Anda di halaman 1dari 81

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Di Indonesia salah satu penerimaan negara yang sangat besar dan semakin

diandalkan dalam kepentingan pembangunan serta pembiayaan pemerintah

adalah pajak. Pajak merupakan suatu hal yang wajib untuk dipahami dengan

baik. Siapapun terutama wajib pajak pasti akan berurusan dengan pajak, namun

tidak sedikit masyarakat kesulitan dalam menetapkan pajak. Hal itu disebabkan

masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui dengan baik sehingga kurang

memahami tentang pajak.

Pajak menurut Pasal 1, Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang ketentuan

umum dan tata cara perpajakan, adalah:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh orang atau

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dimana dengan

tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

negara bagi sebesar-besarnya dalam kemakmuran rakyat.

Wajib pajak pribadi adalah setiap orang pribadi yang memiliki

penghasilan diatas pendapatan tidak kena pajak. Di Indonesia, setiap orang

wajib mendaftarkan diri dan mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP),

kecuali ditentukan dalam undang-undang.

Undang – undang tidak pernah menegaskan siapa dan bagaimana kriteria wajib

pajak (WP) yang tergolong patuh. Kriteria siapa yang digolongkan sebagai

wajib pajak patuh yang diatur dalam keputusan Menteri Keuangan, Sesuai

pasal 17 C KUP Jis KMK Nomor 544/KMK.04/2000 dimana dikatakan


persyaratan sebagai Wajib Pajak patuh ada 2 (dua) kriteria yaitu Wajib Pajak

patuh terhadap kepatuhan formal dan Wajib Pajak patuh terhadap kepatuhan

material. Selain itu, Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang ditetapkan

oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria

tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan atas kelebihan

pembayaran pajak. Kriteria Wajib Pajak Patuh tersebut antara lain sebagai

berikut:

a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak baik Pajak

Tahunan maupun Pajak Masa;

b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah

memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

Mengacu pada ketentuan yang mengatur tentang angsuran dan penundaan

pembayaran pajak, tidak semua jenis pajak yang terutang dapat diangsur.

Pajak yang dapat diangsur pembayarannya adalah: pajak yang masih harus

diabayar dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan

Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang

menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar tambah. Tidak termasuk

tunggakan pajak sehubungan dengan SPT yang diterbitkan untuk 2 (dua)

masa pajak berakhir;

c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindakan pidana dibidang

perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir yang mengakibatkan

kerugian Negara;
d. Apabila dilakukan pemeriksaan pajak, koreksi fiskal yang dilakukan oleh

pemeriksa pajak untuk setiap jenis pajak yang terutang tidak lebih dari 10%

(sepuluh persen) dilihat dari penghasilan bruto (PKP).

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP)

digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek

pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangundangan. Surat Pemberitahuan Pajak

Penghasilan (SPT PPh) adalah SPT PPh Tahunan untuk suatu tahun pajak atau

bagian tahun pajak yang disampaikan oleh WP (WP Badan dan WP OP) pada

tahun berjalan. WP Terdaftar Wajib SPT adalah WP yang terdaftar dalam

administrasi per tanggal 31 Desember tahun sebelumnya meliputi WAJIB

PAJAK Orang Pribadi (WP OP) dan WP Badan dengan status domisili/ pusat

(kode status NPWP 000) yang mempunyai kewajiban menyampaikan SPT

Tahunan PPh. Dalam hal ini tidak termasuk bendahara pemerintah, joint

operation, cabang/ lokasi, WP Pajak Penghasilan Tertentu sesuai dengan pasal

2 huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2007 tentang

Wajib Pajak Pajak Penghasilan Tertentu Yang Dikecualikan Dari Kewajiban

Menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan, dan sejenis lainnya

yang dikecualikan atau tidak mempunyai kewajiban menyampaikan SPT

Tahunan PPh.

Perkembangan era globalisasi sekarang ini ditandai oleh berbagai macam

perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Sebagai contoh yang

sangat terlihat dan kontras yaitu perkembangan di bidang teknologi yang dari
tahun ke tahub juga mengalami perkembangan pesat. Kemajuan teknologi

modern khususnya di bidang elektronika, membawa kemudahan dalam

melaksanakan tugas-tugas kearsipan. Salah satu pengaruh kemajuan teknologi

terhadap bidang kearsipan yaitu dengan adanya inovasi baru pada proses

pengarsipan yaitu arsip elektronik. Kelebihan utama dari arsip elektronik tentu

saja lebih praktis dan memiliki tingkat resiko yang lebih kecil.

SPT dapat dilakukan secara online dimana saja dan kapan saja hal itu

ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor

KEP-88/PJ/2004 tanggal 14 Mei 2004 tentang penyampaian SPT secara

elektronik. PesidenRepublik Indonesia bersama-sama dengan DJP

meluncurkan produk e-filing atau Electronic Filing System yaitu sistem

pelaporan/penyampaian pajak dengan SPT secara elektronik (e-filing) yang

dilakukan melalui sistem online yang real time dan dengan e-filing wajib pajak

dapat mengurangi beban biaya pelaporan, mengurangi waktu pelaporan SPT,

dan juga mengurangi dokumentasi yang digunakan oleh wajib pajak serta

mengurangi kesalahan dalam memasukkan data SPT. Penerapan e-filing

sebagai suatu langkah dalam modernisasi sistem perpajakan di Indonesia

diharapkan mampu memberikan layanan prima terhadap publik sehingga dapat

merubah perilakunya dalam membayar pajak, wajib pajak yang puas akan

dapat merubah perilakunya dalam membayar pajak, akhirnya tingkat kepatuhan

wajib pajak juga dapat berubah. Penelitian terhadap kepatuhan wajib pajak

dapat menggunakan variabel persepsi kebermanfaatan dan persespsi


kemudahan dilakukan berdasarkan kerangka model Technology Acceptance

Model.

Hal ini merupakan alasan penulis untuk menggali lebih dalam lagi

mengenai hal tersebut melalui praktek kerja lapangan (PKL) dengan judul

: Prosedur Pelaporan Dan Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan PPh

Orang Pribadi Dengan Menggunakan Metode e-filing Di KPP Pratama

Mataram Timur

1.2. TUJUAN DAN MANFAAT

1.2.1. Tujuan Praktik Kerja Lapangan (PKL)

Tujuan praktik Kerja lapangan (PKL), yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui prosedur pelaporan SPT tahunan PPh orang pribadi

terhadap wajip pajak menggunakan e-filing

2. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan wajip pajak terhadap penyampaian

pelaporan SPT tahunan PPh orang pribadi dalam tiga tahun terakhir dari

2016-2018

1.2.1. Manfaat praktik Kerja Lapangan (PKL)

Manfaat praktik kerja lapangan (PKL), yaitu sebagai berikut :

1. Secara akademik, merupakan salah satu syarat untuk mencapai

kebulatan studi Program Diploma III Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Mataram.
2. Secara peraktek, menambah wawasan dan mempraktekan langsung

pelajaran atau teori yang didapatkan di bangku perkuliahan.

3. Dapat menambah wawasan dan memperdalam ilmu dan pengetahuan

dalam bidang perpajakan khususnya dalam pelaporan SPT

menggunakan e-filing.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Mengenai Pajak

2.1.1. Pengertian Pajak

Berikut adalah definisi atau batasan pajak yang telah dikemukakan

oleh pakar, yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama

yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami.

Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh

masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak menurut

ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang disebutkan pada pasal 1

angka 1 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,

dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan Negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat”.

Beberapa para ahli memberikan batasan tentang pajak. Kutipan bebrapa

pengertian pajak yang dikemukakan para ahli, adalah sebagai berikut :

a. Menurut Prof.Dr. P.J.A. Andriani

“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang

terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,

dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk ,

dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran


umum berhubung dengan tugas negara menyelenggarakan pemerintahan”

(Mulyo, 2007:1).

b. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-

undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik

(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan

untuk membayar pengeluaran umum” (Resmi, 2011:1).

c. menurut N. J. Feldmann

“pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada

penguasa (menurut norma norma yang ditetapkannya secara umum),

tanpa ada kontraprestasi, dan semata mata digunakan untuk menutup

pengeluaran umum” (Resmi, 2011:1).

