO4 sebagai larutan 20% secara intravena dengan kecepatan tidak
melebihi 1 g/menit. Lanjutkan segera dengan 10 gram MgSO4 50%, sebahagian (5%)
disuntikan dalam di kuadran lateral atas bokong (penambahan 1 ml lidokain 2 % dapat
mengurangi nyeri). Apabila kejang menetap setelah 15 menit, berikan MgSO4 sampai 2 gram
dalam bentuk larutan 20% secara intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1g/menit.
Apabila wanita tersebut bertubuh besar, MgSo4 dapat diberikan sampai 4 gram perlahan.

22
• Setiap 4 jam sesudahnya, berikan 5 gram larutan MgSO4 50% yang disuntikan dalam ke
kuadran lateral atas bokong bergantian kiri-kanan, tetapi setelah dipastikan bahwa:
o Refleks patela (+)
o Tidak terdapat depresi pernapasan (frekuensi >16x/menit)
o Pengeluaran urin selama 4 jam sebelumnya melebihi 100 ml
o Harus sedia antidotum
• MgSO4 dihentikan 24 jam setelah bayi lahir atau 24 jam setelah kejang berakhir atau jika ada
tanda-tanda intoksikasi.
Jika terjadi henti napas, berikan bantuan dengan ventilator atau berikan kalsium glukonat
2 g (20 ml dalam larutan 10%) secara intravena perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi.
Berbagai obat telah dianjurkan untuk mengatasi hipertensi berat pada wanita eklamsia.
Terapi antihipertensi lini pertama kami di Parkland Hospital adalah hidralazin. 2-6
Di Parkland Hospital, hidralazin diberikan secara intravena jika tekanan diastolik 110
mm Hg atau lebih atau tekanan sistolik 160 mm Hg atau lebih. Hidralazin diberikan dalam dosis
5 hingga 10 mg setiap 15 hingga 20 menit sampai dicapai respons yang memuaskan. Respons
memuaskan antepartum atau intrapartum didefinisikan sebagai penurunan tekanan diastole
menjadi 90 sampai 100 mm Hg, tetapi tidak lebih rendah karena perfusi plasenta dapat
terganggu.
Hidralazin yang diberikan dengan cara ini terbukti sangat efektif untuk mencegah
perdarahan otak. jarang diperlukan obat antihipertensi lain akibat respons yang kurang terhadap
hidralazin. Kecenderungan memberi dosis awal hidralazin yang lebih banyak tekanan darah lebih
tinggi harus dihindari. Respons terhadap dosis 5 sampai 10 mg tidak dapat diperkirakan dari
tingkat hipertensinya karena itu, kami selalu memberi 5 mg sebagai dosis awal. 2-6
Labetalol intravena juga digunakan untuk mengobati hipertensi akut. Pada protokol kami
diberikan dosis awal 10 mg, jika tekanan darah tidak menurun ke tingkat yang diinginkan dalam
10 menit, diberikan 20 mg. Dosis peningkatan pada 10 menit berikutnya adalah 40 mg, diikuti
oleh 40 mg tambahan dan kemudian 80 mg jika respons yang baik belum tercapai. Kami
mendapatkan bahwa hidralazin secara konsisten lebih efektif daripada labetalol.
Diuretik kuat akan semakin mengurangi perfusi plasenta, karena efek langsung obat ini
antara lain adalah deplesi volume intravaskular yang umumnya telah berkurang akibat eklamsia.

23
Oleh karena itu, diuretik tidak digunakan untuk menurunkan tekanan darah agar tidak terjadi
peningkatan intensitas hemokonsentrasi ibu dan karena efek merugikannya pada ibu dan janin. 5,6
Meskipun pemberian antagonis saluran-kalsium dilaporkan berhasil, namun obat ini
jarang digunakan dalam bidang obstetrik. Karena kekhawatiran mengenai toksisitas sianida pada
janin, nitroprusid tidak dianjurkan, kecuali jika tidak terdapat respons terhadap hidralazin,
labelalol, atau nifedipin. 2-6

