Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

UTANG LUAR NEGERI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

RAHMAWATI

( 1761201004 )

KELAS B1

SEMESTER VII

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUSLIM MAROS

TAHUN AKADEMIK

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat

dan karunia-Nya kepada penulis sehingga makalah ini dapat

terselesaikan.

Makalah ini dibuat berdasarkan kebutuhan untuk menyelesaikan tugas

mata kuliah Perekonomian Indonesia, serta untuk kebutuhan kami agar

dapat lebih memahami tentang utang luar negeri Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang

telah membantu dalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini

selesai tepat pada waktunya. Penulis menyadari masih banyak

kekurangan dalam pembuatan makalah ini karena keterbatasan referensi.

Mengingat keterbatasan itu, maka penulis membuka selebar-lebarnya

kritik dan saran dari ibu dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia

khusunya, serta dari rekan-rekan pembaca pada umumnya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagaimana

mestinya.

Maros, 4 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI…..............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN…..........................................................................1

A.Latar Belakang….....................................................................................1

B.Rumusan Masalah…................................................................................5

C.Tujuan…..............................….................................................................6

BAB II PEMBAHASAN…...........................................................................7

A. Pengertian Utang Luar Negeri................................................................7

B. Bentuk – bentuk Pinjaman Luar Negeri.................................................8

C. Sejarah Utang Luar Negeri Indonesia...................................................11

D. Faktor Penyebab Utang Luar

Negeri.....................................................26

E. Data Posisi Hutang Luar Negeri

Indonesia............................................27

F. Kebaikan dan Keburukan Utang Luar

Negeri........................................30

G. Dampak Utang Luar

Negeri...................................................................32
H. Solusi Utang Luar

Negeri.......................................................................33

BAB III PENUTUP….................................................................................38

A.Kesimpulan ...........................................................................................38

B.Saran…..................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................40


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

      Pembangunan ekonomi merupakan tahapan proses yang mutlak

dilakukan oleh suatu bangsa untuk dapat meningkatkan taraf hidup dan

kesejahteraan seluruh rakyat bangsa tersebut. Pembangunan ekonomi

suatu negara tidak dapat hanya dilakukan dengan berbekal tekad yang

membaja dari seluruh rakyatnya untuk membangun, tetapi lebih dari itu

harus didukung pula oleh ketersediaan sumberdaya ekonomi, baik

sumberdaya alam; sumberdaya manusia; dan sumberdaya modal, yang

produktif. Dengan kata lain, tanpa adanya daya dukung yang cukup kuat

dari sumberdaya ekonomi yang produktif. Maka pembangunan ekonomi

mustahil dapat dilaksanakan dengan baik dan memuaskan. Adapun

kepemilikan terhadap sumberdaya ekonomi ini oleh negara-nagara dunia

ketiga tidaklah sama. Ada negara yang memiliki kelimpahan pada jenis

sumberdaya ekonomi tertentu, ada pula yang kekurangan. Pada banyak

negara dunia ketiga, yang umumnya memilki tingkat kesejahteraan rakyat

yang relatif masih rendah, mempertinggi tingkat pertumbuhan ekonomi

memang sangat mutlak diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di

bidang ekonomi dari negara-negara industri maju. Oleh karena masih

relatif lemahnya kemanpuan partisipasi swasta domestik dalam

pembangunan ekonomi, mengharuskan pemerintah untuk mengambil

peran sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional.

1
     Seoalah-olah segala upaya dan strategi pembangunan difokuskan oleh

pemerintah untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan laju

pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dari tahun ke tahun. Sehingga,

seringkali hal tersebut dilakukan melebihi kemampuan dan daya dukung

sumberdaya ekonomi didalam negeri yang tersedia pada waktu itu.

Akibatnya, pemerintah negara-negara tersebut harus mendatangkan

sumberdaya ekonomi dari luar negara-nagara lain untuk dapat

memberikan dukungan yang cukup bagi pelaksanaan program

pembangunan ekonomi nasionalnya. Dengan dukungan sumberdaya

ekonomi dari luar negara tersebut, maka bukanlah sesuatu yang mustahil,

apabila di beberapa nagara dunia ketiga atau negara yang sedang

berkembang, laju pertumbuhan ekonomi dapat melebihi laju pertumbuhan

ekonomi negara-negara industri maju. Sumberdaya modal merupakan

sumberdaya ekonomi yang paling sering didatangkan oleh pemerintah

negara-negara sedang berkembang untuk mendukung pembangunan

nasionalnya. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan sumberdaya

modal dalam negeri. Sumberdaya modal didatangkan dari luar negeri,

yang umunya dari negara-negara industri maju, ini wujudnya bisa

beragam, seperti penanaman modal asing (direct invesment), berbagai

bentuk investasi portofolio (portofolio invesment) dan pinjaman luar negeri.

Dan tidak semuanya diberikan sebagai bantuan yang sifatnya cuma-cuma

(gratis). Tetapi dengan berbagai konsekuensi baik yang bersifat komersil

maupun politis.

2
    Solusi yang dianggap bisa diandalkan untuk mengatasi kendala

rendahnya mobilisasi modal domestik adalah dengan mendatangkan

modal dari luar negeri, yang umumnya dalam bentuk hibah (grant),

bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor,

dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi

swasta langsung (PMAP); portofolio invesment; pinjaman bank dan

pinjaman komersial lainnya; dan kredit perdagangan (eksper/impor)/

modal asing ini dapat diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada

pihak swasta.

    Pada satu sisi, datangnya modal dari luar negeri tersebut dapat

digunakan untuk mendukung program pembangunan nasional

pemerintah, sehingga target pertumbuhan ekonomi nasional dan

peningkatan pendapatan per kapita masyarakat meningkat. Tetapi pada

sisi lain, diterimanya modal asing tersebut dapat menimbulkan berbagai

masalah dalam jangka panjang, baik ekonomi maupun politik, bahkan

pada beberapa negara-negara yang sedang berkembang menjadi beban

yang seolah-olah tak terlepaskan, yang justru menyebabkan

berkurangnya tingkat kesejahteraan rakyatnya.

Motivasi Timbulnya Hutang Luar Negeri

1. Motivasi Negara Pemberi Bantuan

Negara-negara donor memberikan bantuannya pertama-tama

karena hal tersebut memang utuk kepentingan politik, strategis dan/atau

3
ekonomi mereka. Secara garis besar terdapat dua motivasi yaitu:

a. Motivasi Politik

Motivasi politik merupakan motivasi yang paling penting bagi

Negara-negara pemberi hutang.Kebanyakan pemberian hutang bagi

Negara-negara berkembang lebih diarahkan untuk mempertahankan

rezim-rezim pemerintahan yang kadang goyah, daripada untuk

mendorong kemajuan ekonomi dan social dalam jangka panjang.

b. Motivasi Ekonomi

Dalam konteks Negara maju, program bantuan luar negeri memiliki

rasional ekonomis yang kuat.Dalam kenyataannya, walaupun ada

motivasi politik namun landasan bersifat ekonomi merupakan “Lip-service”

untuk memberikan bantuan.Argumentasi ekonomi yang

mengatasnamakan hutang sebagai obat yang sifatnya penting untuk

pembangunan Negara-negara berkembang harus tidak menutupi

kenyataan bahwa keuntungan akan mengalir pada Negara-negara

pemberi bantuan. Negara-negara penerima bantuan akan kesulitan

mengembalikan hutang-hutangnya yang besar. Di samping itu, juga akan

menaikkan ongkos impor, seringkali sebesar 20-40% .Biaya impor ekstra

meningkat karena adanya pinjaman yang dikaitkan dengan ekspor.