Berdasarkan definisi dari beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa :

1. pajak merupakan kewajban masyarakat membayar iuran kepada negara

yang telah diatul oleh undang-undang yang berlaku dimana aturan dan

pelaksanaan pajak dapat dipaksakan.

2. Pajak merupakan pengalihan kekayaan untuk membiayai public

investment.

3. Tanpa ada jasa timbal balik atau kontraprestasi secara langsung dari

negara.

4. Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan berbagai kekayaan yang

sesuai dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah untuk memeliharaha

kesejahteraan umum.
5. Pajak merupakan prestasi yang dipaksakan seopihak dan semata mata

digunakan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran umum.

2.1.2. Fungsi Pajak

Pajak mempunyai 4 fungsi yaitu :

1. Fungsi Anggaran (Budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin

negara dan melaksanakan pembangunan, pajak digunakan untuk

pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan,

dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan,

2. Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan

pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk

mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman

modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam

fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam

negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar

negeri.

3. Fungsi Stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan

kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi

dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan
mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan

pajak yang efektif dan efisien.

4. Fungsi Redistribusi Pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai

semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai

pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada

akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

2.1.3. Pengelolaan Pajak

1. Menurut golongan

a. Pajak langsung

Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat

dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung

wajib pajak yang bersangkutan.

Contoh: Pajak Penghasilan (PPh)

b. Pajak tidak langsung

Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat

dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

2. Menurut sifatnya

a. Pajak subjektif

Pajak subjektif adalah pajak yang barpangkal atau didasarkan pada

subjeknya yang selanjutnya di cari

syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan wajib pajak.


Contoh: Pajak Penghasilan (PPh)

b. Pajak objektif

Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada

objeknya, tampa memperhatikan keadaan wajib pajak.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai

atas Barang Mewah (PPnBM).

3. Menurut pemungut dan pengelolaannya

a. Pajak pusat

Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.

Contoh: PPh, PPnBM, PBB, Bea materai

b. Pajak daerah

Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.

Contoh: pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air, pajak

bahan bakar kendaraan bermotor (disebut pajak provinsi), pajak hotel,

pajak reklame, dan pajak penerangan jalan disebut (pajak kabupaten

atau kota)

2.1.4. Unsur Unsur Pokok Pajak

Berdasarkan pengertian-pengertian pajak diatas, dapat disimpulkan

bahwa pajak memiliki unsur-unsur pokok, menurut Undang-Undang No. 36

Th 2008 Perubahan ke empat atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 tentang

ketentuan umum dan tata cara Perpajakan, yaitu :


1. Iuran/pungutan dari rakyat kepada negara

Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh

pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan

pelaksanaannya.

2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang

Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta

aturan pelaksanaannya

Pajak Berfungsi sebagai budgeter atau mengisi kas negara/anggaran

negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan

pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau

melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial

(fungsi mengatur / regulatif).

3. dapat dipaksakan

4. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi

Tanpa Jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung

dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya

kontraprestasi individual oleh pemerintah

5. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara (pengeluaran umum

pemerintah)

2.1.5. Pengelompokan Pajak

Menurut Waluyo (2005) pajak dapat dikelompokan kedalam tiga kelompok,

yaitu:

1. Menurut golongannya, Pajak dapat dibagi menjadi:


a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak

dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh : Pajak Penghasilan

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat

dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai Menurut sifatnya.

c. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada

subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh : Pajak Penghasilan

d. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa

memperhatikan keadaan diri wajib pajak

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

mewah.

2. Menurut lembaga pemungutnya, Pajak dapat dibagi menjadi:

a. Pajak Pusat

yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk

membiayai rumah tangga negara.

Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan

BeaMaterai.

b. Pajak Daerah

yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk

membiayai rumah tangga daerah.Pajak daerah terdiri atas:


1) Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak

Bahan Bakar Kendaraan bermotor.

2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan

Pajak Hiburan.

2.1.6. Azas Pemungutan Pajak

Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu dipegang teguh asas-

asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Dengan

demikian, terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuannya.

Terdapat tiga azas yang digunakan untuk memungut pajak dalam pajak

penghasilan menurut Siti Kurnia Rahayu (2010) yaitu :

1. Azas Domisili

Maksudnya bahwa apabila pemerintah hendak melaksanakan

pemungutan pajak berdasarkan azas ini, maka yang menjadi dasar

pemungutannya adalah tempat tinggal si wajib pajak (domisili) dengan tidak

memandang di mana pendapatan ini berasal, apakah dari dalam atau luar

negeri. Selain itu kebangsaannya tidak mempengaruhi dalam hal

pemungutan pajak. Jadi apabila seseorang asing tinggal di negara yang

menganut azas domisili, ia pun akan terkena pajak dari negara tersebut.

2. Azas Kebangsaan

Pajak yang berdasarkan azas kebangsaan ini adalah pajak yang

dikenakan suatu negara pada orang-orang yang mempunyai kebangsaan dari

negara tersebut, dengan tidak memperdulikan di mana wajib pajak itu

bertempat tinggal (yang dilihat adalah kebangsaan wajib pajak).


3. Azas Sumber

Menurut azas sumber cara pemungutan pajaknya adalah dengan melihat

objek pajak tersebut bersumber dari mana, jadi apabila di suatu negara

terdapat sumber-sumber penghasilan, maka negara tersebutlah yang berhak

memungut pajaknya dengan tidak menghiraukan tempat di mana wajib

pajak itu berada.

2.2. Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2013:7) dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem

pemungutan, yaitu:

2.2.1. Official Assessment System

3. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang

memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan

besarnya pajak yang terutang oleh Wajib pajak.

4. Ciri-cirinya :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.

5. b. Wajib Pajak bersifat pasif

6. c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh

fiskus

2.2.2. Self Assessment System

Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri

besarnya pajak yang terutang.ciri-cirinya :


a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib

Pajak sendiri

b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan

sendiri pajak yang terutang, dan

c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

2.2.3. With Holding System

With Holding System Adalah Suatu sistem pemungutan pajak

yangmemberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan

Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang

terutang oleh Wajib Pajak.

Ciri-cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada

pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak

2.3 Pajak Penghasilan

2.3.1. Definisi Pajak Penghasilan

Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo,

Berpendapat bahwa:“Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan

terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh

dalam tahun pajak”. Sedangkan Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-undang

No.36 tahun 2008 pajak penghasilan:

“Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima

atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dariIndonesia maupun dari

luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk

apapun”.

2.3.2. Subjek Pajak Dan wajib Pajak

Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 ayat 1 tentang Pajak

Penghasilan, yang menjadi Subjek Pajak adalah :

1. Orang Pribadi

Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari

183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam

jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau Orang pribadi yang dalam suatu

tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di

Indonesia.

2. Subjek Pajak Warisan , yaitu :

Warisan yang belum di bagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang

berhak sebagai ahli waris.

3. Subjek Pajak Badan, yaitu :

Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, terdiri dari

dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk

apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,

perkumpulan, yayasan, organisasi sosial politik, atau organisasi yang

sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya.

4. Bentuk Usaha Tetap

Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang

dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat di Indonesia atau


berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua

belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan

kegiatan di Indonesia.

2.3.3. Objek Pajak

Yang menjadi objek Pajak Penghasilan berdasarkan pasal 4 ayat (1)

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah penghasilan. Penghasilan

yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh

Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,

yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak

yangbersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun.Yang termasuk dalam

pengertian penghasilan adalah :

1.Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang

diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, honorarium, komisi, bonus,

gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali

ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.

3. Laba usaha

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,

dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.


b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya

karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau

anggota.

c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

pemecahan, atau pengambilalihan usaha.

d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau

sumbangan, kecuali diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan

pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi

yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada

hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan

antara pihak-pihak yang bersangkutan.

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai

biaya.

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan

pengembalian uang.

7. Dividen, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari

perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil

usaha koperasi.

8. Royalti

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.


11.Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah

tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan pemerintah.

12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

14. Premi asuransi

15.Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang

terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

16.Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak.Penghasilan tersebut dapat di kelompokkan menjadi :

1.Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas,

seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris,

aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.

2.Penghasilan dari usaha atau kegiatan

3.Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga,

dividen, royalti, keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan,

dan sebagainya.

4.Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat

diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan di

atas, seperti:

a. Keuntungan karena pembebasan utang

b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing

c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva


d. Hadiah undian Bagi Wajib Pajak Dalam negeri, yang menjadi Objek

Pajak adalah penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun

dari luar Indonesia. Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri, yang

menjadi Objek Pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia

saja.