Tindakan terminasi kehamilan


Pelahiran jalan adalah penyembuhan bagi preeklamsia. Nyeri kepala, gangguan
penglihatan atau nyeri epigastrium merupakan petunjuk bahwa akan terjadi kejang dan oliguria
adalah tanda buruk lainnya. Preeklamsia berat memerlukan anti kejang dan biasanya terapi
antihipertensi diikuti kelahiran. Terapi serupa dengan yang akan dijelaskan kemudian untuk
eklamsia. Tujuan utama adalah mencegah kejang, perdarahan intrakranial dan kerusakan serius
pada organ vital lain, serta melahirkan bayi yang sehat.2-6
Namun, apabila janin dicurigai atau diketahui prematur, cenderung penundaan persalinan
dengan harapan bahwa tambahan beberapa minggu in utero akan menurunkan risiko kematian
atau morbiditas serius pada neonatus. Seperti telah dibicarakan, kebijakan semacam ini jelas
dibenarkan untuk kasus yang lebih ringan. Dilakukan penilaian kesejahteraan janin dan fungsi
plasenta, terutama apabila terdapat keenganan unutk melahirkan janin dengan alasan
prematuritas. Sebagian besar peneliti menganjurkan pemeriksaan berkala berbagai uji yang saat
ini digunakan untuk menilai kesejahteraan janin.6
Pada preeklamsia sedang atau berat tidak membaik setelah rawat inap, demi
kesejahteraan ibu dan janinnya biasanya dianjurkan pelahiran. Persalinan sebaiknya diinduksi
dengan oksitosin intravena. Banyak dokter menyarankan pematangan serviks dengan
prostaglandin atau dilator osmotik. Bila tampak bahwa induksi persalinan hampir pasti tidak
berhasil, atau upaya melakukan induksi persalinan gagal, diindikasikan sesar untuk kasus-kasus
yang parah.
Bagi wanita menjelang aterm, serviks yang mengalami pendataran parsial, bahkan
preeklamsia yang lebih ringan pun mungkin membawa risiko lebih besar bagi ibu dan janinnya
daripada induksi persalinan dengan infus oksitosin yang dipantau ketat. Akan tetapi, tidak
demikian jika preeklamsianya ringan dengan serviks masih padat dan tertutup. Hal ini

24
menunjukkan bahwa mungkin perlu dilakukan pelahiran per abdomen jika kehamilan akan
dihentikan. Bahaya sesar mungkin lebih besar dibandingkan kehamilan dibiarkan berlanjut di
bawah observasi ketat sampai servik memadai untuk induksi.6
Apabila ditegakkan diagnosis preeklamsia berat, kecenderungan obstetris adalah
melahirkan janin dengan segera. lnduksi persalinan untuk menghasilkan pelahiran per vaginam
sccara tradisional dianggap merupakan tindakan demi keselamatan ibu. Beberapa pertimbangan,
termasuk kondisi serviks yang kurang memadai.6
Sectio caesaria dilakukan apabila setelah induksi serviks masih tertutup dan lancip,
kepala janin masih tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelvik. Sectio caesaria juga
menjadi pilihan karena ada beberapa kekhawatiran antara lain; belum matangnya serviks,
komplikasi yang mungkin terjadi dan juga perlu adanya koordinasi dengan unit intensif
neonatus.
Eklampsia
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita eclampsia, yang disertai dengan kejang
menyeluruh dan koma.Sama halnya dengan preeclampsia, eclampsia dapat timbul pada ante,
intra, dan postpartum. Eklampsia postpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam
pertama setelah persalinan. Pada penderita preeclampsia yang akan kejang, umumnya memberi
gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan
terjadinya kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut sebagai
impending eclampsia atau imminent eclampsia.

Perawatan eclampsia
Perawatan dasar eclampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi vital,
yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation (ABC), mengatasi dan mencegah
kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang,
mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada
waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat.
Perawatan medikamentosa dan perawatan suportif eclampsia, merupakan perawatan yang
sangat penting. Tujuan utama pengobatan medikamentosa eclampsia ialah mencegah dan
menghentikan kejang, mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya hipertensi krisis, mencapai

25
stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat melahirkan janin pada saat dan dengan cara
yang tepat

Pengobatan medikamentosa
Obat antikejang
Obat antikejang yang menjadi pilihan pertama ialah magnesium sulfat.Bila dengan jenis
obat ini kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat jenis lain, misalnya tiopental.Diazepam
dapat dipakai sebagai alternative pilihan, namun mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi,
pemberian diazepam hanya dilakukan oleh mereka yang berpengalaman.Pemberian diuretikum
hendaknya selalu disertai dengan memonitor plasma elktrolit.Obat kardiotonika ataupun obat-
obat anti hipertensi hendaknya selalu disiapkan dan diberikan benar-benar atas indikasi.

