Anda di halaman 1dari 18

BAB II

Tinjauan Pustaka

1. Konsep Health Belief Model


A. Pengertian
Health belief model dikemukakan pertama kali oleh Resenstock 1966,
kemudian disempurnakan oleh Becker, dkk 1970 dan 1980. Sejak tahun 1974,
Health belief model telah menjadi perhatian para peneliti. Model ini merupakan
formulasi konseptual untuk mengetahui persepsi individu apakah mereka menerima
atau tidak tentang kesehatan mereka. Variabel yang dinilai meliputi keinginan
individu untuk menghindari kesakitan, kepercayaan mereka bahwa terdapat usaha
agar menghindari penyakit tersebut.
Menurut World Health Organization (WHO) yang dimaksud dengan sehat
atau health adalah suatu kondisi tubuh yang lengkap secara jasmani, mental, dan
sosial, dan tidak hanya sekedar terbebas dari suatu penyakit dan ketidakmampuan
atau kecacatan, sedangkan menurut UU No.36 tahun 2009 Tentang Kesehatan,
kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Belief dalam bahasa inggris artinya percaya atau keyakinan. Menurut peneliti
belief adalah keyakinan terhadap sesuatu yang menimbulkan perilaku tertentu.
Misalnya individu percaya bahwa belajar sebelum ujian akan berpengaruh terhadap
nilai ujian. Jenis kepercayaan tersebut terkadang tanpa didukung teori teori lain
yang dapat dijelaskan secara logika. Model adalah seseorang yang bisa dijadikan
panutan atau contoh dalam perilaku, cita-cita dan tujuan hidup yang akan dicapai
individu. Biasanya teori modeling ini sangat efektif pada perkembangan anak di
usia dini, namun dalam materi peneliti kali ini modeling di umpakan sebuah isu atau
pengalaman individu dalam tindakan pencegahan terhadap penyakit covid-19.
Health belief model merupakan suatu konsep yang mengungkapkan alasan dari
individu untuk mau atau tidak mau melakukan perilaku sehat (Janz & Becker,
1984). Health belief model juga dapat diartikan sebagai sebuah konstruk teoretis
mengenai kepercayaan individu dalam berperilaku sehat (Conner, 2003).
Perkembangan dari HBM tumbuh pesat dengan sukses yang terbatas pada
berbagai program Pelayanan Kesehatan Masyarakat di tahun 1950-an. Apabila
individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada empat variabel
kunci dua tambahan yang baru-baru ini diungkapkan para ahli yang terlibat didalam
tindakan tersebut, yakni kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit,
keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam
tindakan melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. Di
mana komponen-komponennya disebutkan di bawah ini.

B. Konsep Kepercayaan Individu dalam Health Belief Model


Gambaran Health belief model terdiri dari 6 dimensi, diantaranya:
a) Perceived susceptibility atau kerentanan yang dirasakan konstruk tentang
resiko atau kerentanan (susceptibility) personal, Hal ini mengacu pada persepsi
subyektif seseorang menyangkut risiko dari kondisi kesehatannya. Di dalam
kasus penyakit secara medis, dimensi tersebut meliputi penerimaan terhadap
hasil diagnosa, perkiraan pribadi terhadap adanya resusceptibilily (timbul
kepekaan kembali), dan susceptibilily (kepekaan) terhadap penyakit secara
umum.
b) Perceived severity atau kesriuasan yang dirasa. Perasaan mengenai keseriusan
terhadap suatu penyakit, meliputikegiatan evaluasi terhadap konsekuensi klinis
dan medis (sebagai contoh, kematian, cacat, dan sakit) dan konsekuensi sosial
yang mungkin terjadi (seperti efek pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan
hubungan sosial). Banyak ahli yang menggabungkan kedua komponen diatas
sebagai ancaman yangdirasakan (perceived threat).
c) Perceived benefitsm, manfaat yang dirasakan. Penerimaan susceptibility
sesorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya dapat menimbulkan keseriusan
(perceived threat) adalah mendorong untuk menghasilkan suatu kekuatan yang
mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada kepercayaan
seseorang terhadap efektivitas dari berbagai upaya yang tersedia dalam
mengurangi ancaman penyakit, atau keuntungan-keuntungan yangdirasakan
(perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya kesehatan tersebut. Ketika
seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan
(susceptibility) dan keseriusan (seriousness), sering tidak diharapkan untuk
menerima apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya
tersebut dirasa manjur dan cocok.
d) Perceived barriers atau hambatan yang dirasakan untuk berubah, atau apabila
individu menghadapi rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan
tersebut. Sebagai tambahan untuk empat keyakinan (belief) atau persepsi.
Aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan (seperti:
ketidakpastian, efek samping), atau penghalang yang dirasakan (seperti:
khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang mungkin berperan sebagai
halangan untuk merekomendasikan suatu perilaku.
e) Health motivation dimana konstruk ini terkait dengan motivasi individu untuk
selalu hidup sehat. Terdiri atas kontrol terhadap kondisi kesehatannya serta
health value (Conner, 2005).
f) Cues to action suatu perilaku dipengaruhi oleh suatu hal yang menjadi isyarat
bagi seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku. (Becker dkk,
1997 dalam Conner & Norman, 2003). Isyarat-isyarat yang berupa faktor-
faktor eksternal maupun internal, misalnya pesan-pesan pada media massa,
nasihat atau anjuran kawan atau anggota keluarga lain, aspek sosio demografis
misalnya tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal, pengasuhan dan
pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman, agama, suku, keadaan
ekonomi, sosial, dan budaya, self-efficacy yaitu keyakinan seseorang bahwa dia
mempunyai kemampuan untuk melakukan atau menampilkan suatu perilaku
tertentu.