2.4. Pajak Penghasilan Pasal 21

2.4.1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh 21 adalah pajak atas

penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain

dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau

jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak

dalam negeri.

2.4.2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan pasal 21

Dasar hukum pajak pengahsilan pasal 21 antara lain :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

undang No. 28 Tahun 2007.

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36

Tahun 2008.

3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor


184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran

dan Penyeroran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata

Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara

Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang

Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari

Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang

Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.

5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana

telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-

57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran,

dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.

2.4.3. Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21

Dalam PER-16/PJ/2016, penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21

adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri.

Penerima Penghasilan yang dipotong pajak penghasilan pasal 21 adalah

orang pribadi yang merupakan:

1. pegawai;

2. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat

pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;

3. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh

penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa;


4. anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak

merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;

5. mantan pegawai;

6. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh

penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.

2.4.4. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21

Pemotong PPh pasal 21 bisa merupakan wajib pajak orang pribadi atau

badan, termasuk bentuk usaha tetap (BUT). Pemotong pajak penghasilan

pasal 21 terdiri dari (UU PPh):

1. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium,

tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan

pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;

2. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah,

honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan

pekerjaan, jasa, atau kegiatan;

3. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang

pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;

4. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain

sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang

melakukan pekerjaan bebas;

5. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayara

sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan.


Pihak pemotong wajib menyetorkan pajak penghasilan pasal 21 ke kantor

pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama 10 hari

setelah masa pajak berakhir. Pemotong PPh Pasal 21 juga wajib

menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 paling lama 20 hari setelah masa

pajak berakhir. (PER-16/PJ/2016).

2.4.5. Objek Pajak Penghasilan Pasal 21

PER-16/PJ/2016 menjabarkan penghasilan yang dipotong pajak penghasilan

pasal 21 sebagai berikut:

1.penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa

penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;

2.penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur

berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;

3.penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari

tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya

melewati jangka waktu 2 tahun sejak pegawai berhenti bekerja;

4.penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah

harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang

dibayarkan secara bulanan;

5.imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi,

fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun

sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan;


6.imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang

representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan

nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;

7.penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur

yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan

pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan

yang sama;

8.penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan

lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan

pegawai;

9.penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun

yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang

pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

2.4.6. Dasar Pengenaan Dan Pemotongan PPh Pasal 21

Ketentuan mengenai dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 diatur

dalam Pasal 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016

tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan

Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26

sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi (PER

16/2016).

Ketentuan dari pengenaan dan pemotongan pajak penghasilan pasal 21

sebagai berikut :
1. penghasilan kena pajak, yang berlaku bagi :

 pegawai tetap;

 penerima pensiun berkala;

 pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau

jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam satu bulan kalender

telah melebihi Rp4,5 juta; dan

 bukan pegawai yang menerima penghasilan sehubungan dengan jasa

(rinciannya dapat dilihat pada seri PPh Pasal 21 bagian ke 2), di mana

penghasilannya bersifat berkesinambungan;

2. jumlah penghasilan yang melebihi Rp450 ribu sehari, yang berlaku bagi

pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah harian,

upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan

kumulatif yang diterima dalam satu bulan kalender belum melebihi

Rp4,5 juta;

3. 50% dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai

yang menerima penghasilan sehubungan dengan jasa (rinciannya dapat

dilihat pada seri PPh Pasal 21 bagian ke 2) yang menerima penghasilan

yang tidak bersifat berkesinambungan.

4. jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain

penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 1,2, dan 3.

2.5. Surat Pemberitahuan (SPT)


2.5.1. Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT)

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah laporan pajak yang disampaikan

kepada pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan

mengenai SPT diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam undang-undang

tersebut ditegaskan, pemerintah mengharuskan seluruh wajib pajak untuk

melaporkan SPT sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Nah, dalam

ketentuan tersebut, secara garis besar kita dapat menyimpulkan fungsi dari

SPT adalah:

 Melaporkan pelunasan atau pembayaran pajak yang sudah dilakukan, baik

secara personal maupun melalui pemotongan penghasilan dari perusahaan

dalam jangka waktu satu tahun.

 Melaporkan harta benda yang dimiliki di luar penghasilan tetap dari

pekerjaan utama.

 Melaporkan penghasilan lainnya yang termasuk ke dalam kategori objek

pajak maupun bukan objek pajak.

2.5.2. Jenis Surat Pemberitahuan (SPT)

Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) dibagi menjadi 2 jenis yaitu :

2.5.2.1. Surat Pemberitahuan Tahunan

SPT Tahunan merupakan laporan pajak yang disampaikan satu

tahun sekali (tahunan) baik oleh wajib pajak badan maupun wajib

pajak pribadi, yang berhubungan dengan perhitungan dan pembayaran

pajak penghasilan, objek pajak penghasilan, dan/atau bukan objek


pajak penghasilan, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan

peraturan pajak untuk satu tahun pajak, atau bagian dari tahun pajak.

Ada beberapa surat pemberitahuan (SPT) yang di gunakan untuk

melakukan pelaporan SPT tahunan terhadap wajib pajak orang pribadi

antara lain sebagai berikut :

a. SPT 1770 S : Surat pemberitahuan yang digunakan wajib pajak

orang pribadi untuk melaporkan pajak

penghasilannya selama 1 tahun pajak dan yang

penghasilan brutonya lebih dari Rp 60.000.000 dari

suatu pemberi kerja, biasanya SPT 1770 S

digunakan oleh ASN/PNS.

b. SPT 1770 SS : Surat pemberitahuan yang digunakan wajib pajak

orang pribadi untuk melaporkan pajak

penghasilannya selama 1 tahun pajak yang

penghasilan brutonya dibawah Rp.60.000.000 dari

suatau pemberi kerja,biasannya SPT 1770 SS

digunakan oleh pensiunan dan non ASN/PNS.

c. SPT 1770 : Surat Pemberitahuan yang digunakan wajib pajak

orang pribadi untuk melaporkan pajak

penghasilannya selama 1 tahun pajak dan yang

melakukan pekerjaan bebas atau mendapatkan

penghasilan dari pekerjaan bebas tanpa

penghasilan dari suatu pemberi kerja.


d. Formulir 1721 : Adalah bukti potong yang digunakan wajib pajak

orang pribadi yg bersifat PNS/Non PNS maupun

pensiunan PNS yang diberikan oleh pemotong

pajak atau bendahara instansi atau bedahara

perusahaan terkait akan di gunakan untuk

melaporkan SPT tahunan pajak penghasilan selama

1 tahun pajak,Formulir 1721 terdiri dari 2 antara

lain 1721-A2 yang digunkan oleh PNS dan yang

1721-A1 digunakn oleh non PNS.

e. SPT 1771 :Surat Pemberitahuan yang digunakan untuk

melaporkan besarnya Pajak Penghasilan yang

terutang dalam suatu Tahun Pajak oleh Wajib

Pajak Badan

2.5.2.2. Surat Pemberitahuan Masa

Di Indonesia terdapat 10 jenis SPT Masa. SPT Masa tersebut

dinamakan berdasarkan nomor pasal, di mana aturan pajak tersebut

diatur, 10 jenis SPT Masa tersebut adalah:

1.PPh Pasal 21/26.

2.PPh Pasal 22.

3.PPh Pasal 23/26.

4.PPh Pasal 25.

5.PPh Pasa 4 ayat (2).

6.PPh Pasal 15.


7.PPN (Pajak Pertambahan Nilai).

8.PPN bagi Pemungut .

9.PPN bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang

menggunakan nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

10. Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

2.5.3. Fungsi Surat Pemberitahuan

Dalam satu tahun wajip pajak, wajib melaporkan penghasilannya

dalam bentuk surat pemberitahuan (SPT),berikut adalah fungsi dari

surat pemberitahuan :

1. Sarana untuk melaporkan.

2. Sarana mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang

sebenarnya terutang.

3. Sebagai laporan tentang pemenuhan pembayaran pajak yang telah

dilaksanakan sendiri dalam satu tahun pajak atau bagian tahun

pajak.

4. Sebagai laporan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang

pemotongan dan pemungutan pajak OP atau badan lain dalam satu

masa pajak.