Magnesium sulfat
Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti pemberian magnesium sulfat
pada preeclampsia berat. Pengobatan suportif terutama ditujukan untuk gangguan fungsi organ-
organ penting, misalnya tindakan-tindakan untuk memperbaiki asidosis, mempertahankan
ventilasi paru-paru, mengatur tekanan darah, mencegah dekompensasi kordis.Pada penderita
yang mengalami kejang dan koma, nursing care sangat penting, misalnya meliputi cara-cara
perawatan penderita dalam suatu kamar isolasi, mencegah aspirasi, mengatur infus penderita, dan
monitoring produksi urin.

Perawatan pada waktu kejang


Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama pertolongan ialah mencegah
penderita mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut.Dirawat di kamar isolasi cukup
terang, tidak di kamar gelap, agar bila terjadi sianosis segera dapat diketahui.Penderita
dibaringkan di tempat tidur yang lebar, dengan rail tempat tidur harus dipasang dan dikunci
dengan kuat.Selanjutnya masukkan sudap lidah ke dalam mulut penderita dan jangan mencoba
melepas sudap lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi.Kepala direndahkan dan
daerah orofaring diisap.Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita yang kejang
tidak terlalu kuat menghentak-hentak benda keras di sekitarnya.Fiksasi badan pada tempat tidur

26
harus cukup kendor, guna menghindari fraktur.Bila penderita selesai kejang-kejang segera beri
oksigen.

Perawatan koma
Perlu diingat bahwa penderita koma tidak dapat bereaksi atau mempertahankan diri
terhadap suhu yang ekstrem, posisi tubuh yang menimbulkan nyeri dan aspirasi, karena
hilangnya refleks muntah.Bahaya terbesar yang mengancam penderita koma, ialah terbuntunya
jalan napas atas. Setiap penderita eclampsia yang jatuh dalam koma harus dianggap bahwa jalan
napas atas terbuntu, kecuali dibuktikan lain.
Oleh karena itu, tindakan pertama-tama pada penderita yang jatuh koma (tidak sadar),
ialah menjaga dan mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka.
Untuk menghindari terbuntunya jalan napas atas oleh pangkal lidah dan epiglotis dilakukan
tindakan sebagai berikut.Cara yang sederhana dan cukup efektif dalam menjaga terbukanya jalan
napas atas, ialah dengan maneuver head-tilt-neck-lift, yaitu kepala direndahkan dan leher dalam
posisi ekstensi ke belakang head-tilt-chain-lift, dengan kepala direndahkan dan dagu ditarik ke
atas, atau jaw-thrust, yaitu mandibula kiri kanan diekstensikan ke atas sambil mengangkat kepala
ke belakang.Tindakan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan pemasangan oropharyngeal
airway.
Hal penting kedua yang perlu diperhatikan ialah bahwa penderita koma akan kehilangan
reflex muntah sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi bahan lambung sangat besar. Lambung
ibu hamil harus selalu dianggap sebagai lambung penuh.Oleh karena itu, semua benda yang ada
dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa lender maupun sisa makanan, harus segera
diisap secara intermitten.Penderita ditidurkan dalam posisi stabil untuk drainase lendir.
Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai Glasgow Coma Scale.Pada
perawatan koma perlu diperhatikan pencegahan decubitus dan makanan penderita.Pada koma
yang lama, bila nutrisi tidak mungkin, dapat diberikan melalui naso Gastric Tube (NGT).

Perawatan Edema paru


Bila terjadi edema paru sebaiknya penderita dirawat di ICU karena membutuhkan
perawatan animasi dengan respirator.

27
Pengobatan obstetric
Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eclampsia harus diakhiri, tanpa
memandang umur kehamilan dan keadaan janin.Persalinan diakhiri bila sudah mencapai
stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan metabolism ibu.
Pada perawatan pascapersalinan, bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital
dilakukan sebagaimana lazimnya.

Prognosis
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala perbaikan akan
tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir perubahan
patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah
persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis yang baik, karena hal ini merupakan gejala
pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian.
Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin dari ibu yang sudah
mempunyai hipertensi kronik.Prognosis janin pada penderita eclampsia juga tergolong
buruk.Seringkali janin mati intrauterine atau mati pada fase neonatal karena memang kondisi
bayi sudah sangat inferior.