2. Motivasi Negara Penenerima Bantuan 

Mengapa Negara berkembang berkeinginan untuk menerima

pinjaman, bahkan dalam bentuk kurang lunak sekalipun. Ada setidaknya

4
tiga alasan, mengapa Negara berkembang mencari bantuan luar negeri

yaitu:

a. Alasan ekonomis yang bersifat praktis. Karena Negara berkembang

cenderung mempercayai pendapat ahli ekonomi Negara maju.

Yaitu bahwa bantuan luar negeri merupakan obat pendorong dan

stimulant bagi proses pembangunan, serta mampu memicu

pertumbuhan ekonomi yang mandiri.

b. Alasan kedua menyangkut masalah politik. Di beberapa Negara,

pinjaman luar negeri dianggap memberikan kekuatan politik yang

lebih besar kepada pemimpin yang sedang berkuasa untuk

menekan oposisi dan mempertahankan kekuasaannya. Dalam hal

ini, bantuan tidak hanya meliputi transfer sumber keuangan, akan

tetapi juga dalam bentuk bantuan militer dan pertahanan dalam

negeri.

c. Motivasi yang dilandasi oleh moral, yaitu berlatar belakang pada

rasa tanggung jawab kemanusiaan Negara maju terhadap Negara

berkembang. Dan bantuan luar negeri dianggap sebagai kewajiban

social bagi Negara-negara maju untuk pembangunan Negara-

negara berkembang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas,maka secara

umum rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :

5
1. Apakah yang dimaksud dengan Utang Luar Negeri ?

2. Bagaimana bentuk – bentuk Pinjaman Luar Negeri ?

3. Bagaimanakah sejarah Utang Luar Negeri Indonesia ?

4. Apa yang menjadi Faktor Penyebab Utang Luar Negeri ?

5. Bagaimankah Data Posisi hutang luar negeri Indonesia ?

6. Apa Kebaikan dan Keburukan Utang Luar Negeri ?

7. Bagaimanakah Dampak Utang Luar Negeri ?

8. Apakah solusi Utang Luar Negeri ?

C. Tujuan

Tujuan dalam pembahasan makalah ini, yang berjudul “Makalah

Hutang Luar Neger Indonesia” berdasarkan rumusan masalah di atas

antara lain:

1. Untuk mengetahui pengertian Utang Luar Negeri

2. Untuk mengetahui bentuk – bentuk Pinjaman Luar Negeri

3. Untuk mengetahui sejarah Utang Luar Negeri Indonesia

4. Untuk mengetahui Faktor Penyebab Utang Luar Negeri

5. Untuk mengetahui Data Posisi hutang luar negeri Indonesia

6. Untuk mengetahui Kebaikan dan Keburukan Utang Luar Negeri

7. Untuk mengetahui Dampak Utang Luar Negeri

8. Untuk mengetahui solusi Utang Luar Negeri

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Utang Luar Negeri

     Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pinjaman berarti utang yang

dipinjam dari pihak lain dengan kewajiban membayar kembali. Sedangkan

Pinjaman Luar Negeri adalah sejumlah dana yang diperoleh dari negara

lain (bilateral) atau (multilateral) yang tercermin dalam neraca

pembayaran untuk kegiatan investasi, menurut saving-investment gap dan

foreign exchange gap yang di lakukan baik oleh pemerintah maupun

swasta.

     Menurut SKB No.185/KMK.03/1995 dan Nomer KEP.031/KET/5/1995

antata Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas : Pinjaman Luar Negeri

adalah penerimaan negara baik dalam bentuk devis atau devisa yang di

rupakan maupun dalam bentuk barang dan jasa yang diperoleh dari

peneriman pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan

persyaratan tertentu.

      Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari

total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara

7
tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah,

perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang

diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga

keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

B. Bentuk – Bentuk Pinjaman Luar Negeri

      Bentuk pijaman luar negeri dapat dilihat dari dua aspek, antara lain :

1. Sumber Dananya

Bila dilihat dari suber dananya, pinjaman luar negeri dapat

dibedakan menjadi:

a. Pinjaman Multilateral

Yaitu pinjaman yang berasaal dari badan-badan internasional,

misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB), Islamic

Development Bank (IDB).

b. Pinjaman Bilateral

Yaitu pinjaman yang berasal dari negara-negara baik yang

tergabung dalam CGI maupun antar negara secara langsung

(intergovernment).

c. Pinjaman Sindikasi

Yaitu pinjaman yang diperoleh dari beberapa bank dan lembaga

keuangan bukan bank (LKBB) internasional. Pemberian pinjaman

tersebut dikoordinir oleh satu bank/LKBB yang bertindak sebagai

sindication leader. Pinjaman ini biasanya dalam jumlah besar dan

8
bersifat komersial (commercial loan), misalnya dengan tingkat suku

bunga yang mengambang (floating rate). Syarat-syarat pinjaman

yang dituangkan dalam loan agreement merupakan konsensus dan

kesepakatan diantara para pemberi pinjaman.

2. Segi Persyaratannya,

Bila dilihat dari segi persyaratannya, pinjaman luar negeri dapat

dibedakan menjadi :

a. Pinjaman Lunak (Concessional Loan)

Yaitu pinjaman luar negeri Pemerintah dalam rangka pembiayaan

proyek-proyek pembangunan. Pinjaman lunak biasanya diperoleh

dari negara-negara yang tergabung dalam kerangka CGI maupun

non CGI. Pengertian dengan dana sendiri atau dana

pendampingan oleh Pemerintah RI. Fasilitas Kredit Ekspor dapat

dalam bentuk Suppliers Credit atau Buyers Credit.

Buyers Credit adalah pinjaman FKE yang diterima dari bank

komersial atau lembaga keuangan bukan bank luar negeri, dimana

tujuan pinjaman tersebut adalah untuk pembelian barang dari

negara pemberi pinjaman.

Suppliers Credit adalah adalah pinjaman FKE yang diterima

Pemerintah langsung dari pemasok barang (supplier) di luar negeri

kepada Pemerintah RI yang akan diberikan dalam bentuk barang

untuk keperluan proyek. Dapat diartikan bahwa dalam suppliers

9
credit ini, pihak yang menerima pinjaman adalah pihak pemasok

barang.

A. Purchase Installment Sale Agreement (PISA)

Yaitu pinjaman yang diberikan oleh perusahaan leasing untuk

pembiayaan proyek pembangunan tertentu yang dituangkan dalam

bentuk persetujuan jual beli dengan pembayaran angsuran.

Besarnya pinjaman PISA adalah 100% dari nilai proyek.