5. Sebagai laporan penghasilan yang merupakan objek pajak dan

bukan objek pajak.

6. Sebagai laporan harta dan kewajiban.

2.5.4. Pembetulan Surat pemberitahuan Tahunan


Dalam penjelasan UU KUP disebutkan bahwa ciri dan corak sistem

pemungutan pajak. Self assessment merupakan suatu sistem perpajakan

yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak

untuk :

1. Berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan Nomor Pokok

Wajib Pajak (NPWP) serta dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

(Pasal 2 ayat 1);

2. Menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak

terutang.

3. Mengungkapkan ketidak benaran pengisian SPT

Bagian kepastian hukum dari  sistem self assessment adalah Surat

Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan kepada institusi Direktorat Jenderal

Pajak (DJP) dianggap benar setelah 5 (lima) tahun. Dan adanya daluwarsa

penagihan yang ditetapkan 5 (lima) tahun artinya DJP tidak memiliki hak

untuk menagih atau memungut pajak setelah lewat waktu 5 (lima) tahun

tersebut (Pasal 22 UU KUP).

Berdasarkan hal tersebut maka aspek hukum antara self assessment akan

berbeda apabila DJP menemukan penyimpangan dalam hal pelaksanaan

kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, oleh karena itu

Wajib Pajak sebaiknya melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan 

benar, lengkap, jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa hal yang

dapat dilakukan oleh Wajib Pajak terkait Surat Pemberitahuan-nya

sebagaimana dijelaskan di atas yaitu :


1. Pembetulan SPT Sebelum Diperiksa

Dalam pasal 8 ayat (1) UU KUP disebutkan “Wajib Pajak dengan

kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah

disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat

Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.”

Adakalanya Wajib Pajak baru menyadari bahwa terdapat kekeliruan

dalam SPT-nya maka terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat

Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak

untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat

Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.

Yang dimaksud dengan “mulai melakukan tindakan pemeriksaan” adalah

pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada

Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah

dewasa dari Wajib Pajak.

Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan atas

kemauan sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang

terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah

dari jumlah semula. Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat

pembetulan tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar

2% (dua persen) per bulan.

Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut,

dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat

Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian


dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Yang dimaksud dengan “1

(satu) bulan” adalah Jumlah hari dalam bulan kalender yang

bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai dengan 21

Juli, sedangkan yang dimaksud dengan “bagian dari bulan” adalah

jumlah hari yang tidak mencapai 1 (satu) bulan penuh, misalnya 22 Juni

sampai dengan 5 Juli.

2. Pembetulan SPT dan Dalam Proses Pemeriksaan

Dalam pasal 8 ayat (4) UU KUP menyatakan “Walaupun Direktur

Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur

Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak

dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri

tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah

disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat

mengakibatkan: 

1. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih

kecil;

2. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih

besar;

3. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau

4. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses

pemeriksaan tetap dilanjutkan.

Adakalanya Wajib Pajak menyadari bahwa terdapat data yang belum

dilaporkan  dalam SPT yang sedang diperiksa oleh Pemeriksa Pajak,


Wajib Pajak masih mempunyai kesempatan dengan kemauan sendiri

mengungkapkan ketidakbenaran tersebut sesuai Pasal 8 ayat 4 UU KUP

tersebut di atas. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat

Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus

mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui

jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan

kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap

dilanjutkan sampai selesai.

Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari

pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa

kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang

dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri

dimaksud disampaikan.

3. Pembetulan SPT Setelah Pemeriksaan

Dalam pasal 8 ayat (3) UU KUP menyatakan “Walaupun telah

dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan

penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib

Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran

perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila

Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran

perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran

jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi


berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak

yang kurang dibayar.”

Tatkala Wajib Pajak telah dilakukan pemeriksaan atau sedang

dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan

sehubungan Wajib Pajak belum mau mengungkapkan ketidakbenaran

pengisian SPT pada waktu pemeriksaan, Wajib Pajak masih diberi

kesempatan untuk menggunakan haknya mengungkapkan ketidakbenaran

tersebut disertai sanksi administrasi sesuai Pasal 8 ayat (3) UU KUP.

Namun apabila kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran

pengisian SPT ini tetap tidak digunakan oleh Wajib Pajak sedangkan data

sudah ditemukan dan dimiliki oleh DJP maka akan menerima

konsekuensi hukum sebagai berikut :

1. Bila Wajib Pajak belum melakukan pengungkapan ketidakbenaran

pengisian SPT dan data baru (novum) ditemukan oleh DJP maka akan

dilakukan pemeriksaan ulang sehingga terbit Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) sesuai Pasal 15 ayat (1) UU

KUP. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi

berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah

kekurangan pajak tersebut.

2. Bila Wajib Pajak belum melakukan pengungkapan ketidakbenaran

pengisian SPT, dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan,

maka sanksi yang akan diterima oleh Wajib Pajak minimal karena
unsur kealpaan pertama kali adalah sesuai Pasal 13A UU KUP. Wajib

Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat

Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya

tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang

isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada

pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan

tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak

tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang

terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200%

(dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang

ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

3. Bila ketidakbenaran pengisian SPT tersebut merupakan tindak pidana

karena unsur kealpaan yang kedua kali, maka akan dilakukan tindakan

penyidikan yang akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 38 UU

KUP. Setiap orang yang karena kealpaannya: sehingga dapat

menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan

tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1

(satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan

paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau

kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan

atau paling lama 1 (satu) tahun.


4. Apabila ketidakbenaran pengisian SPT tersebut merupakan tindak

pidana karena unsur kesengajaan termasuk konsekuensi atas tidak

mendaftarkan NPWP dan/atau PKP, maka akan dilakukan tindakan

penyidikan yang akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 39 UU

KUP. Setiap orang yang dengan sengaja sehingga dapat menimbulkan

kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan

denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau

kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak

terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Memang masih terdapat pembetulan sebagaimana dinyatakan dalam

pasal 8 ayat (6) UU KUP yang menyatakan  “Wajib Pajak dapat

membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan,

dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan

Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan

Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak

sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi

fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan

yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah

menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat

Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan

Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan

tindakan pemeriksaan.“
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat

Jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan

pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan

Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan

Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak

sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi

fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan

Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak akan memperhitungkannya

dalam menetapkan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

2.5.5. Batas Waktu Pelaporan SPT

SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi :

Adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak

menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan adalah WP

OP yang dalam satu tahun Pajak menerima atau memperoleh

penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak

(PTKP),Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT

Tahunan PPh harus dibayar lunas sebelum SPT PPh disampaikan.

SPT Tahunan wajib pajak Badan :

Batas waktu penyampaian SPT nya paling lama empat bulan setelah

akhir Tahun Pajak. Dalam wajib pajak badan, yang dimaksud Tahun

Pajak adalah jangka waktu satu tahun kalender. Kecuali, bila Wajib

Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun


kalender. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan

SPT Tahunan PPh harus dibayar lunas sebelum SPT PPh disampaikan.

SPT Masa :

Batas waktu penyampaian SPT nya adalah paling lama 20 hari setelah

akhir Tahun Pajak. Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo

pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau

Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas)

hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa

Pajak.Tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran pajak, dan

pelaporan pajak untuk SPT Masa, yaitu :

1. Jika tanggal jatuh tempo pembayaran pajak bertepatan dengan hari libur

termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran pajak

dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

2. Jika tanggal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk

hari sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari

kerja berikutnya.

3. Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan

Pemilihan umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama

secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

2.5.5.1. Tabel Batas waktu Pelaporan SPT

Tabel 1 : SPT Tahunan PPh orang pribadi atau badan

Jenis SPT Batas waktu penyampaian SPT


SPT Tahunan wajib pajak orang Paling lama 3 Bulan setelah akhir Tahun Pajak  (31
pribadi Maret)
Paling lama 4 Bulan setelah akhir Tahun Pajak (30
SPT Tahunan Wajib Pajak Badan April)

Tabel 2 : SPT Masa

Jenis SPT batas waktu Penyampaian SPT


Paling lama 20 (dua puluh) hari setelah
PPh Pasal 4 Ayat 2 
Masa Pajak berakhir
Paling lama 20 (dua puluh) hari setelah
PPh Pasal 15
Masa Pajak berakhir
Paling lama 20 (dua puluh) hari setelah
PPh Pasal 21/26
Masa Pajak berakhir
Paling lama 20 (dua puluh) hari setelah
PPh Pasal 23/26
Masa Pajak berakhir
Paling lama 20 (dua puluh) hari setelah
PPh Pasal 25
Masa Pajak berakhir
Paling lama akhir bulan berikutnya setelah
PPN & PPnBM
Masa Pajak berakhir
Paling lama 20 (dua puluh) hari setelah
PPh Pasal 22
Masa Pajak berakhir
PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM
atas impor yang dipungut oleh Direktorat Hari kerja terakhir minggu berikutnya
Jenderal Bea dan Cukai
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Paling lama 14 (empat belas) hari setelah
Bendahara Masa Pajak berakhir

2.6. Nomor Pokok Wajib Pajak

Nomor pokok wajib pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada

wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan

sebagai tanda pengenal diri atau identitass wajib pajak dalam melakukan hak

dan kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, kepada setiap wajib pajak

hanya diberikan 1 NPWP. Selain itu,NPWP juga dipergunakan untuk menjaga


ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrai

perpajakan,NPWP terdiri dari 15 digit angka sebagai kode unik. Kode unik

inilah yang nantinya menjamin data perpajakan wajib pajak tidak tertukar.

Lalu arti dari kode seri NPWP adalah sebagai Berikut penjelasannya sesuai

struktur penomoran NPWP yang diterapkan oleh Ditjen Pajak.

Contoh NPWP : 89.066.463.4-911.000

9 digit pertama pada NPWP merupakan kode unik dari identitas Wajib Pajak,3

digit selanjutnya adalah kode unik dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Jika

terdaftar sebagai Wajib Pajak baru, kode tersebut merupakan kode tempat

Wajib Pajak melakukan pendaftaran. Sedangkan bila statusnya sebagai Wajib

Pajak lama, maka itu adalah kode tempat wajib pajak saat ini, 3 digit terakhir

menandakan status Wajib Pajak. 000 berarti pusat atau tunggal. 00x (001,002)

berarti cabang dengan nomor terakhir menunjukkan urutan cabang.

Menurut jenisnya, NPWP dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. NPWP Pribadi, diberikan kepada setiap orang yang mempunyai penghasilan

di Indonesia.

b. NPWP Badan, diberikan kepada perusahaan atau badan usaha yang

mempunyai penghasilan di Indonesia.

2.6.1. Pendaftaran NPWP

2.6.1.1. Pendaftaran NPWP Orang Pribadi

1. Untuk Wajib Pajak orang pribadi, yang tidak menjalankan usaha

atau pekerjaan bebas berupa:


1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi Warga Negara

Indonesia; atau

2. fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS)

atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), bagi Warga Negara

Asing.

2. Untuk Wajib Pajak orang pribadi, yang menjalankan usaha atau

pekerjaan bebas berupa:

1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi Warga Negara

Indonesia, atau fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal

Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), bagi

Warga Negara Asing, dan fotokopi dokumen izin kegiatan usaha

yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang atau surat

keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari

Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau

Kepala Desa atau lembar tagihan listrik dari Perusahaan Listrik/

bukti pembayaran listrik; atau

2. fotokopi e-KTP bagi Warga Negara Indonesia dan surat

pernyataan di atas meterai dari Wajib Pajak orang pribadi yang

menyatakan bahwa yang bersangkutan benar-benar menjalankan

usaha atau pekerjaan bebas.

3. Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi adalah wanita kawin yang

dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis

berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, dan


wanita kawin yang memilih melaksanakan hak dan kewajiban

perpajakannya secara terpisah, permohonan juga harus dilampiri

dengan:

1. fotokopi Kartu NPWP suami;

2. fotokopi Kartu Keluarga; dan

3. fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau

surat pernyataan menghendaki melaksanakan hak dan

memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan

kewajiban perpajakan suami.

2.6.1.2. Pendaftaran NPWP Badan

1. Untuk Wajib Pajak badan yang memiliki kewajiban perpajakan

sebagai pembayar pajak, pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk

bentuk usaha tetap dan kontraktor dan/atau operator di bidang

usaha hulu minyak dan gas bumi yang berorientasi pada

profit (profit oriented) berupa :

1. fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan

bagi Wajib Pajak badan dalam negeri, atau surat keterangan

penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;

2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak salah satu pengurus,

atau fotokopi paspor dan surat keterangan tempat tinggal dari

Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau


Kepala Desa dalam hal penanggung jawab adalah Warga Negara

Asing; dan

3. fotokopi dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan

oleh instansi yang berwenang atau surat keterangan tempat

kegiatan usaha dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-

kurangnya Lurah atau Kepala Desa atau lembar tagihan listrik

dari Perusahaan Listrik/bukti pembayaran listrik.

2. untuk Wajib Pajak badan yang tidak berorientasi pada profit (non

profit oriented) dokumen yang dipersyaratkan hanya

berupa: fotokopi e-KTP salah satu pengurus badan atau organisasi;

dan surat keterangan domisili dari pengurus Rukun Tetangga

(RT)/Rukun Warga (RW).

3. Wajib Pajak badan yang hanya memiliki kewajiban perpajakan

sebagai pemotong dan/atau pemungut pajaksesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk  bentuk kerja

sama operasi (Joint Operation), berupa :

1. fotokopi Perjanjian Kerjasama/Akte Pendirian sebagai bentuk

kerja sama operasi (Joint Operation);

2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak masing-masing

anggota bentuk kerja sama operasi (Joint Operation) yang

diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

3. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi salah

satu pengurus perusahaan anggota bentuk kerja sama operasi


(Joint Operation), atau fotokopi paspor dan surat keterangan

tempat tinggal dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-

kurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal penanggung

jawab adalah Warga Negara Asing; dan

4. fotokopi dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan

oleh instansi yang berwenang atau surat keterangan tempat

kegiatan usaha dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-

kurangnya Lurah atau Kepala Desa. :

2.6.2. Pengusaha Kena Pajak (PKP)

1. Dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi

berwenang.

Surat keterangan tempat kegiatan Pengusaha Kena Pajak adalah

Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau

penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-

Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Syarat untuk mengajukan diri sebagai PKP :

Untuk mendapat pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dari Direktorat

Jenderal Pajak, seorang pengusaha / bisnis / perusahaan harus memenuhi

syarat:

1. Memiliki pendapatan bruto (omzet) dalam 1 tahun buku mencapai Rp

4,8 miliar. Tidak termasuk pengusaha / bisnis / perusahaan dengan

pendapatan bruto kurang dari Rp 4,8 miliar, kecuali pengusaha

tersebut memilih dikukuhkan jadi Pengusaha Kena Pajak.


2. Melewati proses survey yang dilakukan KPP atau KP2KP tempat

pendaftaran

3. Melengkapi dokumen dan syarat pengajuan PKP atau pengukuhan

PKP.

Berikut ini dokumen-dokumen yang harus diajukan ke KPP untuk

memenuhi syarat pengajuan PKP dan mendapat pengukuhan PKP:

A. Wajib Pajak Orang Pribadi

1. Fotokopi KTP bagi WNI atau fotokopi KITAS/KITAP bagi

WNA.

2. Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi

berwenang.

3. Surat keterangan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari pejabat

Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa.

B. Wajib Pajak Badan

2. Fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian atau perubahan

bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri atau surat keterangan

penunjukan dari kantor pusat bagi Bentuk Usaha Tetap (BUT),

yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.

3. Fotokopi Kartu NPWP salah satu pengurus atau fotokopi paspor

dan surat keterangan tempat tinggal dari pejabat pemerintah

daerah sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa jika

penanggung jawab perusahaan adalah WNA.


4. usaha yang diterbitkan dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-

kurangnya Lurah atau Kepala Desa.

Permohonan menjadi Pengusaha Kena Pajak tersebut diajukan ke

KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal,

tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha wajib pajak.

2.7. E-filing / Elektronik Filing Sistem

2.7.1. Pengertian E-filing

E-Filing adalah sebuah layanan pengiriman atau penyampaian SPT

secara elektronik baik untuk orang pribadi maupun badan (perusahaan,

organisasi) ke DJP melalui ASP (Application Service Provider) atau

Penyedia Jasa Aplikasi dengan memanfaatkan jalur komunikasi internet

secara online dan real time, sehingga wajib pajak tidak perlu lagi melakukan

pencetakan semua formulir laporan dan menunggu tanda terima secara

manual.