DISKUSI KHUSUS

Dalam teori disebutkan bahwa untuk menegakan diagnosa preeklampsia berat dibutuhkan
1 atau lebih dari keadaan sebagai berikut:
• Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg atau lebih.
Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan
sudah menjalani tirah baring.
• Proteinuria 2,0 gratau lebih perliter dalam 24 jam atau>2+.
• Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
• Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.
• Kenaikan kadar kreatinin plasma
• Terdapat edema paru dan sianosis
• Trombositopeni berat <100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.

28
• Gangguan fungsi hati : peningkatan kadar SGOT dan SGPT.
• Pertumbuhan janin terhambat.
• Sindrom HELLP
Pada kasus ditemukan tekanan darah sistolik 170/110 mmHg dan protein urin 2+ pada
pemeriksaan dipstick. Oleh karena itu, pada kasus ini bisa ditegakan diagnosa sebagai
preeklampsia berat.
Gejala-gejala yang menuju eklmapsia seperti sakit kepala di daerah frontal, skotoma,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah, tidak
ditemukan pada kasus. Selain itu, pemeriksaan fisik seperti takikardia, takipnu, edema paru,
perubahan kesadaran, gejala-gejala hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, pendarahan otak, juga
tidak ditemukan dalam kasus.
Untuk penatalaksanaan, pada teori harus dilakukan sikap dan tindakan sebagai berikut:
Penderita preeklamsi berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah
baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklamsia berat adalah
pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia dan eklamsia mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya edema paru dan oliguria.Oleh sebab itu, monitoring input cairan (melalui oral maupun
infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya, harus dilakukan
pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin.
Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera lakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan
dapat berupa 5% dekstrosa atau cairan garam faali dengan jumlah 125 cc/jam atau infus 5%
dekstrosa yang tiap 1 liternya diselingi infus ringer laktat (60-125 cc/jam) sebanyak 500
cc.Dipasang Foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi urin
<30 cc/jam dalam 2-3 jam atau <500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam
lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung. Diet
cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.Pada kasus preeklampsia yang berat dan
eklampsia, magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral adalah obat anti kejang yang
efektif tanpa menimbulkan depresi susunan syaraf pusat baik bagi ibu maupun janinnya. Obat ini
dapat diberikan secara intravena melalui infus kontinu atau intramuskular dengan injeksi
intermiten. Infus intravena kontinu :
• Berikan dosis bolus 4 – 6 gram MgSO4 yang diencerkan dalam 100 ml cairan dan
diberikan dalam 15-20 menit.

29
• Mulai infus rumatan dengan dosis 2 g/jam dalam 100 ml cairan intravena selama 6 jam.
Ukur kadar MgSO4 pada 4-6 jam setelah pemberian dan disesuaikan kecepatan infuse
untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEg/l (4,8-8,4 mg/l).
Pada kasus sudah dilakukan sikap dan tindakan seperti diatas antara lain, Pasien diminta
untuk berbaring ke kiri, Infus RL 20 tetes per menit, MgSO4 2 gr di bolus i.v pelan-pelan dalam
5-15 menit, Dower cateter.
Sectio caesaria dilakukan apabila serviks masih tertutup dan lancip, kepala janin masih
tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelvik. Sectio caesaria juga menjadi pilihan
karena ada beberapa kekhawatiran antara lain; belum matangnya serviks, komplikasi yang
mungkin terjadi dan juga perlu adanya koordinasi dengan unit intensif neonatus. Pada kasus
dilakukan sectio caesaria, oleh karena: 1) setelah dilakukan pemeriksaan dalam, ditemukan
bahwa serviks masih tertutup, 2) tidak adanya unit intensif neonatus di rumah sakit tempat kasus
ditemukan.
Pertumbuhan Janin Terhambat

Definisi
Pertumbuhan janin terhambat ditentukan bila berat janin kurang dari 10 % dari berat yang
harus dicapai pada usia kehamilan tertentu. Biasanya perkembangan yang terhambat diketahui
setelah 2 minggu tidak ada pertumbuhan. Dahulu PJT disebut sebagai intrauterine growth
retardation (IUGR), tetapi istilah retardation kiranya tidak tepat. Tidak semua PJT adalah
hipoksik atau patologik karena ada 25-60 % yang berkaitan dengan konstitusi etnik dan besar
orang tua.

Penyebab
Penyebab PJT diantaranya adalah :
 Hipertensi dalam kehamilan
 Gemeli
 Anomali janin/trisomi
 Sindrom antifosfolipid
 SLE
 Infeksi : rubela, sifilis, CMV

30
 Penyakit jantung
 Asma
 Gaya hidup : merokok, narkoba
 Kekurangan gizi-ekonomik rendah
Pada kehamilan 16-20 minggu sebaiknya dapat ditentukan apakah ada kelainan/cacat
janin. Apabila ada indikasi sebaiknya ditentukan adanya kelainan genetik.

Patologi
Pada kelainan sirkulasi uteroplasenta akibat dari perkembangan plasenta yang abnormal,
pasokan oksigen, masukan nutrisi, dan pengeluaran hasil metabolik menjadi abnormal. Janin
menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi pada trimester akhir sehingga timbul PJT yang asimetrik
yaitu lingkar perut jauh lebih kecil daripada lingkar kepala. Pada keadaan yang parah mungkin
akan terjadi kerusakan tingkat seluler berupa kelainan nukleus dan mitokondria.
Pada keadaan hipoksia, produksi radikal bebas diplasenta menjadi sangat banyak dan
antioksidan yang relatif kurang (misalnya : preeklamsia) akan menjadi lebih parah.

Diagnosis
Secara klinis awal pertumbuhan janin yang terhambat dikenal setelah 28 minggu. Namun,
secara USG mungkin sudah dapat diduga lebih awal dengan adanya biometri dan taksiran berat
janin yang tidak sesuai dengan usia gestasi. Secara klinik pemeriksaan tinggi fundus umumnya
dalam dalam sentimeter akan sesuai dengan usia kehamilan. Bila rendah dari 3cm patut dicurigai
adanya PJT.
Pemeriksaan secara Doppler arus darah: a. umbilikalis, a. uterina, a. spiralis mungkin
dapat mencurigai lebih awal adanya arus darah yang abnormal atau PJT.
Cairan Amnion merupakan penanda kesejahteraan janin. Jumlah amnion yang normal
merupakan indikasi fungsi sirkulasi janin relatif baik. Bila terdapat oligohidramnion, patut
dicurigai perburukan fungsi janin.

Manajemen
Setelah ditetapkan tidak ada kelainan janin, perlu dipertimbangkan bila janin akan
dilahirkan. Bagi situasi diIndonesia, saat yang tepat ialah bergantung pada arus darah arteri

31
umbilikalis dan usia gestasi. Arteri umbilikal yang tidak memiliki arus diastolik (absent diastolic
flow) bahkan adanya arus terbalik (reverse flow) akan mempunyai prognosis yang buruk berupa
kematian janin dalam < 1 minggu. Usia optimal untuk melahirkan bayi ialah 33-34 minggu
dengan pertimbangan sudah dilakukan pematangan paru. Pemeriksaan CTG akan membantu
diagnosis adanya hipoksia janin lanjut berupa deselerasi lambat denyut jantung.

Daftar Pustaka

1. Cunningham, F.G et al. Williams Obstetrics.23rd edition. Volume 2. New York: Mc Graw
Hill Medical Publising Division:2014.p.740-92.
2. Wiknosastro H. Hipertensi dalam kehamilan. Editor Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachmihadhi T, dalam Ilmu Kebidanan edisi kedua, cetakan keempat, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.2007.h.281-301
3. Arnett. Current Obstetry and Gynecology. McGrawHills : USA. 2007.p.345-89
4. Fortner K. Fox HE. Wallach EE. The Johns Hopkins Manual of Gynecology & Obstetrics.
Edisi ke3. Baltimore: Maryland. 2008.p982-98
5. Manuaba I. Preeclampsia. Edisi 2012. Diunduh dari
http://www.emedicinehealth.com/preeclampsia/page10_em.htm
6. Sepllan. Prognosis preeclamsia. Edisi 2012. Diunduh
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000898.htm
7. Wiknosastro H. Hipertensi dalam kehamilan. Editor Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachmihadhi T, dalam Ilmu Kebidanan edisi kedua, cetakan keempat, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.2007.h.697-700

32

Anda mungkin juga menyukai