B. Pinjaman Komersial (Commercial Loan)

Yaitu pinjaman yang diterima dengan syarat-syarat yang ditetapkan

berdasarkan kondisi pasar uang dan pasar modal internasional.

Pinjaman ini lazim pula disebut cash loan karena pinjaman diterima

dalam bentuk uang tunai dan penggunaannya lebih fleksibel atau

tidak mengikat. Jumlah pinjaman komersial umumnya berjumlah

besar karena pemberi pinjaman berupa sindikasi yang anggotanya

terdiri atas perbankan dan lembaga-lembaga keuangan

internasional.

Beberapa pertimbangan bagi Pemerintah dalam menerima

pinjaman komersial adalah:

 Mendukung penganekaregaman (diversifikasi) pinjaman atau

memperluas

 sumber pinjaman yaitu memperoleh pinjaman dari perbankan dan

lembaga keuangan bukan bank.

10
 Jumlah pinjaman relatif lebih besar dan tatacara penarikannya lebih

mudah.

Penggunaan dana tidak terikat pada satu proyek tertentu namun

lebih

 flesibel, baik untuk diinvestasikan kembali, untuk membiayai proyek

atau untuk memperkuat cadangan devisa.

C. Sejarah Utang Luar Negeri Indonesia

 Utang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda

    Pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memulai kebiasaan

berutang bagi pemerintahan di Indonesia. Seluruh utang yang belum

dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai dengan salah satu hasil

Konferensi Meja Bundar (KMB). Penyerahan kedaulatan kepada Republik

Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung jawab

segala utang pemerintah kolonial. Dilihat dari perspektif utang piutang,

maka Republik Indonesia bukanlah negara baru, melainkan pelanjut dari

pemerintahan sebelumnya.

   Tradisi pengalihan utang kepada pemerintahan berikutnya bertahan

sampai saat ini, terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung

dengan cara apa pun. Pemerintahan era Soekarno mewariskan utang luar

negeri (ULN) sekitar USD 2,1 miliar kepada pemerintahan Soeharto.

Secara spektakuler, pemerintahan Soeharto membebani Habibie dengan

warisan utang sebesar USD 60 miliar. Bahkan, pemerintahan Habibie

11
mewariskan utang yang lebih besar, hanya dalam kurun waktu dua tahun.

ULN memang “hanya” bertambah menjadi sebesar USD 75 miliar dolar.

Namun, utang dalam negeri yang semula nihil menjadi USD 60 miliar (jika

dikonversikan), sehingga utang pemerintah secara keseluruhan menjadi

sekitar USD 135 miliar.

    Tentu tidak adil jika hanya melihat angka utang yang fantastis di era

Habibie secara begitu saja. Sebagian masalahnya adalah karena

akumulasi utang beserta akibat lanjutan dari kebijakan pemerintahan

Soeharto. Bisa dikatakan bahwa Pemerintahan Habibie harus

menghadapi krisis moneter dan ekonomi, yang berasal dari era Soeharto.

 Utang Pemerintah Orde Lama

  Sesuai dengan perjanjian ketika penyerahan kedaulatan kepada

pemerintah Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno menerima pula

warisan utang pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar

Amerika. Utang tersebut memang tidak pernah dibayar oleh Pemerintahan

Soekarno, namun juga tidak dinyatakan di hapuskan. Utang ini nantinya

diwariskan kepada era-era pe merintahan berikutnya, dan akhirnya

dilunasi juga.

   Pada awal kemerdekaan, sikap pemerintah Soekarno-Hatta ter hadap

utang luar negeri bisa dikatakan mendua. Di satu sisi, mereka menyadari

bahwa utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan sangat dibutuhkan.

Negara baru yang baru merdeka ini memerlukan dana untuk memperbaiki

taraf kesejahteraan rakyat, yang sudah sedemikian terpuruk karena

12
kolonialisme. Ketiadaan infrastruktur, dan rusaknya sebagian besar

kapasitas produksi seperti ladang minyak, membuat penerimaan negara

dari sumber domestik belum bisa diandalkan. Hibah dari negara-negara

yang bersimpatik ketika awal kemerdekaan tentu saja tidak memadai dan

lambat laun di hentikan. Pilihan yang tersedia adalah mempersilakan

modal asing masuk ke Indonesia untuk berinvestasi, serta melakukan

pinjaman luar negeri.

Di sisi lain, pemerintah Soekarno-Hatta bersikap waspada ter hadap

kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana kembalinya

kolonialisme. Semangat kemerdekaan masih amat kental, sehingga

mereka peka dalam masalah yang berkaitan dengan kedaulatan

Indonesia. Suasana ini juga mewarnai dinamika parlemen, sekalipun

terdiri dari banyak partai dengan latar idelogis berbeda. Akibatnya,

persyaratan yang ketat ditetapkan dalam setiap perundingan berutang

kepada pihak luar negeri. Ini berlaku juga ter hadap masalah penanaman

modal asing, termasuk perundingan mengenai tambang dan kilang minyak

di wilayah Indonesia.

    Sebagai contoh, Hatta dalam berbagai kesempatan me ngemukakan

antara lain: negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam

negeri, suku bunga tidak boleh lebih dari 3-3,5 persen per tahun, dan

jangka waktu utang yang lama. Jadi, selain melihat utang luar negeri

sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan

biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Terkenal pula

13
pernyataan sarkastis Soekarno, yang mengatakan ”go to hell with your

aid” kepada AS karna berusaha mengaitkan utang dengan tekanan

politik.Bagaimanapun, transaksi utang luar negeri tetap terjadi pada awal

kemerdekaan. Sampai dengan tahun 1950, utang pemerintah yang baru

tercatat sebesar USD 3,8 miliar, selain utang warisan pemerintah kolonial.

Setelah itu, terjadi fluktuasi jumlah utang pemerintah, seiring dengan sikap

pemerintah yang cukup sering berubah terhadap pihak asing dalam soal

modal dan utang. Selama kurun tahun 50-an tetap saja ada bantuan dan

utang yang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah yang berubah-ubah itu

dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno

sebagai pribadi.

     Sebagai contoh, pada tahun 1962, delegasi IMF berkunjung ke

Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama,

dan pada tahun 1963 utang sebesar USD17 juta diberikan oleh Amerika

Serikat. Pemerintah Indonesia pun kemudian bersedia melaksanakan

beberapa kebijakan ekonomi baru yang bersesuaian dengan proposal

IMF. Namun, keadaan berbalik pada akhir tahun itu juga, ketika Malaysia

pemerintah Inggris menyatakan Malaysia di nyatakan sebagai bagian

federasi Inggris tanpa pembicaraan dengan Soekarno. Hal ini sebetulnya

juga berkaitan dengan nasionalisasi beberapa perusahaan Inggris di

Indonesia. Yang jelas, hubungan Indonesia dengan IMF dan Amerika,

turut memburuk. Berbagai kesepakatan sebelumnya dibatalkan oleh

Soekarno, dan Indonesia keluar dari keanggotaan IMF dan PBB.