2.7.1. Persyaratan Pelaporan Menggunakan E-filing

Jika sudah memiliki persyaratan yang dibutuhkan, maka tidak sulit

untuk melakukan pelaporan SPT online dengan E-Filing. Adapun

persyaratan untuk menggunakan E-Filing pajak adalah :

1. Kode EFIN (Electronic Filing Identification Number)

2. SPT atau bukti potong 1721-A2 / A1 yang dikeluarkan oleh pemeberi

kerja atau bendaharawan pemerintah baik dalam bentuk lembaran atau

elektro nik (disampaikan lewat email)

3. Sudah terdaftar di OlinePajak


2.7.2. Manfaat penggunaan E-filing

e-Filing dan manfaatnya bagi Wajib Pajak kerap kali belum banyak

dipahami oleh masyarakat awam. Dengan hadirnya sistem lapor SPT secara

online/e-filing, sebenarnya dapat memberikan berbagai manfaat bagi Wajib

Pajak dan proses penyampaian SPT itu sendiri, diantaranya adalah:

1. Dapat mempermudah proses perekaman data SPT di dalam basis data

DJP. Jika sebelumnya perekaman data dilakukan secara manual dan

menghabiskan waktu yang banyak, kini dengan sistem lapor pajak online

tentu saja dapat menghemat waktu.

2. Dapat mengurangi pertemuan langsung Wajib Pajak dengan petugas

pajak. Wajib Pajak sudah tidak harus selalu datang ke KPP, apalagi bagi

Wajib Pajak yang tinggal di kota besar membutuhkan waktu lebih

banyak di jalan karena macet.

3. Selain itu, e-Filing dapat mengurangi dampak antrian dan volume

pekerjaan proses penerimaan SPT. Adanya lapor SPT online ini

bertujuan agar mengurangi jumlah Wajib Pajak yang datang ke KPP

sehingga tidak ada lagi antrian yang panjang.

4. Dapat mengurangi volume berkas fisik atau kertas dokumen perpajakan.

Pemanfaatan sistem online tentu saja akan mengurangi penggunaan

kertas atau dokumen yang perlu dibawa oleh Wajib Pajak. Selain itu juga

dapat mengurangi risiko hilang dan rusak dokumen saat disimpan.


2.7.3. Dasar Hukum E-filing

1. PMK – 181/PMK.03/2007 tentang bentuk dan isi SPT, serta tata cara

pengambilan, pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT.

2. PER – 1/PJ/2014 tanggal 6 Januari 2014 tentang tata cara penyampaian

SPT tahunan bagi Wajib Pajak OP yang menggunakan formulit 1770S

dan 1770SS yaitu melalui e-filing melalui website Derektorat Jendral

Pajak (DJP).

3. PER-47/PJ/2008 tengtang tata cara penyampaian surat pemberitahuan

dan penyampaian pemberitahuan perpanjangan surat pemberitahuan

secara elektronik (e-filing) melalui perusahaan penyedian jasa aplikasi

(ASP).
BAB III

KEGIATAN SELAMA PKL

3.1. Kegiatan Selama PKL

Penulis melakukan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) kurang lebih 1

bulan mulai dari tanggal 10 februari 2020 sampai dengan tanggal 16 maret 2020

pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Mataram Timur ,yang jadwal

sebenarnya Praktik Kerja Lapangan berakhir tanggal 31 maret 2020 dan di

lakukan penarikan PKL oleh pihak kampus dikarekan terjadinya wabah virus

corona (Covid-19) oleh karena itu kegiatan pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan

terhenti di tengah jalan,Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Mataram

Timur waktu kerja dimulai hari senin sampai dengan juma’at ( 5 hari kerja )

dimulai dari jam 7 : 30 WITA sampai dengan jam 17 : 00 WITA. Adapun

rangkaian kegiatan yang dilakukan penulis saat menjalankan Praktik Kerja

Lapangan (PKL) pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Mataram Timur

sebagai berikut :
3.2. Pelaksanaan PKL

Tabel 3 : Kegiatan Selama PKL

Minggu Tanggal Kegiatan


Perkenalan dengan pegawai maupun staf
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Mataram timur serta di berikan pengarahan
selama proses Praktik Kerja Lapangan
yang berkaitan dengan sistem kerja dan
(10 Februari 2020)
jam kerja,dan saya langsung turun ke
Kantor Bupati Lmbok Barat disana sudah
di sediakan pojok pajak untuk melaporkan
PERTAMA
SPT ASN di lingkunagan kantor Bupati
Lombok barat
Pada tanggal 11 Februari saya melakukan
pelaporan SPT menggunkan e-filing pada
(11 Februari -14 aula tempat pelaporan SPT diKantor
februari 2020) Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Mataram
Timur,begitu juga hari selanjutnya sampai
dengan minggu pertama selesai
Sama seperti minggu lalu saya melayani
Wajib Pajak dengan melaporkan SPT
menggunakan e-filing dan begitu juga
dengan hari selanjutnya sampai denga
(17 Februari - 21
KEDUA tanggal 21 februari masih melayani Wajib
Februari 2020)
Pajak untuk melaporkan SPT sesekali saya
melaporkan SPT menggunakan e-form
pada Wajib Pajak yang melakukan usaha
bebas
KETIGA (24 Februari - 26 Pada tanggal 24 Februari saya turun ke
Februari 2020) pojok pajak pada Kantor Bupati Lombok
Barat untuk melayani pelaporan SPT pada
ASN di lingkungan Pemerintah Daerah
Lombok Barat dan dihari selanjutnya saya
kembali melayani Wajib Pajak diaula
Pelaporan SPT pada KPP Pratama
Mataram Timur dan pada tangga 26
Februari saya turun kepojok pajak lagi
diKantor Bupati Lombok Barat untuk
melayani dan melaporkan SPT di
lingkungan Pemerintah Daerah Lombok
Barat
Melakukan pelayanan pelaporan SPT pada
(27 Februari - 28
Wajib Pajak diaula KPP Pratama Mataram
Februari 2020)
timur sampai dengan tanggal 28 februari

Masih melakukan pelayanan pelaporan


SPT kepada wajib pajak menggunakan e-
(2 Maret - 6 Maret filing sampai dengan tanggal 6 maret,dan
KEEMPAT
2020) pada minggu keempat saya tidak turun ke
pojok pajak akan tetapi melakukan pelayan
diKPP Pratama Mataram Timur

Melakukan pelayan kepada Wajib pajak


(9 Maret - 10
untuk melaporakan SPT menggunakan e-
Maret 2020)
filing dan sesekali menggunakan e-form
Turun lapangan dan melakukan
penyuluhan diUPTD Lembar terkait
pelaporan SPT menggunkan e-filing agar
KELIMA (11 Maret 2020 )
wajib pajak tidak perlu bertemu langsung
dengan petugas pajak dn mengurangi
antrian di KPP
Melakukan pelayanan pelaporan SPT pada
(12 Maret - 13
Wajib Pajak seperti biasanya di aula KPP
Maret 2020)
Pratama Mataram Timur
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Gambaran Umum Objek PKL

4.1.1.1. Sejarah KPP Pratama Mataram Timur

Pada tahun 1963, bangunan KPP Pratama Mataram Timur yang

beralamat di jalan pejanggik no 60 Mataram merupakan kantor

IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah). Kemudian tanggal 27

Desember 1985 saat Undang-undang RI No. 12 tahun 1985 tentang

Pajak Bumi dan Bangunan berlaku, Kantor IPEDA berubah nama

menjadi Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Mataram (KP-

PBB) dan KP-PBB Mataram diresmikan pembangunannya pada

tanggal 13 Juli 2000 oleh Bapak Gubernur KDH Tk I NTB. Saat

terjadinya modernisasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang

berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-

195/PJ./2008 tanggal 27 Nopember 2008 tentang Penerapan

Organisasi Tata Kerja serta Saat Mulai Beroperasinya Kantor Wilayah

DJP Nusa Tenggara serta Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan Kantor

Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan di lingkungan

Kantor Wilayah DJP Nusa Tenggara, Bangunan KP-PBB Mataram

dialihfungsikan menjadi KPP Pratama Mataram Timur dan secara

resmi beroperasi pada tanggal 1 Desember 2008. Dengan Wilayah

Kerja Kecamatan Cakranegara dan Kecamatan Sandubaya. Pada


Tanggal 6 Oktober 2015 KPP Pratama Mataram Timur termasuk salah

satu dari KPP Pratama yang mengalami penataan ulang wilayah kerja.

