Anda di halaman 1dari 16

LI Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin
Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil
tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau Gerlach’s tonsil) (Soepardi, 2007).

Macam-macam tonsillitis menurut (Soepardi,2007) yaitu :

1. Tonsilitis Akut
a. Tonsilis viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus
coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada
palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
b. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β hemolitikus yang
dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus viridan, Streptokokus
piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk
detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis.
Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi
tonsilitis lakunaris.
2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium
diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10
tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
b. Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam
susu sapi.
c. Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa )
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin
C.
d. Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi mononukleosis
timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala pertama sering
berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit
tampak bercak kebiruan.
3. Tonsilis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis
makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.

TONSILITIS KRONIK

a. Definisi dan epidemiologi


Definisi
Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsil palatina
yang menetap lebih dari 3 bulan (Tom dan Ballenger, 2003). Tonsilitis kronis biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil dan
dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil (Brodsky dan Poje, 2006).
Organisme patogen dapat menetap sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan
mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami
penurunan (Adams, 2010). Penyakit pada tonsil merupakan masalah yang sering
ditemukan oleh dokter yang menangani pasien anak. Akibat infeksi dari tonsil dapat
mengakibatkan kelainan pada tonsil, adenoid, daerah sekitarnya maupun secara sistemik
(Brodsky dan Poje, 2006; Tom dan Ballenger, 2003). Anamnesis dan pemeriksaan fisik
diagnostik diperlukan untuk menegakkan diagnosis penyakit ini. Ukuran tonsil di luar
serangan terlihat membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan
obstruksi kripte tonsil disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai plika anterior,
pembesaran kelenjar limfe, bertambahnya jumlah kripte pada tonsil dan apabila tonsil
ditekan keluar detritus (Tom dan Ballenger, 2003; Brodsky dan Poje, 2006; Rusmarjono
dan Hermani, 2008. Brook dan Gober seperti dikutip oleh Hammouda, dkk. (2009)
menjelaskan tonsilitis kronis adalah suatu kondisi yang merujuk kepada adanya
pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang berulang. Brodsky (2007)
menjelaskan durasi maupun beratnya keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan sulit
dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4 minggu
dan kadang dapat menetap.