14
Secara teknis ekonomi, telah ada pelunasan utang dari sebagian hasil

ekspor komoditi primer Indonesia. Ada pula penghapusan se bagian utang

oleh kreditur, terutama dari negara-negara yang ber sahabat, setidaknya

dalam tahun-tahun tertentu. Akhirnya, ketika terjadi perpindahan

kekuasaan kepada Soeharto, tercatat utang luar negeri pemerintah adalah

sebesar USD 2,1 miliar. Jumlah ini belum termasuk utang warisan

pemerintah kolonial Belanda yang sekalipun resmi diakui, tidak pernah

dibayar oleh pemerintahan Soekarno.

 Utang Pemerintah Era Soeharto

    Sejak awal, sikap pemerintahan Soeharto terhadap modal asing

berbeda dengan sikap Soekarno-Hatta. Sebagai contoh, undang undang

pertama yang ditandatangani Soeharto adalah UU no.1/1967 tentang

Penanaman Modal Asing, yang isinya bersifat terbuka dan bersahabat

bagi masuknya modal dari negara manapun. Beberapa bulan

sebelumnya, IMF membuat studi tentang program stabilitas ekonomi,

yang rekomendasinya segera diikuti oleh pemerintah. Indonesia juga telah

secara resmi kembali menjadi anggota IMF.

   Seiring dengan itu, perundingan serius mengenai utang luar negeri

Indonesia berlangsung lancar. Kembalinya Indonesia menjadi anggota

IMF dan Bank Dunia, seketika diimbali oleh negara-negara barat berupa:

pemberian hibah, restrukturisasi utang lama, komitmen utang baru dan

pencairan utang baru yang cepat. Hibah sebesar USD 174 juta dikatakan

bertujuan untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi.

15
Restrukturisasi utang yang disetuji bernilai sekitar USD 534 juta. Lewat

berbagai perundingan, terutama pertemuan Paris Club, disepakati

moratorium utang sampai dengan tahun 1971 untuk pembayaran cicilan

pokok sebagian besar utang. Akhirnya, sejak tahun 1967 Indonesia

mendapat persetujuan utang baru dari banyak kreditur, dan sebagiannya

langsung dicairkan pada tahun itu juga.

ULN dengan Persyaratan Lunak

    Pada mulanya, semua utang baru itu bisa dikatakan sebagai pinjaman

dengan syarat lunak. Ada jenis pinjaman yang biasa disebut bantuan

program, yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantu an pangan.

Bantuan program ini berbentuk devisa tunai atau hak untuk memperoleh

sejumlah komoditi yang ditentukan. Ada bantu an proyek, yang pada

dasarnya adalah utang bagi pembagunan proyek tertentu dengan syarat-

syarat pelunasan yang lunak. Bahkan, ada dana berbentuk sumbangan

(grant) atau hibah yang berfungsi sebagai ”dana pendamping” dari

utangnya.

   Para kreditur yang memberi utang kepada Indonesia awalnya hanya

terdiri dari negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan iternasional.

Para kreditur tersebut mengkoordinasikan diri ke dalam Inter

Governmental Group on Indonesia (IGGI). Beberapa tahun kemudian,

kreditur swasta turut terlibat. Sebagian kreditur swasta yang besar kadang

diundang dalam forum-forum IGGI.

16
    IGGI didirikan pada tahun 1967 di Den Haag, yang anggotanya terdiri

dari: Australia, Amerika Serikat, Belgia, Belanda, Italia, Jerman, Jepang,

Inggris, Perancis, dan Kanada. Ada negara-negara yang hadir sebagai

peninjau, seperti: Austria, Denmark, Norwegia, Selandia Baru, dan Swiss.

Sedangkan lembaga-lembaga keuangan multilateral yang menjadi

anggota forum adalah: IMF, IBRD, ADB, UNDP, dengan OECD sebagai

peninjau. Pada tanggal 25 Maret 1992, dipicu oleh suatu insiden politik,

IGGI dibubarkan dan kepemimpinan Belanda tidak diakui lagi oleh

Indonesia. Namun, fungsi IGGI tetap berlangsung melalui wadah baru

bernama Consultative Group for Indonesia (CGI), dengan pimpinan Bank

Dunia. Selama perkembangannya, ada beberapa lembaga internasional,

termasuk bentukan Bank Dunia, yang kemudian bergabung, seperti IDA,

IFAD (International Fund for Agricultural Development) dan IFC

(International Finance Corporation). Terjadi pula beberapa pergeseran

besaran kontribusi masing-masing negara.

   Resminya, IGGI/CGI hanyalah suatu forum pembicaraan me ngenai

ULN pemerintah Indonesia. Namun, pada praktiknya IGGI/CGI

menyerupai konsorsium. Sebagian besar ULN pemerintah pada era

pemerintahan Soeharto dibicarakan dan disepakati dalam forum

IGGI/CGI. Setiap tahun, forum ini memutuskan jumlah dan macam

pinjaman yang akan diberikan, setelah mempertimbangkan “usulan” dari

pemerintah Indonesia. Dalam artian tertentu, IGGI/CGI memang bukan

konsorsium, karena masing-masing kreditur me miliki kesepakatan

17
tersendiri tentang detilnya, dan tidak seluruh hasil forum bersifat mengikat

kepada mereka.

  Pada saat pemerintahan Soeharto mulai menerima ULN dan satu

dekade setelahnya, perkembangan wacana keuangan internasional

memang sedang kondusif. Selain yang dinyatakan sebagai dimensi

kemanusiaan ataucharity, serta keterkaitan dengan masalah pe rebutan

pengaruh politik Blok Barat dan Blok Komunis, konsep dan praktik

keuangan internasional memang tengah marak me ngembangkan

berbagai bentuk ULN. Ada dua pemicu utama dari sisi wacana keuangan

dan perekonomian. Pertama, upaya banyak negara maju untuk

merestukturisasi sekaligus mengembangkan industri pengolahannya,

yang berlangsung mulai era 1960-an. Ada pertimbangan suplai sumber

energi, bahan baku, pemindahan se bagian tahap produksi, sampai

kepada penetrasi pasar.

   Kedua, mulai ada kelebihan likuiditas pada lembaga keuangan

internasional, yang kemudian mendapat momentum lanjutan dari petro

dollarakibat kenaikan harga minyak sejak awal 70-an. Selain disimpan

pada bank dan lembaga keuangan komersial, dana petro dollar dari

negara-negara produsen minyak ini juga bisa diakses oleh IMF.

   Perkembangan wacana dan kondisi keuangan internasional itu

kemudian antara lain menghasilkan ULN yang diterima pemerintah

negara-negara sedang berkembang (NSB), termasuk Indonesia. Secara

umum, jenisnya terdiri dari: dana pembangunan resmi (official

18
development fund/ODF), kredit ekspor (export credit) dan pinjaman

swasta (private flows). ODF adalah pinjaman resmi bersyarat lunak dari

suatu negara donor melalui lembaga keuangan bilateral negara yang

bersangkutan dan atau melalui lembaga dan bank pembangunan

multilateral seperti: Bank Dunia, ADB, IDA, dan sebagainya. ODF dapat

berupa pinjaman bersyarat sangat lunak (Official development

assistance/ODA) atau pinjaman setengah lunak (less concessional

loan/LCL).

   Kredit ekspor adalah pinjaman setengah resmi dengan per syaratan

setengah lunak yang dananya berasal dari negara donor (disebut official

financial support) atau yang bersumber dari pihak perbankan dan lembaga

keuangan swasta yang dijamin dan disubsidi oleh pemerintah negara

donor. Penggunaan kredit ekspor itu kadang-kadang terbatas hanya untuk

pengadaan barang dan jasa di negara donor (tied), dan kadang tidak

mengikat, atau kombinasi antara keduanya. Kredit ekspor disebut

“suppliers credit” kalau pinjaman itu disalurkan melalui pemasok di negara

donor. Pinjaman ini dinamakan “buyers credit” jika diberikan langsung oleh

lembaga kredit ekspor kepada peminjam di negara penerima.

   Secara teknis, dikenal pembedaan jenis ULN dengan sebutan Pinjaman

program dan Pinjaman proyek dalam pencatatan APBN saat ini. Pada

masa sebelumnya, ULN dicatat dalam APBN setiap tahunnya sebagai

bantuan program dan bantuan proyek. Pada tahun tahun tertentu, ada

yang dicatat sebagai pinjaman setengah lunak/komersial dan pinjaman

19
tunai. Jenis yang masuk kategori dalam pinjaman swasta ini hanya pada

periode tertentu memiliki arus masuk yang besar.

    Sebenarnya, pembedaan antara pinjaman program dan pinjaman

proyek bersifat sumir atau tidak cukup tegas. Pada dasarnya, kedua jenis

itu terdiri dari ODA, LCL dan Kredit ekspor dalam pengertian yang

disinggung di atas. Meskipun demikian, ULN yang disebut pinjaman

program, pada umumnya bersifat lebih lunak dan mem bantu. Pembedaan

ini memang cukup jelas pada masa awal pe merintahan Soeharto.

Pinjaman program pada awal Orde baru terdiri dari bantuan devisa kredit

dan bantuan pangan. Pinjaman program diorientasikan untuk

menyelesaikan masalah jangka pendek dan mendesak, serta bersifat

sangat lunak. Pada masa berikutnya, tingkat kelunakan men jadi kurang

jelas. Sifat pinjaman program yang membantu mengatasi masalah

ekonomi dan keuangan pemerintah yang mendesak tetap dipertahankan.

Sifat utamanya adalah memberikan aliran devisa atau kas masuk secara

langsung bagi pemerintah.

    Akan tetapi, dalam beberapa tahun tersebut, pinjaman program terkait

dengan perubahan kebijakan dalam bentuk undang-undang dan peraturan

lainnya. Pencairan utang program selalu dikaitkan dengan capaian dalam

perubahan kebijakan yang berhasil dilakukan pemerintah. Sedangkan

yang dimaksud dengan pinjaman proyek terutama adalah utang yang

diterima dalam bentuk fasilitas ber belanja barang dan jasa kepada

negara/lembaga kreditur dalam bentuk kredit. Bedanya dengan pinjaman

20
program, pinjaman proyek lebih ditujukan untuk proyek investasi jangka

panjang

     Sebagaimana telah disinggung di atas, sejak tahun 1967 Indonesia

telah menerima pinjaman dengan syarat lunak atau dalam bentuk

sumbangan (grant) dari negara-negara dan lembaga-lembaga ke uangan

iternasional yang tergabung dalam IGGI. Dalam beberapa tahun sejak itu,

Indonesia mendapat pinjaman berbentuk bantuan program yang terdiri

dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan, serta bantuan proyek

dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak.

 Utang Pemerintahan Transisi (Habibie)

1. Tanggal 14 dan 15 Mei 1997, kurs bath terhadap US$ mengalami

penurunan (depresiasi) sebagai akibat dari keputusan jual dari para

investor yang tidak percaya lagi thd prospek ekonomi Thailand

dalam jk pdk.Pemerintah Thailand mengintervensi dan didukung

oleh bank sentral singapora, tapi tidak mampu menstabilkan kurs

Bath, sehingga bank sentral Thailand mengumumkan kurs bath

diserahkan pada mekanisme pasar.2 Juli 1997, penurunan nilai

kurs bath terhadap US$ antara 15% - 20%

2. Bulan Juli 1997, krisis melanda Indonesia (kurs dari Rp 2.500

menjadi Rp 2.650.) BI mengintervensi, namun tidak mampu sampai

bulan maret 1998 kurs melemah sampai Rp 10.550 dan bahkan

menembus angka Rp 11.000/US$.

Langkah konkrit untuk mengatasi krisis:

21
a. Penundaan proyek Rp 39 trilyun untuk mengimbangi keterbatasan

anggaran Negara

b. BI melakukan intervensi ke bursa valas

c. Meminta bantuan IMF dengan memperoleh paket bantuan

keuangan US$ 23 Milyar pada bulan Nopember 1997.

d. Mencabut ijin usaha 16 bank swasta yang tidak sehat

Januari 1998 pemerintah Indonesia menandatangani nota kesepakatan

(LOI) dengan IMF yang mencakup 50 butir kebijakan yang mencakup:

a. Kebijakan ekonomi makro (fiscal dan moneter) mencakup:

penggunaan prinsip anggaran berimbang; pengurangan

pengeluaran pemerintah seperti pengurangan subsidi BBM dan

listrik; pembatalan proyek besar; dan peningkatan pendapatan

pemerintah dengan mencabut semua fasilitas perpajakan,

penangguhan PPN, pengenaan pajak tambahan terhadap bensin,

memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak obyek pajak.

b. Restrukturisasi sektor keuangan

c. Reformasi struktural

   Bantuan gagal diberikan, karena pemerintah Indonesia tidak

melaksanakan kesepakatan dengan IMF yang telah ditandatangani.

   Indonesia tidak mempunyai pilihan kecuali harus bekerja sama dengan

IMF. Kesepakatan baru dicapai bulan April 1998 dengan nama

“Memorandum Tambahan mengenai Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan”

22
yang merupakan kelanjutan, pelengkapan dan modifikasi 50 butir

kesepakatan.  Tambahan dalam kesepakatan baru ini mencakup:

a. Program stabilisasi perbankan untuk stabilisasi pasar uang dan

mencegah hiperinflasi

b. Restrukturisasi perbankan untuk penyehatan system perbankan

nasional

c. Reformasi structural

d. Penyelesaian utang luar negeri dari pihak swasta

e. Bantuan untuk masyarakat ekonomi lemah.

 Utang Pemerintahan Reformasi (Abdurrahman Wahid)

Mulai pertengahan tahun 1999.

Target:

a. Memulihkan perekonomian nasional sesuai dengan harapan

masyarakat dan investor

b. Menuntaskan masalah KKN

c. Menegakkan supremasi hokum

d. Penegakkan hak asasi manusia

e. Pengurangan peranan ABRI dalam politik

f. Memperkuat NKRI (Penyelesaian disintegrasi bangsa)

Kondisi:

a. Pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi positif (mendekati 0)

b. Tahun 2000 pertumbuhan ekonomi 5%

c. Kondisi moneter stabil ( inflasi dan suku bunga rendah)

23
d. Tahun 2001, pelaku bisnis dan masyarakat kurang percaya kepada

pemerintahan sebagai akibat dari pernyataan presiden yang

controversial, KKN, dictator, dan perseteruan dengan DPR

e. Bulan maret 2000, cadangan devisa menurun dari US$ 29 milyar

menjadi US$ 28,875 milyar

f. Hubungan dengan IMF menjadi tidak baik sebagai akibat dari:

penundaan pelaksanaan amandemen UU No. 23 tahun 1999

mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah (terutama

kebebasan untuk hutang pemerintah daerah dari LN); dan revisi

APBN 2001.

g. Tahun 2001, pertumbuhan ekonomi cenderung negative, IHSG

merosot lebih dari 300 poin, dan nilai tukar rupiah melemah dari Rp

7000 menjadi Rp 10.000 per US$.

 Utang Pada Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri

    Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan

ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh

untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :

a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar

pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran

utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.

b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual

perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan

melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan

24
politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil

menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %.

Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN

yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.

   Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan

Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan

korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir

dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu

jalannya pembangunan nasional.

 Utang Pada Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono

     Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah

mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM.

Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran

subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta

bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.

    Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan

kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi

masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang

berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.

    Kebijakan yang ditempuh untuk faktor utama untuk menentukan

kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang

selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama

investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang

25
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia,

diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.

     Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh

sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka

diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam

menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi

pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa

kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan

jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005

menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena

beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector

riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI),

sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi.

Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan

kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi

pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya

mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri

masih kurang kondusif.

D. Faktor Penyebab Besarnya Utang Luar Negeri

1. Strategi defisit anggaran : strategi defisit anggaran tanpa diimbangi

dengan kontrol akan sangat berbahaya. Selama ini Indonesia

selalu menerapkan strategi ini, dengan harapan, jika utang kepada

26
luar negeri, maka hasil dari utang tersebut digunakan untuk

pembiayaan pembangunan, sehingga sektor riil berkembang dan

harapannya pendapatan nasional dapat meningkat signifikan.

Namun hasil dari pendapatan nasional ini tidak sepenuhnya

digunakan untuk membayar utang luar negeri.

2. Tidak menyadari secara penuh biaya yang harus ditanggung di

masa depan Pemikiran irasional banyak mendominasi penentu

kebijakan di negara sedang berkembang dalam melakukan utang

(Alesina dan Tabellini).

3. Adanya faktor sosial politik dari penentu kebijakan Faktor sosial

dan politik lebih dominan dibanding faktor ekonomi dalam

melakukan utang (Sebastian Edwards).

E. Data Posisi hutang luar negeri Indonesia berikut sumbernya:

 Posisi hutang luar negeri pemerintah indonesia

   Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang

Kementerian Keuangan yang dikutip vibiznews.com, Selasa (16/04/2013)

total utang pemerintah Indonesia hingga Maret 2013 mencapai Rp

1.991,22 triliun dengan rasio 24,1% terhadap PDB.Dari jumlah tersebut,

Rp 588,38 triliun merupakan utang luar negeri yang didapat dari beberapa

negara dan juga lembaga-lembaga multilateral. Utang luar negeri ini terus

turun dibandingkan akhir 2012 yang sebesar Rp 612,52 triliun.

27
Tahun ini, nilai belanja APBN mencapai Rp 1.683 triliun. Defisit anggaran

tahun depan ditetapkan 1,65% terhadap PDB atau Rp 172,8 triliun, karena

penerimaan negara lebih kecil, Untuk menutup defisit tersebut, DPR

membolehkan pemerintah menambah utang baru hingga Rp 161,4 triliun.

Ada 3 negara dan 3 lembaga yang paling rajin memberi utang kepada

pemerintah Indonesia, antara lain :

3 Negara Terajin Memberi Utang Kepada Indonesia :

1. Perancis, Jumlah utang meski turun tipis dari Rp 21,3 triliun di akhir

2012, namun secara keseluruhan total utang Indonesia ke Perancis

hingga Maret 2013 sebesar Rp 21,03 triliun.

2. Jerman, Jumlah utang meski turun dari akhir 2012 yang jumlahnya

Rp 20 triliun namun secara keseluruhan total utang Indonesia ke

Jerman hingga Maret 2013 sebesar Rp 19,43 triliun.

3. Jepang, Jumlah utang meski turun dari akhir 2012 yang jumlahnya

Rp 254,64 triliun namun secara keseluruhan total utang Indonesia

ke Jepang hingga Maret 2013 sebesar Rp 235,16 triliun atau yang

terbesar.

3 Lembaga Terajin Memberi Utang Kepada Indonesia :

1. Bank Dunia, Jumlah utang Indonesia naik tipis dari akhir 2012

sebesar Rp 122,14 triliun. Secara keseluruhan total utang

Indonesia ke Bank Dunia hingga Maret 2013 sebesar Rp 122,38

triliun.

28
2. Asian Development Bank (ADB), Jumlah utang Indonesia turun

dibandingkan akhir 2012 sebesar Rp 100,34 triliun. Secara

keseluruhan total utang Indonesia ke ADB hingga Maret 2013

sebesar Rp 98,24 triliun.

3. Islamic Development Bank (IDB),Jumlah utang Indonesia turun

dibandingkan akhir 2012 sebesar Rp 5,05 triliun. Secara

keseluruhan total utang Indonesia ke Islamic Development Bank

(IDB) sebesar Rp 4,93 triliun.

“Namun kondisi hutang pemerintah telah ditanggapi oleh pemerintah sejak

tahun lalu, melalui PERPRES, Presiden SBY telah menetapkan

pembatasan pinjaman luar negeri yang membebani APBN/APBD. Melalui

kebijakan tersebut tampak sejumlah utang luar negeri pemerintah

Indonesia yang terus menurun dan menggantinya dalam bentuk surat

utang atau obligasi yang di terbitkan sebagai surat utang negara (SUN).”

 Hutang Luar Negeri Swasta

   Khusus untuk hutang luar negeri swasta yang merupakan hutang yang

dilakukan atas atau tanpa assistensi pemerintah dan digunakan untuk

pembiayaan proyek-proyek swasta yang di lakukan untuk kepentingan

produksi dalam bentuk faktor-faktor produksi (modal) yang dilakukan

perusahaan BUMN, BUMD, BUMS dalam upaya melakukan ekspansi

bisnis dan perluasan market share.

Posisi utang luar negeri swasta.

29
   Berdasarkan data Bank Indonesia hingga Januari 2013, total utang luar

negeri swasta, baik bank maupun bukan bank, telah mencapai US$ 125

miliar. Jumlah tersebut terdiri dari utang sektor keuangan dan jasa

perusahaan senilai US$ 33,45 miliar, utang dari sektor

industripengolahan/manufaktur senilai US$ 25,67 miliar, dan sektor

pertambangan senilai US$ 21,08 miliar.

“Berbeda dengan hutang luar negeri pemerintah yang menunjukan

penurunan hutang luar negeri swasta justru mengalami penigkatan

setidaknya itu terjadi dalam catatan selama dua tahun terakhir, menurut

saya ada baiknya juga di berlakukan sistem kendali pada hutang luar

negeri swasta,karena bagaimanapun dalam persfektif makro trasaksi

hutang yang terlalu besar pada hutang LN swasta maupun pemerintah

akan berpengaruh pada melemahnya nilai tukar rupiah/Rp terhadap USD

berkenaan langsung dengan defisit neraca pembayaran”.

F. Kebaikan dan Keburukan Utang Luar Negeri

No Kebaikan Keburukan

30
1. Pembiayaan pembangunan Apabila utang luar negeri harus

(pengeluaran pemerintah) melalui ditempuh dengan menekan

utang luar lebih baik daripada konsumsi dan investasi, maka

melalui penarikan pajak atau permintaan agregat/masyarakat

pencetakan uang. Pembiayaan akan menurun selanjutnya akan

pengeluaran pemeritah yang menghambat dan mengurangi

dibiayai utang luar negeri akan tingkat pendapatan nasional.

mendorong laju pertumbuhan

ekonomi. Sedangkan jika

pengeluaran pemerintah dibiayai

dari pajak, maka pendapatan

masyarakat yang siap

dibelanjakan akan berkuarang dan

konsumsi juga menurun

selanjutnya akan memeperkecil

permintaan agregat/ masyarakat

dan mengekang laju pertumbuhan

pendapatan.

31
2. Negara-negara kreditur sering Pemerintah akan terkena beban

mempergunakan hasil langsung dari utang luar negeri.

pembayaran bunga dan utang itu Selama jangka waktu tertentu,

untuk membeli (impor) barang- beban utang langsung dapat

barang dan jasa-jasa dari negara diukur dengan jumlah

debitur, sehingga ekspor negara pembayaran bunga dan cicilan

debitur meningkat. utang terhadap kreditur.


3. Meskipun beban utang langsung Adanya beban riil langsung yang

itu tetap besarnya, beban riil di derita pemerintah berupa

langsung akan berbeda-beda kerugian dalam bentuk

sesuai dengan proporsi kesejahteraan ekonomi

sumbangan angggota masyarakat (guna/utility) yang hilang karena

terhadap pembayaran utang luar adanya pembiayaan cicilan utang

negeri tersebut. Jika pembayaran dan bunga.

itu dibebankan terutama kepada

golongan kaya, beban riil langsung

itu akan lebih ringan daripada

kalau pembayaran itu dibebankan

pada golongan miskin.

32
4. Dengan berakhirnya program IMF Dari aspek utang luar negeri,

pemerintah Indonesia telah keluarnya pemerintah Indonesia

menyusun program stabilisasi dari program IMF membawa

makro ekonomi secara konsekuensi berupa tertutupnya

komprehensif yang dituangkan peluang pemerintah terhadap

dalam white paper sebagai salah akses penjadwalan kembali utang

satu bentuk penerapan unsur luar negeri bilateral yang jatuh

transparansi atas komitmen dan tempo melaui forum Paris Club.

akuntabilitas dalam melaksanakan

program pembangunan pasca

IMF.

G. Dampak Utang Luar Negeri

 Pada sisi efektifitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak

hanya dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian

ekonomi negara-negara Dunia Ketiga. Utang diyakini menjadi

pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya

kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan.

 Sedangkan secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi

pemicu meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga

pada pasar luar negeri, modal asing, dan pada pembuatan utang

luar negeri secara berkesinambungan .

 Pada sisi kelembagaannya, lembaga-lembaga keuangan

multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank

33
(ADB). Keduanya diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan

tangan negara-negara Dunia Pertama pemegang saham utama

mereka, untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman.

 Pada sisi ideologinya, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh

negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai

sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh

penjuru dunia. (Erler, 1989).

 Sedangkan pada sisi implikasi sosial dan politiknya, utang luar

negeri tidak hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja

dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk

mengintervensi negara-negara penerima pinjaman. Secara tidak

langsung negara-negara kreditur diyakini turut bertanggungjawab

terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan,

meningkatkan tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat

terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin,

1987; George, 1992).

H. Solusi Utang Luar Negeri

1. Pertama, Debt swap.  Solusi yang paling sederhana mengatasi

utang luar negeri adalah dengan mengoptimalkan restrukturisasi

utang, khususnya melalui skema debt swap, di mana sebagian

utang luar negeri tersebut dikonversi dalam bentuk progran yang

berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan

lingkungan,dan sebagainya. Program debt swap seperti ini sudah

34
dijalankan dengan pemerintah Jerman, sebesar DM50 juta (Rp250

miliar) dari total utang sebesar DM178 juta, yang dikonversi dalam

bentuk proyek pendidikan.

2. Kedua. Diplomasi ekonomi.  Menurut Rachbini. 1994,  masalah

utang LN tidak bisa lagi diselesaikan dengan terapi fiskal dan teknis

ekonomi belaka.  Potensi internal ekonomi kita tidak cukup kuat

untuk melayani utang luar negeri yang salah dalam

pengelolaannya.  Kita tidak bisa secara terus-menerus menjadi

"good boy" dengan melayani seluruh cicilan tersebut karena

sumber ekonomi dalam negeri akan terus terkuras dan

mengganggu kestabilan ekonomi serta politik. 

Suatu pendekatan diplomasi ekonomi politik harus terus menerus

dijadikan program aksi (action program) untuk menghadapi

lembaga dan negara donor. Diplomasi ekonomi juga penting

dilembagakan dengan sasaran untuk memperoleh keringanan dan

penghapusan sebagian hutang sehingga proses pengurasan

sumberdaya dapat dihambat.

3. Ketiga.  Adalah cara yang lebih berani seperti yang ditawarkan oleh

mantan kepala BAPPENAS Kwik Kian Gie, dalam hal utang luar

negeri, harus ada keberanian untuk menggugat dan tidak

membayar sesuai jadwal karena pada kenyataanya Indonesia tidak

dapat membayar kembali utang dan bunga yang jatuh tempo. 

Hutang tersebut hanya bisa dibayar dengan cara melikuidasi

35
kekayaan negara.  Dalam hal utang dalam negeri, supaya menarik

kembali OR yang masih dalam penguasaan pemerintah melalui

bank-bank yang masih milik pemerintah. 

4. Keempat.  Adalah cara yang datang dari potensi internal

pemerintah sendiri yaitu dengan menjaga kinerja makro-ekonomi

dalam posisi yang stabil dan menstop hutang baru.  Untuk tawaran

terakhir ini, paling tidak terdapat tiga asumsi dasar yang harus

dipenuhi agar kita dapat keluar dari debt trap.  Asumsi dasar

pertama adalah laju pertumbuhan ekonomi harus dijaga pada level

antara minimum 3% setahun dan maksimum 7% setahun.  Angka

terakhir pernah tercapai di masa Orde Baru, tetapi didasari oleh

penjagaan keamanan yang keras dan otoriter dan arus modal

masuk yang puluhan milyar setahun. Asumsi dasar kedua adalah

menjaga tingkat inflasi tetap rendah-rendah (di bawah 10%

setahun, idealnya 6%), medium (sekitar 10% setahun) dan tinggi (di

atas 10% setahun)- Semakin rendah inflasi semakin baik oleh

karena pengeluaran untuk membayar bunga utang rekap

perbankan dalam negeri akan turun banyak, dan inflasi rendah

akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal dari

luar.Asumsi ketiga adalah dalam beberapa tahun kedepan

diharapkan tidak ada lagi penambahan stock hutang yang ada. Ini

berarti bahwa di dalam negeri tidak akan ada krisis perbankan lagi

yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk

36
menyelamatkan sistim perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada

tambahan utang luar negeri. Maka, kalau laju pertumbuhan

ekonomi mulai tahun ini bisa mencapai 7% setahun dan inflasi

hanya 6% setahun, dan pemerintah tidak perlu menambah stock

utang lagi, maka (pasti) beban angsuran utang turun dan sebagai

akibatnya kita tidak perlu lagi membebani generasi mendatang

dengan cicilan hutang.Kedepan, untuk mengantisipasi jeratan

utang yang sangat membebani bangsa dan negara ini, maka

pemerintah harus mempunyai kemauan politik dan itikad baik untuk

mengakhiri semua hasrat berhutangnya, dan menolak secara tegas

pengaruh dan tekanan dari pihak negara mana pun yang

berkepentingan menjerat negara ini dengan utang yang sebesar

mungkin.

37
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

    Perkembangan jumlah utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun

cenderung mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja menimbulkan

berbagai konsekuensi bagi bangsa Indonesia, baik dalam periode jangka

pendek maupun jangka panjang. Dalam periode jangka pendek, utang

luar negeri harus diakui telah memberikan kontribusi yang cukup berarti

bagi pembiayaan pembangunan ekonomi nasional sehingga dengan

terlaksananya pembangunan ekonomi tersebut, tingkat pendapatan per

kapita masyarakat bertumbuh selama taga dasawarsa sebelum terjadi

krisis ekonomi. Menurut Gibson dan Tsakalator (1992), penyebab

timbulnya krisis utang dapat ditinjau dari tiga hal: pertama, sistem moneter

Internasional. Kedua, sistem perbankan swasta internasional. Ketiga,

negara peminjam itu sendiri

    Semakin bertambahnya utang luar negeri pemerintah, berarti juga

semakin memberatkan posisi APBN RI, karena utang luar negeri tersebut

harus dibayarkan beserta dengan bunganya. Ironisnya, semasa krisis

ekonomi, utang luar negeri itu harus dibayar dengan menggunakan

bantuan dana dari luar negeri, yang artinya sama saja dengan utang baru,

karena pada saat krisis ekonomi penerimaan rutin pemerintah, terutama

dari sector pajak, tidak dapat ditingkatkan sebanding dengan kebutuhan

anggaran belanjanya. Dalam jangka panjang akumulasi dari utang luar

38
negeri pemerintah ini tetap saja harus dibayar melalui APBN, artinya

menjadi tanggung jawab para wajib pajak. Dengan demikian, maka dalam

jangka panjang pembayaran utang luar negeri oleh pemerintah Indonesia

sama artinya dengan mengurangi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan

rakyat Indonesia masa mendatang.

    Adalah suatu hal yang tepat, bila utang luar negeri dapat membantu

pembiayaan pembangunan ekonomi di negara-negara dunia ketiga,

termasuk Indonesia, untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan

rakyatnya. Tetapi, penggunaan utang luar negeri yang tidak dilakukan

dengan bijaksana dan tanpa prinsip kehati-hatian, dalam jangka panjang

utang luar negeri justru akan menjerumuskan negara debitur kedalam

krisis utang luar negeri yang berkepanjangan, yang sangat membebani

masyarakat karena adanya akumulasi utang luar negeri yang sangat

besar. 

B. Saran

     Berdasarkan kesimpulan makalah ini, bahwa utang luar negeri telah

memberikan kontribusi terhadap pembangunan di negara berkembang

termasuk negara kita negera Indonesia yaitu pembiayaan pembangunan

ekonomi nasional sehingga terlaksananya pembangunan ekonomi. Tetapi,

penggunaan utang luar negeri yang yang tidak dilakukan dengan

bijaksana dan tanpa prinsip kehati-hatian, dalam jangka panjang akan

menjerumuskan negara debitur kedalam krisis utang luar negeri yang

39
berkepanjangan, yang sangat membebani masyarakat karena adanya

akumulasi utang luar negeri yang sangat besar. Oleh karena itu penulis

merekomendasikan agar pemerintah membuat kebijakan utang luar

negerinya yang tepat yaitu:

1. Menjadi negara yang mandiri dan tidak tergantung pada utang luar

negeri untuk pembiayaan pembangunan nasional karena bila terus

tergantung akan membentuk watak / karakter bangsa yang lemah

dan selalu menjadi bangsa yang di dikte oleh negara yang maju

yang notabene menjadi negara kreditur. Dan selalu ada dalam

bayang-bayang utang luar negeri yang berimbas pada anak dan

cucu kita yang harus mengemban utangnya.

2. Mengawasi sumber pendapatan nasional yang mungkin bisa

sepenuhnya membiayai pembangunan nasional, karena bila kita

lihat sumber pendapatan nasional kita banyak sekali yang belum

tergali misalnya pajak penghasilan atau pajak-pajak lainya. Masih

banyak wajib pajak yang tidak melaporkan dengan riil penghasilan

kena pajaknya, atau dari petugas dari dirjen pajaknya yang

melakukan kongkalikong dengan wajib pajaknya.

3. Mengawasi juga penggunaan utang luar negeri dan pendapatan

nasional apakah sudah sesuai dengan apa yang menjadi skala

prioritas pembangunan nasional, Karena masih ada yang belum

tepat sasaran pembangunan atau masih ada pejabat yang korupsi

uang negara yang notabene untuk pembangunan nasional.

40
DAFTAR PUSTAKA

Raya, Elde. 2013. factorpenyebabutangluarnegeri, (http://

elderaya.blogspot.com, di unduh pada tanggal 30 oktober 2013).

Nanuneni, Sasu. 2013. Neraca Pembayaran, Arus Modal Asing

Dan Utang Luar Negeri,(http://nanxsu.blog.com, di unduh pada

tanggal 30 oktober 2013).

Prawira, Andika Yudha . 2013. Sejarah Hutang Luar Negeri,

(http://http://andhikaphantomhive.blogspot.com,di unduh pada

tanggal 30 oktober 2013).

Hartanto, Budi. 2013. Proposal System Politik dan Pembangunan,

(http://budihartono21.files.wordpress.com, di unduh pada tanggal

30 oktober 2013).

Ari. 2013. Sejarah Hutang Indonesia,

(http://jendelaperistiwa.blogspot.com, di unduh pada tanggal 30

oktober 2013)

41

Anda mungkin juga menyukai