Wilayah Kerja KPP Pratama Mataram Timur yang semula hanya

terdiri dari dua kecamatan yaitu Cakranegara dan Sandubaya berubah

menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Lombok Barat dan

Kabupaten Lombok Utara.

4.1.1.2. Tugas Dan Fungsi KPP Pratama Mataram Timur

Kantor Pelayanan Pajak mempunyai tugas melaksanakan

penyuluhan, pelayanan dan pengawasan Wajib Pajak di bidang Pajak

Penghasilan, Pajak Petambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang

Mewah, Pajak Tidak Langsung Lainnya, Pajak Bumi dan Bangunan

dalam wilayah wewenangnya berdasarkan peraturan perundang –

undangan.

KPP Pratama Mataram Timur menyelenggarakan fungsi sebagai

berikut:

1. Pengumpulan, pencaraian dan pengolahan data, pengamatan

potensi perpajakan, penyajian informasi perpajakan, pendataan

objek dan subjek pajak, serta penilaian objek Pajak Bumi dan

Bangunan;

2. Penetapan dan penerbitan produk hokum perpajakan;

3. Pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan

dan pengolahan Surat Pemberitahuan, serta penerimaan surat

lainnya;
4. Penyuluhan perpajakan;

5. Pelayanan perpajakan;

6. Pelaksanaan pendaftaran Wajib Pajak;

7. Pelaksanaan ekstensifikasi;

8. Penatausahaan piutang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak;

9. Pelaksanaan pemeriksaan pajak;

10.Pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak;

11.Pelaksanaan konsultasi perpajakan;

12.Pembetulan ketetapan pajak;

13.Pengurangan Pajak Bumi dan Banguan; dan

14.Pelaksaan administrasi kantor.

4.1.1.3. Visi Dan Misi KPP Pratama Mataram Timur

Setiap Kantor Pelayanan Perpajakan di seluruh Indonesia pasti

memiliki Visi Dan Misi masing – masing, KPP Pratama Mataram

Timur juga memiliki Visi dan Misinya sebagai berikut :

Visi :

Menjadi yang terbaik dalam memberikan pelayanan dengan

mengutamakan profesionalsime untuk mewujudkan masyarakat

Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara yang

berbudaya dan sadar pajak


Misi :

1. Mengamankan target penerimaan pajak;

2. Memberikan Pelayanan Pajak yang Cepat, Akurat, Komunikatif,

Aktif, dan Prima.

3. Menciptakan Tata Kelola Pemerintah yang baik dengan

meningkatkan Sumber Daya Manusia yang Amanah dalama

menjalankan tugas.
4.1.2. Struktur Organisasi Dan Uraian Jabatan

4.1.2.1. Struktur Organisasi

Gambar 1 : Bagan Struktur Organisasi KPP Pratama Mataram Timur

KEPALA KANTOR
PELAYANAN PAJAK
PRATAMA MATARAM
TIMUR

KELOMPOK JABATAN
FUNGSIONAL

KASUBAG KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI


UMUM,DAN PDI PELAYANAN PEMERIKSAAN
KEPATUHAN
INTERNAL

KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI KEPAALA SEKSI KEPALA SEKSI


EKSTENSIFIKASI PENAGIHAN WASKON I WASKON II
DAN PENYULUHAN

KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI


WASKON III WASKON IV
4.1.2.2. Uraian Jabatan

Tugas dan tanggung jawab dari kepala kantor hingga pegawai dan

staff dilingkungan KPP Pratama Mataram Timur dalam struktur

organisasi adalah sebagai berikut :

1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama berwenang :

a) Mengkoordinasi penyusunan neraca kerja KPP sebagai bahan

penyusunan strategi Kantor Wilayah.

b) Mengkoordinasi penyusunan neraca pengaman pajak

berdasarkan potensi pajak, perkembangan kegiatan ekonomi

keuangan dan realisasi penerimaan tahun lalu.

c) Mengkoordinasi tindak lanjut Nota Kesepakatan (MoU) sesuai

arahan kapala kantor.

d) Mengkoordinasi pelaksanaan pencairan data yang sumber

datanya strategis dan potensial dalam rangka

intensifikasi/ekstensifikasi perpajakan.

e) Mengkoordinasi pengolahan data yang sumber datanya strategis

dan potensial dalam rangka intensifikasi/ ekstensifikasi

perpajakan.

f) Mengkoordinasi pembuatan risalah pencarian dasar pengenaan

pemotongan atau pemungutan pajak atas permintaan Wajib

Pajak berdasarkan hasil perhitungan ketetapan pajak.

g) Mengkoordinasi pengolahan data guna menyajikan informasi

perpajakan.
h) Mengkoordinasi pemantuan pelaporan dan pembayaran masa

dan tahunan PPh dan BPHTB untuk mengetahui tingkat

kepatuhan Wajib Pajak serta mengendalikan pelaksanan

pemerikasaan pajak.

2. Sub Bagian Umum

Bertugas mengkoordinasi urusan kepegawian, keuangan, tata usaha

serta pengendalian internal dan melengkapi sarana prasarana dalam

menunjang urusan kantor agar pencapian dalam kantor dapat

terlaksana dengan baik dalam memberikan pelayanan yang optimal.

3. Kepala Seksi Pelayanan

Bertugas melakukan pengadministrasian dokumen dan berkas

perpajakan, penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan

(SPT), serta melakukan registrasi pajak bagi Wajib Pajak dan

kerjasama perpajakan sesaui dengan ketentuan yang berlaku.

4. Kepala Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI)

Seksi Pengolahan Data dan Informasi mempunyai tugas sebagai

pengolah, pengumpulan, perekaman dan penyajian data perpajakan,

dukungan teknisi komputer serta pemantuan sistem dan aplikasi

perpajakan.

5. Kepala Seksi pengihan

Seksi pengihan bertugas melakukan penagihan aktif terhadap

Wajib Pajak yang memiliki piutang pajak, serta penatausahaan

administrasi piutang pajak seperti, penundaan dan angsuran


tunggakan pajak, usulan penghapusan piutang pajak serta

penyimpanan dokumen – dokumen penagihan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

6. Kepala Seksi Pemeriksaan

Bertugas mengkordinasikan dan mengolah admistrasi

pemerikasaan seperti, penyusunan rencana pemeriksaan,

pengawasan terhadap aturan pemerikasaan serta menerbitkan surat

perintah pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang akan diperiksa.

7. Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan Perpajakan

Bertugas melakukan pengembangan wilayah terhadap potensi –

potensi perpajakan, membimbing Wajib Pajak baru, serta

memberikan sosialisasi dan penyuluhan terhadap Wajib Pajak agar

Wajib Pajak tidak mendapat kesulitan pada saat Wajib Pajak

mengurus pajaknya.

8. Seksi Pengawasan dan Konsultasi

Bertugas melakukan kordinasi dan pengawasan kepatuhan

kewajiban perpajakan, membimbing dan membina Wajib Pajak

dalam melakukan teknisi perpajakan, konsultasi terkait mencari

solusi dalam perpajakan serta melakukan evaluasi berdasarkan

aturan yang berlaku.

9. Seksi Fungsional Pemeriksaan

Bertugas menerapkan law enforencement berupa pemeriksaan

terhadap Wajib Pajak yang dalam melakukan kewajiban perpajakan


4.2. Pemabahasan

4.2.1. Kasus Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi

Dalam kasus ini ada seorang wajib pajak X yang belum melaporkan

SPT Tahunan sebelumnya wajib pajak X telah menerima surat imbauan

untuk pelaporan SPT Tahunan dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama

Mataram Timur,karena wajib pajak X masih belum menyampaikan SPT

Tahunannya surat teguran pun turun ke wajib pajak X tersebut dan harus

melaporkan SPTnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal

surat teguran ini diterbitkan oleh KPP Pratama Mataram Timur,dan karena

wajib pajak X belum menyampaikan SPT Surat Tagihan Pajak (STP) pun

turun dan mendapatkan denda sebersar Rp.100.000 dan harus segera

melunasi utang pajak selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari dari surat

tagihan pajak diterbitkan,untuk mencegah penagihan pajak menggunakan

surat paksa maka wajib pajak X harus segera melunasi utang pajaknya.
4.2.2. Tahapan Dari Kasus Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan

4.2.2.1. Surat imabauan

Surart Imabauan diterbitkan Kantor Pelayanan Pajak guna

meningkatkan kepatuhan dalam melaporkan SPT Tahunan dan surat

imbauan terbit dengan dugaan belum terpenuhinya kewajiban

perpajakan terhadap wajib pajak X


4.2.2.2. Surat Teguran Pajak / Surat tagihan Pajak

Surat Teguran terbit dikarenakan wajib pajak X belum

menyampaikan SPT Tahunan yang sebelumnya KPP Pratama

Mataram Timur telah menerbitkan surat imbauan kepada wajib pajak

X agar melaksanakan pelaporan SPT Tahunan.