C. Faktor Modifikasi Health Belief Model


Becker dan Rosenstock (1984) dalam Tarkang dan Zotor (2015)
menambahkan faktor lain yang mempengaruhi persepsi seseorang, diantaranya
adalah variabel struktural (usia, jenis kelamin dan suku), variabel sosiopsikologi
(ekonomi dan teman sebaya), dan variabel struktural (pengetahuan). Peran dari
faktor modifikasi ini adalah untuk menyiapkan kondisi, baik persepsi individu
maupun manfaat yang dirasakan dari tindakan pencegahan atau preventif.
Diantaranya adalah:
a) Personaliti
a. Usia
Seseorang yang mempunyai usia lebih tua akan mempunyai perilaku
dan nilai-nilai etis yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
usianya jauh lebih muda. Bertambahnya usia akan menambah pengalaman
hidup yang dapat mempengaruhi pola pikir seseorang. Hal ini selaras
dengan perkembangan moral yang terjadi dimana semakin baik tingkat
perkembangan moral seseorang maka memiliki perilaku yang etis (Trevino,
1992). Artinya, orang-orang cenderung lebih etis saat tumbuh dewasa.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin digunakan untuk menganalisis atau mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan (Muthmainah, 2006 ). Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan dalam membuat suatu keputusan yang
diambil. Penelitian yang dilakukan oleh Arlow (1991) dalam Elias (2010)
menemukan bahwa perempuan memiliki sikap etik yang lebih baik
dibandingkan dengan pria, namun jika dilihat dari segi emosional pria lebih
mampu mengendalikan emosinya dibandingkan wanita.
c. Kebudayaan yang berbeda dapat mempengaruhi bagaimana informasi
penglihatan itu diproses. Pengalaman budaya berperan penting dalam
proses kognitif, karena tanggapan dan pikiran merupakan alat utama dalam
kognitif yang bersumber darinya. Pengalaman seseorang yang merupakan
akumulasi dari hasil berinteraksi dengan lingkungan masyarakat, letak
geografis, latar belakang sosial, keterlibatan religius sangat menentukan
persepsi terhadap suatu kegiatan dan keadaan. Kebudayaan dinyatakan
sebagai segala sesuatu yang berhubungan erat dengan perilaku dan
kepercayaan, maka meliputi berbagai hal dalam kehidupan manusia
(Sutopo, 2002).
b) Social ekonomi
Tingkat sosial ekonomi merupakan menggambarkan kedudukan seseorang
dalam bermasyarakat yang biasanya ditentukan oleh unsur pendidikan,
pekerjaan, dan pendapatan yaitu kelompok tinggi, kelompok menengah, dan
kelompok rendah. Tingkat sosial ekonomi dapat mempengaruhi seseorang dapat
menentukan suatu pilihan pengobatan yang ada sesuai dengan kemampuannya.
Individu yang berbeda suku bangsa, pekerjaan, atau tingkat pendidikan
mempunyai kecenderungan yang tidak sama dalam mengerti dan bereaksi
terhadap kesehatan mereka. Didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang dengan
latar belakang struktur sosial yang bertentangan akan menggunakan pelayanan
kesehatan dengan cara yang tertentu pula (Notoatmodjo, 2012).
c) Pengetahuan
Edukasi merupakan faktor yang penting sehingga mempengaruhi health belief
model individu (Bayat dkk, 2013). Kurangnya pengetahuan akan menyebabkan
individu merasa tidak rentan terhadap gangguan, yang dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Edmonds dan kawan – kawan adalah osteoporosis
(Edmonds, 2012 dalam Arulkumaran, 2007). Karakteristik psikololgis
merupakan faktor yang mempengaruhi health belief model individu (Conner &
Norman, 2003). Dalam penelitian ini, karakteristik psikologis yang
mempengaruhi health belief model kedua responden adalah ketakutan kedua
responden menjalani pengobatan secara medis.
Teori Health belief model menghipotesiskan terdapat hubungan aksi dengan
faktor berikut:
a) Motivasi yang cukup kuat untuk mencapai kondisi yang sehat.
b) Kepercayaan bahwa seseorang dapat menderita penyakit serius dan dapat
menimbulkan sekuele.
c) Kepercayaan bahwa terdapat usaha untuk menghindari penyakit tersebut
walaupun hal tersebut berhubungan dengan finansial.
D. Faktor Pendukung Untuk Bertindak
Menurut Glanz, et al. (2002), Health Belief Model merupakan model kognitif
yang dapat dipengaruhi oleh informasi dari lingkungan sekitar. Health Belief Model
menjelaskan bahwa kemungkinan individu melakukan tindakan pencegahan
tergantung pada keyakinan itu tersebut.
Suatu perilaku dipengaruhi oleh suatu hal yang menjadi isyarat bagi seseorang
untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku. (Becker dkk, 1997 dalam Conner &
Norman, 2003). Isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal maupun internal,
misalnya pesan-pesan pada media massa, nasihat atau anjuran kawan atau anggota
keluarga lain, aspek sosiodemografis misalnya tingkat pendidikan, lingkungan
tempat tinggal, pengasuhan dan pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman,
agama, suku, keadaan ekonomi, sosial, dan budaya, self-efficacy yaitu keyakinan
seseorang bahwa dia mempunyai kemampuan untuk melakukan atau menampilkan
suatu perilaku tertentu.
Health belief model juga dapat menjelaskan tentang perilaku pencegahan pada
individu. Hal ini menjelaskan mengapa terdapat individu yang mau mengambil
tindakan pencegahan, mengikuti skrining, dan mengontrol penyakit yang ada.
Perilaku responden juga dapat ditinjau dari pendekatan modelling dan operant
conditioning, sehingga perilaku berubah karena konsekuensinya (Sarafino, 1994).
Modelling dilakukan dengan cara memperhatikan perilaku orang lain (Bandura,
1969), melakukan observasi dan melakukan modelling terhadap urutan perilaku
dapat merubah perilaku hidup sehat secara efektif (Sarson dkk, 1991).

a) Media
Shore (1985) mengoperasionalkan pengaruh media sebagai kegiatan
mendengarkan, melihat, dan membaca pesan media sosial atau mempunyai
pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut. Selain itu, dalam riset
pengaruh media terdapat hubungan antara khalayak dengan isi media yang
berkaitan dengan perhatian. Kenneth E. Andersen (1972) mendefinisikan
perhatian atau atensi sebagai proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli
menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah.
Sumber informasi banyak didapatkan dari keterpaparan Media. Media
pada hakikatnya adalah alat bantu yang digunakan oleh seseorang dalam
menyampaikan bahan, materi, atau pesan. Alat bantu ini lebih sering disebut alat
peraga karena berfungsi untuk membantu dan memperagakan sesuatu di dalam
proses promosi agar pesan-pesandapat disampaikan lebih jelas dan masyarakat
dapat menerima pesan tersebut lebih jelas dan tepat pula. Media promosi ini
terdiri dari media cetak (booklet, leaflet, flyer, flif chart, poster), media
elektronik (televisi, radio, video, slide, film strip), dan media papan (billboard)
(Notoatmodjo, 2014).
b) Kebijakan
Wahab (1997) mengatakan istilah kebijakan dalam penggunaannya seringkali
saling dipertukarkan istilah tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang,
ketentuan-ketentuan, usulan dan rancangan-rancangan besar. Kebijakan yang telah
dapat dirumuskan bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya Thomas R.
Dye (1995) dikutip oleh Nugroho (2011) menguraikan proses kebijakan publik
mempunyai beberapa tahapan: (1) Identifikasi masalah kebijakan; (2) Penyusunan
agenda; (3) Perumusan kebijakan; (4) Pengesahan kebijakan; (5) Implementasi
kebijakan; dan (6) Evaluasi kebijakan. Secara prinsip terdapat dua pemilahan jenis
teknik atau model implementasi kebijakan. Pemilahan pertama adalah implemenasi
kebijakan yang berpola dari atas ke bawah (top-down) dan kebalikannya adalah dari
bawah ke atas (bottomup) dan pemilahan implementasi yang berpola paksa
(command-and-control) dan mekanisme pasar (economic incentive).
Kebijakan kesehatan merupakan aplikasi dari kebijakan publik ketika
pedoman yang ditetapkan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Kebijakan kesehatan nasional ditujukan untuk meningkatkan status
kesehatan dan kesejahteraan penduduk suatu negara (Ayuningtyas, 2014). Kebijakan
kesehatan merupakan segala tindakan pengambilan keputusan yang memengaruhi
sistem kesehatan yang dilakukan oleh aktor institusi pemerintah, organisasi, lembaga
swadaya masyarakat dan lainnya (Buse, 2005).
Kebijakan kesehatan adalah keputusan, rencana dan tindakan yang dilakukan
untuk mencapai tujuan kesehatan tertentu di dalam suatu masyarakat1 . Urgensi
kebijakan kesehatan sebagai bagian dari kebijakan publik semakin menguat
mengingat karakteristik unik yang ada pada sektor kesehatan yaitu sektor kesehatan
amat kompleks karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan kepentingan
masyarakat luas dan ketidakpastian kondisi sakit (Ayuningtyas, 2014).
c) Pengaruh orang lain
Salah satu faktor pendorong sikap dan perilaku kesehatan terbentuk adalah
referensi dari perilaku masyarakat. Referensi itu dapat berupa dari guru, tokoh
masyarakat, sosial keluarga dan orang lain. Miller dan Dollard (1941) menyebutkan
bahwa dalam proses belajar seseorang dilakukan melalui peniruan (imitation)
disebabkan insting atau unsur biologis. Hal ini disebut ”social learning ” -
”pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative behavior) terjadi karena seseorang
merasa telah memperoleh imbalan ketika meniru perilaku orang lain, dan memperoleh
hukuman ketika tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti aturan baku
yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka para individu harus dilatih, dalam
berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang
lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.

2. Pneumonia Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)


A. Pengertian
Pneumonia Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah peradangan pada
parenkim paru yang disebabkan oleh Severe acute respiratory syndrome coronavirus
2 (SARS-CoV-2). Sindrom gejala klinis yang muncul beragam, dari mulai tidak
berkomplikasi (ringan) sampai syok septik (berat) (WHO, 2019). Coronavirus
merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen.
Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronaviridae
dibagi dua subkeluarga dibedakan berdasarkan serotipe dan karakteristik genom.
Terdapat empat genus yaitu alpha coronavirus, betacoronavirus, deltacoronavirus
dan gamma coronavirus. (WHO, 2019)

B. Tingkat Keparahan Penyakit COVID-19


Virus SARS-CoV-2 merupakan Coronavirus, jenis baru yang menyebabkan
epidemi, dilaporkan pertama kali di Wuhan Tiongkok pada tanggal 31 Desember
2019.1 Analisis isolat dari saluran respirasi bawah pasien tersebut menunjukkan
penemuan Coronavirus tipe baru, yang diberi nama oleh WHO COVID-19. Pada
tanggal 11 Februari 2020, WHO memberi nama penyakitnya menjadi Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19).3 Coronavirus tipe baru ini merupakan tipe ketujuh yang
diketahui di manusia. SARS-CoV-2 diklasifikasikan pada genus betaCoronavirus.
5,18 Pada 10 Januari 2020, sekuensing pertama genom SARS-CoV-2 teridentifikasi
dengan 5 subsekuens dari sekuens genom virus dirilis. Sekuens genom dari
Coronavirus baru (SARS-CoV-2) diketahui hampir mirip dengan SARS-CoV dan
MERS-CoV. Secara pohon evolusi sama dengan SARS-CoV dan MERS-CoV tetapi
tidak tepat sama. (Yang X dkk, 2020).
Berdasarkan data yang dianalisis, para peneliti mendefinisikan tingkat
keparahan Covid-19 dengan menggunakan pedoman American Thoracic Society
untuk pneumonia yang diperoleh dari masyarakat. Para peneliti dalam makalah ini
menyimpulkan tingkat keparahan Covid-19 dikategorikan menjadi dua, yakni non-
severe (tidak parah) dan parah. Pasien non-servere ada 926 pasien dan kasus infeksi
virus corona dengan tingkat keparahan tinggi ada 173 pasien. Pasien dengan
penyakit parah, sebagian besar berusia lebih tua. Selain itu, sekitar 38,7 persen
pasien Covid-19 memiliki penyakit penyerta dengan penyakit parah. Sedangkan
pasien dengan penyakit ringan atau tidak parah ada sekitar 21 persen. Selama fase
awal wabah Covid-19, diagnosis penyakit dipersulit dengan keragaman gejala, hasil
pencitraan radiologi serta keparahan penyakit penyerta itu sendiri.
Penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) adalah infeksi saluran pernapasan
yang disebabkan oleh coronavirus yang baru muncul yang pertama dikenali muncul
di Wuhan, Tiongkok, pada bulan Desember 2019. Pengurutan genetika virus ini
mengindikasikan bahwa virus ini berjenis betacoronavirus yang terkait erat dengan
virus SARS (Team NCPERE, 2019). Meskipun sebagian besar orang yang
terjangkit COVID-19 hanya mengalami penyakit yang ringan atau tanpa
komplikasi, sekitar 14% menderita penyakit parah yang memerlukan perawatan
rumah sakit dan dukungan oksigen, dan 5% perlu dimasukkan ke unit perawatan
intensif. Dalam kasus-kasus parah, COVID-19 dapat diperburuk dengan sindrom
gawat pernapasan akut (ARDS), sepsis dan septic shock, gagal multiorgan,
termasuk gagal ginjal atau gagal jantung akut. Usia lanjut dan penyakit penyerta
dilaporkan menjadi faktor risiko kematian, dan analisis multivariabel baru
mengonfirmasi usia lanjut, skor SOFA (Sequential Organ Failure Assessment) dan
ddimer > 1 µg/L saat masuk fasilitas dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih
tinggi. Studi ini juga mengamati durasi median deteksi RNA viral selama 20,0 hari
(IQR 17,0-24,0) pada penyintas, tetapi virus COVID-19 masih dapat terdeteksi
hingga kematian pada bukan penyintas. Durasi shedding virus terlama yang diamati
pada penyintas adalah 37 hari. (Huang C, dkk, 2019).

C. Gejala Klinis
Menurut pedoman kesiapsiagaan Covid-19 yang dirilis oleh Kemenkes 2020,
berikut gejala:
a) Pasien dalam Pengawasan
Seseorang yang mengalami:
a. Demam (≥380C) atau ada riwayat demam
b. Batuk/ Pilek/ Nyeri tenggorokan,
c. Pneumonia ringan hingga berat berdasarkan gejala klinis dan/ atau gambaran
radiologis Perlu waspada pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan tubuh
(immunocompromised) karena gejala dan tanda menjadi tidak jelas. DAN
Memiliki riwayat perjalanan ke negara yang terjangkit* pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala;
Seseorang dengan:
a. demam (≥380C) atau ada riwayat demam ATAU ISPA ringan sampai berat
DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala,
b. memiliki salah satu dari paparan berikut: Riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi COVID-19; ATAU b. Bekerja atau mengunjungi fasilitas kesehatan
yang berhubungan dengan pasien konfirmasi COVID-19; ATAU c. Riwayat
perjalanan ke Provinsi Hubei, China (termasuk Kota Wuhan); ATAU d. Kontak
dengan orang yang memiliki riwayat perjalanan pada 14 hari terakhir ke
Provinsi Hubei, China (termasuk Kota Wuhan)
b) Orang Dalam Pemantauan
Seseorang yang mengalami gejala demam atau riwayat demam tanpa
pneumonia yang memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau
wilayah/negara yang terjangkit, dan tidak memiliki satu atau lebih riwayat
paparan diantaranya dan mengalami gejala demam (≥380C) atau ada riwayat
demam ATAU ISPA tanpa pneumonia DAN memiliki riwayat perjalanan ke
negara yang terjangkit* pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala. (PERSI,
2019)

D. Kontak Erat Covid-19


Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam
ruangan atau berkunjung (bercakap-cakap dalam radius 1 meter dengan pasien
dalam pengawasan, probabel atau konfirmasi). Kontak erat dikategorikan menjadi 2,
yaitu:
a. Kontak erat risiko rendah Bila kontak dengan kasus pasien dalam pengawasan
b. Kontak erat risiko tinggi Bila kontak dengan kasus konfirmasi atau probable.

Kontak erat ini termasuk Orang yang memiliki riwayat perjalanan ke Provinsi
Hubei, China (termasuk Kota Wuhan) pada 14 hari terakhir tanpa gejala.

Apabila kontak erat menunjukkan gejala demam (≥380C) atau


batuk/pilek/nyeri tenggorokan dalam 14 hari terakhir maka segera rujuk ke RS
rujukan untuk tatalaksana lebih lanjut. Petugas kesehatan melakukan pemantauan
melalui telepon, namun idealnya dengan melakukan kunjungan secara berkala
(harian). Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dengan
berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Jika pemantauan terhadap kontak
erat sudah selesai maka dapat diberikan surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas
Kesehatan.

Termasuk kontak erat adalah:

b) Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan


ruangan di tempat perawatan khusus.
c) Orang yang merawat atau menunggu pasien di ruangan
d) Orang yang tinggal serumah dengan pasien
e) Tamu yang berada dalam satu ruangan dengan pasien e. Orang yang bepergian
dalam satu alat angkut
f) Orang yang bekerja bersama dengan pasien

E. Prinsip Pencegahan Infeksi dan Strategi Pengendalian Covid-19


Mencegah atau membatasi penularan infeksi di sarana pelayanan kesehatan
memerlukan penerapan prosedur dan protokol yang disebut sebagai “pengendalian”.
Secara hirarki hal ini telah di tata sesuai dengan efektivitas PPI, yang meliputi
pengendalian administratif, pengendalian dan rekayasa lingkungan serta APD.
(Kemenkes, 2020). Berdasarkan bukti yang tersedia, COVID-19 ditularkan melalui
kontak dekat dan droplet, bukan melalui transmisi udara. Orang-orang yang paling
berisiko terinfeksi adalah mereka yang berhubungan dekat dengan pasien COVID-
19 atau yang merawat pasien COVID-19. Tindakan pencegahan dan mitigasi
merupakan kunci penerapan di pelayanan kesehatan dan masyarakat. Langkah-
langkah pencegahan yang paling efektif di masyarakat meliputi:
a. Melakukan kebersihan tangan menggunakan hand sanitizer jika tangan tidak
terlihat kotor atau cuci tangan dengan sabun jika tangan terlihat kotor;
b. Menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut;
c. Terapkan etika batuk atau bersin dengan menutup hidung dan mulut dengan
lengan atas bagian dalam atau tisu, lalu buanglah tisu ke tempat sampah;
d. Pakailah masker medis jika memiliki gejala pernapasan dan melakukan
kebersihan tangan setelah membuang masker;
e. Menjaga jarak (minimal 1 m) dari orang yang mengalami gejala gangguan
pernapasan.

Pedoman strategi pencegahan meluasnya COVID-19, maka berikut dikutip dari rilis
Kemenkes, 2020:

a. Orang dalam pemantauan wajib melakukan isolasi diri di rumah dan dilakukan
pengambilan spesimen (hari ke-1 dan hari ke-2). Kegiatan surveilans terhadap
orang dalam pemantauan dilakukan berkala untuk mengevaluasi adanya
perburukan gejala selama 14 hari. Pengambilan spesimen dilakukan oleh
petugas laboratorium setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di
fasyankes atau lokasi pemantauan. Pengiriman spesimen disertai formulir
pemeriksaan ODP/PDP. Bila hasil pemeriksaan menunjukkan positif maka
pasien di rujuk ke RS Rujukan. Begitu pula bila apabila orang dalam
pemantauan berkembang memenuhi kriteria pasien dalam pengawasan dalam
14 hari terakhir maka segera rujuk ke RS rujukan untuk tatalaksana lebih lanjut.
Petugas kesehatan dapat melakukan pemantauan melalui telepon namun
idealnya melakukan kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada
formulir pemantauan harian. Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan
suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas
kesehatan layanan primer dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat.
Orang dalam pemantauan yang sudah dinyatakan sehat.

b. Pelaku Perjalanan Dari Negara/Area Terjangkit

Pelaku perjalanan dari negara/area transmisi lokal yang tidak bergejala


wajib melakukan monitoring mandiri terhadap kemungkinan munculnya gejala
selama 14 hari sejak kepulangan. Setelah kembali dari negara/area transmisi
lokal sebaiknya mengurangi aktivitas yang tidak perlu dan menjaga jarak
kontak (≥ 1 meter) dengan orang lain. Jika dalam 14 hari timbul gejala, maka
segera datangi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dan membawa HAC.
Kegiatan surveilans terhadap pelaku perjalanan dari negara terjangkit yang
tidak berisiko dan tidak bergejala dilakukan melalui pemantauan HAC yang
diberikan di pintu masuk negara. Petugas pintu masuk negara diharapkan
melakukan notifikasi ke Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan alamat yang
tertera di HAC. Dinas Kesehatan yang menerima notifikasi dapat
meningkatkan kewaspadaan dan diharapkan melakukan komunikasi risiko
kepada pelaku perjalanan dengan memanfaatkan teknologi seperti telepon,
pesan singkat, dll. (Kemenkes, 2020)

3. Pencegahan Perilaku Covid-19


a) Pengertian Perilaku
Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Periaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus teradap
organisme dan kemudian organisme tersebut merespons (skinner dalam
Notoadmojo, 2007).
Berdasarkan batasan yang dikemukakan Skinner, maka perilaku kesehatan
adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan
sehat – sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan seperti
pelayanan kesehatan, makanan, minuman, dan lingkungan (Notoadmojo, 2003).
Berdasarkan pengertian diatas perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau
kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati maupun tidak dapat diamati yang
berkaitan dengan
Perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi sangat
luas. Benyamin Bloom (1908) dikutip Notoatmodjo (2012) seorang ahli psikologi
pendidikan membedakan adanya 3 area, wilayah, ranah atau domain perilaku, yakni
kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Perilaku
adalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya, reaksi tersebut
mempunyai bentuk bermacam-macam yang pada hakekatnya digolongkan menjadi
2 yakni dalam bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau konkrit), dan dalam bentuk
aktif (dengan tindakan konkrit). Bentuk perilaku ini dapat diamati melalui sikap dan
tindakan, namun demikian tidak berarti bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari
sikap dan tindakan saja, perilaku juga dapat bersifat potensial, yakni dalam bentuk
pegetahuan, motivasi dan persepsi.
Menurut Notoatmodjo (2011) ada 3 faktor utama yang mempengaruhi perilaku
seseorang yaitu :
a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) Faktor predisposisi merupakan
faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor predisposisi
mencakup pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi.
b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor) Faktor pemungkin adalah faktor yang
memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor
pemungkin ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat serta jarak dan keterjangkauan tempat pelayanan.
Contohnya yaitu puskesmas, posyandu, rumah sakit, klinik dan sebagainya.
c. Faktor Penguat (Reinforcing Factor) Faktor penguat adalah faktor yang
mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Faktor penguat ini mencakup
sikap dan perilaku tokoh masyarakat, sikap perilaku petugas kesehatan dan
sikap perilaku kader kesehatan (Covid-19).

b) Perilaku Pencegahan
Perilaku pencegahan adalah mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum
kejadian (Noor, 2008). Pada dasarnya ada empat tingkatan pencegahan penyakit
secara umum yaitu :
a. Pencegahan Tingkat Dasar (Primordial Prevention)
Pencegahan tingkat dasar (Primordial Prevention) adalah usaha
mencegah terjadinya risiko atau mempertahankan keadaan risiko rendah
dalam masyarakat terhadap penyakit secara umum. Pencegahan ini meliputi
usaha memelihara dan mempertahankan kebiasaan atau pola hidup yang
sudah ada dalam masyarakat yang dapat mencegah meningkatnya risiko
terhadap penyakit dengan melestarikan pola atau kebiasaan hidup sehat yang
dapat mencegah atau mengurangi tingkat risiko terhadap penyakit tertentu
atau terhadap berbagai penyakit secara umum. Upaya pencegahan ini sangat
kompleks dan tidak hanya merupakan upaya dari pihak kesehatan saja.
Sasaran pencegahan tingkat dasar ini terutama kelompok masyarakat usia
muda dan remaja, dengan tidak mengabaikan orang dewasa dan kelompok
manula.
b. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) merupakan suatu
usaha pencegahan penyakit melalui usaha mengatasi atau mengontrol faktor-
faktor risiko dengan sasaran utamanya orang sehat melalui usaha peningkatan
derajat kesehatan secara umum (promosi kesehatan) serta usaha pencegahan
khusus terhadap penyakit tertentu. Pencegahan tingkat pertama ini didasarkan
pada hubungan interaksi antara penjamu (host), penyebab pemapar (agent),
lingkungan dan proses kejadian penyakit. Sasaran pencegahan tingkat
pertama ini ditujukan kepada faktor penjamu seperti perbaikan gizi,
pemberian imunisasi, peningkatan kehidupan sosial dan psikologis individu
dan masyarakat serta peningkatan ketahanan fisik individu.
c. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang
terancam akan menderita penyakit tertentu melalui diagnosis dini serta
pemberian pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama pencegahan
tingkat kedua ini, antara lain untuk mencegah meluasnya penyakit atau
terjadinya wabah pada penyakit menular dan untuk menghentikan proses
penyakit lebih lanjut serta mencegah komplikasi. Salah satu kegiatan
pencegahan tingkat kedua adalah menemukan penderita secara aktif pada
tahap dini. Kegiatan ini meliputi pemeriksaan berkala pada kelompok
populasi tertentu, melakukan penyaringan (screening) untuk mencari
penderita secara dini, surveilans epidemiologi untuk mendapatkan keterangan
tentang proses penyakit yang ada dalam masyarakat.
d. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) merupakan pencegahan
dengan sasaran utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha
mencegah bertambah beratnya penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta
program rehabilitasi.

b) Perilaku Pencegahan terhadap Penyakit Covid-19 menurut Health Belief Model

B. Pengertian Covid-19

Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala
ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan
penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome
(MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus Disease (COVID-19)
adalah virus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus
corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan
bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari unta
ke manusia. Beberapa coronavirus yang dikenal beredar pada hewan namun belum terbukti
menginfeksi manusia.

Manifestasi klinis biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari setelah paparan. Tanda dan
gejala umum infeksi coronavirus antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam,
batuk dan sesak napas. Pada kasus yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom
pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian.

C. Proses Pemilihan Tindakan Terhadap Pencegahan Covid-19 menurut Health Belief


Model
a) Faktor modifikasi terhadap pencegahan Covid-19

b) Faktor keyakinan individu terhadap pencegahan Covid-19


c) Faktor Pendorong untuk tindakan pencegahan Covid-19

Terdapat tiga indikator dalam faktor pendorong yaitu media, kebijakan, dan pengaruh
orang lain. Media sebagai alat promosi kesehatan yang merupakan sumber informasi bagi
masyarakat untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19. Sumber informasi adalah
media yang berperan penting bagi seseorang dalam menentukan sikap dan keputusan untuk
bertindak. Dalam penelitian Taufia Tahun 2017 untuk meningkatkan minat Wanita Usia
Subur (WUS) dalam pemeriksaan IVA dilakukan dengan cara mendorong bagi WUS itu
sendiri untuk selalu berusaha mencari informasi dalam berbagai bentuk. Sumber informasi
itu dapat diperoleh dengan bebas mulai dari teman sebaya, buku-buku, film, video, bahkan
dengan mudah membuka situs-situs lewat internet.

Kebijakan yang dibuat dan disepakati mengatur segala hal tentang pencegahan Covid-19 di
masyarakat. Kebijakan bersifat memaksa agar dapat dipatuhi oleh masyarakat. Kebijakan
yang diambil oleh pemerintah dalam pencegahan Covid-19 adalah Pembatasan Sosial
Berskala Besar yang diatur dalam Permenkes nomor 9 tahun 2020. Dalam penelitian
Charles Tahun 2012 bahwa untuk mengendalikan pola hidup sehat di masyarakat, para ahli
kesehatan masyarakat, promosi kesehatan dan peneliti kesehatan perlu membuat panduan
kebijakan tingkat kota bagi para provider kesehatan akan upaya pengendalian risiko
penyakit pada populasi sasaran.

Pengaruh orang lain merupakan besarnya pengaruh tokoh masyarakat, peran keluarga, dan
teman sebaya dalam hal mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang dalam
menerapkan pola hidup bersih dan sehat untuk mencegah penularan covid-19. Dalam
penelitian Yeni Tasa Tahun 2016 bahwa pengaruh teman sebaya sangat berperan dalam
mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Kelompok teman sebaya juga
melakukan advokasi kepada keluarga agar tercipta pengaruh-pengaruh baik dalam setiap
anggota keluarga.
Daftar Pustaka

Arulkumaran, S., 2007. Malpresentation, malposition, cephalopelvic disproportion and


obstetric procedure In: Edmond, D. K., ed. Dewhurst’s Textbook of Obstetrics &
Gynaecology. USA: Blackwell Publishing, Inc, 213-226.
Bayat, F., Shojaeezadeh, D., Baikpour, M., Heshmat, R., Baikpour, M., &Hosseini, M.
(2013). The Effect of Education on Extended Health Belief Model in Type 2 Diabetic
Patients: a randomized controlled trial. Journal of diabetes & metabolic disorder, 1-6
Becker, M. H. the Health Belief Model and Personal Health Behaviour. Health education
Monograps. Vol 2 No 4.

Conner, M., & Norman, P. (2003). The Health Belief Model. Buckingham: Open University
Press
Elias, R. Z. (2010). "The Relationship Between Accounting Students' Love of Money and
Their Ethical Perception". Managerial Auditing Journal , Vol. 25 No.3

H.B. Sutopo. 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas Sebelas Maret
Press.

Tarkang EE, Zotor FB. 2015. Application of The Health Belief Model (HBM) in HIV
Prevention: A Literature Review. Central African Journal of Public Health. 1(1): 1-8.

Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Zang Li, Fan G, etc. Clinical features of patients
infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. The Lancet. 24 jan 2020.

Janz, N. K., & Becker, M. H. (1984). The Health Belief Model: a decade later. Sophe, 1-47.

Janz, N.K., & Becker, M. H. (1984). The Health Belief Model: A Dekade Later. Health
Education Quartely, Vol 11 (1), 1-47.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi


MERSCoV di Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Peraturan menteri kesehatan Republik


Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman PPI. Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi (PPI).
Mutmainah, S. D. (2006). Pengaruh Environmental Performance Terhadap Environmental
Disclosure dan Economic Performance. Simposium Nasional Akuntansi IX Padang.

Notoatmodjo S. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010

Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan Ed Revisi. Jakarta: Rineka


Cipta

Athiyah, Noor. (2008). Kebutuhan Informasi dan Perilaku Pencarian Informasi: Tesis : Program
Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi, FIB UI.

Team NCPERE. Vital surveillances: the epidemiological characteristics of an outbreak of


2019 novel coronavirus diseases (COVID-19) – China. China CDC Weekly. 2020;2(8):113-
22.

Trevino, L. K. (1992). The social effects of punishment in organizations: A justice


perspective. The Academy of Management Review, 17(4), 647–676.

Yang X, Yu Y, Xu J, Shu H, Xia J, Liu H et al. Clinical course and outcomes of critically ill patients with
SARS-CoV-2 pneumonia in Wuhan, China: a single-centered, retrospective, observational study.
Lancet Respir Med. 2020. Epub 2020/02/28. doi: 10.1016/S2213-2600(20)30079-5. PubMed PMID:
32105632.

Zhou F, Yu T, Du R, Fan G, Liu Y, Liu Z et al. Clinical course and risk factors for mortality of adult
inpatients with COVID-19 in Wuhan, China: a retrospective study. Lancet, 2020. doi: 1016/S0140-
6736(20)30566-3.

Xia W, Shao J, Guo Y, Peng X, Li Z, Hu D. Clinical and CT features in pediatric patients with COVID-19
infection: different points from adults. Pediatr Pulmonol. 2020. Epub 2020/03/07. doi:
10.1002/ppul.24718.PubMed PMID: 32134205

Anda mungkin juga menyukai