Epidemiologi
Secara epidemiologi tonsilitis kronis sering terjadi pada anak-anak usia 2-3 tahun dan
sering meningkat pada usia 5-12 tahun. Tonsilitis paling sering terjadi di negara subtropis.
Pada negara iklim dingin angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi di
negara tropis, infeksi Streptococcus terjadi di sepanjang tahun terutama pada waktu
musim dingin (Rusmarjono dan Soepardi, 2008). Menurut penelitian Kisve, dkk. (2009)
diperoleh data tonsilitis kronis terbanyak 294 penderita pada kelompok usia 5-12 tahun.
Lebih kurang 10% anak di Amerika Serikat dilakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin
setiap tahunnya, ditemukan tonsilofaringitis 25-50% positif dengan Streptococcus β
hemoliticus grup A, dimana 20% asimtomatik sebagai karier dalam waktu yang lama.
Insiden tertinggi ditemukan pada anak sekolah usia 4-7 tahun, jarang pada anak kurang
dari 3 tahun. Pada penelitian yang dilakukan di RS. Serawak di Malaysia diperoleh 657
data penderita tonsilitis kronis, didapatkan pada laki-laki 342 (52%) dan perempuan 315
(48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di RS Pravara di India dari 203
penderita tonsilitis kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin laki-laki dan 105 (52%)
berjenis kelamin perempuan (Awan, dkk., 2009). Pada penelitian Farokah (2007)
mengenai hubungan tonsilitis kronis dengan prestasi belajar pada siswa kelas II sekolah
dasar di kota Semarang 16 didapatkan prevalensi penderita tonsilitis kronis sebesar 50%
dan dengan hasil penelitian terdapat hubungan bermakna antara tonsilitis kronis dan
prestasi belajar siswa. Dari hasil penelitian kultur apusan tenggorok didapatkan gram
positif sebagai penyebab tersering tonsilitis kronis yaitu Streptococcus α kemudian diikuti
Staphilococcus aureus, Streptococcus β hemoliticus grup A, Staphilococcus epidermis dan
kuman gram negatif berupa Enterobacter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan
Escherchia coli. Pada tonsilitis kronis Streptococcus β hemoliticus grup A lebih banyak
dijumpai pada bagian dalam tonsil daripada permukaan tonsil (Rusmarjono dan Soepardi,
2008)
b. Etiologi dan faktor resiko
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptenya secara aerogen
yaitu droplet yang mengandung kuman terhirup oleh hidung kemudian nasofaring terus
masuk ke tonsil, maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan
(Mawson, 2004; Farokah, 2007). Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan
ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau
kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna (Kvestad, 2005). Pada
penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah Streptococcus β hemoliticus
grup A. Selain itu terdapat Streptococcus viridian dan Streptococcus pyogenes,
Streptococcus grup B dan C, Stafilococcus, Hemophilus influenza, Adenovirus, Epstein
Barr, bahkan virus Herpes yang didapat ketika dilakukan kultur apusan tenggorok , namun
terkadang ditemukan bakteri golongan gram negatif (Brodsky dan Poje, 2006; Adams,
2010). Beberapa faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah kebersihan gigi dan
mulut yang buruk, rangsangan menahun atau iritasi kronis akibat rokok, beberapa jenis
makanan (perilaku pola makan dan kebiasaan jajan pada anak), sistem imun tubuh yang
rendah, alergi (iritasi kronis dari alergen), pengaruh cuaca, keadaan umum (kurang gizi,
kelelahan fisik). Tonsilitis kronis yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat, tidak diobati dengan tepat atau dibiarkan
begitu saja (Brodsky dan Poje, 2006; Adams, 2010).
c. Patogenesis dan Patofisiologi
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripte tonsil mengakibatkan peningkatan statis
debris maupun antigen di dalam kripte, juga terjadi penurunan integritas epitel kripte
sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang masuk ke dalam
parenkim tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripte, namun pada
tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di
dalam kripte tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap tonsil sehingga pada
suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman dan kemudian bersarang di tonsil.
Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi fokal infeksi dan
suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan
umum tubuh menurun (Brodsky dan Poje, 2006; Farokah, 2007). Proses peradangan
dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil, karena proses radang berulang maka epitel
mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid digantikan oleh jaringan parut yang akan mengerut sehingga kripte akan melebar,
ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus, yaitu: akumulasi epitel yang
mati, sel leukosit yang mati, dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna
kekuningan. Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan
dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini disertai pembesaran
kelenjar limfe submandibula (Brodsky dan Poje, 2006).

Singkatnya:
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada
suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah
menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke
seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.Bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka
selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh
detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai
dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis.
d. ‘’Manifestasi klinis
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri tenggorokan
yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas. Gejala-
gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.
Dalam penelitian mengenai aspek epidemiologi faringitis didapatkan 63 penderita
tonsilitis kronis sebanyak 41,3% diantaranya mengeluh nyeri tenggorok sebagai keluhan
utama, 27% penderita tonsilitis kronis dengan halitosis akibat debris yang tertahan di
dalam kripte tonsil yang kemudian dapat menjadi sumber infeksi berikutnya, dan gejala
lainnya pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi sehingga timbul
gangguan menelan, sleep apneu dan gangguan suara (sengau) pada malam hari, (Brodsk,
2007; Dhingra, 2007; Shnayder, dkk., 2008; Hammouda, dkk., 2009). Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan pembesaran tonsil dalam berbagai ukuran (hipertrofi tonsil), dengan
pembuluh darah dilatasi pada permukaan tonsil, arsitektur kripte sebagian mengalami
stenosis, eksudat (purulen) pada kripte tonsil dan sikatrik (jaringan parut) pada pilar. Pada
beberapa kasus, kripte membesar dan detritus seperti keju atau dempul pada kripte yang
tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah pada pilar anterior. (Gotlieb, 2005;
Brodsky dan Poje, 2006; Brodsky, 2007), Pilar anterior berwarna kemerahan bila
dibanding dengan mukosa faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi
kronis pada tonsil (Dhingra, 2007). Kelenjar limfe leher dapat membesar tetapi tidak
terdapat nyeri tekan (Herawati dan Rukmini, 2003).
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di
tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.Pada tonsillitis kronik juga
sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal. Pada umumnya terdapat dua
gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik
berupa (a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,
kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil,
bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian
tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.

Tonsilitis kronis
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar rasio perbandingan tonsil dengan orofaring


e. Diagnosis dan diagnosis banding
Diagnosis
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis secara
tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara menyeluruh untuk
menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan
diagnosis. Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang
berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok,
ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada
saluran cerna dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang
hipertofi. Gejala gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.
Pada anak dapat ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular. Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar
dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang
secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik.Pada Biakan tonsil
dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa organisme yang virulensinya
relative rendah dan pada kenyataannya jarang menunjukkan streptokokus beta
hemolitikus. Diagnosis Banding
1. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin
dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia
kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi
dalam 3 golongan yaitu: umum, local, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum
sama seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri
kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.
Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu (pseudomembran)
yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika
infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya
sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis
sampai decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
2. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
hebat, karena bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan
demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi
glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi.Gejala klinis
secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri
kepala. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan
terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae
pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada
penekanan.
3. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada
penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil, dan
dinding posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan timbul ulkus pada
daerah faring yang tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar
mandibula yang tidak nyeri tekan.
4. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada faringitis
tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoresia dan odinofagia.
Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta
pembesaran kelanjar limfa servikal.

Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok dan


kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan
jaringanatau kultur, X-ray dan biopsy.
f. Tatalaksana
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan operatif.
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap,
pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.
Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada
penderita tonsilitis kronis yaitu antibiotik golongan penisilin merupakan antibiotik
pilihan pada sebagian besar kasus karena efektif dan harganya lebih murah.
Namun, pada anak dibawah 12 tahun, golongan sefalosporin menjadi pilihan
utama karena lebih efektif terhadap streptococcus. Golongan makrolida dapat
digunakan hanya jika terdapat alergi terhadap penisilin, hal ini disebabkan efek
samping yang ditimbulkan golongan makrolida lebih banyak.
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
 Indikasi Tonsilektomi
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi
relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa
usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi .
a. Indikasi absolut:
a) Hiperplasia tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu)
yang terkait dengan cor pu lmonal.
b) curiga keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral).
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam (yang memerlukan
tonsilektomi Quincy).
d) perdarahan tonsil yang persisten dan rekuren.
b. Indikasi Relatif:
a) Tonsillitis akut yang berulang (Terjadi 3 episode atau lebih infeksi
tonsil per tahun).
b) abses peritonsilar.
c) tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis,
atau adenitis cervical.
d) sulit menelan.
e) tonsillolithiasis.
f) gangguan pada orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian atas
sempit).
g) Carrier streptococcus tidak berespon terhadap terapi).
h) otitis media recuren atau kronik.

Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-head and


Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah:

a.Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat terapi yang
adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial
c.Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengam pengobatan
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus beta
hemolitikus
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif
 Kontraindikasi Tonsilektomi Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai
kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan
dengan tetap memperhitungkan 17 imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut
yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit berat,
anemia, dan infeksi akut yang berat.
g. Komplikasi
Komplikasi tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar berupa
rhinitis kronik,sinusitis atau otitis media atau secara hematogen atau limfogen ke organ
yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai
berikut (Brodsky dan Poje, 2006):
a) Komplikasi sekitar tonsil: peritonsilitis, abses peritonsilar (Quinsy), abses
parafaringeal, abses retrofaring, krista tonsil, maupun tonsilolith (kalkulus dari tonsil);
b) Komplikasi ke organ jauh: demam rematik dan penyakit jantung rematik,
glomerulonefritis, episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis, psoriasis,
eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura, artritis dan fibrositis, tetapi jarang
dijumpai (Shnayder, dkk., 2008).
Pada anak, hipertrofi tonsil yang sangat besar dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas
atas menyebabkan hipoventilasi alveoli selanjutnya hiperkapnia dan menyebabkan cor
pulmonale, menimbulkan apneu ketika tidur dengan gejala paling umum adalah
mendengkur (Bluestone, 2006). Fisiologis terganggu bahkan anak sampai tidak sekolah
karena sakit yang akan berpengaruh terhadap proses dan hasil belajarnya (Farokah, 2007;
Hull dan Johnston, 2008).
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:
a) Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi
faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus.
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
b) Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga
menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
c) Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti
dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan
disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu
dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya
dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa
dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang
memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan
kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada
dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini
didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan
yang tidak rata pada perabaan.
e) Kista tonsillar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan
diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah
didrainasi.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat
pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman
Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak
pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi
patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis.
h. Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita lebih nyaman.
Apabila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotik harus dikonsumsi sesuai
arahan demi penatalaksanaan yang lengkap walaupun penderita telah mengalami
perbaikan dalam waktu singkat (Brodsky dan Poje, 2006).
i. SKDI

Tingkat Kemampuan 3 : mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk


3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan hasil pemeriksaan penunjang dan memberikan usulan terapi pendahuluan pada
keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang
paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya dalam konteks penilaian kemampuan.
Anmal

Kalimat Pertama

A child, 8 years old, has been brought by her mother to ENT-HNS clinic with
complaining about sore throat since 6 days ago.
a. Bagaimana hubungan usia pasien dengan penyakit yang dialami?
Secara epidemiologi tonsilitis kronis sering terjadi pada anak-anak usia 2-3 tahun dan
sering meningkat pada usia 5-12 tahun.
b. bagaimana patofisiologi sakit tenggorokan?
c. berdasarkan waktu terjadinya penyakit ini tergolong kronis atau akut?
d. apa saja yang dapat menyebabkan sakit tenggorokan?
e. Bagaimana tata laksana sakit tenggorokan pada anak?

Kalimat Kedua

Her mother stated that the symptom worsen in last 3 days with non productive cough and fever.
She felt having something stuck in her throat. She also felt lump sensation under her both jaws.
She could still eat some porridge and milk.

a. Mengapa gejala memburuk pada 3 hari terakhir?

b. apakah gejala demam yang dikeluhkan pasien merupakan tanda adanya infeksi virus?

c. bagaimana hubungan antara keluhan utama dan keluhan tambahan?

d. Bagaimana hubungan antara gejala-gejala yang muncuk pda kasus?


e. Mengapa dapat timbul rasa terdapat sesuatu yang tersangkut di tenggorokan dan benjolan
di bawah rahang?
tonsilitis kronis adalah infeksi amandel yang terus-menerus. Infeksi berulang dapat
menyebabkan pembentukan kantong kecil (crypts) di amandel, yang menampung bakteri.
Seringkali, batu kecil berbau busuk berkem9bang di dalam kriptus ini. Batu-batu ini
(tonsilolit) mungkin mengandung sulfa dalam jumlah tinggi. Saat dihancurkan, mereka
mengeluarkan bau khas telur busuk, yang menyebabkan bau mulut. Mereka mungkin
juga memberi pasien perasaan ada sesuatu yang tersangkut di belakang tenggorokan.

Kalimat Ketiga

Medical history : recurrent sore throat every 3-4 months in last 3 years. Physical examination:
Vital sign

a. Mengapa terjadi sakit tenggorokan yang berulang setiap 3-4 bulan?


b. Apakah gejala menahun sakit tenggorokan bisa menimbulkan komplikasi?
c. Apakah ada keterkaitan antara sistem imun dari seorang anak umur 5-8 tahun dengan
kondisi infeksi yang berulang?

Daftar Pustaka

1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
2. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The
Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
3. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. .
4. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
ECG, 2006. p795-801.
5. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,
1997. p263-340
6. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2009. 2011.pdf
7. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In:
Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4 th edition. 2006.
8. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran Penelitian
: Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum Dan
Setelah Tonsilektomi.
9. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
10. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid
2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
11. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. p158-165
12. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
13. Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy. In:
Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates 601. pdf.
14. Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current
Otolaryngology 2 nd ed. McGraw-Hill:2007.

Anda mungkin juga menyukai