Dibawah ini adalah contoh surat teguran / surat tagihan pajak karena

wajib pajak X masih belum melakukan pelaporan SPT oleh karena itu

KPP Pratama Mataram Timur memberikan utang pajak atau denda

kepada wajib pajak X sebesar Rp.100.000.


4.2.2.3. Pencetakan Kode Billing

Pencetakan kode biling untuk membayar utang pajak karna

penunggakan pelaporan SPT yang setelah itu bisa di cetak dan di

bayar pada kantor pos atau bank persepsi,dan setelah pembayaran bisa

segera wajib pajak X melaporkan pada seksi penagihan pada KPP

Pratama Mataram Timur


4.2.3. Prosedur Pelaporan SPT Tahunan Menggunakan e-filing

4.2.3.1. Pengajuan Permohonan E-FIN

EFIN adalah nomor identitas yang diterbitkan oleh Direktorat

Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak yang melakukan Transaksi

Elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak. EFIN digunakan sebagai

salah satu alat autentikasi pengguna Layanan Pajak Online. Oleh

karena itu, EFIN bersifat rahasia.

Syarat-syarat untuk mengaktivasi e-FIN yaitu :

1. Fotokopi KTP (Kartu Tanda Penduduk)

2. Fotokopi NPWP

Setelah persyaratannya di lengkapi Wajib Pajak harus pergi ke KPP

terdekat untuk mengaktivasi e-FIN agar mendapatkan kode e-FIN.

4.2.3.2. Masuk Ke Akun DJP Online

1. membuka website DJP Online di http://djponline.go.id setelah itu

memasukan NPWP dan Password DJP online dan juga kode

keamanaan.
2. Setelah masuk ke DJP online tinggal mengklik lapor dan

selanjutnya terdapat pilihan untuk mengklik tulisan e-filing.


3. Setelah mengklik e-filing biasanya langsung mengarah ke arsip

SPT dan setelah itu mengklik lagi buat SPT.

4. Setelah mengklik buat SPT selanjutnya ada pertanyaan dan

plilihlah pertanyaan seperti dibawah ini untuk melanjutkan ke tahap

selanjutnya.
5. Selanjutnya memlilih tahun pajak yang akan dilaporkan dan

mengklik status SPT Normal dan klik selanjutnya.

6. Disini apabila wp memiliki PPh final bisa mengklik tambah di

pojok kanan atas dan apabila tidak ada lanjut ke daftar harta.
7. Setelah lanjut ke daftar harta wp bisa mengklik harta pada tahun

lalu jika wp pernah mengisi SPT melalui e-filing pada tahun lalu

apabila belum pernah wp bisa mengklik tambah pada pojok kanan

atas untuk mengisi daftar harta yang dimiliki setelah itu lanjut ke

daftar tanggungan.

8. Lanjut pada daftar utang,apabila wp memiliki utang pada tahun lalu

tinggal klik utang pada spt tahun lalu,apabila wp baru saja memiliki

utang klik tambah


9. Pada daftar tanggungan wp bisa mengklik daftar tanggungan pada

tahun lalu apabila tidak ada bisa mengklik tambah.

10.Pada lampiran I bagian A dan B diskip karena wp tidak memiliki

bukti pendukungnya.
11.Pada bagian C masukan data yang perlu dimasukan sesuai dengan

dengan bukti potong yang dimiliki wp yakni 1721-A2 dan meng

klik tambah untuk memasukan data.


12.Selanjutnya mengisi identitas atau status wp sesuai dengan bukti

potong atau dan klik lanjut ke bagian A.

13.Untuk jumlah penghasilan Neto di isi sesuai dengan bukti potog

1721-A2 setelah itu lanjut ke B.


14.Pada bagian B wp masukan daftar tanggungan atau PTKP

wp,disini status wp adalah K/2 maka kita pilih kawin dengan 2

tanggungan.

15.Pada bagian D secara otomatis akan terisi karena disini wpnya

tidak kena pajak maka pph terutang nya 0.


16.Pada Bagian D ini PPh yang menjadi kredit adalah jumlah dari PPh

pasal 21 terutang karena penghasilan kita dipotong oleh pihak lain.

kolom kosong karena kita telah membayar PPh terutang kita

dengan pemotongan gaji yang dilakukan oleh pihak lain sehingga

kita tidak ada lagi pajak yang harus di bayar.

17.Pada bagian E nihill karena wp tidak kena pajak setelah itu lanjut

ke bagiab F.
18.Pada bagian F tidak di isi karena SPT wp nihill dan lanjut kebagian

pernyataan untuk menyetujui pernyataan pengsian SPT.


19.Pada bagian SPT ini wp diminta untuk mengisi kode verifikasi

sebagai persyaratan mengirim SPT wp harus meng klik tulisan “di

sini” mendapatkan kode verifikasinya,kode verifikasinya

dikirimkan ke email wp yang telah didaftarkan pada akun DJP

Online.
20. Setelah membuka email dan buka kode verifikasi yang dikirimkan

oleh DJP Online dicopy kode verifikasinya dan paste pada kolom

yang disediakan pada lampiran kirim SPT tadi dan klik kirim

SPT,secara otomatis bukti penerimaan elektronik (BPE) masuk ke

email wp,dan pelaporan menggunakan e-filing selesai.

21.Bukti penerimaan elektronik (BPE)


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari uraian dan pembahasan yang penulis sampaikan ada beberapa hal

yang dapat disimpulkan terkait prosedur pelaporan dan kepatuhan

pemyampaian SPT Tahunan PPh orang pribadi yaitu :

1. Terkait kepatuhan masih ada wajib pajak yang belum melakukan kewajiban

pajaknya dalam melaporkan SPT tahunan dan dapaknya mendapatkan

sanksi atau denda.

2. Wajib pajak dapat melaporkan pajaknya sendiri dimana saja dan kapan saja

demi melakukan kewajiban sebagai warga negara asalkan wajib pajak

memiliki akses internet.

3. Wajib pajak juga bisa melakukan pembetulan sendiri jika SPT yang

dilaporkan nya masih di anggap salah dan dapat dilakukan dimana saja

dengan menggunakan e-filing.

4. Cara pelaporan SPT tahunan dapat dilakukan dengan mengaktifasi kode E-

fin,membuat akun DJP online,mengisi SPT sendiri melalui e-filing dan

mengirim SPT.

5. Kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT dapat meningkatkan

kesadaran diri yang ta’at akan pajak untuk pembangunan negara dan

kepentingan rakyat indonesia.

6. Dari wajib pajak yang sadar akan pajak akan meningkatkan kesadaran

dalam melapor SPT demi pembangunan negara.


5.2. Saran

1. Untuk wajib pajak untuk lebih aktif dan lebih giat mencari informasi

mengenai perpajakan dikarenakan saat ini sudah banyak kemudahan dalam

mendapat informasi dalam hal perpajakan dengan memanfaatkan teknologi

informasi saat ini sehngga dapat mampu meningkatkan kesadaran pajak agar

lebih patuh dan ta’at akan pajak guna kepentingan negara.

2. Untuk Kantor Pelayanan pajak pajak Pratama Mataram Timur agar lebih giat

melakukan sosialisasi atau penyuluhan terhadap penggunaan e-filing guna

meredam pertemuan langsung antara wajib pajak dan petugas pajak dalam

melaporkan SPT

3. Untuk Direktorat Jendral Pajak agar lebih sering meperhatikan server atau

lebih sering memelihara server DJP Online agar tidak sering mengalami

gangguan atau down pada saat wajib pajak atau petugas pajak melakukan

pengisian SPT menggunakan e-filing.


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai