Menikmati Kekhusyuan
Saya pernah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Bukan uang ataupun kekayaan.
Tapi kekhusyuan. Dulu setiap kali menunaikan shalat amatlah menyenangkan. Kurang lebih
empat bulan kesyahduan dalam sholat nyaris tak terasa. Hampir setiap hari hati menjerit. Sedih.
Berbagai upaya dicoba, tak satupun membuahkan hasil. Kekhusyuan pun serasa tak ‘kan pernah
kembali. Kekeringan dalam shalat kian mengerak.
Ruangan dingin AC menyelusup sekujur tubuh. Desir angin dan alunan lagu
instrumentalia menyayat jiwa. Tayangan keindahan pemandangan di layar LCD makin
menghadirkan kesyahduan. Gemercik air yang terdengar dari sound system menjadikan jiwa
makin melayang. Dalam konsisi seperti itu, kalam ilahi dikumandangkan. Tak terasa air mata
berderai seiring lantunan ayat demi ayat. Jiwa bergetar. Nama-nama Allah yang dibacakan terasa
langsung diturunkan dari langit. Saking asyik masyuknya keadaan saat itu, tak terasa lidah
berteriak “Subhanallah, walhamdulillah, wa la ilaha illallah, Allahu akbar”. Orang-orang yang
ada di sekeliling tak saling memperhatikan. Tiap orang sibuk dengan kesyahduan masing-
masing. Ramainya manusia tak dapat mengusik kekhusyuan. Jiwa seakan melesat menuju
Kemahagagahan Allah Pencipta alam. “Alhamdulillah”, itulah satu-satunya kata yang terucap
sesuai acara.
Anda barangkali pernah mengalami hal serupa. Saya mencoba merenung. Dan
Alhamdulillah, melalui pengalaman itu Allah subhanahu wa ta’ala memberikan ilmu hingga saya
berhasil menemukan kembali permata berharga yang sempat lama hilang. Kekhusyuan telah saya
temukan kembali. Saya pikir, tidak salah kita berbagai kenikmatan ini.
Berbeda dengan itu, saat kekhusyuan dirasakan sebagai mutiara berharga maka
memilikinya merupakan suatu keniscayaan. Kegelisahan akan senantiasa ada selama kita belum
dapat menghujanmkannya. Pernahkah anda kehilangan dompet yang didalamnya ada uang, SIM,
STNK, dan cek yang akan kita cairkan? Apakah sikap anda sama dengan sikap ketika sandal
jepit anda hilang? Ya, tentu, sebagai manusia normal akan berbeda. Andai saya adalah anda, saya
akan berupaya mencarinya.”itu barang berharga!” bila kehilangan barang seperti itu dicari,
apakah layak bila kekhusyuan yang merupakan salah satu ciri seorang mukmin dibiarkan hilang
melayang bak layang-layang lepas?
Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Juz III), mengutip peryataan Ibnu Abbas, khusyu
artinya takut lagi tegang (khaifun sakinun). Sahabat, kata Allah, shalat seorang mukmin itu
khusyu. Kita diperintahkan khusyu dalam shalat. Mustahil Allah memerintahkannya apabila
kekhusyuan hanya dapat diraih oleh segelintir orang. Kita pasti bisa Insya Allah.
Namun, sebelum itu, silahkan ambil posisi santai. Tarik nafas panjang dari hidung, lalu
keluarkan pelan-pelan melalui mulut. Ulang itu sebanyak tiga kali. Lalu, senyumlah penuh
ketulusan. Tidak bisa? Cobalah, usahakn bisa, senyumlah dengan tulus!santaikan jiwa anda!
Kalau perlu, silahkan minum dulu!
Khusyu adalah Rasa
“Wah, susah shalat khusyu mah. Nggak bakalan bisa, dech! Wong kita ini masih punya
pendengaran dan penglihatan,” ujar seorang teman ketika nyantri. “yang bisa memiliki
kekhusyuan hanyalah orang-orang yang suci seperti sahabat,” lanjutnya. “Tuh lihat, Sayyidina
Ali! Panah yang menusuk beliau dicabut saat shalat. Tak terasa apa-apa. Beliau tidak sadar anak
panah sudah dicabut!” tambahnya serius.
Jangan dulu apriori terhadap pandangan tersebut. “Gus, saya punya pandangan yang
lain,” ujar saya kepada Agus, teman saya itu. Apa mungkin orang yang tidak sadar dalam
shalatnya disebut khusyu? Bukankah Allah melarang siapapun shalat dalam keadaan mabuk alias
tidak sadar. Coba tengok surat An Nisa(4) ayat 43.
“Lalu, bagaiman kasus Sayyidina Ali antum posisikan secara proporsional?” tanyanya.
Saya katakan begini kepadanya. Coba ingat-ingat ketika kita dulu pernah ke Kebun Raya,
Bogor. Kita dengan teman-teman makan bersama. Sambil ngobrol, kitapun bicara masalah
keUmatan. Bahkan, senda gurau tidak ketinggalan. Saat itu antum katakan, “wah, kita ini kaya di
kebun milik sendiri aja. Orang-orang yang lalu lalang disekitar kita seolah-olah tidak ada.
Gemerisik bahkan bising mereka tak mengganggu kita. Sungguh kita ‘khusyu’ dengan acara
kita”. Nah, khusyu dalam shalat pun begitu. Kita sadar sedang shalat, ada imam dan makmum,
surat yang dibaca apa, mungkin ada mobil ambulance lewat pun terdengar serinenya. Tapi,
semua itu tidak menggangu shalat kita. Adanya sama dengan tidak adanya. Seakan-akan kita
tengah sendiri didalam keramaian yang memang kita sadari. Sebab, ketika itu, kita sedang asyik
dalam kenikmatan menyembah Allah Zat Mahaperkasa.
Memperoleh khusyu tidak bisa dengan logika an sich. Persoalan khusyu adalah persoalan
rasa. Secara bahasa tunduk, takluk, menyerah, dan khidmat adalah makna dari khusyu. Sekali
lagi, semua ini adalah rasa. Jadi, keberhasilan khusyu dalam shalat ditentukan oleh kehadiran dan
penyertaan rasa ketika melakukannya. Rasa adalah kunci kenikmatan khusyu. Tanpa rasa segala
hal akan hambar.